Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Skenario 2

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 72

1

Skenario

“Memory Loss”

The patient was 66 years old woman who was refered to a memory clinic
for futher evaluation of a 5-month history of rapidly progressive dementia. The
initial symptoms included memory loss, “feeling odd”, anorexia, and
unintentional weight loss. At her first visite to the memory clinic, her son and
husband reported that her cognitive promblems had acutely worsened in the
previous two weeks. She now had problems with a short term memory and
functional abilities, including getting dressed, using the toilet, and getting lost in
her house. Her psysical exam awas significant for perseveration, anomic aphasia,
alexia, agnosia, and apraxia. She was unable to perform other complicated tasks
due to perseveration. For example, when asked about the month, date, day, and
year. She answered “December” for each, when in fact, it was already March,
besides dementia, this patient also underwent treatment for chronic kidney disease
due to uncontrolled hypertension.

STEP 1

1. Demensia : Suatu sindroma klinik yang meliputi hilangnya fungsi


intelektual dan ingatan
2. Anomic aphasia : Ketidakmampuan merujuk kata/ kalimat
3. Alexia : Kehilangan kemampuan membaca
4. Agnosia : Kegagalan untuk mengidentifikasi benda walaupun fungsi
sensorik normal
5. Perseveration : Gangguan arus pikir dimana saat ditanya, menjawab
berulang-ulang
6. Apraxia : suatu kondisi dimana seseorang tidak dapat melakukan
gerakan yang diminta (bukan karena gangguan otot namun
gangguan otak)
2

STEP 2

1. Bagaimana macam-macam demensia, etiologi dari demensia, dan


patomekanisme dari demensia?
2. Mengapa perubahan kognitif pasien dalam kasus diatas terus memburuk dalam
lima bulan terakhir?
3. Bagaimana differential diagnostic dan penegakan diagnosis nya?
4. Bagaimana pengaruh dan apa yang harus diperhatikan pada pengobatan pasien
geriatri?

STEP 3

1. Etiologi:
a. Defek kromosom\, genetik
b. Neurotransmitter
c. Reversible dementia and Irreversible dementia

Macam-macam tipe demensia:

a. Demensia Degeneratif primer (Alzheimer)


b. Demensia multi infark
c. Dementia badan lewy (parkinsonism)
d. Demensia fronto temporal
e. Demensia penyakit neurologis

Patofisiologi demensia:

a. Adanya plak sinilis dan neuritik


b. Neurofibrillary tangles
c. Hilangnya neuron/ sinaps
d. Degenerasi granuvakuolar
e. Defisit neurotransmitter

2. Perubahan faktor kognitif:


a. Faktor usia >65 tahun dan pravanlensi wanita >> dari pada pria (3:1)
b. ACH menurun ( defisit neurotransmitter)
3

c. Pengaruh pengobatan
d. Defisit asam amino

3. Perbedaan Demensia, delirium, dan depresi

Pemeriksaan Demensia Delirium Depresi


Anamnesis Gangguan Gangguan Sadar (+)
kesadaran (+) kesadaran (+) Gangguan
Progresivitas Progresivitas memori (-)
lambat cepat Gangguan
Gangguan sosial, kognitif dan
dan okupasi (+) emosi (-)
Aphasia dan Fungsi sosial
gangguan emosi yang buruk
(+)
Pemeriksaan Refleks patologis Kesadaran Kesadran
fisik (+) sopor komposmentis
Apraxia, agnosia
Kesadaran
komposmentis
Impersisten
motorik
Pemeriksaan Penurunan - -
penunjang ACTH
MRI : atrofi
korteks dan
pelebaran
ventrikel
CT-scan : adanya
infark multipel
4

4. Yang harus diperhatikan pada pasien geriatri (penatalaksanaan)


a. Peningkatan sensitivitas induksi anastesi, mekanisme baroreseptor kurang
sempurna, dan adanya perubahan farmakokonetik
b. Perhatikan riwayat pemberian obat, pemberian obat yang spesifik, kondisi
polifarmasi dan berikan dosis rendah terlebih dulu.

STEP 4

1. Patomekasime demensia
5

Skema:
Macam-macam Macam-macam
Patofisiologi Patofisiologi
Etiologi Etiologi
Kriteria Diagnosisi Kriteria Diagnosisi

Demensia Depresi

SINDROM GERIATRI

Delirium

Macam-macam Pengaruh Obat dan Yang Harus


Patofisiologi Diperhatikan

Etiologi
Kriteria Diagnosisi

STEP 5

1. Bagaimana perubahan fungsi kognitif secara fisiologis dan patologis serta


bagaimana mekanismenya?
2. Bagaimana patofisiologi sampai timbulnya gejala klinis dari demensia,
delirium, dan depresi?
3. Bagaimana prinsip penatalaksanaan pada pasien geriatri:
a. Menjelaskan dampak pada proses penuaan terhadap pemilihan obat dan
dosis dengan perubahan fungsi ginjal dan hati
b. Menjelaskan obat-obatan antikolinergik, antikoagulan, psikoaktif, analgetik,
hipoglikemik, dan obat jantung yang harus dihindari dan digunakan secara
hati-hati pada lansia serta bagaimana potensi masalahnya?
6

STEP 6

(BELAJAR MANDIRI)

STEP 7
1. Perubahan Fisiologis dan Patofisiologis Kognitif
A. Sistem persarafan
1) Saraf pusat
Menurut Martono (2004) pada lansia akan terjadi penurunan berat
otak sebesar 10%. Berat otak 350 gram pada saat kelahiran, kemudian
meningkatkan menjadi 1,375 gram pada usia 20 tahun, berat otak mulai
menurun pada usia 45- 50 tahun penurunan ini kurang lebih 11% dari
berat maksimal. Berat dan volume otak berkurang rata-rata 5-10%
selama umur 20-90 tahun. Otak mengandung 100 juta sel termasuk
diantaranya sel neuron yang berfungsi menyalurkan impuls listrik dari
susunan saraf pusat. Pada penuaan, otak kehilangan 100.000
neuron/tahun. Neuron dapat mengirimkan signal kepada sel lain dengan
kecepatan 200 mil/jam. Terjadi atrofi cerebal (berat otak menurun 10%)
antar usia 30-70 tahun. Secara berangsurangsur tonjolan dendrit di
neuron hilang disusul membengkaknya batang dendrit dan batang sel.
Secara progresif terjadi fragmentasi dan kematian sel. Pada semua sel
terdapat deposit lipofusin (pigment wear and tear) yang terbentuk di
sitoplasma, kemungkinan berasal dan lisosom atau mitokondria
(Suhartin, 2010).
2) Saraf perifer
Saraf perifer tepi adalah jaringan saraf untuk semua gerakan (saraf
motorik) dan sensasi (saraf sensoris). Jaringan saraf ini berhubungan
dengan sistem sarat pusat (SSP) melalui batang otak dan pada beberapa
tempat sepanjang kord spinal. Ia menuju berbagai bagian tubuh. Saraf
perifer membentuk komunikasi antara otak dan organ, pembuluh darah,
otot dan kulit. Perintah otak akan dihantarkan oleh saraf motor, dan
informasi dihantar kembali ke otak oleh saraf sensori. Penuaan
menyebabkan penurunan presepsi sensorik dan respon motorik pada
7

susunan SSP. Hal ini terjadi karena SSP pada usia lanjut usia mengalami
perubahan. Berat otak pada lansia berkurang berkaitan dengan
berkurangnya kandungan protein dan lemak pada otak sehingga otak
menjadi lebih ringan. Akson, dendrit dan badan sel saraf banyak
mengalami kematian, sedang yang hidup banyak mengalami perubahan.
Dendrit yang berfungsi untuk komunikasi antar sel mengalami perubahan
menjadi lebih tipis dan kehilangan kontak antar sel. Daya hantar saraf
mengalami penurunan 10% sehingga gerakan menjadi lambat. Akson
dalam medula spinalis menurun 37%. Perubahan tersebut mengakibatkan
penurunan kognitif, koordinasi, keseimbangan, kekuatan otot, reflek,
perubahan postur dan waktu reaksi (Sherwood, 2009). Perubahan dalam
sistem neurologis dapat termasuk kehilangan dan penyusutan neuron,
dengan potensial 105 kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun.
Secara fungsional terdapat suatu perlambat reflek tendon, terdapat
kecenderungan kearah tremor dan langkah yang pendek-pendek atau
gaya berjalan dengan langkah kaki melebar disertai dengan berkurangnya
gerakan yang sesuai. Waktu reaksi menjadi lebih lambat, dengan
penurunan atau hilangnya hentakan pergelangan kaki dan pengurangan
reflek lutut, bisep dan trisep terutama karena pengurangan dendrit dan
perubahan pada sinaps, yang memperlambat konduksi (Suhartin, 2010).
Dengan adanya perubahan tersebut tentunya akan berpengaruh
pada keadaan postural dan kemampuan lansia dalam menjaga
keseimbangan tubuhnya terhadap bidang tumpu. Kondisi penurunan
kemampuan visual, vestibular dan somatosensoris tentunya akan
memperburuk keseimbangan pada lansia. Tubuh akan mengalami
gangguan dalam mempersepsikan base of support atau landasan tempat
berpijak. Kondisi muskuloskeletal yang mengalami penurunan juga
berpengaruh pada keseimbangan otot dan postural. Perubahan postur
tersebut berpengaruh pada perubahan Center of Gravity (COG) tubuh
terhadap bidang tumpu. Otot-otot baik ekstremitas bawah maupun atas
akan mengalami penurunan kekuatan. Akibat dari keadaan tersebut lansia
8

sering mengalami gangguan keseimbangan saat berdiri maupun saat


beraktivitas dan rentan untuk jatuh.

B. Status Kognitif pada Lansia


1) Definisi
Status kognitif sebagai proses intelektual yang membuat seseorang
memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu, menangkap informasi
melalui indra, dan memahami ide-ide yang ada. Status kognitif juga
mencakup kualitas pengetahuan seseorang termasuk kemampuan
persepsi, rekognisi, kemampuan mengkonsep, penggunaan indera,
kemampuan berfiikir, mencari alasan, mengingat, dan berimajinasi.
2) Penurunan Normal Status Kognitif pada Lansia
Perkembangan status kognitif pada manusia dibedakan ke dalam 2
lintasan besar yaitu (1) digambarkan sebagai proses “crystallized”
dimana terjadi proses akumulasi pengetahuan dan keahlian yang
bergantung pada memori jangka panjang. Kemampuan ini dapat dinilai
dengan tes kosakata, pengetahuan kata, pengetahuan umum, pemahaman,
peribahasa, dan ukuran keahlian, (2) tipe yang kedua digambarkan
sebagai “fluid” yang bergantung pada memori jangka pendek yang
menyimpan memori saat mengolah informasi. Proses ini melibatkan
kemampuan memecahkan masalah baru, manipulasi spasial, kecepatan
mental dan kemampuan identifikasi hubungan kompleks antara pola
stimulus. Kemampuan ini dinilai dengan tes yang melibatkan serangkaian
pola abstrak, matriks, atau angka. Lintasan perkembangan “fluid”
diperkirakan mengikuti perkembangan neurologis, dimana akan
memuncak pada pertengahan usia 20-an dan menurun secara bertahap
sampai pada usia 60-an proses penurunan tersebut akan menjadi lebih
cepat.
Proses “fluid” ini dipengaruhi oleh keadaan neurologis, genetika
dan fisiologi proses penuaan Lintasan “crystallized” meningkat selama
pertambahan umur melalui pendidikan, pekerjaan, budaya, pengalaman,
dan intelektual. Proses ini seringkali masih berfungsi dengan baik pada
9

tahap awal demensia atau cedera otak dan kurang dipengaruhi oleh
proses penuaan. Tingkat perkembangan proses ini diperkirakan mulai
melambat pada masa dewasa akhir, didapatkan beberapa bukti penurunan
tersebut terjadi perlahan-lahan mulai dari dekade kesembilan usia.
Penurunan status kognitif pada lansia digambarkan juga dengan
menurunnya kecepatan perilaku sehari-hari yang telah diuji baik melalui
tes laboratorium maupun situasi sehari-hari. Para lansia juga diketahui
lebih sulit menerima stimulus, hal ini dikaitkan dengan terjadinya atrofi
lobus frontal pada proses penuaan.

2. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Delirium, Demensia dan Depresi Pada


Geriatric
A. Delirium
1) Definisi
Delirium adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan
kesadaran dan kognisi yang terjadi secara akut dan berfluktuasi. Delirium
memiliki banyak penyebab yang semuanya mengakibatkan pola gejala
yang serupa berkaitan dengan tingkat kesadaran dan gangguan kognitif
pasien (Sadock & Virginia, 2010).
Delirium merupakan gangguan klinis yang kurang dikenali dan
jarang terdiagnosis. Sebagian dari masalahnya adalah bahwa sindrom ini
memiliki nama lain yang bervariasi, contohnya keadaan bingung akut,
sindrom otak akut, ensefalopati metabolik, psikosis toksik, dan gagal
otak akut (Sadock & Virginia, 2010).
Penyebab utama delirium adalah penyakit susunan saraf pusat,
penyakit sistemik, serta intoksikasi maupun keadaan putus zat. Terdapat
4 (empat) subkategori delirium berdasarkan sejumlah penyebab, yaitu
(Sadock & Virginia, 2010) :
a) Delirium akibat kondisi medis umum, seperti infeksi
b) Delirium yang diinduksi oleh obat-obatan, seperti zat psikoaktif
c) Delirium dengan etiologi multiple, seperti trauma kepala dan penyakit
ginjal
10

d) Delirium yang tak tergolongkan (Sadock & Virginia, 2010).

2) Patomekanisme
Defisiensi neurotransmiter asetilkolin sering dihubungkan dengan
sindrom delirium. Penyebabnya antara lain gangguan metaboilisme
oksidatif di otak yang dikaitkan dengan hipoksia dan hipoglikemi. Faktor
lain yang berperan antara lain meningkatnya sitokin otak pada penyakit
akut. Gangguan atau defisiensi asetilkolin atau neurotransmiter lain
maupun peningkatan sitokin akan mengganggu transduksi sinyal
neurotransmiter serta second messenger system. Pada gilirannya, kondisi
tadi akan memunculkan gejala-gejala serebral dan aktivitas psikomotor
yang terdapat pada sindrom delirium (Sudoyo, 2009).
Hipotesis utama yaitu gangguan metabolisme oksidatif yang
reversibel dan abnormalitas dari neurotransmiter (Gunther , 2008).
a) Asetilkolin
Data studi mendukung hipotesis bahwa asetilkolin adalah salah
satu dari neurotransmiter yang penting dari patogenesis terjadinya
delirium. Kadar asetilkolin yang redah menyebabkan munculnya
gejala-gejala pada pasien delirium. Hal yang mendukung teori ini
adalah bahwa obat antikolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan
bingung, pada pasien dengan transmisi kolinergik yang terganggu juga
muncul gejala ini. Pada pasien pasca operatif delirium serum
antikolinergik juga meningkat (Gunther , 2008).
b) Dopamin
Pada otak, hubungan muncul antara aktivitas kolinergik dan
dopaminergik. Pada delirium muncul aktivitas berlebih dari
dopaminergik. Pengobatan simptomatis dengan pemberian obat
antipsikosis seperti haloperidol dan obat penghambat dopamin
(Gunther , 2008).
c) Neurotransmiter lainnya
Serotonin, terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan
encefalopati hepatikum (Gunther , 2008).
11

d) Mekanisme peradangan/ infalamasi


Studi terkini menyatakan bahwa peran sitokin, seperti
interleukin-1 dan interleukin-6, dapat menyebabkan delirium.
Mengikuti setelah terjadinya infeksi yang luas dan paparan toksik,
bahan pirogen endogen seperti interleukin-1 dilepaskan dari sel.
Trauma kepala dan iskemia, yang sering dihubungkan dengan
delirium, terdapat hubungan respon otak yang dimediasi oleh
interleukin-1 dan interleukin 6 (Gunther , 2008).
e) Mekanisme reaksi stress
Stress psikososial dan gangguan tidur mempermudah terjadinya
delirium (Gunther , 2008).
f) Mekanisme struktural
Pada studi menggunakan MRI, terdapat data yang mendukung
hipotesis bahwa jalur anatomi tertentu memainkan peranan yang
penting dalam patofisiologi delirium. Formatio retikularis dan jalurnya
memainkan peranan penting dari bangkitan delirium. Jalur tegmentum
dorsal diproyeksikan dari formation retikularis mesensephalon ke
tectum dan thalamus adalah struktur yang terlibat pada delirium.
Adanya gangguan metabolik (hepatic encephalopathy) dan gangguan
struktural (stroke, trauma kepala) yang mengganggu jalur anatomis
tersebut dapat menyebabkan delirium. Kerusakan pada sawar darah
otak juga dapat menyebabkan delirium, mekanismenya karena dapat
menyebabkan agen neurotoksik dan sel-sel peradangan (sitokin) untuk
menembus otak (Gunther , 2008).
12

Gambar Patofisiologi Delirium (Gunther , 2008).

