Skenario 2
Skenario 2
Skenario 2
Skenario
“Memory Loss”
The patient was 66 years old woman who was refered to a memory clinic
for futher evaluation of a 5-month history of rapidly progressive dementia. The
initial symptoms included memory loss, “feeling odd”, anorexia, and
unintentional weight loss. At her first visite to the memory clinic, her son and
husband reported that her cognitive promblems had acutely worsened in the
previous two weeks. She now had problems with a short term memory and
functional abilities, including getting dressed, using the toilet, and getting lost in
her house. Her psysical exam awas significant for perseveration, anomic aphasia,
alexia, agnosia, and apraxia. She was unable to perform other complicated tasks
due to perseveration. For example, when asked about the month, date, day, and
year. She answered “December” for each, when in fact, it was already March,
besides dementia, this patient also underwent treatment for chronic kidney disease
due to uncontrolled hypertension.
STEP 1
STEP 2
STEP 3
1. Etiologi:
a. Defek kromosom\, genetik
b. Neurotransmitter
c. Reversible dementia and Irreversible dementia
Patofisiologi demensia:
c. Pengaruh pengobatan
d. Defisit asam amino
STEP 4
1. Patomekasime demensia
5
Skema:
Macam-macam Macam-macam
Patofisiologi Patofisiologi
Etiologi Etiologi
Kriteria Diagnosisi Kriteria Diagnosisi
Demensia Depresi
SINDROM GERIATRI
Delirium
Etiologi
Kriteria Diagnosisi
STEP 5
STEP 6
(BELAJAR MANDIRI)
STEP 7
1. Perubahan Fisiologis dan Patofisiologis Kognitif
A. Sistem persarafan
1) Saraf pusat
Menurut Martono (2004) pada lansia akan terjadi penurunan berat
otak sebesar 10%. Berat otak 350 gram pada saat kelahiran, kemudian
meningkatkan menjadi 1,375 gram pada usia 20 tahun, berat otak mulai
menurun pada usia 45- 50 tahun penurunan ini kurang lebih 11% dari
berat maksimal. Berat dan volume otak berkurang rata-rata 5-10%
selama umur 20-90 tahun. Otak mengandung 100 juta sel termasuk
diantaranya sel neuron yang berfungsi menyalurkan impuls listrik dari
susunan saraf pusat. Pada penuaan, otak kehilangan 100.000
neuron/tahun. Neuron dapat mengirimkan signal kepada sel lain dengan
kecepatan 200 mil/jam. Terjadi atrofi cerebal (berat otak menurun 10%)
antar usia 30-70 tahun. Secara berangsurangsur tonjolan dendrit di
neuron hilang disusul membengkaknya batang dendrit dan batang sel.
Secara progresif terjadi fragmentasi dan kematian sel. Pada semua sel
terdapat deposit lipofusin (pigment wear and tear) yang terbentuk di
sitoplasma, kemungkinan berasal dan lisosom atau mitokondria
(Suhartin, 2010).
2) Saraf perifer
Saraf perifer tepi adalah jaringan saraf untuk semua gerakan (saraf
motorik) dan sensasi (saraf sensoris). Jaringan saraf ini berhubungan
dengan sistem sarat pusat (SSP) melalui batang otak dan pada beberapa
tempat sepanjang kord spinal. Ia menuju berbagai bagian tubuh. Saraf
perifer membentuk komunikasi antara otak dan organ, pembuluh darah,
otot dan kulit. Perintah otak akan dihantarkan oleh saraf motor, dan
informasi dihantar kembali ke otak oleh saraf sensori. Penuaan
menyebabkan penurunan presepsi sensorik dan respon motorik pada
7
susunan SSP. Hal ini terjadi karena SSP pada usia lanjut usia mengalami
perubahan. Berat otak pada lansia berkurang berkaitan dengan
berkurangnya kandungan protein dan lemak pada otak sehingga otak
menjadi lebih ringan. Akson, dendrit dan badan sel saraf banyak
mengalami kematian, sedang yang hidup banyak mengalami perubahan.
Dendrit yang berfungsi untuk komunikasi antar sel mengalami perubahan
menjadi lebih tipis dan kehilangan kontak antar sel. Daya hantar saraf
mengalami penurunan 10% sehingga gerakan menjadi lambat. Akson
dalam medula spinalis menurun 37%. Perubahan tersebut mengakibatkan
penurunan kognitif, koordinasi, keseimbangan, kekuatan otot, reflek,
perubahan postur dan waktu reaksi (Sherwood, 2009). Perubahan dalam
sistem neurologis dapat termasuk kehilangan dan penyusutan neuron,
dengan potensial 105 kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun.
Secara fungsional terdapat suatu perlambat reflek tendon, terdapat
kecenderungan kearah tremor dan langkah yang pendek-pendek atau
gaya berjalan dengan langkah kaki melebar disertai dengan berkurangnya
gerakan yang sesuai. Waktu reaksi menjadi lebih lambat, dengan
penurunan atau hilangnya hentakan pergelangan kaki dan pengurangan
reflek lutut, bisep dan trisep terutama karena pengurangan dendrit dan
perubahan pada sinaps, yang memperlambat konduksi (Suhartin, 2010).
Dengan adanya perubahan tersebut tentunya akan berpengaruh
pada keadaan postural dan kemampuan lansia dalam menjaga
keseimbangan tubuhnya terhadap bidang tumpu. Kondisi penurunan
kemampuan visual, vestibular dan somatosensoris tentunya akan
memperburuk keseimbangan pada lansia. Tubuh akan mengalami
gangguan dalam mempersepsikan base of support atau landasan tempat
berpijak. Kondisi muskuloskeletal yang mengalami penurunan juga
berpengaruh pada keseimbangan otot dan postural. Perubahan postur
tersebut berpengaruh pada perubahan Center of Gravity (COG) tubuh
terhadap bidang tumpu. Otot-otot baik ekstremitas bawah maupun atas
akan mengalami penurunan kekuatan. Akibat dari keadaan tersebut lansia
8
tahap awal demensia atau cedera otak dan kurang dipengaruhi oleh
proses penuaan. Tingkat perkembangan proses ini diperkirakan mulai
melambat pada masa dewasa akhir, didapatkan beberapa bukti penurunan
tersebut terjadi perlahan-lahan mulai dari dekade kesembilan usia.
Penurunan status kognitif pada lansia digambarkan juga dengan
menurunnya kecepatan perilaku sehari-hari yang telah diuji baik melalui
tes laboratorium maupun situasi sehari-hari. Para lansia juga diketahui
lebih sulit menerima stimulus, hal ini dikaitkan dengan terjadinya atrofi
lobus frontal pada proses penuaan.
