Resume SPM Compile
Resume SPM Compile
Resume SPM Compile
a. Behavior constrains
Membuat sulit employee sulit melakukan kegiatan yang tidak seharusnya dilakukan (fisik atau administratif)
contoh physical constraint: password computer, pembatasan akses ruangan.
contoh administratif constraint: hak mengeluarkan check, pembatasan wewenang
menjawab isu motivational problem
b. Preaction reviews
Penelitian atas rencana dari employee yg dikendalikan
Contohnya review anggaran, dapat menjawab tiga 3 isu control problem
c. Action accountability
Membuat employee bertanggung jawab atas tindakan/kegiatan yang diambilnya
Penentuan tindakan => mengkomunikasikan tindakan => tracking => reward/punishment
dapat menjawab tiga 3 isu control problem
d. Redundancy
Penugasan beberapa employee untuk melakukan penugasan yg sama dengan harapan meningkatkan
kemungkinan tugas dapat terpenuhi dgn memuaskan
Dapat menjawab isu lack of motivation dan personnel limitation
Hampir semua action control preventif, kecuali action accountalibility selain preventif juga detektif
a. Organisasi dapat menentukan tindakan apa yang diinginkan dan/atau tidak diinginkan
b. Organisasi dapat memastikan bahwa kegiatan yang diinginkan atau kegiatan yang tidak diinginkan terjadi
Pengetahuan mengenai kegiatan yang diinginkan (SOP. Kebijakan) tidak cukup untuk menjamin good control tetapi
harus disertai langkah untuk meyakinkan (observe / tracking) bahwa kegiatan tersebut terjadi
Action control dan result control punya kelebihan dan kendala, sehingga perlu menerapkan personal dan cultural
control. Personal dan cultural control memotivasi employee untuk mengendalikan perilaku dirinya sendiri
Keunggulan:
kelemahan:
People control: memastikan pegawai mengendalikan diri sendiri (personnel control) dan memastikan pegawai
saling mengendalikan satu sama lain (cultural control)
personnel control: membangun kecenderungan alami employee untuk mengendalikan dan atau memotivasi dirinya
sendiri, karena pada dasarnya kebanyakan orang:
metode ini umumnya tentang mendapatkan orang yang tepat, memberinya lingkungan kerja yang baik, dan sumber
daya yang diperlukan.
3 metode utama:
cultural control: memastikan terciptanya mutual monitoring (saling memonitor), sehingga bisa menjadi group
pressure bagi employee yang menyimpang dari norma dan nilai organisasi
Culture dibangun atas dasar tradisi, norma, keyakinan, nilai, ideology, kakter dan cara berprilaku bersama
culture organisasi bertahan untuk jangka waktu yang lama, sementara goal dan strategi bisa berubah
akan mengurangi ego sectoral, employee akan memahami masalah yang dihadapi oleh employee dari bagian
lain , juga dapat mengurangi fraud.
Menggunakan seragam, layout ruangan, interior décor juga dapat membantu membentuk kultur
Keberhasilan code of conduct dalam menunjang cultural control harus diikuti dengan tone from the top
Group reward masuk cultural control bukan result control karena hubungan antara kinerja per employee dengan
rewards sangat lemah. Esensinya group reward itu mutual monitoring
- harus selalu ada sampai batas waktu tertentu (awal perusahaan berdiri kita akan bersandar pada orang)
-lebih murah
People control saja tidak cukup, harus didukung oleh action control dan results controls (maknanya, kita tidak
boleh 100% percaya sama orang)
Tingkat efektivitas dari personnel/ cultural control dapat berbeda secara significant untuk individu, group, dan
masyarakat
Manfaat dari setiap management control system diperoleh dari adanya peningkatan kemungkinan bahwa
tujuan perusahaan bisa dicapai relatif terhadap ekspektasi apabila management control system tidak
diterapkan. Manfaat ini dapat dijelaskan dalam hubungannya dengan ketatnya atau longgarnya pengendalian
(MCS tightness or looseness), karena semakin ketat MCS akan dapat memberikan tingkat kepastian yang lebih
tinggi bahwa para pegawai akan bertindak seperti yang diharapkan organisasi. Seberapa ketat management
control diterapkan merupakan keputusan utama manajemen.
Konsep pengendalian yang ketat secara pasti dapat diterapkan pada result controls. Sebagai contoh, result
controls yang ketat dapat diterapkan terhadap kinerja-kinerja penting melalui review budget yang rinci (line
by line) dengan periode yang lebih pendek (bulanan). Namun demikian, masih banyak cara lain yang dapat
mempengaruhi terhadap ketatnya management control. secara konseptual, penerapan ketatnya pengendalian
yang efektif memerlukan pengetahuan manajemen yang memadai tentang bagaimana obyek pengendalian
(result, action, atau personnel/cultural controls) berhubungan dengan tujuan organisasi secara keseluruhan.
1. Tight Result Controls
Pencapaian result controls yang ketat bergantung kepada karakteristik dari definisi desired result areas,
performance measures, dan reinforcements provided.
Agar management control dianggap sebagai result control system yang ketat, maka dimensi hasil (result)
harus selaras (congruent) dengan tujuan organisasi; Target kinerja (performance target) harus spesifik, dengan
umpan balik (feedback) dalam waktu yang singkat; Hasil yang diinginkan harus secara efektif
dikomunikasikan dan diinternalisasi kepada siapa saja yang perilakunya sedang dikendalikan; dan jika result
control digunakan secara terpisah dari yang lain (exclusive), pengukuran-pengukurannya harus lengkap.
• Congruence
Keselarasan (congruence) merupakan salah satu faktor utama dari result controls yang efektif.
Result control systems bisa mendapat masalah pada keselarasan, karena para manajer tidak memahami
secara baik tujuan organisasi yang sebenarnya, atau dimensi kinerja (performance dimension) yang
dipilih para manajer untuk diukur hasilnya, tidak mencerminkan tujuan organisasi secara baik.
Di banyak organisasi (khususnya not-for-profit organization), tidak boleh berasumsi bahwa
setiap pegawai dan masyarakat memiliki pemahaman yang baik tentang tujuan organisasi sehingga
congruence dapat tercipta. Banyak masyarakat yang tidak sependapat dengan tujuan organisasi,
apakah lebih mengutamakan pelayanan, atau menekan biaya, atau mengurangi beban pajak.
• Specificity and timeliness
Result control yang ketat juga bergantung kepada apakah organisasi memiliki target kinerja
(performance targets) yang digambarkan dengan terminologi yang spesifik dalam jangka waktu
tertentu. Contoh : $2.21 labor cost per unit of production, 15% return on assets per year, atau less than
1% customer complaints.
• Communication and Internalization
Result control yang ketat juga memerlukan komunikasi dan internalisasi yang efektif mengenai
target-target kinerja (performance targets) kepada siapa saja yang memiliki beban untuk
pencapaiannya. Sejauh mana komunikasi dan internalisasi ini dapat memberikan pemahaman
mengenai tujuan organisasi dimaksud, sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kualifikasi
pegawai, jumlah pegawai yang berpartisipasi dalam proses penetapan tujuan organisasi, tingkat
keterkendalian, serta kelayakan dari tujuan. hasil internalisasi relatif akan rendah, ketika para pegawai
meyakini bahwa tujuan tidak akan tercapai, ketika mereka memiliki pertimbangan bahwa hasil yang
diinginkan tidak dapat dikendalikan, atau ketika para pegawai tidak dirkenankan untuk berpartisipasi
dalam menyusun tujuan organisasi.
• Completeness
Completeness merupakan persyaratan terakhir bagi result control yang ketat. Persyaratan ini akan
berpengaruh pada penerapan result control secara eksklusif dan tidak diterapkan secara luas.
Completeness mengandung arti bahwa area-area hasil (result areas) yang didefinisikan di dalam MCS
adalah area-area yang diharapkan memiliki kinerja baik serta para pegawai yang terlibat dapat
memberikan pengaruhnya. area-area yang tidak diukur menjadi kurang nyata atau tidak nyata sama
sekali. Sebagai contoh, manajer pengadaan yang kinerjanya hanya untuk memenuhi standar biaya,
maka ia boleh mengabaikan kualitas, karena kualitas bahan bukan merupakan kinerja yang tidak
diukur dan kurang nyata.
b. Measurement of Performance
Result control yang ketat juga bergantung kepada efektivitas dari pengukuran kinerja. Result control
sangat mengandalkan kepada pengukuran yang cermat (precise), obyektif (objective), tepat waktu (timely),
serta dapat dimengerti (understandable). Result control system yang diterapkan secara ketat memerlukan
kualitas yang sangat baik di seluruh pengukurannya. apabila pengukuran tersebut gagal dilakukan di salah
satu area saja, maka control system tidak memiliki karakteristik yang ketat, sebab masalah perilaku mungkin
terjadi.
c. Rewards or Punishments
Result controls cenderung akan semakin ketat apabila rewards (atau punishments) dikaitkan secara
langsung (directly) dan pasti (definitely) kepada pencapaian (accomplishment) atau ketidakcapaian (non-
accomplishment) kinerja para pegawai yang terlibat untuk meraih tujuan organisasi. Keterkaitan secara
langsung (direct link) di sini mengandung arti bahwa hasil (results) diterjemahkan secara otomatis ke dalam
rewards atau punishment, tanpa bantahan atau ambigu. Keterkaitan secara pasti (definite link) antara results
dan rewards mengandung arti bahwa tidak ada pengecualian yang ditolerir.
