Kriteria Ulama
Kriteria Ulama
Kriteria Ulama
Moh. Romzi
Institut Agama Islam Nuru Jadid, Probolinggo
romzialamiri@gmail.com
Abstract
The majority of Muslim believes that the Prophet Mohammad is
not only a religious leader but also a political leader. Besides
excluding policy and order in terms of state and people’ problem,
he also produces religious instructions related to religion. This
condition also prevails in the era of caliphate or Khulafa’ur Rasyidin.
At the end of both periods prophet and caliphate, dual function of
leadership was disintegrated, the role of state leadership is
authorized by caliphate or ‘Umarâ while religious leader by ‘Ulamâ.
After the Prophet’s time, the Caliphate could not appropriately
perform the Prophet’s role, in both of mentioned forms.
Following the period of ‘Alî ibn Abî T{âlib, Islamic state has
separated religious affairs from bureaucratic entities: between
religion and state. It has eventually created a clash. Religious
orders and state regulations are sometimes contending and
contradicting. It can be seen from the role of ‘ulamâ in dealing
with ‘umarâ that contradict with sharia or general people’ interest.
Somehow they contradict each other but also go in cooperation.
There is ‘ulamâ who is explicitly advising and challenging the
‘umarâ but also otherwise. This article aims to explain and analyze
definition and interpretation of Islamic leader (ulamâ) from
Qur’anic and Hadith perspective. In addition, this article will also
describe definition and role of Islamic leader using Nahdlatul
Ulama’s perspective.
Keywords: Ulama, Nahdlatul Ulama, Islam.
1Andree Feillard, NU Vis-à-Vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna (Yogyakarta:
LKIS, 1999), 58.
| 41
Volume 2, Nomor 1, Maret 2012
Nahdlatul Ulama Memahami Ulama
Secara bahasa, kata ‘ulamâ’ adalah bentuk plural dari kata ‘âlim
yang merupakan ism fâ‘il dari kata dasar ‘ilm. Jadi âlim adalah orang yang
berilmu. Kata ‘ulamâ’ ini kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia
untuk arti orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama
Islam.2 Artinya ulama adalah orang-orang dengan spesifikasi penguasaan
ilmu-ilmu syariah, dengan semua detail, mulai dari hulu hingga hilir.
Alquran memberikan gambaran tentang ketinggian derajat para
ulama dalam QS. al-Mujâdilah [58]: 11, “Allah meninggikan derajat
orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan ilmu (ulama)
beberapa derajat”.3 Selain ketinggian derajat para ulama, Alquran juga
menyebutkan sisi mentalitas dan karakteristik bahwa para ulama adalah
orang-orang yang takut kepada Allah. Sebagaimana disebutkan dalam
QS. Fât}ir [35]: 28, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanya ulama”.4
Sedangkan dalam hadis yang diriwayatkan Abû Dardâ’
disebutkan bahwa para ulama adalah orang-orang yang diberi
peninggalan dan warisan oleh para nabi, “Dan para ulama adalah warisan
(peninggalan) para nabi. Para nabi tidak meninggalkan warisan berupa
dinar (emas), juga dirham (perak), akan tetapi mereka meninggalkan
warisan berupa ilmu, maka barang siapa mengambilnya, maka ia telah
mengambil bagiannya secara sempurna”.5
Untuk batasan kedua, ulama adalah mereka yang mewarisi nabi.
KH. Ahmad Siddiq menyatakan bahwa yang diwarisi ulama dari nabi
adalah ilmu dan amaliahnya yang tertera dalam Alquran dan hadis.
Dengan batasan ini, ahli-ahli ilmu lain yang tidak berhubungan dengan
Alquran dan hadis tidak masuk dalam kategori ulama. KH. Ahmad
Siddiq mengistilahkan kelompok ahli itu sebagai zu‘amâ’.
6 Muh}ammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqî, Al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfâz} al-Qur’ân, Vol. 6 (t.tp:
Dâr al-Kutb al-Mus}rîyah, 1364), 603-604.
7 Syamsuddin Haris, “Aspek Agama dalam Perilaku Politik NU”, dalam Jurnal Pesantren,
10 Ibnu Qoyim Isma’il, Kiai Penghulu Jawa Peranannya di Masa Kolonial (Jakarta: Gema
Insani Press, 1977), 62; Ahmad Adaby Darban, “Ulama di Jawa: Perspektif Sejarah”,
dalam Jurnal Humaniora, Vol. 16, No. 1, 2004, 6; FA Sutjipto, Pemimpin-Pemimpin Agama
di Wilayah Kerajaan Mataram Sekitar Abad 18 (Yogyakarta: t.p, 1971), 59.
