Manajemen Jalan Nafas Pada Pasien Dengan Tumor Mandibula: Laporan Kasus
Manajemen Jalan Nafas Pada Pasien Dengan Tumor Mandibula: Laporan Kasus
Manajemen Jalan Nafas Pada Pasien Dengan Tumor Mandibula: Laporan Kasus
Oleh :
dr. Cynthia Dewi Sinardja, SpAn, MARS
ABSTRACT
Mask ventilation is the most basic and important skill in airway management.
Patients who have been identified as having difficult mask ventilation, or who are
predicted to be difficult, are at the highest risk in subsequent airway management such as
in laryngoscopy and intubation. In the American Society of Anesthesiologists (ASA)
“Difficult Airway Algorithm,” a consideration of whether the airway should be secured
before or after induction of general anesthesia is one of the basic management choices
that should be considered when an airway management plan is being devised. The
benefits of awake airway management include the preservation of pharyngeal muscle tone
and patency of the upper airway, the maintenance of spontaneous ventilation, an ability
to obtain a quick neurologic examination, and a safeguard against aspiration attributable
to the preservation of protective airway reflexes. The most common and useful technique
for awake intubation is the flexible scope intubation.
ABSTRAK
Kesulitan mengamankan jalan nafas merupakan masalah yang umum ditemukan oleh ahli
anestesi. Ahli anestesi harus mampu melakukan penilaian jalan nafas yang sulit sebelum
tindakan pembiusan dan mempersiapkan langkah-langkah untuk mencapai keberhasilan
intubasi endotrakea dengan alat-alat yang ada. Outcome utama yang berkaitan dengan
kesulitan jalan nafas meliputi kematian, kerusakan otak, henti jantung paru, trakeostomi
yang tidak perlu, trauma jalan nafas, dan kerusakan gigi.
Ventilasi sungkup muka merupakan teknik manajemen jalan nafas yang paling
dasar, dan juga paling penting. Pasien yang diidentifikasi terdapat kesulitan sungkup
muka, atau diprediksi sulit, memiliki potensi resiko tinggi dalam manajemen jalan nafas
selanjutnya seperti kesulitan dalam laringoskopi dan kesulitan dalam intubasi. Pada
algoritma kesulitan jalan nafas oleh the American Society of Anesthesiologists (ASA),
harus dipertimbangkan jalan nafas sebaiknya diamankan sebelum atau sesudah induksi
anestesia umum sebagai salah satu dasar dalam menentukan rencana manajemen jalan
nafas. Keuntungan dari teknik awake antara lain preservasi tonus otot faring dan patensi
jalan nafas atas, mempertahankan ventilasi spontan, kemampuan dalam penilaian
neurologis cepat, dan melindungi terhadap aspirasi akibat preservasi reflex protektif jalan
nafas. Teknik awake paling sering dan paling berguna adalah dengan penggunaan alat
fiberoptik.
Kata Kunci: jalan nafas, ventilasi sungkup muka, intubasi, kesulitan jalan nafas, intubasi
sadar / awake
BAB I
PENDAHULUAN
Manajemen jalan nafas merupakan salah satu aspek terpenting dalam ilmu anestesi.
Manajemen jalan nafas mengalami perkembangan yang signifikan sejak
diperkenalkannya sungkup muka dan diikuti oleh pipa endotrakea untuk bantuan
ventilasi. Ahli anestesi yang terlibat pelayanan sedasi dan anestesi umum menyadari
bahwa manuver jaw-thrust, chin-lift, head-tilt, posisi leher yang baik, penggunaan
continuous positive airway pressure, penilaian jalan nafas yang sulit sebelum sedasi
memberikan kontribusi dalam berhasilnya manajemen jalan nafas dan mengurangi
morbiditas yang terkait jalan nafas.
Hampir semua area / rumah sakit dengan praktek anestesia yang maju menyiapkan
suatu perlengkapan manajemen jalan nafas yang sulit untuk membantu ahli anestesi
dalam menangani pasien dengan jalan nafas yang sulit baik yang diantisipasi ataupun
yang tidak. Perlengkapan ini terdiri dari gum elastic bougie, supraglottic airway, set
krikotirotomi, alat fiberoptik / fiberscope dan video laringoskop.
Ketika menemukan pasien dengan kesulitan jalan nafas, dokumentasi yang baik
di rekam medis pasien merupakan hal yang sangat penting untuk membantu mengarahkan
manajemen jalan nafas ke depannya. Dalam perjalanan praktik anestesi, akan selalu
ditemukan pasien dengan jalan nafas yang sulit. Ahli anestesi dilatih dalam deteksi pasien
tersebut sebelum induksi dan mempersiapkan langkah-langkah untuk mencapai
keberhasilan intubasi endotrakea dengan alat-alat yang ada (Richtsfeld & Belani, 2017).