2) Patomekanisme
Defisiensi neurotransmiter asetilkolin sering dihubungkan dengan
sindrom delirium. Penyebabnya antara lain gangguan metaboilisme
oksidatif di otak yang dikaitkan dengan hipoksia dan hipoglikemi. Faktor
lain yang berperan antara lain meningkatnya sitokin otak pada penyakit
akut. Gangguan atau defisiensi asetilkolin atau neurotransmiter lain
maupun peningkatan sitokin akan mengganggu transduksi sinyal
neurotransmiter serta second messenger system. Pada gilirannya, kondisi
tadi akan memunculkan gejala-gejala serebral dan aktivitas psikomotor
yang terdapat pada sindrom delirium (Sudoyo, 2009).
Hipotesis utama yaitu gangguan metabolisme oksidatif yang
reversibel dan abnormalitas dari neurotransmiter (Gunther , 2008).
a) Asetilkolin
Data studi mendukung hipotesis bahwa asetilkolin adalah salah
satu dari neurotransmiter yang penting dari patogenesis terjadinya
delirium. Kadar asetilkolin yang redah menyebabkan munculnya
gejala-gejala pada pasien delirium. Hal yang mendukung teori ini
adalah bahwa obat antikolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan
bingung, pada pasien dengan transmisi kolinergik yang terganggu juga
muncul gejala ini. Pada pasien pasca operatif delirium serum
antikolinergik juga meningkat (Gunther , 2008).
b) Dopamin
Pada otak, hubungan muncul antara aktivitas kolinergik dan
dopaminergik. Pada delirium muncul aktivitas berlebih dari
dopaminergik. Pengobatan simptomatis dengan pemberian obat
antipsikosis seperti haloperidol dan obat penghambat dopamin
(Gunther , 2008).
c) Neurotransmiter lainnya
Serotonin, terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan
encefalopati hepatikum (Gunther , 2008).
11
3) Gejala tanda
Kriteria Diagnosis Berdasarkan ICD-10 dan PPDGJ-III
a) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian
b) Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi,
gangguan berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan
dengan demensia).
c) Gangguan Psikomotor berupa hipoaktivitas atau hiperaktivitas,
pengalihan aktivitas yang tidak terduga, waktu bereaksi yang lebih
panjang, arus pembicaran yang bertambah atau berkurang, reaksi
terperanjat yang meningkat.
d) Gangguan siklus tidur berupa insomnia, atau pada kasus yang berat
tidak dapat tidur sama sekali atau siklus tidurnya terbalik yaitu
mengantuk siang hari. Gejala memburuk pada malam hari dan mimpi
yang mengganggu atau mimpi buruk yang dapat berlanjut menjadi
halusinasi setelah bangun tidur.
e) Gangguan emosional berupa depresi, ansietas, takut, lekas marah,
euforia, apatis dan rasa kehilangan akal (Sadock & Virginia, 2010).
13
4) Jenis-jenis delirium
a) Delirium Akibat Kondisi Medis Umum
i. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan
terhadap lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya
kemampuan memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan
perhatian
ii. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi,
gangguan berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan
dengan demensia
iii. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek,
cenderung berfluktuasi dalam sehari
iv. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium
bahwa gangguan disebabkan oleh konsekuensi fisiologik langsung
suatu KMU (Sadock & Virginia, 2010).
B. Demensia
1) Definisi
Demensia merupakan sindroma yang ditandai oleh berbagai
gangguan fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif
yang dapat dipengaruhi pada demensia adalah inteligensia umum, belajar
dan ingatan, bahasa, memecahkan masalah, orientasi, persepsi, perhatian,
konsentrasi, pertimbangan dan kemampuan sosial. Disamping itu, suatu
diagnosis demensia menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders edisi keempat (DSM-IV) mengharuskan bahwa gejala
menyebabkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan yang berat dan
merupakan suatu penurunan dari tingkat fungsi sebelumnya (Darmojo,
2011).
2) Macam-macam demensia
Secara garis besar demesia pada usia lanjut dapat dikategorikan
dalam golongan yaitu degeneratif primer, multi-infark, reversibel atau
sebagian reversibel, dan gangguan lain terutama neurologik. Akhir-akhir
ini dikatakan bahwa dementia badan Levy dan fronto-temporal
merupakan dementia terbanyak ke-3 dan ke-4 (Darmojo, 2011).
17
Patomekanisme
Komponen utama patologi penyakit Alzheimer adalah plak senilis
dan neuritik, neurofibrillaru tangles, hilangnya neuron/sinaps, degenerasi
granulovakuolar, dan Hirano bodies. Plak neuritik mengandung b-
amyloid ekstrasellular yang dikelilingi neuritis distrofik, sementara plak
difus (atau nonneuritik) adalah istilah yang kadang digunakan untuk
deposisi amyloid tanpa abnormalitas neuron. Deteksi adanya Apo E di
dalam plak β-amyloid dan studi mengenai ikatan high-avidity antara Apo
E dengan β-amyloid menunjukkan bukti hubungan antara
amyloidogenesis dan Apo E. Plak neuritik juga mengandung protein
komplemen, mikroglia yang teraktivasi, sitokin-sitokin, dan protein fase
akut, sehingga komponen inflamasi juga diduga terlihat pada patogenesis
penyakit Alzheimer. Gen yang mengkode the amyloidprecursor protein
(APP) terletak pada kromosom 21, menunjukkan hubungan potensial
patologi penyakit Alzhimer dengna sindrom Down (trisomi-21), yang
diderita oleh semua pasien penyakit Alzheimer yang muncul pada usia 40
tahun (Sudoyo, 2009).
Hirano bodies pertama kali diamati pada neuron oleh Asao Hirano
pada tahun 1965, yaitu merupakan agregat intraselular dari aktin dan
protein aktin terkait sel saraf. Hirano bodies sering digambarkan
intraseluler, parakristal, eosinofilik dan berbentuk batang di dalam
neuron individu dengan penyakit neuro-degeneratif termasuk Alzheimer
dan beberapa bentuk penyakit Creutzfeldt-Jacob. Meskipun Hirano
bodies paling sering ditemui di dalam neuron dari sistem saraf pusat
terutama di bagian somer penderita Alzheimer, terdapat pula di dalam
sel glia dan di akson saraf perifer. Pembelajaran imunohistokimia dan
mikroskopis elektron telah menunjukkan bahwa komponen utama dari
Hirano bodies adalah mikro-filamen yang abnormal, dan tidak hanya
molekul yang terkait dengan sitoskeleton sel, tetapi juga beberapa protein
yang berhubungan dengan stres dan faktor pertumbuhan seperti protein
prekursor beta-amyloid, hippocampal cholinergic neurostimulating
peptide (HCNP), dapat mengubah faktor pertumbuhan beta 3 yang ada
dalam Hirano bodies. Akumulasi HCNP dalam Hirano bodies
menunjukkan bahwa penderita mungkin memiliki gangguan sistem
kolinergik, yang dianggap penting untuk belajar dan pembentukan
memori, dan karenanya terkait dengan gangguan memori dari Alzheimer
(Maselli, 2002).