Sistem yang digunakan untuk mengendalikan para pengemudi di united parcel service (UPS) memberikan
contoh yang baik sebagai result controls yang ketat. UPS membayar gaji yang baik dan mendorong para
pengemudinya untuk bekerja keras. Manajemen membandingkan kinerja setiap pengemudi ( berapa miles,
berapa banyak hantaran, berapa banyak pengambilan barang), setiap hari dengan proyeksi kinerja yang
diharapkan secara terkomputerisasi. Para pengemudi yang tidak dapat memenuhi standar, diberi tugas bersama
supervisor untuk memberikan masukan dalam upaya penyempurnaan, dan bagi mereka yang tetap tidak dapat
memperbaiki kinerjanya dapat diberikan peringatan, diberhentikan sementara, dan bahkan diberhentikan
secara tetap.
Behavioral constraints, baik bersifat fisik maupun administratif, dapat menghasilkan pengendalian
yang ketat di beberapa area organisasi. Physical constraints hadir dalam berbagai bentuk dari mulai yang
sederhana seperti mengunci meja kerja sampai kepada bentuk perangkat lunak komputer dan sistem
pengamanan elektronik. Pengendalian yang diterapkan oleh sebagian besar bank di area lemari besi adalah
contoh yang baik dari control system yang ketat, memperlihatkan sebagain besar penerapan physical
constraints. Demikian pula halnya, administrative constraints dapat menciptakan pengendalian yang ketat.
Pembagian tugas yang sensitif kepada beberapa pegawai dapat mengurangi kegiatan yang membahayakan,
dan oleh karena itu pengendalian dapat dikatakan lebih ketat.
b. Preaction Reviews
Preaction reviews dapat menyebabkan MCS lebih ketat jika review dimaksud dilaksanakan secara
sering dan rinci, serta dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan dan tekun. Preaction reviews yang
ketat biasanya diterapkan terhadap kegiatan yang menggunakan alokasi sumber daya yang besar, sebab
banyak investasi yang tidak dengan mudah dikembalikan, dan tentunya dapat mempengaruhi keberhasilan
atau kegagalan usaha organisasi. Preaction reviews yang ketat termasuk di dalamnya adalah penelitian yang
cermat dan seksama terhadap business plans serta penelaahan yang teliti dan dilakukan secara berjenjang
untuk permintaan modal.
c. Action Accountability
Action accountability yang ketat dipengaruhi oleh hal-hal yang relatif sama dengan yang
mempengaruhi result controls. Jumlah pengendalian yang dihasilkan oleh action accountability bergantung
kepada karakteristik dari definisi desirable (atau undesirable) actions, efektivitas dari action-tracking system,
dan penyiapan reinforcement (rewards atau punishments).
• Definitions of actions
Untuk mempengaruhi pengendalian yang ketat, definisi dari actions pada action accountability control
system harus selaras (congruent), spesifik, dikomunikasikan dengan baik, dan paripurna
(complete). Keselarasan (congruence) mengandung arti bahwa kinerja dari tindakan yang
didefinisikan di dalam control system tentu saja mengarah ke pencapaian tujuan organisasi yang benar.
Spesifik berarti mendefinisikan perilaku-perilaku yang diharapkan dalam bentuk work rules (seperti
dilarang merokok), atau specific policies (seperti kebijakan untuk mendapatkan 3 penawar sebelum
diterbitkannya order pembelian) secara khas, dan tidak bersifat umum atau kabur (seperti kode etik –
bertindak profesional). Mengkomunikasikan dengan baik mengenai action yang didefinisikan juga
akan mempengaruhi action control yang ketat. Dengan komunikasi yang baik diharapkan para pegawai
yang perilakunya sedang dikendalikan akan memiliki pemahaman (understanding) serta memberikan
dukungan (acceptance) terhadap seluruh action dimaksud. Keparipurnaan (completeness)
mengandung arti bahwa seluruh tindakan penting yang acceptable dan unacceptable didefinisikan
dengan baik.
• Action tracking
Pengendalian pada action accountability control system juga dapat menjadi lebih ketat dengan cara
meningkatkan efektivitas action-tracking system. Para pegawai yang tindakannya selalu diperhatikan
cenderung akan bekerja lebih keras dibanding dengan mereka yang kesempatan untuk diawasinya
kecil. Pengarahan langsung (direct supervision) secara konstan adalah slah satu metode dari action-
tracking yang ketat. Audit atas action reports yang rinci, review dari expense reports yang rinci adalah
contoh-contoh lain dari action-tracking yang ketat.
• Rewards or punishments
Pengendalian juga dapat lebih ketat dengan membuat rewards atau punishments lebih signifikan bagi
pegawai yang dikendalikan.
Cara perusahaan penerbangan komersial melakukan pengendalian kepada para pilot merupakan
contoh yang baik dari penerapan action accountability control system yang ketat. Para pilot diberikan
checklist dari seluruh tindakan yang diperlukan secara terinci, tidak hanya pada operasi normal tetapi juga
dalam situasi darurat (seperti mesin mati, kebakaran dalam penerbangan, dan pembajakan). Training yang
intensif dapat membantu untuk meyakini bahwa prosedur-prosedur dipahami, serta pengecekan dan
pemutakhiran yang sering dapat membantu para pilot untuk mengingatnya dalam memori. Kemudian,
penyelidikan (tracking) dari setiap tindakan yang menyimpang secara cermat dan tepat waktu harus dilakukan
oleh investigator secara sungguh-sungguh. Terakhir, reinforcements kepada pilot yang melanggar juga perlu
ditegakan.
Prosedur pengadaan di beberapa instansi pemerintah juga merupakan contoh dari action control yang
ketat. Prosedur pengadaan mengharuskan para kontraktor/pemasok untuk mengajukan penawaran secara
tertulis baik mengenai harga maupun peryaratan lainnya yang diperlukan, untuk kemudian diseleksi oleh
panitia pengadaan.
Personnel/cultural control yang ketat juga hadir di beberapa organisasi bisnis. Pada perusahaan
keluarga yang relatif kecil (small family-run business), individual personnel controls mungkin akan sangat
efektif, sebab individu-individu (anggota keluarga) dan keinginan-keinginan organisasi saling melengkapi.
Beberapa perusahaan menerapkan bentuk personnel/cultural controls yang berlapis yang dapat
memberikan pengaruh kepada pengendalian yang ketat. Sebagai contoh, pengendalian yang diterapkan pada
area produksi oleh Wabash National Corporation, perusahaan pembuat truck-trailer, antara lain :
Walk and talk interviews di mana para pelamar diminta untuk mengamati ‘suasana pabrik yang hingar
bingar’
Required training
Dalam banyak kasus, tingkat pengendalian dari personnel/cultural control kurang begitu ketat.
Sebagai contoh, di banyak produsen migas terdapat tradisi yang sudah berjalan lama berupa kepercayaan
(trust) bahwa para pegawai dapat memelihara pengendalian yang teliti (strict). Salah satunya adalah Mitchell
Energy, tidak pernah melakukan audit terhadap para pemasoknya dan jarang meminta penawaran yang
tertutup. Pada saat para pegawai diketahui melakukan suap-menyuap yang sudah berjalan cukup lama, reaksi
pengacara perusahaan hanyalah: “W e trusted the employees. We thought everyone would be too proud of the
company to do something like that.”
• Specific
• Congruent
• Precise
• Objective
• Timely
• Understandable
Restrictive
Detailed
• Pada result controls, behavioral displacement terjadi ketika organisasi mendefinisikan perangkat-
perangkat pengukuran hasil (result measures) tidak selaras dengan tujuan organisasi sebenarnya. Hal ini
terjadi karena :
Poor understanding of the desired results, and incomplete specification, yaitu lemahnya pemahaman
(poor understanding) para manajer terhadap hasil yang diinginkan (desired results) atau mereka terlalu
bergantung kepada hasil-hasil yang terukur dengan mudah (over-rely on easily quantified results).
Contoh:
✓ Rewards are based on the patens filled; ketika perusahaan memberikan penghargaan kepada para
peneliti berdasarkan jumlah patent yang didaftarkan, mereka cenderung untuk berusaha
meningkatkan jumlah patent yang didaftarkan. Insentif seperti ini hanya dapat menghasilkan
penambahan jumlah patent yang banyak, yang pada akhirnya tidak meningkatkan perhatian para
peneliti terhadap temuan-temuan yang berhasil secara komersial.