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan benjolan pada pipi kanan sejak 3 tahun yang lalu. Awalnya
sebesar telur ayam, semakin lama semakin membesar sehingga seukuran buah kelapa.
Pasien juga mengeluhkan muncul benjolan kedua di gusi bawah sejak 1 tahun yang lalu.
Awalnya seukuran kelereng, semakin lama semakin membesar. Keluhan nyeri tidak ada.
Benjolan terkadang mengeluarkan darah. Makan / minum dikatakan normal. Keluhan
sulit menelan, suara serak tidak ada. Keluhan penurunan berat badan tidak ada.
Riwayat alergi tidak ada.
Riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, asma tidak ada.
Riwayat operasi tidak ada.
Pasien adalah seorang buruh yang dapat melakukan aktifitas sehari-hari tanpa keluhan
sesak nafas dan nyeri dada. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum
minuman beralkohol.
Pemeriksaan Fisik
Berat 45 kg; Tinggi 160 cm; BMI 17.5 kg/m2; Suhu axilla 36.5 oC; NRS diam 0/10, NRS
bergerak 0/10, Apfel score 2/4
Susunan saraf pusat : Compos mentis (GCS E4V5M6)
Kardiovaskular : Tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi 82 kali permenit reguler,
bunyi jantung 1 dan 2 tunggal, murmur(-), Gallop(-)
Respirasi : Frekuensi nafas 14 kali per menit, vesikular pada kedua lapang
paru, rhonki dan wheezing tidak ada, saturasi oksigen perifer 98% room air
Gastrointestinal : Bising usus positif normal
Urogenital : Buang air kecil spontan
Muskuloskeletal : Fleksi defleksi leher normal, Mallampati sde, gigi geligi tidak
utuh, tampak massa pada maxilla dextra yang meluas ke mandibular dextra dan cavum
oral, tampak massa pada gingiva inferior yang meluas ke luar cavum oral
Kriteria LEMON
Look externally:
Tampak massa pada maxilla dextra yang meluas ke mandibular dextra dan cavum oral,
diameter ± 10 cm, permukaan rata, immobile, nyeri tekan tidak ada, massa pada daerah
cavum oral tampak rapuh dan mudah berdarah; Tampak massa pada gingiva inferior yang
meluas ke luar cavum oral, diameter ± 8 cm, permukaan rata, immobile, nyeri tekan tidak
ada, massa tampak rapuh dan mudah berdarah
Evaluate: Jarak interincisor 3 jari; Jarak mentohyoid 3 jari; Jarak thyrohyoid 2 jari
Mallampati: sulit dievaluasi
Obstruction: tidak ada obstruksi saluran nafas
Neck mobility: fleksi defleksi leher normal
Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (21/1/2019): WBC 7.53x103/µL (4.10-11.0); HGB 9.02 g/dL (13.5-17.5);
HCT 33.47 % (41-53); PLT 686.3 x103µL (140-440)
Faal Hemostasis (21/1/2019): PT 14.4 detik (10.8-14.4); APTT 32.5 detik (24-36); INR
1.18 (0.9 - 1.1)
Kimia Klinik (21/1/2019) : SGOT 9.1 U/L (11-33); SGPT 8.9 U/L (11-50); Albumin 3
g/dL (3.4-4.8); GDS 108 mg/dL (70-140); BUN 7.1 (8-23) mg/dL; SC 0.6 mg/dL (0.5-
0.9); Na 136 (136-145) mmol/L; K 4.28 (3.5-5.1) mmol/L
Thorax AP (15/1/2019): Cor dan pulmo tak tampak kelainan; Saat ini tak tampak proses
metastase
Panoramic (8/1/2019): Sesuai gambaran ameloblastoma yang menyebabkan destruksi dan
malalignment gigi geligi mandibular kanan
Skull AP / Lateral (10/1/2019): Lesi litik expansile, batas tidak tegas, dengan komponen
kalsifikasi di dalamnya yang mendestruksi os mandibular dan os maksilaris dextra
disertai soft tissue mass dan pendorongan gigi geligi ke sisi kiri susp ameloblastoma
TMJ (10/1/2019): Tak tampak dislokasi TMJ bilateral; Destruksi ramus mandibular
dextra
CT Scan Kepala (3/10/2017): Multiple kistik inhomogen dengan erosi dan destruksi os
mandibular kanan yang menyebabkan pendesakan susunan gigi di daerah mandibular
kanan (suspect ameloblastoma?); Tak tampak pembesaran KGB di region colli kanan kiri
Durante Operasi
Fluktuasi hemodinamik: TD 81-123 / 43-72 mmHg; HR 73-112 x/menit; SpO2 99-100%
Cairan : Kristaloid 3500 mL; Koloid 1000 mL; PRC 500 mL
Perdarahan : 2000 mL
Urine : 1000 mL
Lama operasi : 5 jam 30 menit
Hasil operasi : Dilakukan total mandibulectomy; rekonstruksi dengan mandibular plate
Pasca Operasi
Analgesik : Morfin 20 mg + ketamin 15 mg / 24 jam via syringe pump;
Paracetamol 1 gr tiap 8 jam IV
Perawatan : Intensif + ventilator
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Penggunaan trakeostomi sudah tercatat sejak jaman dahulu; namun upaya memasukkan
tube melalui glottis baru dilakukan baru-baru ini. Di Yunani, Hippocrates (460-380 SM)
mendeskripsikan intubasi trakea pada manusia untuk bantuan ventilasi.
