Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

56-Article Text-453-1-10-20210626 PDF

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 21

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah

Vol. 3 No. 1, Juni 2021


ISSN: 2715-6273 (online) 2714-6510 (print)
https://jurnalfuad.org/index.php/ishlah/index

Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)


Iril Admizal, M.A.
Institut Agama Islam Negeri Kerinci
iriladmizal7@gmail.com

Abstract. Qadha is a problem that has been discussed since the time of the Prophet, friend,
Tabi'in and until now. The issue of fate is very interesting to discuss, because there are several sects
that view qadha differently. The first group says that qadha is a decree of Allah which cannot be
contested, including human actions, there is already a provision of Allah. The second group argues
that qadha is not the absolute will of Allah. However, Allah gave power to humans and humans
were given the freedom to control it. So what determines human qadha is himself depending on how
a person uses the power given by Allah. And the third Group takes the opinion that qadha can be
in the form of God's absolute decree and it can also be in the form of power given to humans and
humans themselves who direct that power. To better understand the problem of qadha more deeply,
the writer understands the verses in the al-quran and sees the opinions of the tafsir scholars then
packs them in the form of a thematic method, so that they can meet a problem solving point. From
the results of the research that the author did, there were 133 qadha words in the al-Qur'an with
various finished words. Then the authors see from the language dictionary it turns out that the
meaning of the word qadha means measuring, grading or measuring so that we can understand that
qadha is the limit, size, content and provisions that Allah has given to humans. So it can be
concluded that qadha is not an absolute provision of Allah, but qadha that occurs in humans has a
law of causality or cause and effect, and in the law of cause and effect also applies God's inayah
(help).
Keywords: Qadha, Actions, Human

Abstrak. Takdir atau qadha merupakan masalah yang telah dibahas sejak zaman
Nabi, Sahabat, Tabi’in dan sampai sekarang. Permasalahan takdir sangat menarik
untuk dibahas, karena ada beberapa sekte yang memandang berbeda tentang takdir.
golongan pertama mengatakan bahwa takdir adalah ketetapan Allah yang tidak bisa
diganggu gugat, termasuk perbuatan manusia, sudah ada ketetapan Allah. Golongan
kedua berpendapat yang dimaksud takdir adalah bukan kehendak Allah secara
mutlak. Tetapi, Allah memberikan daya kepada manusia dan manusia diberikan
kebebasan untuk mengendalikannya. Maka yang menentukan takdir manusia itu
adalah dirinya sendiri tergantung bagaimana seseorang itu menggunakan daya yang
diberikan Allah. Dan golongan ketiga mengambil pendapat, bahwa takdir itu bisa
berbentuk ketetapan Allah secara mutlak dan bisa juga dalam bentuk daya yang
diberikan kepada manusia dan manusia itu sendiri yang mengarahkan daya tersebut.
Untuk lebih memahami permasalah takdir lebih mendalam maka penulis memahami
dari ayat-ayat yang ada dalam al-qur’an dan melihat pendapat dari ulama tafsir
kemudian mengemasnya dalam bentuk metode tematik, sehingga bisa bertemu
dengan titik pemecahan masalah. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan terdapat
sebanyak 133 kata qadha dalam al-Qur’an dengan berbagai kata jadinya. Kemudian

87
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

penulis lihat dari kamus bahasa ternyata pengertian dari kata qadha adalah berarti
mengukur, memberi kadar atau ukuran sehingga dapat kita pahami bahwa qadha
adalah batas, ukuran, kadar dan ketentuan yang telah diberikan Allah kepada
manusia. sehingga dapat disimpulkan takdir bukan ketentuan Allah secara mutlak
tetapi takdir yang terjadi pada manusia ada hukum kausalitas atau sebab akibat, dan
di dalam hukum sebab akibat berlaku juga inayah (pertolongan) Allah.
Kata Kunci: Qadha, Perbuatan, Manusia

PENDAHULUAN
Agama Islam yang ditegakkan oleh Nabi Muhammad saw. Dan
umatnya memiliki ajaran-ajaran sebagai pedoman hidup di dunia ini bagi
umat manusia. Ajaran-ajarannya itu dapat dibagi kepada dua bagian, (Dahlan,
2001, hlm. 136) yaitu: pertama, sebagian yang berada di bidang aqidah
(keyakinan), dan keuda, bagian yang berada dibidang ‘amal (perbuatan). Ajaran
yang berada dala bidang aqidah dimaksudkan untuk mendorong dan
membimbing umat manusia mengembangkan diri menuju kesempurnaan
pandangan (teoritis), yakni kesempurnaan pengetahuan, pemahaman, aqidah,
atau iman. Sedangkan ajaran yang berada dalam amal (perbuatan)
dimaksudkan untuk mendorong dan membimbing umat manusia demi
mengembangkan amal-amal sehingga tercapai kesempurnaan amali (Dahlan,
2001, hlm. 136).
Masalah takdir merupakan salah satu keyakinan atau ‘itikad terpenting
yang banyak mendapat perhatian baik ulama mutaqaddimin maupun ulama
mutaakhirin. Ada banyak kesimpulan tentang takdir diantaranya Islam
mengajarkan falsafah “fatalism” artinya manusia berserah diri kepada apa yang
terjadi pada dirinya, tanpa ada usaha untuk merubah dari suatu keadaan ke
keadaan lain yang lebih baik. Karena semua usaha dan ikhtiar tidak ada
gunanya.
Ada yang berpendapat bahawa ajaran tentang takdir itu membuat
orang jadi malas untuk berusaha, karena setelah mempelajari dan mendalami
tentang takdir orang menjadi bersifat “menanti keuntungan” saja menunggu
nasib baik. Yang sangat berbahaya ketika berhubungan dengan perbuatan

