56-Article Text-453-1-10-20210626 PDF
56-Article Text-453-1-10-20210626 PDF
56-Article Text-453-1-10-20210626 PDF
Abstract. Qadha is a problem that has been discussed since the time of the Prophet, friend,
Tabi'in and until now. The issue of fate is very interesting to discuss, because there are several sects
that view qadha differently. The first group says that qadha is a decree of Allah which cannot be
contested, including human actions, there is already a provision of Allah. The second group argues
that qadha is not the absolute will of Allah. However, Allah gave power to humans and humans
were given the freedom to control it. So what determines human qadha is himself depending on how
a person uses the power given by Allah. And the third Group takes the opinion that qadha can be
in the form of God's absolute decree and it can also be in the form of power given to humans and
humans themselves who direct that power. To better understand the problem of qadha more deeply,
the writer understands the verses in the al-quran and sees the opinions of the tafsir scholars then
packs them in the form of a thematic method, so that they can meet a problem solving point. From
the results of the research that the author did, there were 133 qadha words in the al-Qur'an with
various finished words. Then the authors see from the language dictionary it turns out that the
meaning of the word qadha means measuring, grading or measuring so that we can understand that
qadha is the limit, size, content and provisions that Allah has given to humans. So it can be
concluded that qadha is not an absolute provision of Allah, but qadha that occurs in humans has a
law of causality or cause and effect, and in the law of cause and effect also applies God's inayah
(help).
Keywords: Qadha, Actions, Human
Abstrak. Takdir atau qadha merupakan masalah yang telah dibahas sejak zaman
Nabi, Sahabat, Tabi’in dan sampai sekarang. Permasalahan takdir sangat menarik
untuk dibahas, karena ada beberapa sekte yang memandang berbeda tentang takdir.
golongan pertama mengatakan bahwa takdir adalah ketetapan Allah yang tidak bisa
diganggu gugat, termasuk perbuatan manusia, sudah ada ketetapan Allah. Golongan
kedua berpendapat yang dimaksud takdir adalah bukan kehendak Allah secara
mutlak. Tetapi, Allah memberikan daya kepada manusia dan manusia diberikan
kebebasan untuk mengendalikannya. Maka yang menentukan takdir manusia itu
adalah dirinya sendiri tergantung bagaimana seseorang itu menggunakan daya yang
diberikan Allah. Dan golongan ketiga mengambil pendapat, bahwa takdir itu bisa
berbentuk ketetapan Allah secara mutlak dan bisa juga dalam bentuk daya yang
diberikan kepada manusia dan manusia itu sendiri yang mengarahkan daya tersebut.
Untuk lebih memahami permasalah takdir lebih mendalam maka penulis memahami
dari ayat-ayat yang ada dalam al-qur’an dan melihat pendapat dari ulama tafsir
kemudian mengemasnya dalam bentuk metode tematik, sehingga bisa bertemu
dengan titik pemecahan masalah. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan terdapat
sebanyak 133 kata qadha dalam al-Qur’an dengan berbagai kata jadinya. Kemudian
87
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
penulis lihat dari kamus bahasa ternyata pengertian dari kata qadha adalah berarti
mengukur, memberi kadar atau ukuran sehingga dapat kita pahami bahwa qadha
adalah batas, ukuran, kadar dan ketentuan yang telah diberikan Allah kepada
manusia. sehingga dapat disimpulkan takdir bukan ketentuan Allah secara mutlak
tetapi takdir yang terjadi pada manusia ada hukum kausalitas atau sebab akibat, dan
di dalam hukum sebab akibat berlaku juga inayah (pertolongan) Allah.
