Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Mechanisms of Evolution: Key Points

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 16

Mechanisms of evolution

When a population is in Hardy-Weinberg equilibrium, it is not evolving. Learn how violations of


Hardy-Weinberg assumptions lead to evolution.

Key points:
 When a population is in Hardy-Weinberg equilibrium for a gene, it is not evolving, and
allele frequencies will stay the same across generations.
 There are five basic Hardy-Weinberg assumptions: no mutation, random mating, no
gene flow, infinite population size, and no selection.
 If the assumptions are not met for a gene, the population may evolve for that gene (the
gene’s allele frequencies may change).
 Mechanisms of evolution correspond to violations of different Hardy-Weinberg
assumptions. They are a mutation, non-random mating, gene flow, finite population size
(genetic drift), and natural selection.

Hardy-Weinberg equilibrium
First, let’s see what it looks like when a population is not evolving. If a population is in a state
called Hardy-Weinberg equilibrium, the frequencies of alleles, or gene versions,
and genotypes, or sets of alleles, in that population will stay the same over generations (and will
also satisfy the Hardy-Weinberg equation). Formally, evolution is a change in allele frequencies
in a population over time, so a population in Hardy-Weinberg equilibrium is not evolving.
That’s a little bit abstract, so let’s break it down using an example. Imagine we have a large
population of beetles. In fact, just for the heck of it, let’s say this population is infinitely large.
The beetles of our infinitely large population come in two colors, dark gray and light gray, and
their color is determined by the Agene. AA and Aa beetles are dark gray, and aa beetles are light
gray.
In our population, let’s say that the A allele has a frequency of 0.30.3, while the aallele has a
frequency of 0.70.7. If a population is in Hardy-Weinberg equilibrium, allele frequencies will be
related to genotype frequencies by a specific mathematical relationship, the Hardy-Weinberg
equation. So, we can predict the genotype frequencies we’d expect to see (if the population is in
Hardy-Weinberg equilibrium) by plugging in allele frequencies as shown below:


Hukum Hardy-Weinberg ditemukan oleh ahli fisika W. Weinberg dan ahli matematika G.H.
Hardy pada tahun 1908. Kedua ahli tersebut berasal dari Inggris (Noor, 1996). Menurut
Campbell (2000), hukum Hardy-Weinberg menyatakan bahwa frekuensi alel dan genotif dalam
kumpulan gen suatu populasi tetap konstan selama beberapa generasi kecuali kalau ada yang
bertindak sebagai agen selainan rekombinasi seksual. Dengan kata lain pergeseran seksual alel
akibat miosis dan fertilisasi acak akan tidak berpengaruh terhadap struktur genetik suatu populasi

Harold Hardy dan Wilhelm Weinberg

(Biologi Media Center, 2011)

Hukum Hardy-Weinberg ini berfungsi sebagai parameter evolusi dalam suatu populasi. Bila
frekuensi gen dalam suatu populasi selalu konstan dari generasi ke generasi, maka populasi
tersebut tidak mengalami evolusi. Bila salah satu saja syarat tidak dipenuhi maka frekuensi gen
berubah, artinya populasi tersebut telah dan sedang mengalami evolusi(Biologi Media Center,
2011).

Untuk menjelaskan hukum ini digunakan contoh perkawinan sapi shorthorn warna
merah, putih dan roan. Seperti diketahui, sifat ini dikontrol oleh dua alel yang kodominan,
yaitu alel merah (R) dan alel putih (r). Jika kita asumsikan bahwa frekuensi gen merah
adalah p dan frekuensi gen putih adalah q, dengan p = 0,7 dan q = 0,3 maka proporsi sapi
merah dengan genotipe RR adalah p2 = (0,7)2 = 0,49, proporsi sapi putih = q2 = (0,3)2 = 0,09
dan proporsi sapi roan = 2qp = 2(0,7) x (0,3) = 0,42. Angka dua di depan pq disebabkan
oleh adanya dua kemungkinan terbentuknya sapi roan, yaitu dari perempuan sperma yang
mengandung gen R dengan sel telur yang mengandung gen r dan dari sperma yang
mengandung gen r dengan sel telur yang mengandung gen r.

