Judul Artikel (Asli Dan Terjemahan)
Judul Artikel (Asli Dan Terjemahan)
Judul Artikel (Asli Dan Terjemahan)
Peneliti
Sutomo S1,2, S Garantjang2, A Natsir2dan A Ako2
Abstrak
The aim of this research is to understand the effects of katuk and gamal leaf
supplementation on production and quality of milk at early lactation period. The research
was conducted in dairy cattle husbandry, Enrekang, with completely randomized design
consisting of 4 treatments and 4 repetitions, yielding totally 16 experimental units. The
experimental diet was made of forage (60%), concentrate (25%), gamal leaf (15%), and
katuk leaf (135 g, 155 gr, 175 g). The results showed that supplementation with katuk leaf
significantly contributed to production of milk. The diet enriched with katuk leaf of 155 gr
and gamal leaf of 15% (treatment P2) was evidenced to exert desirable effects on
consumption and digestibility of the forage as source of fibers.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh katuk dan gamal suplementasi daun
terhadap produksi dan kualitas ASI pada awal masa laktasi. Penelitian dilaksanakan di
peternakan sapi perah, Enrekang, dengan rancangan acak lengkap yang terdiri dari 4
perlakuan dan 4 ulangan, menghasilkan total 16 satuan percobaan. Pakan percobaan
berupa hijauan (60%), konsentrat (25%), gamal daun(15%), dan katuk daun(135 g, 155 gr,
175 g). Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi dengan katuk daunmemberikan
kontribusi yang nyata terhadap produksi susu. Pakan yang diperkaya dengan katuk
daun155 gr dan gamal daun15% (perlakuan P2) terbukti memberikan efek yang diinginkan
pada konsumsi dan kecernaan hijauan sebagai sumber serat.
Metode Penelitian :
The experiment was performed in local animal husbandry located in Sub-district of
Cendana, District of Enrekang, Sulawesi Selatan, between June 2017 and June 2018. This
in vivo experiment involved dairy cattle Friesian Holstein (FH) fed with diets containing
katuk and gamal leaf. The animals were reared in cages with feeders and waterers;
further, Salter weighing scale was used to measure feed consumption. A total of 16 cattles
(average weight of 300 – 450 kg, at early lactation level (first and second period, lactation
period of 1 – 6 months). Experimental diets were made from forage (Pennisetum
purpureum), gamal laef, katuk leaf powder, and concentrate. The experiment was
arranged according to completely randomized design with 4 treatments and 4 replications
[10]. The treatments included P0 (60% forage, 25% concentrate, 15% gamal leaf), P1
(60% forage, 25% concentrate, 15% gamal leaf, 135 g katuk leaf), P2 (60% forage, 25%
concentrate, 15% gamal leaf, 155 g katuk leaf), and P3 (60% forage, 25% concentrate,
15% gamal leaf, and 175 g katuk leaf).
Perlakuan P0 adalah kelompok kontrol, yang merupakan komposisi pakan yang sering
diterapkan pada peternakan saat ini. Pada percobaan ini konsumsi pakan dapat
ditingkatkan dengan adanya katuk daunpada dosis 135 g (P1) dan 155 g (P2); Namun
demikian, kecernaan bahan kering pada P3 cenderung menurun, yang berkaitan dengan
bau astringen yang berasal dari katuk daunsehingga mengurangi palabilitasnya. Penelitian
sebelumnya yang dilaporkan oleh Preston dan Leng (1984), tingginya tingkat konsumsi
pakan akan bergantung pada keseimbangan nutrisi dalam pencernaan, karena permintaan
nutrisi berfungsi sebagai penginduksi utama yang ditransmisikan ke hipotalamus di mana
selera dimodulasi. Ketidakseimbangan nutrisi pakan kemudian akan berdampak pada
konsumsi pakan.
