Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakteraturan Berobat Penderita TB Paru Di Puskesmas Kota Binjai Tahun 2004
Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakteraturan Berobat Penderita TB Paru Di Puskesmas Kota Binjai Tahun 2004
Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakteraturan Berobat Penderita TB Paru Di Puskesmas Kota Binjai Tahun 2004
Jojor Simamora
Dinas Kesehatan Kota Binjai Jl.Gatot Subroto no 191
Binjai
Abstract: The program of lungs tuberculosis prevention through DOTS strategy has been
implemented in Binjai since 1999, but the result is still not like what is expected. The result
of TB prevention program in Binjai in 2003 revals that the irregularity of patients with TB
getting treatment is 33,7%. This high percentage contributes less to the patients’ recovery.
This situation serves as basis for this study intended to examine the factor which is related
to the high rate of irregularty of patients whith TB getting treatment in Binjai. To find out
the risk factor of the irregularity of patients with TB getting treatment, this case controled
study was conducted by comparing a group of patients with irregular treatment (case) to
those with regular treatment (controled). The sample of each group (case and controled
groups) are 75, who were derived from the population through the simple random
sampling method. The data obtained were analyzed through univariate, bivariate (chi-
square), and multivariate (multiple regression logistic) analysis methods. The result of
study reveals that at the level of confidence of 95%, there is a significant relationship
between the variables of medicine-taking controler (PMO) p = 0,000 OR = 12,152, health
personnel behavior p = 0,000 OR = 10,744, side effect of medicine p = 0,011 OR = 6,105,
knowlegde patient p = 0,000 OR = 6,097, health promotion p = 0,015 OR = 4,062 and
distance to community health center (from home) p = 0,016 OR p = 4,009. The above
statement shows that medicine taking controler (PMO) and health personnel behavior
have the strongest relationship with the irregularity of getting treatment. Thefore the
intervention suggested to minimize the rate of irregularity of getting treatment is to
encourage the patients to improve their knowledge on tuberculosis by improving the
knowledge of health personnels on tuberculosis of health promotion to the patients can be
improved providing pocket books on TB treatment to be given to the patients, their family
and organizing a continiuous improvement of medicine taking control (PMO)
1. Pendahuluan
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
sekitar 15–20 juta orang dengan insiden kejadian 10 juta orang dan tidak kurang dari 3 juta
orang kematian per tahun. Kematian yang disebabkan TB paru pada wanita lebih banyak
dari pada kematian ibu hamil, ibu bersalin dan nifas (WHO, 1993). Sampai hari ini belum
satupun negara di dunia yang terbebas dari TB paru. Bahkan untuk negara maju, yang
pada mulanya angka tuberkulosis sudah menurun, belakangan naik lagi mengikuti
1
Jumlah penderita TB paru di Indonesia mempunyai urutan ketiga terbesar di
dunia setelah India dan China. Menurut perkiraan WHO tahun 2000 penderita TB paru di
Indonesia diperkirakan 557.000 penderita baru / tahun dan 129.000 orang kematian per
tahun atau 15 orang pada setiap jam (WHO, 2001). Kematian oleh TB cukup besar, hal ini
tanpa kita sadari dan tidak dirasakan secara langsung karena kasusnya tersebar di seluruh
wilayah Indonesia.
