Pengembangan Wisata Bahari Pantai Karang Jahe Dalam Mendukung Pembangunan Lingkungan Berkelanjutan
Pengembangan Wisata Bahari Pantai Karang Jahe Dalam Mendukung Pembangunan Lingkungan Berkelanjutan
Pengembangan Wisata Bahari Pantai Karang Jahe Dalam Mendukung Pembangunan Lingkungan Berkelanjutan
ABSTRACT
Coastal ecosystems are dynamic ecosystems and biodiversity, both on land and at sea, and interact
between these habitats. But behind its great potential, coastal areas are vulnerable to the impact of human
activities. Development activities, in general, directly and indirectly have an adverse impact on coastal
ecosystems. In addition to biodiversity, coastal areas also have resource productivity and environmental services
as well as accessibility. In these conditions, the coastal region finds its relevance as a potential place for the
development of various development activities intensively. However, on the other hand, it is also very vulnerable
to various forms of negative impacts caused by development activities both within the coastal areas and those on
the upper and the high seas. Thus, the fundamental and critical challenge for the coastal area planners and
managers is how to facilitate economic development, while minimizing the negative impacts of development
activities in accordance with the carrying capacity of the coastal environment. Coastal tourism becomes one
potential alternative that can be developed. This article aims to examine the development of marine ecotourism
in support of sustainable development. This study takes place in the tourist area of Karang Jahe Beach,
Rembang Regency. The study was conducted qualitative descriptive based on existing literature studies. Studies
show that natural resource-based tourism activities, including marine tourism, are tools to support sustainable
development. The growth of ecotourism activities promotes economic growth and community welfare and
conservation of natural resources.
INTISARI
Ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di
darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Namun di balik potensinya yang besar,
wilayah pesisir merupakan wilayah yang rentan terhadap dampak kegiatan manusia. Kegiatan pembangunan,
pada umumnya secara langsung dan tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir. Selain
keanekaragaman hayati, kawasan pesisir juga mempunyai produktivitas sumber daya dan jasa-jasa lingkungan
serta kemudahan (accessibility). Pada kondisi tersebut, kawasan pesisir menemukan relevansinya sebagai
tempat potensial berkembangnya aneka kegiatan pembangunan secara intensif. Namun di sisi lain, juga sangat
rentan terhadap berbagai bentuk dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan baik
yang berlangsung di dalam wilayah pesisir maupun yang berada di lahan bagian atas dan laut lepas. Dengan
demikian, tantangan mendasar dan kritikal bagi perencana dan pengelola wilayah pesisir adalah bagaimana
memfasilitasi pembangunan ekonomi, dan pada saat yang sama meminimalkan dampak negatif dari kegiatan
pembangunan sesuai dengan daya dukung lingkungan pesisir. Salah satu potensi yang bisa dikembangkan pada
kawasan pesisir adalah wisata bahari. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji pengembangan ekowisata bahari
dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Studi ini mengambil lokasi pada kawasan wisata Pantai
Karang Jahe Kabupaten Rembang. Studi dilakukan secara kualitatif deskriptif berdasarkan studi literatur yang
ada. Kajian menunjukkan bahwa kegiatan wisata berbasis sumber daya alam, termasuk wisata bahari,
merupakan alat (tools) untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Pertumbuhan kegiatan ekowisata
mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat serta kegiatan konservasi sumber daya alam.
A-173
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2018 ISSN: 1979-911X
Yogyakarta, 15 September 2018
1. PENDAHULUAN
Secara global, industri perjalanan dan pariwisata memberikan kontribusi positif terhadap tingkat PDB
(Produk Domestik Bruto) serta menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat (WTTC, 2017b), termasuk di
Indonesia (WTTC, 2017a). Nizar (2011) mencoba untuk menganalisis pola kausal hubungan antara
pertumbuhan pariwisata (penerimaan pariwisata) dan pertumbuhan ekonomi. Hasilnya menunjukkan beberapa
kesimpulan: (i) pertumbuhan pariwisata dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan kausal timbal balik.
Namun, dampak pertumbuhan pariwisata (penerimaan) akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan jeda
waktu 5-6 kuartal, sementara peningkatan pertumbuhan PDB akan mendorong peningkatan pertumbuhan
pariwisata di kuartal berikutnya. Penelitian ini juga menemukan bahwa kebijakan promosi pariwisata akan
mempengaruhi pariwisata.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD-Organization for Economic Co-
operation and Development) dalam rilisnya menyebutkan bahwa pariwisata merupakan sektor ekonomi utama,
secara langsung memberikan kontribusi, rata-rata, 4,2% dari PDB, 6,9% lapangan kerja dan 21,7% dari ekspor
jasa di negara-negara anggota OECD. Pembangunan berkelanjutan dari sektor pariwisata sangat tergantung dari
kemampuannya untuk beradaptasi dengan tren ekonomi, sosial, politik, lingkungan dan teknologi yang muncul.