3) Gejala tanda
Kriteria Diagnosis Berdasarkan ICD-10 dan PPDGJ-III
a) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian
b) Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi,
gangguan berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan
dengan demensia).
c) Gangguan Psikomotor berupa hipoaktivitas atau hiperaktivitas,
pengalihan aktivitas yang tidak terduga, waktu bereaksi yang lebih
panjang, arus pembicaran yang bertambah atau berkurang, reaksi
terperanjat yang meningkat.
d) Gangguan siklus tidur berupa insomnia, atau pada kasus yang berat
tidak dapat tidur sama sekali atau siklus tidurnya terbalik yaitu
mengantuk siang hari. Gejala memburuk pada malam hari dan mimpi
yang mengganggu atau mimpi buruk yang dapat berlanjut menjadi
halusinasi setelah bangun tidur.
e) Gangguan emosional berupa depresi, ansietas, takut, lekas marah,
euforia, apatis dan rasa kehilangan akal (Sadock & Virginia, 2010).
13

4) Jenis-jenis delirium
a) Delirium Akibat Kondisi Medis Umum
i. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan
terhadap lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya
kemampuan memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan
perhatian
ii. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi,
gangguan berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan
dengan demensia
iii. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek,
cenderung berfluktuasi dalam sehari
iv. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium
bahwa gangguan disebabkan oleh konsekuensi fisiologik langsung
suatu KMU (Sadock & Virginia, 2010).

b) Delirium Akibat Intoksikasi Zat


i. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan
terhadap lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya
kemampuan memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan
perhatian.
ii. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi,
gangguan berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan
dengan demensia
iii. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek,
cenderung berfluktuasi dalam sehari.
iv. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium,
(Sadock & Virginia, 2010).

c) Delirium Akibat Putus Zat


i. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan
terhadap lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya
14

kemampuan memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan


perhatian.
ii. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi,
gangguan berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan
dengan demensia
iii. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek,
cenderung berfluktuasi dalam sehari.
iv. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium,
sebagai berikut: Simtom A dan B terjadi selama atau segera setelah
putus zat (Sadock & Virginia, 2010).

d) Delirium Akibat Etiologi Beragam


i. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan
terhadap lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya
kemampuan memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan
perhatian.
ii. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi,
gangguan berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan
dengan demensia.
iii. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek,
cenderung berfluktuasi dalam sehari.
iv. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium,
bahwa : Delirium memiliki lebih dari satu etiologi, misalnya lebih
dari satu KMU, KMU dan intoksikasi zat, atau efek samping obat
(Sadock & Virginia, 2010).

e) Delirium yang Tidak Dapat Dispesifikasi


i. Kriteria untuk tipe delirium tertentu tidak terpenuhi, misalnya;
manifestasi delirium diduga akibat KMU, penyalahgunaan zat
tetapi tidak cukup bukti untuk menegakkan etiologi spesifik.
ii. Delirium disebabkan oleh penyebab yang tidak tercatat pada seksi
ini (deprivasi sensorik) (Sadock & Virginia, 2010).
15

B. Demensia
1) Definisi
Demensia merupakan sindroma yang ditandai oleh berbagai
gangguan fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif
yang dapat dipengaruhi pada demensia adalah inteligensia umum, belajar
dan ingatan, bahasa, memecahkan masalah, orientasi, persepsi, perhatian,
konsentrasi, pertimbangan dan kemampuan sosial. Disamping itu, suatu
diagnosis demensia menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders edisi keempat (DSM-IV) mengharuskan bahwa gejala
menyebabkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan yang berat dan
merupakan suatu penurunan dari tingkat fungsi sebelumnya (Darmojo,
2011).

Tabel 1. Beberapa penyebab demensia pada dewasa yang belum


dapat diobati/ irreversible (Darmojo, 2011).
Primer degenerative
- Penyakit Alzheimer
- Penyakit Pick
- Penyakit Huntington
- Penyakit Parkinson
- Degenerasi olivopontocerebellar
- Progressive Supranuclear Palsy
- Degenerasi cortical-basal ganglionic
Infeksi
- Penyakit Creutzfeldt-Jakob
- Sub-acute sclerosing panencephalitis
- Progressive multifocal leukoencephalopathy
Metabolik
- Metachromatic leukodyntrophy
- Penyakit Kuf
- Gangliosidoses
16

Tabel 2. Beberapa penyebab demensia yang dapat diobati/


reversible (Darmojo, 2011).
Obat-obatan anti-kolinergik (mis. Atropin dan sejenisnya); anti-
konvulsan (mis. Phenytoin, Barbiturat); anti-
hipertensi (Clonidine, Methyldopa, Propanolol);
psikotropik (Haloperidol, Phenothiazine); dll (mis.
Quinidine, Bromide, Disulfiram).
Metabolik- gangguan elektrolit atau asam-basa; hipo-
gangguan sistemik hiperglikemia; anemia berat; polisitemia vera;
hiperlipidemia; gagal hepar; uremia; insufisiensi
pulmonal; hypopituitarism; disfungsi tiroid, adrenal,
atau paratiroid; disfungsi kardiak; degenerasi
hepatolenticular.
Gangguan insufisiensi cerebrovascular; meningitis atau
intrakranial encephalitis chronic, neurosyphilis, epilepsy, tumor,
abscess, hematoma subdural, multiple sclerosis,
normal pressure hydrocephalus.
Keadaan defisiensi vitamin B12, defisiensi folat, pellagra (niacin).
Gangguan collagen- systemic lupus erythematosus, temporal arteritis,
vascular sarcoidosis, syndrome Behcet.
Intoksikasi eksogen alcohol, carbon monoxide, organophosphates,
toluene, trichloroethylene, carbon disulfide, timbal,
mercury, arsenic, thallium, manganese, nitrobenzene,
anilines, bromide, hydrocarbons.

2) Macam-macam demensia
Secara garis besar demesia pada usia lanjut dapat dikategorikan
dalam golongan yaitu degeneratif primer, multi-infark, reversibel atau
sebagian reversibel, dan gangguan lain terutama neurologik. Akhir-akhir
ini dikatakan bahwa dementia badan Levy dan fronto-temporal
merupakan dementia terbanyak ke-3 dan ke-4 (Darmojo, 2011).
17

a) Demensia degeneratif primer/ tipe Alzheimer


Dikenal dengan nama demensia tipe Alzheimer adalah suatu
keadaan yang meliputi perubahan dari jumlah, struktur dan fungsi
neuron didaerah tertentu dari korteks otak. Terjadi kekusutan neuro
fiblier dan flak-flak neurit dan perubahan aktivitas kolinergik di
daerah-daerah tertentu di otak. Penyebab tidak diketahui secara pasti,
tetapi beberapa teori menerangkan kemungkinan adanya faktor
kromosom atau genetik, radikal bebas, toksin amibid pengaruh logam
aluminium, akibat infeksi, virus lumbat atau pengaruh lingkungan lain
(Darmojo, 2011).
Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi
yang selanjutnya diberi nama dengan namanya dalam tahun 1907, saat
ia menggambarkan seorang wanita berusia 51 tahun dengan perjalanan
demensia progresif selama empat setengah tahun. Diagnosis akhir
penyakit Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak;
namun demikian, demensia tipe Alzheimer biasanya didiagnosis
dalam lingkungan klinis setelah penyebab demensia lainnya telah
disingkirkan dari pertimbangan diagnostic (Darmojo, 2011).
Penyakit Alzheimer adalah suatu jenis demensia umum yang
tidak diketahui penyebabnya. Penelitian otopsi mengungkapkan
bahwa lebih dari setengah penderita yang meninggal karena demensia
senil mengalami penyakit jenis Alzheimer ini. Pada kebanyakan
penderita, berat kasar otak pada saat otopsi jauh lebih rendah dan
ventrikel dan sulkus jauh lebih besar dibandingkan yang normal untuk
seukuran usia tersebut. Demielinasi dan peningkatan kandungan air
pada jaringan otak ditemukan berdekatan dengan ventrikel lateral dan
dalam beberapa daerah lain di bagian dalam hemisfer serebrum pada
penderita manula, khususnya mereka yang menderita penyakit
Alzheimer (Darmojo, 2011).
Pada penderita dengan demensia senil jenis Alzheimer terdapat
peningkatan dramatis (dibandingkan dengan penderita manula normal)
dalam jumlah kekusutan neurofibril dan plak neuritik dan juga
18

penurunan 60-90 persen dalam kadar kolin asetiltransferase (enzim


yang menghasilkan sintesis asetilkolin) di korteks (Darmojo, 2011).
Penyakit alzheimer mempunyai awitan yang lambat
dibandingkan dengan demensia multi-infark. Penyakit ini muncul
secara beransur-ansur, tetapi kemampuan kognitif mengalami
kemunduran secara progresif tanpa berhenti atu meningkat (Darmojo,
2011).

Patomekanisme
Komponen utama patologi penyakit Alzheimer adalah plak senilis
dan neuritik, neurofibrillaru tangles, hilangnya neuron/sinaps, degenerasi
granulovakuolar, dan Hirano bodies. Plak neuritik mengandung b-
amyloid ekstrasellular yang dikelilingi neuritis distrofik, sementara plak
difus (atau nonneuritik) adalah istilah yang kadang digunakan untuk
deposisi amyloid tanpa abnormalitas neuron. Deteksi adanya Apo E di
dalam plak β-amyloid dan studi mengenai ikatan high-avidity antara Apo
E dengan β-amyloid menunjukkan bukti hubungan antara
amyloidogenesis dan Apo E. Plak neuritik juga mengandung protein
komplemen, mikroglia yang teraktivasi, sitokin-sitokin, dan protein fase
akut, sehingga komponen inflamasi juga diduga terlihat pada patogenesis
penyakit Alzheimer. Gen yang mengkode the amyloidprecursor protein
(APP) terletak pada kromosom 21, menunjukkan hubungan potensial
patologi penyakit Alzhimer dengna sindrom Down (trisomi-21), yang
diderita oleh semua pasien penyakit Alzheimer yang muncul pada usia 40
tahun (Sudoyo, 2009).

Neurofibrillary tangles merupakan struktur intraneuron yang


mengandung atau yang terhiperfosforilasi pada pasangan filamen helix.
Individu usia lanjut yang normal juga diketahui mempunyai
neurofibrillary tangles di beberapa lapisan hipokampus dan korteks
entorhinal, tapi struktur ini jarang ditemukan di neokorteks pada
seseorang tanpa demensia. Neurofibrillary tangles ini tidak spesifik
untuk penyakit Alzheimer dan juga timbul pada penyakit lain, seperti
19

subacute sclerosing panencephalitis (SSPE), demensia pugilistika, dan


parkinsonian dementia complex of Guam (Sudoyo, 2009). Defisit
neurotransmiter utama pada penyakit Alzheimer, juga pada demensia tipe
lain, adalah sistem kolinergik. Walaupun sistem noradrenergik dan
serotonin, somatostatin-like reactivity, dan corticotropin releasing factor
juga berpengaruh pada penyakit Azheimer, defisit asetilkolin tetap
menjadi proses utama penyakit dan menjadi target sebagian besar terapi
yang tersedia saat ini untuk penyakit Alzheimer (Sudoyo, 2009).

Hirano bodies pertama kali diamati pada neuron oleh Asao Hirano
pada tahun 1965, yaitu merupakan agregat intraselular dari aktin dan
protein aktin terkait sel saraf. Hirano bodies sering digambarkan
intraseluler, parakristal, eosinofilik dan berbentuk batang di dalam
neuron individu dengan penyakit neuro-degeneratif termasuk Alzheimer
dan beberapa bentuk penyakit Creutzfeldt-Jacob. Meskipun Hirano
bodies paling sering ditemui di dalam neuron dari sistem saraf pusat
terutama di bagian somer penderita Alzheimer, terdapat pula di dalam
sel glia dan di akson saraf perifer. Pembelajaran imunohistokimia dan
mikroskopis elektron telah menunjukkan bahwa komponen utama dari
Hirano bodies adalah mikro-filamen yang abnormal, dan tidak hanya
molekul yang terkait dengan sitoskeleton sel, tetapi juga beberapa protein
yang berhubungan dengan stres dan faktor pertumbuhan seperti protein
prekursor beta-amyloid, hippocampal cholinergic neurostimulating
peptide (HCNP), dapat mengubah faktor pertumbuhan beta 3 yang ada
dalam Hirano bodies. Akumulasi HCNP dalam Hirano bodies
menunjukkan bahwa penderita mungkin memiliki gangguan sistem
kolinergik, yang dianggap penting untuk belajar dan pembentukan
memori, dan karenanya terkait dengan gangguan memori dari Alzheimer
(Maselli, 2002).

Defisit neurotransmiter utama pada penyakit Alzheimer, juga pada


demensia tipe lain, adalah sistem kolinergik. Walaupun sistem
noradrenergik dan serotonin, somatostatin-like reactivity, dan
20

corticotropin releasing factor juga berpengaruh pada penyakit Azheimer,


defisit asetilkolin tetap menjadi proses utama penyakit dan menjadi target
sebagian besar terapi yang tersedia saat ini untuk penyakit Alzheimer
(Sudoyo, 2009).

Gambar 1. Patofisiologi Demensia Alzheimer (Silbernagl, 2007).

