33 129 2 PB
33 129 2 PB
33 129 2 PB
Ayief Fathurrahman
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
e-mail: ayief_ospp@yahoo.com
Abstract: One thing that needs to be understood is that every result of human
thought is always historical, tied to the space and time around it. The economic
policies issued by Umar ibn Khat}t}a>b, Umar ibn Abdul Azi>z and Ghazan Khan
must have certain truths in accordance with the dimensions of space and the cycle
of time. However, the form of policy is an effort to solve the problems of the State,
especially the economic sector that occurred in the middle of their leadership
period. This article aims to examine the political economic thought of three
caliphs, namely Umar ibn Khat}t}a>b, Umar ibn Abdul Azi>z, and Ghazan Khan with
a historical approach. Political economic policy decided by Umar ibn Khat}t}a>b,
Umar ibn Abdul Azi>z, and Ghazan Khan has a character that is flexible. It means
however its method, during its goal to create welfare for the people and not in
conflict with al-Quran and al-Sunnah, then that policy is applied. This was
apparent when some of their policies are not always same as Prophet’s policy,
even differ from each other, but with that difference, the world has recorded them
as a brilliant decision maker. The policy of the three caliphs teaches us the
ultimate determinants of the economic policy of the meaning of welfare
(mas}lah}ah) which form the basis of the formulation of one policy. Rigid economic
system will only become a separate boomerang for economic growth itself.
Because the true that the holy economic goal is not economic growth, but the
welfare of mankind as perpetrators of economic activity in this hemisphere.
Pendahuluan
Peradaban suatu bangsa pasti tidak akan pernah terlepas dari kebijakan yang ada pada
bangsa itu sendiri. Kerapkali kemunduran bahkan kehancuran suatu bangsa bermula dari salah
kaprahnya kebijakan yang diterapkan. Namun tak jarang juga, arus kemajuan dan kejayaan
suatu bangsa bermuara dari kebijakan. Kebijakan sangat menentukan haluan suatu bangsa, ke
mana nohkoda bangsa hendak berlayar. Oleh karena itu, kebijakan merupakan hal yang sangat
esensial dalam menentukan pengembangan sebuah bangsa dalam rangka membangun satu
peradaban dan menorehkan kemajuan. Pendek kata, maju mundurnya suatu bangsa sangat
tergantung pada kebijakan yang diterapkan.
Sebagai terminal akhir suatu kebijakan, maka kemampuan seorang pemimpin sangat
menentukan. Tercatat dalam lembaran sejarah, Islam pernah memiliki pemimpin-pemimpin
(khalifah) yang namanya masih acapkali dibicarakan, baik di kalangan akademisi maupun
non-akademisi, bahkan menjadi rujukan dalam memformulasikan suatu tindakan berupa
kebijakan yang menyentuh wilayah politik, sosial, dan ekonomi.
Di tangan merekalah kejayaan Islam pernah diraih. Kala itu, kemajuan Islam sungguh
berada pada puncaknya, baik dari aspek politik, sosial, ekonomi dan budaya. Kemajuan di
bidang politik dibuktikan dengan meluasnya ekspansi Islam ke berbagai negara sekitarnya.
Kekuatan politik menyumbang dampak positif tehadap kesejahteraan sosial masyarakat,
dengan diterapkannya berbagai kebijakan berdasarkan dengan tuntutan realitas dan
kesejahteraan dan berlandaskan perintah yang termaktub dalam al-Quran dan al-Sunnah.
Umar ibn Khattab adalah salah satu khalifah yang pernah menorehkan tinta emas pada
lembaran sejarah peradaban umat Islam. Pada masanya, pemerintahan Islam semakin kuat,
yang didukung dengan formulasi kebijakan yang sangat fenomenal. Banyak perubahan yang
dilakukan, bukan saja di ranah ritual keagamaan, tetapi juga meliputi aspek sosial budaya,
politik dan terutama pada ranah kebijakan ekonomi.
