Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Status Gizi Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskemas Wonosari I Kabupaten Gunungkidul 2014

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 6

JURNAL GIZI DAN DIETETIK

INDONESIA
Status gizi
berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskemas Wonosari I 113
Vol. 3, No. 2, Mei 2015: 113-118

Status gizi berhubungan dengan kejadian ISPA pada


balita di Wilayah Kerja Puskemas Wonosari I Kabupaten
Gunungkidul 2014
Nutritional status associated with acute respiratory infections (ARIs) of toddler in Wonosari I Health
Centers Working Area of Gunungkidul 2014
Wahyu Febrianto1, Ircham Mahfoedz2, Mulyanti2

ABSTRACT
Background: The health of children still become a serious concern because child health status reflects
the health of the nation. Acute respiratory infections (ARIs) is one of the problem that often occurred in
toddler. Healthy life style such as dietary adequacy can support the prevention of the ARIs.
Objectives: To know the association between nutritional status with ARIs incidence of toddler in Wonosari
I Health Centers Working Area of Gunungkidul 2014.
Methods: This was an analytical (inductive) method with cross sectional design. The study was conducted
in May-June 2014. Samples were selected by used purposive sampling with total sample 43 respondents.
Subject were toddler who visit in health centre. Data were taken from secondary datas in Wonosari I Health
Centers Working Area of Gunungkidul. Data were analyzed by chi-square formula.
Results: As many as 1 toddler (2,4%) had severe malnutrition and 7 toddlers (16,7%) had undernutrition.
While, as many as 10 toddlers (23,8%) have ARIs. Chi-square analyzed showed that there was association
between nutritional status with ARIs incidence (r=222,41, p=0,000).
Conclusions: There was an association between nutritional status with ARIs incidence in Wonosari I
Health Centers Working Area of Gunungkidul.
KEYWORDS: acute respiratory incidence (ARIs), nutritional status, toddler

ABSTRAK
Latar belakang: Kesehatan anak masih menjadi perhatian serius dikarenakan derajat kesehatan anak
mencerminkan derajat kesehatan bangsa. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan masalah
kesehatan yang sering terjadi pada anak. Pola hidup sehat pada anak mendukung pencegahan penyakit
ISPA, salah satunya dengan terpenuhinya nutrisi.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Puskesmas
Wonosari I Kabupaten Gunungkidul
Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik (induktif) dengan pendekatan cross sectional.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2014. Lokasi penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Wonosari
I Kabupaten Gunungkidul. Subjek adalah balita yang berkunjung ke Puskesmas Wonosari I Kabupaten
Gunungkidul. Sampel penelitian diambil menggunakan teknik purposive sampling berjumlah 43 responden.
Data yang digunakan adalah data sekunder yang didapatkan dari data Puskesmas Wonosari I.
Hasil: Sebanyak 1 balita (2,4%) mengalami gizi buruk dan 7 balita (16,7%) dengan gizi kurang. Sebanyak 10
balita (23,8%) mengalami ISPA. Hasil analisis chi-square menunjukkan adanya hubungan antara status gizi
dengan kejadian ISPA (r=22,241, p=0,000).
Kesimpulan: Ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Puskesmas
Wonosari I Kabupaten Gunungkidul.
KATA KUNCI: kejadian ISPA, status gizi, balita
1

Program StudiKeperawatan, STIKES Alma Ata Yogyakarta, Jl. Ringroad Barat Daya 1, Yogyakarta,e-mail: wahyublack1992@gmail.com

Program StudiKeperawatan, STIKES Alma Ata Yogyakarta, Jl. Ringroad Barat Daya 1, Yogyakarta