Tanda Gejala
Gejala Alzheimer dibedakan atas tiga fase :
i. Fase I
Ditandai dengan gangguan memori subyektif, konsentrasi buruk
dan gangguan visio-spasial. Lingkungan yang biasa menjadi asing,
sukar menemukan jalan pulang yang biasa dilalui. Penderita mungkin
mengeluh agnosa kanan dan kiri. Bahkan pada fase dini ini rasa tilikan
terganggu (Darmojo, 2011).
21

ii. Fase II
Terjadi tanda yang mengarah pada kerusakan vokal, kortikal,
walaupun tidak terlihat pola defisit yang khas. Gejala neurologis
mungkin termasuk tanggapan ekstensor dan beberapa kelemahan
fasial, delusi dan halusinasi mungkin terdapat, walaupun pembicaraan
mungkin masih kelihatan normal (Darmojo, 2011).
iii. Fase III
Pembicaraan terganggu berat, mungkin sama sekali hilang.
Penderita tampak terus menerus apatik. Banyak penderita tidak
mengenali diri sendiri atau orang lain yang dikenalinya. Penderita juga
sering berbaring ditempat tidur, Inkontinensia urin. Gejala neurologik
menunjukkan gangguan berat dari gerak langkah, tonus otot, sindrom
kluver-bucy (apatis, gangguan penglihatan, gerak mulut tidak
terkontrol, amnesia dan bulema) (Darmojo, 2011).

b) Demensia Multi-Infark/ Vaskular


Demensia ini merupakan jenis kedua terbanyak setelah penyakit
alzheimer. Bisa didapat dengan tersendiri dan bisa bersama dengan
demensia lain. Didapatkan sebagai gejala sisa dari strok kortikal atau
subortikal yang berulang. Oleh karena lesi di otak sering kali tidak
terlalu besar, gejala strokenya berupa defisit neurologik yang tidak
jelas terlihat. Dapatan yang khas adalah bahwa gejala dan tanda
menunjukkan penurunan bertingkat (stepwise), dimana setiap episode
akut menurunkan keadaan kognitifnya. Hal ini berbeda dengan
dapatan pada penyakit alzhaemer, dimana gejala dan tanda akan
berlangsung progresif (Darmojo, 2011).
Penyebab utama dari demensia vaskular dianggap adalah
penyakit vaskular serebral yang multipel, yang menyebabkan suatu
pola gejala demensia. Gangguan dulu disebut sebagai demensia multi-
infark dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
edisi ketiga yang di revisi (DSM-III-R). Demensia vaskular paling
sering pada laki-laki, khususnya pada mereka dengan hipertensi yang
22

telah ada sebelumnya atau faktor risiko kardiovaskular lainnya.


Gangguan terutama mengenai pembuluh darah serebral berukuran
kecil dan sedang, yang mengalami infark menghasilkan lesi parenkim
multipel yang menyebar pada daerah otak yang luas. Penyebab infark
mungkin termasuk oklusi pembuluh darah oleh plak arteriosklerotik
atau tromboemboli dari tempat asal yang jauh (sebagai contohnya
katup jantung). Suatu pemeriksaan pasien dapat menemukan bruit
karotis, kelainan funduskopi, atau pembesaran kamar jantung
(Darmojo, 2011).

Patomekanisme
Pada demensia vaskular, penyakit vaskular menghasilkan efek
fokal atau difus pada otak dan menyebabkan penurunan kognitif.
Penyakit serebrovaskular fokal terjadi sekunder dari oklusi vaskular
emboli atau trombotik. Area otak yang berhubungan dengan
penurunan kognitif adalah substansia alba dari hemisfera serebral dan
nuklei abu-abu dalam, terutama striatum dan thalamus
(Alagiakrishnan, 2010).
Mekanisme demensia vaskular yang paling banyak adalah infark
kortikal multipel, infark single strategi dan penyakit pembuluh darah
kecil (Alagiakrishnan, 2010).
i. Demensia multi-infark: kombinasi efek dari infark yang berbeda
menghasilkan penurunan kognitif dengan menggangu jaringan
neural.
ii. Demensia infark single: lesi area otak yang berbeda menyebabkan
gangguan kognitif yang signifikan. Ini dapat diperhatikan pada
kasus infark arteri serebral anterior, lobus parietal, thalamus dan
satu girus.
iii. Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan 2 sindrom major,
penyakit Binswanger dan status lakunar. Penyakit pembuluh darah
kecil menyebabkan perubahan dinding arteri, pengembangan
ruangan Virchow-Robin dan gliosis parenkim perivaskular.
23

iv. Penyakit lakunar disebabkan oleh oklusi pembuluh darah kecil dan
menghasilkan lesi kavitas kecil di otak akibat dari oklusi cabang
arteri penetrasi yang kecil. Lakunae ini ditemukan lebih sering di
kapsula interna, nuklei abu-abu dalam, dan substansia alba. Status
lakunar adalah kondisi dengan lakunae yang banyak,
mengindikasikan adanya penyakit pembuluh darah kecil yang berat
dan menyebar.
v. Penyakit Binswanger (juga dikenal sebagai leukoencephalopati
subkortikal) disebabkan oleh penyakit substansia alba difus.
Penyakit ini ditandai dengan adanya banyak infark-infark kecil
pada substansia alba, jadi menyerang daerah kortikal. Pada
penyakit ini, perubahan vaskular yang terjadi adalah fibrohialinosis
dari arteri kecil dan nekrosis fibrinoid dari pembuluh darah otak
yang lebih besar. Walaupun penyakit Binswanger sebelumnya
dianggap sebagai kondisi yang jarang, kemajuan teknik pencitraan
yang canggih dan kuat, seperti pencitraan resonansi magnetik
(magnetic resonance imaging: MRI), telah menemukan bahwa
kondisi tersebut adalah lebih sering daripada yang sebelumnya
dipikirkan (Alagiakrishnan, 2010).

Tanda Gejala
Tanda dan gejala kognitif pada demensia vaskular selalunya
subkortikal, bervariasi dan biasanya menggambarkan peningkatan
kesukaran dalam menjalankan aktivitas harian seperti makan,
berpakaian, berbelanja dan sebagainya. Hampir semua kasus demensia
vaskular menunjukkan tanda dan simptom motorik (Alagiakrishnan,
2010).
Tanda dan gejala fisik:
i. Kehilangan memori, pelupa
ii. Lambat berfikir (bradifrenia)
iii. Pusing
iv. Kelemahan fokal atau diskoordinasi satu atau lebih ekstremitas
24

v. Inersia
vi. Langkah abnormal
vii. Konsentrasi berkurang
viii. Perubahan visuospasial
ix. Penurunan tilikan
x. Defisit pada fungsi eksekutif seperti kebolehan untuk inisiasi,
merencana dan mengorganisasi
xi. Sering atau Inkontinensia urin dan alvi. Inkontinensia urin terjadi
akibat kandung kencing yang hiperrefleksi (Alagiakrishnan, 2010).

Tanda dan gejala perilaku:


i. Perbicaraan tidak jelas
ii. Gangguan bahasa
iii. Depresi
iv. Berhalusinasi
v. Tidak familiar dengan persekitaran
vi. Berjalan tanpa arah yang jelas
vii. Menangis dan ketawa yang tidak sesuai. Disfungsi serebral
bilateral menyebabkan inkontinensi emosional (juga dikenal
sebagai afek pseudobulbar)
viii. Sukar menurut perintah bermasalah dalam menguruskan uang
(Alagiakrishnan, 2010).

Riwayat pasien yang mendukung demensia vaskular adalah


kerusakan bertahap seperti tangga (stepwise), kekeliruan nokturnal,
depresi, mengeluh somatik, dan inkontinensi emosional, stroke, dan
tanda dan gejala fokal. Contoh kerusakan bertahap adalah kehilangan
memori dan kesukaran membuat keputusan diikuti oleh periode yang
stabil dan kemudian akan menurun lagi. Awitan dapat perlahan atau
mendadak. Didapatkan bahwa TIA yang lama dapat menyebabkan
penurunan memori yang perlahan sedangkan stroke menyebabkan
gejala yang serta-merta (Alagiakrishnan, 2010).
25

c) Demensia dengan badan Lewy


Dementia Lewy bodies adalah bentuk demensia dengan
karakteristik Alzheimer dan penyakit Parkinson. Demensia tipe ini
mencapai kurang lebih 10-25% kasus demensia. Gejala demensia ini
menyerupai penyakit lain, sehingga menantang untuk mendiagnosis
dengan benar. Gejala Dementia Lewy Bodies (DLB) dapat berbeda
pada awalnya. Kadang diawali dengan gangguan gerakan yang terlihat
seperti Parkinson, tapi kemudian mereka juga mengembangkan gejala
demensia. Terkadang terdapat gangguan memori yang tampak seperti
Alzheimer pada awalnya, tapi mereka kemudian mengembangkan
halusinasi dan masalah perilaku lainnya. Diagnosis demensia dengan
badan Lewy (DLB) dicurigai bila terdapat adanya gejala awal berupa
halusinasi visual, parkinsonisme, delirium (confusion), gangguan tidur
(rapid-eye movement) REM, atau sindrom Capgras, yaitu delusi
bahwa seseorang yang dikenal digantikan oleh penipu (Darmojo,
2011).
Demensia dengan badan Lewy (DLB) adalah nama untuk
sekelompok gangguan di mana demensia disebabkan oleh adanya
badan Lewy di otak. Badan Lewy adalah gumpalan bulat kecil protein
normal yang - untuk alasan yang tidak diketahui menjadi normal
mengelompok bersama-sama di dalam neuron (sel otak). Dementia
Lewy Bodies, jenis yang paling umum kedua setelah demensia
progresif dari penyakit Alzheimer, yang menyebabkan penurunan
progresif dalam kemampuan mental. Gejala demensia ini juga dapat
menyebabkan halusinasi visual, yang umumnya berbentuk benda,
orang atau hewan yang tidak ada. Hal ini dapat menyebabkan perilaku
yang tidak biasa seperti berbicara dengan orang tercinta yang telah
meninggal. Indikator lain dari dementia dengan badan Lewy adalah
fluktuasi yang signifikan dalam kewaspadaan dan perhatian, yang
menyebabkan kantuk di siang hari atau melamun (Kumar & Abbas,
2007).
26

Dan, seperti penyakit Parkinson, demensia dengan badan Lewy


dapat menyebabkan otot-otot menjadi kaku, memperlambat gerakan
dan tremor. Dalam demensia dengan badan Lewy, deposit protein,
disebut badan Lewy, berkembang pada sel-sel saraf di daerah otak
yang berfungi mengatur pemikiran, memori dan gerakan (motor
control). Demensia dengan badan Lewy berkaitan erat dengan
penyakit Parkinson. Ini adalah suatu kondisi dimana bagian dari otak
menjadi lebih dan lebih rusak selama beberapa tahun, menyebabkan
gejala fisik, seperti gemetar (tremor), kekakuan otot dan lambatnya
gerakan (Kumar & Abbas, 2007).

Patomekanisme
Pemeriksaan makroskopik pada otak seseorang yang mengalami
penyakit parkinson memperlihatkan adanya atrofi ringan di daerah
frontal dengan hilangnya pigmen melanin di daerah midbrain saat
ditilik secara mikroskopik. Secara mikroskopik juga ditemukan
adanya degenerasi sel dopaminergik dan keberadaan badan Lewy
(Lewy bodies/LB) pada neuron-neuron yang tersisa, prosesus
substansia nigra pars compacta (SNpc), nukleus lain di batang otak,
serta region-region lain seperti otak bagian medial temporal, kortikal,
dan sistem limbik. Badan Lewy memiliki konsentrasi alfa-synuclein
dan merupakan penanda patologik utama dari penyakit ini. Mutasi
pada gen alfa-synuclein dapat menyebabkan penyakit Parkinson
familial dengan cara mempromosi formasi alfa-synuclein-positive
filaments yang akan beragregasi menjadi badan Lewy dan neurit
Lewy. Hal ini akan pertama terjadi di nukleus olfaktorius anterior dan
daerah bawah batang otak (tepatnya di nukleus glossofaringeal dan
vagal), dan juga berkaitan dengan lokus seruleus, n. gigantocellularis,
dan nukelus raphe. Kemudian formasi badan Lewy tersebut akan
menyebar ke nukleus magnoseluler di daerah basal forebrain, nukelus
sentralis amigdala, dan SNpc tadi. Apabila sudah semakin lanjut maka
dapat menyebar sampai ke thalamus dan korteks serebri. Keterlibatan
27

daerah ekstranigral inilah yang menyebabkan terjadinya gejala klinis


non-motorik dan aspek motorik non-responsif terkait levodopa pada
penyakit parkinson. Kehilangan sel dopaminergik di SNpc dapat
menyebabkan denervasi striatum, yang dapat menyebabkan simptom
motorik di penyakit parkinson. Biasanya simptom ini muncul setelah
terjadi kehilangan dopamin sebesar 50-70% dari normal (Kumar &
Abbas, 2007).

Gambar 2 Gambaran pada penyakit parkinson (Kumar & Abbas,


2007).

Semakin banyak bukti bermunculan bahwa penyakit parkinson


dipengaruhi secara kuat oleh faktor genetik. Terdapat 8 gen yang telah
diidentifikasi mempengaruhi penyakit Parkinson (lihat tabel 1). Gen di
lokus PARK1, PARK 4, dan PARK5 menyebabkan penurunan
autosomal dominan, kemunculan gejala yang dini dan progresi gejala
yang cepat. Mutasi gen PARK1 menyebabkan agregasi abnormal alfa-
synculein. Sementara itu, PARK2 dan PARK7 menyebabkan
penurunan autosomal resesif dan onset penyakit saat remaja. PARK2
mengkodekan parkin, sebuah elemen dari ubiquitin, yang berfungsi
dalam sistem proteasomal sebagai penanda awal protein sebelum
didegradasi di sistem proteasomal. PARK5 pun mengkode komponen
ubiquitin lain, yaitu ubiquitin carboxy-terminal hydroxylase L1
(UCH-L1). Kelainan pada sistem proteasomal tersebut akan
menyebabkan terjadinya penumpukan protein abnormal dan
28

berkontribusi pada pathogenesis penyakit Parkinson (Kumar & Abbas,


2007).

Gambar 3. Mekanisme genetik penyebab parkinson (Kumar &


Abbas, 2007).

Sebagai kesimpulan, kematian sel dopaminergik adalah


vulnerabilitas genetik, stress oksidatif, disfungsi proteasomal, aktivitas
kinase abnormal, dan faktor lingkungan yang masih belum
teridentifikasi. Stres oksidatif berperan dalam pathogenesis penyakit
Parkinson, dimana kerusakan yang diinduksi oleh radikal bebas
menyebabkan apoptosis sel dini dan kegagalan pembentukan energy.
Salah satu penyebab pentingnya adalah MPTP, derivat dari mepedrin,
dan rotenone, insektisida yang sering digunakan. Keduanya
29

menyebabkan stres oksidatif dengan menginhibisi kompleks I


mitokondria. Stress oksidatif ini juga menyebabkan penumpukan alfa-
synuclein dan disfungsi proteasomal (Kumar & Abbas, 2007).