Selain itu, pada masa Dinasti Umayyah, tampuk kejayaan seringkali dinisbatkan kepada
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Pada masanya, urusan dalam negeri sangatlah diprioritaskan,
terutama menjamin keamanan rakyat dan mengkomodir semua aspirasi golongan. 1 Pada
masanya juga, pertumbuhan perekonomian negara sangat meningkat, bahkan mampu
menapak defisit anggaran APBN yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya. Hal
demikian, tentu saja selain faktor keamanan, juga banyak faktor yang melatarbelakangi
pertumbuhan ekonomi tersebut, termasuk ranah kebijakan yang diterapkan.
Enam ratusan tahun berlalu setelah Khalifah Umar ibn Abdul Aziz, muncullah
pemimpin muslim berdarah Mongol yang bernama Ghazan Khan (1295-1304). Semenjak di
bawah kepemimpinannya, walaupun relatif singkat hanya sembilan tahun berkuasa, Dinasti
Ilkhan mencapai kemajuan yang luar biasa. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kepala
negara yang berdatangan ke istananya di Tabriz.2 Pada masanya, pertumbuhan ekonomi
sangat signifikan, terutama perekonomian rakyat kecil dan menengah, sehingga membuahkan
hasil kesejahteraan yang patut untuk diteladani.
Tiga pemimpim (khalifah) di atas telah memberikan pelajaran yang sangat berharga,
melalui kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan pada masing-masing masanya, khususnya
kebijakan di bidang ekonomi politik, sehingga pada gilirannya mampu melahirkan
kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat.
Dari sini, penulis bermaksud untuk menggali lebih dalam dasar pemikiran-pemikiran
tersebut dan berupaya mempertemukan titik benang merahnya, dengan harapan bisa menjadi
acuan ataupun kaca perbandingan terhadap perkembangan ekonomi Islam saat ini.
1
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), 124.
2
M. Abdul Karim, Islam di Asia Tengah: Sejarah Dinasti Mongol-Islam (Yogyakarta: Bagaskara, 2006), 92.
3
Ada beberapa sebab ekspansi Umar ibn Khattab di antaranya adalah letak geografisnya merupakan wilayah
perbatasan dengan wilayah Islam, dan sejak awal memiliki hubungan kurang harmonis dengan bangsa Arab;
utusan Nabi dibunuh orang Kristen di Syiria atas restu Raja Heraklitus. Lebih lanjut baca M. Abdul Karim,
Sejarah Pemikiran, 85.
4
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, cet. kelima (Jakarta: UI Press, 1985), 58.
dilakukan, mau tidak mau menuntut Umar untuk mengatur administrasi negara yang
terencana. 5
Di samping itu, ekspansi wilayah menyebabkan pendapatan negara mengalami
peningkatan yang sangat berarti. Dalam rangka mengelola pendapatan tersebut, setelah
bermusyawarah dengan sahabat lain, maka Umar mengeluarkan kebijakan agar pendapatan
yang menjadi kas negara tersebut dikelola dengan terencana dan terarah. 6 Lembaga Baitul
Mal yang telah dicetuskan pada masa Rasulullah, menjadi institusi yang memiliki peran
penting pada masanya dalam rangka mengelola tata kelola keuangan negara. 7
Sebagai khalifah, Umar ibn Khattab sangat memperhatikan kemaslahatan bersama
secara profesional. Hal ini dibuktikan dengan berbagai rumusan kebijakan yang penuh dengan
pertimbangan dan pemikiran yang mendalam. Sehingga, zamannya dikenal dengan zaman
yang sarat dengan perubahan, dan tak jarang kebijakannya berbeda dengan kebijakan
Rasulullah.
