Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Menjadi Pengajak Yang Bijak: Khutbah I

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 5

Menjadi Pengajak yang Bijak

Khutbah I





.
.


.
. :

Jamaah shalat Jumat asadakumullh,

Rasulullah shallallhu alaihi wasallam pernah bercerita tentang dua orang bersaudara
dari kalangan Bani Israil dengan sifat yang sangat kontras: yang satu sering berbuat
dosa, sementara yang lain sangat rajin beribadah.

Rupanya si ahli ibadah yang selalu menyaksikan saudaranya itu melakukan dosa tak
betah untuk tidak menegur. Teguran pertama pun terlontar. Seolah tak memberikan
efek apa pun, perbuatan dosa tetap berlanjut dan sekali lagi tak luput dari pantauan si
ahli ibadah.

Berhentilah! Sergahnya untuk kedua kali.

Si pendosa lantas berucap, "Tinggalkan aku bersama Tuhanku. Apakah kau diutus
untuk mengawasiku?"

Mungkin karena sangat kesal, lisan saudara yang rajin beribadah itu tiba-tiba
mengeluarkan semacam kecaman:


Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu. Allah tidak akan memasukkanmu ke
surga.

Kisah ini terekam sangat jelas dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan Abu
Dawud dan Ahmad. Di bagian akhir, hadits tersebut memaparkan, tatkala masing-
masing meninggal dunia, keduanya pun dikumpulkan di hadapan Allah subhanahu wa
ta'ala.

Kepada yang tekun beribadah, Allah mengatakan, "Apakah kau telah mengetahui
tentang-Ku? Apakah kau sudah memiliki kemampuan atas apa yang ada dalam
genggaman-Ku?"

Drama keduanya pun berlanjut dengan akhir yang mengejutkan.

"Pergi dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku," kata Allah kepada si pendosa.
Sementara kepada ahli ibadah, Allah mengatakan, "(Wahai malaikat) giringlah ia
menuju neraka."
Jamaah shalat Jumat asadakumullh,

Cerita tersebut mengungkapkan fakta yang menarik dan beberapa pelajaran bagi kita
semua. Ahli ibadah yang sering kita asosiasikan sebagai ahli surga ternyata kasus
dalam hadits itu justru sebaliknya. Sementara hamba lain yang terlihat sering
melakukan dosa justru mendapat kenikmatan surga.

Mengapa bisa demikian? Karena nasib kehidupan akhirat sepenuhnya menjadi hak
prerogatif Allah. Manusia tak memiliki kewenangan sama sekali untuk memvonis orang
atau kelompok lain sebagai golongan kafir atau bukan, masuk neraka atau surga,
dilaknat atau dirahmati. Tak ada alat ukur apa pun yang sanggup mendeteksi kualitas
hati dan keimanan seseorang secara pasti.

Jika diamati, ahli ibadah dalam kisah hadits di atas terjerumus ke jurang neraka
lantaran melakukan sejumlah kesalahan. Pertama, ia lancang mengambil hak Allah
dengan menghakimi bahwa saudaranya tak mendapat ampunan Allah dan tidak akan
masuk surga. Mungkin ia berangkat dari niat baik, yakni hasrat memperbaiki perilaku
saudaranya yang sering berbuat dosa. Namun ia ceroboh dengan bersikap selayak
Tuhan: menuding orang lain salah sembari memastikan balasan negatif yang bakal
diterimanya.

Dalam konteks etika dakwah, si ahli ibadah sedang melakukan perbuatan di luar batas
wewenangnya sebagai pengajak. Ia tak hanya menjadi di (tukang ajak) tapi sekaligus
hkim (tukang vonis). Padahal, Al-Quran mengingatkan:






Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, peringatan yang baik, dan bantulah
mereka dengan yang lebih baik. Sungguh Tuhanmulah yang mengetahui siapa yang
sesat dari jalan-Nya. Dan Dia Maha mengetahui orang-orang yang mendapat hidayah.
(An-Nahl [16]: 125)


Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir". (Al-Kahfi [18]: 29)

Ayat ini tak hanya berpesan tentang keharusan seseorang untuk berdakwah secara arif
dan santun melainkan menegaskan pula bahwa tugas seseorang hamba kepada
hamba lainnya adalah sebatas mengajak atau menyampaikan. Mengajak tak sama
dengan mendesak, mengajak juga bukan melarang atau menyuruh. Mengajak adalah
meminta orang lain mengikuti kebaikan atau kebenaran yang kita yakini, dengan cara
memotivasi, mempersuasi, sembari menunjukkan alasan-alasan yang meyakinkan.
Urusan apakah ajakan itu diikuti atau tidak, kita serahkan kepada Allah subhnahu wa
tal (tawakal).