Formulasi hukum Hardy-Weinberg dapat dijelaskan berikut ini :

p + q = 1, maka p = 1 – q dan q = 1 – p

atau

P2 + 2pq + q2 =1

Dalam Biologi Media Center (2011), dijelaskan bila frekuensi gen yang satu dinyatakan dengan
simbol p dan alelnya dengan simbol q, maka secara matematis hukum tersebut dapat ditulis
sebagai berikut:

Menurut Wibawa, B. (2010), Asas Hardy-Weinberg menyatakan bahwa frekuensi alel dan
frekuensi genotipe dalam suatu populasi akan tetap konstan, yakni berada dalam kesetimbangan
dari satu generasi ke generasi lainnya kecuali apabila terdapat pengaruh-pengaruh tertentu yang
mengganggu kesetimbangan tersebut. Pengaruh-pengaruh tersebut meliputi perkawinan tak acak,
mutasi, seleksi, ukuran populasi terbatas, hanyutan genetik, dan aliran gen. Adalah penting untuk
dimengerti bahwa di luar laboratorium, satu atau lebih pengaruh ini akan selalu ada. Oleh karena
itu, kesetimbangan Hardy-Weinberg sangatlah tidak mungkin terjadi di alam. Kesetimbangan
genetik adalah suatu keadaan ideal yang dapat dijadikan sebagai garis dasar untuk mengukur
perubahan genetik.

Lebih lanjut Wibawa menambahkan bahwa syarat berlakunya asas Hardy-Weinberg:

1. Setiap gen mempunyai viabilitas dan fertilitas yang sama


2. Perkawinan terjadi secara acak
3. Tidak terjadi mutasi gen atau frekuensi terjadinya mutasi, sama besar
4. Tidak terjadi migrasi
5. Jumlah individu dari suatu populasi selalu besar

Ada 2 hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan hukum Hardy – Weinberg :

1. Jumlah frekuensi gen dominan dan resesif (p + q) adalah 1


2. Jumlah proporsi dari ketiga macam genotipe (p2 + 2pq + q2) adalah 1

Contoh

Penggunaan hukum Hardy-Weinberg ini adalah sebagai berikut (Biologi Media Center, 2011):

1. Dalam suatu populasi mahasiswa Fakultas Peternakan, terdiri dari mahasiswa dari dalam kota
51% sedangkan mahasiswa dari luar kota (tt) 49%. Hitunglah :

a. Berapa frekuensi gen mahasiswa dari dalam kota (T) dan gen mahasiswa dari luar kota (t)
dalam populasi tersebut?

b. Berapakah rasio genotifnya?

1. Gen mahasiswa dari luar kota = tt = 49%

tt = 40% = maka t = = 0,7

T+t=1

T = 1 – 0,7 = 0,3

Frekuensi gen T = 0,3 = 30%

Frekuensi gen t = 0,7 = 70%

1. TT = (0,3)2 = 0,09 = 9%

Tt = 2Tt = 2 x 0,3 x 0,7= 0,42 =42%

Tt = (0,7) x 2 = 0,49 = 49%

Jadi perbandingan genotipe TT:Tt:tt = 9:42:49

2. Dalam sebuah populasi kambing PE yang berjumlah 1000 orang terdapat 6 ekor albino.
Berapa ekor pembawa sifat albino pada populasi kambing tersebut?

Jawab :

1. Kambing albino = aa = = 0,006

a = = 0,07

A+a=1

A = 1 – 0,07 = 0,93
Jadi frekuensi gen A = 0,93 dan a = 0,07

1. Kambing pembawa sifat albino (Aa)

Aa = 2Aa = 2 x 0,93 x 0,07 = 0,1302 = 13,02%

Menurut Isharmanto (2009), deduksi terhadap hukum keseimbangan Hardy-Weinberg meliputi


tiga langkah, yaitu :

1) Dari tetua kepada gamet-gamet yang dihasilkannya

2) Dari penggabungan gamet-gamet kepada genotipe zigot yang dibentuk

3) Dari genotipe zigot kepada frekuensi alel pada generasi keturunan

Secara lebih rinci ketiga langkah ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Misalkan bahwa pada generasi tetua terdapat genotipe AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan
frekuensi P, H, dan Q. Sementara itu, frekuensi alel A adalah p, sedang frekuensi alel a adalah q.
Dari populasi generasi tetua ini akan dihasilkan dua macam gamet, yaitu A dan a. Frekuensi
gamet A sama dengan frekuensi alel A (p). Begitu juga, frekuensi gamet a sama dengan
frekuensi alel a (q). Dengan berlangsungnya kawin acak, maka terjadi penggabungan gamet A
dan a secara acak pula. Oleh karena itu, zigot-zigot yang terbentuk akan memilki frekuensi
genotipe sebagai hasil kali frekuensi gamet yang bergabung. Pada Tabel 15.1 terlihat bahwa tiga
macam genotipe zigot akan terbentuk, yakni AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan frekuensi
p2, 2pq, dan q2.