✓ Sales volumes instead of profits; pada saat perusahaan menentukan kuota penjualan bulanan,
para petugas penjualan cenderung untuk bekerja dengan cara menjual yang paling mudah (asal
terjual), dan tidak menjual dengan cara yang paling menguntungkan atau dengan prioritas
tertinggi.
✓ Sebagaimana diilustrasikan di atas, mengandalkan kepada result control tanpa spesifikasi yang
lengkap atas desired result dapat menimbulkan biaya yang sangat mahal. Apabila organisasi
menggunakan berbagai indikator result, para pegawai yang sedang dikendalikan harus memiliki
pemahaman yang lengkap atas adanya trade-off dari indikator-indikator dimaksud. Apabila
pentingnya berbagai faktor result ini tidak dinyatakan secara eksplisit, para pegawai mungkin tidak
akan mengalokasikan segala upayanya secara layak, dan hasilnya tidak akan optimal.
Over-quantification: focus solely on quantifiable measures, yaitu kecenderungan untuk
berkonsentrasi kepada masalah-masalah yang konkrit dan dapat dikuantifikasi, dibandingkan dengan
konsep-konsep yang tidak berwujud (intangible) tetapi mungkin lebih penting. Contoh:
✓ Target IKU yang hanya terkait dengan kuantitatif yaitu berdasarkan “jumlah”, tanpa melibatkan
kualitatif.
• Pada action controls, behavioral displacement terjadi ketika organisasi mendefinisikan perangkat-
perangkat pengukuran hasil (result measures) tidak selaras dengan tujuan organisasi sebenarnya. Hal ini
terjadi karena:
Means-ends inversion, para pegawai lebih memperhatikan apa yang mereka kerjakan (the means)
dan mengabaikan apa yang harus dicapai (the ends).
✓ Contoh: manajer cenderung untuk melakukan pembelian dengan memecah pembelian sesuai
dengan kewenangan yang dimiliki, padahal kalau membeli dalam jumlah besar akan bisa
mendapatkan harga yang lebih baik.
Incongruence of action sets; Rangkaian tindakan yang didefinisikan tidak selaras dengan tindakan
yang diinginkan organisasi, sehingga hasil yang optimal tidak dapat diharapkan.
✓ Contoh: menerapkan kebijakan untuk membatasi waktu telepon di customer service. Petugas
customer service yang berbicara lebih dari 13 menit tidak akan menerima bonus bulanan. Tidak
heran apabila para petugas customer service berupaya agar para pelanggan menutup telepon
kurang dari 13 menit, seperti berpura-pura line telepon rusak atau sibuk. Akibatnya tingkat
kepuasan pelanggan atas pelayanan gateway turun secara dramatis.
Rigid, non-adaptive, bureaucratic behavior; beberapa action control mungkin berguna pada satu
waktu dalam membuat perilaku employee lebih konsisten, tetapi seiring berjalannya waktu
pengendalian tersebut tidak mendorong karyawan untuk berpikir tentang bagaimana mereka dapat
melakukan pekerjaan mereka dengan lebih baik, dan ketika lingkungan berubah, pengendalian
tersebut menghambat kemampuan karyawan untuk melihat perubahan dan bereaksi terhadapnya.
Dengan kata lain pengendalian tersebut membuat karyawan menjadi kaku, perilaku non adaptif, yang
umumnya terkait dengan birokrasi.
• Pada personnel control, behavioral displacement terjadi ketika perusahaan menerima pegawai yang
salah untuk jenis pekerjaan tertentu atau menyiapkan training yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
• Pada cultural control, budaya yang kuat juga dapat mengakibatkan displacement yaitu:
apabila norma-norma yang diterapkan di dalam kelompok, atau pengukuran untuk menentukan
group-based reward tidak sejalan dengan keinginan organisasi.
✓ Contoh: banyak organisasi beroperasi dengan keyakinan bahwa ilmuwan penelitian sangat
profesional dan akan mengendalikan diri mereka lebih baik daripada yang dapat dilakukan
organisasi dengan menerapkan kontrol formal. Untuk sebagian besar, ini mungkin benar, tetapi
banyak ilmuwan penelitian akan termotivasi untuk memperoleh paten atau menerbitkan studi di
area di mana masing-masing berkontribusi pada reputasinya, tetapi memiliki sedikit atau tidak ada
aplikasi secara langsung untuk organisasi mereka.
diterapkan di dalam lingkungan yang salah, sehingga menjadi tidak efektif dan mendorong perilaku
yang tidak diharapkan.
✓ Contoh: Ketika Levi’s ingin meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya, karena timbul
masalah pekerja yang terluka, yang mendorong untuk membuat tujuan kerja sama, maka pekerjaan
berubah menjadi kerja tim, yang menurut Levi’s akan lebih manusiawi, aman, dan menonjol sebagai
contoh untuk standar tempat kerja di industri yang kondisi kerjanya terkenal buruk. Piecework
system yang lama - di mana seorang pekerja berulang kali melakukan satu tugas khusus (seperti
memasang kantong) dan dibayar berdasarkan jumlah pekerjaan yang diselesaikan – sekarang
ditinggalkan dan diganti oleh tim yang terdiri dari 10 hingga 35 pekerja yang berbagi tugas dan
dibayar sesuai dengan jumlah total celana yang diselesaikan kelompok. Namun, sifat pekerjaan di
Levi's mungkin tidak cocok untuk kerja tim. Pembuatan garmen terdiri dari serangkaian tugas
khusus (misalnya membuat saku). Kecepatan dalam menyelesaikan tugas-tugas ini berhubungan
langsung dengan keterampilan pekerja termasuk gerakan berulang dalam menjahit kain. Beberapa
pekerja jauh lebih cepat daripada yang lain. Meskipun kerja tim diharapkan dapat mengurangi
monoton, memungkinkan pekerja untuk melakukan tugas yang berbeda dan mengurangi terjadinya
cedera secara berulang, tetapi dirasa terdapat kegagalan. Ketika pekerja terampil diadu melawan
rekan kerja yang lebih lambat, upah pekerja yang mempunyai kinerja tinggi menjadi turun,
sedangkan pekerja dengan keterampilan lebih rendah malah naik. Ini tidak hanya menghilangkan
saving untuk Levi’s tetapi juga menyebabkan pertikaian di antara rekan kerja. Pekerja yang kerjanya
lebih cepat mencoba mengusir yang lebih lambat. Semangat rusak, efisiensi menurun, dan tenaga
kerja dan biaya overhead melonjak. Meskipun Levi’s memiliki niat untuk tetap menerapkan konsep
kerja tim dan mencoba membuatnya bekerja, orang-orang di pabrik secara bertahap kembali ke
cara lama dalam melakukan sesuatu. Konsepkerja tim sepertinya tidak sesuai dengan konteksnya.
• Solusi dari masalah behavioral displacement; mengenali masalah dan mendiagnosis sebab-sebab secara
cepat dan akurat adalah kunci untuk mengurangi masalah-masalah behavioral displacement. Proses ini
memerlukan pemikiran apakah terdapat perbedaan antara apa yang harus dilakukan oleh para pegawai
dengan apa yang sistem pengendalian harapkan dari mereka. Apabila masalah displacement terjadi/ada
maka beberapa solusi bisa dipertimbangkan, tergantung penyebabnya.
✓ Contoh: Terkait displacement di mana para petugas penjualan mengabaikan untuk menyiapkan
persediaan dan menata barang dagangan, para manajer secara sederhana dapat mengambil kebijakan
berupa pemberian penghargaan untuk penyediaan dan penataan barang dagangan yang rapi kepada
para petugas penjual, disamping pemberian penghargaan atas pencapaian penjualan. Alternatif
lainnya, para manajer mungkin dapat meredefinisi areas of responsibility (organization structure),
sehingga area penjualan menjadi independen secara penuh. Kemungkinan ketiga yang dapat dilakukan
adalah diterapkannya pengendalian tambahan lainnya atas result-oriented control ini. Action control,
dalam bentuk aturan kerja atau pengarahan langsung (direct supervision) dapat digunakan untuk
menjamin adanya persediaan dan penataan barang dagangan yang rapi. Demikian pula halnya dengan
pengendalian tambahan berupa personnel control, perusahaan dapat menyelenggarakan training yang
dapat mebantu para petugas penjual untuk memahami pentingnya persediaan dan penataan barang
dagangan secara rapi.
3. Gamesmanship
Arti gamesmanship digunakan untuk menunjukkan berbagai tindakan yang diambil oleh para pegawai
dimaksudkan untuk meningkatkan indikator kinerja tanpa menghasilkan pengaruh ekonomis secara positif.