Kebijakan yang paling fenomenal adalah kebijakan fiskal di sektor perpajakan tentang
pertanahan dan pertahanan, atau sering kali juga dikenal dengan kebijakan Umar di Sawad
(tanah subur). Umar memutuskan untuk tidak mengambil alih tanah taklukan, namun justru
diberikan pengelolaan sepenuhnya kepada pemiliknya, namun diwajibkan membayar pajak
(khara>j) sebesar 50 persen dari hasil panen. 8
Ada beberapa alasan kebijakan ini lebih disukai oleh Umar, antara lain andaikata tanah
taklukan itu diambil alih oleh negara, maka secara otomatis para pasukan (tentara) Islam yang
akan mengelolanya, padahal menurut Umar, para tentara bukanlah ahli bercocok tanam, selain
kualitas pertanian akan menurun, juga akan berdampak pada rendahnya produktivitas. Selain
itu, pendapatan negara melalui pajak akan jauh menurun, mengingat pajak (khara>j) bagi non-
musim sebesar 50% dan pajak (us}r) bagi bagi muslim hanya 10 % saja. Di samping itu, hal
yang sangat dipertimbangkan oleh Umar adalah kekhawatiran akan adanya gelombang
pemberontakan, 9 sebagai dampak pengangguran dan kemiskinan. Sehingga pada gilirannya
akan memberikan angin negatif tersendiri bagi keamanan dan keutuhan negara.
Pada kebijakan pertahanan, dalam rangka menanggung nasib para tentara, maka pada
zaman Umar lah awal mula ditetapkan gaji tetap bagi para tentara, selain sebagai tujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup, juga agar terjaga motivasi para tentara dalam membela negara. 10
Selain itu, ketika Umar melihat bahwa kebijakan bea cukai yang merugikan satu pihak, 11
5
Administrasi negara dibagi ke beberapa wilayah provinsi: Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah,
Palestina, dan Mesir. Baca lebih lanjut Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2003), 37.
6
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, edisi ketiga (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004), 59.
7
Dalam lembaran sejarah, pendirian Baitul Mal dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang kala itu
menjabat sebagai Gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak khara>j sebesar 500.000
dirham pada tahun 16 Hijriah.
8
Sistem ini pada zaman Dinasti Abbasiah, khususnya periode Harun al-Rashid, dikenal dengan sebutan
muqa>samah, pengertiannya adalah negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarapnya.
9
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran, 87.
10
Ali Isamer, Ittihash (Dhaka: Ali Publication, 1976), 206-210.
11
Pada masa Rasulullah, kebijakan bea cukai telah ditiadakan. Namun pada masa Umar diterapkan kembali, hal
ini berawal dari orang-orang H{arbi yang mewajibkan para pedagang muslim bayar pajak ketika berdagang di
tanah H{arbi (Hierapolis), sehingga melihat ketidakadilan tersebut, maka Umar pun menerapkan kebijkan yang
sama.
terutama negara Islam, maka Umar pun menerapkan wajib pajak bagi siapa saja dari warga
asing non-muslim yang hendak memasuki wilayah teritorial Islam untuk berdagang sebesar
10% dari barang yang dijual, sementara bagi dhimmi yang berada dalam kekuasaan Islam
dikenakan sebesar 5%, dan muslim 2,5% dari harga barang dagangan. 12
Hal lain dari kebijakan ekonomi Umar yang menarik untuk dikaji adalah tentang
perpajakan kuda. Pada masa pemerintahan Umar, bisnis perdagangan kuda semakin merebak,
bahkan pernah diriwayatkan pernah ada seekor kuda Arab Taghlabi yang diperkirakan
bernilai 20.000 dirham. 13 Sehingga melihat keadaan demikian, maka Umar menarik zakat dari