Pada tahun 1543, Vesalius menyebutkan inflasi berirama paru dengan cara
memasukkan tube atau selang pada hewan dengan tujuan mencegah kolapsnya paru pada
pneumothorax. Awalnya, hanya ada teknik blind atau taktil untuk memvisualisasi laring
dengan laringoskopi indirek (Göksu & Şen, 2015).
Intubasi oral elektif untuk anestesi pertama kali dilakukan oleh William Macewen
pada tahun 1879. Beberapa tahun kemudian, Joseph O’Dwyer dari Amerika Serikat,
mengembangkan konsep tubing metal yang bisa dimasukkan secara blind untuk
mengatasi obstruksi nafas pada anak yang mengalami obstruksi akibat pseudomembran
pada infeksi difteri. Masalah penting dari sistem intubasi O’Dwyer dan variannya adalah
keharusan melakukan teknik secara blind. Pada tahun 1900, Kuhn menemukan pasien
yang meninggal akibat perdarahan yang mendadak di kerongkongan. Kasus ini
menimbulkan ide untuk mengembangkan teknik perlindungan jalan nafas melalui bougie
metal yang fleksibel. Pada tahun 1900, dia mengembangkan pipa endotrakeal metalik.
Hingga saat ini intubasi endotrakeal adalah prosedur yang umum dilakukan dan
merupakan teknik yang tidak bisa dipisahkan dari anestesia modern dan pembedahan.
Pipa endotrakeal yang digunakan dewasa ini adalah pipa sekali pakai yang terbuat dari
plastik. Polyvinylchloride (PVC) umum digunakan karena harganya murah, tidak toksik,
transparan, termoplastik, dan permukaannya rata (Göksu & Şen, 2015).
Evaluasi jalan nafas harus mempertimbangkan semua karakteristik dari pasien yang dapat
menyebabkan kesulitan dari (1) ventilasi sungkup muka atau supraglottis, (2)
laringoskopi, (3) intubasi, atau (4) jalur invasif. Evaluasi rutin pasien dapat dibagi
menjadi: (Brambrink & Hagberg, 2013)
1. Memperoleh riwayat terkait jalan nafas untuk identifikasi faktor medis, pembedahan
dan anestesia yang dapat menunjukkan adanya kesulitan jalan nafas.
2. Evaluasi penyakit sistemik (contoh gagal nafas, penyakit jantung koroner) yang
dapat mempengaruhi tindakan manajemen jalan nafas seperti intubasi sadar, atau
memerlukan perhatian khusus, seperti pencegahan stimulasi sistem saraf simpatis.
3. Memperoleh catatan medis anestesia sebelumnya, yang dapat menunjukkan riwayat
manajemen jalan nafas dahulu.
4. Melakukan pemeriksaan fisik untuk menilai ada / tidaknya kesulitan jalan nafas:
• Pembukaan mulut maksimal dengan ekstensi lidah dan anatomi faring (seperti
uvula, pillar tonsil)
• Jarak ruang submental (mandibula dengan hyoid) dan jarak thyromental
(mandibula dengan tonjolan tiroid)
• Penampakan dari samping untuk menilai kemampuan mencapai posisi “sniffing”
(fleksi leher pada dada dan ekstensi kepala pada leher) dan identifikasi overbite
maxilla
• Patensi nostril
• Panjang dan ketebalan leher
Ventilasi sungkup muka merupakan teknik manajemen jalan nafas yang paling dasar, dan
juga paling penting. Pasien yang diidentifikasi terdapat kesulitan sungkup muka, atau
diprediksi sulit, memiliki potensi resiko tinggi dalam manajemen jalan nafas selanjutnya.
Hal inilah yang paling mempengaruhi pengambilan keputusan dalam langkah
selanjutnya, dengan pertimbangan yang paling memungkinkan dalah teknik awake.
Kesulitan ventilasi sungkup muka dapat ditemukan pada 5% pasien, dan ada
beberapa faktor yang dapat memprediksi hal ini. Penelitian awal mengidentifikasi lima
faktor independen yaitu obesitas, berjanggut, usia tua (> 55 tahun), tidur mengorok, dan
gigi ompong. Penelitian selanjutnya menambahkan skor Mallampati 3 atau 4, protrusi
rahang yang terbatas, dan jenis kelamin pria (Crawley & Dalton, 2014).