69,8%, sedangkan target nasional yang ditetapkan minimal 85% belum terpenuhi. Salah
tuberkulosis dalam meminum obat (Darmadi 2000). Senewe (1997) menyatakan 33%
pasien tersebut adalah pengetahuan, ketersediaan obat, petugas pelayanan kesehatan dan
pengawas menelan obat. Sedangkan Hidayat (2000) faktor yang berhubungan dengan
Binjai di mulai pada tahun 1999 dengan melengkapi sarana dan prasarana secara bertahap
(Profil kesehatan kota Binjai 2003). Beberapa puskesmas yang sudah memenuhi syarat
untuk pelaksanaan strategi DOTS. Pada tahun 2003 di kota Binjai terdapat 5 puskesmas
induk, 2 puskesmas rawat inap, dan 17 puskesmas pembantu dengan jumlah kelurahan 37
kelurahan. Empat puskesmas induk dan 2 puskesmas rawat inap telah melaksanakan
peningkatan perbaikan cakupan TB paru dari tahun ke tahun, namun masih jauh di bawah
2
angka estimasi/indikator keberhasilan program penganggulangan TB paru yang ditetapkan
pemerintah. Hal ini terlihat dari laporan Dinas Kesehatan kota Binjai Tahun 2003 yang
Tabel 1.1
Cakupan Program Pemberantasan TB Paru di Kota Binjai Tahun 2003
penderita > 70% dari semua penderita tuberkulosis), dan peningkatan angka kesembuhan
penderita >80%. Pada tahun 2003 jumlah penderita BTA positif yang berobat di puskesmas
kota Binjai adalah 246 orang (profil Kesehatan 2003). Prevalensi penyakit TB paru adalah
0,109%. Prevalensi TB paru ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
kota Binjai. Angka kesembuhan penderita TB paru di kota Binjai adalah 61%, masih jauh
program kesehatan di kota Binjai. Angka kegagalan (drop out) adalah 17,2% dan target
nasional adalah < 10%. Kegagalan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya
tidak teratur berobat, obat habis di puskesmas, dan lain sebagainya. Sampai saat ini
berobat di puskesmas atau yang sejenis dengan topik ini, belum pernah dilakukan di Binjai.
Oleh sebab itu penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian ini.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah studi analitik dengan pendekatan desain kasus dan kontrol
tidak berpadanan. Peneliti kemudian mengukur paparan yang dialami penderita TB pada
3
penunjang. Penelitian ini dapat mengestimasi beberapa faktor yang berhubungan dengan
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TBC yang berumur 15 tahun
keatas terdaftar di puskesmas dan di catat di daftar pengobatan penderita TBC paru (01)
pada tahun 2002 s/d 2003. Sampel adalah sebagian dari populasi yang memenuhi syarat
Kriteria kasus adalah penderita TBC yang berumur >15 tahun di kota Binjai
yang berobat di puskesmas dan di catat pada pencatatan pengobatan penderita TBC paru
(01) pada tahun 2002 s/d 2003 yang pernah terlambat/lalai mengambil/minum obat
selama 2 hari atau lebih berturut-turut pada masa pengobatan intensif dan lebih dari
Kriteria kontrol adalah penderita TBC yang berumur >15 tahun di kota Binjai
yang berobat di puskesmas dan di catat di pencatatan pengobatan penderita TBC paru (01)
pada tahun 2002 s/d 2003 yang tidak pernah terlambat/lalai mengambil/minum obat
selama 2 hari atau lebih pada masa pengobatan intensif dan lebih dari (minimal) 1 minggu
OR : Odds ratio.
OR. p1
p2 = P1 p1.OR
4
Berdasarkan rumus tersebut dapat dihitung jumlah sampel minimal dengan tingkat
kesalahan 5% dan kekuatan uji 80%. Dari beberapa penelitian didapatkan perkiraan OR
antara 2,5-4,1 dan proporsi masing-masing variabel independent antara 0.35 – 0.4.
Tabel 3.1
Perhitungan Besar Sampel Menurut Beberapa Faktor yang Berhubungan Dengan
Perilaku Penderita TBC Paru oleh Penelitian Sebelumnya
adalah 75 orang (n), karena desain penelitan ini adalah kasus dan kontrol, maka besarnya
sampel minimal adalah 2 x n = 2n. Oleh sebab itu jumlah sampel dalam penelitian ini
adalah 75 orang untuk sampel kasus dan 75 orang untuk sampel kontrol. Total sampel
adalah 150 orang. Metode pengambilan sample digunakan dengan simpel random
sampling. Alat pengukuran yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian ini
adalah kuesioner. Sedangkan tehnik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan
2. Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul selanjutnya akan di olah dan dianalisis dengan bantuan
hubungan antara dua variable dengan menggunakan test kemaknaan. Untuk uji kemaknaan
digunakan uji chi square (X²). Selain itu di lakukan juga perhitungan Odds ratio (OR)
melalui table 2 x 2.
5
2.3. Penentuan Model Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Ketidakteraturan
Berobat
mempengaruh variabel terikat. Hal ini dapat di lakukan dengan analisis multiple logistic
βo = Konstanta
b1,b2….bn = Koefisien regressi variabel prediktor (Independen)
akan diteliti.