11 Kata sunan di sini bukan bentuk plural dari kata Arab sunnah (hadis ataupun tradisi)
tetapi dari kata Susuhunan sebagai gelar untuk wali/ulama ataupun pejabat di
Mahkamah yang bahasa Arabnya Qâd}î, yaitu hakim di kerajaan Islam di Jawa pada masa
itu, sedang rajanya bergelar Sultan dari kata Arab sult}ân.
12 Isma’il, Kiai Penghulu, 62.
13 Ibid., 63.
| 47
Volume 2, Nomor 1, Maret 2012
akhyâr (orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-
orang yang bertakwa.
Dengan ilmunya, para ulama menjadi tinggi kedudukan dan
martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya sebagaimana
firman Allah dalam QS. al-Mujâdilah [58]: 11; “Niscaya Allah akan
mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”.16
Bahkan, pengetahuannya inilah yang menyebabkan ulama mempunyai
nilai tambah dari pada orang-orang awam seperti ditegaskan Allah dalam
QS. al-Zumar [39]: 9; “Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”.17
Di antara keutamaan yang diberikan kepada ulama adalah bahwa
para malaikat akan membentangkan sayapnya karena tunduk akan
ucapan mereka, dan seluruh makhluk hingga ikan yang berada di air pun
ikut memohonkan ampun baginya. Para ulama itu adalah pewaris nabi,
dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham,
yang mereka wariskan hanya ilmu, dan pewaris sama kedudukannya
dengan yang mewariskannya, maka bagi pewaris mendapatkan
kedudukan yang sama dengan yang mewariskannya itu.
Para ulama telah mewarisi ilmu yang telah dibawa oleh para nabi,
dan melanjutkan peranan dakwah di tengah-tengah umatnya untuk
menyeru kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Juga melarang dari
perbuatan maksiat serta membela agama Allah. Mereka berkedudukan
seperti rasul-rasul antara Allah dan hamba-hamba-Nya dalam memberi
nasehat, penjelasan dan petunjuk, serta untuk menegakkan hujjah,
menepis alasan yang tak berdalih dan menerangi jalan.
Sedangkan secara khusus kedudukan ulama dalam organisasi
Nahdlatul Ulama sangat penting karena sokogurunya dan kekuatan
sentral ada pada para ulama. Ulama bukanlah pemimpin yang dipilih
dengan suara terbanyak, bukan yang diangkat oleh persidangan kongres. Akan
tetapi kedudukan mereka dalam kebatinan rakyat yang mereka pimpin,
jauh lebih teguh dan suci dari pemimpin pergerakan yang berorganisasi,
atau Pegawai Pemerintah yang mana pun juga. Oleh karena itu pemilihan
Tirmidhî, Vol. 2 (Mesir: Shirkah Maktabah, 1975), 71; Ah}mad b. H{anbal, Musnad Ah}mad
b. H{anbal, Vol. 5 (Beirut: Dâr Kutub al-‘Ilmîyah, 1993), 169; Abû Muh}ammad ‘Abd
Allâh b. ‘Abd al-Rah}mân al-Dârimî. Sunan al-Dâramî, Vol. 1 (Mekkah: Dâr al-Ma‘nâ li al-
Nashr wa al-Tawzî’, 2000), 98. Al-Shaykh al-Albânî mengatakan hadis ini kualitasnya
shahih.
21 Ahmad Shiddiq, Khitthah Nahdliyyah (Surabaya: LTNNU, 1999), 24-25.
22 Sayyid Muh}ammad Shat}t}a’ al-Dimyat}î, Kifâyat al-At}qiyâ’ wa Minhaj al-Ashfiyâ’
| 51
Volume 2, Nomor 1, Maret 2012
2. Ulama ahli hadis yaitu ulama yang menguasai ilmu hadis, mengenal
dan hafal banyak hadis, mengetahui bobot kesahihannya, asbâb al-
wurûd (situasi datangnya hadis) dan sebagainya.
3. Ulama Us}ûl al-Dîn ialah ulama yang ahli dalam akidah Islam secara
luas dan mendalam, baik dari segi filsafat, logika, dalil aqlî, dan dalil
naqlî.
4. Ulama Tasawuf adalah ulama yang menguasai pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan akhlak karimah, lahir dan bat}in serta
metodologi pencapaiannya.
5. Ulama Fikih adalah ulama yang memahami hukum Islam, menguasai
dalil-dalilnya, metodologi penyimpulannya dari Alquran dan hadis,
serta mengerti pendapat-pendapat para ahli lainnya.