Jamaah shalat Jumat asadakumullh,

Kesalahan kedua yang dilakukan ahli ibadah dalam kisah tersebut adalah ia terlena
terhadap prestasi ibadah yang ia raih. Hal itu dibuktikan dengan kesibukannya untuk
mengawasi dan menilai perilaku orang lain ketimbang dirinya sendiri. Dalam tingkat
yang lebih parah, sikap macam ini dapat membawa seseorang pada salah satu akhlak
tercela bernama tajassus, yakni gemar mencari-cari keburukan orang lain. Apalagi, bila
orang yang menjadi sasaran belum tentu benar-benar berbuat salah. Seringkali lataran
kesalahmahaman dan perkara teknis, sebuah perbuatan secara sekilas pandang
tampak salah padahal tidak. Di sinilah pentingnya tabayun (klarifikasi) dalam ajaran
Islam.
Tentu saja memperbanyak ibadah dan meyakini kebenaran adalah hal yang utama.
Tapi menjadi keliru tatkala sikap tersebut dihinggapi 'ujub (bangga diri). Ujub
merupakan penyakit hati yang cukup kronis. Ia bersembunyi di balik kelebihan-
kelebihan diri kemudian pelan-pelan mengotorinya. Bisa saja seseorang selamat dari
perbuatan dosa tapi ia kemudian terjerumus ke dalam jurang yang lebih dalam, yakni
ujub. Mesti diingat, menghindari perbuatan dosa memang hal yang amat penting, tapi
yang lebih penting lagi bagi seseorang yang terbebas dari dosa adalah menghindari
sifat bangga diri. Sebuah maqalah bijak berujar, Perbuatan dosa yang membuatmu
menyesal jauh lebih baik ketimbang beribadah yang disertai rasa ujub.

Watak buruk dari kelanjutan sifat ujub biasanya adalah merendahkan orang lain. Amal
ibadah yang melimpah, apalagi disertai pujian dan penghormatan dari masyarakat
sekitar, sering membuat orang lupa lalu dengan mudah menganggap remeh orang lain.
Orang-orang semacam ini umumnya terjebak dengan penampilan luar. Mereka menilai
sesuatu hanya dari yang tampak secara kasat mata. Padahal, bisa saja orang yang
disangkanya buruk, di mata Allah justru lebih mulia karena lebih banyak memiliki
kebaikan namun lantaran bukan tipe orang yang suka pamer amal itu pun luput dari
pandangan mata kita.

Jamaah shalat Jumat hadkumullh,

Dakwah berasal dari lafadh da-yad yang secara bahasa semakna dengan an-
nid dan ath-thalab. An-nid berarti memanggil, menyeru, mengajak; sementara ath-
thalab dapat diterjemahkan dengan meminta atau mencari. Istilah dakwah bisa
didefinisikan sebagai upaya mengajak atau menyeru kepada iman kepada Allah dan
segenap syariat yang dibawa Rasulullah serta nilai-nilai positif lainnya.

Dakwah sangat dianjurkan dalam Islam sebagai pelaksanaan prinsip amar maruf
nahi (anil) munkar. Umat Islam diperintah untuk menyebarkan pesan kebaikan (maruf)
dan tak boleh berdiam diri ketika melihat kemunkaran. Hanya saja, dalam praktiknya
semua dijalankan dalam koridor yang bijaksana, sehingga usaha amar maruf
terealisasi dengan baik dan pencegahan kemungkaran pun tak menimbulkan
kemungkaran baru lantaran tidak dijalankan dengan cara-cara yang mungkar.

Karena itu, kita mengenal dalam proses dakwah dua hal, yaitu isi dakwah dan cara
dakwah. Terkait isi, dakwah memiliki lingkup yang sangat luas, dari persoalan akidah,
ibadah hingga akhlak keseharian seperti ajakan untuk tidak menggunjing dan
membuang sampah sembarangan. Dakwah memang bukan monopoli tugas seorang
dai, siapa pun bisa menjadi pengajak, namun dakwah menekankan pelakunya memiliki
bekal ilmu yang cukup tentang hal-hal yang ingin ia serukan. Hal ini penting agar
dakwah tak hanya meyakinkan tapi juga tidak sepotong-sepotong.