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 88
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

manusia, takdir dan ikhtiar dipahami secara salah, sehingga berdampak pada
perbuatan yang hanya menuruti hawa nafsunya, berbuat dosa dan maksiat,
karena mereka berkeyakinan bahwa perbuatan yang mereka lakukan sudah
merupakan takdir dari Tuhan (A. Jaiz, 1421, hlm. 2).
Sebagian orang menjadikan dalih untuk melakukan perbuatan maksiat
dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Mereka melemparkan kesalahan
kepada takdir dan pelanggaran mereka terhadap syariat agama. Sehingga
terbentuklah golongan yang menentang pendapat seperti itu dan menolak
adanya takdir. Manusia bebas melakukan apa saja, karena Allah telah
memberikan keleluasaaan kepada manusia untuk memilih dan memilah apa
yang ingin dilakukan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meluruskan pemahaman
orang-rang Islam tentang takdir. Selama ini pemahaman orang-orang tentang
takdir mengacu kepada mazhab atau aliran yang mereka pegang. Dengan
adanya penelitian ini akan megembangkan wawasan tentang takdir yang
berlandaskan al-Qur’an.
Pembahasan tentang takdir bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam,
cikal bakal perpecahan Islam dalam berbagai aliran itupun salah satunya
disebabkan adanya perbedaan pemahaman terhadap ayat-ayat yang
membicarakan tentang takdir. Sudah banyak para peneliti dan ilmuan-ilmuan
Islam yang membahas tentang takdir salah satunya, penelitian yang dilakukan
oleh Djaya cahyadi yang berjudul Takdir dalam pandangan Fakhr al-Din al-
Razhi. (Cahyadi, 2011) dalam tulisannya ia menyimpulkan bahwa al-Razhi
berpandangan bahwa takdir itu telah ditentukan sejak azali.
Selain penelitian di atas ada juga penelitian yang dilakukan oleh
Arnesih tentan Konsep Takdir dalam al-Qur’an (Arnesih, 2017) penelitian ini
lebih menitik beratkan konsep takdir berdasarkan turunnya ayat al-qur’an
sehingga penelitian ini melihat takdir dari segi waktu.

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 89
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

Sampai disini penulis memaparkan hasil penelitian terdahulu yang


relevan. Dilihat dari penelitian-penelitian yang ada, maka penulis memandang
masih perlunya melakukan penelitian yang lebih lanjut tentang takdir, yang
khusus membahas tentang hubungan takdir dengan kehendak Allah.
Penelitian ini mengambil sumber data primer dari al-Qur’an.
Penelitian ini merupakan library research (penelitian kepustakaan) yang
mana sumber-sumber yang menjadi rujukan dalam penelitian ini diambil dari
perpustakaan, seperti: buku-buku, artikel-artikel, jurnal-jurnal, dan lain-lain.
Penelitian ini juga menggunakan metode tafsir maudhu’i, metode ini
adalah metode yang mengarahkan kepada suatu tema tertentu, lalu
mengarahkan pandangan kepada al-Qur’an, dengan cara mengumpulkan
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah takdir. Selanjutnya dilakukan
penalaran (analisis) terhadap isi kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Sambil
memperkaya uraian dengan hadis-hadis, pendapat sahabat maupun pendapat
ulama, sehingga hasil akhirnya bisa diambil kesimpulan tentang permasalahan
takdir.(Shihab, 2013, hlm. 385)
PEMBAHASAN
Pengertian
Kata al-qadr (‫ )القدر‬secara bahasa berasal dari kata kerja ‫– يقدر – قدرا‬
‫ قدر‬yang berarti kekuasaan, ukuran sesuatu, penentuan, kemuliaan, (Mustafa,
1392, hlm. 718) dan term takdir yang berakar sama dengan al-qadr adalah
mashdar dari kata ‫ قدر – يقدر – قدرا‬yang berarti penentuan, pengaturan dan
penentuan sesuatu. (Mustafa, 1392, hlm. 718) Dalam lisan al-Arab, kata al-
Qadr dan al-Taqdir mempunyai makna yang sama yaitu ketentuan Allah,
kedua kata ini sering digunakan dalam makna yang sama yaitu ketentuan
Allah. Itulah sebabnya rukun iman yang ke enam yaitu iman kepada al-qadr
dalam hadis tentang rukun iman sering diungkapkan iman kepada takdir
sekalipun lafaznya tertulis ‫لقدرا‬. Ulama kenamaan Indonesia M. Quraish
Shihab menjelaskan bahwa kata takdir terambil dari kata ‫ قدر‬yang antara lain
Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 90
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, jika anda berkata, Allah telah
mentakdirkan demikian, maka itu berarti Allah telah memberi kadar, ukuran,
batas tertentu dalam diri, sifat atau kemampuan maksimal pada makhluk-Nya.
(Shihab, 1997, hlm. 61) hal senada juga dijelaskan oleh Fatahul Gulen yang
menjelaskan takdir adalah sebuah kadar yang proporsional yang ditentukan
oleh Allah (Haderi, 2014).
Dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Muh. Dahlan Thalib
disebutkan takdir adalah salah satu sifat Allah Swt. Yang bermakna berkuasa
atau menetapkan sesuatu, apakah ketetapan itu berbentuk mulia, sempit
maupun lapang (Thalib, 2015).
Untuk lebih memperdalam lagi pemahaman tentang takdir, berikut ini
penulis paparkan beberapa pengertian takdir menurut ulama.
Al-Jurjaniy
Al-Qadr adalah keterkaitan kehendak Tuhan dengan segala keadaan
baik itu masalah waktu, keadaan zaman tertentu (al-Jurjani, tth, hlm. 174).
Ibn Manzhur
Qadha dan qadar adalah muwaffiq (mempunyai pengertian sama)
dikatakan Tuhanlah yang menentukan (dan bisa juga berarti) apabila sesuatu
itu sesuai dengan sesuatu (artinya akan terjadi sesuai dengan kadar
ketentuannya). (Ibn Manzur, tth, hlm. 22)
Abu Hanifah
Qadar adalah penentuan sesuatu dengan martabatnya yang akan
diperoleh berupa kebaikan dan kejahatan, manfaat dan mudharat yang
meliputi setiap ruang dan waktu, termasuk penentuan, ganjaran dan
hukuman. (al-Kufi, tth, hlm. 22)
Dari beberapa definisi di atas, ada dua pendapat yang bisa kita ambil.
Pertama, bahwa takdir adalah sesuatu ketentuan yang sudah ditakdirkan Allah
sejak azali berlaku bagi semua makhluk ciptaan-Nya. Termasuk apa yang akan
didapat dan tidak akan bisa dirubah berupa kebaikan, kejahatan, pahala dan

