Ketika Pangeran Minta Jabatan: Kajian Filologis Terhadap Sepucuk Surat Untuk Raffles (1811)
Ketika Pangeran Minta Jabatan: Kajian Filologis Terhadap Sepucuk Surat Untuk Raffles (1811)
Ketika Pangeran Minta Jabatan: Kajian Filologis Terhadap Sepucuk Surat Untuk Raffles (1811)
DOI: 10.37014/jumantara.v12i2.1248
Diajukan 28-10-2020 Direview 28-11-2020 Direvisi 13-04-2021 Diterima 19-05-2021
KETIKA PANGERAN MINTA JABATAN:
KAJIAN FILOLOGIS TERHADAP SEPUCUK SURAT
UNTUK RAFFLES (1811)
Hazmirullah Aminuddin
Peneliti Mandiri
Korespondensi: azmeer125@gmail.com
ABSTRACT
In this article, I discuss a letter from three high-ranking officials of the Cirebon Sultanate to Thomas Stamford
Raffles. The letter written on 25 Syaban 1226 AH (September 11, 1811 AD) is a collection of the National
Archives of the Republic of Indonesia and is coded ID-ANRI K66a, File 3584, Folio 683. Through the letter,
they the letter, in essence, they asked for a position to Raffles. As the “old people” in the Cirebon Sultanate, they
felt worthy and could occupy certain positions which they submitted themselves to Raffles. In this article, the
letter firstly was studied by using the philology theory that contains the method of manuscript study (codicology)
and the method of text study (textology). Furthermore, the manuscript content was dialogued to the historical
fact in the Cirebon Sultanate, especially in the context of the British plan to occupy Java, so that we obtained a
complete understanding of the context of writing the letter. The result shows that when the letter was written, the
British had not fully controlled Java. The three high-ranking officials of the Cirebon Sultanate only took
advantage of the situation because they knew that power in Java would soon transfer to the British hands.
However, until the end of the British interregnum period in 1816, there is no evidence that the request was
granted by Raffles.
Keywords: Manuscript; Cirebon; Pangeran Arya Kidul; Raffles; the Conquest of Java.
ABSTRAK
Di dalam artikel ini, penulis mengkaji sepucuk surat yang ditulis oleh tiga petinggi Kesultanan Cirebon kepada
Thomas Stamford Raffles pada tanggal 25 Syaban 1226 H (11 September 1811 M). Naskah tersebut merupakan
koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia dan diberi kode ID-ANRI K66a, File 3584, Folio 683. Melalui surat
itu, pada intinya, mereka meminta jabatan kepada Raffles. Sebagai “orang lama” di Kesultanan Cirebon, mereka
merasa layak dan memiliki kemampuan untuk menduduki beberapa jabatan tertentu yang mereka ajukan kepada
Raffles. Di dalam artikel ini, naskah tersebut terlebih dahulu dikaji menggunakan teori filologi yang di dalamnya
terdapat metode kajian naskah (kodikologi) dan metode kajian teks (tekstologi). Selanjutnya, kandungan naskah
didialogkan dengan fakta sejarah di Kesultanan Cirebon, terutama dalam konteks rencana Inggris untuk
menduduki pulau Jawa. Dengan demikian, diperoleh pemahaman utuh mengenai konteks kehadiran naskah surat
tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika surat itu ditulis, Inggris belum sepenuhnya menguasai
pulau Jawa. Para penulis surat hanya memanfaatkan situasi karena menyadari bahwa tak lama lagi kekuasaan
atas tanah Jawa akan berpindah tangan. Meskipun demikian, hingga masa pemerintahan peralihan Inggris
berakhir pada 1816, tidak ada bukti bahwa permintaan mereka dikabulkan oleh Raffles.
Kata Kunci: Manuskrip; Cirebon; Pangeran Arya Kidul; Raffles; Penaklukan Jawa.
1. PENDAHULUAN
Pada pertengahan bulan Januari 2021 lalu, salah seorang guru besar di Universitas Sumatera
Utara jadi perbincangan ramai orang di media sosial setelah ia mengunggah foto surat lamaran yang
ditujukan kepada Presiden Joko Widodo1. Melalui akun Twitter, ia mengunggah empat foto, yakni
amplop surat, dua lembar surat lamaran, dan curriculum vitae. Sang guru besar memulai surat lamaran
dengan memperkenalkan diri sebagai pendukung setia Presiden Jokowi sejak periode pemerintahan
pertama (2014-2019), dilengkapi dengan tangkapan layar cuitan di Twitter. Selanjutnya, ia
menyinggung penangkapan dua anggota Kabinet Indonesia Maju, yakni Menteri Kelautan dan
Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Ia pun menyertakan tangkapan
layar cuitannya di akun Twitter, “Yth. Pak @Jokowi, cukup dua menteri sudah korban akibat
1
Ibnu Hariyanto. 2021. "Pengakuan Guru Besar USU Prof Henuk Lamar Jabatan Menteri Jokowi Via Surat",
Diakses pada 27 Januari 2021, https://news.detik.com/berita/d-5337432/pengakuan-guru-besar-usu-prof-
henuk-lamar-jabatan-menteri-jokowi-via-surat.
keserakahan mereka jadi wajar ditangkap @KPK_RI. Saatnya Pak @Jokowi selektif pilih pembantu
jangan karena usulan/desakan dari parpol pengusung, tapi manfaatkan mereka setia mendukung di
medsos, misalnya tak dilabeli buzzerRp”. Di lembar berikutnya, sang guru besar secara terus terang
meminta jabatan kepada Presiden Jokowi. Ia menulis, “Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya
mengirim berkas-berkas lama yang pernah saya kirimkan ke Bapak Presiden Jokowi di masa lalu
guna sekiranya dapat dipertimbangkan kembali agar saya ditempatkan di posisi mana saja sesuai
kompetensi saya (lihat Biography, terlampir) jika dalam waktu dekat ada pergantian dua menteri
yang tertangkap tangan oleh KPK”.
Ternyata, guru besar di Universitas Sumatera Utara itu bukanlah orang pertama yang berlaku
demikian. Soalnya, pada tahun 1811, tiga petinggi di Kesultanan Cirebon juga melakukan hal serupa.