3. Hasil Penelitian
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk table seperti di bawah ini. Penyajian ini adalah
hasil analisis univariat dan analisis chi square, untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada
table berikut.
TABEL 4.4.
Distribusi Frekwensi Responden Penderita TB
Paru Dengan Ketidakteraturan Berobat Dipuskesmas Kota Binjai Tahun 2003.
6
Jenis Kelamin
1. Laki laki 28 34 62 1.89 0,368:3,425 0,631
2. Perempuan 47 41 88
Umur
1. < 20 thn 2 1 3
2. 21-40 thn 19 25 44 1,833 0,463:2,193 0,461
3. 41-60 thn 31 35 66 1,664 0,356:1,752 0,321
4. > 60 thn 23 14 37 1,785 0,455:2,154 0,571
Pendidikan
1. Rendah 43 40 83
32 46 67 1,176 0,617:2,240 0,743
2. Tinggi
Pekerjaan
1. Tidak bekerja 25 17 42 1,706 0,828:3,515 0,273
2. Bekerja 50 58 108
Pengetahuan
1. Tdk Baik 56 22 78 7,1 3,457:14,58 0,002
2. Baik 19 53 72
Pendapatan keluarga
1. <Rp.185.000. 33 50 83 0,393 0,203:0,762 0,009
2. >Rp.185.000 42 25 67
Penyuluhan kesehatan.
1. Tdk Mengerti 33 9 42
5,762 2,506: 0,013
peny.kesehatan 42 66 108
2. 13,246
3. Mengerti peny.kesehatan
ketidakteraturan, odds ratio sebesar 1,176 (95% CI: 0,617:2,240) artinya responden yang
tingkat pendidikannya rendah mempunyai kemungkinan 1,176 kali lebih besar tidak
teratur berobat dibandingkan dengan responden berpendidikan tinggi dan tidak bermakna
secara statistik karena 95% CI melewati nilai 1 dan p value 0,743 lebih tinggi dari p<0,25.
7
3.2. Hubungan Pekerjaan Dengan Ketidakteraturan Berobat
Dari tabel 4.4. terlihat bahwa hasil analisis bivariat pekerjaan dengan ketidakteraturan
berobat memperlihatkan odds ratio sebesar 1,706 (95% CI:0,828:3,515) artinya responden
yang tidak bekerja mempunyai kemungkinan 1,706 kali lebih besar tidak teratur berobat
dibandingkan dengan responden yang bekerja, di mana hasil uji statisik tidak bermakna
yaitu 95% CI melewati nilai 1 dan p value 0,273 lebih besar dari 0,25.
berobat odds ratio sebesar 7,1 (95% CI 3,457:14,582) artinya responden yang
pengetahuannya kurang baik mempunyai kemungkinan 7,1 kali lebih besar tidak teratur
berobat dibandingkan dengan responden yang pengetahuannya baik. Hasil uji statistik
lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang memperoleh
pendapatan tinggi dan bermakna secara statistik karena 95% CI tidak melewati nilai 1 dan
p value 0,009. Variabel ini dipertimbangkan untuk ikut model uji multiple logistic
regression.
Hasil analisis bivariat ESO dengan ketidakteraturan berobat menunjukan odds ratio
sebesar 4,032 (95% CI : 1,602:10,151) artinya responden yang merasakan adanya efek
samping obat mempunyai kemungkinan 4,302 kali lebih besar tidak teratur berobat
dibandingkan dengan responden yang tidak merasakan adanya efek samping obat dan
bermakna secara statistik yaitu 95% CI tidak melewati nilai 1 dan P value 0,024.
8
Hasil analisis bivariat penyuluhan petugas kesehatan dengan ketidakteraturan berobat
memperlihatkan odds ratio sebesar 5,762 (95% CI : 2,506:13,246) artinya responden yang
tidak mengerti penyuluhan petugas kesehatan mempunyai kemungkinan 5,762 kali lebih
besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang mengerti penyuluhan
petugas kesehatan, dan bermakna secara statistik yaitu 95% CI tidak melewati nilai 1 dan p
value 0,013.
menunjukkan odds ratio sebesar 4,843 (95% CI 2,362:9,845) artinya responden yang tidak
merasa puas dengan perilaku petugas kesehatan mempunyai kemungkinan 4,843 kali lebih
besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang merasa puas dengan
perilaku petugas kesehatan dan bermakna secara statistik yaitu 95% CI tidak melwati nilai
1 dan p
value 0,013.