Tanda Gejala
Gejala Alzheimer dibedakan atas tiga fase :
i. Fase I
Ditandai dengan gangguan memori subyektif, konsentrasi buruk
dan gangguan visio-spasial. Lingkungan yang biasa menjadi asing,
sukar menemukan jalan pulang yang biasa dilalui. Penderita mungkin
mengeluh agnosa kanan dan kiri. Bahkan pada fase dini ini rasa tilikan
terganggu (Darmojo, 2011).
21
ii. Fase II
Terjadi tanda yang mengarah pada kerusakan vokal, kortikal,
walaupun tidak terlihat pola defisit yang khas. Gejala neurologis
mungkin termasuk tanggapan ekstensor dan beberapa kelemahan
fasial, delusi dan halusinasi mungkin terdapat, walaupun pembicaraan
mungkin masih kelihatan normal (Darmojo, 2011).
iii. Fase III
Pembicaraan terganggu berat, mungkin sama sekali hilang.
Penderita tampak terus menerus apatik. Banyak penderita tidak
mengenali diri sendiri atau orang lain yang dikenalinya. Penderita juga
sering berbaring ditempat tidur, Inkontinensia urin. Gejala neurologik
menunjukkan gangguan berat dari gerak langkah, tonus otot, sindrom
kluver-bucy (apatis, gangguan penglihatan, gerak mulut tidak
terkontrol, amnesia dan bulema) (Darmojo, 2011).
Patomekanisme
Pada demensia vaskular, penyakit vaskular menghasilkan efek
fokal atau difus pada otak dan menyebabkan penurunan kognitif.
Penyakit serebrovaskular fokal terjadi sekunder dari oklusi vaskular
emboli atau trombotik. Area otak yang berhubungan dengan
penurunan kognitif adalah substansia alba dari hemisfera serebral dan
nuklei abu-abu dalam, terutama striatum dan thalamus
(Alagiakrishnan, 2010).
Mekanisme demensia vaskular yang paling banyak adalah infark
kortikal multipel, infark single strategi dan penyakit pembuluh darah
kecil (Alagiakrishnan, 2010).
i. Demensia multi-infark: kombinasi efek dari infark yang berbeda
menghasilkan penurunan kognitif dengan menggangu jaringan
neural.
ii. Demensia infark single: lesi area otak yang berbeda menyebabkan
gangguan kognitif yang signifikan. Ini dapat diperhatikan pada
kasus infark arteri serebral anterior, lobus parietal, thalamus dan
satu girus.
iii. Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan 2 sindrom major,
penyakit Binswanger dan status lakunar. Penyakit pembuluh darah
kecil menyebabkan perubahan dinding arteri, pengembangan
ruangan Virchow-Robin dan gliosis parenkim perivaskular.
23
iv. Penyakit lakunar disebabkan oleh oklusi pembuluh darah kecil dan
menghasilkan lesi kavitas kecil di otak akibat dari oklusi cabang
arteri penetrasi yang kecil. Lakunae ini ditemukan lebih sering di
kapsula interna, nuklei abu-abu dalam, dan substansia alba. Status
lakunar adalah kondisi dengan lakunae yang banyak,
mengindikasikan adanya penyakit pembuluh darah kecil yang berat
dan menyebar.
v. Penyakit Binswanger (juga dikenal sebagai leukoencephalopati
subkortikal) disebabkan oleh penyakit substansia alba difus.
Penyakit ini ditandai dengan adanya banyak infark-infark kecil
pada substansia alba, jadi menyerang daerah kortikal. Pada
penyakit ini, perubahan vaskular yang terjadi adalah fibrohialinosis
dari arteri kecil dan nekrosis fibrinoid dari pembuluh darah otak
yang lebih besar. Walaupun penyakit Binswanger sebelumnya
dianggap sebagai kondisi yang jarang, kemajuan teknik pencitraan
yang canggih dan kuat, seperti pencitraan resonansi magnetik
(magnetic resonance imaging: MRI), telah menemukan bahwa
kondisi tersebut adalah lebih sering daripada yang sebelumnya
dipikirkan (Alagiakrishnan, 2010).
Tanda Gejala
Tanda dan gejala kognitif pada demensia vaskular selalunya
subkortikal, bervariasi dan biasanya menggambarkan peningkatan
kesukaran dalam menjalankan aktivitas harian seperti makan,
berpakaian, berbelanja dan sebagainya. Hampir semua kasus demensia
vaskular menunjukkan tanda dan simptom motorik (Alagiakrishnan,
2010).
Tanda dan gejala fisik:
i. Kehilangan memori, pelupa
ii. Lambat berfikir (bradifrenia)
iii. Pusing
iv. Kelemahan fokal atau diskoordinasi satu atau lebih ekstremitas
24
v. Inersia
vi. Langkah abnormal
vii. Konsentrasi berkurang
viii. Perubahan visuospasial
ix. Penurunan tilikan
x. Defisit pada fungsi eksekutif seperti kebolehan untuk inisiasi,
merencana dan mengorganisasi
xi. Sering atau Inkontinensia urin dan alvi. Inkontinensia urin terjadi
akibat kandung kencing yang hiperrefleksi (Alagiakrishnan, 2010).