Pengembangan kebijakan yang tepat, strategi terpadu, struktur kerjasama antar pemerintahan dan mekanisme
yang melibatkan sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya (masyarakat) dalam pengelolaan sektor
pariwisata sangat dibutuhkan untuk mengoptimalkan potensi pariwisata sebagai mesin pertumbuhan yang
inklusif dan berkelanjutan (OECD, 2018).
Ekosistem pesisir merupakan salah satu ekosistem dengan karakteristik yang unik. Keanakeragaman
hayati, produktivitas sumber daya, keindahan lansekap dan aneka jasa lingkungan serta kemudahan
(accessibility) pada ekosistem pesisir menjadi alasan relevan berkembangnya aneka kegiatan pembangunan
secara intensif, termasuk pengembangan wisata berbasis alam. Namun di sisi lain, menilik kondisinya yang
berada di antara matra laut dan matra darat, kawasan ini juga sangat rentan terhadap berbagai kegiatan-kegiatan
pembangunan. Menyelaraskan kegiatan pembangunan agar memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat,
namun memberikan dampak negatif sekecil mungkin bagi ekologi dan sosial budaya setempat serta sesuai
dengan daya dukung lingkungan menjadi tantangan dilematis dan kritikal bagi perencana dan pengelola
ekosistem pesisir.
Pengembangan ekowisata bahari menjadi salah satu alternatif kebijakan yang bisa dikembangkan untuk
menegakkan tiga pilar pembangunan, yaitu ekonomi, sosial dan ekologi. Artikel ini mencoba mengkaji
pengembangan ekowisata bahari dalam mendukung pembangunan berkelanjutan, termasuk isu dan tantangan
yang dihadapi.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan wisata bahari Pantai Karang Jahe Desa Punjulharjo Kecamatan
Rembang Kabupaten Rembang. Penelitian dilakukan selama bulan Juli - Agustus 2018. Metode penelitian yang
digunakan dalam kajian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Metode ini menurut Sugiyono (2014) digunakan
untuk memahami dan menjelaskan dinamika dan kompleksitas suatu situasi sosial, dalam hal ini pengelolaan
pariwisata dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Instrumen penelitian yang digunakan adalah literatur
A-174
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2018 ISSN: 1979-911X
Yogyakarta, 15 September 2018
tentang pengelolaan pariwisata dan pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya, dilakukan analisa untuk
menjelaskan isu dan tantangan dalam pengelolaan wisata bahari.
A-175
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2018 ISSN: 1979-911X
Yogyakarta, 15 September 2018
Tabel 1. Nilai kisaran sifat fisik – kimia air laut di Perairan Jawa Tengah
No Parameter Satuan Nilai Baku Mutu Air Keterangan
Kisaran untuk Wisata
Bahari*
1 Suhuc 0
C 29,7 – 33,1 Alami 3 (c) Memenuhi BM
a
2 Kecerahan m 0,8 – 4,8 >6 Tidak memenuhi BM
3 Salinitas ‰ 27,3 – 33,5 Alami 3 (e) Memenuhi BM
4 Derajad keasaman (pH)d 7,5-8,3 7 - 8,5 d Memenuhi BM
5 COD mg/l 116-350 - -
6 Oksigen terlarut (DO) mg/l 5,7 – 8,7 >5 Memenuhi BM
Sumber : DKP Prov. Jateng (2017)
Keterangan:
* : Baku mutu berdasarkan Kep MENLH Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota
Laut
3
: Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim)
a
: Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic
c
: Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami
d
: Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH
e
: Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman
Beberapa faktor yang relevan dalam perencanaan pengembangan pariwisata berkelanjutan di Pantai Karang
Jahe adalah:
1. Ekonomi
Dari aspek ekonomi, hasil penelitian Abdillah (2017) menyebutkan bahwa potensi nilai ekonomi
intangible wisata Pantai Karang Jahe adalah Rp 305.720.768.951,00 per tahun dengan tingkat
pemanfaatan aktual sebesar Rp 26.410.002.605,00 pertahun (8,6 % dari potensi ekonomi yang ada).
Studi yang sama menunjukkan bahwa nilai surplus konsumen ekowisata Pantai Karang Jahe lebih besar
daripada biaya aktual rata-rata yang dikeluarkan pengunjung. Hal ini menunjukkan bahwa pengunjung
mendapat manfaat jasa lingkungan yang lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Nilai ekonomi
potensial yang besar harus disertai dengan upaya untuk menjaga kualitas lingkungan. Hasil Analisa
SWOT merumuskan strategi pertumbuhan dengan arahan strategi melalui integrasi horizontal. Integrasi
horizontal maksudnya kerjasama multi stakeholder dengan cara mengkolaborasikan kemampuan
masing-masing pihak untuk mencapai hasil dan tujuan yang sama. Strategi ini ditempuh dengan
mempraktekkan manajemen adaptif dengan memandang tindakan manajemen sebagai bagian dari
pengalaman, dengan tujuan mencapai konsensus di antara stakeholders tentang seberapa besar pengaruh
yang dapat diterima dan seberapa luas Kawasan yang dapat dikembangkan untuk wisata.