bisnis perdagangan kuda tersebut dan membagikannya kepada orang-orang miskin dan para
budak. 14
Berkaitan dengan segelintir kebijakan ekonomi Umar sebagaimana dijelaskan di atas,
ada satu hal yang mesti digarisbawahi, yaitu mengenai pendistribusian kas Baitul Mal sebagai
tunjangan sosial kepada kerabat Rasulullah dan orang-orang yang berjasa dalam membela
Islam. 15 Karena dibalik niat yang mulia itu ternyata menuai kritikan dari salah seorang
sahabat, Hakim ibn Hizam. Menurutnya, hal demikian akan mendongkrak mereka dengan
sifat malas, dan akan menjadi fatal ketika pemerintah sudah tidak lagi menerapkan kebijakan
tersebut.16 Khalifah menyadari bahwa kebijakan tersebut mengandung kekeliruan dan
berimbas negatif terhadap strata sosial masyarakat dan berniat untuk memperbaikinya. Namun
Umar wafat sebelum terealisasikan rencananya. 17
Dari berbagai kebijakan ekonomi Umar ibn Khattab tersebut, nampak Khalifah Umar
tidak terlalu memprioritaskan kaum miskin di atas kaum kaya ataupun sebaliknya, tetapi
Umar lebih mengedepankan kemaslahatan bersama. Setiap kebijakan selalu berupaya untuk
menjawab keadaan realitas dengan tidak memberatkan dalam implemenatasinya. Sehingga
dengan demikian, dapat dikatakan fleksibilitas menjadi karakteristik perekonomian di masa
Umar ibn Khattab. Kebijakan ekonomi yang kaku sangat dihindari oleh Umar karena akan
berdampak negatif terhadap bangunan kemaslahatan yang ingin dicapai. 18 Kemaslahatan
menjadi dasar ataupun landasan bagi Umar dalam menjalankan roda perekonomian, sebagai
sebuah pengejewantahan dari perintah yang termaktub dalam al-Quran dan al-Sunnah.
Demikianlah Umar ibn Khattab yang terkadang melakukan ta’li>l (mencari alasan
rasional dari suatu hukum). Karena dalam urusan muamalah yang menjadi pertimbangan
utama adalah asas manfaat bagi masyarakat. Inilah konsep rah}matan li al-‘a>lami>n, membawa
rahmat bagi semesta alam.
12
Husaini S. A.Q. Arab Adminitration (Madras: Soldent & Co., 1949), 47-48.
13
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi, 69.
14
Pada masa Rasulullah, zakat atas kuda belum diwajibkan karena memang jumlahnya sangat terbatas, dan
bukan untuk dikomersialisasikan, tapi digunakan sebagai fasilitas perang.
15
Para Sejarawan meyakini bahwa tindakan Umar demikian adalah tidak lain dan tidak bukan sebagai pemberian
tanda jasa kepada relawan yang telah gigih berjuang membela dan meneggakan agama Islam di awal
kehadirannya.
16
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi, 64.
17
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 1 (Yogyakarta: PT Dhana Bakti Wakaf, 1995), 165.
18
Qutbh Ibrahim Muhammad, Kebijakan EkonomiUmar ibn Khattab (Jakarta: Pustaka Azam, 2002), 225.
19
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran, 123.
20
Umar juga menyadari bahwa dia juga bagian dari permasalahan itu di masa lalu yang hidup di lautan
gemerlapnya kemewahan istana, bahkan dijelaskan dalam satu riwayat, sebelum menjabat khalifah, Umar sering
terlambat shalat ke masjid karena pembantunya lambat menyisir rambutnya, namun ketika menjabat khalifah,
terlambat datang ke masjid di hari Jum’at, karena pakaian satu-satunya yang bertempelan jahitan lebih dari 100
tambalan belum kering.
21
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran, 123.
22
Latif Hakim, “Strategi Umar Ibn Abdul Aziz dalam Mengentaskan Kemiskinan”, dikutip dari
http://zulfikri.wordpress.com/2007/08/26/strategi-umar-ibn-abdul-aziz-dalam-mengentaskan-kemiskinan/.