Ventilasi sungkup muka yang mustahil dilakukan ditemukan pada 0.07% - 0.16%
pasien. Faktor resiko dari kesulitan sungkup muka terdiri dari janggut yang penuh, rahang
yang masif, gigi ompong, kulit yang hipersensitif (luka bakar, epidermolysis bullosa, skin
graft), dressing pada wajah, obesitas, usia > 55 tahun dan riwayat mengorok. Kriteria lain
yang juga menunjukkan kemungkinan kesulitan sungkup muka yaitu lidah besar, otot
rahang yang besar, riwayat obstructive sleep apnea (OSA), ekstensi atlanto-occipital yang
buruk, patologi pada faring, luka bakar di wajah, dan deformitas pada wajah. Beberapa
faktor yang menyebabkan kesulitan sungkup muka juga dapat berkontribusi pada sulitnya
intubasi yaitu: OSA, riwayat mengorok, leher besar, dan gerak mandibular yang terbatas
(Reed, 2013).
Apabila pasien tidak bisa diintubasi, maka ventilasi sungkup muka berperan
penting dalam usaha pertukaran gas. Apabila saat itu terjadi pula kegagalan ventilasi
sungkup muka, kondisi tersebut merupakan suatu situasi can not intubate, can not
ventilate (CICV) dan memerlukan manuver resusitasi segera. Upaya meningkatkan usaha
keberhasilan ventilasi sungkup muka yang optimal memiliki karakteristik berikut:
(Brambrink & Hagberg, 2013)
1. Dilakukan oleh ahli anestesi yang terlatih dengan pengalaman setidaknya 3 tahun
2. Dengan pasien pada posisi sniffing yang optimal
3. Ventilasi sungkup muka dengan bantuan (dua orang), dimana ahli anestesi yang lebih
terampil yang memegang sungkup muka dan yang lainnya menekan bag. Biasanya
hal ini membantu mengurangi kebocoran sungkup muka, jaw thrust yang lebih baik,
dan volume tidal yang tercapai dapat lebih tinggi.
4. Menggunakan alat bantu nafas orofaringeal atau nasofaringeal yang dimasukkan
secara benar (menciptakan saluran udara pada jaringan lunak saluran nafas atas;
menghasilkan volume tidal yang lebih baik).
Gambar 2. Ventilasi sungkup muka yang optimal. Kiri, upaya ventilasi dua orang
dimana orang kedua mengetahui cara melakukan jaw thrust; kanan, upaya ventilasi dua
orang dimana orang kedua hanya bisa menekan bag reservoir.
Penampakan dari struktur inlet laring melalui laringoskopi direk dideskripsikan secara
baik berdasarkan derajat Cormack dan Lehane. Kesulitan laringoskopi dapat
didefinisikan sebagai visualisasi derajat 3 atau 4 pada laringoskopi. Beberapa maneuver
dapat membantu meningkatkan visualisasi laring melalui laringoskopi, namun umumnya,
visualisasi yang buruk dapat berkontribusi terhadap semakin sulitnya mencapai
keberhasilan intubasi trakea. Pada saat visualisasi yang buruk, meningkatkan kekuatan
dorong blade laringoskop ke anterior, memperbaiki posisi sniffing yang optimal,
percobaan yang berulang, manipulasi laring secara eksternal, atau bahkan mencoba alat
lain atau operator lain terkadang diperlukan untuk bisa melakukan intubasi.
Terkadang visualisasi laring yang buruk dapat membaik dengan operator yang
lebih berpengalaman atau ahli dan juga dengan menggunakan blade yang berbeda.
Terkadang visualisasi derajat 3 atau 4 dapat diatasi dengan intubasi “blind”, namun lebih
sering visualisasi ini menyebabkan intubasi yang tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu,
penilaian awal kesulitan manajemen jalan nafas dan tersedianya tenaga bantuan yang ahli
serta peralatan yang lebih canggih merupakan komponen penting dalam manajemen jalan
nafas yang sulit.
Komponen performa laringoskopi yang terbaik terdiri dari posisi sniffing yang
optimal, relaksasi otot yang baik, traksi anterior laringoskop yang baik, dan, jika
diperlukan, manipulasi laring dari luar. Sebagai contoh, aplikasi tekanan eksternal laring
dapat menurunkan visualisasi derajat 3 dari 9% menjadi antara 5.4% dan bahkan 1.3%.
Pada kasus yang meragukan, ahli anestesi, pada saat melakukan laringoskopi dengan
tangan kiri, dengan cepat melakukan tekanan eksternal pada kartilago hyoid, thyroid, dan
cricoid dengan tangan kanan. Titik tekan yang menentukan visualisasi laring terbaik dapat
ditentukan dengan hitungan detik dan titik penekanan dapat diteruskan oleh asisten
(Ramachandran & Klock Jr, 2013).