Tabel. Pembentukan zigot pada kawin acak

Gamet-gamet E dan
frekuensinya
A(p) a (q)
Gamet-gamet G A (p) AA (p2) Aa (pq)
dan frekuensinya a (q) Aa (pq) aa (q2)

Oleh karena frekuensi genotipe zigot telah didapatkan, maka frekuensi alel pada populasi zigot
atau populasi generasi keturunan dapat dihitung. Fekuensi alel A = p2 + ½ (2pq) = p2 + pq = p (p
+ q) = p. Frekuensi alel a = q2 + ½ (2pq) = q2 + pq = q (p + q) = q. Dengan demikian, dapat
dilihat bahwa frekuensi alel pada generasi keturunan sama dengan frekuensi alel pada generasi
tetua.

Kita ketahui bahwa frekuensi gene pool dari generasi ke generasi pada waktu ini (populasi
hipotesis) adalah 0,9 dan 0,1; dan perbandingan genotip adalah 0,81; 0,81; dan 0,01. Dengan
angka – angka ini kita akan mendapatkan harga yang sama pada generasi berikutnya. Hasil yang
sama ini akan kita jumpai pada generasi seterusnya, frekuensi genetis dan perbandingan genotip
tidak berubah (Isharmanto, 2009). Dapat kita simpulkan bahwa perubahan evolusi tidak terjadi.
Hal ini dapat diketahui oleh Hardy (1908) dari Cambrige University dan Weinberg dari jerman
yang bekerja secara terpisah. Secara singkat dikatakan di dalam rumus Hardy-Weinberg bahwa
di bawah suatu kondisi yang stabil, baik frekuensi gen maupun perbandingan genotip akan tetap
(konstan) dari generasi ke generasi pada populasi yang berbiak secara seksual.

Frekuensi Gen Suatu Populasi

Frekuensi gen merupakan kuadrat frekuensi alel yang bertanggung jawabterhadap genotipnya.
Frekuensi gen dapat dihitung dari frekuensi alel atau darigen dengan aksi dominan lengkap,
dimana hanya ada dua fenotipe dari tigamacam genotipe. Metode menghitung nya dengan
menggunakan metode akar kuadrat.

Untuk mengetahui frekuensi gen dan genotip dari suatu populasi, digunakan Hukum Hardy-
Weinberg. Frekuensi gen adalah frekuensi suatu alel pada lokus tertentu. Penghitungannya
dilakukan dengan rumus:

Jumlah alel tertentu (beserta salinannya) dalam populasi


Frekuensi gen = ______________________________________
Jumlah seluruh alel dalam populasi

Frekuensi gen dengan sepasang alel

Untuk menghitung frekuensi gen yang terdiri atas sepasang alel (misalnya A dan a) , digunakan
rumus :

(2 X jumlah individu AA) + (jumlah individu Aa)


p = f(A) = _____________________________________
(2 X jumlah total individu)
(2 X jumlah individu aa) + (jumlah individu Aa)
q = f(a) = ____________________________________
(2 X jumlah total individu)

Sebagai contoh, kita menghitung frekuensi gen yang terdiri atas tiga alel, yaitu A, B dan C.
Jumlah masing-masing genotip adalah:

AA = 10, AB = 35, BB = 75, AC = 30, BC= 35, CC= 35

Jumlah total adalah 220

Frekuensi masing-masing alel adalah :


f(A) = p = (2 x 10) + 35 + 30 = 0,193
(2 x 220)

f(B) = q = (2 x 75) + 35 + 35 = 0,5


(2 x 220)

f(B) = r = (2 x 35) + 30 + 35 = 0,306


(2 x 220)

Perhitungan Frekuensi Gen

o Kodominan

Perhitungan frekuensi gen untuk sifat-sifat yang dikontrol oleh sepasang alel kodominan relatif
lebih murah. Kita dapat dengan mudah membedakan individu yang bergenotipe homozigot
dominan, heterozigot dan homozigot resesif hanya berdasarkan fenotipenya saja.

Jika pada suatu kelompok ayam terdapat 150 ekor ayam yang terdiri dari 95 ekor berwarna
hitam, 50 ekor berwarna biru dan 5 ekor yang berwarna putih diperoleh genotipe ketiga ayam
ini adalah BB (hitam), Bb (biru) dan bb (putih). Setiap ayam hitam membawa 2 gen B. Jika
terdapat 95 ekor ayam hitam maka jumlah gen B adalah 2 x 95 = 190. Setiap ayam putih
membawa sepasang gen b. Jika ada lima ekor ayam putih maka jumlah gen b = 2 x 5 = 10.
Ayam biru membawa 1 gen B dan 2 gen b. Jadi jika ada 50 ekor ayam biru maka jumlah gen B
= 50 dan jumlah gen b = 50. Jumlah gen B pada populasi tersebut adalah 190 + 50 = 240.
Jumlah gen b adalah 10 + 50 = 60. Jadi, frekuensi gen B yang ada pada populasi tersebut
adalah 240/300 = 0,8 (80%), sedangkan frekuensi gen b adalah 60/300 = 0,2 (20%).