114

Wahyu Febrianto, Ircham Mahfoedz, Mulyanti

PENDAHULUAN
Kesehatan anak masih menjadi perhatian
serius di antara masalah kesehatan yang lain karena
derajat kesehatan anak mencerminkan derajat
kesehatan bangsa. Anak merupakan generasi
penerus yang mempunyai kemampuan untuk
dikembangkan dalam meneruskan pembangunan
bangsa. Masalah kesehatan anak adalah prioritas
dalam perencanaan dan pembangunan bangsa
(1). Masalah kesehatan anak yang umum terjadi
meliputi beberapa penyakit di antaranya adalah
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), infeksi
radang tenggorokan, rhinitis alergi, infeksi telinga
tengah,cacar air, diare, dan masalah kulit.
Angka kematian balita di negara berkembang
masih cukup tinggi. Menurut Lembaga Kesehatan
Dunia/WHO (World Health Organization) menunjukkan
di negara berkembang sebanyak 4 juta dari 15 juta
kematian anak di bawah 5 tahun disebabkan oleh
ISPA (2). Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar
(Riskesdas) disebutkan sebanyak 22,5% atau 16
provinsi di Indonesia mempunyai prevalensi ISPA
berkisar 25,5% (rentang 17,5%-41,4%) dan pneumonia
sebanyak 2,1% (rentang 0,8%-5,6%) (3).
Kejadian ISPA yang masih tinggi di Indonesia
dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor
lingkungan dan host. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita di
antaranya adalah kualitas udara yang kurang baik yang
disebabkan oleh asap rokok, asap dapur, dan ventilasi
rumah, sedangkan faktor host meliputi beberapa hal,
diantaranya adalah status umur, status gizi, riwayat
pemberian ASI, berat bayi lahir rendah (BBLR), dan
imunisasi (4). Balita dengan imunisasi tidak lengkap,
gizi kurang, dan BBLR akan lebih mudah terserang
penyakit karena mekanisme pertahanan tubuh
(imunitas) yang belum lengkap (5). Balita yang sering
mengalami ISPA akan memiliki status gizi yang rendah
disebabkan oleh energi yang seharusnya digunakan
untuk proses pertumbuhan digunakan untuk proses
penyembuhan, begitu pula sebaliknya seorang balita
akan lebih mudah terkena ISPA jika status gizi rendah/
kurang karena tubuh (6).
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan
wilayah yang selalu menempati sepuluh besar
penderita ISPA (bronkitis, asma, dan pneumonia)

dalam beberapa tahun terakhir. Total kunjungan


pasien ISPA ke puskesmas mencapai 70.942 pasien,
persentase penyakit ISPA di setiap kabupaten/
kota mencapai 31%-39% dari seluruh penyakit
(7). Penekanan angka kematian balita merupakan
sebuah program Pemerintah Indonesia dalam
pencapaian target millennium development goals
(MDGs) dalam bidang kesehatan. ISPA merupakan
salah satu penyebab kematian terbesar pada
balita. Apabila program tersebut dapat menurunkan
2/3 kematian balita dalam rentang waktu 19902015, maka hal tersebut akan berdampak pada
pencapaian MDGs (2).
Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah
dengan epidemik ISPA yang cukup tinggi, yaitu
sekitar 22%. Daerah dengan prevalensi ISPA
tertinggi memiliki prevalensi pneumonia yang tinggi
juga. Hal ini disebabkan ISPA yang tidak ditangani
dengan baik akan berkembang menjadi pneumonia.
Prevalensi pneumonia di Gunungkidul mencapai
2,7%. Angka tersebut lebih tinggi dari prevalensi
pneumonia rata-rata di Provinsi DIY yang hanya
sebesar 1,8% (7). Berdasarkan studi pendahuluan
yang dilakukan oleh Puskesmas Wonosari I
Kabupaten Gunungkidul, angka kunjungan tertinggi
adalah ISPA/common cold sebesar 3,958. Di
antaranya dari jumlah tersebut, 576 pengunjung
adalah balita atau sekitar 14,55%.
Berdasarkan data dari Riskesdas tahun
2013, diketahui bahwa prevalensi gizi buruk dan
gizi kurang masing-masing pada tahun 2013
sebesar 5,7% dan 13,9% (8). Data menurut
Profil Kesehatan DIY tahun 2012 menunjukkan
bahwa prevalensi gizi kurang dan gizi buruk
masing-masing 8,45% dan 0,56% (9). Data dari
puskesmas Wonosari I tahun 2013 menunjukkan
prevalensi gizi kurang sebesar 8,15% (10). Hal
tersebut menunjukkan bahwa angka prevalensi
gizi kurang di Puskesmas Wonosari I masih tinggi
(8,15%) karena mendekati angka prevalensi gizi
kurang di DIY (8,45%).
BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian ini menggunakan induktif
(inferensial) dengan pendekatan cross sectional.