Gamesmanship adalah side effect yang membahayakan yang timbul dari penerapan bentuk accountability
control (baik result control maupun action accountability control). Terdapat dua bentuk utama dari
gamesmanship antara lain:
Creation of slack resources, meliputi penggunaan sumber-sumber daya organisasi oleh para pegawai
melebihi dari apa yang diperlukan, yakni penggunaan sumber-sumber oleh para pegawai yang tidak dapat
dibenarkan dihubungkan dengan kontribusinya terhadap tujuan organisasi. Hal ini menyangkut taktik
yang direspon oleh para pegawai agar MCS tidak merugikan mereka. Penciptaan slack sering terjadi ketika
result controls yang ketat diterapkan, yakni ketika para pegawai (kebanyakan pada management
organization leves) dievaluasi terutama apakah mereka telah atau tidak mencapai target yang
dianggarkan. Para manajer yang tidak dapat memenuhi target kemungkinan besar pekerjaannya akan
diintervensi, kehilangan sumber daya organisasi, kehilangan bonus tahunan dan kenaikan gaji, serta dapat
pula kehilangan pekerjaan. Dalam situasi seperti ini, para manajer berupaya mencari jalan untuk
melindungi dirinya dari risiko tidak tercapainya target yang dianggarkan dan stigma yang melekat berupa
sebagai under-achievers. Salah satu cara agar para manajer tidak dirugikan oleh result control yang ketat
ini ialah dengan menegosiasikan target yang kemungkinan besar dapat dicapai (highly achievable
targets), yaitu lebih rendah dari target berdasarkan prakiraan yang terbaik (best forecast). Ini adalah
apa yang disebut dengan budget slack, yang dapat melindungi para manajer dari kemungkinan-
kemungkinan yang tidak dapat diperkirakan dan meningkatkan kemungkinan bahwa target dapat dicapai,
sehingga memungkinkan untuk diperolehnya penilaian yang menguntungkan.
• Pengaruh positif slack: mengurangi ketegangan, meningkatkan ketahanan organisasi terhadap
perubahan, dan memungkinkan tersedianya sumber-sumber daya bagi inovasi.
• Pengaruh negatif slack: adanya ketidakefisienan dalam alokasi sumber daya, dan konsekuensinya
adalah operating performance yang inferior. Slack juga dapat mengakibatkan adanya distorsi
informasi, yang membuat kesulitan untuk memisahkan operating performance utama yang benar dari
penggunaan sumber daya yang berlebihan.
4. Data manipulation
upaya dari sebagian pegawai yang dikendalikan agar ‘terlihat bagus (look good)’ dengan cara
memalsukan (fudging) indikator-indikator pengendalian. Hal ini dapat dilakukan dengan du acara,
yaitu:
• Falsification (pemalsuan): menyangkut pelaporan data yang keliru.
• Data management (manajemen data): berkaitan dengan tindakan yang dirancang untuk mengubah
hasil (results) yang dilaporkan (seperti sales, earnings, atau debt/equity ratio), padahal tidak
menunjukkan keunggulan secara ekonomis terhadap organisasi, bahkan kadang-kadang
membahayakan. Data manajemen dapat dicapai melalui dua metode, antara lain:
✓ Accounting methods: melibatkan intervensi dalam proses pengukuran. (e.g., reserves, write-offs,
ubah angka atau depresiasi data untuk memanipulasi seperti penjualan meningkat)
✓ Operational methods: melibatkan perubahan keputusan operasi. (e.g., delaying expenses,
menunda biaya atau menjual banyak dalam waktu singkat untuk meningkatkan laba)
5. Operating delays
Penundaan kegiatan (operating delays) sering menjadi konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan dalam
penerapan preaction review types of action controls dan beberapa bentuk dari behavioral constraints.
Umumnya bersifat minor. Namun demikian, penerapan sistem pengendalian yang lain dapat menyebabkan
munculnya penundaan (delay) yang besar.
Behavioral constraint, diakibatkan oleh terbatasnya akses ke gudang persediaan, atau perlunya
memasukkan password sebelum menggunakan computer system.
Preaction review, diakibatkan oleh terlambatnya persetujuan dari pimpinan. Misalnya proses
persetujuan atas peluncuran produk baru yang memakan waktu lama akan merugikan perusahaan,
karena bisa saja ada kompetitor yang lebih dulu mengeluarkan produk baru.
Oleh karena itu diperlukan tindakan yang cepat, karena di berbagai industri, penundaan (delay) seperti di
atas sangat mahal. Penundaan (delay) adalah sebab utama dari konotasi negatif yang berkaitan dengan
istilah “birokrasi”. Dalam organisasi yang menerapkan dan menekankan action control, akan memiliki
konsekuensi birokratis sehingga kemungkinan terjadi operating delays.
6. Negative Attitudes
Sekalipun dirancang dengan baik, seperangkat pengendalian yang diterapkan dimaksud kadang-kadang
dapat mengakibatkan pengaruh negatif terhadap perilaku (attitudes), termasuk ketegangan kerja (job
tension), konflik, frustasi, dan resistensi. Penyebab dari perilaku negatif sangatlah kompleks, dan mungkin
ditimbulkan oleh berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, struktur organisasi, dan proses administrasi. Are
often coincident with many harmful behaviors, such
as, gaming, lack of effort, absenteeism, turnover, etc.
Action control, often “annoy” professionals, but also lower-level personnel. Kebanyakan orang,
khususnya para profesional, bereaksi secara negatif terhadap penerapan action controls. Preaction
reviews dapat mengakibatkan frustasi jika para manajer yang sedang direview tidak merasa bahwa review
dimaksud merupakan bagian dari tujuan yang bermanfaat. Sometimes difficult to avoid: e.g., it is difficult
for people to enjoy following a strict set of procedures for a long period of time.
Results controls, penyebabnya adalah:
✓ Lack of employee commitment to the performance targets; targets are too difficult, not meaningful,
not controllable. Kurangnya komitmen dari para pegawai terhadap target kinerja yang ditetapkan di
MCS. Kebanyakan pegawai yang tidak memiliki komitmen tersebut menganggap bahwa target
dimaksud terlalu sulit, tidak bermakna, tidak dapat dikendalikan, tidak bijaksana, tidak legal, atau
tidak etis.
✓ Performance evaluations are perceived as being unfair; berasal dari masalah dalam sistem
pengukuran. Adalah hal yang lazim untuk mendengarkan komplain dari para manajer yang evaluasi
kinerjanya tidak fair, karena mereka dimintai pertanggungjawaban untuk hal-hal yang mereka tidak
dapat atau sedikit dapat kendalikan. Contoh: keluh-kesah dari seorang middle manager: “Sungguh
sangat frustasi dievaluasi sebagai profit center ketika saya tidak memiliki pengendalian yang utuh
terhadap revenues”.
✓ Inequitable rewards; berkaitan dengan rewards (atau punishment) yang diimplementasikan dalam
MCS. Rewards yang tidak dirasakan secara sama, dan mungkin bisa dianggap sebagai punishment,
akan menimbulkan efek negatif.
Over-quantification
Means-ends inversion
Rigid, non-adaptive,
Behavioral bureucratic behavior
Displacement
Through accounting
Data manipulation
methods
Data management
Through operating
Preaction review
methods
Operating delays
Behavioral constraint
Lack of employees'
commitment to the
performance targets,
Negative Attitude immoral target
Measurement
system
produced by Result (performance
Control evaluations are
perceived as being
unfair so they
account for things
they cannot control)
Inequitable rewards
Pertanyaan dari teman-teman mahasiswa 8-01:
1. Bagaimana cara mengukur biaya lain yg susah diukur seperti contoh yang disebutkan yaitu
waktu pegawai untuk melakukan preaction review? Apakah bayaran lembur berdasarkan
waktu bisa dibilang sebagai perhitungan out of pocket atas biaya yg sulit untuk diukur
tersebut?
Jawab:
Honor merupakan salah satu bentuk atas biaya yang susah diukur, misalnya biaya untuk
melakukan preaction review. Karena untuk mengukur total biaya, kita harus menggunakan
full cost bukan hanya marjinal cost, dalam rangka untuk mempertimbangkan berapa kira-kira
biaya yang diperlukan untuk menerapkan sistem pengendalian manajemen maka
digunakanlah estimasi. Estimasi bisa didasarkan atas “akhir-akhir umumnya berapa sih?”. Jika
di sektor pemerintahan terdapat aturan untuk besaran pembayaran honor. Untuk
mengukurnya biasanya menggunakan ukuran orang, bukan ukuran dari pengalaman kerja di
tempat lain.