Salah satu strategi prioritas yang diusulkan adalah menentukan arah wisata alam Pantai Karang
Jahe menjadi pariwisata alam yang berkelanjutan, meningkatkan komitmen dalam menjaga kualitas
lingkungan melalui sosialisasi ataupun penegakan peraturan yang ada, menentukan program
pengelolaan jangka panjang yang terukur dan melibatkan seluruh stakeholder.
2. Sosial
Dari aspek sosial, relevansinya bisa dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam mengelola wisata
bahari Pantai Karang Jahe. Tahun 2002 adalah tahun dimana dicanangkannnya Tahun Ekowisata dan
A-176
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2018 ISSN: 1979-911X
Yogyakarta, 15 September 2018
Pegunungan di Indonesia. Ada 5 (lima) prinsip dasar pengembangan ekowisata di Indonesia yang
dirumuskan dari berbagai workshop dan diskusi para ahli pada tahun tersebut, yaitu pelestarian,
pendidikan, pariwisata, perekonomian dan partisipasi masyarakat setempat (UNESCO, 2009).
Pembentukan Badan Pengelola Karang Jahe Beach merupakan salah satu upaya untuk mendorong
pengembangan ekowisata di kawasan tersebut. Selain itu untuk mensikronisasi dengan kegiatan
pembangunan desa maka dibentuk badan usaha milik desa. Data dari Badan Pengelola Karang Jahe
Beach menyebutkan bahwa penyelenggaraan wisata bahari telah menyerap 500 lebih tenaga kerja.
3. Lingkungan
Dari aspek lingkungan, daya dukung kawasan sebagai akibat meningkatnya jumlah kunjungan
harus menjadi perhatian Badan Pengelola Karang Jahe. Rata-rata kunjungan selama Tahun 2015-2017
meningkat dari 939 orang/hari pada Tahun 2015 menjadi 1.900 orang/hari (2016) dan 2.761 orang/hari
(2017). Pesatnya pertumbuhan wisatawan di Pantai Karang Jahe selama 3 (tiga) tahun terakhir harus
dimaknai dari berbagai sudut pandang. Kondisi tersebut mendorong meningkatnya perekonomian
masyarakat. Namun kondisi tersebut harus menjadi perhatian serius bagi pengelola wisata Pantai
Karang Jahe. Pariwisata menciptakan tekanan pada lingkungan alam dan budaya, mempengaruhi
sumber daya, struktur sosial, pola budaya, kegiatan ekonomi dan penggunaan lahan di masyarakat lokal.
Meningkatnya jumlah kunjungan dikhawatirkan dapat menimbulkan gangguan ataupun kerusakan
habitat dan nilai estetika kawasan.
4. Legal
Dari aspek legal, pengembangan wisata bahari Pantai Karang Jahe harus sesuai dengan arahan
perencanaan wilayah. Menurut Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K)
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017-2037, kawasan ini termasuk zona pariwisata sub zona wisata alam
pantai/pesisir. Arahan pemanfaatan zona pariwisata dilakukan dengan cara, a) meningkatkan daya tarik
dan destinasi wisata; b) meningkatkan sarana dan prasarana kepariwisataan; c) meningkatkan produk
wisata yang sesuai dengan sifat dan karakteristik; d) meningkatkan manajemen kepariwisataan; dan e)
mengendalikan dampak negatif kegiatan pariwisata di wilayah pesisir (DKP Prov. Jateng, 2017).
Menurut Peraturan Daerah No 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Rembang Tahun 2011-2031, salah satu strategi pengembangan potensi sektor perikanan dan kelautan di
bagian utara adalah mengembangkan kawasan wisata bahari terpadu. Namun sayangnya, kawasan
wisata Pantai Karang Jahe yang berada di Desa Punjulharjo Kecamatan Rembang belum dimasukkan ke
dalam kawasan wisata bahari terpadu. Kawasan ini merupakan perwujudan pengembangan kawasan
yang berupaya mengelola kawasan pesisir secara terpadu beberapa sektor potensi yaitu pengembangan
sektor perikanan kelautan, sektor industri pengolahan perikanan, pengembangan pariwisata bahari dan
penataan permukiman. Kawasan wisata Pantai Karang Jahe yang berada di Kecamatan Rembang,
termasuk ke dalam kawasan kota pantai unggulan (seafront city). Kawasan ini merupakan perwujudan
pengelolaan kawasan pesisir menjadi kawasan kota pantai unggulan melalui pengembangan pusat
kegiatan dan jaringan prasarana transportasi jalan dan transportasi laut dalam keterpaduan
pengembangan kawasan pariwisata, kawasan perikanan dan kawasan industri Kabupaten Rembang
(Regent of Rembang, 2011).
