161-Article Text-825-1-10-20220228
161-Article Text-825-1-10-20220228
161-Article Text-825-1-10-20220228
Abstract
Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases with characteristic of hyperglycemia that occur due
to abnormalities of insulin secretion, insulin activity or both, Indonesia now ranks sixth with the highest
number of diabetes after the United States, China, India, Brazil and Mexico. Based on data from the
IDF Atlas in 2017, the number of diabetes in Indonesia reached 10.3 million, if not handled properly,
according to the WHO the incidence of diabetes is predicted to rise to 21.3 million by 2040. This
research is non-experiential observational studies were conducted using retrospective research designs
to know the description of drugs use pattern and treatment pattern of antidiabetic drug use on Type II
Diabetes Mellitus patiens at RSAU dr. M. Salamun in 2021. The samples were 80 medical records of
patients with Type II diabetes mellitus taken in total sampling. Data presented in the form of
diagram/tables and percentages. The results of this study were able to find out that the classes of oral
antidiabetic durgs administered to patients were sulfonylurea 97 drugs (61.78%), biquanide 38 drugs
(24.20%), alpha-glucosidase 12 drugs (7.64%), and thiazolidinedione 10 drugs (6.36%). Accuracy
assessment based on the patient oral antidiabetic drug delivery are as follows: 44 patients (55%) of
appropriate-drugs-doses, 69 patients (89,25%) for appropriate drug indications.
1. PENDAHULUAN
Diabetes Melitus (DM) yang umum dengan mengandalkan faktor resiko. Faktor
dikenal sebagai kencing manis adalah resiko DM tipe II yang tidak dapat diubah
penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia seperti jenis kelamin, umur, dan faktor
(peningkatan kadar gula darah) yang terus genetic. Faktor resiko DM tipe II yang dapat
menerus dan bervariasi, terutama setelah diubah seperti kebiasaan merokok, aktivitas
makan. Diabetes mellitus merupakan keadaan fisik dan pola makan (Depkes RI, 2008).
hiperglikemia kronik disertai berbagai Kebiasaan makan yang tidak seimbang akan
kelainan metabolic akibat gangguan hormon, menyebabkan obesitas. Selain pola makan
yang menimbulkan berbagai komplikasi tidak seimbang, aktivitas fisik juga merupakan
kronik pada mata, ginjal, dan pembuluh darah, faktor resiko diabetes mellitus. Latihan fisik
disertai lesi pada membrane basalis dalam yang teratur dapat meningkatkan mutu
pemerikasaan dengan mikroskop electron pembuluh darah dan memperbaiki semua
(Bilous, 2002). Diabetes mellitus tipe I aspek metabolic termasuk meningkatkan
merupakan kelainan sistemik akibat terjadinya kepekaan insulin serta memperbaiki tolerensi
gangguan metabolism glukosa yang ditandai glukosa (Awad, 2011).
oleh hiperglikemia kronis. Keadaan ini Penderita diabetes di dunia pada tahun
disebabkan oleh proses autoimun yang 2013 terdapat 382 juta orang dan pada tahun
merusak sel beta pankreas sehingga produksi 2035 diperkirakan meningkat menjadi 592
insulin berkurang bahkan terhenti, juta orang hal ini menurut etsimasi terakhir
penderitanya akan memerlukan asupan insulin IDF (International Diabetes Federation), dari
oksigen (Afdal, dkk, 2012). 382 juta orang diperkirakan 175 di antarnya
Diabetes mellitus tipe II disebabkan oleh belum terdiagnosis sehingga hal ini dapat
interaksi antara faktor-faktor kerentanan diperkirakan penyakit diabetes mellitus akan
genetis dan paparan terhadap lingkungan. berkembang secara progresif menyebabkan
Faktor lingkungan yang diperkirakan dapat komplikasi, dikarenakan tidak terdiagnosis
meningkatkan faktor DM tipe II bisa dicegah, dan tidak adanya pencegahan (Kemenkes RI,
ditunda kedatangannya atau dihilangkan 2014).
dapat menurunkan kadar glukosa dr. M. Salamun tahun 2021 terdiri dari
darah pada 85-90% pasien DM tipe II, glimepiride, glibenklamid, glikuidon,
tetapi hanya efektif apabila sel-sel dan glucodex (Glikazid).
beta Langerhans pancreas masih dapat Tabel 4.3 Profil Golongan Sulfonilurea
memproduksi insulin.