Mereka adalah Pangeran Arya Kidul, Pangeran Raja Kartaningrat, dan Imam Kadi. Memanfaatkan
situasi yang tengah berlangsung di Jawa, mereka berkirim surat dan secara to the point meminta
jabatan kepada Thomas Stamford Raffles. Informasi tersebut termaktub di dalam sepucuk surat yang
ditulis pada tanggal 22 Syaban 1226 H atau bertepatan dengan 11 September 1811 M, kini dikoleksi
oleh Arsip Nasional Republik Indonesia, dan diberi kode ID-ANRI K66a, File 3584, Folio 683.
Padahal, kalakian, proses penaklukan Jawa belum sepenuhnya rampung. Gubernur Jenderal Prancis-
Belanda (Franco-Dutch) di Hindia Timur Jan Willem Janssens belum lagi tertangkap dan, dengan
demikian, Raffles belum pula menduduki jabatan sebagai Letnan Gubernur Jawa dan wilayah
taklukannya (Lieutenant Governor Java and Its Dependencies).
Secara sepintas lalu, surat tersebut bersifat pribadi sehingga bisa jadi dianggap tidak ada artinya.
Akan tetapi, ternyata, di dalam surat itu, terdapat sejumlah informasi penting yang layak untuk
dianalisis secara mendalam. Kepada Raffles, para penulis surat menyatakan bahwa mereka merupakan
“orang-orang lama” di Kesultanan Cirebon sehingga merasa layak dan berkemampuan untuk
menduduki jabatan tertentu. Mereka juga menggunakan istilah “pétor” untuk menyebut pejabat
kolonial setingkat residen yang ditugaskan di Cirebon. Di dalam surat itu, diungkapkan pula wilayah
tugas Pétor Cirebon mencakup pusat Kesultanan Cirebon dan tujuh daerah di sekitar Cirebon hingga
ke Tanah Galuh. Uniknya, mereka menulis sebagian daerah itu dengan sebutan lama. Satu hal lagi,
pada saat membaca kolofon, penulis menemukan kenyataan bahwa mereka tidak menulis surat dari
Cirebon, tetapi dari Batavia. Mengapa demikian? Inilah ruang lingkup yang akan disajikan di dalam
artikel ini. Menurut penulis, penelitian terhadap naskah surat ini penting dilakukan. Pasalnya, kini, tak
semua kalangan mampu membaca--apalagi memahami kandungan--teks yang ditulis dengan
menggunakan aksara Jawi (bahasa Melayu), termasuk surat yang menjadi objek penelitian ini.
Meskipun demikian, tentu saja, penelitian tak boleh dilakukan terhadap fisik naskah semata, tetapi
juga kandungan teks dan konteks yang melatarbelakangi kehadirannya.
2. METODE
Dalam penelitian ini, penulis terlebih dahulu menggunakan metode penelitian filologi yang di
dalamnya terdapat metode kajian naskah (kodikologi) dan metode kajian teks (tekstologi). Kodikologi
dimaksudkan untuk memperoleh lalu mendedahkan informasi ihwal seluk-beluk naskah, seperti aksara,
bahasa, bahan, usia, tempat penulisan, penyalin, dan perkiraan penulis naskah (Baried et al. 1985, 55).
Sementara dalam tekstologi, penulis memilih untuk menggunakan metode edisi standar/kritis, satu dari
dua pilihan untuk penyajian naskah tunggal. Selanjutnya, penulis menyertakan hasil transformasi teks
surat tersebut. Menurut Fathurahman (2015, 95-96), teks yang ditulis dalam bahasa Melayu tidak
diterjemahkan meski terdapat kata arkais dan kini tidak lagi digunakan. Hal itu lantaran teks berbahasa
Melayu pada dasarnya memiliki struktur yang identik dengan bahasa Indonesia. Terkait dengan kata-
kata yang dianggap arkais, itu dapat dijelaskan tersendiri dalam catatan kaki. Sementara itu, dalam
konteks penelitian ini, transformasi yang dimaksud berada dalam ranah linguistik, yakni “mengubah
struktur gramatikal (suatu bahasa) menjadi struktur gramatikal (bahasa) lain disertai dengan
menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya” 2 . Langkah ini dimaksudkan untuk
meminimalkan ketaksaan (ambiguitas) yang sangat mungkin dihadapi oleh para pembaca masa kini.
Hal itu mengingat tidak semua pembaca memahami struktur bahasa Melayu. Arkian, teks yang
terdapat di dalam naskah tersebut didialogkan dengan fakta sejarah, terutama terkait dengan
Kesultanan Cirebon pada masa pemerintahan Sultan Sepuh VII (1791-1816) dan rencana ekspedisi
Inggris untuk menduduki Jawa hingga penyerahan diri Gubernur Jenderal Prancis-Belanda Jan Willem
Janssens, yakni pada rentang tahun 1810-1811. Hal itu dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman
utuh mengenai latar belakang dan konteks penulisan surat tersebut.
3. DESKRIPSI NASKAH
Objek penelitian ini adalah sepucuk surat koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)
yang diberi kode ID-ANRI K66a, File 3584, Folio 683. Naskah itu merupakan bagian dari bundel
yang diberi judul “Arsip Gubernur-Jenderal dan Dewan Hindia (Pemerintah Agung) pada VOC
(Verenigde Oostindische Compagnie) dan para pejabat penerusnya, 1612-1812”. Bundel tersebut
memiliki volume 500 meter linier, berbahan kertas, dengan nomor inventaris 1 hingga 4.631. Surat
tersebut ditulis oleh Pangeran Arya Kidul, yang juga mengatasnamakan Pangeran Raja Kartaningrat
dan Imam Kadi Cirebon, kepada Thomas Stamford Raffles3. Informasi tersebut dapat segera diketahui
di bagian awal surat, di mana terdapat kalimat “Bahwa inilah surat tulus serta ikhlas…yaitu daripada
sahaya Pangeran Arya Kidul, dan Pangeran Raja Kartaningrat, dan Imam Kadi…disempurnakan
Allah subḥānāhū wa ta’ālā jua kiranya kepada Paduka Seri Tuan Besar… Gubernur (Jenderal)
(Raffles Esquire)”. Sementara merujuk kolofon, yang terdapat di bagian akhir surat, dinyatakan bahwa
surat tersebut ditulis di Batavia pada tanggal 22 Syaban 1226 H (bertepatan dengan 11 September
1811 M). Melalui surat itu, ketiga pejabat di Kesultanan Cirebon tersebut secara terang-terangan
meminta jabatan kepada Raffles dengan alasan bahwa mereka merupakan “orang-orang lama” yang
tahu betul seluk-beluk Cirebon. Dengan kepercayaan diri yang begitu tinggi, mereka menyatakan
kesanggupan untuk menduduki jabatan, seperti “raja kepala” Negeri Cirebon, “tumenggung kepala” di
salah satu dari tujuh daerah yang berada dalam wilayah tugas Pétor Cirebon, atau penanggung jawab
urusan perdagangan di serata Cirebon.