A-177
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2018 ISSN: 1979-911X
Yogyakarta, 15 September 2018
Tantangan lain dari aspek legal adalah kemungkinan terjadinya konflik norma antara Undang-
undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Salah satu implikasi dari UU No 23/2014 adalah undang-
Undang tersebut tidak sepenuhnya memberikan kewenangan atau mengurangi kewenangan pengelolaan
sumber daya di wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil terhadap Kabupaten/Kota. Pada pembagian
urusan pemerintahan konkuren (lampiran) Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah kewenangan kabupaten/kota hanya diberikan untuk mengelola perikanan tangkap dan perikanan
budidaya (diluar perairan pesisir). Hal tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan penafsiran
terhadap peraturan tersebut. UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berspirit
memberikan kewenangan kepada daerah (provinsi dan kabupaten/kota) untuk mengurus pesisir dan
pulau-pulau kecil secara komprehensif. Kewenangan yang dilimpahkan mulai dari perencanaan,
pemanfaatan (termasuk pemberian izin), konservasi dan perlindungan, monitoring dan evaluasi,
penelitian dan pengembangan sampai pemberdayaan masyarakat. Untuk perencanaan, daerah diberikan
kewenangan untuk menyusun Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan dan Rencana
Aksi (Simarmata & Firdaus, 2016).
A-178
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2018 ISSN: 1979-911X
Yogyakarta, 15 September 2018
wisata pada saat ini sekaligus melindungi dan meningkatkan peluang pengembangan untuk masa depan. Hal ini
menyangkut upaya manajemen sumber daya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial, dan estetika
dapat dipenuhi dengan tetap menjaga integritas budaya, proses ekologi penting, keanekaragaman hayati, dan
sistem pendukung kehidupan (UNEP, 2009).
Gambar 1. Road map hubungan antara pariwisata berkelanjutan dan pembangunan berkelanjutan secara
global: prinsip-prinsip, deklarasi, konvensi, pernyataan dan kode.
Keterangan: WSSD (World Summit on Sustainable Development) ; UNWTO (United Nations
World Tourism Organization) ; CSD (Commission for Sustainable Development) ; WTTC (World
Travel and Tourism Council) ; UNEP (United Nations Environment Programme), TIES (The
International Ecotourism Society) and EC (the Earth Council)
Selanjutnya pada Tahun 2002, The World Ecotourism Summit merumuskan Deklarasi Quebec tentang
Ekowisata. Deklarasi ini menyatakan bahwa ekowisata memuat prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan tentang
dampak ekonomi, sosial dan lingkungan kegiatan pariwisata. Deklarasi ini juga merumuskan prinsip-prinsip
spesifik ekowisata seperti kontribusi terhadap konservasi alam dan warisan budaya, keterlibatan masyarakat
lokal dalam perencanaan, pengembangan dan pengelolaan wisata, dan edukasi tentang alam dan warisan budaya
kepada pengunjung (UNEP/WTO, 2002). Seiring dengan menguatnya isu perubahan iklim, maka pada Tahun
2007 diumumkan Deklarasi Davos tentang Climate Change and Tourism responding to Global Challenges.
Dekarasi ini menegaskan bahwa sektor pariwisata sangat sensitif terhadap dampak perubahan iklim dan
pemanasan global. Sektor pariwisata diperkirakan berkontribusi sekitar 5% dari emisi CO2 global. Mengingat
pentingnya pariwisata dalam tantangan global perubahan iklim dan pengentasan kemiskinan, maka dipandang
A-179
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2018 ISSN: 1979-911X
Yogyakarta, 15 September 2018
penting untuk segera mengadopsi serangkaian kebijakan yang mendorong pariwisata yang benar-benar
berkelanjutan dengan mempertimbangkan respon lingkungan, sosial, ekonomi dan iklim (UNWTO, 2007).
Gambar 1 menunjukkan road map hubungan antara pariwisata berkelanjutan dan pembangunan berkelanjutan,
baik dalam bentuk prinsip-prinsip, deklarasi, konvensi, pernyataan dan kode secara global (Pan et al., 2018).