o Dominan Penuh

Perhitungan frekuensi gen untuk sifat-sifat yang diwariskan secara dominan penuh memerlukan
cara yang sedikit berbeda. Hal inni karena antara individu yang bergenotipe homozigot
dominan dan yang bergenotipe heterozigot tidak dapat dibedakan hanya dengan berdasarka
fenotipenya.

Jika pada suatu peternakan terdapat 230 ekor sapi yang terdiri dari 147 ekor sapi tidak
bertanduk dan 83 ekor sapi bertanduk makaproporsi sapiyang tidak bertanduk adalah 147/230
= 0.639 dan sapi yangbertanduk = 83/230 = 0,361. Jika diasumsikan bahwa frekuensi
genresesif adalah p, sedangkan frekuensi gen resesif adalah q maka proporsi sapi yang tidak
bertanduk = p2 + 2pq = 0,639. Dalam hal ini 2pq adalah sapi yang tidak bertanduk heterozigot.
Proporsi sapi yang bertanduk = q2 = 0,361. Dari kedua persamaan itu diperoleh frekuensi gen
bertanduk (resesif) = √q2 = √0,361 = 0.061. frekuensi gen tidak bertanduk = 1 – q = 1, 0,601 =
0,339 (Noor, 1996).

1. Seleksi
Seleksi adalah suatu tindakan untuk memilih ternak yang dianggap mempunyai mutu genetic
baik untuk dikembangkan lebih lanjut serta menyingkirkan ternak yang kurang baik. Tujuan
seleksi mengubah frekuensi gen.

Menurut Nurrohmadi (2011), seleksi alam didefinisikan sebagai reproduksi diferensial individu
atau genotip pada suatu populasi. Diferensial reproduksi disebabkan oleh perbedaan antara
individu dalam ciri seperti kematian, kesuburan, fekunditas, keberhasilan kawin, dan
kelangsungan hidup keturunan. Seleksi alam didasarkan pada ketersediaan variasi genetik di
antara individu dalam karakter yang terkait dengan keberhasilan reproduksi. Ketika populasi
terdiri dari pada-dividuals yang tidak berbeda dari satu sama lain dalam ciri-ciri seperti itu, tidak
tunduk pada seleksi alam. Seleksi dapat menyebabkan perubahan pada frekuensi alel dari waktu
ke waktu. Namun, perubahan hanya pada frekuensi alel dari generasi ke genera-tion tidak selalu
menunjukkan seleksi yang sedang bekerja. Proses lainnya, seperti arus genetik secara acak, dapat
membawa perubahan temporal dalam frekuensi alel juga. Menariknya, perubahan frekuensi alel
tidak selalu menunjukkan seleksi yang sesuai dengan genotip.

Kesesuaian genotipe, biasanya dinyatakan sebagai w, adalah ukuran dari kemampuan untuk
bertahan hidup dan bereproduksi. Namun, karena ukuran modulasi biasanya dibatasi oleh daya
dukung lingkungan di mana populasi berada, keberhasilan evolusi dari individu adalah de-
termined tidak dengan kebugaran mutlak, tetapi dengan kebugaran relatif dibandingkan dengan
genotipe yang lain dalam populasi. Di alam, kesesuaian genotipe tidak diharapkan untuk tetap
konstan untuk semua generasi dan dalam semua keadaan lingkungan. Namun, dengan
menempatkan nilai konstan kebugaran untuk setiap genotipe, kita dapat merumuskan teori
sederhana atau model, yang berguna untuk memahami dinamika perubahan struktur genetik
suatu populasi disebabkan oleh seleksi alam. Di kelas paling sederhana dari model, kita
mengasumsikan bahwa kebugaran organisme ditentukan semata-mata oleh genetik. Kami juga
menganggap bahwa semua lokus berkontribusi secara independen kepada nessfit dari individu
(yaitu, bahwa lokus yang berbeda tidak berinteraksi dengan satu sama lain dengan cara yang
mempengaruhi kebugaran organisme), sehingga masing-masing lokus dapat ditangani secara
terpisah.