Tanda Gejala
Gambaran klinik bervariasi, tetapi selalu terdapat gambaran 2
dari 3 keadaan yaitu : fluktuasi kognisi, halusinasi visual dan
parkinsonisme. Dapatan yang mendukung diantaranya adalah : jatuh,
sinkope, hilang kesadaran sepintas, sensitivitas neuroleptik, delusi dan
halusinasi. Adanya stroke harus disingkirkan, juga penyakit lain yang
mempunyai gambaran yang mirip. Gambaran klinis yang khas
demensia haruslah juga didapati. Gangguan memori pada DLB
didapatkan lebih ringan. Sedang dengan demensia vaskular, profil
neuropsikologiknya hampir serupa, akan tetapi untuk memori yang
baru lebih ringan (Darmojo, 2011).

d) Demensia fronto temporal


Demensia frontotemporal (FTD) atau degenerasi frontotemporal
mengacu pada sekelompok gangguan yang disebabkan oleh hilangnya
sel saraf progresif dalam lobus otak frontal atau lobus temporal.
Dimensia frontotemporal dapat mencapai 25% dari seluruh demensia
presinilis yang disebabkan oleh atrofi otak. Penyakit ini terutama
timbul antara usia 45 sampai 65 tahun. Setengahnya diturunkan
(dominan autosomal, kromosom 17, lengan panjang). Terdapat atrofi
kortikal fokal disertai astrositosis dan badan inklus intraneural (badan
pick) pada sel-sel piramidalis yang masih normal. Disinhibisi
(diantaranya kekerasan), apati dan sedikit berbicara dengan
keterampilan yang berhubungan ruang serta ingatan yang relatif
normal bisa membantu untuk membedakan secara klinis penyakit ini
dengan demensia Alzheimer. Perubahan kepribadian, disinhibisi,
peningkatan berat badan, atau obsesi terhadap makanan mengarah
pada fronto-temporal demensia (FTD), bukan penyakit Alzheimer
(Darmojo, 2011).
30

Patomekanisme
Proporsi yang lebih tinggi dari kasus FTD tampaknya memiliki
komponen keluarga dari penyakit neurodegeneratif yang lebih umum
seperti penyakit Alzheimer. Semakin banyak mutasi dan varian
genetik yang sedang diidentifikasi sepanjang waktu (Hardy, 2006).
i.Tau-positif demensia frontotemporal dengan parkinsonisme (FTDP-
17) disebabkan oleh mutasi pada MAPT gen pada kromosom 17 yang
mengkode protein tau. Telah ditentukan bahwa ada hubungan
langsung antara jenis tau mutasi dan neuropatologi yang mutasi gen.
Mutasi di persimpangan sambatan akson 10 dari tau menyebabkan
pengendapan selektif tau berulang dalam neuron dan glia. Fenotip
patologis yang berhubungan dengan mutasi di tempat lain di tau
kurang diprediksi dengan baik kusutnya neuro-fibrillary (yang terdiri
dari ulangan 3 dan 4 tau) dan badan Pick (yang terdiri dari ulangan 3
tau). Kehadiran deposito tau dalam glia juga variabel dalam keluarga
dengan mutasi di luar akson 10. Penyakit ini sekarang merujuk ke
FTDP-17T. FTD menunjukkan hubungan ke daerah lokus tau
kromosom 17, namun diyakini bahwa ada dua lokus yang mengarah
ke FTD satu sama lain pada kromosom 17 (Hardy, 2006).
ii.FTD disebabkan oleh FTLD-TDP43 memiliki banyak penyebab
genetik. Beberapa kasus disebabkan oleh mutasi pada GRN gen, juga
terletak pada kromosom 17. Lainnya disebabkan oleh VCP mutasi,
meskipun pasien ini hadir dengan gambar kompleks multisistem
proteinopathy yang dapat mencakup amyotrophic lateral sclerosis ,
miopati inklusi tubuh , penyakit Paget tulang , dan FTD. Penambahan
terbaru ke dalam daftar adalah ekspansi ulangan heksanukleotida di
intron 1 dari C9ORF72 . Hanya satu atau dua kasus telah dilaporkan
menggambarkan TARDBP (yang TDP-43 gen) mutasi dalam FTD
klinis murni (FTD tanpa MND) (Hardy, 2006).
31

Ada 3 subtipe histologis utama yang ditemukan di post-mortem:


FTLD-tau, FTLD-TDP, dan FTLD-FUS. Demensia kurang histologi
khas (DLDH) adalah yang langka dan kontroversial. analisis baru
telah memungkinkan banyak kasus sebelumnya digambarkan sebagai
DLDH akan diklasifikasi ke dalam salah satu subkelompok. Dalam
kasus yang jarang terjadi, pasien dengan FTD klinis ditemukan
memiliki perubahan yang konsisten dengan penyakit Alzheimer pada
otopsi . Atrofi otak yang paling parah tampak terkait dengan penyakit
Pick, degenerasi kortikobasal, dan TDP patologi terkait dengan
perilaku-varian FTD. Berkaitan dengan cacat genetik yang telah
ditemukan, ekspansi ulangi di gen C9orf72 dianggap merupakan
kontribusi besar untuk degenerasi lobar frontotemporal , meskipun
cacat di GRN dan MAPT gen juga terkait dengan itu (Hardy, 2006).

Gejala tanda
Berbeda dengan distribusi patologi parietal-temporal pada
penyakit Alzheimer, penyakit Pick ditandai oleh atrofi yang lebih
banyak dalam daerah frontotemporal. Daerah tersebut juga mengalami
kehilangan neuronal, gliosis, dan adanya badan Pick neuronal yang
merupakan massa elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan pada
beberapa spesimen postmortem tetapi tidak diperlukan untuk
diagnosis. Penyebab penyakit Pick tidak diketahui. Penyakit Pick
berjumlah kira-kira lima persen dari semua demensia yang
irreversibel. Penyakit ini paling sering terjadi pada laki-laki,
khususnya mereka yang mempunyai sanak saudara derajat pertama
dengan kondisi tersebut. Penyakit Pick sulit dibedakan dari demensia
tipe Alzheimer, walaupun stadium awal penyakit Pick lebih sering
ditandai oleh perubahan kepribadian dan perilaku, dengan fungsi
kognitif lain yang relatif bertahan. Gambaran sindroma Kluver-Bucy
(sebagai contohnya, hiperseksualitas, plasiditas, hiperoralitas) adalah
jauh lebih sering pada penyakit Pick dibandingkan pada penyakit
Alzheimer (Darmojo, 2011).
32

e) Demensia pada penyakit neurologik


Berbagai penyakit neurologik disertai dengan gejala demensia.
Diantaranya yang tersedia adalah penyakit parkinson, korea
hungington dan hidrosepalus bertekanan normal. Penyakit Huntington
biasanya disertai dengan perkembangan demensia. Demensia yang
terlihat pada penyakit Huntington adalah tipe demensia subkortikal,
yang ditandai oleh kelainan motorik yang lebih banyak dan kelainan
bicara yang lebih sedikit dibandingkan tipe demensia kortikal
(Darmojo, 2011).

Patomekanisme
Huntington gen mengkode “highly conserved” protein Huntington
yang didistribusi meluas di neuron dalam CNS, namun fungsinya tidak
diketahui. Biasanya protein Huntington terletak di dalam sitoplasma, dan
diasosiasikan dengan permukaan organelles seperti vesicles, synaptic
vesicles, microtubules, dan mitochondria (Rowland, 2005).

HD disebabkan oleh mutasi gen Huntington pada kromosom 4.


Terjadinya repetisi CAG (polyglutamine) yang mengakibatkan
transkripsi dan translasi mutant protein strand yang dinamakan
“misfolded mutant Htt”, seterusnya menyebabkan aggregasi di dalam sel
(Rowland, 2005).
Terdapat beberapa teori atau usulan mekanisme yang menyebabkan
disfungsi neuronal dan kematian sel dari Huntington’s Disease (Rowland,
2005).

a) Pengaktifan caspase (Cysteine Aspartate Specific proteases


activation)

Translokasi mutant Htt di nukleus meregulasi expresi caspase yaitu


suatu tipe gen sel yang meregulasi apoptosis sel. Pada penderita HD,
caspase diaktivasi di bagian otak, menyebabkan pembelahan
proteolitik dari sel target, seterusnya mengakibatkan disfungsi sel
33

dan kematian sel neuron (gliosis) di basal ganglia (nukleus kaudatus,


putamen, globus pallidus) (Rowland, 2005).

b) Eksitoksisitas sel

Agen eksitotoksik seperti asam kainat (pada percobaan hewan) dan


3-nitroproprionic acid yang menyebabkan masuknya kalsium ke
dalam sel yang menyebabkan kerusakan mitokondria (gangguan
metabolisme energi), mengakibatkan eksitoksisitas oleh
neurotransmitter yaitu glutamat dan NMDA (N-methyl-D-aspartate),
seterusnya mengakibatkan apoptosis sel. Kerusakan mitokondria
juga menyebabkan stres oksidatif pada sel-sel neuron (Rowland,
2005).
c) Penurunan inhibisi
Apoptosis sel-sel neuron di basal ganglia tersebut menyebabkan
pengurangan produksi inhibitor neurotransmitter, GABA (gamma-
aminobutyric acid), selanjutnya mengakibatkan penurunan inhibisi
atau peningkatan aktivasi dari talamus. Aktivasi talamus yang
meningkat menyebabkan pergerakan hiperkinetik berlebihan dan
tidak teratur, ataupun nama lainnya chorea (Rowland, 2005).

Secara genetika, Huntington’s Disease adalah suatu gangguan


trinucleotide atau ekspansi kodon triplet berulang. Ekspansi kodon triplet
berulang ini tidak stabil di dalam gametogenesis, frekuensi ulang
ditransmisi ke generasi seterusnya, dapat terjadi penurunan atau
peningkatan ulang, tetapi biasanya peningkatan. Pada alel intermediet,
terjadi mutasi spontan yang meningkatkan kemungkinan mutasi sehingga
terjadinya Huntington’s Disease. Ibu yang menderita HD menurunkan
gen mutan ke generasi seterusnya kurang lebih dengan jumlah ulangan
yang sama, namun apabila dari pihak ayah, jumlah ulangan lebih tinggi
karena sperma DNA kurang stabil berbanding DNA sel lain. Keturunan
yang mendapat gen mutan dari ayah seringkali menderita juvenile HD
(onset HD pada umur < 20 tahun). Lebih tinggi frekuensi ulangan, lebih
34

awal onset gejala HD dan lebih tinggi kadar degenerasi di basal ganglia
(Rowland, 2005).
Pada HD, onset usia sama bagi homozigot dan heterozigot. Namun
pada homozigot, gejala klinis dan progresivitas penyakit lebih cepat,
dikatakan karena pergandaan dari jumlah protein mutan dan
sekumpulannya yang menyebabkan apoptosis sel yang lebih banyak dan
cepat. Kelainan genetik lain dengan pengembangan gangguan
trinucleotide atau ekspansi kodon triplet berulang adalah Fragile X
Syndrome, Kennedy syndrome (kromosom X-linked spinal dan atrofi
muskulus bulbar), distrofi miotonik, atrofi spinoserebral, dan atrofi
dentatorubral-pallidoluysian. Patogenesis yang sama bagi semua kelainan
ini telah disetujui sebagai usulan mekanisme, namun masih belum pasti
adakah agregasi protein di dalam sel neuron yang merupakan faktor
toksik atau protektif. Sepertiga individu penderita HD mempunyai
haplotype yang sama, justru menunjukkan masih dalam keturunan yang
sama. Dua pertiga individual lain kemungkinan besar menderita HD dari
mutasi spontan. Diagnosis HD dapat ditegakkan secara pasti dari DNA
atau tes genetik, namun diingat bahwa konseling genetik harus dilakukan
sebelum dan sesudah tes DNA tersebut. Selain itu, diagnosis prenatal dan
preklinik dapat dilakukan sekiranya apabila ada indikasi seperti faktor
risiko dari HD. (Rowland, 2005).
35

Gambar 4. Patofisiologi Huntington’s Disease (Rowland, 2005).


36

Gejala tanda
Gejala yang ditimbulkan sama seperti demensia subkortikal
yaitu selain didapatkan demensia juga gejala postur langkah gait
seperti depresi. Pada MRI didapatkan pelebaran vertikel melebihi
proporsi dibanding atropi kortikol otak. Demensia pada penyakit
Huntington ditandai oleh perlambatan psikomotor dan kesulitan
melakukan tugas yang kompleks, tetapi ingatan, bahasa, dan tilikan
tetap relatif utuh pada stadium awal dan menengah dari penyakit.
Tetapi, saat penyakit berkembang, demensia menjadi lengkap dan ciri
yang membedakan penyakit ini dari demensia tipe Alzheimer adalah
tingginya insidensi depresi dan psikosis, disamping gangguan
pergerakan koreoatetoid yang klasik (Darmojo, 2011).

f) Sindroma amnestik dan “pelupa benigna akibat penuaan”


Pada sindroma dua keadaan diatas, gejala utama adalah
gangguan memori, sedangkan pada demensia terdapat gangguan pada
fungsi intelektual yang lain. Bila gangguan daya ingat bertambah
progresif ditambah dengan gangguan intelektual yang lain maka
kemungkinan besar diagnosa demensia dapat ditegakkan (Darmojo,
2011).

Patomekanisme
Pelupa benigna akibat penuaan dan demensia amnestik terdapat
gangguan memori yang disebabkan :
i. Difisiensi tiamin : yang diakibatkan pemakaian alkohol yang
berlebihan
ii. Lesi pada struktur otot bagian temporal tengah : akibat trauma atau
anoksia
iii. Iskemia global translen (sepintas) : akibat insufisiensi
cerebrovaskular (Darmojo, 2011).
37

Gejala tanda
i. Gejala utama adalah gangguan memori ( pada kedua keadaan
diatas)
ii. Pada demensia terdapat gangguan fungsi kortikel
iii. Pada sindroma amnestik terdapat gangguan pada daya ingat hal
yang baru terjadi
iv. Pelupa benigna akibat penuaan biasannya terlihat sebagai gangguan
daya ingat yang tidak progresif dan tidak menganggu aktivitas
sehari-hari. Biasanya dikenali oleh keluarga, teman karena sering
mengulang pernyataan yang sama atau lupa dengan kejadian yang
baru terjadi (Darmojo, 2011).