Hasil analisis bivariat PMO dengan ketidakteraturan berobat menunjukkan odss ratio
sebesar 5,630 (95% CI: 2,770:11,443) artinya responden yang tidak ada PMO memiliki
kemungkinan 5,63 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden
yang memiliki PMO dan bermakna secara statistik yaitu 95% CI tidak melewati nilai 1 dan
p value 0,010.
odds ratio sebesar 3,329 (95% CI: 2,829:14,157) artinya responden yang mempunyai
tempat tinggal jauh dari puskesmas mempunyai kemungkinan 3,329 kali lebih besar tidak
teratur berobat dibandingkan dengan responden yang tempat tinggalnya dekat dengan
puskesmas dan secara statistik bermakna yaitu 95% CI tidak melewati nilai 1 dan p value
0,033.
9
3.10. Analisis Model Faktor Resiko Ketidakteraturan Berobat dengan Multiple
Logistic Regression
Tabel 4.5.
Hasil Akhir Regressi Logistik Ganda Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakteraturan
Berobat Penderita Tb Paru di Puskesmas
sebagai berikut.
kesehatan) + 1,809 (ESO) +1,808 (Pengetahuan) + 1,402 (Penyuluhan kesehatan) + 1,389 (Jarak
kepuskesmas).
berikut:
lihat dari Exp(B) = 12,152, artinya responden yang tidak memiliki pengawas
menelan obat mempunyai kemungkinan 12,152 kali lebih besar tidak teratur berobat
10
2) Pengaruh perilku petugas kesehatan dengan ketidakteraturan berobat dapat di lihat
dari Exp(B) = 10,744, artinya responden yang tidak puas terhadap perilaku petugas
kesehatan mempunyai kemungkinan 10,744 kali lebih besar tidak teratur berobat
kontrol.
3) Pengaruh evek samping obat (ESO) dengan ketidakteraturan berobat dapat di lihat
dari Exp(B) = 6,105, artinya responden yang merasakan evek samping obat
kemungkinan 6,105 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan
responden yang tidak merasakan evek samping obat setelah pengetahuan, penyuluhan
= 6,097, artinya responden yang tidak memiliki pengetahuan tidak baik mempunyai
kemungkinan 6,097 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan
mempunyai kemungkinan 4,062 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan
kontrol.
Exp(B) = 4,009, artinya responden yang tempat tinggal jauh dari puskesmas
mempunyai kemungkinan 4,009 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan
dengan responden yang jarak rumahnya dekat dengan puskesmas setelah variabel
Berdasarkan nilai Odds Ratio, kita dapat memperkirakan nilai kekuatan pengaruh
11
penyuluhan kesehatan dan jarak ke puskesmas. Melalui model ini dengan 6 buah variabel
4.1. Pengetahuan
Pengetahuan responden dikategorikan menjadi dua, kurang baik dan baik. Proporsi
pengetahuan responden tidak jauh berbeda antara responden yang pengetahuan kurang baik
(52%) dan yang baik (48%). Pada kelompok teratur sebagian besar responden mempunyai
pengetahuan baik (70,7%), sedangkan pada kelompok tidak teratur (74,7%) mempunyai
pengetahuannya kurang baik terhadap TB mempunyai resiko 6,094 kali lebih besar untuk
tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang mempunyai pengetahuan baik
tentang TB.
Hasil penelitian yang sama diperlihatkan oleh Hidayat, (2000) bahwa responden yang
mempunyai perilaku tidak teratur berobat adalah mereka yang berpengetahuan kurang
baik.