2. Salah satu yang menyebabkan negative attitudes dalam result control adalah pengukuran
kinerja tidak objektif, salah satu indikator untuk mendapatkan tunjangan kinerja tahunan di
DJBC berdasarkan nilai NKP K3, di mana nilai tersebut diperoleh dari capaian kinerja yang
terdapat dalam Kontrak Kinerja dan Nilai Perilaku. Dimana komponen nilai perilaku ini
berdasarkan penilaian subjektif dari atasan langsung. Terkadang, hal ini menyebabkan
penilaian menjadi tidak objektif (tergantung atasan suka dgn kita/tidak dgn pegawai tersebut)
dan terdapat beberapa pegawai menjadi frustasi karena menurutnya dia sudah bekerja
dengan maksimal tetapi reward yang didapatkan justru lebih rendah dari pada orang yang
tidak berusaha dgn maksimal. Apakah hal tersebut merupakan salah satu dampak negatif dari
result control tsb? Apakah sebaiknya pengukuran atas result control tersebut perlu dirubah?
Jawab:
Kadangkala memang mau tak mau harus menggunakan pengukuran kinerja secara subjektif
apabila ada hal yang tidak bisa dinilai dengan kuantitatif, contohnya adalah perilaku yang
masih terdapat faktor like and dislike sehingga nantinya membuat pegawai tersebut menjadi
frustasi. Akibat penilaian perilaku yang dirasa subyektif, maka pegawai tersebut bisa saja
merasa termotivasi dengan berperilaku yang baik menurutnya sesuai yang diharapkan,
bahkan ada juga yang sebaliknya di mana pegawai tersebut menjadi apatis dan demotivasi.
Tetapi di Kementerian Keuangan untuk menilai perilaku harus 360 derajat, yaitu atasan,
bawahan dan peer, yang dimaksudkan agar penilaiannya menjadi lebih objektif. Jika penilaian
dirasa subyektif maka harus ada pegangannya, harus ada aturan yang mendasar, ada poin-
poinnya, misalnya “apa sih yang dilihat” seperti DP3. Lalu penilaian dari penilai, misalnya
“saya menilai ini...” harus disampaikan kepada pegawai yang dinilai, agar komponen
understandability tercapai.
3. Untuk operating delay pada sektor publik, contoh kegiatan penundaan yang besar dan
menimbulkan kerugian yang besar seperti apa? Mengingat sektor publik tidak memiliki
persaingan dengan “industri sejenis”.
Jawab:
Contohnya terkait masalah proyek, yang barangkali benar-benar dibutuhkan misalnya oleh
masyarakat kelas bawah. Sebagai gambaran, negara akan mengadakan proyek yaitu
memberikan bantuan kepada petani dalam negeri berupa pupuk. Dalam bertani terdapat
kaitannya dengan masa tanam dan masa panen. Jika proyek negara tertunda terus menerus
dan akhirnya terlewat maka tidak hanya merugikan petani saja, tetapi juga akan merugikan
negara. Imbasnya misalnya negara terpaksa harus impor dari luar negeri karena tidak bisa
men-supply hasil panen dari dalam negeri.
4. Terkait Behavioral displacement pada result control, Berarti apakah ini murni kesalahan
manajemen dan pegawai tidak bisa disalahkan?, mengingat kesalahan ada di ukuran hasil
yang ingin dicapai sedangkan pegawai hanya mengikuti ukuran tersebut. Lalu apakah
mungkin pegawai berperan mencegah kondisi ini?
Jawab:
Tergantung dari apa yang menyebabkan displacementnya. Jika manajer menetapkan target
terlalu tinggi sehingga menyebabkan employee merasa frustasi karena merasa tidak mungkin
bisa mencapai target tersebut, itu murni kesalahan manajer. Tetapi jika pegawai mempunyai
misi/motivasi lain yang tidak selaras (congruent) dengan perusahaan/organisasi sehingga
pegawai tidak mau melakukan kegiatan yang diharapkan perusahaan atau untuk bisa
mencapai target suatu kegiatan, pegawai tersebut sengaja meminta untuk menurunkan
target tetapi dimaksudkan untuk kepentingan dia sendiri, maka itu merupakan kesalahan
pegawai. Sistem dinyatakan berhasil atau gagal tergantung dari reaksi. Reaksi bisa salah
akibat adanya negative attitude yang bisa saja menimbulkan side effect lain, misal behavioral
displacement. Misalnya lagi marah, kesal, frustasi sehingga tidak termotivasi untuk
melakukan yang terbaik untuk organisasi.
5. Apakah mungkin ada tahap perencanaan untuk control costs ketika menyusun strategic
planning atau operational planning? Jadi mirip seperti budgeting di awal
Jawab:
Pada saat membuat strategic planning dan operational planning, asumsinya MCS bisa jalan
sesuai yang diharapkan. Pada saat menyusun MCS, kita sudah mempertimbangkan di awal,
bukan hanya out-of pocket saja, melainkan dampak-dampak negatif yang kemungkinan ke
depan akan timbul juga sudah dipertimbangkan.
6. Bagaimana jika biaya tidak langsung dari penerapan SPM lebih besar daripada biaya
langsungnya. Bagaimana organisasi menindaklanjuti hal tersebut? Apakah timbulnya biaya
tidak langsung ini merupakan indikasi bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil organisasi
dalam mengimplementasikan SPM kurang tepat?
Jawab:
Biaya-biaya (langsung dan tidak langsung akibat dampak-dampak negatif yang timbul) yang
dipertimbangkan pada saat dirancangnya MCS sebenarnya adalah biaya yang belum terjadi.
Pada saat MCS sudah berjalan kemudian yang terjadi yaitu biaya tidak langsung akibat
dampak-dampak negatif yang timbul melebihi biaya langsung, maka perlunya mengevaluasi
MCS itu sendiri (dilakukan revisi). Berhasilnya sistem adalah berdasarkan pada bagaimana
reaksi pegawainya, apakah perilaku pegawai yang kita kendalikan bisa sesuai dengan yang
kita kehendaki. Jika tidak sesuai yang dikehendaki berarti ada yang salah. Oleh karena itu,
ketidaksesuaian tersebut kita analisis salahnya di mana, kita evaluasi, lalu kita ambil tindakan
untuk melakukan perbaikan.
7. Terkait behavioral displacement pd result control, apakah penentuan IKU "jumlah" untuk
target sebenarnya kurang efektif? Karena kenyataannya di tempat kerja, pencapaian target
IKU ini hanya sekedar selesai saja.
Jawab:
Penentuan IKU memang seharusnya agak sedikit konkret, tidak hanya menyangkut kuantitas
tetapi juga kualitas. Jika hanya menyangkut kuantitas, orang hanya asal selesai saja. Padahal
yang kita inginkan sebenarnya adalah jumlahnya bisa tercapai, kualitasnya juga tercapai.
Maka dari itu IKUnya mesti ditambah tidak hanya menyangkut kuantitas, juga ditambahkan
IKU yang terkait dengan kualitas. Salah satu displacement akibat result control adalah orang
hanya fokus pada hal-hal yang bisa dikuantifisir. Padahal yang terkait dengan kualitas bisa jadi
memberikan dampak yang lebih besar bagi tujuan organisasi, tetapi karena susah untuk
dikuantifisir, makanya ditinggalkan.
9. Jika misal terdapat kasus mengenai PNS yg mengalami (mohon maaf) gangguan jiwa tetapi
masih tetap bekerja di kantor sehingga menghambat kemungkinan organisasi mencapai
tujuan, apakah itu juga termasuk behavior displacement pada personnel/cultural control?
Jawab:
Barangkali dilihat dulu apakah gangguan jiwanya pada saat sebelum PNS atau sesudah PNS.
Jika ternyata sudah mengalami sebelum PNS, maka terjadi kegagalan pada personnel control
pada saat melakukan rekruitmen (mendapatkan orang yang tidak sesuai dengan yang
dikehendaki) dan bisa termasuk behavioral displacement. Jika misalnya mengalami gangguan
jiwanya pada saat sudah menjadi PNS, perlu dilihat dulu faktor apakah yang menyebabkan
dia mengalami hal tersebut. Bisa jadi akibat di luar penugasan atau pada saat penugasan. Jika
karena penugasan maka termasuk displacement. Tapi yang jelas bahwa reaksinya sudah tidak
sesuai yang diharapkan organisasi, karena tidak bisa kita kendalikan (uncontrollable). Jika
sudah mengalami seperti itu maka perlu diambil tindakan avoidance misalnya dimasukkan ke
Rumah Sakit, atau tindakan radikal yaitu dikeluarkan.
10. Bagaimana tanggapan terkait dengan menghadapi SOP? bisa jadi suatu bagian tidak
menerapkan SOP secara untuh dengan pertimbangan lebih efisien namun di sisi lain dengan
adanya sertifikasi ISO pada kantor pelayanan kita dituntut untuk bekerja sesuai SOP.
Jawab:
SOP diperlukan agar yang pertama, pegawai mau melakukan kegiatan sesuai dengan yang
dikehendaki atau yang terbaik menurut organisasi. Yang kedua agar jejaknya bisa diikuti oleh
pegawai. Misalkan pegawai melakukan kegiatan tidak sesuai dengan SOP maka akan susah
untuk dinilai. Penilai akan kesusahan sebab tidak ada dasarnya, tidak bisa ditelusuri apakah
sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan. Jadi SOP bagi pegawai (yang bersangkutan)
adalah sebagai pedoman untuk melakukan, sedangkan bagi penilai adalah sebagai tolok ukur
dalam melakukan tracking atas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan pegawai yang dinilai.