Patomekanisme
Pemeriksaan makroskopik pada otak seseorang yang mengalami
penyakit parkinson memperlihatkan adanya atrofi ringan di daerah
frontal dengan hilangnya pigmen melanin di daerah midbrain saat
ditilik secara mikroskopik. Secara mikroskopik juga ditemukan
adanya degenerasi sel dopaminergik dan keberadaan badan Lewy
(Lewy bodies/LB) pada neuron-neuron yang tersisa, prosesus
substansia nigra pars compacta (SNpc), nukleus lain di batang otak,
serta region-region lain seperti otak bagian medial temporal, kortikal,
dan sistem limbik. Badan Lewy memiliki konsentrasi alfa-synuclein
dan merupakan penanda patologik utama dari penyakit ini. Mutasi
pada gen alfa-synuclein dapat menyebabkan penyakit Parkinson
familial dengan cara mempromosi formasi alfa-synuclein-positive
filaments yang akan beragregasi menjadi badan Lewy dan neurit
Lewy. Hal ini akan pertama terjadi di nukleus olfaktorius anterior dan
daerah bawah batang otak (tepatnya di nukleus glossofaringeal dan
vagal), dan juga berkaitan dengan lokus seruleus, n. gigantocellularis,
dan nukelus raphe. Kemudian formasi badan Lewy tersebut akan
menyebar ke nukleus magnoseluler di daerah basal forebrain, nukelus
sentralis amigdala, dan SNpc tadi. Apabila sudah semakin lanjut maka
dapat menyebar sampai ke thalamus dan korteks serebri. Keterlibatan
27
Tanda Gejala
Gambaran klinik bervariasi, tetapi selalu terdapat gambaran 2
dari 3 keadaan yaitu : fluktuasi kognisi, halusinasi visual dan
parkinsonisme. Dapatan yang mendukung diantaranya adalah : jatuh,
sinkope, hilang kesadaran sepintas, sensitivitas neuroleptik, delusi dan
halusinasi. Adanya stroke harus disingkirkan, juga penyakit lain yang
mempunyai gambaran yang mirip. Gambaran klinis yang khas
demensia haruslah juga didapati. Gangguan memori pada DLB
didapatkan lebih ringan. Sedang dengan demensia vaskular, profil
neuropsikologiknya hampir serupa, akan tetapi untuk memori yang
baru lebih ringan (Darmojo, 2011).
Patomekanisme
Proporsi yang lebih tinggi dari kasus FTD tampaknya memiliki
komponen keluarga dari penyakit neurodegeneratif yang lebih umum
seperti penyakit Alzheimer. Semakin banyak mutasi dan varian
genetik yang sedang diidentifikasi sepanjang waktu (Hardy, 2006).
i.Tau-positif demensia frontotemporal dengan parkinsonisme (FTDP-
17) disebabkan oleh mutasi pada MAPT gen pada kromosom 17 yang
mengkode protein tau. Telah ditentukan bahwa ada hubungan
langsung antara jenis tau mutasi dan neuropatologi yang mutasi gen.
Mutasi di persimpangan sambatan akson 10 dari tau menyebabkan
pengendapan selektif tau berulang dalam neuron dan glia. Fenotip
patologis yang berhubungan dengan mutasi di tempat lain di tau
kurang diprediksi dengan baik kusutnya neuro-fibrillary (yang terdiri
dari ulangan 3 dan 4 tau) dan badan Pick (yang terdiri dari ulangan 3
tau). Kehadiran deposito tau dalam glia juga variabel dalam keluarga
dengan mutasi di luar akson 10. Penyakit ini sekarang merujuk ke
FTDP-17T. FTD menunjukkan hubungan ke daerah lokus tau
kromosom 17, namun diyakini bahwa ada dua lokus yang mengarah
ke FTD satu sama lain pada kromosom 17 (Hardy, 2006).
ii.FTD disebabkan oleh FTLD-TDP43 memiliki banyak penyebab
genetik. Beberapa kasus disebabkan oleh mutasi pada GRN gen, juga
terletak pada kromosom 17. Lainnya disebabkan oleh VCP mutasi,
meskipun pasien ini hadir dengan gambar kompleks multisistem
proteinopathy yang dapat mencakup amyotrophic lateral sclerosis ,
miopati inklusi tubuh , penyakit Paget tulang , dan FTD. Penambahan
terbaru ke dalam daftar adalah ekspansi ulangan heksanukleotida di
intron 1 dari C9ORF72 . Hanya satu atau dua kasus telah dilaporkan
menggambarkan TARDBP (yang TDP-43 gen) mutasi dalam FTD
klinis murni (FTD tanpa MND) (Hardy, 2006).
31
Gejala tanda
Berbeda dengan distribusi patologi parietal-temporal pada
penyakit Alzheimer, penyakit Pick ditandai oleh atrofi yang lebih
banyak dalam daerah frontotemporal. Daerah tersebut juga mengalami
kehilangan neuronal, gliosis, dan adanya badan Pick neuronal yang
merupakan massa elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan pada
beberapa spesimen postmortem tetapi tidak diperlukan untuk
diagnosis. Penyebab penyakit Pick tidak diketahui. Penyakit Pick
berjumlah kira-kira lima persen dari semua demensia yang
irreversibel. Penyakit ini paling sering terjadi pada laki-laki,
khususnya mereka yang mempunyai sanak saudara derajat pertama
dengan kondisi tersebut. Penyakit Pick sulit dibedakan dari demensia
tipe Alzheimer, walaupun stadium awal penyakit Pick lebih sering
ditandai oleh perubahan kepribadian dan perilaku, dengan fungsi
kognitif lain yang relatif bertahan. Gambaran sindroma Kluver-Bucy
(sebagai contohnya, hiperseksualitas, plasiditas, hiperoralitas) adalah
jauh lebih sering pada penyakit Pick dibandingkan pada penyakit
Alzheimer (Darmojo, 2011).
32
Patomekanisme
Huntington gen mengkode “highly conserved” protein Huntington
yang didistribusi meluas di neuron dalam CNS, namun fungsinya tidak
diketahui. Biasanya protein Huntington terletak di dalam sitoplasma, dan
diasosiasikan dengan permukaan organelles seperti vesicles, synaptic
vesicles, microtubules, dan mitochondria (Rowland, 2005).
b) Eksitoksisitas sel
awal onset gejala HD dan lebih tinggi kadar degenerasi di basal ganglia
(Rowland, 2005).
Pada HD, onset usia sama bagi homozigot dan heterozigot. Namun
pada homozigot, gejala klinis dan progresivitas penyakit lebih cepat,
dikatakan karena pergandaan dari jumlah protein mutan dan
sekumpulannya yang menyebabkan apoptosis sel yang lebih banyak dan
cepat. Kelainan genetik lain dengan pengembangan gangguan
trinucleotide atau ekspansi kodon triplet berulang adalah Fragile X
Syndrome, Kennedy syndrome (kromosom X-linked spinal dan atrofi
muskulus bulbar), distrofi miotonik, atrofi spinoserebral, dan atrofi
dentatorubral-pallidoluysian. Patogenesis yang sama bagi semua kelainan
ini telah disetujui sebagai usulan mekanisme, namun masih belum pasti
adakah agregasi protein di dalam sel neuron yang merupakan faktor
toksik atau protektif. Sepertiga individu penderita HD mempunyai
haplotype yang sama, justru menunjukkan masih dalam keturunan yang
sama. Dua pertiga individual lain kemungkinan besar menderita HD dari
mutasi spontan. Diagnosis HD dapat ditegakkan secara pasti dari DNA
atau tes genetik, namun diingat bahwa konseling genetik harus dilakukan
sebelum dan sesudah tes DNA tersebut. Selain itu, diagnosis prenatal dan
preklinik dapat dilakukan sekiranya apabila ada indikasi seperti faktor
risiko dari HD. (Rowland, 2005).