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 91
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

siksaan. Kedua, pemahaman tentang takdir lebih mengarah kepada adanya


usaha manusia untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang menjadikannya
sebab akibat berlakunya takdir itu.
Pemahaman takdir pada versi pertama tidak salah, karena ada hal-hal
dalam hidup di luar kemampuan dan nalar manusia untuk menolak dan
melakukannya, hanya saja jika pemahaman ini yang diterapkan, maka orang
Islam akan memiliki mental dan semangat yang tidak mendorong kreativitas,
akan melahirkan sikap fatalistik, yang mana sikap seperti ini akan
menyerahkan semua sesuatu kepada nasib yang akan terjadi tanpa ada usaha
untuk memperbaiki atau mengubahnya. Orang Islam tidak akan mengalami
kemajuan bahkan penurunan karena tidak ada kreativitas yang diciptakan.
Pemahaman dari pengertian yang kedua akan mendorong lahirnya
kreativitas, sikap dan perilaku dinamis, karena terjadinya takdir itu terkait
dengan kegiatan yang sesuai dengan ketentuannya, mengupayakan sesuatu
yang sesuai dengan ketentuan yang akan terjadi menjadi peluang manusia
untuk kreatif menentukan cara yang sesuai dalam mengatasi masalah.
Takdir dalam al-Qur’an
Dalam al-Qur’an kata takdir dalam berbagai bentuk disebut sebanyak
133 kali. (al-Baqi, tth, hlm. 538) Kata qadha dalam berbagai bentuk disebutkan
sebanyak 63 kali. Kata qadar dalam berbagai bentuk tidak termasuk bentuk
fail, disebut sebanyak 73 kali. (al-Baqi, tth, hlm. 538) Untuk melihat makna
dasar pada beberapa surat tersebut, penulis akan mengemukakan beberapa
keterangan dari para ahli tafsir. Dalam surah al-Isra’: 30, Allah berfirman:
“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang dia
kehendaki dan menyempitkannya, sesungguhnya dia Maha Mengetahui Lagi
Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.”

Ayat yang semakna dengan surah al-Isra’: 30 terulang sebanyak 10


kali, yaitu dalam QS.al-Ra’du (13):26, al-Nahl (16): 75, al-Isra’ (17): 30, al-

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 92
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

Qashas (27):82, al-Ankabut (29): 62, al-Rum (30): 37, Saba’ (34): 36, al-
Zumar(39): 52, al-Syura (42): 12, dan al-Balad (90):5. (al-Baqi, tth, h. 36)
Al-Tabari dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa Allah SWT
menyampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, sesungguhnya Tuhanmu
melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya,
sehingga ada yang menjadi kaya, dan menyempitkan kepada siapa yang dia
kehendaki, sehingga menjadi kekurangan dan miskin. (al-Thabari, 1412, h.
342) Jadi makna dari kata al-qadr adalah adanya wewenang Allah dalam
mengatur rezeki seseorang, Allah bisa saja melapangkannya dan bisa pula
sebaliknya. Pendapat ini senada dengan Fakhr al-Din al-Razi. (al-Razi, 1405,
h. 17)
Quraish shihab berpendapat bahwa ayat di atas menunjukkan rezeki
disediakan oleh Allah SWT untuk setiap hamba-Nya untuk mencukupi
masing-masing yang bersangkutan.(Shihab, 2002, hlm. 455) Di satu sisi
manusia dianjurkan untuk berusaha semaksimal mungkin guna memperoleh
rezeki, dan menerimanya dengan ikhlas dan rasa puas disertai dengan
keyakinan inilah yang terbaik. Disisi lain ia harus yakin bahwa apa yang gagal
diperolehnya setelah berusaha secara maksimal, hendaknya meyakini bahwa
hal inilah yang terbaik bagi dirinya. Oleh karena itu tidak perlu melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan tuntunan dan perintah Allah untuk
memperoleh rezeki. Karena apa yang diusahakan dalam memperoleh rezeki
dengan jalan yang tidak sesuai dengan aturan Islam maka akan merugikan
dirinya sendiri.
Ayat ini juga bisa dipahami sebagai perintah Allah, untuk senantiasa
berusaha dengan tangan (hasil keringat) sendiri, dan setelah itu bersikap
tengah-tengah (hemat) dalam hidup serta mencela kebakhilan dan melarang
bersifat boros dan berlebih-lebihan.
Untuk lebih memahami lagi makna qadr disini penulis akan
memaparkan surah al-Qamar (54): 12

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 93
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

“Dan kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah
air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan.”