Dari jejak hubungan antara pariwisata dan pembangunan berkelanjutan pada road map tersebut , para ahli
meyakini bahwa pariwisata berkelanjutan dapat menjadi alat (tool) untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
Pada Tahun 2015, menjadi tonggak bagi pembangunan global karena perintah dunia telah mengadopsi Agenda
baru sebagai panduan menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030, yang secara resmi dikenal dengan
Transforming our world: the 2030 Agenda for Sustainable Development. Sektor pariwisata memiliki potensi
untuk berkontribusi langsung maupun tidak langsung terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable
Development Goals-SDGs). Secara keseluruhan ada 17 SDGs, namun secara khusus, sektor pariwisata terkait
dengan SDGs 8, 12 dan 14 yang mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan, konsumsi dan
produksi berkelanjutan dan penggunaan berkelanjutan dari lautan dan sumber daya laut (UNWTO, 2015).
Majelis Umum PBB ke-70 telah menetapkan 2017 sebagai Tahun Internasional Pariwisata Berkelanjutan
untuk Pembangunan (A/RES/70/193) (General Assembly, 2017). Penetapan Tahun Internasional merupakan
kesempatan untuk meningkatkan kesadaran para pengambil kebijakan, swasta dan masyarakat tentang kontribusi
pariwisata berkelanjutan untuk pembangunan, serta memobilisasi semua pemangku kepentingan untuk bekerja
sama dalam membuat pariwisata sebagai katalis untuk perubahan positif. Dalam konteks Agenda 2030 untuk
Pembangunan Berkelanjutan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, Tahun Internasional mendukung
perubahan dalam kebijakan, praktik bisnis dan perilaku konsumen menuju sektor pariwisata yang lebih
berkelanjutan yang dapat berkontribusi pada SDG di lima bidang utama (UNWTO/UNDP, 2017), yaitu:
1. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan;
2. Inklusivitas sosial, pekerjaan dan pengentasan kemiskinan;
3. Efisiensi sumber daya, perlindungan lingkungan dan perubahan iklim;
4. Nilai-nilai budaya, keragaman dan warisan; dan
5. Saling pengertian, perdamaian dan keamanan.
3.3. Implikasi
Memfasilitasi pembangunan ekonomi dan meminimalkan dampak negatif kegiatan pembangunan menjadi
tantangan mendasar dan kritikal bagi perencana dan pengelola wilayah pesisir. Salah satu kegiatan
pembangunan yang potensial dikembangkan di kawasan pesisir adalah wisata bahari. Para ahli sepakat bahwa
pariwisata yang berkelanjutan dapat menjadi salah satu alat (tool) untuk mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan. Pariwisata berkelanjutan pada dasarnya mengatur tentang hubungan manusia dan lingkungan
berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Maka tantangan kritikal bagi para pengambil
kebijakan adalah bagaimana menjamin keberlanjutan, kualitas dan isu-isu terkait manusia dan lingkungan dalam
sektor pariwisata.
Manusia sebagai entitas pelaku pembangunan memegang peranan penting untuk menentukan arah
pembangunan. Salah satu isu penting dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan adalah kesetaraan gender.
Diskriminasi peran perempuan nampak dalam kesempatan kerja dan pengambilan keputusan. Penelitian Das &
Chatterjee (2015) menemukan kenyataan bahwa hal pekerjaan formal, perempuan lokal sering diabaikan. Dalam
A-180
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2018 ISSN: 1979-911X
Yogyakarta, 15 September 2018
beberapa kasus, perempuan bahkan terjerumus dalam kegiatan prostitusi di sekitar daerah wisata. Maka
tantangan kritikal adalah memastikan bahwa perempuan mendapatkan porsi yang layak dalam penghidupan dan
pengambilan keputusan dalam pengembangan pariwisata.
Masalah lain dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan adalah kompatibilitas pariwisata berkelanjutan
terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah tentang peningkatan produksi dan konsumsi
barang dan jasa. Ini melibatkan peningkatan populasi dan atau konsumsi per kapita, di mana konsumsi mengacu
pada konsumsi bahan dan energi oleh perusahaan, rumah tangga, dan pemerintah. Sayangnya, banyak
pertumbuhan pariwisata, seperti halnya pertumbuhan ekonomi secara umum, sudah tidak lagi ekonomis (Hall,
2015). Pertumbuhan ekonomi seringkali disertai dengan penurunan sumber daya alam. Pariwisata berkelanjutan
harus dipahami dari perspective steady-state economy, bahwa perkembangan ekonomi, termasuk pariwisata,
tergantung pada stok modal alam. Pariwisata dalam keadaan stabil (steady-state) merupakan sistem pariwisata
yang mampu mendorong peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia tanpa merugikan modal alam
(Hall, 2009).