23
Ibid.
pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dalam pengurangan penduduk miskin dan menciptakan
stabilitas ekonomi serta meningkatkan pendapatan per kapita. 24 Dengan kata lain, tujuan dari
adanya penghematan di dalam pengelolaan anggaran adalah menopang tujuan pokok dari
setiap pemerintahan Islam berupa kesejehateraan bagi seluruh warga negera.
Kesejahteraan umat menjadi kata kunci dalam penentuan kebijakan ekonomi Umar,
sehingga dalam mengatasi berbagai persoalan dalam bidang ekonomi, kesejahteraan menjadi
tujuan.25 Dengan demikian, kebijakan ekonomi Umar terlihat tidak terlalu kaku dan tekstual,
tapi justru berupaya untuk mengejewantahkan nilai-nilai islami dalam menghadapi realitas
dan kenyataan.
Fleksibelitas kebijakan ekonomi Umar ibn Abdul Aziz sangat terlihat ketika mencabut
kewajiban khara>j dan jizyah bagi orang-orang non-muslim. Menurutnya, bahwa Nabi diutus
ke dunia bukan untuk mencari harta dan mencari pajak, namun justru mengislamkannya. 26
Tetapi kemudian setelah melihat realita, bahwa terjadi tekanan ekonomi yang sangat serius,
maka Umar mengeluarkan dekrit untuk kembali ke kebijakan lama, yaitu kebijakan yang
dikeluarkan oleh Umar ibn Khattab, yaitu “kebijakan ekonomi di Sawad” dengan
memberlakukan kembali penerapan jizyah dan khara>j bagi dhimmi petani dan tuan tanah
untuk keselamatan jiwa dan tanah mereka. 27
Akan tetapi setelah kemudian hari banyak dhimmi yang masuk Islam hanya karena
menghindari khara>j. Akibatnya, negara mengalami instabilitas ekonomi yang kuat. Dalam
rangka menanggulangi masalah tersebut, setelah bermusyawarah dengan para ekonom dan
ulama, maka Umar mengeluarkan dekrit, bahwa orang muslim selama ini yang menikamati
tanah khara>j membayar pajak sebagai tanah us}r mulai pada 100 H, dilarang jual beli tanah.
Dengan demikian, keputusan ini membawa arti bahwa apabila seorang muslim betul-betul
masuk Islam, ia harus tinggalkan sawahnya dan digarap petani tetangga yang non-Islam, dia
diberi gaji pensiun tiap bulan oleh negara atau ia boleh menggarap sawah sendiri, tapi ia harus
bayar khara>j.28 Dengan melakukan restrukturisasi organisasi negara, dan penghematan
anggaran belanja negara. Maka, dengan cara begitu Umar dapat memaksimalkan sumber-
sumber pendapatan negara melalui zakat, pajak dan jizyah.
Pengalokasian subsidi ke masyarakat yang berdaya beli rendah sebagai tujuan distribusi
zakat, terus ditingkatkan pada masanya. Umar menyadari bahwa zakat merupakan sebuah
instrumen pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan (growth dan equity).29 Dari
sinilah terlihat konsep demokrasi ekonomi Umar yang tidak harus diartikan sebagai
berlakunya prinsip equal treatment (perlakuan sama), tetapi ada orang yang tidak berpunya
perlu memperoleh pemihakan dan bantuan yang berbeda (partial treatment).30 Sehingga
24
World Bank, Finance for Growth Policy Choise in a Volatile World: A world Bank Policy Research Report
(London: Oxford University Press, 2001), 17.
25
Mufti membagai kebijakan ekonomi itu menjadi dua, antara lain: 1) Kebijakan pemenuhan kebutuhan pokok;
2) Kebijakan pemenuhan pokok berupa keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Baca lebih lanjut Aries Mufti,
“UU Syariah dalam Sistem Ekonomi Islam”, FH-UI, makalah dipresentasikan pada 26 Juni 2003.
26
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran, 129.
27
Ibid.
28
Ibid., 130.