Kata Kunci: Qadha, Perbuatan, Manusia
PENDAHULUAN
Agama Islam yang ditegakkan oleh Nabi Muhammad saw. Dan
umatnya memiliki ajaran-ajaran sebagai pedoman hidup di dunia ini bagi
umat manusia. Ajaran-ajarannya itu dapat dibagi kepada dua bagian, (Dahlan,
2001, hlm. 136) yaitu: pertama, sebagian yang berada di bidang aqidah
(keyakinan), dan keuda, bagian yang berada dibidang ‘amal (perbuatan). Ajaran
yang berada dala bidang aqidah dimaksudkan untuk mendorong dan
membimbing umat manusia mengembangkan diri menuju kesempurnaan
pandangan (teoritis), yakni kesempurnaan pengetahuan, pemahaman, aqidah,
atau iman. Sedangkan ajaran yang berada dalam amal (perbuatan)
dimaksudkan untuk mendorong dan membimbing umat manusia demi
mengembangkan amal-amal sehingga tercapai kesempurnaan amali (Dahlan,
2001, hlm. 136).
Masalah takdir merupakan salah satu keyakinan atau ‘itikad terpenting
yang banyak mendapat perhatian baik ulama mutaqaddimin maupun ulama
mutaakhirin. Ada banyak kesimpulan tentang takdir diantaranya Islam
mengajarkan falsafah “fatalism” artinya manusia berserah diri kepada apa yang
terjadi pada dirinya, tanpa ada usaha untuk merubah dari suatu keadaan ke
keadaan lain yang lebih baik. Karena semua usaha dan ikhtiar tidak ada
gunanya.
Ada yang berpendapat bahawa ajaran tentang takdir itu membuat
orang jadi malas untuk berusaha, karena setelah mempelajari dan mendalami
tentang takdir orang menjadi bersifat “menanti keuntungan” saja menunggu
nasib baik. Yang sangat berbahaya ketika berhubungan dengan perbuatan
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 88
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
manusia, takdir dan ikhtiar dipahami secara salah, sehingga berdampak pada
perbuatan yang hanya menuruti hawa nafsunya, berbuat dosa dan maksiat,
karena mereka berkeyakinan bahwa perbuatan yang mereka lakukan sudah
merupakan takdir dari Tuhan (A. Jaiz, 1421, hlm. 2).
Sebagian orang menjadikan dalih untuk melakukan perbuatan maksiat
dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Mereka melemparkan kesalahan
kepada takdir dan pelanggaran mereka terhadap syariat agama. Sehingga
terbentuklah golongan yang menentang pendapat seperti itu dan menolak
adanya takdir. Manusia bebas melakukan apa saja, karena Allah telah
memberikan keleluasaaan kepada manusia untuk memilih dan memilah apa
yang ingin dilakukan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meluruskan pemahaman
orang-rang Islam tentang takdir. Selama ini pemahaman orang-orang tentang
takdir mengacu kepada mazhab atau aliran yang mereka pegang. Dengan
adanya penelitian ini akan megembangkan wawasan tentang takdir yang
berlandaskan al-Qur’an.
Pembahasan tentang takdir bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam,
cikal bakal perpecahan Islam dalam berbagai aliran itupun salah satunya
disebabkan adanya perbedaan pemahaman terhadap ayat-ayat yang
membicarakan tentang takdir. Sudah banyak para peneliti dan ilmuan-ilmuan
Islam yang membahas tentang takdir salah satunya, penelitian yang dilakukan
oleh Djaya cahyadi yang berjudul Takdir dalam pandangan Fakhr al-Din al-
Razhi. (Cahyadi, 2011) dalam tulisannya ia menyimpulkan bahwa al-Razhi
berpandangan bahwa takdir itu telah ditentukan sejak azali.
Selain penelitian di atas ada juga penelitian yang dilakukan oleh
Arnesih tentan Konsep Takdir dalam al-Qur’an (Arnesih, 2017) penelitian ini
lebih menitik beratkan konsep takdir berdasarkan turunnya ayat al-qur’an
sehingga penelitian ini melihat takdir dari segi waktu.
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 89
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, jika anda berkata, Allah telah
mentakdirkan demikian, maka itu berarti Allah telah memberi kadar, ukuran,
batas tertentu dalam diri, sifat atau kemampuan maksimal pada makhluk-Nya.