Status gizi berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskemas Wonosari I

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui


hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA
pada balita di Puskesmas Wonosari I. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2014.
Variabel bebas adalah status gizi dan variabel terikat
adalah kejadian ISPA. Populasi dalam penelitian ini
adalah balita sakit yang berkunjung di Puskesmas
Wonosari I sebanyak 144 balita. Sampel dalam
penelitian ini sebanyak 43 balita. yang diperoleh
dengan teknik purposive sampling. Kriteria inklusi
adalah balita yang berkunjung di Puskesmas
Wonosari I, balita tidak cacat fisik maupun mental,
sedangkan kriteria eksklusi meliputi balita yang tidak
sadarkan diri, balita yang bukan domisili di wilayah
kerja puskesmas.
Untuk mengetahui hubungan status gizi
dengan kejadian ISPA pada balita adalah digunakan
data sekunder yang terdapat pada buku kartu
menuju sehat (KMS) dan juga dari data kesehatan
ibu dan anak (KIA) puskesmas yang kemudian
dihitung dan disesuaikan dengan tabel baku nilai
rujukan status gizi untuk mengkategorian status
balita ke dalam gizi buruk, kurang, baik, atau
lebih. Analisis data mengunakan uji univariat dan
bivariat.

HASIL
Sampel dalam penelitian ini sebanyak 42
balita yang berkunjung ke Puskesmas Wonosari.
Karakteristik responden dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi frekuensi responden sampel


penelitian
Karakteristik
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total
Kejadian ISPA
ISPA
Tidak ISPA
Total
Status gizi
Gizi buruk
Gizi kurang
Gizi baik
Gizi lebih
Total

Frekuensi

Persentase (%)

25
17
42

59,5
40,5
100

10
32
42

23,8
76,2
100

1
7
33
1
42

2,4
16,7
78,6
2,4
100

Berdasarkan Tabel 1 didapatkan karakteristik


sampel penelitian ini berjenis kelamin laki-laki
sebanyak 25 balita (59,5%), tidak mengalami ISPA
sebanyak 32 balita (76,2%) dan status gizi baik
sebanyak 33 balita (78,6%).
Berdasarkan tabulasi silang pada Tabel 2,
diketahui sampel dengan status gizi baik dan tidak
ISPA sebanyak 30 balita (71,4%), sedangkan dengan
status gizi baik dan ISPA sebanyak 3 balita (7,1%).
Berdasarkan hasil analisis menggunakan
uji statistik nonparametric correlation dengan
menggunakan chi-square didapatkan nilai p=0,000
yang menunjukkan terdapat hubungan negatif
antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Wonosari Gunung
Kidul. Hasil nilai dari koefiensi kontinensi 22,241
yang berarti bahwa hubungan antara status gizi
dengan kejadian ISPA dalam kategori sedang.

Tabel 2. Tabulasi silang dan uji chi-square antara kejadian ISPA dengan status gizi
Penilaian
status gizi
Buruk
Kurang
Baik
Lebih
Total

115

Kejadian ISPA
Tidak ISPA
ISPA
f
%
f
%
0
0
1
2,4
1
2,4
6
14,3
30
71,4
3
7,1
1
2,4
0
0
32
76,2
10
23.8

Total
f
1
7
33
1
42

%
2,4
16,7
78,5
2,4
100

p
22,241

0,000

116

Wahyu Febrianto, Ircham Mahfoedz, Mulyanti

BAHASAN
Kejadian ISPA
Berdasarkan Tabel 1 diketahui sebanyak 10
balita (23,8%) mengalami ISPA. Jumlah ini sesuai
dengan hasil Riskesdas yang menjelaskan bahwa
prevalensi kejadian ISPA di Indonesia berada pada
rentang 17,5%-41,4% (3). Jumlah kejadian ISPA di
Wilayah Kerja Puskesmas Wonosari I Gunung Kidul
masih tergolong cukup dibandingkan dengan angka
kejadian ISPA di wilayah Yogyakarta.
Penilaian status gizi
Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas balita
yang berkunjung ke Puskesmas Wonosari I memiliki
status gizi baik yaitu sebanyak 33 balita (78,5%), 7
balita dengan gizi kurang (16,7%), balita dengan gizi
lebih (2,4%), dan 1 balita dengan gizi buruk (2,4%).
Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan dan
kesadaran akan pentingnya pemberian asupan gizi
tergolong cukup.
Hubungan antara status gizi dengan kejadian
ISPA
Tabel 2 diketahui bahwa ada hubungan
negatif antara status gizi dengan kejadian ISPA
pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wonosari
I Kabupaten Gunungkidul. Hasil ini menunjukkan
bahwa semakin baik status gizi balita, maka
semakin kecil risiko balita terkena ISPA. Hasil
penelitian ini didukung oleh hasil penelitian lain yang
menjelaskan bahwa balita dengan status gizi kurang
memiliki risiko menderita pneumonia lebih besar
(11). Status gizi yang rendah akan mempengaruhi
frekuensi terjadinya ISPA pada balita (6).
Frekuensi kejadian ISPA pada balita dengan
status gizi kurang lebih tinggi dibandingkan
dengan anak yang memiliki status gizi baik. Hal
ini disebabkan balita yang mempunyai status gizi
baik akan mempunyai daya tahan (antibodi) yang
lebih, sehingga dapat mencegah atau terhindar dari
penyakit seperti ISPA (12).
Berdasar hasil penelitian pada Tabel 2,
sebanyak 32 balita (76,2%) tidak mengalami ISPA
di Wilayah Kerja Puskesmas Wonosari I Kabupaten
Gunungkidul. Angka kejadian ISPA ini cukup rendah