29
Yaitu kebijakan yang dirumuskan agar pertumbuhan ekonomi membaik diimbangi dengan penurunan
pengangguran dan kemiskinan yang signifikan (pemerataan).
30
Konsep demokrasi ini juga pernah diterapkan oleh Rasulullah dalam rangka membangun perekonomian Kota
bantuan kepada masyarakat miskin dan jaminan hidup layak yang berkecukupan kepada
mereka, sangat diprioritaskan.31
Begitulah Umar ibn Abdul Aziz menerapkan semua kebijakan ekonomi dalam waktu
yang relatif singkat, hanya membutuhkan waktu dua tahun setengah, namun sejarah telah
mencatatnya sebagai orang brilian yang mampu mengubah keadaan terpuruk menjadi haluan
yang berkeadaban dan berkemajuan.
“When Ghazan Khan ascended the thorne, the treasures of his predecessor had been
spent. The treasures that Hulagu Khan had collected from Baghdad, the provinces of the
heretics (the assasins) from Syria and from other places, anf had stored in the castle, had
gradually been stolen by the guards…The rest of spent by Ahmad (Tagudar)…Arghun
Khan piled up many treasures. Gaikhatu did not collect any treasure, and he gave to his
people what was left of the treasures of Arghun, so that Ghazan nothing.”
Madinah. Lebih lanjut baca Ayief Fathurrahman, “Strategi Rasulullah Membangun Perekonomian Madinah”,
makalah dipresentasikan di pasca sarjana MSI UII, 2010.
31
Diriwayatkan bahwa jumlah penerima zakat terus berkurang pada masa Umar. Bahkan Para ‘a>mil zakat
berkeliling di pelosok-pelosok Afrika untuk membagikan zakat, tapi tak seorang pun yang mau menerima zakat.
32
M. Abdul Karim, Islam di Asia Tengah, 107-108.
33
Ibid. Situasi sosio-politik ini hampir serupa dengan situasi sosio-politik pada masa Dinasti Ummayah di
Dimaskus pada saat Khalifah Umar ibn Abdul Aziz naik tahta.
sosial dan distribusi sosial tidak akan terwujud tanpa ditopang dengan gerakan individu-
individu yang bermoral tinggi.
Pada masa pemerintahannya, Ghazan mewajibkan semua gubernur dan pemungut pajak
tani untuk membantu petani kecil yang tidak mampu membeli benih-benih, keperluan
pertanian, dan makanan bagi ternaknya. Untuk menunjang keberhasilan pertanian, maka
dibangunlah semacam lembaga informasi terpadu di berbagai provinsi mengenai segala hal
yang berkaitan dengan masalah pertanian, sehingga mudah diakses dari berbagai kalangan,
terutama oleh petani itu sendiri. 34 Semenjak itu, produktivitas pertanian meningkat tajam, dan
menjadikan hidup para petani makmur dan sejahtera.
Konsep kebijakan ekonomi yang dibangun Ghazan sangat fleksibel, tidak
memudharatkan dan sangat berpihak pada rakyat. Sehingga, pada masanya, Dinasti Ilkhan
menorehkan kemajuan yang luar biasa, terutama pada sektor pertanian yang mampu
mewujudkan swasembada beras, sehingga dalam sejarah bangsa Mongol, khususnya Dinsati
Ilkhan merupakan satu-satunya yang mampu menjadi negara pengeskpor beras ke manca
negara. 35
Sebagai tambahan bukti kebijakan ekonomi Ghazan yang berkarakteristik sosial, dia
melarang praktek pinjam-meminjam yang mengandung bunga, karena menurutnya, inilah
salah satu penyebab kesengsaraan rakyat kecil, karena praktek ini diizinkan sebelumnya
sehingga menjadikan yang kaya tambah kaya, dan yang miskin pun menjadi kian melarat.
Sehingga terciptalah great gap starata sosial di lingkungan masyarakat.