Golongan Jumlah Persentase
Tingginya penggunaan golongan
Sulfonilurea Obat (%)
sulfonilurea ini kemungkinan
Glimepiride 61 62,88
disebabkan karena obat antidiabetes
Glikuidon 21 21,64
oral golongan sulfonilurea merupakan
Glibenclamide 13 13,40
obat pilihan (drug of choice) untuk
Glucodex 2 2,06
penderita diabetes dewasa baru
(Glikazid)
dengan berat badan normal dan
kurang serta tidak pernah mengalami Total 97 100%
ketoasidosis sebelumnya, selain itu b. Golongan Biguanid
efek samping obat golongan Jenis golongan biguanid yang
sulfonulurea yang umumnya ringan digunakan untuk responden diabetes
dan frekuensi rendah, antara lain mellitus tipe II rawat jalan di Rumah
gangguan saluran cerna serta Sakit TNIAU dr. M. Salamun tahun 2021
gangguan susunan syaraf pusat terdiri dari obat metformin dapat dilihat
(Handoko dan Suharto, IONI 2000) pada tabel berikut:
serta mempunyai efek hipoglikemia Tabel 4. Profil Golongan Biguanid
yang jarang dan rendah. Golongan Jumlah Persentase
Obat-obat kelompok ini bekerja Biguanid Obat (%)
merangsang sekresi insulin dikelenjar
pankreas, oleh sebab itu hanya efektif
apabila sel-sel beta Langerhans Metformin 40 100%
pankreas masih dapat berproduksi. Total 40 100%
Penurunan kadar glukosa darah yang c. Golongan Penghambat a-glucosidase
terjadi setelah pemberian senyawa- Jenis golongan penghambat a-
senyawa sulfonilurea disebabkan oleh glikosidase yang digunakan untuk
perangsangan sekresi insulin oleh responden diabetes mellitus tipe II
kelenjar pankreas. Sifat perangsangan rawat jalan di Rumah Sakit TNIAU
ini berada dengan perangsangan oleh dr. M. Salamun tahun 2021 terdiri dari
glukosa, karena ternyata pada saat obat acarbose, dapat dilihat pada tabel
glukosa (atau kondisi hiperglikemia) berikut:
gagal merangsang sekresi insulin. Tabel 5. Profil Golongan Penghambat a-
Oleh sebab itu, obat ini masih mampu glukosidase
meningkatkan sekresi insulin, tetapi Jenis Jumlah Persentase
karena sesuatu hal terlambat Golongan Obat (%)
sekresinya. Pada penderita dengan Penghambat
kerusakan sel-sel beta Langerhans a-glukosidase
kelenjar pankreas, pemberian obat- Acarbose 20 100%
obat hipoglikemik oral golongan Total 20 100%
sulfonilurea tidak bermanfaat. Pada d. Golongan Tiazolidinedion
dosis tinggi, sulfonilurea Jenis golongan tiazolidinedion yang
menghambat degradasi insulin oleh digunakan pada responden diabetes
hati. (Depkes RI, 2005). mellitus tipe II rawat jalan di Rumah Sakit
Sulfonilurea oral yang diberikan TNIAU dr. M. Salmun tahun 2021 terdiri
pada responden diabetes mellitus tipe dari obat pioglitazone, dapat dilihat pada
II rawat jalan di Rumah Sakit TNIAU tabel berikut:
tidak berpengaruh pada kadar insulin pelepasan insulin seperti sulfonilurea (Tjay
(Aqoes, 1999). dan Raharja, 2008).