disebabkan program perbaikan gizi pada balita


terlaksana dengan baik, sehingga balita dengan
gizi baik akan mengurangi risiko terjadinya penyakit
ISPA. Status gizi balita mempengaruhi kejadian
ISPA. Balita dengan status gizi tidak baik akan
berisiko 2,7 kali mengalami ISPA dibandingkan
dengan balita yang memiliki status gizi baik (13).
Balita dengan gizi buruk memiliki risiko mengalami
infeksi disebabkan antibodi dari balita yang belum
sempurna (14).
Status gizi yang baik pada balita sangat
diperlukan karena dapat terhindar dari penyakitpenyakit seperti ISPA. Status gizi baik dapat dicapai
jika asupan gizi balita sesuai dengan kebutuhannya.
Status gizi baik terbukti mempengaruhi pertumbuhan
fisik, perkembangan mental dan intelektual,
meningkatkan produktivitas, serta menurunkan
angka kesakitan dan kematian (15).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fonseca
pada tahun 1996 menunjukkan bahwa status gizi
kurang menempati urutan pertama terjadinya
pneumonia pada balita. Selain itu penelitian yang
dilakukan di Solopur India juga menunjukkan bahwa
sebanyak 160 anak di bawah 5 tahun hanya 44 (27,5%)
yang mempunyai status gizi normal sisanya dengan
status gizi kurang. Hasil uji statistik menunjukkan risiko
5,17 kali lebih buruk terjadi ISPA pada balita yang
mempunyai status gizi kurang dibandingkan dengan
yang mempunyai status gizi baik (16).
Gizi merupakan salah satu penentu kualitas
sumber daya manusia. Kejadian malnutrisi akan
menurunkan imuntas selular, kelenjar timus
dan tonsil menjadi atrofik dan jumlah T-limfosit
berkurang, sehingga tubuh akan menjadi lebih rentan
terhadap terjadinya penyakit atau infeksi. Selain itu,
kejadian malnutrisi akan mempengaruhi saluran
pernafasan dalam melindungi dari agen penyakit.
Saluran nafas yang normal secara fisiologis dapat
menghalau agen penyakit yang masuk ke dalam
tubuh melalui berbagai mekanisme, misalnya batuk
dan meningkatnya jumlah cairan mukosa, namun
pada anak yang mengalami malnutrisi/status gizi
kurang baik proses fisiologis itu tidak dapat berjalan
dengan baik, sehingga agen penyakit yang masuk
tidak dapat dihalau keluar dan akan terakumulasi
dalam saluran nafas dan di paru-paru (17).

Status gizi berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskemas Wonosari I