Yang tak kalah penting adalah cara. Betapa banyak hal-hal positif di dunia ini gagal
menular karena disebarluaskan dengan cara-cara yang keliru. Begitu pula dengan
dakwah. Dalam hal ini kita bisa berkaca kepada Rasulullah. Di tengah fanatisme suku-
suku yang parah, kebejatan moral yang luar biasa, dan kendornya prinsip-prinsip
tauhid, dalam jangka waktu hanya 23 tahun beliau sukses membuat perubahan besar-
besaran di tanah Arab. Bagaimana ini bisa dilakukan? Kunci dari kesuksesan revolusi
peradaban itu adalah dawah bil hikmah, seruan yang digaungkan dengan cara-cara
bijaksana. Akhlak Nabi lebih menonjol ketimbang ceramah-ceramahnya. Beliau tak
hanya memerintah tapi juga meneladankan. Rasulullah juga pribadi yang egaliter,
memahami psikologi orang lain, menghargai proses, membela orang-orang terzalimi,
dan tentu saja berperangai ramah dan welas asih.
Hadirin yang semoga dirahmati Allah,

Khatib kembali mengingatkan diri sendiri dan jamaah sekalian bahwa ada rambu-rambu
dakwah yang perlu diingat, yakni jangan membenci dan merendahkan orang lain,
apalagi mencaci maki dan memojokkannya. Karena jika hal itu kita lakukan maka
keluarlah kita dari motivasi dakwah sesungguhnya. Dakwah berangkat dari niat baik,
untuk tujuan yang baik, dan semestinya dilakukan dengan cara-cara yang baik. Itulah
makna sejati dakwah. Bila ada pendakwah gemar menjelek-jelekan orang atau
golongan lain, mungkin perlu diingatkan lagi tentang bahasa Arab dasar
bahwa da'wah artinya mengajak bukan mengejek. Sehingga, dakwah mestinya ramah
bukan marah, merangkul bukan memukul.

Yang paling mengerikan tentu saja adalah dakwah dikuasai amarah dan hawa nafsu
sehingga menimbulkan pemaksaan dan aksi-aksi kekerasan, hanya kerena
menganggap orang lain sebagai musyrik, musuh Allah, dan karenanya harus diperangi.
Jika sudah sampai pada level ini, pendakwah tak hanya sudah melenceng jauh dari
esensi dakwah, tapi juga pantas menjadi sasaran dakwah itu sendiri. Al-Qur'an sudah
sangat benderang menegaskan bahwa tak ada paksaan dalam agama, dan oleh sebab
itu menggunakan pendekatan kekerasan sama dengan mencampakkan pesan ayat
suci.

Dalam sebuah hadits dijelaskan:

:

:



. "


: " :

!

"
Dari Hudzaifah radliyallhu anh, Rasulullah shallallhu alaihi wasallam bersabda,
Sungguh yang paling aku khawatirkan pada kalian adalah orang yang membaca Al-
Quran sampai terlihat kegembiraannya dan menjadi benteng bagi Islam, kemudian ia
mencampakkannya dan membuangnya ke belakang punggung, membawa pedang
kepada tetangganya dan menuduhnya syirik. Saya (Hudzaifah) bertanya: Wahai Nabi,
siapakah yang lebih pantas disifati syirik, yang menuduh atau yang dituduh?
Rasulullah menjawab: Yang menuduh. (HR Ibnu Hibban)

Nadzubillhi mindzlik. Semoga kita semua dilindungi Allah dari perbuatan buruk baik
kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.

.




Khutbah II

.
.
.


.
:

:

.




.
Jamaah shalat Jumat asadakumullh,

Tekun dalam beribadah kemudian mengajak sesamanya untuk melakukan hal yang
serupa merupakan sesuatu yang dipuji dalam agama. Hanya saja, dakwah atau
mengajak memiliki batasan-batasan. Setidaknya ada dua tips yang bisa dipegang agar
seseorang tak melampaui batasan tugas sebagai seorang pengajak. Pertama,
muhsabah (introspeksi). Meneliti aib orang yang paling bagus adalah dimulai dari diri
sendiri. Muhasabah akan mengantarkan kita pada prioritas perbaikan kualitas diri
sendiri, yang secara otomatis akan membawa pengaruh pada perbaikan lingkungan
sekitarnya. Sebagaimana dikatakan Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, Ashlih nafsaka
yashluh lakan ns. Perbaikilah dirimu maka orang lain akan berbuat baik kepadamu.

Kedua, tawdlu (rendah hati). Sikap ini tidak sulit tapi memang sangat berat. Rendah
hati berbeda dari rendah diri. Tawaduk adalah kemenangan jiwa dari keinginan ego
yang senantiasa merasa unggul: merasa paling benar, paling pintar, paling saleh, dan
seterusnyayang ujungnya meremehkan orang lain. Tawaduk membuahkan sikap
menghargai orang lain, sabar, dan menghormati proses. Dalam perjalanan dakwah,
tawaduk terbukti lebih menyedot banyak simpati dan menjadi salah satu kunci
suksesnya sebuah seruan kebaikan. Fakta ini bisa kita lihat secara jelas dalam
perjuangan Nabi dan pendakwah generasi terdahulu yang tercatat sejarah hingga
kini. Wallhu alam bish-shwb.





.



.
. .


!

You might also like