3) Gambaran klinis demensia


Gambaran utama demensia adalah munculnya defisit kognitif
multipleks, termasuk gangguan memori, setidak-tidaknya satu di antara
gangguan gangguan kognitif berikut ini: afasia, apraksia, agnosia, atau
gangguan dalam hal fungsi eksekutif. Defisit kognitif harus sedemikian
rupa sehingga mengganggu fungsi sosial atau okupasional (pergi ke
sekolah, bekerja, berbelanja, berpakaian, mandi, mengurus uang, dan
kehidupan sehari-hari lainnya) serta harus menggambarkan menurunnya
fungsi luhur sebelumnya (Sudoyo, 2009).
a) Gangguan memori
Dalam bentuk ketidakmampuannya untuk belajar tentang hal-hal
baru, atau lupa akan hal-hal yang baru saja dikenal, dikerjakan atau
dipelajari. Sebagian penderita demensia mengalami kedua jenis
gangguan memori tadi. Penderita seringkali kehilangan dompet dan
kunci, lupa bahwa sedang meninggalkan bahan masakan di kompor
yang menyala, dan merasa asing terhadap tetangganya. Pada demensia
tahap lanjut, gangguan memori menjadi sedemikian berat sehingga
penderita lupa akan pekerjaan, sekolah, tanggal lahir, anggota
keluarga, dan bahkan terhadap namanya sendiri (Sudoyo, 2009).
38

b) Gangguan orientasi
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap
orang, tempat, dan waktu. Orientasi dapat terganggu secara progresif
selama perjalanan penyakit demensia. Sebagai contohnya, pasien
dengan demensia mungkin lupa bagaimana kembali ke ruangannya
setelah pergi ke kamar mandi. Tetapi, tidak masalah bagaimana
beratnya disorientasi, pasien tidak menunjukkan gangguan pada
tingkat kesadaran (Sudoyo, 2009).
c) Afasia
Dapat dalam bentuk kesulitan menyebut nama orang atau benda.
Penderita afasia berbicara secara samar-samar atau terkesan hampa,
dengan ungkapan kata-kata yang panjang, dan menggunakan istilah-
istilah yang tak menentu misalnya “anu”, “itu”, “apa itu”. Bahasa lisan
dan tertulis dapat pula terganggu. Pada tahap lanjut, penderita dapat
menjadi bisu atau mengalami gangguan pola bicara yang dicirikan
oleh ekolalia (menirukan apa yang dia dengar) atau palilalia yang
berarti mengulang suara atau kata terus-menerus (Sudoyo, 2009).
d) Apraksia
Adalah ketidakmampuan untuk melakukan gerakan meskipun
kemampuan motorik, fungsi sensorik dan pengertian yang diperlukan
tetap baik. Penderita dapat mengalami kesulitan dalam menggunakan
benda tertentu (menyisir rambut) atau melakukan gerakan yang telah
dikenali (melambaikan tangan). Apraksia dapat mengganggu
keterampilan memasak, mengenakan pakaian, menggambar (Sudoyo,
2009).
e) Agnosia
Adalah ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi
benda maupun fungsi sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tak
dapat mengenali kursi, pena, meskipun visusnya baik. Akhirnya,
penderita tak mengenal lagi anggota keluarganya dan bahkan dirinya
sendiri yang tampak pada cermin. Demikian pula, walaupun sensasi
taktilnya utuh, penderita tak mampu mengenali benda yang diletakkan
39

di tangannya atau yang disentuhnya misalnya kunci atau uang logam


(Sudoyo, 2009).
f) Gangguan fungsi eksekutif
Yaitu merupakan gejala yang sering dijumpai pada demensia.
Gangguan ini mempunyai kaitan dengan gangguan di lobus frontalis
atau jaras-jaras subkortikal yang berhubungan dengan lobus frontalis.
Fungsi eksekutif melibatkan kemampuan berpikir abstrak,
merencanakan, mengambil inisiatif, membuat urutan, memantau, dan
menghentikan kegiatan yang kompleks. Gangguan dalam berpikir
abstrak dapat muncul sebagai kesulitan dalam menguasai tugas/ide
baru serta menghindari situasi yang memerlukan pengolahan
informasi baru atau kompleks (Sudoyo, 2009).
g) Perubahan Kepribadian
Perubahan kepribadian pasien demensia merupakan gambaran
yang paling mengganggu bagi keluarga pasien yang terkena. Sifat
kepribadian sebelumnya mungkin diperkuat selama perkembangan
demensia. Pasien dengan demensia juga mungkin menjadi introvert
dan tampaknya kurang memperhatikan tentang efek perilaku mereka
terhadap orang lain. Pasien demensia yang mempunyai waham
paranoid biasanya bersikap bermusuhan terhadap anggota keluarga
dan pengasuhnya. Pasien dengan gangguan frontal dan temporal
kemungkinan mengalami perubahan kepribadian yang jelas dan
mungkin mudah marah dan meledak-ledak (Sudoyo, 2009).
4) Diagnosis demensia
Didasarkan pada pemeriksaan klinis pasien, termasuk pemeriksaan
suatu mental, dan pada informasi dari anggota keluarga, teman-teman,
dan perusahaan. Keluhan perubahan kepribadian pada seorang pasien
yang berusia lebih dari 40 tahun menyatakan bahwa suatu diagnosis
demensia harus dipertimbangkan dengan cermat (Sudoyo, 2009).
Keluhan dari pasien tentang gangguan intelektual dan menjadi
pelupa harus diperhatikan, demikian juga tiap bukti pengelakan,
penyangkalan, atau rasionalisasi yang ditujukan untuk menyembunyikan
40

defisit kognitif. Keteraturan yang berlebihan, penarikan sosial atau


kecenderungan untuk menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam
perincian yang kecil-kecil dapat merupakan karakteristik. Ledakan
kemarahan yang tiba-tiba atau sarkasme dapat terjadi. Penampilan dan
perilaku pasien harus diperhatikan. Labilitas emosional, dandanan yang
kotor, ucapan yang tidak tertahan, gurauan yang bodoh, atau ekspresi
wajah atau gaya yang bodoh, apatik atau kosong menyatakan adanya
demensia, terutama jika disertai dengan gangguan ingatan (Sudoyo,
2009).

C. Depresi
1) Patofisiologi
a) Faktor Psikososial
Berkurangnya interaksi sosial dan dukungan sosial yang kurang
baik dapat mengakibatkan penyesuaian diri yang negatif pada lansia.
Menurunnya kapasitas hubungan keakraban dengan keluarga,
berkurangnya interaksi dengan keluarga yang dicintai dapat
menimbulkan perasaan tidak berguna, merasa disingkirkan, tidak
dibutuhkan lagi dan kondisi ini dapat berperan dalam terjadinya
depresi.
b) Kemampuan adaptasi (lamanya tinggal dipanti)
Sulit bagi lansia meninggalkan rumah lamanya yang selama ini
ditempati bersama-sama orang-orang yang dicintainya. Yang tentu
saja mempunyai kenangan manis. Selain itu sikap konservatif lansia
menambah sulit untuk menyesuaikan diri pada lingkungan baru.
Kondisi ini dapat menyebabkan perasaan tertekan, kesedihan dan
keputusasaan.
c) Faktor Psikologi
I. Motivasi Masuk Panti
Motivasi merupakan suatu dorongan dalam pikiran untuk
bertindak. Motivasi sangat penting bagi lansia untuk menentukan
tujuan hidup dan apa yang ingin dicapainya dalam kehidupan di
41

panti. Adanya keinginan yang muncul dari dalam individu lansia


untuk tinggal di panti akan membuatnya bersemangat
meningkatkan toleransi dan merasa berguna. Kondisi ini akan
menimbulkan efek yang baik bagi kehidupan lansia.
II. Rasa rendah diri atau tidak berdaya
Seseorang yang ambisius, merasa dikejar-kejar akan tugas
dan selalu berambisi harus lebih maju, umumnya saat memasuki
lansia cendrung untuk: gelisah, mudah stres, was-was, mudah
frustasi, merasa diremehkan, mudah cemas, sulit tidur, tidak siap
hidup dirumah saja, perasaan tidak berdaya dan tidak berguna.
Sebaliknya mereka yang berkepribadian tenang, keinginan untuk
maju diimbangi dengan usaha yang tidak terburu-buru berdasarkan
pada pemikiran yang tenang pada umumnya tidak menunjukkan
perubahan psikologis yang negatif.
d) Faktor Budaya
Budaya barat dengan sifat mandiri dan individual yang sangat
menonjol sering mengganggap lansia sebagai trouble maker. Karena
memandang lansia sebagai kelompok masyarakat yang kurang
menyenangkan karena sifat-sifat lansia yang menjengkelkan, kondisi
fisik yang menurun sehingga perlu bantuan dan sering menjadi beban.
Untuk langkah penyelesaiannya adalah dengan menitipkan lansia di
panti. Akibatnya perubahan psikologis lansia cendrung negatif dan
cendrung memperburuk kondisi kesehatan lansia. Disamping itu
mendorong lansia merasa tidak enak dan rendah mutunya, mereka
akan cendrung kekurangan motivasi untuk mengerjakan apa yang
seharusnya mampu mereka kerjakan.
e) Faktor Biologik
Ini disebabkan karena kehilangan dan kerusakan sel-sel saraf
maupun zat neurotransmiter, resiko genetik maupun adanya penyakit
misalnya: kanker, Diabetes militus, post stroke dan lain-lain yang
memudahkan terjadinya depresi.
42

Tabel. Perbandingan delirium, depresi, dan demensia

Delirium Depresi Demensia

Awitan Cepat (beberapa jam Cepat (Beberapa minggu Bertahap (bertahun-


sampai beberapa hari) sampai beberapa bulan) tahun)

Proses Fluktuasi luas, dapat Mungkin ada pembatasasn Kronik; Lambat


gangguan berlangsung terus diri atau menjadi kronik namun terus menerus
menerus selama tanpa pengobatan
beberapa minggu jika
penyebabnya tidak
diketahui

Tingkat Berfluktuasi dari sangat Normal Normal


kesadaran waspada hingga sulit
untuk dibangunkan

Orientasi Pasien disorientasi, Pasien mungkin tampak Pasien disorientasi,


bingung disorientasi bingung

Afek Berfluktuasi Sedih, depresi, cemas, rasa Labil, apatis pada


bersalah tahap lanjut

Perhatian Selalu terganggu Kesulitan berkonsentrasi; Mungkin utuh;


pasien mungkin menelaah pasien dapat
kembali tindakannya memutuskan
perhatian untuk satu
hal dalam waktu
yang lama

Tidur Selalu terganggu Terganggu; tidur Biasanya normal


berlebihan atau insomnia,
terutama ketika bangun
pagi lebih awal

Perilaku Pasien agitasi. gelisah Pasien mungkin lelah, Pasien mungkin


apatis, kadang agitasi agitasi atau apatis,
43

mungkin keluyuran

Pembicaraan Jarang atau cepat, Datar dan jarang, mungkin Jarang atau cepat,
pasien mungkin meledak-ledak, dapat berulang-ulang
inkoheren dimengerti pasien mungkin
inkoheren

Memori Terganggu, terutama Bervariasi dari hari ke hari, Terganggu, terutama


untuk peristiwa yang lamban dalam mengingat, untuk peristiwa yang
baru terjadi sering defisit memori jarak baru terjadi
pendek

Kognisi Gangguan berfikir Mungkin tampak terganggu Gangguan berfikir


dan menghitung

Isi Pikir Inkoheren, bingung, Negatif, hipokondriasis, Tidak teratur, kaya


waham, stereotip pikiran tentang kematian, isi pikir, waham,
paranoid paranoid

Persepsi Salah penafsiran, ilusi, Terganggu, pasien Tidak berubah


halusinasi mungkin mengalami
halusinasi pendengaran,
penafsiran negatif terhadap
orang lain dan kejadian

Penilaian Buruk Buruk Buruk, perilaku tidak


tepat secara sosial

Daya tilik Mungkin ada saat-saat Mungkin terganggu Tidak ada


berfikir jernih

Penampilan Buruk, tetapi berfariasi, Kerusakan memori, Secara konsisten


pada meningkat saat berfikir menghitung, menggambar, buruk, makin
pemeriksaan jernih dan saat mengikuti perintah memburuk, Pasien
status mental penyembuhan biasanya tidak terganggu, berupaya menjawab
sering menjawab “saya semua pertanya
tidak tahu”
44

3. Prinsip Penatalaksanaan Pada Geriatri


A. Dampak proses penuaan terhadap pemilihan obat
1) Faal ginjal pada usia lanjut
Setelah umur 30 tahun mulai terjadi penurunan kemampuan ginjal
dan pada usia 60 tahun kemampuan ginjal menurun menjadi tinggal 50%
dari kapasitas fungsinya pada usia 30 tahun. Ini disebabkan karena proses
fisiologik berupa berkurangnya populasi nefron dan tidak adanya
kemampuan regenerasi.
Beberapa hal yang diperlukan berkaitan dengan faal ginjal pada
usia lanjut antara lain: (Cox jr dkk,1985)
a) Fungsi konsentrasi dan pengenceran menurun
b) Keseimbangan elektrolit dan asam basa lebih mudah terganggu bila
dibandingkan dengan usia muda
c) Ureum darah normal karena masukan protein terbatas dan produksi
ureum menurun. Kreatinin darah normal karena produksi menurun
serta masa otot berkurang. Maka paling tepat untuk menilai faal ginjal
pada usia lanjut adalah memeriksa creatinin Clearance.
d) Renal plasma flow (RPF) dan glomelural filtration rate (GFR)
creatinin Clearance menurun secara linier sejak usia 30 tahun
e) 1.25 dihidroxy – vitamin D3 menurun, sedang 25 dihidroxy vitamin
D3 normal. Ini sering menimbulkan osteomalasi yang tidak
mempunyai respons terhadap pemberian vitamin D.
Untuk menilai GFR/ creatinin Clearance rumus dibawah ini cukup
akurat digunakan pada usia lanjut:
Creatinin Clearance = (140-umur) x berat badan (kg)
ml/menit

72 x serum creatinin

Pada wanita perlu hasil tersebut dikalikan dengan 0.85


45

2) Usia lanjut dan pemakaian obat


Pemakaian obat pada usia lanjut perlu difikirkan kemungkinan
adanya (Basket,JJ,1992)
a) Gangguan absorpsi dalam alat pencernaan
b) Interaksi obat
c) Efek samping obat
d) Gangguan akumulasi obat terutama obat-obatan yang eksresinya
melalui ginjal

3) Resiko pemberian obat pada usia lanjut dan hubungannya dengan faal
ginjal
a) Efek nefrotoksik obat
Efek nefrotoksik obat pada prinsipnya sama dengan usia
dewasa, hanya pada usia lanjut lebih sering dijumpai karena:
i. Usia lanjut lebih mudah terjadi dehidrasi
ii. Lebih sering terjadi gangguan elektrolit yang akan memberikan
potensi efek nefrotoksik, ini karena terjadinya penurunan fungsi
ginjal dan kurangnya masukan air dan elektrolit.
iii. Usia lanjut lebih sering harus menggunakan obat dalam jangka
lama dan sering multipel.
b) Efek toksisitas obat
Efek toksisitas obat akan meningkat pada usia lanjut, sehingga
hal-hal berikut ini perlu diperhatikan:
i. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas pemakaian aminoglykoside
ii. Neuropati perifer pemakaian nitrofurantoin
iii. Hipoglikemia pada pemakaian chlorpropamide
iv. Asidosis laktat pada pemakaian biguanid
v. Intoksisitas pada pemakaian digitalis/ digoxin

Kombinasi proses menua, penyakit yang di derita oleh lansia


dan obat-obatan yang digunakan oleh usia lanjut sering menyebabkan
terjadinya dekompensasi organ.
46

Obat-obatan yang sering digunakan pada usia lanjut yang


bersifat toksin dan eksresinya lebih banyak (baik sebagian atau
keseluruhan) melalui ginjal, antara lain:

i. Digoxin
ii. Insulin
iii. Aminoglikoside
iv. Chlorpropamide
v. Penisiline
vi. Cephalosporine
vii. Cimetidine
viii. Dll

Pemakaian obat pada usia lanjut hendaknya setiap saat


dilakukan evaluasi efektifnya dan hendaknya selalu menjawab
pertanyaan berikut:

i. Apakah obat yang diberikan benar-benar berguna/ diperlukan?


ii. Apakah obat yang diberikan menyebabkan keadaan lebih baik atau
malah membahayakan?
iii. Apakah obat yang diberikan masih tetap diperlukan?
iv. Dapatkah sebagian obat dikurangi dosisnya atau dihentikan?

4) Faal hepar pada usia lanjut


Perubahan hepar pada proses menua adalah terjadinya:
a) Penurunan aliran darah hepar
b) Penurunan massa hepar
c) Penurunan aktivitas enzim
d) Penurunan penginduksian enzim
Karena kapasitas fungsi hepar pada lansia yang menurun banyak
yang disebabkan oleh massa, aliran darah yang berkurang, maka
eliminasi obat menjadi lebih kecil dan lebih lambat. Metabolisme obat di
hepar berlangsung dengan katalis/ aktivitas enzim mikrosoma hepar.
Aktivitas enzim ini dapat dirangsang oleh obat (inducer) dan dapat pula
47

dihambat oleh inhibitor. Obat-obatan yang mengalami metabolisme di


hepar, misalnya: parasetamol, salisilat, diazepam, prokain, propanolol,
quinidine, warfarin, eliminasinya akan menurun yang disebabkan oleh
menurunnya kapasitas fungsi hepar. Bila obat tersebut diberikan
bersamaan dengan obat inhibitor enzim maka proses eliminasi obat akan
bertambah lambat.