(Shihab, 1997, hlm. 61) hal senada juga dijelaskan oleh Fatahul Gulen yang
menjelaskan takdir adalah sebuah kadar yang proporsional yang ditentukan
oleh Allah (Haderi, 2014).
Dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Muh. Dahlan Thalib
disebutkan takdir adalah salah satu sifat Allah Swt. Yang bermakna berkuasa
atau menetapkan sesuatu, apakah ketetapan itu berbentuk mulia, sempit
maupun lapang (Thalib, 2015).
Untuk lebih memperdalam lagi pemahaman tentang takdir, berikut ini
penulis paparkan beberapa pengertian takdir menurut ulama.
Al-Jurjaniy
Al-Qadr adalah keterkaitan kehendak Tuhan dengan segala keadaan
baik itu masalah waktu, keadaan zaman tertentu (al-Jurjani, tth, hlm. 174).
Ibn Manzhur
Qadha dan qadar adalah muwaffiq (mempunyai pengertian sama)
dikatakan Tuhanlah yang menentukan (dan bisa juga berarti) apabila sesuatu
itu sesuai dengan sesuatu (artinya akan terjadi sesuai dengan kadar
ketentuannya). (Ibn Manzur, tth, hlm. 22)
Abu Hanifah
Qadar adalah penentuan sesuatu dengan martabatnya yang akan
diperoleh berupa kebaikan dan kejahatan, manfaat dan mudharat yang
meliputi setiap ruang dan waktu, termasuk penentuan, ganjaran dan
hukuman. (al-Kufi, tth, hlm. 22)
Dari beberapa definisi di atas, ada dua pendapat yang bisa kita ambil.
Pertama, bahwa takdir adalah sesuatu ketentuan yang sudah ditakdirkan Allah
sejak azali berlaku bagi semua makhluk ciptaan-Nya. Termasuk apa yang akan
didapat dan tidak akan bisa dirubah berupa kebaikan, kejahatan, pahala dan
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 91
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 92
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
Qashas (27):82, al-Ankabut (29): 62, al-Rum (30): 37, Saba’ (34): 36, al-
Zumar(39): 52, al-Syura (42): 12, dan al-Balad (90):5. (al-Baqi, tth, h. 36)
Al-Tabari dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa Allah SWT
menyampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, sesungguhnya Tuhanmu
melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya,
sehingga ada yang menjadi kaya, dan menyempitkan kepada siapa yang dia
kehendaki, sehingga menjadi kekurangan dan miskin. (al-Thabari, 1412, h.
342) Jadi makna dari kata al-qadr adalah adanya wewenang Allah dalam
mengatur rezeki seseorang, Allah bisa saja melapangkannya dan bisa pula
sebaliknya. Pendapat ini senada dengan Fakhr al-Din al-Razi. (al-Razi, 1405,
h. 17)
Quraish shihab berpendapat bahwa ayat di atas menunjukkan rezeki
disediakan oleh Allah SWT untuk setiap hamba-Nya untuk mencukupi
masing-masing yang bersangkutan.(Shihab, 2002, hlm. 455) Di satu sisi
manusia dianjurkan untuk berusaha semaksimal mungkin guna memperoleh
rezeki, dan menerimanya dengan ikhlas dan rasa puas disertai dengan
keyakinan inilah yang terbaik. Disisi lain ia harus yakin bahwa apa yang gagal
diperolehnya setelah berusaha secara maksimal, hendaknya meyakini bahwa
hal inilah yang terbaik bagi dirinya. Oleh karena itu tidak perlu melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan tuntunan dan perintah Allah untuk
memperoleh rezeki. Karena apa yang diusahakan dalam memperoleh rezeki
dengan jalan yang tidak sesuai dengan aturan Islam maka akan merugikan
dirinya sendiri.