Makanya kemudian ISO menuntut kita untuk bekerja sesuai SOP karena ISO mentracking
kegiatan yang kita dilakukan sesuai dengan ketentuan (mana buktinya jika dilakukan?).
11. Dalam sebuah birokrasi pada organisasi pemerintahan pasti muncul dampak negatif MCS
yaitu Operating Delay karena segala proses keputusan dan tindakan haruslah melewati
birokrasi. Jika ada seorang pegawai yang memotong jalur birokrasi dengan niat baik untuk
menghindari operating delay, maka tindakan dan keputusannya bisa jadi dipermasalahkan di
kemudian hari. Bagaimana birokrasi ini supaya tidak berdampak operating delay terlalu
besar?
Jawab:
Agar pegawai dianggap tidak menyalahi aturan, maka pegawai tersebut harus
memberitahukan dulu kepada orang yang dipotong sebelum pegawai tersebut memotong
jalur birokrasi. Dengan kata lain, harus meminta izin dulu kepada yang bersangkutan. Jika
sudah mendapatkan izin dari orang yang kita potong, berarti kita sudah punya kewenangan.
Bisa dilakukan pemotongan jalur birokrasi dengan niat baik untuk menghindari operating
delay, dengan syarat harus diinformasikan dan pastikan dulu kepada orang yang kita potong.
Apabila nanti urusan sudah beres, bisa saja dimintakan kembali secara formal dengan
misalnya meminta tanda tangan orang yang kita potong.
a. What is Desired?
• Dimulai dari tujuan dan strategi → Tujuan dan strategi harus menjadi panduan penting untuk kegiatan
yang diharapkan, terutama jika tujuan dan strategi itu spesifik, tercatat, dan formal
Contoh : “Become a leader in the industry ”(kurang jelas) vs. “15% ROI and 20% sales growth (lebih
jelas)”
• Pegawai → top, middle, lower level management, masing” ada tujuan dan action yg diharapkan untuk
dilakukan
• Keselarasan hasil dan tindakan dengan tujuan yg diharapkan harus benar-benar diperhatikan.
• Untuk mencapai tujuan, harus dilakukan berbagai kegiatan di setiap bidang (contoh : produksi,
pemasaran, pembelian dll) → harus diidentifikasi kegiatan-kegiatan kunci (key action) → yang
memberikan kontribusi terbesar dalam keberhasilan tujuan
• Lower level → regular dan structured process → lebih banyak action, mudah diidentifikasi
• Middle level → structured dan unstructured process → ada target result dan action
• Top level → kebanyakan unstructured process → lebih banyak result, sulit dipahami, banyak,
kompleks dan membutuhkan pertimbangan profesional
• Identifikasi Key Result :
1. Area Kunci (Key area) → pengendaliannya bisa lebih ketat, area paling berkontribusi terhadap
keberhasilan pencapaian tujuan perusahaan, di area mana sesuatu harus dilaksanakan dengan
benar untuk bisnis menjadi berkembang, misal : pelayanan, kualitas, harga rendah
2. Jumlah key result semakin ke bawah semakin banyak, karna di top level sulit menilai dengan result
Misal : key result = kualitas terjamin, bagian produksi menjabarkan dimensi hasilnya = tidak ada
retur, tidak ada barang miss, tidak ada barang rusak, tidak ada complain
3. Key results bisa tetap untuk jangka waktu tertentu , namun tidak tabu untuk berubah seandainya
terjadi perubahan kondisi lingkungan atau perubahan strategi (faktor uncertainty)
Perubahan key result → misal key result : kualitas + harga (harga bisa lebih rendah, karena udah
pake mesin)
b. What is Likely? (Apa yg mungkin terjadi/apa kenyataannya)
• Mengevaluasi kenyataan yang terjadi atas 3 pertanyaan tersebut, apakah terdapat control
problem/masalah pengendalian.
a. Apakah pegawai mengerti apa yang diharapkan dari mereka untuk melakukan tindakan kunci (key
actions) atau untuk mencapai hasil kunci (key results)? → lack of direction
b. Apakah mereka termotivasi dengan hasil atau untuk melakukan tindakan? → lack of motivation
c. Apakah mereka dapat memenuhi peran yang diinginkan? Apakah pegawai memiliki kemampuan
untuk melakukan tindakan yang diharapkan atau hasil yang ingin dicapai perusahaan? → personal
limitations
• Perbedaan antara apa yang diinginkan dengan apa yang mungkin terjadi akan menentukan pilihan
(choice) dan keketatan (tightness) MCS untuk menyelesaikan masalah pengendalian.
Utk menanggulangi perbedaan tersebut → bisa dipertimbangkan jawaban atas masing” 3 pertanyaan
di atas, untuk kemudian dirancang jenis pengendalian mana yg cocok dan efektif diimplementasikan
utk masing-masing jenis permasalahan pengendalian (control problem)
• Setelah perusahaan memperoleh informasi mengenai masalah pengendalian, saatnya untuk
pengambilan keputusan tentang jenis pengendalian yg akan dipilih
c. Pengambilan Keputusan
• Decision 1 (Choice of controls) → tipe pengendalian yg berbeda (action, result, people, cultural)
efektivitasnya tidak sama dalam menangani masalah-masalah pengendalian. Matriks efektivitas
antara jenis pengendalian dengan masalah pengendalian dapat dilihat di gambar dan penjelasan
berikut.
Tambahan notes:
❖ People Control
- People control (personal & cultural controls) :
1. Start with people control → terutama perusahaan baru
2. sampai batas tertentu → semakin banyak orang akan semakin sulit dikendalikan
3. Relativ memiliki sedikit dampak yang merugikan → misal karyawannya dari keluarga, relatif
gampang menyesuaikan visi misi perusahaan dan kepentingan karyawan sehingga
meminimalisir dampak yg merugikan
4. Relativ murah (low out-of-pocket costs) → tidak ada sistem bonus dll
5. Sekalipun tidak dapat diandalkan secara memadai, penerapan people control tetap harus
difokuskan pertama kali sebab akan menjadi landasan untuk penerapan control lainnya
- Kalo perusahaan udah besar → tidak bisa mengandalkan people control saja, harus control lain
juga
- Kalo people control sudah kuat → gaperlu control lain, orang” bisa dipercaya, bisa memonitor
satu sama lain, budayanya udah bagus → tapi jarang
- Attitude orang bisa berubah → faktor ekonomi, lingkungan intern ekstern, dll
• Kemampuan untuk mengukur hasil atas dimensi kinerja yg penting tinggi, pengetahuan/informasi
untuk menentukan kebijakan spesifik (spesific action)/kegiatan yang diinginkan tinggi → bisa
menggunakan action control dan/atau result control
• Kemampuan untuk mengukur hasil atas dimensi kinerja yg penting tinggi, pengetahuan/informasi
untuk menentukan kebijakan spesifik (spesific action) yang diinginkan rendah → result control
• Kemampuan untuk mengukur hasil atas dimensi kinerja yg penting rendah, pengetahuan/informasi
untuk menentukan kebijakan spesifik (spesific action) yang diinginkan tinggi → action control
• Kemampuan untuk mengukur hasil atas dimensi kinerja yg penting rendah, pengetahuan/informasi
untuk menentukan kebijakan spesifik (spesific action) yang diinginkan rendah → people control
Tanya Jawab
1. Amalia Adhasara (2)
Terkait dengan pros pada action control dinyatakan bahwa salah satu contoh untuk bisa
melaksanakan koordinasi yang efisien adalah dengan mengurangi jumlah informasi yang beredar di
dalam organisasi, apakah maksud dari kalimat ini adalah untuk membentuk jalur informasi terpendek
agar informasi tersebut dapat secepatnya sampai kepada pihak yang membutuhkan informasi?
Jawaban : Betul. Selain itu juga menghindari ada tambahan informasi unstructured di pertengahan,
sehingga informasi structured sudah diidentifikasi di awal.
2. Devi Nur Indahsari (7)
Dalam menentukan pilihan terhadap control tightness itu dikaitkan dg 3 pertanyaan. Bagaimana jika
suatu pengendalian memiliki lbh besar manfaat dibanding biaya serta memiliki dampak yg begitu
besar bagi organisasi, tetapi biayanya ternyata blm mampu dicukupi oleh organisasi, terutama
organisasi sektor publik yg rencana biayanya sdh ditetapkan di awal?