Maksud dari pertemuan air bumi dan air langit, dan suatu pertemuan
itu tidak mungkin terjadi bila hanya satu melainkan terjadi sekurang-
kurangnya dua benda atau lebih. Memang kata ‫ الماء‬bisa bermakna jamak dan
bisa bermakna tunggal. dan pada ayat di atas bentuknya tunggal dan
maknanya jamak. (al-Razi, 1405, hlm. 68) Dengan memperhatikan kata qadr
pada ayat tersebut maka hal itu menunjukkan tentang proses terjadinya
sesuatu pada bentuk tertentu, dalam hal ini pertemuan antara air langit dan
air bumi yang berjalan sesuai dengan hukum kausalitas, artinya terjadinya
sesuatu dikarenakan adanya sesuatu hal yang diperbuat. Berkaitan dengan
takdir dapat kita pahami bahwa terjadinya suatu takdir pada seseorang
dikarenakan perbuatan yang dilakukan sebelumnya.
Dalam mengkaji ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah, setidaknya
menurut Komaruddin Hidayat terdapat tiga macam takdir yang dikenal
manusia. (Hidayat, 1996, hlm. 120) Pertama, adalah takdir yang terjadi pada
penomena alam seperti dalam surah al-An’am (6): 96
“Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan
(menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah
yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”

Yaitu hukum atau ketentuan Allah yang mengikat perilaku alam


yang bersifat objektif sehingga waktu serta hukum kausalitas alam mudah
dipahami oleh manusia. Respon waktu dari mekanisme hukum alam ini
relatif pendek sehingga hasil dan efeknya mudah serta cepat diketahui oleh
manusia. Contoh yang mudah dipahami adalah seperti obat-obatan yang
diberikan kepada manusia. Adanya takdir Allah yang berlaku objektif dari
obat ini terjadilah hukum kausalitas atau hukum sebab akibat.
Kedua, takdir yang berkenaan dengan hukum sosial (sunnatullah) yang
berlaku dengan melibatkan manusia hadir di dalamnya. Dalam ayat al-Qur’an

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 94
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

takdir yang berbentuk sunnatullah ini sering diisyaratkan dengan bentuk


pertanyaan seperti, “Apakah kamu sekalian tidak belajar dari perilaku kaum
sebelum kamu yang senantiasa membuat kerusakan di bumi?” nada
pertanyaan semacam ini sering diulang dalam al-Qur’an yang
mengisyaratkan bahwa takdir Allah itu objektif. Artinya, nasib jatuh bangun
suatu kaum itu memiliki rasionalitas tersendiri yang dipahami oleh generasi
setelahnya. Karena adanya hukum sosial objektif inilah maka kita selalu
mengenal yang namanya ilmu sejarah, sosiologi dan juga psikologi. Waktu
respon dari sunnatullah ini relatif lebih panjang ketimbang takdir yang
berlaku pada hukum alam. Lebih dari itu hasilnya juga tidak sejelas pada
hukum alam karena manusia yang mengamati ikut hadir dan terlibat di
dalamnya. Itulah sebabnya barangkali ilmu humaniora itu sering dikenal
dengan istilah soft science sedangkan ilmu alam disebut hard science.
Ketiga, adalah takdir dalam pengertian kepastian Allah, yang berlaku
tetapi waktu responnya lebih jauh lagi, yaitu efeknya baru diketahui setelah di
alam akhirat nanti. Ketika di dunia efek dari hubungan sebab akibatnya
belum berakhir, sehingga harus dibuktikan nanti di akhirat. Takdir Allah
yang ketiga ini bisa disikapi dengan iman, karena selama kita masih di dunia
efeknya belum bisa dibuktikan. Sementara informasinya lalu didasarkan pada
berita kitab suci. Takdir seperti ini kadang al-Qur’an menggunakan dengan
istilah qadha bahwa nasib orang di akhirat nanti akan ditentukan oleh apa
yang diperbuat selama hidup di dunia. Bagi siapa yang berbuat amal kebaikan
maka akan memperoleh kenikmatan di akhirat, dan bagi siapa yang berbuat
kejahatan maka ia pun akan mendapat kesengsaraan.
Dari ketiga bentuk takdir yang telah penulis paparkan di atas dapat
kita ambil kesimpulan takdir pada dasarnya adalah merupakan semacam
hukum sebab akibat yang berlaku secara pasti, yang operasionalnya di
bawah kontrol Allah SWT.

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 95
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

Ayat-ayat yang menggunakan kata qadha menggambarkan bahwa


penciptaan alam semesta dan segala isinya serta segala isinya serta segala
ketentuannya yang berlaku atasnya adalah qadha Allah melalui hukum yang
adil, Allah juga memberlakukannya di akhirat. Dengan demikian segala suatu
yang terjadi di alam semesta adalah qadha juga dikaitkan dengan kata qadha
manusia, seperti ketika Nabi Musa menetapkan waktu untuk kembali ke
Mesir.
Seperti kata qadha , kata qadar juga dikaitkan dengan segala ciptaan
Allah baik itu yang di langit maupun yang di bumi sehingga masing-masing
telah ditetapkan ukurannya sesuai dengan fungsinya yang kemudian disebut
sebagai takdir Allah atau sunnatullah. Bentuk ketentuan seperti api membakar,
dinginnya air, burung bisa terbang, kemampuan manusia terletak pada fisik,
akal dan rohaninya dan lain sebagainya mulai yang terbesar sampai yang
terkecil. Terkait dengan adanya kekuasaan Allah dalam meluaskan dan
menyempitkan rezeki, maka manusia tidak mempunyai kekuasaan mutlak
atas usahanya.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari paparan di atas adalah, segala yang
mawjud dan terjadi di alam semesta ini adalah karena qadha Allah yang
masing-masing telah ditentukan kadar atau takdirnya. Manusia tidak
mempunyai kekuasaan mutlak atas segala usahanya, tetapi takdir Allah yang
berlaku secara mutlak.
Berbeda dengan Kamaruddin Hidayat, Ahmad Sanusi
mengelompokkan qadar Tuhan menjadi dua yaitu: (1) Qadar mubram, yaitu
ketentuan Tuhan kepada manusia, alam dan peristiwa yang mesti terjadi dan
tidak dapat dielakkan. (2) Qadar mu’allaq, ialah ketentuan Tuahan yang masih
dapat berubah. (Sanusi, tth, hlm. 14)
Qadar mubram adalah suatu qadar yang terjadi pada alam semesta
sedangkan qadar mu’allaq mengatur tingkah laku atau perbuatan-perbuatan

