9-Article Text-46-1-10-20220929
9-Article Text-46-1-10-20220929
9-Article Text-46-1-10-20220929
Received: 25 Mei 2022 | Last Resived: 13 June 2022 | Accepted: 30 June 2022
Abstract
The Corruption Eradication Commission (KPK) is an institution established to
increase the efficiency and effectiveness of eradicating corruption that has been
rampant throughout society. In Law no. 30 of 2002 explains that the KPK is an
independent institution and is free from the influence of any power. However, The
Corruption Eradication Commission (KPK) is considered by some to be an extra-
constitutional institution. The Constitutional Court Decision No. 36/PUU-XV/2017
states that the Corruption Eradication Commission (KPK) is a state institution within
the realm of the executive. This decision contradicts the three previous decisions
which stated otherwise that the Corruption Eradication Commission (KPK) is an
independent state institution through its decision No. 012-016-019/PUU-IV/2006,
No. 5/PUU-IX/2011, No. 49/PUU-XI/2013. The KPK has advantages in terms of its
duties and authorities which have been regulated in Law no. 30 of 2002 which is now
Law Number 19 of 2019 concerning the Corruption Eradication Commission.
However, seeing the reality that the public strongly believes in the existence of the
KPK, it is unfortunate that the legal politics of eradicating corruption through the
establishment of the KPK appears to have no clear legal politics from the
government, so that the establishment of the KPK does not set the boundaries of its
establishment so that the position of the KPK is currently a polemic.
Abstrak
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga yang dibentuk untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap pemberantasan tindak pidana
korupsi yang sudah merajalela keseluruh lapisan masyarakat. Dalam UU No. 30
Tahun 2002 menjelaskan bahwa KPK merupakan lembaga independen dan bebas
dari pengaruh kekuasaan manapun. Akan tetapi, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dianggap oleh sebagian pihak sebagai lembaga ekstrakonstitusional. Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-XV/2017 menyatakan bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang berada dalam
ranah eksekutif. Putusan tersebut bertentangan dengan tiga putusan sebelumnya
yang menyatakan sebaliknya bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
merupakan lembaga negara independen melalui putusannya No. 012-016-
Pendahuluan
Negara merupakan suatu organisasi yang dibentuk dalam kehidupan
bermasyarakat untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.
Sebagaimana layaknya organisasi, negara memiliki organ-organ yang dibentuk
untuk melaksanakan fungsi tertentu demi tercapainya tujuan negara. Organ-
organ negara inilah yang disebut sebagai lembaga-lembaga negara.1
Pada prinsipnya dalam suatu negara terdapat tiga jenis kekuasaan yakni
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan eksekutif yaitu kekuasaan
melaksanakan atau mempertahankan undang-undang, kekuasaan legislatif
yaitu kekuasaan yang berwenang membuat undang-undang dan kekuasaan
yudikatif yaitu sebagai kontrol daripada undang-undang dijalankan dengan
baik atau tidak. Tujuan dari ketiga kekuasaan tersebut perlu adanya batasan,
agar tidak tumpang tindih kewenangan dan tidak terjadi pemusatan kekuasaan
pada satu lembaga. Selain itu, ada wewenang-wewenang tertentu yang perlu
dipisahkan dan dijalankan oleh lembaga tersendiri demi tercapainya tujuan
bernegara, terutama karena sifat dari wewenang itulah yang menuntut
independensi.2
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan salah satu lembaga
negara yang bersifat independen. Hal itu dikarenakan dalam menjalankan
fungsi dan tugasnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat
dipengaruhi oleh lembaga manapun, baik itu eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dengan tujuan
meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi.3
1 Jimly Asshiddiqie, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, Jakarta:
Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, 5.
2 Janedjri M. Gaffar, “Demokrasi Konstitusional”, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), 103
3 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
7Maruarar Siahaan, “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015), 214-216
8Moh. Mahfud MD, “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitus”, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013), 100.
9 Open legal policy merupakan suatu kebijakan dari pembentuk Undang-Undang yang bersifat
terbuka
10 Putusan Mahkamah Konstitusi NO 36/PUU-XV/2017, 108.
17 tahun 2014 tentang MD3 lembaran Negara nomor 29 tambahan lembaran Negara nomor
6187.
14www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=14286&menu. ( 13 April
2021)
20 Firmansyah Arifin, “Lembaga Negara Dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara,
Konsorsium Reformasi Hukum Nasioanal bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia”, (Jakarta, 2005), 1.
21 Ni’matul Huda, “Lembaga Negara dalam masa transisi Demokrasi”, (UII Press, 2007), 198.
24 Ridwan HR. “Hukum Administrasi Negara”. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), 56.
25 Refly Harun, “Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi” (Jakarta:
Konstitusi Pers, 2010), 73
26 Jimly Asshiddiqie, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, 63.
Simpulan
Berdasarkan hasil analisa sebagaimana telah diuraikan dalam bab
sebelumnya, maka penulis menarik kesimpulan bahwa KPK dibentuk
berdasarkan UU KPK yang dalam perjalanannya terdapat beberapa kali
permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi baik
terhadap UU KPK sendiri maupun UU Tipikor. Mahkamah Konstitusi dalam
beberapa putusannya telah memberikan penafsiran yang menguatkan
kedudukan dan kewenangan KPK dalam sistem ketatanegaraan, antara lain
bahwa KPK adalah lembaga permanen yang berada dalam lingkup eksekutif
yang bersifat independen.
Dasar pembentukan KPK ialah karena belum optimalnya lembaga negara
in casu Kepolisian dan Kejaksaan yang mengalami public distrust dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebagaimana Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017, MK menyatakan KPK bagian dari
eksekutif yang bisa dikenakan hak angket karena lembaga ini melakukan
fungsi eksekutif. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukanlah lembaga
yang bersifat ekstrakonstitusional karena lembaga tersebut merupakan lembaga
negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Referensi
Buku
Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI. 2006.
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: Gramedia pustaka utama.
2003.
Faridah. Kedudukan Lembaga Negara di Indonesia Pasca Amandemen UUD Negara
Tahun 1945. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan. Provinsi Sulawesi
Selatan, Makasar. 2012.
M. Gaffar, Janedjri. Demokrasi Konstitusional. Jakarta: Konstitusi Press. 2012.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. 2010.
Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Sinar
Gafika: Jakarta. 2011.
Sirajudin dan Winardi. Dasar-Dasar Hukum Tata Negara Indonesia. Setara press
malang jatim. 2015.
Suharto, Susilo. Kekuasan Presiden Republik Indonesia Dalam Periode Berlakunya
UndangUndang Dasar 1945. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Surbakti, Ramlan. Memahami ilmu politik. Jakarta: Grasindo. 1992.