Efek Samping Obat pada penelitian ini memperlihatkan responden menyatakan ada
efek samping obat (80,7%) dan tidak ada ESO (19,3%). Proporsi responden yang
merasakan ada ESO pada kelompok teratur (90,7%), lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kelompok tidak teratur (70,7%) dan odds ratio 6,105. Hasil penelitian ini tidak jauh
berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Wirdani (2001)
bahwa ESO memberikan resiko ketidakteraturan berobat 4,5 kali dibandingkan dengan
penderita yang tidak ada ESO. Aditama (2000) menyatakan dengan pemakaian OAT yang
berbulan bulan dapat menimbulkan ESO. Dengan adanya efek samping ini sering
12
Perilaku petugas pelayanan kesehatan pada penelitian ini memperlihatkan bahwa
responden yang merasakan tidak puas terhadap perilaku pelayanan petugas mempunyai
resiko 10,744 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang
Bila sikap petugas positip diasumsikan sebagai pelayanan petugas yang memuaskan, maka
hasil penelitian Margono (1996) memperlihatkan hasil yang tidak jauh berbeda. Sebagian
sikap negatip (17,3%). Hubungan perilaku petugas dengan keteraturan minum obat
menunjukkan odds ratio sebesar 5,9 (p = 0,000). Suherman (1997) juga memperlihatkan
hasil yang hampir sama, dimana responden yang mendapat pelayanan memuaskan oleh
petugas kesehatan 4,88 kali lebih besar untuk memanfaatkan pengobatan tuberkulosis paru
memuaskan.
kesehatan antara lain petugas sebaiknya berempati kepada penderita, tidak merokok di
Proporsi responden yang mempunyai PMO (56%) dan responden yang tidak
memiliki PMO adalah (44%). Proporsi responden yang tidak memiliki PMO pada
kelompok tidak teratur (64%). Hal ini lebih tinggi di bandingkan kelompok teratur (24%).
Penelitian ini memperlihatkan penderita yang tidak memiliki PMO mempunyai peluang
12,152 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan penderita yang memiliki PMO.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Oesman (2000) yang menyatakan ada
hubungan bermakna antara PMO dengan kepatuhan berobat penderita TB paru (p=0,000).
Begitu juga dengan penelitian Marzuki (2000) kemungkinan kepatuhan berobat pada
responden yang mengatakan ada PMO selama pengobatan 2,8 kali dibandingkan
13
responden yang tidak ada PMO. Hasil yang tidak jauh berbeda ditunjukkan Hidayat (2000)
bahwa responden yang tidak ada PMO mempunyai resiko 16,2 kali lebih besar untuk tidak
Pengawas minum obat (PMO) yang paling baik adalah orang yang paling dekat
dengan penderita, dihormati dan disegani penderita. Orang yang dihormati dan disegani
penderita biasanya semua saran yang diberikannya akan dilaksanakan oleh penderita.
Apabila seseorang itu penting bagi kita maka apa yang dikatakannya cenderung untuk di
Proporsi responden yang tidak mengerti dengan penyuluhan petugas pada penderita
yang tidak teratur berobat sebesr (40%), ini lebih besar dari pada kelompok yang teratur
berobat sebesar (12%). Penderita yang tidak mengerti penyuluhan petugas kemungkinan
kejadian 4,064 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan dengan responden yang
Wirdani (2001) juga menemukan hubungan yang bermakna antara penyuluhan petugas
bukan semata mata kesalahan pasien, tapi juga gambaran kesalahan petugas kesehatan
Bila dikaitkan dengan pengetahuan penderita yang kurang baik terhadap TB paru,
hal ini salah satu faktor responden berobat tidak teratur. Oleh sebab itu perlu peningkatan
penyuluhan kepada penderita dan keluarga terutama mengenai pentingnya berobat secara
Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan selama ini tidak berhasil guna, mungkin
disebabkan beberapa hal misalnya penderita kurang yakin dengan apa yang diberikan oleh
dalam menerima isi penyuluhan, penderita pelupa karena usia sudah tua.