Ayat ini juga bisa dipahami sebagai perintah Allah, untuk senantiasa
berusaha dengan tangan (hasil keringat) sendiri, dan setelah itu bersikap
tengah-tengah (hemat) dalam hidup serta mencela kebakhilan dan melarang
bersifat boros dan berlebih-lebihan.
Untuk lebih memahami lagi makna qadr disini penulis akan
memaparkan surah al-Qamar (54): 12
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 93
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
“Dan kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah
air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan.”
Maksud dari pertemuan air bumi dan air langit, dan suatu pertemuan
itu tidak mungkin terjadi bila hanya satu melainkan terjadi sekurang-
kurangnya dua benda atau lebih. Memang kata الماءbisa bermakna jamak dan
bisa bermakna tunggal. dan pada ayat di atas bentuknya tunggal dan
maknanya jamak. (al-Razi, 1405, hlm. 68) Dengan memperhatikan kata qadr
pada ayat tersebut maka hal itu menunjukkan tentang proses terjadinya
sesuatu pada bentuk tertentu, dalam hal ini pertemuan antara air langit dan
air bumi yang berjalan sesuai dengan hukum kausalitas, artinya terjadinya
sesuatu dikarenakan adanya sesuatu hal yang diperbuat. Berkaitan dengan
takdir dapat kita pahami bahwa terjadinya suatu takdir pada seseorang
dikarenakan perbuatan yang dilakukan sebelumnya.
Dalam mengkaji ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah, setidaknya
menurut Komaruddin Hidayat terdapat tiga macam takdir yang dikenal
manusia. (Hidayat, 1996, hlm. 120) Pertama, adalah takdir yang terjadi pada
penomena alam seperti dalam surah al-An’am (6): 96
“Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan
(menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah
yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 94
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 95
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 96
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
manusia. Dari sudut inilah manusia harus percaya kepada segala ketentuan-
ketentuan yang telah diatur oleh Allah.
Pembagian takdir kepada muallaq, jangan dijadikan sebuah belenggu
yang mengekang nasib manusia, manusia adalah makhluk yang mempunyai
akal, dari akal itu manusia bebas memilih dan bertindak dan memilih
alternatif terbaik bagi kepentingan dirinya.
Hubungan manusia dengan takdir Allah, sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, maka sesuai dengan peran dan fungsi manusia itu sendiri
sebagai khalifah Tuhan di bumi, ia memikul beban berat dan mulia. Oleh
karena itu, diberikan akal dan kemampuan fisik yang tangguh, dalam QS
‘Abasa: 18-19 Allah menjelaskan:
“Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani, Allah
menciptakannya lalu menentukannya.”
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 97
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 98
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 99
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 100
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 101
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
dan ibu. Padahal pada hakikatnya ia hanya merupakan sisi luar dari hukum
alam itu, dan bukan hukum alam sebenarnya (Muthahhari, 1401, hlm. 110).
Dengan begitu kelahiran Nabi Isa tidaklah membatalkan sunatullah, melainkan
membatalkan pandangan sisi luar mengenai sunatullah.
Sebagian orang menganalogikan sunnatullah di alam semesta, proses
penciptaan, balasan, pahala, kebahagiaan dan penderitaan dengan hukum
sosial manusia. Padahal, kenyataan sunnatullah itu mengikuti serangkaian
syarat-syarat takwiniyah dan haqiqiyah, dan dipandang sebagai bagian darinya.
Adapaun kondisi-kondisi sosial tidak lain hanyalah persoalan-persoalan
relatif (i’tibariyah) yang nilainya dibatasi oleh konvensi sosial manusia.
Dengan demikian maka hukum-hukum sosia dapat dipandang mengikuti
syarat-syarat relatif dan konvensional. Adapun mengenai persoalan
penciptaan, kejadian, balasan, pahala, dan sangsi Allah, tidak mungkin
mengikuti syarat-syarat tersebut, tatapi mengikuti syarat-syarat takwiniyah.