2. Mutasi

Mutasi adalah perubahan susunan gen atau bagian kromosom, menjadi bentuk baru. Mutasi yang
mengubah frekuensi gen ada dua macam :

1) Mutasi tak berulang

2) Mutasi berulang

Mutasi tak berulang jarang terjadi dan tidak menghasilkan perubahan berarti pada frekuensi gen.
mutasi berulang lebih sering terjadi dan berulang secara teratur dalam jangka panjang. Mutasi
berulang dapat menghubah frekuensi gen.

Beberapa tahun yang lampau, dau orang ahli genetika terkemuka memberikan komentar terhadap
kehadiran polimorfisma dalam populasi sebagai berikut: Secara sederhana dapat dikatakan,
polimorfisma sekarang telah mencapai jumlah yang demikian banyak dan polimorfisma baru
terus ditemukan dengan laju yang pesat sehingga pemahaman artinya tidak diragukan lagi
merupakan suatau problema pokok bagi biomedika modern. Fakta mengenai jangkauan
potensialnya dan kemampuan kita untuk mereduksi menjadi manifestasi primer dari perbedaan
genetik yaitu variasi dalam protein-protein dan substansi yang berkaitan polimorfisma yang
dihasilkan dari varibilitas ini disangka merupakan ekuivalen genetik dari sistem “penyangga”
(buffer) biokimiawi yaitu bahwa frekuensi-frekuensi gen yang mereka refleksikan tidak mudah
diganggu bahwa frekuensi-frekuensi yang mereka refelekasikan tidak mudah diganggu oleh
perubahan-perubahan dalam laju mutasi atau berbagai fluktuasi temporer pada tekanan seletif
beberapa dari fungsi polimorfisma tidak ragu-ragu lagi berkaitan dengan perbedaan-perbedaan
yang penting antara manusia dan kepekaannya terhadap penyakit (Nurrohmadi, 2011).

3. Migrasi

Bila sejumlah individu yang berasal dari suatu populasi dipindahkan (migrasi) dan bercampur
dengan individu populasi lain (terjadi perkawinan) maka dapat terjadi perubahan frekuensi gen.

Misalnya, dengan memasukkan gen-gen dari jenis sapi baru ke suatu Negara dengan inseminasi
buatan (IB) dapat mengakibatkan perubahan frekuensi gen dari populasi sapi nasional secara
drastic.

Jadi migrasi merupakan cara yang paling efektif penyebab perubahan genetic. Migrasi
bermanfaat bila memenuhi persyaratan bermanfaat bila memenuhi persyaratan berikut :
1).Tersedia populasi lain dengan gen-gen yang diinginkan

2).Telah diketahui dengan pasti bahwa perubahan yang terjadi dapat bermanfaat
4. Genetic drift (fluktuasi acak)

Faktor genetik drift biasanya terjadi secara kebetulan dan dapat mengubah frekuensi gen. dalam
populasi kecil, fluktuasi acak yang mempunyai efek yang penting. Dalam kenyataan populasi
ternak di pedesaan dapat berfluktuasi secara acak tak teratur karena pengaruh musim atau
serangan wabah penyakit yang dapat menyebabkan kematian pada sebagian besar populasi
sehingga pada suatu saat populasi turun secara drastic. Ternak yang tersisa yang dapat bertahan
akan mempengaruhi pengaruh yang menentukan terhadap frekuensi gen pada generasi
berikutnya.

Sumber Referensi

Biologi Media Center, 2011. Evolusi (2) : Hukum Hardy–Weinberg.


http://biologimediacentre.com. Diakses pada Tanggal 26 Maret 2012.

Isharmanto, 2009. Hukum Hardy – Weinberg.http://isharmanto.blogspot.com/2009/11/hukum-


hardy-weinberg.html. Diakses pada Tanggal 27 Maret 2012.
Nurrohmadi. 2011. Faktor yang Mempengaruhi Frekuensi Gen dan Keanekaragaman
(Variabilitas) Genetik. http://nurrohmanhadi.wordpress.com/2011/08/28/faktor-yang-
mempengaruhi-frekuensi-gen-dan-keanekaragaman-variabilitas-genetik/. Diakses pada Tanggal
28 Maret 2012.

Noor, Ronny, R, 1996. Genetika Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta.

Prasetyo, Agus dan Supratman, 2011. Dinamika Gen dalam Populasi. Makalah. PPs UM.
Malang.

Russel, 1992, Genetics, HarperCollins Publisher, New York.

Stansfield, W. D., 1991, Genetics, 3 ed, Schaum outline Series, Mc Graw Hill Inc, Singapore.

Wibawa, B. 2010. Hukum Hardy-Weinberg dan Evolusi.


http://bhimashraf.blogspot.com/2010/12/hukum-hardy-weinberg-dan-evolusi.html. diakses pada
tanggal 26 Maret 2012.