35
Gejala tanda
Gejala yang ditimbulkan sama seperti demensia subkortikal
yaitu selain didapatkan demensia juga gejala postur langkah gait
seperti depresi. Pada MRI didapatkan pelebaran vertikel melebihi
proporsi dibanding atropi kortikol otak. Demensia pada penyakit
Huntington ditandai oleh perlambatan psikomotor dan kesulitan
melakukan tugas yang kompleks, tetapi ingatan, bahasa, dan tilikan
tetap relatif utuh pada stadium awal dan menengah dari penyakit.
Tetapi, saat penyakit berkembang, demensia menjadi lengkap dan ciri
yang membedakan penyakit ini dari demensia tipe Alzheimer adalah
tingginya insidensi depresi dan psikosis, disamping gangguan
pergerakan koreoatetoid yang klasik (Darmojo, 2011).
Patomekanisme
Pelupa benigna akibat penuaan dan demensia amnestik terdapat
gangguan memori yang disebabkan :
i. Difisiensi tiamin : yang diakibatkan pemakaian alkohol yang
berlebihan
ii. Lesi pada struktur otot bagian temporal tengah : akibat trauma atau
anoksia
iii. Iskemia global translen (sepintas) : akibat insufisiensi
cerebrovaskular (Darmojo, 2011).
37
Gejala tanda
i. Gejala utama adalah gangguan memori ( pada kedua keadaan
diatas)
ii. Pada demensia terdapat gangguan fungsi kortikel
iii. Pada sindroma amnestik terdapat gangguan pada daya ingat hal
yang baru terjadi
iv. Pelupa benigna akibat penuaan biasannya terlihat sebagai gangguan
daya ingat yang tidak progresif dan tidak menganggu aktivitas
sehari-hari. Biasanya dikenali oleh keluarga, teman karena sering
mengulang pernyataan yang sama atau lupa dengan kejadian yang
baru terjadi (Darmojo, 2011).
b) Gangguan orientasi
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap
orang, tempat, dan waktu. Orientasi dapat terganggu secara progresif
selama perjalanan penyakit demensia. Sebagai contohnya, pasien
dengan demensia mungkin lupa bagaimana kembali ke ruangannya
setelah pergi ke kamar mandi. Tetapi, tidak masalah bagaimana
beratnya disorientasi, pasien tidak menunjukkan gangguan pada
tingkat kesadaran (Sudoyo, 2009).
c) Afasia
Dapat dalam bentuk kesulitan menyebut nama orang atau benda.
Penderita afasia berbicara secara samar-samar atau terkesan hampa,
dengan ungkapan kata-kata yang panjang, dan menggunakan istilah-
istilah yang tak menentu misalnya “anu”, “itu”, “apa itu”. Bahasa lisan
dan tertulis dapat pula terganggu. Pada tahap lanjut, penderita dapat
menjadi bisu atau mengalami gangguan pola bicara yang dicirikan
oleh ekolalia (menirukan apa yang dia dengar) atau palilalia yang
berarti mengulang suara atau kata terus-menerus (Sudoyo, 2009).
d) Apraksia
Adalah ketidakmampuan untuk melakukan gerakan meskipun
kemampuan motorik, fungsi sensorik dan pengertian yang diperlukan
tetap baik. Penderita dapat mengalami kesulitan dalam menggunakan
benda tertentu (menyisir rambut) atau melakukan gerakan yang telah
dikenali (melambaikan tangan). Apraksia dapat mengganggu
keterampilan memasak, mengenakan pakaian, menggambar (Sudoyo,
2009).
e) Agnosia
Adalah ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi
benda maupun fungsi sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tak
dapat mengenali kursi, pena, meskipun visusnya baik. Akhirnya,
penderita tak mengenal lagi anggota keluarganya dan bahkan dirinya
sendiri yang tampak pada cermin. Demikian pula, walaupun sensasi
taktilnya utuh, penderita tak mampu mengenali benda yang diletakkan
39
C. Depresi
1) Patofisiologi
a) Faktor Psikososial
Berkurangnya interaksi sosial dan dukungan sosial yang kurang
baik dapat mengakibatkan penyesuaian diri yang negatif pada lansia.
Menurunnya kapasitas hubungan keakraban dengan keluarga,
berkurangnya interaksi dengan keluarga yang dicintai dapat
menimbulkan perasaan tidak berguna, merasa disingkirkan, tidak
dibutuhkan lagi dan kondisi ini dapat berperan dalam terjadinya
depresi.
b) Kemampuan adaptasi (lamanya tinggal dipanti)
Sulit bagi lansia meninggalkan rumah lamanya yang selama ini
ditempati bersama-sama orang-orang yang dicintainya. Yang tentu
saja mempunyai kenangan manis. Selain itu sikap konservatif lansia
menambah sulit untuk menyesuaikan diri pada lingkungan baru.
Kondisi ini dapat menyebabkan perasaan tertekan, kesedihan dan
keputusasaan.
c) Faktor Psikologi
I. Motivasi Masuk Panti
Motivasi merupakan suatu dorongan dalam pikiran untuk
bertindak. Motivasi sangat penting bagi lansia untuk menentukan
tujuan hidup dan apa yang ingin dicapainya dalam kehidupan di
41
mungkin keluyuran
Pembicaraan Jarang atau cepat, Datar dan jarang, mungkin Jarang atau cepat,
pasien mungkin meledak-ledak, dapat berulang-ulang
inkoheren dimengerti pasien mungkin
inkoheren
72 x serum creatinin
3) Resiko pemberian obat pada usia lanjut dan hubungannya dengan faal
ginjal
a) Efek nefrotoksik obat
Efek nefrotoksik obat pada prinsipnya sama dengan usia
dewasa, hanya pada usia lanjut lebih sering dijumpai karena:
i. Usia lanjut lebih mudah terjadi dehidrasi
ii. Lebih sering terjadi gangguan elektrolit yang akan memberikan
potensi efek nefrotoksik, ini karena terjadinya penurunan fungsi
ginjal dan kurangnya masukan air dan elektrolit.
iii. Usia lanjut lebih sering harus menggunakan obat dalam jangka
lama dan sering multipel.