Jawaban : Dalam menentukan control tightness harus mempertimbangkan cost and benefit. Cost
bukan hanya yg out of pocket, tapi juga dampak-dampak negatif yang mungkin timbul di masa
mendatang. Butuh kehati-hatian dalam menentukan probabilitas dampak tersebut, apakah ada
pengendalian yang perlu diubah untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul
3. Fitriyan Dwi Rahayu (10)
Dalam evaluasi MCS, apakah manajer dapat melibatkan pegawai atau hanya melalui penilaian
manajer saja? Krn pegawai biasanya lbh mengetahui detail teknis yg dpt membantu evaluasi MCS.
Namun, disebutkan jg dlm action control bhwa komunikasi dlm entitas dpt menyebabkan kompromi,
shg keterlibatan pegawai juga dpt menyebabkan demikian. Bagaimana mengatasinya?
Jawaban : Dalam menentukan target harus kompromi, sehingga result control menjadi kontradiktif,
target harus tinggi dan challenging tapi harus dikomunikasikan dan dikompromikan, dimana target
tadi bisa jadi turun. Evaluasi MCS = pihak-pihak yang terlibat harus diikutsertakan dalam penentuan
target, untuk mendapatkan masukan dari pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan sistem
pengendalian manajemen, tidak hanya top down tapi juga bottom up.
4. Gigih Joko Susilo (11)
Terkait dengan simultaneous tight loose control, disebutkan bahwa lebih fokus pada people and
cultural control. Sepemahamaman saya, people dan cultural control lebih sering difokuskan pada saat
fase awal implementasi control. Apakah ini berarti ketika implementasi control sudah memasuki fase
lanjutan (beradaptasi), simultaneous tight loose control ini sudah tidak dapat diterapkan lagi? terima
kasih sebelumnya
Tanggapan : Rafif Rifky (24) → Menurut saya simultaneous tight loose menetapkan landasan bagi
organisasi dalam melakukan kontrol yg lain, sehingga walaupun control mencapai fase lanjutan,
simultaneous tight loose masih relevan selama action control tidak terlalu ketat, karena jika action
control terlalu ketat maka unsur "loose" dalam simultaneous tight loose akan hilang.
Jawaban (tambahan) : Saat control sudah berjalan, cultural control bisa digantikan atau didukung
dengan result control dan action control.
5. Puspa Kusuma (23)
Di kementerian keuangan dilakukan program Dialog Kinerja Individu (DKI) antara pegawai dengan
atasan yang dilakukan setiap semester dan dilaporkan melalui aplikasi e-performance. Dalam DKI juga
terjadi diskusi target kinerja dan pengembangan pegawai. Apakah DKI tersebut berarti bisa digunakan
sebagai tools untuk mengevaluasi sistem pengendalian yang diterapkan dalam organisasi ?
Jawaban : Jika pengendalian sudah berjalan (di pertengahan), maka program tersebut dapat menjadi
tools evaluasi apakah kegiatan berjalan sesuai dengan hasil yang diharapkan. Jika dilakukan di awal,
program ini dapat bertindak sebagai preaction review, ada komunikasi antara atasan dan bawahan
terkait keluhan dan pengembangan solusi untuk penentuan target yang lebih achieveable. Program
ini bagus karena sifatnya objektif dan memenuhi asas understandibility. Action control yang efektif =
bisa menentukan kegiatan yang terbaik, dan bisa mengobservasi dan menentukan apakah kegiatan
berjalan sesuai yang diharapkan atau tidak.
6. Shondi Ardi Wijaya (28)
Salah satu penyebab kegagalan pengendalian adalah gaya personal manajer dalam memimpin
organisasi yang tidak mau atau cenderung tidak beradaptasi dengan lingkungan yang berubah.
Apakah sistem pengendalian manajemen dapat mengendalikan perilaku dari pemimpin organisasi
seperti contoh tersebut?
Jawaban : Pengendalian terhadap top level management = good governance, bisa juga result control.
Selain itu, pimpinan juga memiliki tanggung jawab untuk membentuk cultural control, dengan contoh
dari pimpinan
7. Muhammad Earland Zaltinov (19)
Penentuan tujuan dan strategi yang spesific akan lebih baik dalam mengetahui apa yang diinginkan
entitas. Apakah strategi dan tujuan kualitatif harus tetap memiliki ukuran kuantitatif dalam
perumusannya?
Jawaban : Sebaiknya strategi dan tujuan kualitatif tetap memiliki ukuran kuantitatif. Misal : tujuan
kualitatif = meningkatkan kesehatan masyarakat, target dikuantifikasikan menjadi sekian persen
keluarga menggunakan proyek jamban keluarga. Contoh lain : survei atas kualitas pelayanan bengkel
dengan penilaian menggunakan skala tertentu.
Resume SPM 6 : Financial Responsibility Center
Financial Result Control
• Pengendaluan perilaku pegawai khususnya para manajer dilakukan melalui Financial
Result Contol System
o Result contol yang ukurannya menggunakan ukuran akuntansi/keuangan itu Financial
Result Contol System
• Result didefiniskan dalam bentuk monetary, umunya dinyatakan dalam ukuran akuntansi
seperti Revenue, Cost, Profit dan Return
• Informasi akuntansi untuk result contol memerlukan internal contol untuk menjaga
Pokok Bahasan
• Advantage financial result contol system
• Type of financial resposibility center
• Choice of of financial resposibility center
• The transfer procong problem
• Responsibility center adalah suatu unit organsiasi yang dipimpin oleh seorang manajer
yang bertanggungjawab atas penggunan input atau output tertentu
• Hal ini merupakan pembagian tanggung jawab atas pengunaan suatu inpt dan atau output
tertentu kepada individu atau suatu unit organisasi
Revenue Center
• Manajer dari revenue centers bertanggungjawab untuk menghasilkan/ generate revenue,
yang merupakan siatu ukuran keuangan output/hasil. Contoh: Sales department in
commercial organization, fundraising managers in not for profit organizatiom
• Tidak ada usaha secara formal untuk menghubungkan input (measured as expense)
dengan outputs
o Tetapi hampir semua manager dari revenue center bertanggung jawa juga atas some
expense (contoh: gaji, komisi)
• Tetapi tetap sebagai revenue center bukan sebagai profit center sebab:
o Biaya tersebut tidak signifikan bila dibandinghkan revenue yang dihasilkan
o Revenue center tidak dibebani degan COGS yang mereka jual
Profit Centers
• Manajers of profit centers vertanggungjawab untuk menghasilkan profits, yaitu suatu
ukuran keuangan yang dihitung dengan membandingkan revenue dengan cost untuk
memperoleh revenue
• Sebagai suatu ukuran untuk kinerja, profit:
o Comprehensive/ meliputi banyak hal
• i.e, it incorporates many aspects of performance
o Unobtrusive/ tidak menonjolkan
• i.e the profit center managers make the revenue/ cost tradeoffs
o Main question/problem in practice: Has the manager significant influece over both
revenue and cost
• charge standard cost of googs sold to sales focused entities
• Assign revenues to cost-focused entities
• Pseudo profit centers
Investment Centers
o Menegers of investment centers are held accontable for the accounting returns (profits) on
investment made to generate those returns
• Measures: ROI, ROE, ROCE, etc
o In fact, managers have two performance objectives:
• Generate maximum profits from resources at their disposal
• Invest in additional resources only when such an investment will produce an adequate
return
Sistem perencanaan dan penganggaran (planning dan budgeting system) adalah elemen
penting lainnya dari finacial result control systems. Sistem perencanaan dan penganggaran ini
merupakan kombinasi dari aliran informasi dan proses administrasi, serta pengorganisasian dan
koordinasi berbagai aktivitas dan pengambilan keputusan dari para pegawai organisasi. Sistem
perencanaan dan penganggaran ini hanya menghasilkan satu bentuk dari output yang berwujud –
perencanaan tertulis – yang mengklarifikasi ke mana organisasi diharapkan akan bergerak,
bagaimana cara mencapainya, dan hasil apa yang diharapkan. Banyak organisasi memperoleh
manfaat dari perencanaan dan penganggaran ini. Proses ini memaksa orang untuk berfikir tentang
masa depan, menyiapkan berbagai ide dan perencanaan secara hati-hati, mendiskusikan ide-ide
dan perencanaan dimaksud dengan orang lain di dalam organisasi, serta adanya komitmen untuk
meraih tujuan dalam upaya melayani kepentingan-kepentingan organisasi.
Sistem perencanaan dan penganggaran perusahaan sangat berbeda satu sama lain.
Beberapa perusahaan lebih terinci dan memakan waktu. Perusahaan yang satu lebih banyak
melibatkan top management, sementara yang lainnya beroperasi secara bottom-up dan dengan
dasar management-by-exception. Banyak cara untuk merancang sistem perencanaan dan
penganggaran yang efektif, tetapi seluruh sistem tidak memiliki efektivitas yang sama, dan
beberapa sistem bekerja lebih baik dalam pengaturan-pengaturan tertentu dari yang lainnya.