Teks ditulis di atas selembar kertas Eropa “J Whatman 1809” berukuran folio berwarna putih
kekuning-kuningan. Naskah dalam kondisi baik dan seluruh teks masih dapat terbaca, kecuali bagian
kop surat. Teks hanya terdapat di bagian verso, diketahui karena penulis membaca tanda air
(watermark) “J Whatman 1809”, yang berorientasi atas-bawah, secara terbalik. Seperti disinggung
sebelumnya, penulis naskah membubuhkan kepala surat di bagian kiri (left-hand) atas kertas dan
terdiri atas dua baris. Akan tetapi, penulis hanya dapat membaca teks yang berada di baris kedua,
yakni “al-munawwir al-samāwāt”, sedangkan teks yang terdapat di baris pertama tidak dapat dibaca
karena sompeng. Teks di dalam surat itu terdiri atas 19 baris. Perinciannya, sebanyak 16 baris teks
ditulis dengan menggunakan aksara Jawi (bahasa Melayu) dan 3 baris teks menggunakan aksara (dan
bahasa) Jawa. Tiga baris teks yang terdapat di bagian bawah surat itu merupakan tanda persetujuan
ketiga pengirim surat, yakni Pangeran Arya Kidul, Pangeran Raja Kartaningrat, dan Imam Kadi
Cirebon.
Surat ini terdiri atas tiga bagian, yakni pembuka, isi, dan penutup (yang berisi kolofon), tetapi
tidak dipisahkan ke dalam bentuk alinea-alinea. Bagian pembuka surat dibatasi oleh sebuah perenggan
yang lazim digunakan dalam persuratan Melayu, dalam hal ini “wa ammā ba’du”. Sementara itu, isi
surat terbagi menjadi dua pokok pikiran dan dibatasi oleh kata “syahdan”. Di bagian kanan (right-
hand) atas kertas, berjarak 2 cm di atas kata pertama surat, terdapat angka Arab “683” yang ditulis
2
Kamus Besar Bahasa Indonesia (webiste). Diakses pada 27 Januari 2021, https://kbbi.web.id/transformasi.
3
Arsip Nasional Republik Indonesia (website). Diakses pada 27 Januari 2021, https://sejarah-
nusantara.anri.go.id/pagebrowser/icaatom-dasa-anri-go-id_386-ead-xml-1-
3584/#source=1&page=684&accessor=thumbnails&view=imagePane&size=857.
dengan menggunakan pensil, sedangkan angka Arab “684” dituliskan di bagian sebaliknya yang tak
mengandung teks. Angka Arab inilah yang menjadi penanda identitas “folio” naskah surat tersebut.
Gambar 1. Naskah surat dari Pangeran Arya Kidul untuk Raffles tanggal 22 Syaban 1226 H
Sumber: Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (2021)
(1) Penulis surat membubuhkan frasa “…al-munawwir al-samāwāt” sebagai kepala surat.
Seperti dinyatakan di bagian sebelumnya, kepala surat sesungguhnya terdiri atas dua
baris teks. Tetapi, penulis tidak dapat membaca teks baris pertama karena kertas yang
sompeng. Sayangnya, teks kepala surat ini tidak ada dalam daftar yang dibuat oleh
Gallop (1994, 56-61) sehingga membuatnya tetap menjadi misteri. Hal itu berarti pula
bahwa frekuensi penggunaan teks kepala surat ini sangat jarang, bahkan mungkin
satu-satunya, tidak seperti Qawluhu al-ḥaqq (atau bentuknya yang lebih panjang,
Qawluhu al-ḥaqq wa kalāmuhu al-ṣidq), al-Mustaḥaqq, Yā nūr al-syams wa al-qamar
wa al-nujūm, atau Yā Qādiy al-Ḥājāt. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
mengungkap teks lengkap kepala surat tersebut.
(2) Sebagaimana kelaziman dalam persuratan Melayu, penulis surat tidak membubuhkan
huruf kapital, tanda baca, dan paragraf. Sebagai penanda permulaan bagian baru (dan
juga tanda baca) dalam surat, digunakan beberapa kata tertentu, seperti “syahdan”
(baris ke-11), “adapun” (baris ke-8), serta kata “dan” yang berfungsi sebagai tanda
koma (baris ke-2, ke-9, dan ke-10). Khusus untuk pemerincian nama daerah,
sebagaimana terdapat di baris ke-9 dan ke-10, penulis surat tak hanya menggunakan
kata “dan”, tetapi melengkapinya dengan tanda berupa bulatan. Selain kata-kata
tersebut, penulis surat juga menggunakan tanda berupa tiga titik (…) untuk
memisahkan pokok pikiran satu dengan yang lain, sebagaimana terdapat di baris ke-3,
ke-6, ke-8, dan ke-11. Sementara itu, frasa bahasa Arab “wa ammā ba’du” (baris ke-6)
dijadikan sebagai penanda selesainya “puji-pujian” dan bermulanya isi surat. Di dalam
edisi teks, akan dibubuhkan tanda baca untuk meminimalkan terjadinya ketaksaan.
(3) Penulis surat mencantumkan kata-kata yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh
dialek, yakni kata-kata yang dibentuk oleh kata dasar “paréntah/parintah”, seperti
“memarintah” (baris ke-4), “yang diparintah” (baris ke-8, dua kali), dan
“parintahnya” (baris ke-14). Selain itu, penulis dua kali menuliskan kata “satelah” di
baris ke-11. Di dalam edisi teks, cara penulisan demikian akan tetap dipertahankan.
Hal serupa terjadi dalam penulisan nama dan istilah asing, yakni “Roplis Eskuwir”
(baris ke-3 dan ke-5), “jeneral” (baris ke-5), dan “kupernur” (baris ke-5). Selain
pengaruh dialek, kemungkinan besar, kasus itu juga terjadi karena keterbatasan aksara
untuk mengakomodasi bunyi-bunyi tertentu dalam bahasa asing. Di dalam edisi teks,
kata-kata itu diperbaiki menjadi “Raffles Esquire”, “jenderal”, dan “gubernur”.