Obat yang termasuk golongan Golongan obat ini akan berikan pada
penghambat a-glukosidase adalah acarbose peroxisome proliferator active resceptor
dan miglitol. Mekanisme keduanya adalah gamma (PPAR) suatu reseptor inti di sel
dengan menghambat a-glukosidase otot dan sel lemak. Mekanisme golongan
sehingga mencegah penguraian sukrosa ini ialah memperbaiki sensivitas terhadap
dan karbohidrat kompleks dalam usus insulin dengan memperbaiki transport
halus dengan demikian akan glukosa ke dalam sel (Soegondo, 2013).
memperlambat dan membuktikan bahwa Contoh obatnya ialah pioglitazone (Actoz)
penghambat a-glukosidase efektif dalam dan rosiglitazone (Avandia).
mengontrol kadar glukosa puasa dan kadar Efek samping dari tiazolidindion adalah
glukosa postprandial pada pasien diabetes udem. Terapi kombinasi dengan insulin
(Holman, et al., 1999). akan meningkatkan kemungkinan terjadi
Acarbose menunda abospsi karbohidrat udem (Dipiro, et al, 2005). Penggunaan
yang di konsumsi, sehingga menurunkan tiazolidindion dapat digunakan sebagai
peninngkatan kadar glukosa darah 2 jam terapi tunggal atau dikombinasi dengan
posprandial pada pasien (Price, 2006). obat golongan antidiabetes oral lainnya.
Acarbose merupakan poliskarida yang Penggunaan tiazolidindion
bekerja menghambat enzim a-glukosidase dikontraindikasikan pada ibu hamil dan
yang berfungsi menguraikan disakrida penderita dengan gangguan fungsi hati
menjadi glukosa. Sehingga acarbose (Linn, Wofford, O’Keefe, & Posey, 2009).
menghambat absorpsi glukosa di saluran Pemberian obat antidiabetes yang tepat
pencernaan (Priyanto, 2008). merupakan hal yang sangat penting
Efek samping yang sering terjadi pada mengingat begitu tingginya angka kejadian
penggunaan acarbose adalah diare dan serta pentingnya penanganan secara tepat
pembentukan gas berlebihan di lambung. terhadap penyakit diabetes mellitus dan
Cara untuk mengurangi efek samping komplikasi yang ditimbulkannya, maka
tersebut adalah dengan pemberian dosis terapi diabetes mellitus harus dilakukan
dimulai dari dosis rendah, kemudian secara rasional baik secara farmakologi
ditingkatkan dosisnya secara bertahap maupun non farmakologi. Ketapatan terapi
(Linn, Wofford, O’keefe, & Posey, 2009). dipengaruhi proses diagnosis, pemilihan
Tiazolidindion adalah golongan baru terapi, pemberian terapi, serta evaluasi
yang mempunyai efek meningkatkan terapi. Pola pengobatan merupakan suatu
sensitivitas insulin, sehingga mengatasi proses jaminan mutu yang terstruktur dan
masalah resistensi insulin dan berbagai dilakukan secara terus menerus untuk
masalah akibat resistensi insulin tanpa menjamin agar obat-obat yang digunakan
menyebabkan hipoglikemia. Kegiatan tepat, aman, dan efisien (Kumolosari, dkk,
farmakologinya luas dan berupa 2001).
penurunan kadar glukosa dan insulin WHO memperkirakan bahwa, lebih
dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi dari separuh dari seluruh obat di dunia
insulin dari otot, jaringan lemak dan hati. diresepkan, diberikan dan dijual dengan
Sebagai efeknya penyerapan glukosa ke cara yang tidak tepat dan separuh dari
dalam jaringan lemak dan otot meningkat. pasien mengunakan obat secara tidak tepat.
Kegiatan farmakologi lainnya antara lain Tujuan dari penelitian yakni mengetahui
dapat menurunkan kadar trigliserida atau penggunaan obat antidiabetes oral pada
asam lemak bebas dan mengurangi pasien DM tipe II rawat jalan di Rumah
gluconeogenesis dalam hati. Zat ini tidak Sakit TNIAU dr. M. Salamun tahun 2021.
mendorong pankreas untuk meningkatkan Hal ini akan membuat penanganan pasien
DM tipe II semakin baik, karena akan
memberikan kajian yang tepat tentang dengan suatu penyakit yakni sesuai
pengobatan agar melihat keberhasilan keluhan diagnosis (Depkes, RI, 2008).
penyembuhan pasien ataupun gagal (tidak Indikasi yang tepat, yaitu alasan
sembuh). menulis resep didasarkan pada
Tepat Indikasi merupakan kesesuaian pertimbangan media yang tepat.