14
Penelitian ini memperlihatkan responden yang jarak rumahnya jauh dari puskesmas
mempunyai kemungkinan 4,009 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan
dengan responden yang jarak rumahnya dekat dengan puskesmas (p = 0,016). Bila
dibandingkan dengan hasil penelitian Margono (1996) menyatakan bahwa ada hubungan
yang bermakna antara jarak dengan kepatuhan berobat (p = 0,023) Penderita yang
mempunyai jarak rumahnya jauh dengan puskesmas mempunyai kejadian 2,2 kali untuk
tidak patuh berobat dibandingkan dengan penderita yang mempunyai jarak rumahnya dekat
dengan puskesmas. Demikian pula dengan penelitian Oesman (2000) ada hubungan yang
bermakna antara jarak dengan kepatuhan berobat TB paru. Jarak tempat berobat
ketidakteraturan berobat adalah semakin jauh jarak ke tempat berobat semakin tidak patuh.
Hal ini sesuai dengan pendapat Poerbanegoro (1994), menyatakan bahwa jarak tempuh
yang jauh dari tempat tinggal ke puskesmas berkaitan dengan sarana transportasi, sehingga
bagi penderita yang bertempat tinggal jauh dan sulit mendapat transportasi ke puskesmas
dapat tidak teratur berobat (mengambil obat, pemeriksaan dahak ulang dan lain lain).
5.Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain,
5.1. Angka kesembuhan penderita TB paru di kota Binjai masih di bawah target
penanggulangan TB secara nasional yaitu 66,2% target >85%. Angka tidak teratur
pengobatan TB paru mempunyai kemungkinan 6,097 kali lebih besar tidak teratur
pengobatan TB paru.
5.2.2. Efek samping obat (ESO) yaitu, penderita yang mengalami ESO terhadap
pengobatan TB paru mempunyai kemungkinan 6,105 kali lebih besar tidak teratur
15
berobat dibandingkan pada penderita tidak mengalami ESO terhadap pengobatan
TB paru.
5.3.1. Pengawas menelan obat yaitu penderita yang tidak mempunyai PMO pada
pengobatan TB paru mempunyai kemungkinan 12,152 kali lebih besar tidak teratur
paru.
5.3.2. Perilaku petugas pelayanan kesehatan yaitu penderita yang tidak puas pada perilaku
tidak teratur berobat dibandingkan dengan penderita yang merasa puas pada
5.3.3. Penyuluhan kesehatan yaitu penderita yang tidak mengerti penyuluhan kesehatan
mempunyai kemungkinan 4,062 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan
5.3.4. Jarak rumah ke Puskesmas (pelayanan kesehatan) yaitu penderita yang rumahnya
jauh dari puskesmas mempunyai kemungkinan 4,009 kali lebih besar tidak teratur
5.3.5. Model yang paling baik untuk memprediksi hubungan antara variabel independen
paling kuat adalah, pengawas minum obat (PMO), perilaku petugas pelayanan
5.3.6. Kontribusi variabel tersebut terhadap kejadian ketidak teraturan berobat adalah
sebesar 79,3%.
16
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KETIDAKTERATURAN BEROBAT PENDERITA TB
PARU DI PUSKESMAS
KOTA BINJAI TAHUN 2004
MAKALAH/JURNAL
OLEH
JOJOR SIMAMORA
027023010
17
DAFTAR PUSTAKA
.
Aditama, Y. T. 2000. Tuberkulosis Diagnosis Terapi Dan Masalahnya. Jurnal
Respirologi Indonesia. No. 2. Thn. 9: 8-16. Jakarta.
Ariawan, I. 1998. Besar Dan Metode Sampel Pada Penelitian Kesehatan . University
Pres UI. Jakarta.
Bahar, A. 1990. Tuberkulosis Paru dalam Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. PABDI.
Jakarta.
Depkes R.I. 1992. Survey Kesehatan Rumah Tangga. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Jakarta.
Depkes R.I. 2002. Survey Kesehatan Rumah Tangga. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Jakarta.
Dinkes Kota Binjai. 2003. Profil kesehatan Kota Binjai. Sub.Din Bina Program. Binjai.
Duff.R., & Hollingshead. 1986. Sickness and Society. New york. Harper and Row.
18
Faliha, H. N. 2004. TBC Paru Bisa Disembuhkan. http://www.journalnet.com. 25 Januari.
Gaffar, A. 2000. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Pencarian Pertolongan
Pengobatan Penderita TB Paru Di Kec Banggai Kabupaten Banggai
Kepulauan Tahun 2000. Thesis Program Pasca Sarjana IKM UI. Jakarta.