Pada prinsipnya, pembangunan berkelanjutan tegak di atas 3 (tiga) dimensi utama, yaitu lingkungan hidup
(ekologi), sosial dan ekonomi. Ketiga pilar tersebut haruslah mendapatkan pendekatan yang sama untuk
memastikan hasil yang berkelanjutan (Rogers, et.al., 2008). Pendekatan ekonomi diarahkan untuk
memaksimalkan pendapatan dengan tetap mempertahankan persediaan modal yang konstan atau meningkat,
pendekatan ekologis diarahkan untuk mempertahankan ketahanan dan kelestarian fisik lingkungan; pendekatan
sosio-budaya diarahkan untuk menjaga stabilitas sistem sosial dan budaya, meningkatkan partisipasi dan
kemandirian masyarakat.
Pengelolaan wisata berbasis masyarakat (Community Based Tourism/CBT) memiliki dampak yang
signifikan terhadap keadaan sosial, politik dan budaya serta pengembangan komunitas. CBT bermanfaat untuk
menyamakan persepsi dan visi masyarakat dalam pengembangan wisata, sehingga mengurangi potensi konflik
dan kesalahpahaman di masa depan. CBT memberikan pengetahuan, pengalaman dan pemahaman pengelolaan
pariwisata sesuai dengan dinamika masyarakat setempat. Pengetahuan yang diperoleh oleh masyarakat, dari
pengalaman-pengalaman ini, kemudian menjadi bahan pembelajaran dalam pengambilan keputusan untuk
mencapai cita-cita, nilai-nilai dan minat mereka dalam proses perencanaan pariwisata (Sammy, 2008).
Pada aspek lingkungan, pengembangan pariwisata berimplikasi terhadap isu perubahan iklim, perubahan
penggunaan dan penutupan lahan, perencanaan wilayah dan daya dukung lingkungan. Pariwisata tidak bisa
dipisahkan dari isu global tentang perubahan iklim. Pariwisata bisa sebagai korban sekaligus contributor
pemanasan global. Pemanasan global menyebabkan terjadinya kenaikan muka air laut, penggurunan dan
kelangkaan air, deforestasi dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati, serta mencairnya salju dan gletser.
Kondisi tersebut menjadikan sektor pariwisata sebagai korban dari pemanasan global. Di sisi lain, pariwisata
juga berkontribusi terhadap pemanasan global, walaupun belum ada perhitungan yang tepat untuk itu.
Pariwisata bertanggung jawab atas sekitar 5% emisi gas CO2 global dan berkontribusi terhadap 4,6% pemanasan
global. Sektor transportasi udara menjadi kontributor utama sektor pariwisata terhadap pemanasan global.
Sektor ini bertanggung jawab untuk 40% dari total emisi karbon karena sektor ini, dan 54-75% dari pemancar
radiasi (UNWTO, n.d.).
A-181
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2018 ISSN: 1979-911X
Yogyakarta, 15 September 2018
Pariwisata pada dasarnya merupakan fenomena geografis, yaitu meliputi pergerakan dan aliran manusia
(dari sudut pandang permintaan) dan pola distribusi spasial yang berkaitan dengan penggunaan lahan (dari sudut
pandang penawaran) (Boavida-Portugal, et.al., 2016). Pengembangan wisata mensyaratkan akses terhadap
lahan. Lahan dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas pariwisata serta bisnis dan jasa yang
terkait dengan pariwisata. Luas lahan yang terbatas, pertumbuhan populasi dan pertumbuhan kegiatan ekonomi
di kawasan wisata telah meningkatkan tekanan pada pemilik lahan, hak kepemilikan lahan, pengelolaan lahan
dan investasi di masa depan (ADB, 2015). Pembangunan yang dipengaruhi pariwisata telah menyebabkan
terjadinya fragmentasi lanskap, degenerasi vegetasi, erosi pantai (Wang & Liu, 2013), peningkatan permintaan
secara kuantitatif untuk lahan konstruksi dan gangguan spasial yang berkelanjutan dengan bentang alam (Mao,
et.al., 2014).
Pariwisata dan perencanaan wilayah terkait satu sama lain. Secara spasial, pariwisata menempati suatu
wilayah tertentu dengan karakter spasial yang khas. Pada suatu lansekap yang sama bisa jadi ada beberapa
sektor yang saling berkepentingan. Misalnya pada kawasan pesisir, ada beberapa kegiatan yang bisa
dikembangkan pada satu lansekap yang sama, termasuk salah satunya pariwisata. Perencanaan wilayah berperan
sebagai alat untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan penggunaan lahan pada suatu wilayah. Sustainability
menjadi isu kompleks dan mempunyai banyak faktor (sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan), karena itu sulit
untuk memastikan keberlanjutan tanpa pendekatan spasial yang benar dan konsisten (Dede & Ayten, 2012).
Kegiatan pariwisata, terutama wisata bahari, sangat tergantung dari kualitas sumber daya alam yang sangat
sensitif terhadap perubahan dan intervensi manusia. Sektor pariwisata juga dapat mempengaruhi aktifitas sosial,
ekonomi lokal, gaya hidup masyarakat setempat hingga pengambilan kebijakan publik. Pertumbuhan wisatawan
yang hampir eksponensial dan penyebarannya ke wilayah yang sebelumnya cukup terpencil jangan sampai
mempengaruhi struktur dan proses ekosistem dan menurunkan kualitas dan kuantitas sumber daya alam.