(4) Penulis surat menuliskan angka “2” dalam kata ulang “desa-desanya”, sebagaimana
terdapat di baris ke-7. Menurut Sweeney (2008, 204-208), angka “2” merupakan
sebuah tanda dalam aksara Jawi (Arab Melayu) yang tak ternilai harganya. Tanda itu
diciptakan secara khusus untuk menangani satu ciri yang menyeluruh dalam
penggunaan bahasa Melayu, yaitu penggandaan atau reduplikasi. Oleh karena itu, di
dalam edisi teks, cara penulisan demikian akan tetap dipertahankan.
(5) Kata hubung subordinatif atributif ”yang” ditulis dengan dua cara. Ada kalanya ditulis
terpisah dari kata berikutnya, ada kalanya bersambung dengan suku kata (silabe)
pertama pada kata berikutnya. Frasa “yang telah”, misalnya, ditulis dengan dua cara,
yakni disambungkan (baris ke-11) dan dipisahkan (baris ke-14 dan ke-15). Adapun
frasa-frasa yang ditulis secara bersambung adalah “yangdipesertakan” (baris ke-1),
“yangdiparintah” (baris ke-8; dua kali), dan “yangdi dalam” (baris ke-8). Sementara
frasa-frasa yang ditulis secara terpisah adalah “yang terbit” (baris ke-1), “yang suci”
(baris ke-1), “yang amat” (baris ke-1), “yang mauquf” (baris ke-3), “yang ada di
dalam” (baris ke-3), “yang memarintah” (baris ke-4), “yang bernama” (baris ke-5),
“yang beroleh” (baris ke-5), “yang lain” (baris ke-9), “yang pertama” (baris ke-9),
“yang tersebut” (baris ke-13), “yang menjadi” (baris ke-13, ke-14), dan “yang apa”
(baris ke-15). Di dalam edisi teks, kata “yang” langsung dipisahkan dengan kata yang
mengikutinya, tetapi tidak akan dimasukkan ke dalam kategori kesalahan tulis.
(6) Cara menuliskan “Imam Kadi” juga menjadi kekhasan dalam surat ini. Di dalam teks
yang menggunakan aksara Jawi dan bahasa Melayu (baris ke-2), nama itu ditulis
“Imam Qāḍī”. Akan tetapi, di dalam teks yang menggunakan aksara dan bahasa Jawa
(baris ke-19), nama itu ditulis “Imam Kali”. Hal ini mengingatkan penulis pada dua
pucuk surat yang dikirim oleh Sultan Sepuh VII Cirebon untuk Raffles pada tanggal 2
Rabiulakhir 1226 Hijriah (26 April 1811 Masehi) 4 . Satu surat ditulis dengan
menggunakan aksara (dan bahasa) Jawa, sedangkan satu lainnya dalam aksara Jawi
(bahasa Melayu). Di dalam surat beraksara (dan berbahasa Jawa), Sultan Sepuh VII
Cirebon menulis, “...sarta ambakta sěrat amawi cap parénta(h), sarěng kalayan rama
Arya Kidhul, raka Raja Kartaningrat, rayi Arya Sumintaradhya, Radhén
Sudhiradhibrata, Tuměnggung Mangkunagara, Imam Kali” (Hazmirullah 2017, 115).
Sementara itu, dalam surat beraksara Jawi (berbahasa Melayu), ia menulis, “...serta
membawa[‘] surat yang cap dan perintah sama dengan saya punya bapak muda
Pangeran Arya Kidul, dan saya punya kakak Pangeran Raja Karta Ningrat, dan saya
punya adik Pangeran Arya Suminta Raja, dan Raden Sudirabrata, dan Tumeng(g)ung
Mangkune(g)ara, dan Imam Qāḍī” (Hazmirullah 2016, 224). Dalam konteks bahasa
Jawa, frasa “imam kali” ternyata merupakan variasi dari “imam kadi”. Bausastra
Jawa (Tim Balai Bahasa Yogyakarta 2011) memuat kedua lema itu di halaman 313
dan 317. Dalam konteks ini, memang berlaku hukum perubahan bunyi r-d-l,
sebagaimana berlaku terhadap kata “lontar”, “rontal”, dan “dontal” yang bermakna
‘daun tal’. Bahkan, kemungkinan besar, kata “Kali” yang terdapat pada nama Sunan
Kali Jaga juga bermakna ‘kadi’, merujuk kepada posisinya sebagai salah seorang
penghulu di Kesultanan Demak (Hazmirullah 2019, 285).
Bahwa inilah surat tulus serta ikhlas yang Inilah surat (yang ditulis dengan) tulus dan
dipesertakan dalamnya beberapa hormat dan ikhlas. Di dalamnya, disertakan pula rasa
khidmat yang terbit daripada hati yang suci putih hormat dan khidmat yang terbit dari hati
lagi jernih yang amat hening, yaitu daripada nan suci putih serta jernih dan bersih. (Surat
sahaya Pangeran Arya Kidul, dan Pangeran Raja ini) ditulis oleh saya, Pangeran Arya Kidul,
Kartaningrat, dan Imam Kadi. Ialah yang mauquf bersama Pangeran Raja Kartaningrat dan
serta senang yang ada di dalam tahta di bawah Imam Kadi, yang tinggal dan merasa senang
4
Kedua surat itu merupakan koleksi British Library dan dimasukkan ke dalam bundel Mss. Eur. D. 742/1.
Surat beraksara (dan berbahasa) Jawa diberi kode Mss. Eur. D. 742/1 f. 49a-b. Sementara surat beraksara
Jawi (berbahasa Melayu) diberi kode Mss. Eur. D. 742/1 f. 49.
duli Tuan Mister (Raffles Esquire) 5 . berada di dalam takhta, di bawah duli Tuan
Disempurnakan Allah subḥānāhū wa ta’ālā jua Mister Raffles Esquire. (Semoga surat ini)
kiranya kepada Paduka Seri Tuan Besar yang disempurnakan oleh Allah swt (sampai)
memarintah 6 serta atas kuasa segala daerah kepada Paduka Seri Tuan Besar yang
Negeri Betawi dan sekalian Negeri Tanah Jawa, memerintah dan berkuasa atas Negeri
yaitu yang bernama Seri Paduka Tuan Besar Betawi dan seluruh Tanah Jawa, yaitu Seri
(Gubernur) (Jenderal) 7 (Raffles Esquire). Ialah Paduka Tuan Besar Gubernur Jenderal
yang beroleh pangkat martabat kebesaran, dan Raffles Esquire. Dialah yang beroleh
(ketinggian) 8 , dan kemuliaan, serta dilanjutkan pangkat, martabat kebesaran, ketinggian,
Allah usia zaman umurnya, Āmīn yā rabb al- kemuliaan, dan (semoga) dipanjangkan usia
‘ālamīn. oleh Allah swt. Āmīn yā rabb al-‘ālamīn.