Gani, A. 1999. Aplikasi Indikator Kesehatan dan IPM Dalam Alokasi Anggaran Kesehatan
Masyarakat. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. Depkes. Jakarta.
Tahun XXVII, No 1: 5-13.
Glenz, K. 1990. Health behavior and health education, theory research and practise.
Joosey by publisher. San Fransisco.
Komariah. 2000. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Ketaatan Berobat Penderita
Penyakit Kusta Di Kabupaten Aceh Besar thn 1996-1998. Thesis Program
Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat UI. Jakarta.
Lewis, H. 1986. Priciples of epidemiology a self teacing guide. University of Texas School
of Public Health Houston. Texass.
Lumenta, B. 1989. Pasien, Citra, Peran, dan Perilaku. Tinjauan fenomena sosial.
Kanisius. Yogyakarta.
Margono, B. 1996. Penanganan Pengobatan gagal pada TB paru, Medika No. 6. Th. 9.: 19-
34.
Miller, F., Horne, N., & Crofyon, J. 1992. Clinical Tuberculosis. The Macmillan Press
Limited. Second Edition. Boston.
Murti, B. 1995. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Gajah Mada University press.
Yogyakarta.
Nazar, R. 1997. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Kepatuhan Berobat
Pendrita TB Paru Di Poli Paru Rumah Sakit Persahabatan Jakarta Tahun
1995. Thesis Program Pasca Sarjana FKM UI. Depok .
19
Notoatmojo, S. dan Sarwono, S., 1985. Pengantar ilmu perilaku Kesehatan. Badan
Penerbit Kesehatan Masyarakat FKM UI. Jakarta.
Parhusip, R. S., Sugito, Hilaluddin, Sinaga, B., & Silitonga, M. 2003. “Permasalahan
Penerapan Sistim DOTS di Kota Medan dan Kabupaten TOBASA”
makalah dalam Temu Ilmiah dalam rangka World TB Day 2003. SMF Paru
FKUSU/RSUP H. Adam Malik. Medan.
Poerbanegoro, S., Tafaal. Z., Notoatmojo. S., Soedarti, Sasongko, A., Sarwono, S., Mamdy,
Z., Hasan, A., & Pratomo, H. 1994. Pengantar Pendidikan Kesehatan
Masyarakat. FKM UI. Depok.
Rothman, K. J., & Greenland, S. 1998. Modern Epidemiologi. 1nd ed. Lippicot – Raven
Publishers. Washington.
Sacket, D. L., Hynes, R. B., & Tugwel. P. 1985. Clinical Epidemiology, A Basic Science
For Clinic Medicine: Complience, Brown and Co, Boston.
Sarafino, E. P. 1990. Health Psycolog: Biopsychosocial Interaction. John Willey and Son.
New York.
Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan. Beberapa konsep dan Aplikasinya. Gajah Mada
University press. Yogyakarta.
Sclhesselman, J. 1982. Case Control Studies, Design, conduct, analysis. Oxford unifersity
Press. New york.
Singarimbun, M., Effendi, S., & Ancok, Dj. 1987. Metode Penelitian Survey. LP3S.
Jakarta.
Siswanto. 1998. Upaya Menurunkan Putus Berobat Pada Penderita Tuberkulosis Dengan
Menggunakan Kartu Berobat TBC. Balitbangkes. Jakarta.
Suherman. 1995. Studi Kasus Kontrol Pemanfaatan Pengobatan Tuberkulosis paru BTA (+)
di Puskesmas DKI Jakarta 1995. Thesis Program Pasca Sarjana FKM UI.
Depok.
20
Toman, K. 1979. Tuberculosis Case Finding & Chemotherapy, Question and Answer.
WHO. Genewa.
Wirdani. 2000. Hubungan Keberadaan PMO Dengan Keteraturan Minum Obat Fase
Intensif Penderita TB Paru Di Puskesmas Pandeglang Tahun 2000. Thesis
Program Pasca Sarjana FKM UI. Jakarta.
WHO. 2001. Repot On The Indonesia. WHO Joint Evaluation on National TB Program.
Genewa.
WHO. 1993. Treatment of Tuberculosis. Guidelines for national program, second edition,
WHO/TB/1993. Genewa.
21