penggunaan obat dengan kebutuhan klinis Permasalahan-permasalahan yang terjadi
pasien yang dilihat dari diagnosis, gejalan dalam ketidaktepatan indikasi yaitu
ataupun keluhan pasien. Tepat indikasi (Depkes, 2005):
dalam pengobatan penyakit DM tipe II a. Adanya indikasi penyakit yang tidak
adalah ketepatan dalam penggunaan obat diobati
antidiabetes atas dasar diagnosis yang Pasien DM bisa mengalami komplikasi
ditegakkan, sesuai dengan yang tercantum yang tidak diharapkan, oleh karena itu
dalam rekan medik yang memiliki hasil perlu mencermati apakah ada indikasi
pemerikasaan kadar gula darah sewaktu > penyakit yang tidak diobati. Adanya
200 mg/dL. Penegakan diagnosis DM indikasi penyakit yang tidak tertangani ini
dapat dilakukan dengan 3 cara: pertama, dapat disebabkan oleh:
jika keluhan klasik ditemukan, maka 1) Pasien mengalami gangguan medis
pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > baru yang memerlukan terapi obat.
200 mg/dL sudah cukup untuk 2) Pasien memiliki penyakit kronis lain
menegakkan diagnosis DM. kedua, yang memerlukan keberlanjutan
pemeriksaan glukosa plasma puasa > 126 terapi obat.
mg/dL dengan adanya keluhan klasik. 3) Pasien mengalami gangguan medis
Ketiga, tes tolenrasi glukosa oral > 200 yang memerlukan kombinasi
mg/dI. Meskipun TTGO dengan beban 75g farmakoterapi untuk menjaga efek
glukosa lebih sensitive dan spesifik sinergi/potensiasi obat.
disbanding dengan pemeriksaan glukosa 4) Pasien berpotensi untuk mengalami
plasma puasa, namun pemeriksaan ini resiko gangguan penyakit baru yang
memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO dapat dicegah dengan gangguan terapi
sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan obat profilaktik atau premedikasi.
dalam praktek sangat jarang dilakukan b. Adanya obat tanpa indikasi
karena membutuhkan persiapan khusus Pemberian obat tanpa indikasi
(Perkeni, 2006). disamping merugikan pasien secara
Pada penelitian di gambar profil finansial juga dapat merugikan dengan
ketepatan indikasi jumlah responden kemungkinan munculnya efek yang tidak
sebanyak 4 pasien terdapat ketidaktepatan dikehendaki. Pemberian obat tanpa
indikasi dikarenakan hasil pemeriksaan indikasi ini dapat disebabkan oleh:
GDS <200 mg/dI, GDP < 126 mg/dI, dan 1) Pasien menggunakan obat yang tidak
GD2PP < 200 mg/dI. Hasil pemeriksaan sesuai dengan indikasi penyakit pada
tersebut tidak memenuhi kriteria DM tipe saat ini.
II, sehingga pasien belum bisa 2) Penyakit pasien terkait dengan
dikategorikan menderita DM tipe II. Obat penyalahgunaan obat, alcohol atau
antidiabetes tidak diindikasikan untuk merokok.
pasien dengan pemeriksaan GDS < 200 3) Kondisi medis pasien lebih baik
mg/dI, GDP <126 mg/dI, GD2PP < 200 ditangani dengan terapi non obat.
mg/dI, hal ini dikarenakan kadar glukosa 4) Pasien memperoleh polifarmasi untuk
darah pasien belum melebihi batas normal kondisi yang indikasinya cukup
(Perkeni, 2015). Menurut Depkes, mendapat terapi obat tunggal.
menyatakan bahwa tepat indikasi adalah 5) Pasien memperoleh terapi obat untuk
obat yang diberikan pada pasien harus mengatasi efek obat yang tidak
dikehendaki yang disebabkan oleh
obat lain yang seharusnya dapat disertai berbagai kelainan metabolic akibat
diganti dengan obat yang lebih sedikit gangguan hormon, yang menimbulkan
efek sampingnya. berbagai komplikasi kronik pada mata,
Terdapat 5 pasien yang ketidaktepatan ginjal, dan pembuluh darah, disertai lesi
indikasi karena pasien dengan kadar gula pada membrane basalis dalam
darah/HbA1c tinggi, hanya mendapatkan pemerikasaan dengan mikroskop electron
obat tunggal, seharusnya pasien (Bilous, 2002). Diabetes mellitus tipe I
mendapatkan terapi kombinasi dengan merupakan kelainan sistemik akibat
obat lain, dengan adanya indikasi penyakit terjadinya gangguan metabolism glukosa
yang tidak diobati yakni pasien mengalami yang ditandai oleh hiperglikemia kronis.