Akibatnya pengelolaan pariwisata justru bisa menjadi paradoks dalam pengelolaan pariwisata berbasis sumber
daya alam (Lacitignola, et.al., 2007). World Tourism Organization (WTO) mendefiniskan daya dukung wisata
sebagai jumlah maksimum orang yang dapat mengunjungi tujuan wisata pada saat yang sama tanpa
menyebabkan kerusakan lingkungan fisik, ekonomi atau sosial budaya dan penurunan kualitas kepuasan
wisatawan yang tidak dapat diterima (Coccossis, et.al., 2001). Definisi ini mengimplikasikan berbagai
kapasitas: fisik, ekonomi, perseptual, sosial, ekologi, dan politik (Getz, 1983).
4. KESIMPULAN
Wisata bahari Pantai Karang Jahe selama ini berlangsung dengan tipologi wisata massal. Tipologi wisata
massal lebih berorientasi pada pendekatan ekonomi dan pariwisata seringkali merupakan instrument untuk
meningkatkan pendapatan baik swasta maupun pemerintahan. Tipologi wisata seperti ini sangat rentan
membawa dampak negatif terhadap sumber daya alam dan sumber daya manusia. Bentuk pariwisata alternatif,
seperti ekowisata menjadi jawaban atas dampak negatif dari pariwisata massal. Kodhyat dalam Ariana (2013)
menyebutkan pilihan wisata alternatif mempunyai karakteristik tertentu yang lebih memperhatikan daya dukung,
menerapkan pengembangan berkelanjutan serta pengambilan keputusan melibatkan masyarakat lokal. Deklarasi
Quebec tentang Ekowisata pada Tahun 2002 menyebutkan dengan jelas prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan
tentang dampak ekonomi, sosial dan lingkungan kegiatan pariwisata. Agenda 2030 menjadi tonggak penting
A-182
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2018 ISSN: 1979-911X
Yogyakarta, 15 September 2018
peran sektor pariwisata untuk berkontribusi langsung maupun tidak langsung terhadap tujuan pembangunan
berkelanjutan (Sustainable Development Goals-SDGs).
Pariwisata berkelanjutan pada dasarnya mengatur tentang hubungan manusia dan lingkungan berdasarkan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Maka tantangan kritikal bagi para pengambil kebijakan adalah
bagaimana menjamin keberlanjutan, kualitas dan isu-isu terkait manusia dan lingkungan dalam sektor pariwisata.
Dari aspek manusia, isu pariwisata berkelanjutan terakait dengan kesetaraan gender, kebijakan politik ekonomi
serta kapasitas dan kapabilitas masyarakat. Sedangkan dari aspek lingkungan, isu-isu pariwisata berkelanjutan
terkait dengan perubahan iklim, perubahan penggunaan dan penutupan lahan, perencanaan wilayah dan daya
dukung. Perencanaan pengembangan pariwisata berkelanjutan harus menjadi perhatian serius parapihak,
termasuk wisata bahari di Karang Jahe Beach, mengingat kekayaan ekosistem di kawasan pesisir, potensi
ekonomi serta kompleksitas pengelolaan pariwisata di kawasan pesisir. Perencanaan pengembangan pariwisata
berkelanjutan di Karang Jahe Beach menjadi relevan dilihat dari beberapa sudut pandang 1) ekonomi, 2) sosial,
3) lingkungan dan 4) legal. Pengembangan pariwisata berkelanjutan di kawasan wisata bahari Pantai Karang
Jahe harus memperhatikan daya dukung yang bersifat kompleks dan dinamis.
DAFTAR PUSTAKA
Aall, C. (2014). Sustainable Tourism in Practice : Promoting or Perverting the Quest for a Sustainable
Development ? Sustainability, 6, 2562–2583. https://doi.org/10.3390/su6052562
Abdillah, R. F. (2017). Penilaian Manfaat Ekonomi dan Pengelolaan Lingkungan Wisata Pantai Karangjahe
Kabupaten Rembang. Universitas Diponegoro.
ADB. (2015). Understanding Land Issues and Their Impact on Tourism Development: A political economy
analysis of Pohnpei, Federated States of Micronesia.
Ariana, I. N. J. (2013). Wisatawan kurang minat ke hutan bambu sebagai atraksi ekowisata di Desa Penglipuran
Kabupaten Bangli. Analisis Pariwisata, 13(1), 73–85.