Pada rezimnya juga, para tentara semakin diperhatikan. Sistem yang diterapkan bukan
berupa kebijakan yang mengikuti kebijakan yang diterapkan oleh Rasulullah, dan bukan pula
dengan sistem yang dijalankan oleh Umar ibn Khattab, tetapi justru menggabungkan
keduanya, yaitu dengan memberikan hak tanah untuk dihidupkan bagi tentara, tetapi masih
tetap mendapatkan gaji tetap dari pemerintah. Alasan yang mendorong Ghazan untuk
mengeluarkan dekrit ini karena adanya keinginan sendiri dari kalangan tentara, sehingga
dengan cara ini menurut Ghazan, mereka dapat menyediakan keperluan mereka sendiri
kaitannya dengan kemiliteran, seperti penanggung kuda dan hewan-hewan lainnya. Selain itu,
pada masanya ekspansi wilayah tidak terlalu diprioritaskan.
Sebuah reformasi ekonomi politik telah terjadi di Dinasti Ilkhan di bawah komando
Ghazan Khan yang membawa Dinasti Ilkhan bergerak menuju kesejahteraan rakyat dan
mewujudkan kembali kejayaan. Keamanan negara sangat terjamin, bahkan digambarkan
layaknya “rusa merasa aman ketika satu tepi bersama harimau”. Sepeninggalnya, pemimpin
yang sangat dicintai oleh rakyat ini mewarisi kondisi keuangan negara sangat surplus, dan
perkonomian yang sangat stabil.
Demikianlah beberapa kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh Ghazan Khan. Dia
berhasil membalik keadaan negara, yang awalnya negara sangat defisit anggaran, namun
semenjak dia naik tahta, negara pun mengalami surplus anggaran, sehingga memberikan
kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga negaranya.
34
Ibid., 109.
35
Ibid., 110.
36
Pandangan ini dapat dilihat pada al-Quran, 49:10, dan ta’a>wun/tolong menolong/kebersamaan pada al-Quran,
5:3.
37
Gerakan islamisasi ilmu ekonomi, pada akhirnya diarahkan oleh kepentingan politik-ekonomi tertentu. Ia
bergeser ke arah perjuangan politik-ekonomi sectarian. Ekonomi Islam dibangun dan dikembangkan demi
kepentingan “umat Islam”. Bukan lagi murni sebagai gerakan intelektual yang memihak kepada kebenaran itu
sendiri ataupun untuk mengabdi pada kemanusiaan secara lebih luas. Baca Yusdani, “Islamisasi Model al-Faruqi
dan Penerapannya dalam Ilmu Ekonomi Islam di Indonesia (Suatu Kritik Epistemik)” dalam La Riba, Vol. I, No.
1 (Juli, 2007).
38
Muhammad Amin Suma, “Tinjauan Fiqh Islam Terhadap Yurisprudensi Peradilan agama dari Pelaksanaan
Undang-Undang Peradilan Agama”, Dalam Laporan Seminar 10 Tahun Undang-Undang Peradilan Agama;
Kerjasama DITBAPERA-Islam, Fakultas Hukum UI, dan Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, ,
(Jakarta: Chasindo, 1989), 63.
39
Ayief Fathurrahman, “Meninjau Ulang Landasan Normatif Perbankan Syariah di Indonesia: Telaah atas Teori
Kontruksi Fikih Klasik”, Makalah Pasca Sarjana MSI UII, 2010.
40
Menurut suhartono, belum adanya standarisasi atau keseragaman landasan hukum fikih klasik memunculkan
adagium “different judge different sentence” yang berujung terjadinya putusan yang berdisparitas tinggi, dalam
perspektif teori hukum positif, hal ini berbenturan dengan prinsip kepastian hukum. Baca lebih lanjut Suhartono,
“Penggunaan Fikih Muamalah Sebagai Dasar Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Di Pengadilan Agama
(Suatu Kajian Dalam Perspektif Asas Hukum)” dalam http://www.badilag. net.