Gambar 3. Empat Derajat Visualisasi Laringoskopi
Kesulitan Intubasi
Kesulitan intubasi terjadi ketika usaha untuk melakukan intubasi endotrakeal dilakukan
secara berulang kali. Ada atau tidaknya patologi pada jalan nafas tidak mempengaruhi
definisi dari kesulitan intubasi. Jalan nafas terdiri dari tiga axis visual. Axis tersebut antara
lain axis panjang mulut, orofaring, dan laring. Pada posisi netral, axis ini membentuk
sudut lebih dari 90o satu sama lain. Cahaya tidak bisa mengikuti sudut ini pada kondisi
normal. Untuk membentuk axis ini ke posisi yang lebih baik, diperlukan posisi “sniffing
the morning air”. Posisi sniffing yang baik memiliki dua komponen: fleksi cervical dan
ekstensi atlanto-occipital. Fleksi cervical membantu pendekatan axis faring dan laring,
dan ekstensi atlanto-occipital membantu pendekatan axis oral dengan kedua axis lainnya.
Ketidakmampuan mencapai posisi sniffing merupakan prediktor kesulitan
intubasi. Contoh masalah yang mendasari kesulitan mencapai posisi sniffing adalah
arthritis vertebrae cervical, ankylosing spondylitis cervical, subluksasi atlantoaxial, fusi
cervical, dan penggunaan cervical collar. Pasien obesitas morbid terkadang memiliki
tumpukan lemak pada posterior leher yang juga dapat mencegah ekstensi atlanto-occipital
(Reed, 2013).
Tujuan dari algoritma kesulitan jalan nafas adalah untuk memfasilitasi manajemen jalan
nafas yang sulit dan mengurangi kemungkinan terjadinya outcome yang buruk. Outcome
utama yang berkaitan dengan kesulitan jalan nafas meliputi kematian, kerusakan otak,
henti jantung paru, trakeostomi yang tidak perlu, trauma jalan nafas, dan kerusakan gigi.
Secara sederhana, algoritma ini memiliki prinsip sebagai berikut: (Brambrink & Hagberg,
2013)
1. Jika dicurigai akan mengalami kesulitan, amankan jalan nafas pada saat pasien masih
sadar / awake
2. Jika menjumpai masalah, bangunkan pasien
3. Persiapkan rencana B dan C yang bisa tersedia segera / berpikir ke depan
4. Pemilihan intubasi dengan cara apa yang paling bisa dilakukan
Gambar 4. Algoritma kesulitan jalan nafas oleh ASA yang direvisi (2003).
SGA memiliki peranan penting pada kegagalan manajemen jalan nafas. Terdapat banyak
kasus kegagalan intubasi dan kegagalan ventilasi dengan sungkup muka, dimana akhirnya
jalan nafas dapat diamankan dengan menggunakan LMA, atau SGA lainnya.
Karakteristik yang menyebabkan superioritas dari SGA dalam alur manajemen jalan
nafas yang sulit adalah SGA dapat ditolerir dengan baik oleh pasien, bentuk dari SGA
yang mensimulasi distensi alami dari jaringan hipofaring oleh makanan, dan insersinya
mengikuti jalur intrinsic, tidak memerlukan distorsi jaringan (seperti dengan penggunaan
laringoskop), yang belum tentu dapat dilakukan pada semua pasien. Dan yang terakhir,
teknik SGA merupakan teknik blind yang tidak dipengaruhi oleh darah, sekret, debris dan
edema akibat percobaan laringoskopi sebelumnya.
Karena kemudahannya dalam insersi SGA tidak bergantung pada anatomi jalan
nafas yang dinilai pada saat pemeriksaan fisik, penilaian jalan nafas yang biasa dilakukan
tidak mempengaruhi aplikasi dari SGA. Kelemahan utama SGA dalam resusitasi adalah
kurangnya proteksi mekanis terhadap regurgitasi dan aspirasi (Rosenblatt &
Sukhupragarn, 2013).
Baik LMA dan Combitube terbukti dapat menolong pada saat mengalami situasi
CICV. Algoritma kesulitan jalan nafas ASA tidak menyebutkan dasar pemilihan alat
tertentu pada situasi tersebut, namun beberapa pertimbangannya antara lain: (1)
pengalaman ahli anestesi dan kenyamanan dalam pemilihan metode, (2) ketersediaan alat,
(3) tipe dari obstruksi nafas (atas atau bawah), dan (4) pertimbangan keuntungan dan
resiko.
LMA ProSeal umumnya memberikan segel yang lebih baik dibandingkan LMA-
Classic dan memberikan perlindungan terhadap aspirasi. Combitube ketika diposisikan
dengan baik, dapat membantu ventilasi dengan tekanan yang lebih tinggi dibandingkan
LMA-Classic, melindungi terhadap regurgitasi, dan juga dapat dilakukan percobaan
intubasi lebih lanjut dengan cuff esophagus yang melindungi jalan nafas.