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 96
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

manusia. Dari sudut inilah manusia harus percaya kepada segala ketentuan-
ketentuan yang telah diatur oleh Allah.
Pembagian takdir kepada muallaq, jangan dijadikan sebuah belenggu
yang mengekang nasib manusia, manusia adalah makhluk yang mempunyai
akal, dari akal itu manusia bebas memilih dan bertindak dan memilih
alternatif terbaik bagi kepentingan dirinya.
Hubungan manusia dengan takdir Allah, sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, maka sesuai dengan peran dan fungsi manusia itu sendiri
sebagai khalifah Tuhan di bumi, ia memikul beban berat dan mulia. Oleh
karena itu, diberikan akal dan kemampuan fisik yang tangguh, dalam QS
‘Abasa: 18-19 Allah menjelaskan:
“Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani, Allah
menciptakannya lalu menentukannya.”

Kata ‫ فقدر‬pada ayat di atas menjelaskan tentang penciptaan organ


manusia yang begitu lengkap, tujuan diberikannya kesempurnaan kepada
manusia supaya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia, sejak dari asal
kejadianya hingga akhir hayat, dengan kata lain, hubungan manusia dengan
takdir Tuhan mengandung unsur ikhtiyari, tidak pasif. Kerena di dalam
perbuatan manusia yang berbentuk ikhtiyari, terjadilah hubungan yang aktif
yang terwujud dalam sikap, gairah manusia untuk tidak sekedar hidup secara
alamiah, tatapi membawa paham dinamika, ia tidak sekedar menerima apa
adanya, melainkan berusaha mengubah dan memperbaiki kehidupan diri dari
lingkungan. Dalam bentuk yang lebih jauh lagi, hubungan aktif ini di
wujudkan dalam bentuk usaha dan keinginan manusia yang mempunyai
tanggung jawab dalam menentukan sikap dan pilihannya, sebab manusia
kelak akan dimintai tanggung jawabnya dihadapan Allah.

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 97
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

Dalam hal itu pula al-Qur’an menjelaskan persoalan pertanggung


jawaban adalah bersifat pribadi sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam
QS. Al-Fathir (35): 18
“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. dan jika
seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu
tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya
itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan Hanya
orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak
melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. dan barangsiapa yang
mensucikan dirinya, Sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya
sendiri. dan kepada Allahlah kembali(mu).”

Berdasarkan ayat di atas maka qadar dan tanggung jawab manusia


sebanding dengan kemampuan yang dimiliki secara perorangan, sehingga
beban di luar tanggung jawabnya tidak dapat di terima. (Sanusi, tth, hlm. 15)
Dengan demikian, hubungan manusia dengan takdir, seharusnya
dimanifestasikan dalam bentuk peran dan fungsi serta penyesuaian diri
secara aktif dan kreatif dalam rangka pengembangan amanat Tuhan.
Dari dua yang mengemukakan pembagian takdir, secara zhahir
kelihatan berbeda. Tetapi, pada prinsipnya mempunyai kesamaan. Terutama
tentang takdir manusia, takdir manusia bukan semata-mata kehendak dari
Allah. Tetapi, mempunyai hubungan kausalitas atau sebab akibat, pendapat
ini dikuatkan oleh Ahmad Sanusi yang menjelaskan tentang pemberian akal
kepada manusia. akal yang diberikan kepada manusia itu merupakan hak
pribadi dalam penggunaannya. Dan pertanggung jawabannya juga secara
perorangan.
Hubungan Takdir dengan Sunnatullah
Allah SWT menggunakan kata pencipta dengan kata khalaqa dan kata-
kata jadinya. Dalam kamus disebutka bahwa kata khalqa mempunyai
pengertian dasar yaitu memberikan ukuran kepada sesuatu (taqdir al-syay) dan
melicinkan sesuatu (malasah al-syay .(Zakariya, 1969, hlm. 213). Kata tersebut

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 98
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

digunakan juga untuk menunjukkan penciptaan tanpa asal, atau contoh


sesuai dengan QS. al-An’am (6): 73
“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. dan benarlah
perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: "Jadilah, lalu terjadilah", dan di
tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui
yang ghaib dan yang nampak. dan dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui.”

Diartikan demikian itu karena sesuai dengan QS.al-Baqarah (2): 117


“Allah pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk
menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya:
"Jadilah!" lalu jadilah ia.”

Pemakaian kata khalaqa dalam pengertian menciptakan hanya dimiliki


oleh Allah SWT hal ini dipertegas agar dapat membedakan antara Allah
dengan selain-Nya. Sunnatullah fi khaliqatihi (sistem Allah dalam mengelola
penciptaan-Nya) sebagaimana al-Qur’an adalah bersifat konstan, tidak pernah
mengalami pergantian dan tidak mengenal perubahan. Sebagaimana
dijelaskan oleh Allah dalam QS. Fatih (35): 43
“Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka)
yang jahat. rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang
merencanakannya sendiri. tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan
(berlakunya) sunnah (Allah yang Telah berlaku) kepada orang-orang yang
terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi
sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi
sunnah Allah itu.”