Wikipedia. 2011. Asas Hardy Weinberg.http://id.wikipedia.org/wiki/Asas_Hardy-Weinberg.


Diakses pada Tanggal 27 Maret 2012.
HUKUM HARDY WEINBERG

Hukum Hardy Weinberg

Jika kita memiliki sepasang alel, yaitu A dan a, kita akan menemukan bahwa persentase gamet
yang mengandung A atau a dalam lungkang gen akan bergantung pada frekuensi genotipik generasi
parental yang gamet-gametnya membentuk lungkang tersebut. Sebagai contoh, jika sebagian besar
populasi bergenotipe resesif aa, maka frekuensi alel resesif tersebut dalam lungkang gen akan relatif tinggi,
dan presentase gamet yang mengandung alel dominan A pun akan rendah.

Ketika perkawinan antara anggota-anggota suatu populasi terjadi secara sepenuhnya acak, atau
dengan kata lain ketika setiap gamet jantan dalam lungkang gen memiliki kesempatan yang sama untuk
bersatu dengan setiap gamet betina, maka frekuensi-frekuensi zigotik yang diharapkan pada diharapkan
pada generasi berikutnya bisa diprediksi. Prediksi itu dilakukan dengan mengetahui frekuensi gen (alelik)
lungkang gen populasi parental. Dengan kata lain, jika diketahui frekuensi relatif gamet A dan a dalam
lungkang gen, kita bisa menghitung (berdasarkan kesempatan penyatuan gamet) frekuensi-frekuensi
genotipe dan fenotipe progeni yang diharapkan. Jika p = presentase alel A dalam lungkang gen dan q =
presentase alel a, maka kita bisa menggunakan kotak punnett untuk menghasilkan semua kombinasi yang
mungkin bagi gamet-gamet tersebut.

Perhatikan bahwa p + q = 1 dengan kata lain , presentase gamet A dan a harus berjumlah total 100% agar
bisa mencakup semua gamet dalam lungkang gen. Dengan demikian, frekuensi genotipik (zigotik) yang
diharapkan pada generasi berikutnya bisa dirangkum sebagai

berikut:

(p + q)² = p² + 2pq + q² = 1,0

AA Aa aa

Dengan demikian, p² adalah fraksi dari generasi berikutnya yang diharapkan merupakan dominan
homozigot (AA) 2pq adalah fraksi yang diharapkan merupakan heterozigot (Aa), dan q² adalah fraksi yang
diharapkan merupakan resesif (aa). Semua fraksi genotipik tersebut jika di jumlahkan harus sama dengan
satu agar mencakup semua genotipe dalam populasi progeni.
Rumus tersebut, yang menyatakan dugaan-dugaan genotipik pada progenik jika ditilik dari
frekuensi gametik (alelik) lungkang gen parantek, disebut aturan Hardy Weinberg. Aturan itu dinamai
sesuai dengan nama G. H. Hardy dan W. Weinberg yang secara indenpenden merumuskannya tahun 1908.
Aturan itu penting sebab, jika sebuah populasi sesuai dengan kondisi-kondisi yang mendasari rumus
tersebut, maka semestinya takan adan perubahan dalam hal frekuensi alel pada populasi tersebut dari
generasi satu ke generasi berikutnya. Seandainya sebuah populasi pada awalnya berada dalam ketidak
setimbangan (disequilibrium) satu generasi perkawinan acak sudah cukup untuk membuatnya berada
dalam kesetimbangan genetik (genetik disequilibrium) dan setelahnya populasi itu akan tetap berada
dalam kesetimbangan (tak ada perubahan dalam hal frekuensi alel) asalkan kondisi-kondisi Hardy
Weinberg dipertahankan.

Ada sejumlah asumsi yang mendasari pencapaian kesetimbangan genetik seperti dinyatakan
dalam persamaan Hardy Weinberg. Jika kondisi-kondisi tersebut terpenuhi, prediksi dari aturan tersebut
pun valid.

1. Populasi itu besarnya tidak terbatas dan melakulan perkawinan secara acak (panmiks)

2. Tidak ada seleksi bekerja, atau dengan kata lain. Kesempatan sintas masing-masing genotipe yang
dipertimbangkan sama besar denga genotipe lain yang mana pun juga ( tidak ada mortalitas diferensial),
dan masin-masing genotipe efisiensinya setara dalam hal produksi progenik (tidak ada reproduksi
diferensia).

3. Populasi itu tertutup, yaitu tidak dibolehkan adanya imigrasi individu dari populasi lain maupun emigrasi
dari populasi tersebut.