Obat-obat yang termasuk enzim inhibitor adalah:

a) Allopurinol
b) INH
c) Penyekat He
d) Simetidin
e) Kloramfenikol
f) Eritromisin
g) Propoksifen
h) Valproat
i) Ciprofloxasin
j) Metronidazole
k) Fenilbutazol
l) Eritromisin, dll

Obat-obat yang termasuk enzim inducer adalah:

a) Ripamfisin
b) Lumpinal
c) Diazepam
d) Fenitoin
e) Karbamazepin
f) Alcohol
g) Nikotin
h) Gluthethimide

Dalam terapi polifarmasi pengaruh obat-obatan inducer / inhibitor


harus selalu diperhitungkan perubahan kinetik yang terjadi terlebih-lebih
48

lagi pada pemakaian kronis (efek inducer dan inhibitor baru efektif
setelah kira-kira satu minggu)

B. Obat-obatan yang boleh atau harus dihindari oleh geriatric


1) Anti-kolinergik
a) Indikasi dan kontraindikasi
Obat antikolinergik adalah obat yang mempengaruhi fungsi
persarafan. Di dalam tubuh manusia terdiri dari beribu-ribu sel saraf.
Sel saraf satu dengan yang lainnya berkomunikasi melalui zat yang
disebut sebagai neurotransmitter. Terdapat berbagai jenis
neurotransmitter tergantung pada jenis sel sarafnya. Salah satu
neurotransmitter utama di tubuh kita adalah asetilkolin. (Katzung,
2014).
Asetilkolin bekerja pada saraf parasimpatis, yakni saraf yang
memiliki efek relaksasi tubuh dan melemaskan otot. Saraf
parasimpatis banyak ditemukan pada otot-otot saluran pencernaan,
saluran kencing, paru-paru. Saraf simpatis tersebut saling
berkomunikasi melalui asetilkolin. Obat antikolinergik bekerja
menghambat asetilkolin tersebut sehingga akan menurunkan fungsi
saraf parasimpatis. (Katzung, 2014).
Contoh obat antikolinergik ialah atropine, benzatropin,
ipratopium, dimenhidramin, diphenhidramin, oksibutin, dan lain-lain.
Berbagai kegunaan dari obat antikolinergik antara lain:
I. Kelainan pada saluran pencernaan, seperti maag, diare, luka pada
usus, mual, muntah
II. Kelainan pada saluran kencing, seperti radang kantung kemih,
radang saluran kencing
III. Kelainan pada saluran napas, seperti asma, infeksi saluran napas
bawah (bronkitis)
IV. Kelaianan pada jantung, seperti denyut jantung rendah
V. Lainnya, seperti insomnia (sulit tidur), pusing berputar. (Katzung,
2014).
49

b) Efek samping

I. Sensasi tidak seimbang;


II. Mulut kering, mata kering, sakit tenggorokan;
III. Kulit kering
IV. Kemerahan pada kulit;
V. Peningkatan suhu badan;
VI. Merasa silau;
VII. Pandangan kabur;
VIII. Denyut jantung meningkat, berdebar-debar;
IX. Sulit buang air kecil;
X. Sulit buang air besar;
XI. Gangguan pada saraf otak (jarang terjadi), seperti kejang, koma,
halusinasi. (Katzung, 2014).

Bila terjadi efek samping tersebut, penderita dapat diberikan


obat penawar yakni phisotigmin. (Katzung, 2014).

c) Dosis

Dosis obat antikolinergik berbeda-beda tergantung pada jenis


obat yang digunakan dan jenis penyakit yang diobati. Sebagai contoh,
dosis atropine untuk mengobati kelaianan saluran cerna ialah 3 kali
0,4 mg. Ipratropium tersedia dalam bentuk cairan untuk terapi uap
pada penderita asma. Dosis ipratropium ialah 500 mikrogram diulang
setiap 20 menin selama tiga kali. Diphenhidramin untuk insomnia
(sulit tidur) dosisnya ialah 50 mg diminum 30 menit sebelum tidur.
(Katzung, 2014).

2) Anti-koagulan
Penggolongan Obat Anti Koagulan – Antikoagulan adalah at-zat
yang dapat mencegah pembekuan darah dengan jalan menghambat
pembentukan fibrin. Antagonis dan vitamin K ini digunakan pada
keadaan dimana terdapat kecendrungan untuk membeku yang meningkat,
50

misalnya pada trombosis. Pada trombosis koroner (infark), sebagian otot


jantung menjadi mati karena penyaluran darah ke bagian ini terhalang
oleh trombus di salah satu cabangnya. Obat-obat ini sangat penting untuk
meningkatkan harapan hidup penderita. (Katzung, 2014).
Antikoagulan digunakan untuk mencegah pembekuan darah dengan
jalan menghambat pembentukan atau menghambat fungsi beberapa
faktor pembekuan darah. (Katzung, 2014).
Atas dasar ini antikoagulan diperlukan untuk mencegah terbentuk
dan meluasnya trombus dan emboli, maupun untuk mencegah bekunya
darah di luar tubuh pada pemeriksaan laboratorium atau tranfusi.
(Katzung, 2014).
Antikoagulan dapat dibagi menjadi 3 kelompok :
a) Heparin
Heparin merupakan anti koagulan injeksi yang bekerja dengan
cara mengikat anti trombin dimana menghasilkan peningkatan yang
sangat besar pada aktivitas anti thrombin. (Katzung & Bertram. 2010)
Struktur Heparin merupakan suatu kelompok asam sulfat
glikosaminoglikans (atau mukopolisakarida) yang terdiri atas sisa
monosakarida pengganti dari asetilglukosamin dan asam glukoronat
beserta derivat-derivatnya. Sisa asam glukoronat hampir semuanya
dalam bentuk asam iduronic dan beberapa ester-sulfat. Sisa N-
asetilglukosamin mungkin mengalami deasilasi, N-sulfat dan ester-
sulfat secara acak. Hasilnya berupa rantai 45-50 sisa glukosa dari
komposisi tersebut diatas. Molekul-molekul tersebut diikatkan oleh
komponen-komponen sulfat pada protein skeleton yang berisi glisin
dan sisa asam amino serin. Berat molekul heparin berkisar dari 3000
sampai 40.000 Daltons dengan rata-rata 12000-15000. Heparin
endogen berlokasi di dalam paru-paru, pada dinding arteri dan di
dalam sel-sel mast yang lebarnya sama dengan polimer molekul yang
beratnya 750.000. Berada di dalam plasma dengan konsentrasi 1,5
mg/l.
51

Heparin memiliki pengisian negatif yang kuat dan molekul yang


besar. Oleh karena itu terdapat penyerapan minimal melalui
pemberian oral. Ini disuplai sebagai sodium heparin dan kalsium
heparin. (Katzung, 2014).

Mekanisme Kerja Heparin


Heparin memiliki beberapa efek:
I. Terhambatnya koagulasi oleh karena meningkatnya kerja anti
trombin serin protease faktor pembekuan (IIa, Xa, XIIa, XIa, dan
IXa).
II. Berkurangnya agregasi trombosit.
III. Permeabilitas vaskular yang meningkat.\
IV. Pelepasan lipase lipoprotein ke dalam plasma.
Pengisian negatif heparin mengikat sisa lisin di dalam anti trombin,
2-globulin, yang mana akan meningkatkan afinitas arginin dari anti
trombin untuk serine site dari trombin (faktor II). Peningkatan
tersebut menghambat aktivitas antitrombin 2300-fold. Ikatan ini
dapat kembali menjadi ikatan anti trombin spesifik yang terdiri atas
5 partikel residu. Partikel pentasakarida secara acak sekitar 1-3
molekul heparin. Untuk kerja penuh dari heparin pada trombin (IIa)
molekul heparin harus memiliki paling kurang 13 ekstra residu
glukosa untuk penambahan anti trombin pentasakarida. Ikatan
secara kovalen trombin-anti-trombin kompleks adalah inaktif tetap
sesekali dibentuk heparin dilepaskan dan kemudian kompleks
tersebut dihancurkan secara cepat oleh hati. Heparin yang aktif
kadang bebas untuk melakukan kerja pada antitrombin yang lebih.
Kerja heparin berada dalam jalur yang sama pada kerja faktor-
faktor pembekuan (XIIa, Xa, dan IXa) serin protease yang lain.
Berikatannya heparin pada kedua faktor pembekuan dan
antitrombin sangat penting dalam meningkatkan antitrombin. Kerja
heparin pada faktor Xa juga dimediasi oleh meningkatnya afinitas
dari antitrombin untuk faktor pembekuan tetapi heparin tidak
52

mengikat faktor Xa. Faktor Xa menghambat peningkatan dengan


menurunkan tingkat heparin dibandingkan yang sudah diukur untuk
menghambat trombin. Heparin mengurangi agresasi trombosit
sekunder pada reduksi di dalam trombin (merupakan penyebab
agregasi trombosit yang poten). Peningkatan di dalam lipase
plasma menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas

Cara Pemberian
Heparin dapat diberikan secara intravena dan subkutan. Dosis
bagi orang dewasa untuk profilaksis trombosis adalah 5000 IU secara
subkutan diberikan selama 8-12 jam/hari. Untuk antikoagulasi penuh,
selama operasi bypass jantung, dengan dosis 3 mg/kg (300 IU/kg)
digunakan hingga mencapai 3-4 IU heparin/ml darah. Heparin bekerja
dengan cepat di dalam plasma. Heparin memiliki volume distribusi
40-100 ml/kg dan kemudian menuju antitrombin, albumin, fibrinogen
dan protease. Meningkat pada fase protein akut (selama penyakit akut
berlangsung) yang secara signifikan merubah efek klinis. Heparin juga
mengikat trombosit dan protein endotel, mengurangi bio-availabilitas
dan pengaruhnya. Obat ini dimetabolisme di dalam hati, ginjal dan
sistem retikuloendotelial oleh heparinase yang desulphate sisa-sisa
mukopolisakarida dan menghidrolisis daerah disekitarnya. Heparin
memiliki lama kerja 40-90 menit. LMW heparin juga diberikan secara
subkutan dan memiliki keuntungan satu kali dalam pemberian sehari.
LMW heparin digunakan di dalam sirkuit dialisis ekstrakorporeal, dan
telah digunakan pada operasi bypass jantung. LMW heparin banyak
kekurangan protein di dalam plasma, trombosit dan dinding vaskuler
serta bio-availabilitas setelah pemberian subkutan paling kurang 90%.
Tingkat dari LMW heparin bebas lebih dapat diprediksi dan
membutuhkan pengontrolan. Puncak aktivitas anti-Xa dicapai dalam
waktu 3-4 jam setelah injeksi subkutan dan aktivitas terbagi 2 setelah
12 jam. Eliminasinya lebih berpengaruh pada ginjal dan waktu
paruhnya dapat meningkat pada gagal ginjal. (Katzung, 2014).
53

Efek pada koagulasi


Heparin dapat meningkatkan aktivitas waktu sebagian
tromboplastin (APTT), waktu trombin (TT) dan waktu penggumpalan
darah (ACT) tetapi tidak mempengaruhi waktu perdarahan.
Penggunaan terapi heparin kita harus mengontrol secara rutin APTT,
sedangkan penggunaan heparin pada bypass jantung harus dikontrol
ACT. Heparin mengandalkan keberadaan antitrombin untuk
membantu aktivitasnya. Penggunaan heparin jangka panjang dapat
menyebabkan osteoporosis dengan mekanisme yang belum diketahui.
(Katzung, 2014).

b) Antikoagulan oral
Seperti halnya heparin, antikoagulan oral berguna untuk
pencegahan dan pengobatan tromboemboli. Untuk pencegahan,
umumnya obat ini digunakan dalam jangka panjang. (Katzung, 2014).
Terhadap trombosis vena, efek antikoagulan oral sama dengan
heparin, tetapi terhadap tromboemboli sistem arteri, antikoagulan oral
kurang efektif. (Katzung, 2014).
Antikoagulan oral diindikasikan untuk penyakit dengan
kecenderungan timbulnya tromboemboli,antara lain infark miokard,
penyakit jantung rematik, serangan iskemia selintas, thrombosis vena,
emboli paru. Terdiri dari derivat 4 -hidroksikumarin misalnya :
dikumoral, warfarin dan derivat indan-1,3-dion misalnya : anisindion.
(Katzung, 2014).
Anti koagulan oral menghambat berkurangnya vitamin K.
Pengurangan vitamin K dibutuhkan sebagai kofaktor di dalam
karboksilasi dari residu glutamat pada glikoprotein faktor bekuan II,
VII, IX, dan X, yang mana disintesis di dalam hati. Selama proses
karboksilasi ini berlangsung, vitamin K dioksidasi menjadi vitamin K
– 2,3-epoksid. Anti koagulan oral mencegah reduksi dari senyawa ini
kembali menjadi vitamin K. Untuk bekerja, kumarin harus diutilisasi
di dalam hati. Anti koagulan oral melakukan hal ini berdasarkan pada
54

struktur yang sama dari vitamin K. Aktivitas dari anti koagulan oral
tergantung pada deplesi faktor-faktor tersebut, dimana berkurang
menurut lama kerja dari masing-masing. (Katzung, 2014).
Ada 2 kelompok anti koagulan oral :
I. Kumarin (warfarin dan nicoumalon)
II. Inandiones (phenindione)
Warfarin penggunaannya sudah tersebar luas. Phenindione lebih
sering menyebabkan hipersensitivitas, tetapi dapat berguna apabila
terdapat intoleransi pada penggunaan warfarin. (Katzung, 2014).
Warfarin diberikan secara oral sebagai campuran dari warfarin
D dan warfarin L. Ini sangat cepat diserap hingga mencapai puncak
konsentrasi plasma dalam waktu 1 jam dengan bioavailabilitas 100%.
Bagaimanapun, efek klinisnya tidak akan jelas kelihatan hingga
faktor-faktor pembekuan mengalami deplesi setelah 12-16 jam dan
mencapai puncaknya pada 36-48 jam. Warfarin 99% merupakan
protein (albumin) di dalam plasma pada volume penyebaran yang
kecil. Warfarin di metabolisme dengan cara oksidasi (bentuk L) dan
reduksi (bentuk D), diikuti oleh konjugasi glukoronidasi, dengan lama
kerja sekitar 40 jam. (Katzung, 2014).
Warfarin berjalan melalui plasenta dan bersifat teratogenik pada
kehamilan. Pada periode pasca kelahiran warfarin akan berjalan
melewati payudara dimana menjadi masalah dalam menghasilkan
vitamin K2 dan fungsi hepar yang masih belum berkembang dengan
baik pada bayi yang baru lahir. (Katzung, 2014).
Warfarin memiliki indeks terapeutik yang rendah, terutama bila
berinteraksi dengan obat-obat yang lain. Interaksi dengan obat-obatan
yang lain akan menimbulkan efek warfarin yang terjadi di beberapa
jalur
Efek yang dibuat lebih signifikan karena secara normal hanya
1% warfarin yang bebas dan sebuah perubahan kecil didalam ikatan
protein memiliki efek dramatis pada tingkat warfarin bebas. D-
Thyroxine meningkatkan potensi warfarin oleh karena meningkatnya
55

ikatan hepatik. Ethanol yang diberikan secara oral dapat menghambat


enzim-enzim hati yang bertanggung jawab dalam eliminasi warfarin.
Efek dari warfarin juga meningkat pada penyakit-penyakit akut,
rendahnya masukan vitamin K dan obat-obat seperti cimetidin,
aminoglikosid dan paracetamol. (Katzung, 2014).
Antibiotik spektrum luas mengurangi jumlah bakteri usus yang
bertanggung jawab untuk sintesis vitamin K dan dapat meningkatkan
efek vitamin K pada saat makanannya kekurangan vitamin K.
Antikoagulan yang lain utamanya obat-obatan anti platelet dapat
meningkatkan pengaruh klinis dari warfarin. (Katzung, 2014).
Interaksi antara warfarin dengan obat-obatan yang lain dapat
menurunkan efek dari warfarin itu sendiri, yang dapat terjadi pada
beberapa jalur, khususnya induksi dari enzim-enzim microsomal
hepatik. Obat-obatan yang meningkatkan tingkat faktor pembekuan
Pengikatan warfarin dan peningkatan intake vitamin K. (Katzung,
2014).
Efek dari warfarin mungkin berkurang karena induksi dari
enzim-enzim hepatik oleh barbiturat dan fenitoin. Estrogen dapat
meningkatkan produksi vitamin K tergantung pada faktor-faktor
pembekuan (II, VII, IX, X). Kolestiramin mengikat warfarin untuk
mengurangi efek tersebut. Carbamazepin dan rifampicin mengurangi
efek dari warfarin. (Katzung, 2014).