Muthahhari menyebutkan bahwa sunnatullah tidak akan berubah


sebagaimana berubahnya hukum-hukum yang relatif yang dapat ditambahkan
atau dikurangi, kemudian bagian tersebut direvisi tanpa harus menghapus
prinsip tersebut. (Muthahhari, 1401, hlm. 22)
Dengan sistem pengolahan yang konstan, maka segenap alam ciptaan
ini berproses dengan berjalan secara rutin, obyektif dan eksak, dengan sistem
demikian sifatnya berproses, pergeseran atau interaksi yang terjadi adalah

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 99
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

bersifat otonom. Allah menegaskan bahwa perjalanan segenap alam ciptaan


ini bersifat otonom sehingga tidak akan ada siksa atau bencana yang
diturunkan tiba-tiba. Lantaran dosa-dosa yang diperbuat manusia. Kalau
dosa-dosa yang diperbuat manusia itu menjadi sebab turunnya bencana, maka
tidak akan ada makhluk yang selamat dari bencana. Karena terlalu banyak
dosa-dosa yang diperbuat manusia.
Demikian bahwa Allah menciptakan segala sesuatu, kemudian pada
setiap penciptaan-Nya diletakkan dengan qadar (ukuran) yang bersifat eksak
yang dikaitkan dalam hubungan sebab akibat. Hubungan atau interaksi antar
sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan kadarnya masing-masing yang
kemudian melahirkan kualitas atau kejadian tertentu dengan berjalan dan
berproses secara otonom. Semua maujud akan mampu dan dapat berjalan
secara pasti, obyektif dan terus menerus, di mana satu jenis ciptaan dengan
jenis ciptaan yang lain akan saling terkait, saling ketergantungan, sehingga
seluruh isi alam ini merupakan satu kesatuan. Maka alam bisa berkemabang
secara seimbang (Subhi, 1969, hlm. 113).
Senada dengan pendapat di atas M. Quraish Shihab, mengatakan
bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dari sisi kejadiannya,
dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, dan
itulah yang disebut takdir (Shihab, 1997, hlm. 63). Tidak ada sesuatu yang
terjadi tanpa takdir, termasuk manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut berada
dalam pengetahuan dan ketentuan Allah, yang keduanya menurut sementara
ulama dapat disimpulakan dalam istilah sunatullah, atau sering salah disebut
dengan istilah “hukum-hukum alam” (Shihab, 1997, hlm. 63). Allah SWT
dalam mengelola alam ciptaan-Nya bersifat konstan, tidak mengenal
perubahan dan tidak pernah mengalami pergantian. Karena sunnatullah
bersifat konstan, maka manusia mampu dan dapat melakukan pengamatan
atau penelitian, sehingga adanya yang namanya “ilmu pengetahuan”. Ilmu
pengetahuan dalam kontek ini, tidak lain adalah upaya manusia untuk

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 100
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

memahami hukum Allah (hukum kausalitas) yang diletakkan pada alam


ciptaan-Nya. Oleh karena itu ilmu pengetahuan akan memiliki nilai-nilai
kebenaran secara representatip mewakili kepastian hukum-Nya. Sedangkan
ilmu pengetahuan yang benar akan sangat bermanfaat bagi kehidupan.
Apabila kita memperhatiakn perubahan pada hukum alam, maka perubahan
tersebut benar-benar merupakan akibat yang ditimbulkan oleh berubahnya
syarat-syarat. Jelas bahwa suatu hukum alam akan berlaku pada lingkuangan
syarat tertentu, dan apabila syarat tersebut berubah, maka yang akan berlaku
adalah sunsatullah yang lain, dan perubahan itu terkait pula oleh syarat-syarat
tertentu. (Muthahhari, 1401, hlm. 110) Dengan demikian, hukum alam itu
berubah menurut hukum itu sendiri, tidak dalam pengertian bahwa suatu
hukum itu dihapuskan begitu saja lantas diaganti dengan hukum tertentu,
begitu terjadi perubahan dalam syarat-syarat hukum tertentu, maka
munculllah syarat-syarat yang baru yang memberikan jalan bagi munculnya
hukum baru, sehingga yang berlaku adalah hukum alam yang baru itu. Atas
dasar itulah, maka alam tidak diatur kecuali oleh hukum yang tetap dan tidak
berubah.
Apabila kita melihat orang mati bisa hidup kembali karena mukjizat,
maka kejadian tersebut, pada dasarnya memiliki hukum yang mengatur.
Seorang manusia yang dilahirkan tanpa ayah, sebagaimana yang terjadi pada
Nabi Isa, maka kejadian tersebut pada dasarnya, tidaklah membatalkan
sunnatullah, juga tidak membatalkan hukum alam. Perlu diketahui bahwa
manusia tidaklah mengetahui seluruh hukum alam. Karena itu ia tidak
berhak, apabila melihat suatu kejadian yang tampaknya bertentangan dengan
hukum yang ia ketahui, untuk menganggapnya sebagai kejadian yang
bertentangan dengan hukum alam, serta membatalkan hukum sebab akiba.
(Muthahhari, 1401, h. 110). Suatu yang dipandang sbagai hukum tersebut,
dan bukan hukum tersebut itu sendiri. Minsalnya, bahwa hukum wujud itu
mengharuskan lahirnya manusia itu selalu dari campuran antara seorang ayah