In addition, the results also demonstrated that feed supplementation of katuk leaf
showed a variety of score in the consumption of crude protein, i.e. P0 (0.59 kg/ind/day), P1
(1.03 kg/ind/day), P2 (1.20 kg/ind/day) and P3 (1.17 kg/ind/day). Besides, the data
exhibited that consumption of crude protein in P2 was found significantly higher than that in
P1 and control group, but still comparable to P3. The highest consumption rate of crude
protein was found in P2, while the lowest one was attributed to control group. In terms of
crude fiber, the consumption rate between treatments slightly differed, as presented in
Table 1: P0 (1.39 kg/ind/day), P1 (1.70 kg/ind/day), P2 (1.73 kg/ind/day) and P3 (1.30
kg/ind/day). Specifically, P2 exhibited the greatest score (P <0.05) among the treatments
given, though not statistically differ from P1.
Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa suplementasi pakan katuk
daunmenunjukkan skor yang bervariasi dalam konsumsi protein kasar, yaitu P0 (0,59
kg/ind/hari), P1 (1,03 kg/ind/hari), P2 (1,20 kg/ind/hari). /ind/hari) dan P3 (1,17 kg/ind/hari).
Selain itu, data menunjukkan bahwa konsumsi protein kasar di P2 ditemukan secara
signifikan lebih tinggi daripada di P1 dan kelompok kontrol, tetapi masih sebanding dengan
P3. Tingkat konsumsi protein kasar tertinggi terdapat pada kelompok P2, sedangkan
konsumsi terendah pada kelompok kontrol. Dalam hal serat kasar, tingkat konsumsi antar
perlakuan sedikit berbeda, seperti disajikan pada Tabel 1: P0 (1,39 kg/ind/hari), P1 (1,70
kg/ind/hari), P2 (1,73 kg/ind/hari) dan P3 (1,30 kg/ind/hari). Secara khusus, P2
menunjukkan skor terbesar (P<0,05) di antara perlakuan yang diberikan, meskipun tidak
berbeda secara statistik dari P1.
Mengingat isoprotein sebagai unsur penting dalam pakan, konsumsi protein kasar
dalam pakan secara konsisten mengikuti konsumsi pakan kering. Dalam hal ini, perlakuan
P2 menghasilkan skor yang lebih tinggi dari P0, P1 dan P3; konsumsi protein kasar akan
meningkat karena lebih banyak katuk daunyang dimasukkan ke dalam pakan hingga 155 g
(P2). Menariknya, itu kemudian habis pada proporsi 175 g (P3). Selanjutnya, seperti
disebutkan pada Tabel 1, konsumsi serat kasar meningkat dengan proporsilebih tinggi
katuk yang daundalam pakan. Untuk itu laju konsumsi gizi dipengaruhi oleh konsumsi
bahan kering dan kandungan gizi pada semua perlakuan. Kecernaan dapat sangat
bervariasi, tergantung pada kandungan serat kasar, protein kasar, perlakuan pakan,
spesies hewan, dan jumlah pakan. Palabilitas tetap menjadi faktor utama yang
menjelaskan perbedaan antara konsumsi bahan kering antara pakan dan ternak yang
kurang produktif. Setelah itu, dikatakan bahwa palabilitas sering berhubungan dengan
kecernaan pakan yang tinggi.
Utrient Digestibility
Kecernaan Hara
This present data statistically suggested that feed supplementation with katuk leaf
unaltered digestion of dry matter and organic matter (P>0,05). The average percentage of
dry matter digestion was recorded at P0 (42.85%), P1 (47.04%), P2 (47.35%) and P3
(44.67%), while the average percentage of organic matter was reported at P0 (41.23%), P1
(46.57%), P2 (46.04%) and P3 (51.35%). In short, the results indicated that higher
proportion of katuk leaf would result in higher digestibility of dry matter and organic matter
present in experimental diets.