4. Tidak ada mutasi dari suatu kondisi alelik menjadi kondisi lainnya. Mutasi hanya dibolehkan jika laju mutasi
maju dan mundur setara, dengan kata lain, A bermutasi menjadi a dalam frekuensi yang sama dengan
mutasi a menjadi A.

5. Meiosis normal sehingga hanya kebetulan lah satu-satunya yang bekerja dalam gametogenesi (Susun
Elrod dan Wiliam Stansfield).

Pada tahun-tahun permulaan setelah penemuan karya mendel dan penetapan ilmu genetika
pemindahan, seorang profesor matematika dari inggris, G.H. Hardy dan seorang dokter jerman,
W.weinberg secara terpisah mempublikasikan analisanya mengenai keseimabangan gen dalam populasi,
yang kemudian dikenal sebagai hukum Hardy- Weinberg. Hukum itu menyatakan dalam istilah
matematika sederhana, bahwa frekuensi alela – alela dalam populasi dapat distabilkan dan tetap berada
dalam keseimbangan dari satu generasi ke genarasi lain. Karena alela-alela itu berada dalam
keseimbangan, seseorang dapat menetapkan proporsi individual – individual dengan berbagai genotip
dan populasi.

Pertama- tama perlu diadakannya asumsi. Pada dasrnya asumsiny adalah bahwa harus ada perkawinan
secara acak dan bahwa tidak boleh ada kekuatan- kekuatan seperti yang teal dibahas pada seksi – seksi
sebelumnya yang mempengaruhi frekuensi gen. Dengan perkataan lain tidak ada seleksi, tidak ad migrasi,
dan tidak ada mutasi – mutasi maju atau surut, dan populasinya besar. Jelasnya, frekuensi dari banyak
gen tidak menjadi stabil dalam populasi, karena gen- genb itu tidak diseleksi atau bermutasi, atau oleh
suatu sebab keseimbangannya terganggu . Namun, terdapat beberapa ciriyang rrupanya memenuhi
semua kriteria. Salah satu contoh dari ciri demikian adalah frekuensi tipe- tipe darah pada populasi
manusia (Anna C.pai, 1985).

1. Cara mengurangi frekuensi gen yang rusak

Evolusi terjadi akibat seleksi alam melalui 3 proses penting, yaitu variasi(akibat mutasi), pewarisan
variasi dan perbedaan peluang kemampuan untuk hidup serta reproduksi (perbedaan tingkat kesuksesan
reproduksi yang terjadi pada seleksi alam akibat adaptasi dari beberapa generasi). Mekanisme utama dari
proses evolusi terjadi akibat seleksi alam, mutasi, genetic drift (aliran genetik) dan aliran gen. Evolusi
adalah perubahan perubahan frekuensi alela. Hal ini akan memunculkan variasi genetik. Seleksi alam akan
bekerja pada variasi genetik yang terwariskan pada keturunan dan akan menghasilkan individu yang lebih
adaptif. Teori evolusi didasarkan pada:

• Random genetic drift (aliran genetik acak) adalah hilangnya alela dari gen pool populasi melalui suatu
peluang/kesempatan (chance). Terjadi perubahan frekuensi genotip akibat perubahan peluang suatu gen
yang akan diturunkan pada generasi selanjutnya.

• Mutasi akan menghasilkan variasi genetik di dalam breeding/perkawinan dalam populasi.

• Gene flow/aliran gen terjadi melalui interbreeding: transmisi material genetik dari satu populasi pada
populasi lain. Gene flow menurunkan perbedaan dalam populasi dan menghambat spesiasi
(pembentukan spesies baru). Pada genetika populasi, sepanjang waktu perubahan gene pool sebagai hasil
dari seleksi alam (mutasi dan reproduksi seksual) akan menghasilkan nilai survival (survival value) pada
suatu gen spesifik dan pada akhirnya akan membentuk spesies baru (terjadi spesiasi).

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FREKUENSI GEN


1. Seleksi

Seleksi merupakan suatau proses yang melibatkan kekuatan – kekuatan untuk menentukan ternaka
mana yang boleh berkembang biak pada generasi selanjutnya. Kekuaktan – kekuatan itu bisa di kontrol
se0penuhnya oleh alam yang disebut seleksi alam. Jika kekuatan itu di kontrol oleh manusia maka
prosesnya disebut seleksi buatan kedua macam seleksi itu akan merubah frekuensi gen yang sat relatif
terhadap alelnya. Laju perubahan frekuensi pada seleksi buatan jika dibandingkan dengan seleksi alam.