c) Antikoagulan yang bekerja dengan mengikat ion kalsium


Aspirin, sulfinpirazon, dipiridamol, tiklopidin dan dekstran
merupakan obat yang termasuk golongan ini. (Katzung, 2014).
Natrium sitrat dalam darah akan mengikat kalsium menjadi
kompleks kalsium sitrat. Bahan ini banyak digunakan dalam darah
untuk transfusi, karena tidak tosik. Tetapi dosis yang terlalu tinggi
umpamanya pada transfusi darah sampai 1.400 ml dapat menyebabkan
depresi jantung. (Katzung, 2014).
56

Asam oksalat dan senyawa oksalat lainnya digunakan untuk


antikoagulan di luar tubuh (in vitro), sebab terlalu toksis untuk
penggunaan in vivo (di dalam tubuh). (Katzung, 2014).
Natrium edetat mengikat kalsium menjadi kompleks dan bersifat
sebagai antikoagulan. (Katzung, 2014).
Setiap tablet Aspirin mengandung 0,5 g asam asetilsalisllat.
(Katzung, 2014).

Indikasi
Untuk meringankan rasa sakit, terutama sakit kepala dan pusing,
sakit gigi, dan nyeri otot serta menurunkan demam. (Katzung, 2014).

Aturan pakai
Dianjurkan agar tablet diminum sesudah makan. Sebaiknya
tablet dilarutkan dulu dalam air dan diminum dengan air yang cukup
banyak. (Katzung, 2014).

Cara kerja obat


Asam Asetil Salisilat menghambat pengaruh dan biosintesa
daripada zat-zat yang menimbulkan rasa nyeri dan demam
(Prostaglandin). Daya kerja antipiretik dan analgetik daripada Aspirin
diperkuat oleh pengaruh langsung terhadap susunan saraf pusat.
(Katzung, 2014).

Kontraindikasi
Penderita tukak lambung dan peka terhadap derivat asam
salisilat, penderita asma, dan alergi. Penderita yang pernah atau sering
mengalami perdarahan di bawah kulit, penderita yang sedang diterapi
dengan antikoagulan, penderita hemofilia dan trombositopenia, jangan
digunakan pada penderita varicella cacar air/ chicken pox dan gejala
flu serta penderita yang hipersensitif. (Katzung, 2014).
57

Efek samping
Iritasi lambung, mual, muntah. Pemakaian lama dapat terjadi
perdarahan lambung, tukak lambung. Dapat terjadi berkurangnya
jumlah trombosit (trombositopenia). (Katzung, 2014).

3) Psikoaktif
Obat antipsikotik tradisional (fenotiazin dan haloperidol) telah
digunakan secara luas (dan mungkin disalahgunakan) dalam
penatalaksanaan berbagai penyakit kejiwaan pada pasien lansia. Tidak
diragukan lagi bahwa mereka berguna dalam penanganan skizofrenia di
usia lanjut dan juga dalam pengobatan beberapa gejala yang berkaitan
dengan delirium, demensia, agitasi, mengamuk, dan sindrom paranoid
yang terjadi pada sebagian pasien geriatrik. Namun, obat-obatan ini
belum sepenuhnya memuaskan pada berbagai penyakit geriatrik ini dan
dosis jangan ditingkatkan berdasarkan anggapan bahwa penyakit dapat
sepenuhnya dikontrol. Tidak ada bukti bahwa obat-obat ini berguna
dalam demensia Alzeimer dan secara teoritis efek ntimuskarinik
fenotiazin dapat diperkirakan memperparah gangguan daya ingat dan
intelektual. (Katzung, 2014).
Banyak perbaikan yang dijumpai pada pasien dengan agitasi dan
agresif mungkin sebenarnya mencerminkan efek sedatif obat. Jika
diinginkan suatu antipsikotik sedatif, dapat digunakan suatu fenotiazin
misalnya tioridazin. Jika sedasi ingin dihindari, haloperidol atau
antipsikotik atipikal akan lebih sesuai. Namun, haloperidol
memperlihatkan peningkatan toksisitas elstrapiramidal dan perlu
dihindari pada pasien yang sudah mengidap penyakit ekstrapiramisal.
Golongan fenotiazin, khususnya obat lama seperti klorpromazin, sering
menyebabkan hipotensi ortostatik karena efek blokade adreenoseptor α
mereka. Efek ini bahkan lebih nyata pada pasien lanjut usia. Dosis obat-
obat ini seyogianya dimulai dengan sebagian dosis yang diberikan pada
pasien dewasa muda (Katzung, 2014).
58

Litium sering digunakan pada pengobatan mania pada lansia.


Karena obat ini dibersihkan oleh ginjal, dosisnya harus disesuaikan dan
kadar dalam darah dipantau. Pemakaian bersamaan dengan diuretic tiazid
akan mengurangi bersihan litium dan perlu disertai oleh penurunan dosis
lebih lanut dan pengukuran kadar litium darah yang lebih sering
(Katzung, 2014).
Depresi ntipsikiatrik pada orang lanjut usia diperkirakan kurang
terdiagnosis dan kurang diterapi. Angka bunuh diri pada kelompok usia
diatas 65 tahun (dua kali dari rerata nasional) mendukung pandangan ini.
Sayangnya, gejala apatis, afek yang datar, dan penarikan diri secara
sosial pada depresi mayor dapat disalahartikan sebagai demensia senilis.
Bukti kinias menisyaratkan bahwa orang berusia lanjut sama
responsifnya terhadap antidepresan (dari semua jenis) seperti pasiien
yang lebih muda, tetapi lebih besar kemungkinan mengalami efek toksik.
Faktor ini, bersama dengan berkurangnya bersihan sebagian obat ini,
menggarisbawahi pentingnya perhitungan dosis dan pemantauan tanda-
tanda toksik. Jika akan digunakan suatu antidepresan trisiklik, perlu
dipilih obat dengan efek antimuskarinik yang rendah, misalnya
nortriptilin atau despiramin. Untuk meminimalkan efek otonom dapat
dipilih suatu selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI).

4) Analgesik
Prinsip penanganan nyeri adalah mengidentifikasi dan
mengeliminasi kausa yang mendasari nyeri, misalnya tumor, infeksi, dll.
Hal ini tidak selalu dapat dilakukan dengan mudah, sehingga pilihan
masuk akal yang biasa dilakukan oleh klinisi adalah menangani
keluhan/gejala dengan tujuan mengurangi nyeri. Meskipun nyeri tidak
dapat dihilangkan, tetapi usaha maksimal dapat dilakukan dengan
penilaian yang teliti tanpa melupa- kan evaluasi respons terapi (Barus,
2015).
Penanganan nyeri pada lansia, sebagaimana penanganan nyeri pada
umumnya, sebaiknya berdasarkan tipe, sifat, dan keparahan nyeri. Terapi
59

farmakologis tetap memainkan peranan penting untuk mengatasi nyeri


pada lansia. Penting untuk diingat bahwa pada lansia terdapat
peningkatan sensitivitas terhadap kerja obat. Oleh karena itu, setiap
pilihan analgetik perlu dimulai dari dosis kecil dan dinaikkan bertahap
sesuai dengan toleransi pasien dan sasaran terapi. Titrasi dosis sering
tidak mengikuti ketentuan umum, karena pada umumnya lansia akan
berespons berbeda dibanding populasi dewasa pada umumnya. Sedapat
mungkin, pilihan analgetik didasari oleh mekanisme terjadinya nyeri.
Sebagai contoh, nyeri inflamasi sebaiknya diterapi dengan anti-inflamasi
dan nyeri neuropatik diterapi dengan menggunakan analgetik adjuvan.
Hal ini untuk menjaga agar terapi tepat sasaran. Kombinasi analgetik
tidak diharamkan selama perhitungan efektivitas dan efek samping
dilakukan dengan seksama. Sebagai contoh, pasien dapat diterapi dengan
analgetik non-opioid, opioid, dan adjuvan selama memang dibutuhkan.
Hindari kombinasi analgetik yang berasal dari golongan yang sama
(Barus, 2015).
60

Golongan obat
antidepresan • Golongan trisiklik, seperti amitriptilin dan imipramin, tidak dianjurkan untuk
digunakan pada lansia sehubungan dengan efek retensi urin, hipotensi postural,
sedasi, glaukoma, dan aritmia

• Nortriptilin, mempunyai efek samping lebih sedikit dibanding antidepresan


trisiklik lainnya, dapat dipergunakan dengan pengawasan

• Golongan SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor) tidak efektif dalam


penanganan nyeri persisten meskipun tolerabilitasnya lebih baik dibanding
antidepresan trisiklik

• Golongan SNRI (serotonin norepinephrine reuptake inhibitor), seperti


duloksetin, cukup efektif untuk nyeri persisten, dengan tingkat tolerabilitas yang
lebih baik dibanding antidepresan trisiklik

Antikonvulsan • Antikonvulsan untuk nyeri persisten golongan gabapentin dan pregabalin


lebih ditoleransi baik oleh lansia dibanding karbamazepin, fenitoin, dan asam
valproat. Obat ini digunakan pada kasus nyeri neuropatik (postherpetik neuralgia,
neuropati DM, dll). Gabapentin dan pregabalin juga lebih ditoleransi baik
dibanding antidepresan trisiklik

• Titrasi dosis diperlukan untuk meminimalisir efek samping

Analgetik • Lidokain : Sediaan lidokain 5% efektif untuk neuralgia postherpetika


topikal
• OAINS : Efektif mengurangi nyeri dan menghindari efek samping
sistemik
Tabel 1.1 Terapi Adjuvan pada Lansia (Barus, 2015).
• Kapsaisin : Dapat dipertimbangkan untuk kasus neuralgia postherpetika

Beers Criteria untuk Analgetik

Dengan mempertimbangkan perubahan fisiologis yang terjadi pada


lansia, efektivitas obat sesuai bukti ilmiah, dan potensi pe-
nyalahgunaannya, maka American Geriatrics Society menerbitkan Beers
criteria. Beers criteria berisi obat-obatan yang berpotensi terjadi
penyalahgunaan atau penggunaan tidak sesuai pada lansia, khususnya
lansia di komunitas. Beers Criteria khusus untuk analgetik dapat dilihat
pada tabel 2 (Barus, 2015).
61

Obat Rasio Rekomendasi Kualitas Bukti


nal Ilmiah
Meperidine Bukan analgetik oral yang efektif; Hindari Tinggi
dapat mengakibatkan
neurotoksisitas
OAINS non-selektif (oral) • Meningkatkan risiko perdarahan • Hindari Moderat
traktus gastrointestinal dan ulkus penggunaan kronik,
• Aspirin >325 mg peptikum pada kelompok risiko kecuali pilihan obat
tinggi, yaitu usia >75 tahun, yang lain tidak efektif
• Diklofenak
mendapat terapi kortikosteroid,
antikoagulan, antiplatelet • Berikan agen
• Diflunisal proteksi lambung
• Etodolak • Penggunaan bersama PPI (PPI + /
(proton pump inhibitor) dan misoprostol) jika
• Fenoprofen misoprostol dapat menurunkan, harus menggunakan
namun tidak menghilang- kan risiko obat-obat ini
• Ibuprofen
• Perforasi, perdarahan saluran cerna
• Ketoprofen atas, ulserasi terjadi pada

• Meklofenamat 1% pasien yang menjalani


pengobatan kontinu dalam 3-6 bulan
• Asam mefenamat dan 2-4% pada pengobatan 1 tahun
•Indometasin,
Meloksikam
ketorolak • Meningkatkan risiko perdarahan Hindari Indometasin:
saluran cerna dan ulkus peptikum moderat
•(termasuk
Nabumeton
parenteral) pada kelompok risiko tinggi (sda)
• Naproksen Ketorolak: Tinggi
• Dari keseluruhan OAINS,
• Oksaprozin indometasin memiliki efek samping
yang paling berat
• Piroksikam
Pentazosin Analgetik opioid yang menyebabkan Hindari Rendah
• Sulindak konfusi, halusinasi; lebih sering
dibanding opioid lainnya
• Tolmetin
62

Relaksan otot • Kebanyakan relaksan otot tidak Hindari Moderat


ditoleransi baik pada lansia, karena
• Carisoprodol efek samping antikolinergik, sedasi,
risiko fraktur
• Siklobenzaprin
• Dosis terapeutik efektif, mungkin
• Klorzoksazon tidak dapat ditolerir oleh lansia
• Metoksalon

• Metokarbamol

• Orphenadrin
Penggunaan tramadol harus secara hati- hati, karena dapat
menurunkan ambang batas kejang. Dapat diberikan jika kejang sudah
terkontrol baik. Dapat juga digunakan.

a) sebagai alternatif pada pasien lansia dengan osteoartritis yang memiliki


kontraindikasi ter- hadap obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS).
b) Alternatif untuk nyeri ringan dan sedang adalah kodein, asetaminofen,
OAINS jangka pendek, obat topikal (kapsaisin atau OAINS), khususnya
pada osteoartritis.
c) Alternatif untuk nyeri sedang atau berat adalah hidrokodon atau
oksikodon.
d) Alternatif untuk nyeri neuropatik adalah duloksetin, venlafaksin,
pregabalin, gabapentin, lidokain topikal, kapsaisin, desipramin,
nortriptilin.
e) Penggunaan OAINS selektif COX-2 sebaiknya dihindari pada pasien
gagal jantung, karena dapat memperberat edema sehingga memperburuk
keadaan.
f) OAINS berhubungan dengan per- burukan derajat gagal ginjal, oleh
karena itu tidak dianjurkan pada pasien lansia dengan gagal ginjal.
(Barus, 2015).