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 101
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

dan ibu. Padahal pada hakikatnya ia hanya merupakan sisi luar dari hukum
alam itu, dan bukan hukum alam sebenarnya (Muthahhari, 1401, hlm. 110).
Dengan begitu kelahiran Nabi Isa tidaklah membatalkan sunatullah, melainkan
membatalkan pandangan sisi luar mengenai sunatullah.
Sebagian orang menganalogikan sunnatullah di alam semesta, proses
penciptaan, balasan, pahala, kebahagiaan dan penderitaan dengan hukum
sosial manusia. Padahal, kenyataan sunnatullah itu mengikuti serangkaian
syarat-syarat takwiniyah dan haqiqiyah, dan dipandang sebagai bagian darinya.
Adapaun kondisi-kondisi sosial tidak lain hanyalah persoalan-persoalan
relatif (i’tibariyah) yang nilainya dibatasi oleh konvensi sosial manusia.
Dengan demikian maka hukum-hukum sosia dapat dipandang mengikuti
syarat-syarat relatif dan konvensional. Adapun mengenai persoalan
penciptaan, kejadian, balasan, pahala, dan sangsi Allah, tidak mungkin
mengikuti syarat-syarat tersebut, tatapi mengikuti syarat-syarat takwiniyah.
Hukum bukanlah suatu yang terpisah, yang sering dikaitkan dengan
hal praktik penciptaan, melainkan konsep universal yang ditarik oleh pikiran
yang tidak memiliki identitas luar tersendiri. Jadi, yang ada di luar hanyalah
hukum sebab akibat, dan ketika derajat wujud dan pikiran menyerap sesuatu
yang ada di luar, berarti ia menarik suatu hukum yang universal. Dengan
begitu, wujud itu memiliki tingkatan-tingkatan dan masing-masing tingkatan
memiliki posisi yang tetap, dan tidak mungkin sebab dari suatu itu akan
terlepas dari posisinya sebagai sebab dari sesuatu yang lain. Begitu juga
tidak mungkin sesuatu akibat akan terlepas dari posisinya sebagai akibat dari
sesuatu yang lain.
Hubungan Takdir dengan Doa dan Tawakkal
Hakikat Allah menciptakan manusia, tidak mengetahui segala sesuatu.
Allah mengajarkan kepada manusia apa yang dilakukannya untuk hidup di
dunia ini. Yaitu hal-hal yang mendatangkan kebaikan bagi agama, dunia,
aqidah dan amalannya. Allah memberikan kepada manusia kesanggupan

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 102
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

memahami apa yang Allah bentangkan di alam raya ini, yang menunjukkan
kepada wujud Allah dan kesempurnaan sifat-Nya, dan Allah memberi
petunjuk kepada manusia aturan-aturan kebenaran, keadilan dan kebajikan
melalui perantaraan Rasul-Nya.
Allah memberikan pula hidayah akal dan fitrah, yang dengan hidayah
itu manusia mengetahui jalan-jalan memperoleh penghidupan. Kemudian
Allah merahasiakan dari manusia dari segi yang selain dari itu,yakni yang tidak
sanggup dijangkau oleh fitrahnya, seperti mengetahui apa yang akan terjadi,
apa yang telah ada di atas langit, apa yang ada di bawah bumi, atau sesuatu
yang tersirat dalam dada manusia dan didalam rahim ibu, serta segala yang di
qadarkan untuknya, baik rezeki maupun ajal (al-Shidqy, 1999, hlm. 12).
Allah telah berkehendak dengan mengikat segala sebab dengan
musababnya dan mengistimewakan manusia atas makhluk yang lain, dengan
jalan memberikan manusia kehendak yang mendorong kepada kemajuan,
atau mundur yang disarankan oleh akal yang dapat membedakan antara yang
baik dengan yang buruk. Sekiranya manusia mengetahui apa yang Allah
ketahui, apa yang akan dihadapi, baik senang maupun susah, kebahagiaan
atau pun kecelakaan, tentulah dia tidak memikirkan sesuatu yang dapat
mendatangkan manfaat baginya, atau yang menolak kemudaratan, dan
tentulah sebab musabab, lalu hilanglah fungsi akal itu, iradat serta rusaklah
kaedah sebab musabab. (al-Shidqy, 1999, hlm. 103) Andaikata kita
mengetahui kapan kita meninggal atau kita gugur dalam ujian, tentulah
sepanjang masa menjadi bimbang pikiran dengan masalah-masalah itu. Dari
sinilah diperlukan adanya pensinkronisasian antara takdir dengan doa, dan
tawakkal. Berikut penulis paparkan hubungan takdir dengan doa dan
tawakkal:

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 103
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

Doa
Doa adalah permohonan hamba kepada Tuhannya, tidak sedikit ayat
al-Qur’an yang memerintahkan untuk senantiasa berdoa dan beribadah
kepada Allah seperti dalam QS. al-Mu’min (40) 60
“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri
dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.”

Wujud Allah yang mutlak dan dirasakan oleh jiwa manusia, serta
keyakinan adanya hukum-hukum yang ditetapkan-Nya, tidak boleh
mengantarkan manusia meninggalkan doa, sebab keberlakuan hukum-
hukum itu, idak mengakibatkan terbatasnya Allah dari perbuatan dan
kebijaksanaan-Nya. (Shihab, 2000, hlm. 96) Dalam penciptaan alam raya ini
Allah tidak membuat seperti pabrik yang memproduksi ”jam” kemudian
membiarkan berjalan secara otomatis di tangan. Tetapi, perlu kita ingat ada
namanya sunatullah (hukum-hukum Allah yang mengatur alam raya) dan ada
juga inayatullah (pertolongan Allah). Yang tidak kalah dari sunnah-Nya. Inayah
itu ditunjukkan kepada orang-orang yang benar-benar berdoa kepadanya.
(Shihab, 2000, hlm. 96)
Tawakkal
Tawakkal berasal dari kata wakala yang artinya menyerahkan, jadi
tawakkal kepada Allah artinya, menyerahkan kepada Allah. (al-Afriqi, 1414,
hlm. 734) Menurut istilah tawakkal adalah menyerahkan dan menyandarkan
diri kepada Allah setelah berusaha serta berpegang teguh kepada-Nya
setelah melakukan usaha atau ikhtiar. (al-Dumajiji, 2000, hlm. 3)
Ayat al-Qur’an banyak menjelaskan tentang tawakkal, bahwa manusia
harus tawakkal dan tawakkalnya itu harus didahului dengan usaha atau
ikhtiar. Seperti QS. al-Anhal (16): 41- 42
“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti
kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. dan

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 104
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui,


(Yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka
bertawakkal.”