Namun kedua alat ini tidak bisa menangani masalah glottis (seperti spasme,
edema masif, tumor, abses) atau masalah subglottis. Jika masalah berada di daerah glottis
atau subglottis, mekanisme ventilasi harus diposisikan di bawah level lesi baik secara
invasif ataupun tidak. Kelemahan dari algoritma kesulitan jalan nafas ASA adalah tidak
memperhitungkan masalah ini (tidak membedakan jalan nafas yang obstruksi dan tidak
obstruksi) (Brambrink & Hagberg, 2013).
Pada algoritma jalan nafas sulit berdasarkan ASA, harus dipertimbangkan jalan nafas
sebaiknya diamankan sebelum atau sesudah induksi anestesia umum sebagai salah satu
dasar dalam menentukan rencana manajemen jalan nafas. Keuntungan dari teknik awake
antara lain preservasi tonus otot faring dan patensi jalan nafas atas, mempertahankan
ventilasi spontan, kemampuan dalam penilaian neurologis cepat, dan melindungi
terhadap aspirasi akibat preservasi reflex protektif jalan nafas. Teknik awake paling
sering dan paling berguna adalah dengan penggunaan alat fiberoptik, meski teknik
lainnya juga dapat digunakan, seperti video laringoskop, stilet optikal, LMA yang dapat
diintubasi, dan intubasi retrograde.
Secara umum, ketika diperkirakan ventilasi sungkup muka dan intubasi akan sulit,
jalan paling aman adalah mengamankan jalan nafas pada saat pasien masih sadar. Indikasi
lainnya untuk teknik awake adalah resiko aspirasi, trauma facial atau jalan nafas,
instabilitas hemodinamik berat, dan instabilitas tulang cervical yang patologis (Hagberg
& Artime, 2015)
Salah satu tujuan utama premedikasi sebelum melakukan prosedur tersebut adalah
mengeringkan jalan nafas. Sekret dapat menggangu visualisasi glottis. Selain itu, secret
dapat mencegah agen anestesi lokal mencapai area yang dituju, sehingga blok sensoris
dapat terganggu. Sekret juga dapat mencuci dan melarutkan agen anestesi lokal,
mengurangi potensi dan durasi kerjanya.
Glycopyrrolate dapat diberikan dengan dosis 0.2 – 0.3 mg IV atau IM. Onsetnya
setelah pemberian IV 1 – 2 menit; dan setelah pemberian IM 20 – 30 menit. Durasi
kerjanya sebagai vagolitik setelah pemberian IV berlangsung 2 sampai 4 jam; dan efek
antisialagogue-nya bertahan lebih lama. Obat ini tidak menembus blood-brain barrier
sehingga ideal digunakan untuk premedikasi intubasi sadar.
Scopolamine dapat diberikan dengan dosis 0.4 mg IV atau IM. Onsetnya setelah
pemberian IV 5 – 10 menit dan setelah pemberian IM 30 – 60 menit. Durasi kerjanya
setelah pemberian IV sekitar 2 jam dan setelah pemberian IM sekitar 4 – 6 jam.
Scopolamine memiliki efek sistem saraf pusat yang sangat poten, dengan efek sedasi dan
amnesia. Pada beberapa pasien, obat ini dapat menyebabkan restlessness, delirium, dan
lama bangun setelah tindakan. Namun obat ini memiliki efek vagolitik yang paling
ringan, sehingga dapat menjadi pilihan ketika takikardia harus dihindari.
Sedatif / hipnotik serta analgesik dapat diberikan sesuai kondisi pasien untuk
memberikan efek anxiolysis, amnesia. Benzodiazepine, opioid, hipnotik, agonis α2 dan
neuroleptic dapat digunakan sendiri atau dengan kombinasi. Namun pemberiannya harus
dilakukan secara titrasi dengan hati-hati, karena oversedasi dapat membuat pasien tidak
kooperatif dan menyebabkan teknik intubasi menjadi sulit. Pernafasan spontan dengan
oksigenasi dan ventilasi yang adekuat juga harus dipertahankan. Selain itu adanya
obstruksi jalan nafas harus diperhatikan, karena tonus otot sadar terkadang diperlukan
untuk mempertahankan patensi jalan nafas. Resiko aspirasi juga dapat terjadi apabila
pasien mengalami oversedasi (Artime & Sanchez, 2013).
Pemberian anestesia lokal secara topical menurunkan air flow dinamis disertai
hilangnya tonus otot dan respon reflex normal, yang berpotensi menyebabkan kolapsnya
jalan nafas pada pasien beresiko. Selain itu, anestesi pada jalan nafas yang tidak adekuat
dapat menyebabkan laringospasme atau obstruksi jalan nafas sebagai akibat stimulasi
masuknya alat fiberoptik ke jalan nafas (Crawley & Dalton, 2014).