41
Sebagaimana dijelaskan oleh Louay Safi, metode Barat memiliki sejumlah kekurangan, pertama, metode yang
direngkuh sarjana-sarjana Barat menghasilkan hukum dan teori yang bias. Kedua, sarjana Barat secara sempurna
menyingkirkan wahyu sebagai suatu sumber pengetahuan, dan dengan demikian telah mereduksi wahyu pada
tingkat semata-mata sebagai khayalan dan dongeng. Baca lebih lanjut Louay Safi, Rancangan Metodologi
Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2001), 10.
sudah contoh ketimpangan metode ilmiah Barat terhadap aspek kemanusiaan. Dalam bidang
ekonomi misalnya, sistem kapitalisme yang selama ini merajai panggung jagat raya
perekonomian international telah menciptakan kehancuran pondasi struktur perekonomian
global. Pada tahun 2008, depresi kembali melanda sistem perekonomian dunia. Banyak dari
berbagai kalangan menilai bahwa krisis keuangan global merupakan bukti gagalnya sistem
ekonomi kapitalis.
Dalam konteks kemajuan dan perkembangan ekonomi Islam, ekonom muslim
seharusnya menciptakan sistem ekonomi yang tidak kaku dan menjadikan kesejahteraan dan
kemakmuran sebagai landasan awal operasionalisasi dan perumusan sistem ekonomi Islam.
Sehingga pada gilirannya, sentuhan ekonomi Islam terhadap masyarakat akan terasa bukan
saja di kalangan kaya ataupun miskin saja, tetapi semua pelaku aktivitas ekonomi di muka
dunia ini.
Kesimpulan
Satu hal yang kiranya perlu dipahami, adalah bahwa setiap hasil pemikiran manusia,
selalu bersifat historis; terikat dengan ruang dan waktu yang mengitarinya. Kebijakan
ekonomi yang dikeluarkan oleh Umar ibn Khattab, Umar ibn Abdul Aziz, dan Ghazan Khan,
tentulah memiliki kebenaran-kebenaran tertentu sesuai dengan dimensi ruang dan perputaran
waktunya. Bagaimanapun bentuknya, kebijakan tersebut merupakan sebuah upaya solusi
terhadap berbagai problema negara, terutama sektor perkonomian yang terjadi di tengah masa
bakti kepemimpinan meraka.
Kebijakan ketiga khalifah di atas mengajarkan kita, terutama para penentu akhir
kebijakan ekonomi sebuah makna kesejahteraan ( mas}lah}ah) yang menjadi dasar pijakan
perumusan satu kebijakan. Sistem ekonomi yang kaku hanya akan menjadi sebuah bomerang
tersendiri bagi pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Karena sejatinya yang menjadi tujuan suci
ekonomi adalah bukan pertumbuhan ekonomi, melainkan kesejahteraan umat manusia sebagai
pelaku aktivitas ekonomi di belahan bumi ini.
Daftar Rujukan
Afzalurrahman. Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 1. Yogyakarta: PT Dhana Bakti Wakaf, 1995.
Fathurrahman, Ayief. “Strategi Rasulullah Membangun Perekonomian Madinah”, makalah
dipresentasikan di pasca sarjana MSI UII tahun 2010.
________. “Meninjau Ulang Landasan Normatif Perbankan Syariah di Indonesia: Telaah atas
Teori Kontruksi Fikih Klasik”, Makalah Pasca Sarjana MSI UII tahun 2010.
Hakim, Latif. “Strategi Umar Ibn Abdul Aziz dalam Mengentaskan Kemiskinan”, dalam
http://zulfikri.wordpress.com/strategi-umar-ibn-abdul-aziz-dalam-mengentaskan-
kemiskinan/ diakses pada 2007.
Isamer, Ali. Itihash. Dhaka: Ali Publication, 1976.
Husaini, S. A.Q. Arab Adminitration. Madras: Soldent & Co, 1949.
Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, edisi ketiga. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004.
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2007.