Wa ammā ba’du. Kemudian daripada itu, maka Wa ammā ba’du. Selanjutnya, saya
ialah sahaya maklumkan dan menyembahkan beritahukan (sekaligus) persembahkan
daripada Negeri Cirebon dan segala desa2nya. Negeri Cirebon beserta semua desanya
Dan sahaya maklumkan segala negeri yang (kepada Tuan Besar). Saya beritahukan pula
diparintah oleh pétor yang di dalam Negeri semua negeri yang berada di bawah
Cirebon. Adapun negeri yang diparintah oleh perintah pétor yang berada di Negeri
Pétor Cirebon yang lain dari Negeri Cirebon, Cirebon. Negeri-negeri selain Cirebon yang
yaitu yang pertama, Negeri Gebang, dan kedua, dimaksud itu adalah (1) Negeri Gebang, (2)
Negeri Darmayu, dan ketiga, Negeri Sukapura, Negeri Darmayu, (3) Negeri Sukapura, (4)
dan keempat, Negeri Bunagara, dan kelima, Negeri Bunagara (Imbanagara?), (5) Negeri
Negeri Ciamis, dan keenam Negeri Ciancang, dan Ciamis, (6) Negeri Ciancang, dan (7)
ketuju(h)9 Negeri Limbangan. Negeri Limbangan.
Syahdan, satelah sahaya menyembahkan dan Syahdan, setelah saya persembahkan dan
satelah menyelesaikan negeri yang telah tersebut selesaikan (perincian tentang) negeri-negeri
itu, jikalau limpah kurnia dan suka rida, maka tersebut, jikalau ada kelimpahan karunia
ialah supaya Orang Besar percayakan daripada dan kebesaran hati, ada baiknya jika Orang
segala hal ihwalnya Negeri Cirebon dan segala Besar mempercayakan pengelolaan Negeri
negeri yang tersebut itu kepada sahaya orang Cirebon dan semua negeri di sekitarnya
lama. Seperti pasal yang menjadi Raja Kepala kepada saya, orang lama (di Kesultanan
Negeri Cirebon dan yang menjadi Tumenggung Cirebon). (Jabatan yang dipercayakan
Kepala negeri yang telah tersebut itu, atau barang kepada kami), seperti Raja Kepala Negeri
titah parintahnya Orang Besar, atau pasal jual Cirebon, Tumenggung Kepala di salah satu
beli belian akan segala dagangan yang ada di (dari tujuh) negeri yang telah disebutkan,
dalam segala negeri yang telah tersebut itu, maka (pejabat yang menjalankan) perintah Orang
supaya Orang Besar tahu kepada sahaya orang Besar, atau (pejabat yang mengurusi)
lama jua adanya. perdagangan di serata negeri. Semoga
Orang Besar mengenal saya sebagai orang
lama (di Kesultanan Cirebon).
Termaktub di dalam Negeri Betawi, 22 hari dari Ditulis di Batavia, 22 Syaban 1226 H.
bulan Syaban tārīkh al-sanah 1226.
5
(r-w-f-l-s) dan (a-s-k-w-i-r); transposisi.
6
Dipengaruhi oleh dialek; dibentuk dari kata dasar “paréntah/parintah” dalam bahasa lokal; transposisi.
7
Dipengaruhi oleh dialek; transposisi.
8
Kekurangan guratan diagonal di bagian atas fonem /g/; omisi.
9
Kekurangan fonem /h/; omisi.
Punika tandha kaula Pangéran Arya Kidhul Inilah tanda persetujuan saya (atas isi surat
ini), Pangeran Arya Kidul
Punika tandha kaula Pangéran Raja Kartaningrat Inilah tanda persetujuan saya (atas isi surat
ini), Pangeran Raja Kartaningrat.
Punika tandha kaula Imam Kali Inilah tanda persetujuan saya (atas isi surat
ini), Imam Kadi.
10
Gubernur Jenderal ke-32 VOC, menjabat pada periode 1780-1797 Masehi.
11
Dua pucuk surat koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang masing-masing diberi kode ID-
ANRI K66a, File 3587, Folio 819-820 dan ID-ANRI K66a, File 3587, Folio 837-838.
12
Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang masing-masing diberi kode ID-ANRI K66a, File
3587, Folio 839-841.
pada tanggal 17 September 1811. Waterloo meninggal dunia pada tanggal 6 Mei 1812 dan
jabatan Residen Cirebon diteruskan oleh John Curson Lawrence (Haan 1935, 594, 662).
barat pulau Jawa, kecuali Batavia yang merupakan pusat kekuasaan VOC. Ketujuh belas
kabupaten itu adalah Limbangan, Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura, Galuh,
Timbanganten, Gebang, Indramayu, Pamanukan dan Pagaden, Ciasem, Karawang, Cianjur,
Bojonglopang, Bojongmalang, Utama, dan Pamotan (Rees 1880, 65-67). Arkian, wilayah
yang demikian luas itu dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni wilayah Jakarta (Het
Jacatrasche gebied) dan Priangan yang sesungguhnya (Het Eigenlijke Priangan). Wilayah
Jakarta dibagi lagi menjadi empat bagian, yakni Stad (Kota) Batavia, de Ommelanden (Daerah
Sekitar), de Benedenlanden (Daerah Dataran Rendah), dan de Bovenlanden (Daerah Dataran
Tinggi) (Klein 1931, 130-131).
Pada periode 1705-1730 M, ketika berada di bawah kendali Pangeran Aria Cirebon,
wilayah Priangan terdiri atas sembilan kabupaten, yakni Limbangan, Sukapura, Galuh,
Sumedang, Bandung, Parakanmuncang, Ciasem, Pamanukan, dan Pagaden. Akan tetapi, pada
tahun 1730, hanya terdapat tiga kabupaten yang di bawah perintah Residen Cirebon, yakni
Limbangan, Sukapura, dan Galuh. Sementara itu, Kabupaten Sumedang, Bandung, dan
Parakanmuncang, per tanggal 12 Mei 1730, dimasukkan sebagai bagian dari wilayah Batavia.