Topikalisasi pada jalan nafas dengan anestesia lokal sebaiknya merupakan teknik
anestesi utama dalam manajemen jalan nafas secara awake. Lidocaine adalah agen
anestesi lokal yang paling sering digunakan karena onsetnya cepat, indek terapeutik yang
tinggi dan ketersediaan preparat yang beraneka ragam dan dalam konsentrasi yang
berbeda. Cocaine topikal umumnya digunakan untuk anestesi dan vasokonstriksi mukosa
nasal pada intubasi nasotrakeal awake. Kombinasi lidocaine 3% dan phenylephrine
0.25%, yang bisa dibuat dengan mencampur lidocaine 4% dan phenylephrine 1% dengan
rasio 3:1, memiliki potensi anetesi dan vasokonstriksi yang serupa dengan cocaine
topikal.
Topikalisasi sebaiknya difokuskan pada dasar lidah (reseptor tekan di sini bekerja
sebagai komponen aferen reflex muntah), orofaring, hipofaring, dan struktur laring. Jika
intubasi nasotrakea yang direncanakan, cavum nasal sebaiknya juga ditopikalisasi.
Sebelumnya, antikolinergik sebaiknya diberikan untuk mengeringkan secret, yang
membantu meningkatkan efektivitas anestesi lokal topikal dan membantu visualisasi
laringoskopi. Glycopyrrolate biasanya dipilih karena efek vagolitik yang rendah dan tidak
menembus blood-brain barrier (Hagberg & Artime, 2015).
Terdapat beberapa metode dalam aplikasi lokal anestesi di jalan nafas antara lain:
atomizer, nebulizer, dan “spray-as-you-go”. Salah satu sistem atomisasi anestesi lokal
dengan menggunakan alat atomizer DeVilbiss dengan bulb yang dihilangkan. Reservoir
diisi dengan lidocaine 2% - 4%. Tabung O2 dihubungkan dengan atomizer ke silinder O2
dengan flow rate 8 – 10 L / menit. Lubang kecil dibuat pada tabung O2, sehingga aplikasi
lokal anestesi dapat diberikan intermiten ketika ibu jari menutup lubang pada tabung.
Spray atomizer diarahkan ke soft palate dan faring posterior untuk topikalisasi mukosa.
Selain dari dua metode di atas, terdapat teknik sederhana yaitu “spray-as-you-go”
melalui alat fiberoptik. Teknik ini noninvasif, yaitu dengan injeksi anestesi lokal melalui
port suction pada alat fiberoptik. Ada dua metode yang bisa digunakan. Pertama dengan
menyambungkan three-way stopcock pada bagian port suction, dan dihubungkan pula
dengan selang oksigen dari sumber oksigen dengan flow 2 – 4 L / menit. Dengan
visualisasi langsung, area yang diharapkan disemprotkan 0.2 – 1 mL dari lidocaine 2% -
4%. Setelah ditunggu 30 – 60 detik, fiberoptik dapat diteruskan dan manuver tersebut
diulangi. Aliran oksigen yang diberikan memberikan penghantaran fraksi oksigen yang
lebih tinggi, sehingga mempertahankan lensa fiberoptik bersih, menjauhkan sekresi
mucus dari lensa, dan membantu dalam nebulisasi anestesi lokal. Metode lainnya adalah
dengan memasukkan kateter epidural dengan orifisium multiple (inner diameter 0.5 – 1
mm) melalui port suction. Teknik ini berguna pada pasien dengan resiko aspirasi tinggi
karena anestesi lokal baru diaplikasikan sesaat setelah intubasi tercapai.
Blok saraf perifer pada jalan nafas juga dapat membantu dalam persiapan intubasi
sadar. Meski topikalisasi mukosa sudah memberikan anestesi pada seluruh jalan afas
secara adekuat pada sebagian besar pasien, beberapa pasien memerlukan teknik tambahan
untuk menghilangkan sensasi pada ujung saraf yang berada di bagian dalam permukaan
mukosa, seperti ujung saraf periosteal dari turbine nasal dan reseptor regang pada dasar
lidah, yang terlibat dalam reflex muntah. Beberapa penelitian menunjukkan rasa nyaman
yang lebih tinggi dan hemodinamik yang lebih stabil ketika teknik kombinasi dengan blok
saraf perifer digunakan dibandingkan dengan nebulisasi anestesi lokal saja. Contoh blok
saraf perifer yang dapat digunakan antara lain: blok nervus sphenopalatine, blok nervus
anterior ethmoidal, blok nervus glossopharyngeal, blok nervus superior laryngeal, dan
blok translaryngeal (Artime & Sanchez, 2013).