b) Efek toksisitas obat
Efek toksisitas obat akan meningkat pada usia lanjut, sehingga
hal-hal berikut ini perlu diperhatikan:
i. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas pemakaian aminoglykoside
ii. Neuropati perifer pemakaian nitrofurantoin
iii. Hipoglikemia pada pemakaian chlorpropamide
iv. Asidosis laktat pada pemakaian biguanid
v. Intoksisitas pada pemakaian digitalis/ digoxin
i. Digoxin
ii. Insulin
iii. Aminoglikoside
iv. Chlorpropamide
v. Penisiline
vi. Cephalosporine
vii. Cimetidine
viii. Dll
a) Allopurinol
b) INH
c) Penyekat He
d) Simetidin
e) Kloramfenikol
f) Eritromisin
g) Propoksifen
h) Valproat
i) Ciprofloxasin
j) Metronidazole
k) Fenilbutazol
l) Eritromisin, dll
a) Ripamfisin
b) Lumpinal
c) Diazepam
d) Fenitoin
e) Karbamazepin
f) Alcohol
g) Nikotin
h) Gluthethimide
lagi pada pemakaian kronis (efek inducer dan inhibitor baru efektif
setelah kira-kira satu minggu)
b) Efek samping
c) Dosis
2) Anti-koagulan
Penggolongan Obat Anti Koagulan – Antikoagulan adalah at-zat
yang dapat mencegah pembekuan darah dengan jalan menghambat
pembentukan fibrin. Antagonis dan vitamin K ini digunakan pada
keadaan dimana terdapat kecendrungan untuk membeku yang meningkat,
50
Cara Pemberian
Heparin dapat diberikan secara intravena dan subkutan. Dosis
bagi orang dewasa untuk profilaksis trombosis adalah 5000 IU secara
subkutan diberikan selama 8-12 jam/hari. Untuk antikoagulasi penuh,
selama operasi bypass jantung, dengan dosis 3 mg/kg (300 IU/kg)
digunakan hingga mencapai 3-4 IU heparin/ml darah. Heparin bekerja
dengan cepat di dalam plasma. Heparin memiliki volume distribusi
40-100 ml/kg dan kemudian menuju antitrombin, albumin, fibrinogen
dan protease. Meningkat pada fase protein akut (selama penyakit akut
berlangsung) yang secara signifikan merubah efek klinis. Heparin juga
mengikat trombosit dan protein endotel, mengurangi bio-availabilitas
dan pengaruhnya. Obat ini dimetabolisme di dalam hati, ginjal dan
sistem retikuloendotelial oleh heparinase yang desulphate sisa-sisa
mukopolisakarida dan menghidrolisis daerah disekitarnya. Heparin
memiliki lama kerja 40-90 menit. LMW heparin juga diberikan secara
subkutan dan memiliki keuntungan satu kali dalam pemberian sehari.
LMW heparin digunakan di dalam sirkuit dialisis ekstrakorporeal, dan
telah digunakan pada operasi bypass jantung. LMW heparin banyak
kekurangan protein di dalam plasma, trombosit dan dinding vaskuler
serta bio-availabilitas setelah pemberian subkutan paling kurang 90%.
Tingkat dari LMW heparin bebas lebih dapat diprediksi dan
membutuhkan pengontrolan. Puncak aktivitas anti-Xa dicapai dalam
waktu 3-4 jam setelah injeksi subkutan dan aktivitas terbagi 2 setelah
12 jam. Eliminasinya lebih berpengaruh pada ginjal dan waktu
paruhnya dapat meningkat pada gagal ginjal. (Katzung, 2014).
53
b) Antikoagulan oral
Seperti halnya heparin, antikoagulan oral berguna untuk
pencegahan dan pengobatan tromboemboli. Untuk pencegahan,
umumnya obat ini digunakan dalam jangka panjang. (Katzung, 2014).
Terhadap trombosis vena, efek antikoagulan oral sama dengan
heparin, tetapi terhadap tromboemboli sistem arteri, antikoagulan oral
kurang efektif. (Katzung, 2014).
Antikoagulan oral diindikasikan untuk penyakit dengan
kecenderungan timbulnya tromboemboli,antara lain infark miokard,
penyakit jantung rematik, serangan iskemia selintas, thrombosis vena,
emboli paru. Terdiri dari derivat 4 -hidroksikumarin misalnya :
dikumoral, warfarin dan derivat indan-1,3-dion misalnya : anisindion.
(Katzung, 2014).
Anti koagulan oral menghambat berkurangnya vitamin K.
Pengurangan vitamin K dibutuhkan sebagai kofaktor di dalam
karboksilasi dari residu glutamat pada glikoprotein faktor bekuan II,
VII, IX, dan X, yang mana disintesis di dalam hati. Selama proses
karboksilasi ini berlangsung, vitamin K dioksidasi menjadi vitamin K
– 2,3-epoksid. Anti koagulan oral mencegah reduksi dari senyawa ini
kembali menjadi vitamin K. Untuk bekerja, kumarin harus diutilisasi
di dalam hati. Anti koagulan oral melakukan hal ini berdasarkan pada
54
struktur yang sama dari vitamin K. Aktivitas dari anti koagulan oral
tergantung pada deplesi faktor-faktor tersebut, dimana berkurang
menurut lama kerja dari masing-masing. (Katzung, 2014).
Ada 2 kelompok anti koagulan oral :
I. Kumarin (warfarin dan nicoumalon)
II. Inandiones (phenindione)
Warfarin penggunaannya sudah tersebar luas. Phenindione lebih
sering menyebabkan hipersensitivitas, tetapi dapat berguna apabila
terdapat intoleransi pada penggunaan warfarin. (Katzung, 2014).
Warfarin diberikan secara oral sebagai campuran dari warfarin
D dan warfarin L. Ini sangat cepat diserap hingga mencapai puncak
konsentrasi plasma dalam waktu 1 jam dengan bioavailabilitas 100%.
Bagaimanapun, efek klinisnya tidak akan jelas kelihatan hingga
faktor-faktor pembekuan mengalami deplesi setelah 12-16 jam dan
mencapai puncaknya pada 36-48 jam. Warfarin 99% merupakan
protein (albumin) di dalam plasma pada volume penyebaran yang
kecil. Warfarin di metabolisme dengan cara oksidasi (bentuk L) dan
reduksi (bentuk D), diikuti oleh konjugasi glukoronidasi, dengan lama
kerja sekitar 40 jam. (Katzung, 2014).
Warfarin berjalan melalui plasenta dan bersifat teratogenik pada
kehamilan. Pada periode pasca kelahiran warfarin akan berjalan
melewati payudara dimana menjadi masalah dalam menghasilkan
vitamin K2 dan fungsi hepar yang masih belum berkembang dengan
baik pada bayi yang baru lahir. (Katzung, 2014).