Hukum bukanlah suatu yang terpisah, yang sering dikaitkan dengan
hal praktik penciptaan, melainkan konsep universal yang ditarik oleh pikiran
yang tidak memiliki identitas luar tersendiri. Jadi, yang ada di luar hanyalah
hukum sebab akibat, dan ketika derajat wujud dan pikiran menyerap sesuatu
yang ada di luar, berarti ia menarik suatu hukum yang universal. Dengan
begitu, wujud itu memiliki tingkatan-tingkatan dan masing-masing tingkatan
memiliki posisi yang tetap, dan tidak mungkin sebab dari suatu itu akan
terlepas dari posisinya sebagai sebab dari sesuatu yang lain. Begitu juga
tidak mungkin sesuatu akibat akan terlepas dari posisinya sebagai akibat dari
sesuatu yang lain.
Hubungan Takdir dengan Doa dan Tawakkal
Hakikat Allah menciptakan manusia, tidak mengetahui segala sesuatu.
Allah mengajarkan kepada manusia apa yang dilakukannya untuk hidup di
dunia ini. Yaitu hal-hal yang mendatangkan kebaikan bagi agama, dunia,
aqidah dan amalannya. Allah memberikan kepada manusia kesanggupan
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 102
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
memahami apa yang Allah bentangkan di alam raya ini, yang menunjukkan
kepada wujud Allah dan kesempurnaan sifat-Nya, dan Allah memberi
petunjuk kepada manusia aturan-aturan kebenaran, keadilan dan kebajikan
melalui perantaraan Rasul-Nya.
Allah memberikan pula hidayah akal dan fitrah, yang dengan hidayah
itu manusia mengetahui jalan-jalan memperoleh penghidupan. Kemudian
Allah merahasiakan dari manusia dari segi yang selain dari itu,yakni yang tidak
sanggup dijangkau oleh fitrahnya, seperti mengetahui apa yang akan terjadi,
apa yang telah ada di atas langit, apa yang ada di bawah bumi, atau sesuatu
yang tersirat dalam dada manusia dan didalam rahim ibu, serta segala yang di
qadarkan untuknya, baik rezeki maupun ajal (al-Shidqy, 1999, hlm. 12).
Allah telah berkehendak dengan mengikat segala sebab dengan
musababnya dan mengistimewakan manusia atas makhluk yang lain, dengan
jalan memberikan manusia kehendak yang mendorong kepada kemajuan,
atau mundur yang disarankan oleh akal yang dapat membedakan antara yang
baik dengan yang buruk. Sekiranya manusia mengetahui apa yang Allah
ketahui, apa yang akan dihadapi, baik senang maupun susah, kebahagiaan
atau pun kecelakaan, tentulah dia tidak memikirkan sesuatu yang dapat
mendatangkan manfaat baginya, atau yang menolak kemudaratan, dan
tentulah sebab musabab, lalu hilanglah fungsi akal itu, iradat serta rusaklah
kaedah sebab musabab. (al-Shidqy, 1999, hlm. 103) Andaikata kita
mengetahui kapan kita meninggal atau kita gugur dalam ujian, tentulah
sepanjang masa menjadi bimbang pikiran dengan masalah-masalah itu. Dari
sinilah diperlukan adanya pensinkronisasian antara takdir dengan doa, dan
tawakkal. Berikut penulis paparkan hubungan takdir dengan doa dan
tawakkal:
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 103
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
Doa
Doa adalah permohonan hamba kepada Tuhannya, tidak sedikit ayat
al-Qur’an yang memerintahkan untuk senantiasa berdoa dan beribadah
kepada Allah seperti dalam QS. al-Mu’min (40) 60
“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri
dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.”