Untuk mendemonstrasikan peran seleksi dalam mengubah frekuesni gen, diambil suatu contoh
populasi yang terdiri dari beberapa ribu sap yang bertanduk dan yang tidak bertanduk. Jika diasunsikan
bahwa frekuensi gen yang bertanduk dan yang tidak bertandu pada populasi tersebut masing – masing
0,5 ( bila terjadi kawin acak) maka sekitar 75% dari total sapi yang ada tidak bertanduk dan 25% bertanduk.
Dari 75% sapi yang tidak bertanduk sebanyak 1/3 bergenotip hemozigot dan 2/3 bergenotip heterozigot.

2. Mutasi

Mutasi adalah suatu perubahan kimia gen yang berakibat berubahnya fungsi gen. Jika gen mengalami
mutasi dengan kecepatan tetap maka frekuensi gen akan sedikit menurun, sedangkan frekuensi alel akan
meningkat. Laju mutasi bervariasi dari suatu kejadian mutasi ke kejadian mutasi lain. Namun, laju relatif
rendah ( kira – kira satu dalam satu juta pengandaan ge) sebagai gambaran, diambil contoh frekuensi gen
merah pada sapi angus, yaitu antara 0.05-0.08. jika terjadi kawin acak maka akan dijumpai 25-64 ekor sapi
merh dari setiap 10.000 kelahiran. Anak sapi yang berwarna merah dan juga tetua yang heterozigot akan
dikeluarkan dari peternakan. Secara teoritis frekuensi gen merah akan menurun mendekati angkan nol,
namun kenyataan frekuensi gen merah tetap anata 0.05-0.08 dari suatu generasi ke generasi berikutnya
hal itu bisa dijalaskan dengan mengunakkan teori mutasi. Diduga bahwa laju mutasi gen hitam menjadi
gen merah sama dengan laju seleksi terhadaap gen merah sehingga tercapai suatu keseimbangan.
3. Pencampuran populasi
Percampuran dua populasi yang frekuensi gennya berbeda dapat mengubah frekuensi gen tertentu.
Frekuenssi gen ini merupakan rataan dari frekuensi gen dari dua populasi yang bercampur.

Jika seorang peternak memiliki 150 ekor sapi dengan frekuensi bertanduk dengan = 0.95 ( bila terjadi
kawin acak) maka sekitar 90% dari sapi – sapinya akan bertanduk. Selanjutnya, jika diasumsikan bahwa
ada enam pejatan baru yang diamsukkan ke peternakan utnuk memperbaiki mutu geneteik terna – ternak
yang ada. Dari enam pejantan dimasukkan terdapat satu ekor yang bertanduk, dua ekor yang tidak
bertanduk heterozigot dan tiga ekor yang tidak bertanduk homozigot. Frekuensi gen bertanduk pada
kelompok pejantan = 1/6 = 0.033. dengan asumsi bahwa tidak ada sapi lain yang masuk kedalam
peternakan maka frekuensi gen bertanduk pada populasi itu setelah terjadi kawin acak, selama satu
generasi ( 0.950 + 0.333) / 2 = 0.064

4. Silang dalam (inbreeding ) dan sialng luar (outbreeding)

Silang dalam merupakan salah satu bentuk isolasi secara genetik. Jika suatu populais terisolasi, silang
dalam cenderung terjadi karena adanya keterbatasan pilihan dalam proses perkawinan. Jika silang dalam
terjadi anatara grup ternak yang tidak terisolasi secara geografis maka pengaruhnya juga yang sama. Oleh
sebab itu, silang dalam merupakan suatu isolasi buatan. Sebenarnya silang dalam tidak merubah frekuensi
gen awal pada saat proses silang dalam dimulai. Jika terjadi perubahan frekuensi gen maka perubahan itu
disebabkan oleh adanya seleksi, mutasi dan pengaruh sampel acak. Jika silang luar dilakukan pada suatu
populasi yang memilik rasio jenis kelamin yang sama dengan frekuensi gen pada suatu lokus yang sama
pada kedua jenis kelamin maka frekuensi gen tidak akan berubah akibat pengaruh langsung silang luar.

5. Genetic drift
Genetic drift merupakan perubahan frekuensi gen yang mendadak. Perubahan frekuensi gen yang
mendadak biasanya terjadi pada kelompok kecil ternak yang di pindahkan untuk tujuan pemulian ternak
atau dibiakan. Jika kelompok ternak diisolasi dari kelompok ternak asalnya maka frekuensi gen yang
terbentuk pada populasi baru dapat berubah. Perubahan frekuensi gen yang mendadak dapat pula
disebabkan oleh bencana alam, misal matinya sebagian besar ternak yang memiliki gen tertentu

You might also like