6. Ahli-ahli yang lain, ahli pada berbagai bidang yang diperlukan sebagai
sarana pembantu untuk dapat memahami Alquran dan hadis, seperti
ahli bahasa, ahli mantik, ahli sejarah, dan sebagainya. Merujuk pada
arti ulama-baik secara bahasa dan istilah- dan kategorisasi ulama
menurut Kiai Muchit Muzadi, ternyata selama ini yang dipahami
masyarakat telah mengalami “kecelakaan” pemahaman. Menurut
kebanyakan orang, yang dimaksudkan sebagai ulama hanya orang-
orang yang mumpuni di bidang agama, meliputi tafsir, tasawuf,
akidah, muamalah, dan sejenisnya. Bahkan ada yang menambahkan
ulama adalah orang ahli agama yang memiliki pondok pesantren
(sekaligus memiliki santri).
Sedangkan ahli bidang keilmuan yang lain, misalnya ahli bahasa,
ahli sains, ahli teknik, ahli ekonomi yang notabene juga merupakan
bidang ilmu yang dapat dijadikan sarana untuk lebih memahami Alquran
dan hadis serta mendekatkan diri kepada Allah ternyata tidak pernah
disebut sebagai ulama, melainkan sering dinamakan dengan sebutan
Guru/Dosen.24
25Hartono Ahmad Jaiz, Bila Kyai Dipertuhankan, Membedah Sikap Beragama NU (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2001), 48.
| 53
Volume 2, Nomor 1, Maret 2012
Pembagian Ulama Menurut Nahdlatul Ulama
Pembagian ulama dalam istilah ini belum lama dikenal, akan
tetapi sudah menyebar di kalangan masyarakat, semisal kategori Kiai
Khâs, Kiai Âm, Kiai Langitan, dan Kiai Daratan. Bahkan baru-baru ini,
rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, Abd. A’la turut menyumbang satu
item untuk entri Kiai, Kiai Karbitan dan Kiai Genetika.
Secara sederhana, Kiai Karbitan tak jauh beda maknanya dengan
“Kiai Jadi-jadian” yang hanya mengikuti selera tren zaman dan pasar
modal. Tipe ini banyak dijumpai di media elektronik (TV, radio, atau
internet) terutama juga di media cetak (koran, tabloid, atau majalah).
Apalagi jika bulan Ramadan tiba, wabah “Kiai Siluman” ini semakin
menggila saja bak jamur di musim hujan. Lalu apa maksud Karbitan? Tak
lain karena kiai-kiai yang demikian muncul ke permukaan hanya jika job
sedang ada di tangan. Wajar jika kemudian mereka dijuluki sebagai Kiai
Karbitan, lantaran memang mereka disubsidi (dikarbit) oleh job dari para
pemodal.
Sedangkan Kiai Genetika menunjuk pada status Kiai yang
diperoleh karena motif nasab. Dalam plesetan para santri umumnya, yang
demikian lazim disebut sebagai Kiai Tiban atau Kiai Nasib. Kiai
Genetika dalam praktiknya tidak beda jauh dengan model Kyai Karbitan.
Tidak jauh beda dalam hal potensi, mental, spiritual, dan intelektual
tentunya. Karena seperti sudah disentil Abd. A’la, Kiai Genetika jarang
yang mempunyai kualifikasi mumpuni dalam multi-bidang keagamaan.
Bagaimana mau mumpuni? Wong status itu merupakan “kebetulan” (atau
kemestian) saja, bukan sebuah panggilan kehidupan.
Peran Ulama
Sejak dulu ulama memiliki peran yang sangat besar dalam
berbagai peristiwa sejarah penting, terutama sejarah perubahan
| 55
Volume 2, Nomor 1, Maret 2012
jahat di balik semua sepak terjang kaum kafir dan antek-anteknya. Ini
ditujukan agar umat dijauhkan dari kejahatan musuh-musuh Islam.
Ketiga sebagai pengontrol penguasa. Peran dan fungsi ini hanya
bisa berjalan jika ulama mampu memahami konstelasi politik global dan
regional. Ia juga mampu menyingkap makar dan permusuhan kaum kafir
dalam memerangi Islam dan kaum Muslim. Dengan ungkapan lain,
seorang ulama harus memiliki visi politis-ideologis yang kuat, hingga
fatwa-fatwa yang ia keluarkan tidak hanya beranjak dari tinjauan
normatif belaka, tetapi juga bertumpu pada konteks ideologis-politis.