Modifikasi WHO Step Ladder pada Lansia

Dengan mempertimbangkan perubahan fisiologis pada lansia, maka


WHO Step Ladder juga perlu disesuaikan (gambar 1).
63

Level 3 (sever pain):

Strong opioids–morphine, hydromorphone,


fentanyl,

oxycodone±adjuvants

Level 2 (moderate to severe pain):


Acetaminophe, aspirin, nonspecific
NSAIDs, COX-2–specific
NSAIDs±adjuvants

Level 1 (mild to moderate pain):

Acetaminophen plus opioid [hydrocodone,


oxycodone, codeine; tramadol±adjuvants,
propxyophene
WHO ladder (adaptive for the elderly)

Gambar 1. Modifikasi WHO Analgesics Step Ladder pada


penatalaksanaan nyeri pada lansia (Argoff, 2005)
Penggunaan WHO analgesics step ladder pada awalnya dikhususkan
untuk pendekatan terhadap tatalaksana nyeri kanker. Tetapi dewasa ini,
pendekatan ini juga dapat diterapkan untuk penatalaksanaan nyeri kronis
non-kanker dengan perhatian khusus. Modifikasi WHO analgesics step
ladder pada lansia menunjuk- kan bahwa OAINS non-spesifik, termasuk
aspirin dan propoksifen sebaiknya dihindari (Barus, 2015).

Asetaminofen (parasetamol) merupakan obat pilihan pertama untuk


tatalaksana nyeri kronik pada lansia, tetapi penting diingat bahwa
penggunaannya sebaiknya diminimalisir karena efek samping kerusakan hati.
Penggunaan asetaminofen sampai 4000 mg per hari dalam jangka
panjang (Barus, 2015).

Berhubungan dengan kerusakan fungsi hati pada orang dewasa. Sesuai


rekomendasi Food and Drugs Administration USA (FDA-USA),
penggunaan asetaminofen untuk kasus nyeri kronis pada lansia sebaiknya
64

dibatasi sampai 2000 mg/hari. Jika ingin memberikan OAINS, maka pilihan
utama adalah OAINS yang selektif bekerja menghambat COX 2 karena
efek gastrointestinal yang minimal (Barus, 2015).

Yang dimaksud dengan analgetik adjuvan pada gambar 1 adalah


obat-obat golongan antikonvulsan dan antidepresan yang dapat dipergunakan
pada nyeri persisten. Secara umum, pilihan terapi adjuvan untuk nyeri per-
sisten pada lansia dapat dilihat pada tabel 1 (Barus, 2015).

5) Hipoglikemik
a) Sulfonilurea
Senyawa-senyawa sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada
penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid. Obat-obat kelompok ini
bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, oleh sebab
itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat
berproduksi. Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah
pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh
perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Sifat
perangsangan ini berbeda dengan perangsangan oleh glukosa, karena
ternyata pada saat glukosa (atau kondisi hiperglikemia) gagal
merangsang sekresi insulin, senyawa-senyawa obat ini masih mampu
meningkatkan sekresi insulin. Oleh sebab itu, obat-obat golongan
sulfonilurea sangat bermanfaat untuk penderita diabetes yang kelenjar
pankreasnya masih mampu memproduksi insulin, tetapi karena
sesuatu hal terhambat sekresinya. Pada penderita dengan kerusakan
sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas, pemberian obat-obat
hipoglikemik oral golongan sulfonilurea tidak bermanfaat. Pada dosis
tinggi, sulfonilurea menghambat degradasi insulin oleh hati. (Katzung,
2014).
Golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan untuk penderita
diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta
tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Sulfonilurea
bekerja dengan cara: menstimulasi penglepasan insulin yang
65

tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin, dan meningkatkan


sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa. Contoh obat
sulfonilurea generasi pertama adalah asetoheksamida, klorpropamida,
tolazamida, dan tolbutamida, sedangkan generasi kedua antara lain
gliburida (glibenklamida), glipizida, glikasida, glimepirida, dan
glikuidon. Obat golongan ini semuanya mempunyai cara kerja yang
serupa, berbeda dalam hal masa kerja, degradasi, dan aktivitas
metabolitnya. (Katzung, 2014).
Absorpsi senyawa-senyawa sulfonilurea melalui usus cukup
baik, sehingga dapat diberikan per oral. Setelah diabsorpsi, obat ini
tersebar ke seluruh cairan ekstrasel. Dalam plasma sebagian terikat
pada protein plasma terutama albumin (70-90%). (Katzung, 2014).

Efek Samping
Efek samping obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea
umumnya ringan dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan
saluran cerna dan gangguan susunan saraf pusat. Gangguan saluran
cerna berupa mual, diare, sakit perut, hipersekresi asam lambung dan
sakit kepala. Gangguan susunan saraf pusat berupa vertigo, bingung,
ataksia dan lain sebagainya. Gejala hematologik termasuk leukopenia,
trombositopenia, agranulosistosis dan anemia aplastik dapat terjadi
walau jarang sekali. Klorpropamida dapat meningkatkan ADH
(Antidiuretik Hormon). Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak
tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal
atau pada lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-obat
hipoglikemik oral dengan masa kerja panjang. (Katzung, 2014).

Interaksi Obat
Banyak obat yang dapat berinteraksi dengan obat-obat
sulfonilurea, sehingga risiko terjadinya hipoglikemia harus
diwaspadai. Obat atau senyawa-senyawa yang dapat meningkatkan
risiko hipoglikemia sewaktu pemberian obat-obat hipoglikemik
66

sulfonilurea antara lain: alkohol, insulin, fenformin, sulfonamida,


salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon, probenezida,
dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO (Mono Amin
Oksigenase), guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin, dan klofibrat.
(Katzung, 2014).

Peringatan dan Kontraindikasi


i. Pemakaian sulfonilurea, umumnya selalu dimulai dengan dosis
rendah untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia
ii. Penggunaan obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea
harus hati-hati pada pasien usia lanjut, wanita hamil, pasien dengan
gangguan fungsi hati, dan atau gangguan fungsi ginjal.
Klorpropamida dan glibenklamida tidak disarankan untuk pasien
usia lanjut dan pasien insufisiensi ginjal. Untuk pasien dengan
gangguan fungsi ginjal masih dapat digunakan glikuidon,
gliklazida, atau tolbutamida yang kerjanya singkat.
iii. Wanita hamil dan menyusui, porfiria, dan ketoasidosis merupakan
kontra indikasi bagi sulfonilurea.
iv. Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada penderita diabetes
yuvenil, penderita yang kebutuhan insulinnya tidak stabil, dan
diabetes melitus berat.
v. Obat-obat golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan berat
badan. (Waspadji, 2004).

b) Short-acting insulin secretagogues


Short-Acting Insulin Secretagogues terdiri dari nateglinide dan
repaglinide bekerja seperti sulfonilurea dengan menstimulasi sekresi
insulin dari sel β-pankreas. Efek samping akibat penggunaan short-
acting insulin secretagogues adalah efek hipoglikemi dan peningkatan
berat badan. Namun resiko hipoglikemi yang muncul lebih rendah
daripada akibat penggunaan sulfonilurea (gliburid dan glipizid).
Penggunaan nateglinid dikontraindikasikan bagi pasien DM tipe 1,
67

pasien yang mengalami ketoasidosis dan hipersensitif terhadap obat


ini. Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral
dan diekskresi secara cepat melalui hati. (Katzung, 2014).
c) Golongan Meglitinida dan Turunan Fenilalanin
Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinida ini merupakan
obat hipoglikemik generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan
golongan sulfonilurea. Kedua golongan senyawa hipoglikemik oral ini
bekerja meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar
pankreas. Umumnya senyawa obat hipoglikemik golongan meglitinida
dan turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi dengan
obat-obat antidiabetik oral lainnya. (Waspadji, 2004).

d) Golongan Biguanid
Biguanid meningkatkan kepekaan reseptor insulin, sehingga
absorbsi glukosa di jaringan perifer meningkat dan menghambat
glukoneogenesis dalam hati dan meningkatan penyerapan glukosa di
jaringan perifer (Tjay dan Rahardja, 2007).
Obat hipoglikemik oral golongan biguanida bekerja langsung
pada hati (hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-
senyawa golongan biguanida tidak merangsang sekresi insulin, dan
hampir tidak pernah menyebabkan hipoglikemia. Satu-satunya
senyawa biguanida yang masih dipakai sebagai obat hipoglikemik oral
saat ini adalah metformin. Metformin masih banyak dipakai di
beberapa negara termasuk Indonesia, karena frekuensi terjadinya
asidosis laktat cukup sedikit asal dosis tidak melebihi 1700 mg/hari
dan tidak ada gangguan fungsi ginjal dan hati. Metformin juga dapat
menurunkan kadar trigliseridan hingga 16%, LDL kolesterol hingga
8% dan total kolesterol hingga 5%, dan juga dapat meningkatkan
HDL kolesterol hingga 2% (Soegondo, 2004). Pada pemakaian
tunggal, metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah sampai
20% (Waspadji, 2004).
68

Efek Samping
Efek samping yang sering terjadi adalah nausea, muntah,
kadang-kadang diare, dan dapat menyebabkan asidosis laktat.
(Katzung, 2014).

Kontra Indikasi
Sediaan biguanida tidak boleh diberikan pada penderita
gangguan fungsi hepar, gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >
1,5), penyakit jantung kongesif dan wanita hamil. pasien-pasien
dengan kecenderungan hipoksemia, misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung. Pada keadaan gawat juga
sebaiknya tidak diberikan biguanida. (Katzung, 2014).

e) Thiazolidindione
Thiazolidindione bekerja dengan mengikat pada peroxisome
proliferator activator receptor-γ (PPAR-γ), yang terutama ada pada
sel lemak dan sel vaskular. Thiazolidindione secara tidak langsung
meningkatkan sensitivitas insulin pada otot, liver, dan jaringan lemak.
Thiazolidindione adalah obat golongan baru yang mempunyai efek
meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga bisa mengatasi masalah
resistensi insulin dan berbagai masalah akibat resistensi insulin tanpa
menyebabkan hipoglikemi. Kegiatan farmakologisnya luas dan berupa
penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan
kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati. Sebagai
efeknya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot
meningkat. Kegiatan farmakologi lainnya antara lain dapat
menurunkan kadar trigliserida atau asam lemak bebas dan mengurangi
glukoneogenesis dalam hati. Zat ini tidak mendorong pankreas untuk
meningkatkan pelepasan insulin seperti sulfonilurea Dua anggota dari
golongan tersebut tersedia secara komersial adalah rosiglitazon dan
pioglitazon Efek samping yang utama dari thiazolidindione adalah
69

udem, terutama pada pasien hipertensi dan congestive cardiac failure


(Katzung, 2014).
Thiazolidindione dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung kelas IIV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan
juga pada gangguan faal hati. Pasien yang menggunakan obat ini perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. Thiazolidindione tidak
digunakan sebagai obat tunggal. (Waspadji, 2004).

f) Golongan α-glukosidase-inhibitors
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α-
glukosidase di dalam saluran cerna. Sehingga reaksi penguraian di-
/polisakarida menjadi monosakarida dihambat. Dengan demikian
glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorpsinya ke dalam darah juga
kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga memuncaknya kadar
glukosa darah dihindarkan. Obat ini bekerja di lumen usus, tidak
menyebabkan hipoglikemia dan tidak berpengaruh pada kadar insulin
Obat ini umumnya diberikan dengan dosis awal 50 mg dan dinaikan
secara bertahap sampai 150-600 mg/hari. Efek sampingnya adalah
perut kurang enak, lebih banyak flatus dan kadang-kadang diare.
(Waspadji, 2004).

6) Obat Jantung
a) Obat Antihipertensi
Tekanan sistolik meningkat seiring bertambahnya usia, pada
perempuan peningkatan nyata pada usia lebih dari 50 tahun. (Katzung,
2014).
Tiazid menjadi langkah pertama dalam terapi obat. Penyekat
kanal kalsium efektif dan aman jika ditiltrasi huingga respon yang
tepat diperoleh. Obat ini terutama bermanfaat pada pasien menderita
aterosklerotik. Penyekaat beta berpotensi membahayakan pada pasien
penderita penyakit obstruksi jalan napas dan dianggap tidak terlalu
berfungsi dari pada calcium channel blocker pada pasien geriatric.
70

Penghambat enzim pengkonversi angiostensin dianggap kurang


bermanfaat pada geriatric kecuali ada gagal jantung atau diabetes.
Setiap pasien yang menggunakan obat antihipertensi harus diperiksa
secara teratur agar terhindar dari hipotensi otorstatik karena adanya
bahaya iskemik pada otak dan jatuh. (Katzung, 2014).

b) Agen inotropik positif


Obat glikosida jantung pada lansia sangat toksik untuk lansia.
Bersihan digoksin menurun pada lansia, dan volume distribusinya
juga menurun, sedangkan waktu paruhnya meningkat > 50% karena
diekskresi sebagian besar oleh ginjal. Toksisitas digitalis pada orang
tua lebih bermakna daripada orang dewasa seperti delirium, gangguan
visual, dan gangguan endokrin. (Katzung, 2014).

c) Agen aritmia
Terapi aritmia pada lansia sangat berisiko karena tidak terdapat
cadangan hemodinamik yang baik, tingginya frekuensi gangguan
elektrolit, dan tingginya prevalensi penyakit koroner. Bersihan
kuinidin dan prokainamida menurun, dan waktu paruhnya meningkat
seiring bertambahnya usia. Disopiramid juga harus dihindari pada
geritri karena efek antimuskarinik yang menyebabkan kesulitan
berkemih pada laki-laki, dan efek inotropik negative pada jantung.
Bersihan lidokain sedikit berubah , tetapi waktu paruh meningkat pada
lansia. Terjadinya peningkatan volume distribusi, loading dose obat
diturunkan pada geriatri karena sensitivitas obat meningkat pada
toksik. (Katzung, 2014).
71

DAFTAR PUSTAKA

Alagiakrishnan, K., Masaki, K. (2010 Apr 2). eMedicine from WebMD: Vascular
Dementia.

Darmojo. B. 2011. Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI (Ilmu Kesehatan Usia


Lanjut), Edisi 4, Cetakan Ketiga. Jakarta, Balai Penerbit FK UI.

Gunther M, Morandi A, Ely W. 2008. Pathophysiology of Delirium in the


Intensive Care Unit. Crit Care Clin. 45–65.

Hardy, John; Parastoo Momeni; Bryan J. Traynor (April 2006). Dementia


"Frontal temporal dementia: dissecting the aetiology and pathogenesis".
Brain: A journal of Neurology. 26 4 (4): 830–831.

Katzung. B. G. 2014. Farmakologi Dasar & Klinik, Edisi 12, Volume 2. Jakarta,
EGC.

Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN. 2007. Robbins basic pathology.
8thed. Philadelphia: Saunders.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa. 2012. Pedoman Nasional


Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri. PP PDSKJI.

Rowland, PL. 2005. Merritts’s Neurology 11th Edition. New York: Lippincott
Williams and Wilkins.. p. 803-7

Sadock, BJ & Virginia, AS. 2010. Kaplan & Sadock’s Concise Textbook Clinical
Psychiatry. 2nd edition. Jakarta: EGC.

Silbernagl, S dan Florian L. 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta,
EGC.

Sudoyo.A.W. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 5, Jilid 1. Jakarta,
Interna Publishing
72

Tjay, T. H., dan Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan,


dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi ke VI. Jakarta: PTElex Media
Komputindo.

Waspadji, Sarwono, Kartini Sukardji, Meida Octarina. 2004. Pedoman Diet


Diabetes Mellitus. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

You might also like