Boavida-Portugal, I., Rocha, J., & Ferreira, C. C. (2016). Exploring the impacts of future tourism development
on land use / cover changes. Applied Geography, 77, 82–91. https://doi.org/10.1016/j.apgeog.2016.10.009
Coccossis, H., Mexa, A., Parpairis, A., & Konstandoglou, M. (2001). Defining, Measuring and Evaluating
Carrying Capacity in European Tourism Destinations B4-3040/2000/294577/MAR/D2 Final Report.
Methodology. Athens.
Das, M., & Chatterjee, B. (2015). Ecotourism : A panacea or a predicament ? Tourism Management
Perspectives, 14, 3–16. https://doi.org/10.1016/j.tmp.2015.01.002
Dede, O. M., & Ayten, M. (2012). The role of spatial planning for sustainable tourism development : A
theoretical model for Turkey. Tourism, 60(4), 431–445.
DKP Prov. Jateng. (2017). Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jawa Tengah.
Semarang.
General Assembly. (2017). International Year of Sustainable Tourism for Development, 2017 (Vol.
A/RES/70/1). New York.
Getz, D. (1983). Capacity to absorb tourism. Concepts and implications for strategic planning. Annals of
Tourism Research, 10(2), 239–263. https://doi.org/10.1016/0160-7383(83)90028-2
A-183
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2018 ISSN: 1979-911X
Yogyakarta, 15 September 2018
Hall, C. M. (2009). Degrowing Tourism : Décroissance , Sustainable Consumption and Steady-State Tourism.
Anatolia : An International Journal of Tourism and Hospitality Research, 20:1, 46–61.
https://doi.org/10.1080/13032917.2009.10518894
Hall, C. M. (2015). Changing Paradigms and Global Change : From Sustainable to Steady-state Tourism.
Tourism Recreation Research, 35:2(April), 131–143. https://doi.org/10.1080/02508281.2010.11081629
Indrayati, A., & Setyaningsih, W. (2017). Mengungkap Potensi Kabupaten Rembang sebagai Geowisata dan
Laboratorium Lapangan Geografi. Jurnal Geografi, 14(1), 1–17. Retrieved from
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujet
Lacitignola, D., Petrosillo, I., Cataldi, M., & Zurlini, G. (2007). Modelling Socio-Ecological Tourism-Based
Systems for Sustainability. Ecological Mode, 6, 191–204. https://doi.org/10.1016/j.ecolmodel.2007.03.034
Mao, X., Meng, J., & Wang, Q. (2014). Land Use Policy Modeling the effects of tourism and land regulation on
land-use change in tourist regions : A case study of the Lijiang River Basin in. Land Use Policy, 41, 368–
377. https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2014.06.018
Nizar, M. A. (2011). Tourism effect on economic growth in Indonesia. Jurnal Kepariwisataan Indonesia, 6(2),
195–211.
OECD. (2018). OECD Tourism Trends and Policies 2018. Retrieved from http://www.oecd.org/cfe/tourism/
Pan, S., Gao, M., Kim, H., Shah, K. J., Pei, S., & Chiang, P. (2018). Advances and challenges in sustainable
tourism toward a green economy. Science of the Total Environment, 635, 452–469.
https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2018.04.134
Regent of Rembang. Urban Land Use Plan Rembang Regency 2011-2031, Pub. L. No. 14 (2011). Regional
Secretariat of Rembang Regency.
Rogers, P. P., Jalal, K. F., & Boyd, J. A. (2008). An Introduction to Sustainable Development. London:
Earthscan.
Sammy, J. (2008). Examples of Effective Techniques for Enhancing Community Understanding of Tourism. In
G. Moscardo (Ed.), Building Community Capacity for Tourism Development (pp. 75–85). Oxfordshire-
UK: CABI Publishing.
Simarmata, R., & Firdaus, A. Y. (2016). Pemberlakuan UU No 23/2014 dan Desentralisasi: Kajian di Bidang
Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta. Retrieved from http://www.huma.or.id
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
UNEP/WTO. (2002). World Ecotourism Summit 2002. Final Report. Canada.
https://doi.org/10.1080/14724040208668128
UNEP. (2009). Sustainable Tourism Development in UNESCO Designated Sites in South-Eastern Europe.
Bonn-Germany.
UNESCO. (2009). Ekowisata: Panduan dasar pelaksanaan. Jakarta.
UNWTO/UNDP. (2017). Tourism and the Sustainable Development Goals – Journey to 2030. Madrid:
UNWTO.
UNWTO. (n.d.). FAQ - Climate Change and Tourism.
UNWTO. (2007). Davos declaration: climate change and tourism responding to global challenges. Davos,
Switzerland. Retrieved from sdt.unwto.org/sites/all/files/docpdf/decladavose.pdf
A-184
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2018 ISSN: 1979-911X
Yogyakarta, 15 September 2018
A-185
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2018 ISSN: 1979-911X
Yogyakarta, 15 September 2018
A-186