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa


sampel dengan status gizi baik tetap terkena ISPA.
Hal ini disebabkan penyebab ISPA bukan hanya
dari status gizi saja, tetapi juga dipengaruhi oleh
faktor lain, seperti usia, pemberian ASI, terpapar
atau tidaknya dengan polusi, status sosial ekonomi,
BBLR, dan lain-lain. Balita dengan status gizi
yang baik tetap bisa mengalami ISPA karena
faktor lingkungan, misalnya anggota keluarga
yang lain mengalami ISPA, sehingga tertular atau
mungkin dipengaruhi faktor lingkungan yang lain.
Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan
bahwa status gizi memegang peranan dalam
kesehatan. Jika balita mempunyai status gizi yang
kurang, maka akan lebih mudah menyebabkan
kuman masuk dan tubuh tidak mampu melawan
sehingga akan terjadi ISPA.
KESIMPULAN DAN SARAN
Mayoritas balita yang berkunjung ke
Puskesmas Wonosari I adalah berjenis kelamin
laki-laki, yaitu sebanyak 25 balita (59,5%),
sedangkan balita berjenis kelamin perempuan
sebanyak 17 balita (40,5%). Sebanyak 10 balita
(23,8%) mengalami ISPA. Terdapat hubungan
yang ada hubungan antara status gizi dengan
kejadian ISPA pada balita di Wilayah Puskesmas
Wonosari I Kabupaten Gunungkidul. Saran yang
dapat diberikan yaitu: bagi profesi keperawatan
diharapkan dapat menerapkan program pemenuhan
gizi dengan baik untuk mengurangi kejadian gizi
buruk yang dapat menyebabkan tingginya angka
kematian balita. Bagi puskesmas, diharap selalu
meningkatkan pelayanan untuk mempertahankan
status gizi, baik pada balita melalui pengembangan
program puskesmas, sehingga balita tidak mudah
terserang penyakit. Bagi masyarakat, sebaiknya
turut serta dalam menurunkan kejadian ISPA pada
balita dengan memperbaiki atau meningkatkan dan
memenuhi status gizi pada balita. Bagi peneliti lain
diharapkan dapat dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai faktor lain yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya ISPA yaitu berat badan lahir, cakupan
imunisasi, status ekonomi dan lingkungan tempat
tinggal dengan metode cohort atau case-control.

117

RUJUKAN
1. Hidayat A. Ilmu kesehatan anak untuk pendidikan
kebidanan. Jakarta: Salemba Medika; 2008.
2. Indrayana S. Perbedaan kejadian ISPA menurut
karakteristik balita di Puskesmas SemanuI.
STIKES Alma Ata Yogyakarta; 2011.
3. Departemen Kesehatan Repuplik Indonesia. Riset
Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan RI; 2007.
4. Trisnawati, Juwarni. Hubungan perilaku merokok
orang tua dengan kejadian ISPA pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Rembang. Akademi
Kebidanan YLPP; 2012.
5. Layuk R, Narsi N, Wahidudin. Faktor yang
berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita
di Lembang Batu Sura. Universitas Hassanudin;
2012.
6. Elyana M, Aryu C. Hubungan frekuensi ISPA
dengan status gizi balita [Internet]. 2008.
Available from: file:///C:/Users/Alma Ata/
Downloads/4859-10582-1-SM (3).pdf
7. Yogyakarta DKDI. Profil kesehatan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Depkes DIY;
2008.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kemenkes RI; 2013.
9. Yogyakarta DKDI. Profil kesehatan DIY tahun
2013. Yogyakarta: Dinas Kesehatan Provinsi
DIY; 2013.
10. Program Gizi Puskesmas Wonosari I. Situasi
derajat kesehatan Puskesmas Wonosari I
[Internet]. Gunungkidul; 2014 [cited 2014 Mar 10].
Available from: http://uptpuskesmaswonosari1.
blogspot.co.id/2014/06/situasi-derajatkesehatan-puskesmas.html
11. Setiawan R, Ida, Budi. Hubungan status gizi
dengan kejadian pneumonia pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Palasari Kecamatan
Cianter Kabupaten Subang tahun2010.
Poltekkes Kemenkes Bandung; 2010.
12. Dwijayanthi L. Ilmu gizi menjadi sangat mudah.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2008.

118

Wahyu Febrianto, Ircham Mahfoedz, Mulyanti

13. Windarti. Hubungan pemberian ASI eksklusif


dengan kejadian ISPA pada bayi. Universitas
Udayana Bali; 2009.
14. Lakoro F. Hubungan status gizi dan imunisasi
terhadap kejadian ISPA di Wilayah Kerja
Puskesmas Bonepantai Kabupaten Bone
Bolango. J Kesehat. 2013;1(1).
15. Musrifu A. Hubungan tingkat pengetahuan
ibu tentang pola makan dengan status
gizi Balita di Posyandu Desa Batuetno

Banguntapan Bantul DIY. STIKES Alma Ata


Yogyakarta; 2013.
16. Prasad D, Chandrashekar H, Madhavi VR. Study
of Risk Factors of acute respiratory infection (ARI)
in Underfires Solapur. Natl J Community Med.
2010;1(1):647.
17. Hadiana S. Hubungan status gizi terhadap
terjadinya infeksi saluran nafas akut (ISPA) pada
balita di Puskesmas Pajang Surakarta [Internet].
2013 [cited 2014 Jul 5]. Available from: http://eprints.
ums.ac.id/22566/9/NASKAH_PUBLIKASI.pdf

You might also like