Warfarin memiliki indeks terapeutik yang rendah, terutama bila
berinteraksi dengan obat-obat yang lain. Interaksi dengan obat-obatan
yang lain akan menimbulkan efek warfarin yang terjadi di beberapa
jalur
Efek yang dibuat lebih signifikan karena secara normal hanya
1% warfarin yang bebas dan sebuah perubahan kecil didalam ikatan
protein memiliki efek dramatis pada tingkat warfarin bebas. D-
Thyroxine meningkatkan potensi warfarin oleh karena meningkatnya
55
Indikasi
Untuk meringankan rasa sakit, terutama sakit kepala dan pusing,
sakit gigi, dan nyeri otot serta menurunkan demam. (Katzung, 2014).
Aturan pakai
Dianjurkan agar tablet diminum sesudah makan. Sebaiknya
tablet dilarutkan dulu dalam air dan diminum dengan air yang cukup
banyak. (Katzung, 2014).
Kontraindikasi
Penderita tukak lambung dan peka terhadap derivat asam
salisilat, penderita asma, dan alergi. Penderita yang pernah atau sering
mengalami perdarahan di bawah kulit, penderita yang sedang diterapi
dengan antikoagulan, penderita hemofilia dan trombositopenia, jangan
digunakan pada penderita varicella cacar air/ chicken pox dan gejala
flu serta penderita yang hipersensitif. (Katzung, 2014).
57
Efek samping
Iritasi lambung, mual, muntah. Pemakaian lama dapat terjadi
perdarahan lambung, tukak lambung. Dapat terjadi berkurangnya
jumlah trombosit (trombositopenia). (Katzung, 2014).
3) Psikoaktif
Obat antipsikotik tradisional (fenotiazin dan haloperidol) telah
digunakan secara luas (dan mungkin disalahgunakan) dalam
penatalaksanaan berbagai penyakit kejiwaan pada pasien lansia. Tidak
diragukan lagi bahwa mereka berguna dalam penanganan skizofrenia di
usia lanjut dan juga dalam pengobatan beberapa gejala yang berkaitan
dengan delirium, demensia, agitasi, mengamuk, dan sindrom paranoid
yang terjadi pada sebagian pasien geriatrik. Namun, obat-obatan ini
belum sepenuhnya memuaskan pada berbagai penyakit geriatrik ini dan
dosis jangan ditingkatkan berdasarkan anggapan bahwa penyakit dapat
sepenuhnya dikontrol. Tidak ada bukti bahwa obat-obat ini berguna
dalam demensia Alzeimer dan secara teoritis efek ntimuskarinik
fenotiazin dapat diperkirakan memperparah gangguan daya ingat dan
intelektual. (Katzung, 2014).
Banyak perbaikan yang dijumpai pada pasien dengan agitasi dan
agresif mungkin sebenarnya mencerminkan efek sedatif obat. Jika
diinginkan suatu antipsikotik sedatif, dapat digunakan suatu fenotiazin
misalnya tioridazin. Jika sedasi ingin dihindari, haloperidol atau
antipsikotik atipikal akan lebih sesuai. Namun, haloperidol
memperlihatkan peningkatan toksisitas elstrapiramidal dan perlu
dihindari pada pasien yang sudah mengidap penyakit ekstrapiramisal.
Golongan fenotiazin, khususnya obat lama seperti klorpromazin, sering
menyebabkan hipotensi ortostatik karena efek blokade adreenoseptor α
mereka. Efek ini bahkan lebih nyata pada pasien lanjut usia. Dosis obat-
obat ini seyogianya dimulai dengan sebagian dosis yang diberikan pada
pasien dewasa muda (Katzung, 2014).
58
4) Analgesik
Prinsip penanganan nyeri adalah mengidentifikasi dan
mengeliminasi kausa yang mendasari nyeri, misalnya tumor, infeksi, dll.
Hal ini tidak selalu dapat dilakukan dengan mudah, sehingga pilihan
masuk akal yang biasa dilakukan oleh klinisi adalah menangani
keluhan/gejala dengan tujuan mengurangi nyeri. Meskipun nyeri tidak
dapat dihilangkan, tetapi usaha maksimal dapat dilakukan dengan
penilaian yang teliti tanpa melupa- kan evaluasi respons terapi (Barus,
2015).
Penanganan nyeri pada lansia, sebagaimana penanganan nyeri pada
umumnya, sebaiknya berdasarkan tipe, sifat, dan keparahan nyeri. Terapi
59
Golongan obat
antidepresan • Golongan trisiklik, seperti amitriptilin dan imipramin, tidak dianjurkan untuk
digunakan pada lansia sehubungan dengan efek retensi urin, hipotensi postural,
sedasi, glaukoma, dan aritmia
• Metokarbamol
• Orphenadrin
Penggunaan tramadol harus secara hati- hati, karena dapat
menurunkan ambang batas kejang. Dapat diberikan jika kejang sudah
terkontrol baik. Dapat juga digunakan.
oxycodone±adjuvants
dibatasi sampai 2000 mg/hari. Jika ingin memberikan OAINS, maka pilihan
utama adalah OAINS yang selektif bekerja menghambat COX 2 karena
efek gastrointestinal yang minimal (Barus, 2015).
5) Hipoglikemik
a) Sulfonilurea
Senyawa-senyawa sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada
penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid. Obat-obat kelompok ini
bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, oleh sebab
itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat
berproduksi. Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah
pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh
perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Sifat
perangsangan ini berbeda dengan perangsangan oleh glukosa, karena
ternyata pada saat glukosa (atau kondisi hiperglikemia) gagal
merangsang sekresi insulin, senyawa-senyawa obat ini masih mampu
meningkatkan sekresi insulin. Oleh sebab itu, obat-obat golongan
sulfonilurea sangat bermanfaat untuk penderita diabetes yang kelenjar
pankreasnya masih mampu memproduksi insulin, tetapi karena
sesuatu hal terhambat sekresinya. Pada penderita dengan kerusakan
sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas, pemberian obat-obat
hipoglikemik oral golongan sulfonilurea tidak bermanfaat. Pada dosis
tinggi, sulfonilurea menghambat degradasi insulin oleh hati. (Katzung,
2014).
Golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan untuk penderita
diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta
tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Sulfonilurea
bekerja dengan cara: menstimulasi penglepasan insulin yang
65
Efek Samping
Efek samping obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea
umumnya ringan dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan
saluran cerna dan gangguan susunan saraf pusat. Gangguan saluran
cerna berupa mual, diare, sakit perut, hipersekresi asam lambung dan
sakit kepala. Gangguan susunan saraf pusat berupa vertigo, bingung,
ataksia dan lain sebagainya. Gejala hematologik termasuk leukopenia,
trombositopenia, agranulosistosis dan anemia aplastik dapat terjadi
walau jarang sekali. Klorpropamida dapat meningkatkan ADH
(Antidiuretik Hormon). Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak
tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal
atau pada lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-obat
hipoglikemik oral dengan masa kerja panjang. (Katzung, 2014).