Wujud Allah yang mutlak dan dirasakan oleh jiwa manusia, serta
keyakinan adanya hukum-hukum yang ditetapkan-Nya, tidak boleh
mengantarkan manusia meninggalkan doa, sebab keberlakuan hukum-
hukum itu, idak mengakibatkan terbatasnya Allah dari perbuatan dan
kebijaksanaan-Nya. (Shihab, 2000, hlm. 96) Dalam penciptaan alam raya ini
Allah tidak membuat seperti pabrik yang memproduksi ”jam” kemudian
membiarkan berjalan secara otomatis di tangan. Tetapi, perlu kita ingat ada
namanya sunatullah (hukum-hukum Allah yang mengatur alam raya) dan ada
juga inayatullah (pertolongan Allah). Yang tidak kalah dari sunnah-Nya. Inayah
itu ditunjukkan kepada orang-orang yang benar-benar berdoa kepadanya.
(Shihab, 2000, hlm. 96)
Tawakkal
Tawakkal berasal dari kata wakala yang artinya menyerahkan, jadi
tawakkal kepada Allah artinya, menyerahkan kepada Allah. (al-Afriqi, 1414,
hlm. 734) Menurut istilah tawakkal adalah menyerahkan dan menyandarkan
diri kepada Allah setelah berusaha serta berpegang teguh kepada-Nya
setelah melakukan usaha atau ikhtiar. (al-Dumajiji, 2000, hlm. 3)
Ayat al-Qur’an banyak menjelaskan tentang tawakkal, bahwa manusia
harus tawakkal dan tawakkalnya itu harus didahului dengan usaha atau
ikhtiar. Seperti QS. al-Anhal (16): 41- 42
“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti
kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. dan
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 104
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 105
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
tugas dan tugas itu diwujudkan dalam berbagai bentuk perbuatan. Tugas
terwujud karena ia diberi syarat-syarat untuk itu, misalnya anggota badan,
akal, pilihan, putusan, daya dan kemampuan.
Dibalik adanya hukum kausalitas perlu diingat ada inayah
(pertolongan) Allah yang bisa terjadi pada manusia, orang Islam wajib yakin
di setiap perbuatan dan tindakan adanya pertolongan Allah bisa diwujudkan
melalui doa. Dan bagian akhir adalah menyerahkan sepenuhnya kepada Allah
atau tawakkal.
DAFTAR REFERENSI
A. Jaiz, H. (1421). Rukun Iman Digoncang. Pustaka al-Naba’.
al-Afriqi, J. al-D. M. ibn M. ibn M. (1414). Lisan al-’Arab. Dar al-Fikr.
al-Baqi, F. ’Abd. (tth). Al-Mu’jam al-Muharas li al-Fazah al-Qur’an. Dar al-Fikr.
al-Dumajiji, A. ibn U. (2000). Rahasia Tawakkal dan Sebab Akibat. Pustaka
Azzam.
al-Jurjani, al-S. ’Ali ibn M. (tth). Kitab al-Ta’rifat. Jeddah Haramain.
al-Kufi, A. H. al-N. ibn T. (tth). Syarah Kitab al-Fiqh al-Akbar. Dar al-Kutub
al-Ilmiyah.
al-Razi, F. al-Din. (1405). Tafsir Fakhr al-Razi: Vol. X. Dar al-Fikr.
al-Shidqy, T. M. H. (1999). Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Pustaka
Rizki Putra.
al-Thabari, A. J. M. ibn J. al-Thabari. (1412). Tafsir al-Thabari al-Musamma al-
Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an: Vol. VIII. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Arnesih. (2017). Konsep Takdir dalam al-Qur’an. Diya al-Fakar Jurnal Studi al-
Qur’an dan Hadis.
Cahyadi, D. (2011). Takdir Dalam Pandangan Fakhr al-Din al-Razhi.
Dahlan, A. A. (2001). Teologi dan Aqidah dalam Islam. IAIN IB-Press.
Haderi, H. (t.t.). Takdir dan Kebebasan Menurut Fathullah Gulen.
Hidayat, K. (1996). Takdir dan Kebebasan. Paramadina.
Ibn Manzur. (tth). Lisan al-Arab. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 106
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 107