Demikian seseorang muslim yang tawakal sepenuhnya kepada Allah


SWT tentu akan senantiasa mengikuti segala bentuk petunjuk-Nya. Maka
dalam kontek ini tawakkal tidak berarti pasif. Muslim yang taat mengikuti
petunjuk Allah justru akan menjadi dinamis dan aktif, sebab al-Qur’an sendiri
yang mengajarkan mukmin agar senantiasa berusaha dan berjuang dengan
penuh semangat dalam mengarungi lautan hidup di dunia ini dalam rangka
memenuhi hajat hidupnya.
Tawakkal tidak bisa lepas dari konsep kausalitas atau hukum sebab
akibat. Setelah melakukan usaha yang maksimal dan di iringi dengan doa,
sehingga jalan akhirnya adalah menyerahkan seluruhnya kepada Allah.
Muslim wajib yakin akan adanya pertolongan Allah.
PENUTUP
Pada bagian akhir penulis berusaha mengambil kesimpulan-
kesimpulan sebagai cakupan dari semua bahasan mengenai takdir. Semua
ayat al-Qur’an menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan takdir adalah
undang-undang Allah yang universal yang bergerak di segala bidang, baik
pada diri manusia maupun alam semesta. Manusia dianugerahi akal yang
diberikan Allah kepadanya, dituntut aktif dan kreatif dalam mewujudkan
perbuatannya, karena itu manusia disamping akal yang dimilikinya juga
dilengkapi potensi dan daya. Dari sisi ini manusia memiliki kebebasan dan
kewenangan memilih serta menentukan jenis perbuatannya yang hendak
dilakukan, bahkan dengan kemampuan intelektualnya, ia bebas
melakukannya. Namun perlu diingat sejak awal Allah telah memberikan
pedoman yang tersurat dalam al-Qur’an.
Takdir menurut al-Qur’an mempunyai kecenderungan kepada konsep
manusia produktif dan aktif sehingga diberi peran sangat penting. Ia diberi

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 105
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

tugas dan tugas itu diwujudkan dalam berbagai bentuk perbuatan. Tugas
terwujud karena ia diberi syarat-syarat untuk itu, misalnya anggota badan,
akal, pilihan, putusan, daya dan kemampuan.
Dibalik adanya hukum kausalitas perlu diingat ada inayah
(pertolongan) Allah yang bisa terjadi pada manusia, orang Islam wajib yakin
di setiap perbuatan dan tindakan adanya pertolongan Allah bisa diwujudkan
melalui doa. Dan bagian akhir adalah menyerahkan sepenuhnya kepada Allah
atau tawakkal.
DAFTAR REFERENSI
A. Jaiz, H. (1421). Rukun Iman Digoncang. Pustaka al-Naba’.
al-Afriqi, J. al-D. M. ibn M. ibn M. (1414). Lisan al-’Arab. Dar al-Fikr.
al-Baqi, F. ’Abd. (tth). Al-Mu’jam al-Muharas li al-Fazah al-Qur’an. Dar al-Fikr.
al-Dumajiji, A. ibn U. (2000). Rahasia Tawakkal dan Sebab Akibat. Pustaka
Azzam.
al-Jurjani, al-S. ’Ali ibn M. (tth). Kitab al-Ta’rifat. Jeddah Haramain.
al-Kufi, A. H. al-N. ibn T. (tth). Syarah Kitab al-Fiqh al-Akbar. Dar al-Kutub
al-Ilmiyah.
al-Razi, F. al-Din. (1405). Tafsir Fakhr al-Razi: Vol. X. Dar al-Fikr.
al-Shidqy, T. M. H. (1999). Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Pustaka
Rizki Putra.
al-Thabari, A. J. M. ibn J. al-Thabari. (1412). Tafsir al-Thabari al-Musamma al-
Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an: Vol. VIII. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Arnesih. (2017). Konsep Takdir dalam al-Qur’an. Diya al-Fakar Jurnal Studi al-
Qur’an dan Hadis.
Cahyadi, D. (2011). Takdir Dalam Pandangan Fakhr al-Din al-Razhi.
Dahlan, A. A. (2001). Teologi dan Aqidah dalam Islam. IAIN IB-Press.
Haderi, H. (t.t.). Takdir dan Kebebasan Menurut Fathullah Gulen.
Hidayat, K. (1996). Takdir dan Kebebasan. Paramadina.
Ibn Manzur. (tth). Lisan al-Arab. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 106
Iril Admizal, Takdir Dalam Islam (Suatu Kajian Tematik)

Mustafa, I. (1392). Al-Ziyad, al-Mu’jam al-Wassith. al-Maktabah al-Islamiyah.


Muthahhari, M. (1401). Al-Adl al-Ilahiy. al-Dar al-Islamiyah li al-Nasyr.
Sanusi, A. (tth). Al-Lu’lu’ al-Nadhid fi mas’il al-Tawhid. Batavia Centrum.
Shihab, M. Q. (1997). Wawasan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Mizan.
Shihab, M. Q. (2000). Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama al-Qur’an. Mizan.
Shihab, M. Q. (2002). Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an:
Vol. VII. Lentera Hati.
Shihab, M. Q. (2013). Kaidah Tafsir. Lentera Hati.
Subhi, A. M. (1969). Fi ’Ilm al-Kalam Dirasah Falsafah, al-Mu’tazilah al-Asya’irah
al-Syia’h. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Thalib, Muh. D. (2015). Takdir dan Sunatullah. al-Ishla: Jurnal Pendidikan, 13.
Zakariya, A. H. A. ibn. (1969). Mu’jam Muqayyis al-Lughawi: Vol. II. Mushthafa
al-Babi al-Halabi.

Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 3 (1). Juni 2021. 107

You might also like