gangguan medis yang memerlukan Keadaan ini disebabkan oleh proses
kombinasi farmakoterapi untuk menjaga autoimun yang merusak sel beta pankreas
efek sinergi/potensiasi obat. Terdapat 2 sehingga produksi insulin berkurang
pasien yang ketidaktepatan indikasi karena bahkan terhenti, penderitanya akan
pasien mendapat terapi obat antidiabetes memerlukan asupan insulin oksigen
terlalu banyak, seharusnya pasien (Afdal, dkk, 2012).
mendapatkan terapi kombinasi dengan Diabetes mellitus tipe II disebabkan
insulin, dengan adanya obat tanpa indikasi oleh interaksi antara faktor-faktor
yakni pasien memperoleh polifarmasi kerentanan genetis dan paparan terhadap
untuk kondisi yang indikasinya cukup lingkungan. Faktor lingkungan yang
mendapat terapi obat tunggal (Depkes, diperkirakan dapat meningkatkan faktor
2005). DM tipe II bisa dicegah, ditunda
Berdasarkan hasil penelitian yang telah kedatangannya atau dihilangkan dengan
dilakukan di rumah sakit tentang mengandalkan faktor resiko. Faktor resiko
rasionalitas obat antidiabetes dan evaluasi DM tipe II yang tidak dapat diubah seperti
badan biaya perbekalan farmasi pada jenis kelamin, umur, dan faktor genetic.
pasien rawat inap kartu Jakarta sehat, Faktor resiko DM tipe II yang dapat diubah
terdapat jumlah pemberian obat seperti kebiasaan merokok, aktivitas fisik
antidiabetes ketepatan indikasi sebesar dan pola makan (Depkes RI, 2008).
68,89%. Ketidaktepatan indikasi obat Kebiasaan makan yang tidak seimbang
antidiabetes terhadap pasien dapat terjadi akan menyebabkan obesitas. Selain pola
apabila antidiabetes yang diberikan tidak makan tidak seimbang, aktivitas fisik juga
sesuai dengan diagnosis yang dialami merupakan faktor resiko diabetes mellitus.
pasien. Sementara itu terdapat 15 dari 24 Latihan fisik yang teratur dapat
pasien (62,50%) yang sudah mendapatkan meningkatkan mutu pembuluh darah dan
terapi antidiabetes tepat indikasi. Pada memperbaiki semua aspek metabolic
kasus ketidaktepatan indikasi disebabkan termasuk meningkatkan kepekaan insulin
karena tidak sesuainya diagnosis yang serta memperbaiki tolerensi glukosa
dialami oleh pasien, yaitu kadar gula darah (Awad, 2011).
sewaktu yang belum melebihi > 200mg/Di Penderita diabetes di dunia pada tahun
(Istiqomatunnisa, 2014). 2013 terdapat 382 juta orang dan pada
tahun 2035 diperkirakan meningkat
4. KESIMPULAN menjadi 592 juta orang hal ini menurut
Diabetes Melitus (DM) yang umum etsimasi terakhir IDF (International
dikenal sebagai kencing manis adalah Diabetes Federation), dari 382 juta orang
penyakit yang ditandai dengan diperkirakan 175 di antarnya belum
hiperglikemia (peningkatan kadar gula terdiagnosis sehingga hal ini dapat
darah) yang terus menerus dan bervariasi, diperkirakan penyakit diabetes mellitus
terutama setelah makan. Diabetes mellitus akan berkembang secara progresif
merupakan keadaan hiperglikemia kronik menyebabkan komplikasi, dikarenakan
& alat Kesehatan Departemen G.R., Wells., B.G., and Posey, L.M. 2005.
Kesehatan. Pharmacotherapy apathophysiologic
Dipiro, J.T., Talbert, R,L., Yee, G.C., Matzke, approach. New York: McGraw- Hill
Companies. P. 1333-1352.
e.