Pada periode 12 Mei 1765-28 Mei 1758, ketiga daerah itu kembali dimasukkan ke dalam
wilayah administratif Cirebon. Setelah itu, Sumedang, Bandung, dan Parakanmuncang
dikembalikan ke Batavia dan membentuk satu kabupaten bernama Bataviasche-Preanger atau
Jacatrasche-Preanger. Sementara soal nasib tiga kabupaten lain, yakni Ciasem, Pamanukan,
dan Pagaden, tidak ditemukan informasi akurat (Klein 1931, 132).
Dengan demikian, secara umum, kabupaten-kabupaten di wilayah Priangan dapat dibagi
menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah Limbangan, Sukapura, Galuh. Pada tahun
1705, ketiganya merupakan bagian dari Cirebon untuk membentuk wilayah bernama
Kabupaten Cirebon-Priangan (Cheribonsche-Preanger Regentschappen). Kelompok kedua
dihuni oleh Sumedang, Bandung, dan Parakanmuncang. Pada periode 1730-1758, ketiganya
menjadi bagian dari Kabupaten Batavia-Priangan (Bataviasche-Preanger Regentschappen)13.
Setelah sempat menjadi bagian dari Cirebon, pada periode 1758-1765, ketiga daerah tersebut
dikembalikan ke Batavia. Sementara itu, kelompok ketiga dihuni oleh Cianjur, Kampungbaru
(Buitenzorg), Tangerang, Karawang, Ciasem, dan Pagaden. Semua wilayah itu menjadi bagian
dari daerah Dataran Tinggi dan Dataran Rendah Jakarta (Jacatrasche Boven- en
Benedenlanden) (Klein 1931, 132-133). Kabupaten Pagaden dihapuskan pada 1798 (Chijs
1894, 901). Sementara itu, pada tahun 1802, Kabupaten Galuh, Imbanagara, dan Utama
digabungkan menjadi Kabupaten Galuh. Hal itu lantaran Bupati Imbanagara dan Utama
dianggap tidak bisa mengatur pemerintahan sendiri sehingga menimbun utang sebesar 23.500
rijkdaalders. Untuk selanjutnya, pembayaran utang tersebut dibebankan kepada Bupati Galuh
(Lubis 1998, 86-87).
Ketika Daendels memulai jabatan pada tahun 14 Januari 1808, pulau Jawa terbagi
menjadi tiga bagian. Pertama, Kota Batavia, daerah sekitar (de ommelanden), serta
Jakkatrasche en Preanger-Regentschappen yang meliputi Tangerang, Karawang, Buitenzorg,
Cianjur, Sumedang, Bandung, dan Parakanmuncang. Wilayah ini dihuni oleh penduduk yang
berjumlah tak kurang dari 200.000 jiwa. Kedua, Kesultanan Cirebon beserta tiga daerah yang
disebut Cheribonsche Preanger-Regentschappen (meliputi Limbangan, Sukapura, dan Galuh).
Diperkirakan, wilayah tersebut dihuni oleh penduduk sebanyak 350.000 jiwa. Ketiga, wilayah
Pantai Timur Laut (Noord-Oostkust) dan Ujung Timur (Oosthoek) yang berpenduduk tak
kurang dari 1,6 juta jiwa (Rees 1880, 110). Setahun berselang, tepatnya pada tanggal 2
Februari 1809, Daendels menerbitkan Peraturan tentang Pengelolaan Wilayah Cirebon
13
Istilah “regentschap” di sini sebenarnya tidak tepat diterjemahkan menjadi ‘kabupaten’, tetapi setara dengan
landdrost-ambt yang kelak diperkenalkan oleh Daendels pada tahun 1809 atau keresidenan yang
diperkenalkan oleh Raffles pada tahun 1813.
14
Peraturan tersebut terdiri atas: Ketentuan Umum (6 pasal); Bagian Pertama, Perihal Prefek (32 pasal); Bagian
Kedua, Perihal Para Sultan, Bupati, dan Pemerintahan Daerah Lebih Lanjut (31 pasal); Bagian Ketiga,
Perihal Pajak, Kerja Pengabdian, dan Kewajiban-kewajiban Lain Penduduk Pribumi (16 pasal); Bagian
Keempat, Perihal Pengadilan Negeri (11 pasal); Bagian Kelima, Perihal polisi, Pembuatan Jalan, dan
Layanan Pos (31 pasal) (Chijs 1896, 474-513).
15
“De drie Sulthans der Cheribonsche landen zullen voortaan worden beschouwd en behandeld als
ambtenaren van Zijne Majesteit den Koning van Holland en in rang onmiddelijk volgen op den prefect...”
16
Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia dengan kode ID-ANRI K66a, File 3587, Folio 737-740.
17
Tokoh ini juga dikenal sebagai Tengku Pangeran Sukma Dilaga (kerap juga ditulis Kusuma Dilaga) dan
Sayid Zain. Bahkan, ia juga dijuluki sebagai Pangeran Perca dan memiliki nama yang lebih panjang, yakni
Sayid Zain Balfagih (Adam 2009, 137). Akan tetapi, sumber lain mencatat bahwa nama panjang tokoh
tersebut adalah Sayid Zain Aljufri. Tengku Pangeran Siak merupakan sosok penting untuk memuluskan
rencana Inggris menduduki pulau Jawa. Ia menjadi salah seorang agen kepercayaan Raffles dan memainkan
peran yang sangat krusial, terutama dalam hal berkomunikasi dan “merayu” para penguasa di serata wilayah
Melayu. Apalagi, ia dinilai sebagai sosok yang loyal, tulus, dan berintegritas (Adam 2009, 137-138). Tak
heran jika kemudian Raffles, di dalam sebuah surat kepada Lord Minto, menyebut Tengku Pangeran Siak
sebagai best assistant (Wurtzburg 1986, 118, sebagaimana disitat oleh Gallop 1994, 149).