Kesulitan Awake Fiberoptic Intubation
DISKUSI KASUS
Pasien pada kasus ini adalah seorang laki-laki berusia 28 tahun dengan diagnosis tumor
mandibular dextra susp ameloblastoma dan dilakukan tindakan total mandibulectomy.
Dari pemeriksaan fisik, pasien tampak memiliki kesulitan dalam manajemen jalan nafas
yaitu berupa kesulitan ventilasi dan kesulitan intubasi akibat massa tumor yang besar.
Kesulitan ventilasi didapatkan akibat massa tumor yang mencegah tercapainya mask seal
saat dilakukan sungkup muka. Kesulitan intubasi juga merupakan akibat massa tumor
yang meluas ke rongga mulut, yang menyebabkan kesulitan untuk insersi laringoskop dan
resiko perdarahan intraoral akibat laringoskopi. Pasien disimpulkan dengan status fisik
ASA II, dengan permasalahan aktual berupa anemia (HGB 9.02 g/dL); underweight (BMI
17.5 kg/m2); serta kesulitan manajemen jalan nafas yaitu sulit ventilasi dan sulit intubasi.
Pasien direncanakan dengan tindakan anestesi GA-NTT awake intubation dengan
menggunakan fiberoptik.
Dari kasus ini, penggunaan teknik awake intubation memerlukan persiapan yang
baik dimulai dari penjelasan kepada pasien akan langkah prosedur intubasi,
mempertibangkan kecemasan pasien, rasa tidak nyaman, serta resiko aspirasi.
Premedikasi yang diberikan pada pasien adalah golongan anxiolytic, analgetik,
topikalisasi jalan nafas dengan anestesi lokal, serta penambahan adjuvant berupa
golongan agonis α2. Selain itu pasien juga diberikan vasokonstriktor mukosa.
Pada pasien ini, topikalisasi jalan nafas dilakukan dengan xylocaine spray 10%.
Topikalisasi sebaiknya difokuskan pada dasar lidah (reseptor tekan di sini bekerja sebagai
komponen aferen reflex muntah), orofaring, hipofaring, dan struktur laring. Jika intubasi
nasotrakea yang direncanakan, cavum nasal sebaiknya juga ditopikalisasi. Alternatif lain
dalam topikalisasi jalan nafas adalah penggunaan atomizer, nebulizer, ataupun blok saraf
perifer.
DAFTAR PUSTAKA
1. Richtsfeld, M., & Belani, K. G. (2017). Anesthesiology and the Difficult Airway –
Where Do We Currently Stand? Ann Card Anaesth, 20(1), 4-7.
2. Göksu, S., & Şen, E. (2015). History of Intubation. JAEM, 14, 35-6.
3. Butterworth, J. F., Mackey, D. C., & Wasnick, J. D. (2013). Airway Management.
In: Butterworth, J. F., Mackey, D. C., & Wasnick, J. D. eds. Morgan & Mikhail’s
Clinical Anesthesiology 5th edition. United States: McGraw-Hill Education, pp. 309-
41.
4. Reed, A. P. (2013). Evaluation and Recognition of the Difficult Airway. In: Hagberg,
C. A. ed. Benumof and Hagberg’s Airway Management 3rd edition. Philadelphia:
Elsevier Saunders, pp. 209-21.
5. Brambrink, A. M., & Hagberg, C. A. (2013). The ASA Difficult Airway Algorithm:
Analysis and Presentation of a New Algorithm. In: Hagberg, C. A. ed. Benumof and
Hagberg’s Airway Management 3rd edition. Philadelphia: Elsevier Saunders, pp.
222-39.
6. Crawley, S. M., & Dalton, A. J. (2014). Predicting The Difficult Airway. Continuing
Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain, 1-6.
7. Ramachandran, S. K., & Klock Jr, P. A. (2013) Definition and Incidence of the
Difficult Airway. In: Hagberg, C. A. ed. Benumof and Hagberg’s Airway
Management 3rd edition. Philadelphia: Elsevier Saunders, pp. 201-8.
8. Rosenblatt, W. H., & Sukhupragarn, W. (2013). Airway Management. In: Barash,
P.G; Cullen, B.F; Stoelting, R.K; Cahalan, M.K; Stock, M.C. and Ortega, R. eds.
Clinical Anesthesia 7th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, pp.
762-802.
9. Artime, C. A., & Sanchez, A. (2013). Preparation of the Patient for Awake
Intubation. In: Hagberg, C. A. ed. Benumof and Hagberg’s Airway Management 3rd
edition. Philadelphia: Elsevier Saunders, pp. 243-64.
10. Hagberg, C. A., & Artime, C. A. (2015). Airway Management in the Adult. In:
Miller, R. D., Cohen, N. H., Eriksson, L. I., Fleisher, L. A., Wiener-Kronish, J. P., &
Young, W. L. Miller’s Anesthesia 8th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders, pp.
1647-83.