Dengan demikian, fatwa-fatwanya mampu menjaga umat Islam dari
kebinasaan dan kehancuran, bukan malah menjadi sebab malapetaka bagi
kaum Muslim. Misalnya, fatwa yang dikeluarkan oleh Shaykh al-Islâm
mengenai bolehnya kaum Muslim mengadopsi sistem pemerintahan
demokrasi dan perundang-undangan Barat pada akhir kekhalifahan
Islam. Fatwa ini tidak hanya keliru, tetapi juga menjadi penyebab
kehancuran Khilâfah Islâmîyah. Fatwa ini muncul karena lemahnya visi
politis-ideologis ulama pada saat itu.
Keempat sebagai sumber ilmu. Ulama adalah orang yang ahli
dalam masalah halal-haram. Ia adalah rujukan dan tempat menimba ilmu
sekaligus guru yang bertugas membina umat agar selalu berjalan di atas
tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Dalam konteks ini, peran sentralnya
adalah mendidik umat dengan akidah dan syariah Islam. Dengan begitu,
umat memiliki kepribadian Islam yang kuat. Mereka juga berani
mengoreksi penyimpangan masyarakat dan penguasa.
Inilah peran dan fungsi sentral ulama di tengah-tengah
masyarakat. Hanya saja, sekularisasi dan demokratisasi telah
memberangus fungsi dan peran ulama di atas, sekaligus meminggirkan
mereka dari urusan negara dan masyarakat.
Penutup
Tidak sembarang orang yang berilmu disebut Ulama akan tetapi
ulama adalah seorang yang dinyatakan telah memenuhi unsur al-mithalîyah
sebagaimana mereka telah mempunyai aspek kemanusiaan yang utuh dan
paripurna yang ditunjukkan dengan fisik yang sehat dan kuat, akal
Daftar Pustaka
Bâqî (al), Muh}ammad Fu’âd ‘Abd. Al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfâz} al-
Qur’ân, Vol. 6. t.tp: Dâr al-Kutb al-Mus}rîyah, 1364.
Darban, Ahmad Adaby. “Ulama di Jawa: Perspektif Sejarah”, dalam
Jurnal Humaniora, Vol. 16, No. 1, 2004.
Dârimî (al), Abû Muh}ammad ‘Abd Allâh b. ‘Abd al-Rah}mân. Sunan al-
Dâramî, Vol. 1. Mekkah: Dâr al-Ma‘nâ li al-Nashr wa al-Tawzî’,
2000.
Dimyat}î (al), Sayyid Muh}ammad Shat}t}a’. Kifâyat al-At}qiyâ’ wa Minhaj al-
Ashfiyâ’. Semarang: Usaha keluarga, t.th.
Feillard, Andree. NU Vis-à-Vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna.
Yogyakarta: LKIS, 1999.
| 57
Volume 2, Nomor 1, Maret 2012
Haris, Syamsuddin. “Aspek Agama dalam Perilaku Politik NU”, dalam
Jurnal Pesantren, No. 2, Vol. 8. 1991.
Ibn H{anbal, Ah}mad. Musnad Ah}mad b. H{anbal, Vol. 5. Beirut: Dâr Kutub
al-‘Ilmîyah, 1993.
Indonesia, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Isma’il, Ibnu Qoyim. Kiai Penghulu Jawa Peranannya di Masa Kolonial.
Jakarta: Gema Insani Press, 1977.
Jaiz, Hartono Ahmad. Bila Kyai Dipertuhankan, Membedah Sikap Beragama
NU. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
Lombard, D. Dokumen-Dokumen NU. t.tp., t.p., 1990.
Muldani, Riris. “Pengertian Nama Kyai dan Santri”, dalam
http://belalangmalang.blogspot.com. 4 Januari 2010/ diakses 18
Maret 2013.
RI, Depag. Alquran dan Terjemahannya. Jakarta: Darus Sunnah, 2002.
Shiddiq, Ahmad. Khitthah Nahdliyyah. Surabaya: LTNNU, 1999.
Sijistânî (al), Abû Dâwud Sulaymân b. al-Ash‘ath b. Ish}âq. Sunan Abî
Dâwud, Vol. 1. Beirut: Dâr al-Fikr, 1998.
Sutjipto, FA. Pemimpin-Pemimpin Agama di Wilayah Kerajaan Mataram
Sekitar Abad 18. Yogyakarta: t.p, 1971.
Tirmidhî (al), Muh}ammad b. ‘Îsâ b. Sawrah b. Mûsâ b. al-D{ah}h}âk. Sunan
al-Tirmidhî, Vol. 2. Mesir: Shirkah Maktabah, 1975.
Zahrah, Abû. Us}ûl al-Fiqh. Beirut: Dâr Fikr, 1980.