18
Ia bergabung dengan Raffles atas rekomendasi John Leyden. Akan tetapi, sebenarnya, Raffles tidak
menyukai sikap Scott. Ia juga mengaku tak percaya bahwa Scott merupakan pelaut berpengalaman (Adam
dan Haji Muhammad Ali 19 , yang ditugaskan untuk mengirim surat dukungan dari para
penguasa Tanah Melayu, termasuk Jawa, terhadap rencana penaklukan Jawa. Ternyata,
petinggi Kesultanan Cirebon yang menumpang kapal itu tak hanya Pangeran Arya Kidul,
tetapi terdapat lima orang lainnya. Informasi ini termaktub di dalam surat Tengku Pangeran
Siak untuk Raffles tertanggal 15 April 1811 (25 Rabiulawal 1226 H) (Hazmirullah, Ma’mun,
dan Darsa 2016, 82)20. Di dalam surat itu, Tengku Pangeran Siak menulis “…Maka kita pun
pikirlah, karena perahu pun tiada tahan bergelombang, maka masuklah kita ke dalam Jambi
karena kita mau mencari perahu yang besar sedikit karena itu perahu kecil-kecil, terlalu
banyak susah. Dan lagi, membawa itu pangeran-pangeran Cirebon itu, enam orang…”.
Identitas keenam petinggi Kesultanan Cirebon yang menumpang kapal dari Malaka itu baru
terungkap di dalam surat balasan Sultan Sepuh VII Cirebon untuk Raffles tertanggal 26 April
1811 (2 Rabiulakhir 1226 H)21. Pada hari itu, Sultan Sepuh VII mengaku bertemu langsung
dengan Tengku Pangeran Siak (yang diantar oleh Ngabei Wiralodra, penguasa Indramayu)22.
Sultan Sepuh mengungkapkan, selain membawa surat (dan juga hadiah dari Raffles), Tengku
Pangeran Siak juga mengajak enam petinggi kesultanan Cirebon, yakni Pangeran Arya Kidul,
Pangeran Raja Kartaningrat, Pangeran Arya Suminta Raja, Raden Sudirabrata, Tumenggung
Mangkunegara, dan Imam Kadi (Hazmirullah 2016, 216, 224).
Di dalam surat itu, Sultan Sepuh VII Cirebon juga mengungkapkan hubungan
kekerabatannya dengan keenam petinggi kesultanan tersebut. Pangeran Arya Kidul disebutnya
sebagai “bapak muda” (versi Melayu) dan “rama” (versi Jawa) (Hazmirullah 2016, 224; 2017,
115). Kedua kata itu dapat diartikan sebagai ‘paman’. Hal ini bersesuaian dengan isi surat
Willem Arnold Alting tanggal 22 Januari 1793 yang menyebut Sultan Sepuh VII Cirebon
sebagai keponakan Pangeran Arya Kidul (Hazmirullah 2018, 291). Dengan demikian, terdapat
kemungkinan bahwa Pangeran Arya Kidul merupakan salah seorang adik dari Sultan Sepuh
VI Cirebon, Sultan Tajul Ngaripin Muhammad Hasanudin. Di dalam surat tersebut, Sultan
Sepuh VII Cirebon menyebut Pangeran Raja Kartaningrat sebagai “kakak” (raka) dan
Pangeran Arya Sumintaraja sebagai “adik” (rayi). Namun, penulis tidak/belum memperoleh
informasi akurat mengenai kedua tokoh tersebut. Hal itu mengingat kata “kakak” dan “adik”
tidak hanya merujuk kepada kakak dan adik kandung, tetapi juga bisa juga merujuk pada
sepupu ataupun anggota keluarga dekat lainnya. Satu hal yang perlu dipertimbangkan, Sultan
Sepuh VII Cirebon merupakan putra sulung Sultan Sepuh VI dan naik takhta pada saat
berumur 10 tahun. Tentu saja, ia tak memiliki kakak. Dengan demikian, Pangeran Raja
Kartaningrat yang menulis surat bersama Pangeran Arya Kidul bukanlah kakak kandung
Sultan Sepuh VII Cirebon, tetapi masih bagian dari kerabat dekat Kesultanan Cirebon.
Sementara itu, Sultan Sepuh VII Cirebon tidak mengungkapkan hubungan kekeluargaannya
dengan Raden Sudirabrata, Tumenggung Mangkunegara, dan Imam Kadi. Meskipun
demikian, penulis dapat memastikan bahwa mereka merupakan bagian dari anggota keluarga
(sentana) Kesultanan Cirebon.
2009, 33). John Scott berpisah dengan Tengku Pangeran Siak di Lingga. Scott kembali ke Malaka, sedangkan
Tengku Pangeran Siak meneruskan pelayaran ke Jawa dengan terlebih dahulu singgah ke beberapa tempat,
seperti Pulau Berhala, Jambi, dan Muntok (Bangka). Ia tiba di Indramayu pada tanggal 26 April 1811 petang
(untuk selanjutnya menuju Cirebon, diantar oleh Ngabei Wiralodra).
19
Utusan Raffles yang ditugaskan untuk mengantarkan surat ke Mataram. Ia berpisah dengan Tengku Pangeran
Siak di di Singkep (Hazmirullah, Ma’mun, dan Darsa 2016, 82).
20
Koleksi British Library dengan kode MSS Eur. D. 742/1, f. 121. Surat ini ditulis di Muntok, Bangka dan
merupakan salah satu rangkaian dari lima surat yang ditulis Tengku Pangeran Siak dalam pelayarannya ke
Jawa (Desember 1810-April 1811)
21
Koleksi British Library dengan kode MSS Eur. D. 742/1, f. 49. Surat ini ditulis dalam dua versi, yakni (1)
aksara Jawi (bahasa Melayu) dan (2) aksara (dan bahasa) Jawa.
22
Informasi ini termaktub di dalam surat Ngabei Wiralodra untuk Raffles pada tanggal yang sama (koleksi
British Library dengan kode MSS Eur. D. 742/1, f. 48.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan paparan di bagian sebelumnya, penulis dapat menyatakan beberapa hal berikut:
Pertama, Pangeran Arya Kidul, Pangeran Raja Kartaningrat, dan Imam Kadi memiliki alasan yang
cukup kuat untuk menyebut diri mereka sebagai “orang lama” di Kesultanan Cirebon. Soalnya,
eksistensi mereka di kesultanan dapat ditelusuri setidaknya hingga ke awal masa pemerintahan
Sultan Sepuh VII Cirebon, tepatnya tahun 1793. Kedua, Pangeran Arya Kidul dan kawan-kawan
memberikan informasi penting, terutama terkait dengan wilayah tugas Pétor Cirebon Matthijs
Waterloo. Selain pusat Kesultanan Cirebon (Sulthans-landen), Waterloo juga ditugaskan untuk
mengelola tujuh daerah lain, yakni Gebang, Indramayu, Sukapura, Bunagara (Imbanagara),
Ciamis, Ciancang, dan Limbangan, meski berada di wilayah administratif yang berbeda-beda.