Data ini menunjukkan secara statistik bahwa suplementasi pakan dengan katuk
dauntidak mengubah kecernaan bahan kering dan bahan organik (P>0,05). Persentase
rata-rata pencernaan bahan kering tercatat di P0 (42,85%), P1 (47,04%), P2 (47,35%) dan
P3 (44,67%) , sedangkan persentase rata-rata bahan organik dilaporkan pada P0
(41,23%), P1 (46,57%), P2 (46,04%) dan P3 (51,35%). Singkatnya, hasilnya menunjukkan
bahwa proporsi yang lebih tinggi katuk daun akan menghasilkan kecernaan bahan kering
dan bahan organik yang lebih tinggi dalam pakan percobaan.
Secara statistik, data percobaan kami menjelaskan bahwa kecernaan protein kasar
pada P3 lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya (P<0,05); meskipun, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara P1 dan P2. Dalam hal serat kasar, kecernaan di P2
secara statistik terungkap lebih tinggi daripada di kontrol (P<0,05), tetapi tidak berbeda
dari P1 dan P3. Sifat-sifat mikroba rumen dapat diperkirakan melalui pemahaman
kecernaan nutrisi yang ada dalam makanan hewan ruminansia. Kuantitas dan jenis
mikroba yang mendominasi rumen sebagian besar bergantung pada pakan.
Referensi/ Sumber Pustaka :
1) BPS-Statistics 2010 Number and distribution of population BPS
2) Ministri-of-Industry 2016 Milk consumption reaching 11,09 liters per capita. Insanoke
(Indonesia)
3) GJ M, AM F, GL M, JE B and R. D 2010 Bacillus anthracis (Anthrax) Mandell,
Douglas, and Bennett’s principles and practice of infectious diseases (Churchill
Livingstone) pp 2715–26
4) Yunita O, Yuwono M and Rantam F 2013 In vitro cytotoxicity assay of Sauropus
androgynus on human mesenchymal stem cells Toxicol. Environ. Chem. 95
5) Yunita O, Rantam F and Yuwono M 2019 Metabolic Fingerprinting of Sauropus
androgynus (L.) Merr. Leaf Extracts Pharm. Sci. Asia 46 69–79
6) Sihotang D R 2005 Profile of calcium and phosphate in blood, persistency of milk
production in dairy cattle Friesian Holstein fed with Sauropus androgynus (L.) Merr.
(Indinesia)
7) Wirdahayati R B 2007 Strategy for conserving milk production of swamp buffalo
associated with increment of nutrition status in communities Natl. Semiloka Prospect
dairy milk Ind.
Towar. Free trade – 2020 560
8) Roza E, Nurdin E, Aritonang S N and Arnim 2013 The effects of cassava leaf for
supplementation of buffalo milk synthesis Proceeding on seminar of local livestock
development (Indonesia)
9) Suprayogi A, Latif H and Ruhyana A Y 2013 Peningkatan produksi susu sapi perah
di peternakan rakyat melalui pemberian katuk-IPB3 sebagai aditif pakan J. Ilmu
Pertan. Indonesia. 18 140–3
10) Gomez K A and A.A. Gomez 2015 Statistical procedure for agricultural research
(Jakarta)
11) Wilson J R and Kennedy P M 1996 Plant and animal constraints to voluntary feed
intake associated with fibre characteristics and particle breakdown and passage in
ruminants Aust. J. Agric. Res. 47 199–225
12) Preston T R and Leng R A 1984 Supplementation of diets based on fibrous residues
and byproducts Dev. Anim. Vet. Sci.
13) Faverdin P, Baumont R and Ingvartsen K L 1995 Control and prediction of feed
intake in ruminants 4. International Symposium on the Nutrition of Herbivores. 4.
Symposium International sur la Nutrition des Herbivores, Clermont Ferrand
(France), 11-15 Sep 1995 (INRA)
14) Dehority B A and Tirabasso P A 2001 Effect of feeding frequency on bacterial and
fungal concentrations, pH, and other parameters in the rumen J. Anim. Sci. 79
2908–12