Planning Cycles
Perencanaan, yang berfokus ke masa depan, ditujukan untuk menjawab pertanyaan: “apa
yang harus dilakukan?”. Jawaban yang rinci atas pertanyaan tersebut dapat dijawab secara sangat
baik dengan cara memecah pertanyaan di atas ke dalam pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik
secara berurutan. Organisasi yang besar dan terdiri dari divisi-divisi, sering menggunakan 3 (tiga)
siklus perencanaan yang bersifat formal, dapat dibedakan, dan merupakan urutan yang disebut
dengan strategic planning, programming dan operational budgeting. Masing-masing siklus ini
meliputi rangkaian tahapan serta melibatkan para manajer di berbagai jenjang organisasi.
Strategic Planning
Strategic planning, kadang disebut sebagai long-range planning, mencakup proses
pemikiran yang relatif luas tentang misi dan tujuan organisasi, serta alat-alat bagaimana misi dan
tujuan tersebut dapat dicapai (yakni strategies). Strategic planning meliputi baik analisis masa lalu
dengan menggunakan data kuantitas, biaya dan pendapatan yang telah diketahui-maupun
peramalan masa yang akan datang.
Strategic planning merupakan elemen utama dari pekerjaan para manajer, umumnya
mencakup kebanyakan corporate managers dan division (strategic business unit) managers.
Proses strategic planning terdiri dari 6 (enam) tahapan utama yang merupakan proses secara
berulang:
1. Membangun visi, misi dan tujuan perusahaan.
2. Mengenal posisi perusahaan saat ini, kekuatan dan kelemahannya, serta kesempatan dan risiko-
risikonya.
3. Menentukan berbagai strategi yang mengidentifikasi kegiatan usaha perusahaan apa yang akan
dan tidak dilakukan.
4. Menentukan strategi untuk masing-masing strategic business unit, dan cara tindakan terbaik
untuk memanfaatkan kesempatan dan kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing business
unit.
5. Menyiapkan perencanaan strategis (strategic plan), yakni gambaran kualitatif dan kuantitatif
dari tindakan-tindakan strategis yang harus dilakukan, serta kemungkinan outcomes-nya.
6. Memonitor kinerja dan memutakhirkan strategic plan jika diperlukan.
Proses strategic planning yang formal dan lengkap membawa kepada ketajaman berbagai
strategi dan strategi-strategi dari strategic business units, pengidentifikasian dari kebutuhuan-
kebutuhan sumber daya, serta pernyataan tentatif dari tujuan. Strategic planning memberikan
kerangka perencanaan lebih rinci yang harus dilakukan pada siklus selanjutnya.
Programming
Programming menyangkut pengidentifikasian rencana tindak (action program) yang akan
diterapkan dalam beberapa tahun ke depan serta merinci sumber-sumber daya yang akan
digunakan. Rencana-rencana tindak tersebut harus mampu mewujudkan strategi bisnis dari
masing-masing business unit yang berorientasi ke luar menjadi berfokus ke dalam, menciptakan
kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk menerapkan strategi yang terkoordinasi dengan baik, dan
pada gilirannya, dapat membawa kepada pencapaian tujuan dari masing-masing business unit.
Programming biasanya sangat dibatasi oleh pilihan-pilihan rencana yang harus
dipertimbangkan secara konsisten dengan kesepakatan-kesepakatan tentatif yang dihasilkan
selama proses penyusunan strategic planning. Namun demikian, programming dapat merupakan
proses yang rumit pada saat dibutuhkan keterlibatan banyak orang dengan tingkat pengetahuan
tertentu yang tinggi.
Proses programming biasanya dimulai dengan diskusi antara para manajer divisi dengan
bawahannya tentang berbagai rencana tindak dalam beberapa tahun ke depan. Sebagai bagian dari
proses ini, para manajer terlebih dahulu harus mereview program-program yang sedang berjalan
untuk memastikan apakah program dimaksud memenuhi tujuan yang diinginkan, atau apakah
harus disesuaikan, atau bahkan harus dihentikan.
Sumber-sumber daya yang sifatnya terbatas kemudian dialokasikan kepada rencana/
program tertentu. Banyak teori yang ada tentang pengalokasian sumber daya berfukus pada
pengalokasian capital funds, seperti discounted cash flow analyses. Namun demikian,
pengalokasian sumber daya dimaksud tidak hanya merupakan proses penghitungan finansial saja.
Sumber-sumber daya lainnya yang mungkin sangat terbatas dalam jangka waktu tertentu juga
perlu dipertimbangkan, dan hal ini jauh lebih sulit untuk mengkuantifikasikannya dalam bentuk
finansial, karena akan mempengaruhi pengambilan keputusan akhir. Selain itu, pengalokasian
sumber daya sangat tergantung kepada track record, preparation and evidence, arguing skill, dan
political power dari para manajer yang terlibat. Para manajer harus bersaing untuk memperoleh
sumber daya dan meyakinkan para pembuat keputusan tentang pengalokasian sumber daya.
Budgeting
Budgeting merupakan perencanaan finansial jangka pendek (short-term financial
planning). Anggaran (budgets) disusun untuk mencocokkan dengan struktur pertanggungjawaban
organisasi, berdasarkan detail tema-tema revenue, expense, asset dan liabilities yang tepat.
Anggaran juga sangat penting untuk menyediakan pedoman (petunjuk) dalam day-to-day decion-
making bagi para manajer.
Anggaran juga merupakan proses organisasi yang umum dilakukan di hampir seluruh
organisasi.
Variation in Practice
Berbagai cara yang digunakan dalam planning and budgeting systems, mencerminkan
outcomes dari ratusan rancangan dan implementasi keputusan manajemen. Tidak ada planning and
budgeting systems yang berlaku secara universal dan off-the-self. Para manajer membuat
rancangan dan implementasi keputusan yang berbeda karena mereka menekankan kepada tujuan
yang berbeda, atau karena mereka menghadapi keterbatasan dan trade-off atas benefit/cost yang
berbeda.
Berikut ini menguraikan tentang beberapa faktor yang bisa mengubah pada keputusan
utama dari planning and budgeting systems:
▪ Planning horizon
Horison perencanaan (planning horizon) mencerminkan periode terpanjang dari perencanaan
formal yang disusun. Kebanyakan perusahaan memiliki horison perencanaan yang pendek
(satu tahun atau kurang, 4 – 5 tahun, dan di atas 5 tahun). Namun beberapa perusahaan, seperti
power utility industry, memiliki horison perencanaan yang lebih panjang, yaitu 25 tahun atau
lebih.
▪ Content of plans
Planning and budgeting system perusahaan dapat berbeda secara signifikan dalam isi dan jenis
(kuantitatif vs kualitatif) serta format informasi yang disajikan. Sistem yang bersifat formal
biasanya menetapkan standar yang rinci dari informasi yang harus diisi, umumnya tercermin
dalam laporan keuangan yang standar. Namun untuk perusahaan lainnya, banyak pimpinan
puncak menginginkan informasi non-finansial tersaji pada saat review dilakukan.
▪ Length and timing of processes
Proses perencanaan perusahaan sangat berbeda satu sama lain, baik dari lamanya waktu
maupun dari waktu yang tersedia untuk masing-masing siklus. Dalam praktek, survei
menunjukkan bahwa hampir setengah jumlah perusahaan memulai proses rencana jangka
panjangnya (long-range planning) 5 – 7 bulan sebelum tahun fiskal berakhir. Kebanyakan
perusahaan memerlukan waktu 5 bulan atau kurang untuk menyelesaikan rencana jangka
panjangnya. Kebanyakan perusahaan memulai proses penganggarannya (budgeting) 4 – 6
bulan sebelum tahun fiskal berakhir, dan menyelesaikannya dalam waktu 2 bulan sebelum
tahun fiskal berakhir. Data ini menunjukkan bahwa proses perencanaan pada kebanyakan
perusaahaan merentang di hampir sepanjang tahun serta long-range planning dan budgeting
bersamaan waktu (overlap).
Tidak ada resep yang umum tentang lamanya (length) dan waktu mulai (timing) dari proses
perencanaan dan penganggaran ini. Pada kondisi yang ekstrim, beberapa perusahaan memiliki
kegiatan perencanaan – strategic planning, programming dan/atau budgeting – dilakukan
sepanjang tahun. Mereka tidak pernah berhenti melakukan perencanaan.
▪ Plan updates
Survey menunjukkan bahwa kebanyakan perusahaan (84%) memutakhirkan (update) long-
range planning setiap tahun. Yang lainnya memutakhirkan setiap 3 tahun (4%), setiap 5 tahun
(2%), atau atas dasar kebutuhan (11%). Tren terakhir ini nampaknya mengarah kepada kategori
terakhir, yakni lebih sering ketimbang setiap tahun, karena kondisi lingkungan yang semakin
dinamis. Kebanyakan perusahaan memutakhirkan anggarannya (budgets) lebih sering dari
rencana jangka panjangnya.