Interaksi Obat
Banyak obat yang dapat berinteraksi dengan obat-obat
sulfonilurea, sehingga risiko terjadinya hipoglikemia harus
diwaspadai. Obat atau senyawa-senyawa yang dapat meningkatkan
risiko hipoglikemia sewaktu pemberian obat-obat hipoglikemik
66
d) Golongan Biguanid
Biguanid meningkatkan kepekaan reseptor insulin, sehingga
absorbsi glukosa di jaringan perifer meningkat dan menghambat
glukoneogenesis dalam hati dan meningkatan penyerapan glukosa di
jaringan perifer (Tjay dan Rahardja, 2007).
Obat hipoglikemik oral golongan biguanida bekerja langsung
pada hati (hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-
senyawa golongan biguanida tidak merangsang sekresi insulin, dan
hampir tidak pernah menyebabkan hipoglikemia. Satu-satunya
senyawa biguanida yang masih dipakai sebagai obat hipoglikemik oral
saat ini adalah metformin. Metformin masih banyak dipakai di
beberapa negara termasuk Indonesia, karena frekuensi terjadinya
asidosis laktat cukup sedikit asal dosis tidak melebihi 1700 mg/hari
dan tidak ada gangguan fungsi ginjal dan hati. Metformin juga dapat
menurunkan kadar trigliseridan hingga 16%, LDL kolesterol hingga
8% dan total kolesterol hingga 5%, dan juga dapat meningkatkan
HDL kolesterol hingga 2% (Soegondo, 2004). Pada pemakaian
tunggal, metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah sampai
20% (Waspadji, 2004).
68
Efek Samping
Efek samping yang sering terjadi adalah nausea, muntah,
kadang-kadang diare, dan dapat menyebabkan asidosis laktat.
(Katzung, 2014).
Kontra Indikasi
Sediaan biguanida tidak boleh diberikan pada penderita
gangguan fungsi hepar, gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >
1,5), penyakit jantung kongesif dan wanita hamil. pasien-pasien
dengan kecenderungan hipoksemia, misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung. Pada keadaan gawat juga
sebaiknya tidak diberikan biguanida. (Katzung, 2014).
e) Thiazolidindione
Thiazolidindione bekerja dengan mengikat pada peroxisome
proliferator activator receptor-γ (PPAR-γ), yang terutama ada pada
sel lemak dan sel vaskular. Thiazolidindione secara tidak langsung
meningkatkan sensitivitas insulin pada otot, liver, dan jaringan lemak.
Thiazolidindione adalah obat golongan baru yang mempunyai efek
meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga bisa mengatasi masalah
resistensi insulin dan berbagai masalah akibat resistensi insulin tanpa
menyebabkan hipoglikemi. Kegiatan farmakologisnya luas dan berupa
penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan
kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati. Sebagai
efeknya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot
meningkat. Kegiatan farmakologi lainnya antara lain dapat
menurunkan kadar trigliserida atau asam lemak bebas dan mengurangi
glukoneogenesis dalam hati. Zat ini tidak mendorong pankreas untuk
meningkatkan pelepasan insulin seperti sulfonilurea Dua anggota dari
golongan tersebut tersedia secara komersial adalah rosiglitazon dan
pioglitazon Efek samping yang utama dari thiazolidindione adalah
69
f) Golongan α-glukosidase-inhibitors
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α-
glukosidase di dalam saluran cerna. Sehingga reaksi penguraian di-
/polisakarida menjadi monosakarida dihambat. Dengan demikian
glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorpsinya ke dalam darah juga
kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga memuncaknya kadar
glukosa darah dihindarkan. Obat ini bekerja di lumen usus, tidak
menyebabkan hipoglikemia dan tidak berpengaruh pada kadar insulin
Obat ini umumnya diberikan dengan dosis awal 50 mg dan dinaikan
secara bertahap sampai 150-600 mg/hari. Efek sampingnya adalah
perut kurang enak, lebih banyak flatus dan kadang-kadang diare.
(Waspadji, 2004).
6) Obat Jantung
a) Obat Antihipertensi
Tekanan sistolik meningkat seiring bertambahnya usia, pada
perempuan peningkatan nyata pada usia lebih dari 50 tahun. (Katzung,
2014).
Tiazid menjadi langkah pertama dalam terapi obat. Penyekat
kanal kalsium efektif dan aman jika ditiltrasi huingga respon yang
tepat diperoleh. Obat ini terutama bermanfaat pada pasien menderita
aterosklerotik. Penyekaat beta berpotensi membahayakan pada pasien
penderita penyakit obstruksi jalan napas dan dianggap tidak terlalu
berfungsi dari pada calcium channel blocker pada pasien geriatric.
70
c) Agen aritmia
Terapi aritmia pada lansia sangat berisiko karena tidak terdapat
cadangan hemodinamik yang baik, tingginya frekuensi gangguan
elektrolit, dan tingginya prevalensi penyakit koroner. Bersihan
kuinidin dan prokainamida menurun, dan waktu paruhnya meningkat
seiring bertambahnya usia. Disopiramid juga harus dihindari pada
geritri karena efek antimuskarinik yang menyebabkan kesulitan
berkemih pada laki-laki, dan efek inotropik negative pada jantung.
Bersihan lidokain sedikit berubah , tetapi waktu paruh meningkat pada
lansia. Terjadinya peningkatan volume distribusi, loading dose obat
diturunkan pada geriatri karena sensitivitas obat meningkat pada
toksik. (Katzung, 2014).
71
DAFTAR PUSTAKA
Alagiakrishnan, K., Masaki, K. (2010 Apr 2). eMedicine from WebMD: Vascular
Dementia.
Katzung. B. G. 2014. Farmakologi Dasar & Klinik, Edisi 12, Volume 2. Jakarta,
EGC.
Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN. 2007. Robbins basic pathology.
8thed. Philadelphia: Saunders.
Rowland, PL. 2005. Merritts’s Neurology 11th Edition. New York: Lippincott
Williams and Wilkins.. p. 803-7
Sadock, BJ & Virginia, AS. 2010. Kaplan & Sadock’s Concise Textbook Clinical
Psychiatry. 2nd edition. Jakarta: EGC.
Silbernagl, S dan Florian L. 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta,
EGC.
Sudoyo.A.W. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 5, Jilid 1. Jakarta,
Interna Publishing
72