Dengan demikian, wilayah tugas Pétor Cirebon tidak mengikuti wilayah administratif yang
dibentuk pada masa pemerintahan Daendels. Ketiga, Pangeran Arya Kidul dan kawan-kawan
menulis surat di Batavia, bukan di Cirebon. Hal itu terjadi karena Sultan Sepuh VII Cirebon
enggan menerima kehadiran mereka karena takut ketahuan oleh pasukan Prancis-Belanda yang
kala itu masih berkuasa. Oleh karena itu, Tengku Pangeran Siak-yang membawa mereka dari
Malaka-memutuskan untuk menyinggahkan mereka di Batavia.
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kata sempurna. Pasalnya,
masih terdapat sejumlah pertanyaan yang belum terjawab. Sejauh ini, penulis tidak/belum berhasil
menemukan informasi akurat mengenai jati diri para penulis surat, terutama Pangeran Arya Kidul.
23
“Dan lagi, daripada hal orang enam itu, saya balikkan lagi bersama Ten(g)ku Pangeran karena tiada kuasa
menyimpan dia, takut kepada Holanda”.
Akan tetapi, fakta sejarah menyatakan bahwa VOC merasa terganggu oleh sepak terjang Pangeran
Arya Kidul pada awal dekade tahun 1790. Apa sesungguhnya yang terjadi di Kesultanan Cirebon
kala itu? Fakta sejarah juga menyatakan bahwa Pangeran Arya Kidul menerima hukuman
pembuangan ke Malaka. Ternyata, ia tak sendiri, tetapi bersama lima petinggi Kesultanan Cirebon
lainnya. Oleh karena itu, dibutuhkan serangkaian penelitian lanjutan untuk menjawab berbagai
pertanyaan tersebut sekaligus mengungkap fakta sejarah yang berlaku di Kesultanan Cirebon,
setidaknya pada dekade akhir abad ke-18 Masehi hingga dekade awal abad ke-19 Masehi.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Ahmat. Letters of Sincerity: The Raffles Collection of Malay Letters (1780-1824) A Descriptive
Account with Notes and Translation. Kuala Lumpur: The Malaysian Branch of the Royal
Asiatic Society. 2009.
Atja. "Menjelang Penetapan Hari Jadi Pemerintahan Kabupaten Cirebon". Laporan Penelitian.
Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon. 1988.
Baried, Siti Baroroh, et al. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1985.
Breman, Jan. Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa, Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di
Jawa, 1720-1870. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2014.
Chijs, J. A. van der. Plakaatboek, 1602-1811. Twaalfde Deel (1795-1799). Batavia/’S Hage:
Landsdrukkerij/M. Nijhoff. 1894.
Fathurahman, Oman. 2015. Filologi Indonesia: Teori dan Metode. Jakarta: Prenadamedia Group. 1897.
Fernando, M. Radin. "Sebuah daftar masa lalu terkait desa, kepala desa, rumah tangga, upeti dan
penghasilan di Priangan, Jawa Barat, 1686". Dalam Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia
dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia. 2013.
Gallop, Annabel Teh. The Legacy of The Malay Letter (Warisan Warkah Melayu). London: British
Library. 1994.
Haan, Frederik de. Priangan: De Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811.
Derde Deel. Batavia: Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. 1912.
______________. “Personalia der Periode van het Engelsch Bestuur over Java 1811-1816.” Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 92., No. 1 (1935): 477–681.
Hazmirullah. "Surat Balasan Sultan Sepuh VII Cirebon untuk Raffles: Kajian Strukturalisme Genetik".
Metasastra, Vol. 9., No. 2 (2016): 211–224.
__________. "Surat-surat Thomas Stamford Raffles dan Sultan Sepuh VII Cirebon: Edisi Teks,
Makna Posisi Cap, dan Gambaran Kondisi Sosial Politik Tahun 1810-1812". Bandung:
Universitas Padjadjaran. 2017
__________. "Pemberontakan Pangeran Arya Kidul dan Serangan Prancis Terhadap Belanda Dalam
Surat Gubernur Jenderal VOC Tahun 1793". Dalam Mengungkap Selaksa Makna yang
Terpendam Dalam Budaya Nusantara, 285–297. Bandung: Raness Media Rancage. 2018.
__________. "Sistem Peradilan di Pulau Jawa pada Masa Pemerintahan Inggris (1811-1816) Dalam
Naskah Kitab Hukum Raffles". Bandung: Universitas Padjadjaran. 2019.
Hazmirullah, Titin Nurhayati Ma’mun, dan Undang Ahmad Darsa. "Surat-surat Tengku Pangeran
Siak: Sebuah Reportase Perjalanan untuk Raffles". Manuskripta, Vol. 6., No. 1 (2016): 67–91.
Hoadley, Mason C. Islam dalam Tradisi Hukum Jawa & Hukum Kolonial. Yogyakarta: Graha Ilmu.
2009.
Holle, K.F. "Geschiedenis der Preanger-Regentschappen". Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en
Volkenkunde, Deel XVII, 316–367. Batavia/’s Hage: Lange & Co/M. Nijhoff,. 1869.
Jonge, JKJ de. De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indie, VII. ’S
Gravenhage/Amsterdam: Martinus Nijhoff/Frederik Muller. 1873.
Klein, Jacob Wouter de. Het Preangerstelsel (1677-1871) en Zijn Nawerking. Delft: N.V. Technische
Boekhandel en Drukkerij J. Waltman Jr. 1931.
Lubis, Nina H. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan
Sunda. 1998.
____________. "Galuh (Ciamis)". Dalam Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, 9–26. Bandung:
Alqaprint,. 2000.
Putten, Jan van der, dan Al Azhar. Dalam Berkekalan Persahabatan: Surat-surat Raja Ali Haji kepada
Von de Wall. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2006.
Rees, Otto van. "Overzigt van de Geschiedenis der Preanger-Regentschappen". Verhandelingen van
het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Deel XXXIX. Batavia/’s Hage:
W. Bruining & co/M. Nijhoff. 1880.
Sweeney, Amin. Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi Jilid 3: Hikayat Abdullah. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia. 2008.
Tim Balai Bahasa Yogyakarta. Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). II. Yogyakarta: Kanisius. 2011.