Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Publikasisemnasupgris

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 8

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/323028632

PEMAHAMAN KESETARAAN GENDER ANAK SEKOLAH DASAR DI KOMUNITAS


RUMAH PINTAR BANGJO JOHAR SEMARANG

Conference Paper · January 2018

CITATIONS READS

0 4,300

3 authors:

Muslikah Muslikah Sunawan Sunawan


Universitas Negeri Semarang Universitas Negeri Semarang
34 PUBLICATIONS 55 CITATIONS 55 PUBLICATIONS 152 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Khofifah Indah
Universitas Negeri Surabaya
1 PUBLICATION 0 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

KONSELING AGAMA View project

HUBUNGAN ANTARA HARAPAN, RELIGIUSITAS, DUKUNGAN SOSIAL, SUBJECTIVE WELL BEING, DAN RESILIENSI PADA MAHASISWA BIDIK MISI UNIVERSITAS NEGERI
SEMARANG View project

All content following this page was uploaded by Muslikah Muslikah on 09 February 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PEMAHAMAN KESETARAAN GENDER ANAK SEKOLAH DASAR DI
KOMUNITAS RUMAH PINTAR BANGJO JOHAR SEMARANG

Indah Nugrahaeni Kusuma Dewi1., Sunawan2., Muslikah3.


Jurusan Bimbingan dan Konseling, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
1
nugrahaeni2004@gmail.com., 2sunawan@mail.unnes.ac.id., 3muslikah@mail.unnes.ac.id

Abstract

Real gender equality is that every human being, both men and women, have the same
conditions and opportunities to realize their rights and potentials in full without
discrimination. Gender equality can be realized with gender justice. The purpose of this
research is to know the level of understanding of gender equality in learning activity and
activity of play at elementary school children in community of Rumah Pintar Bangjo Johar.
The method used qualitative descriptive method with phenomenology approach. The location
of research in Rumah Pintar Bangjo Johar Semarang. Results the analysis techniques used by
Miles and Huberman. The results showed that gender equality in learning activities visible
when questioning and argument but daily picketing activities and the election of class leaders
occurred gender inequality. On the other activities when the division of seats and the division
of teacher groups become the fairest divisor. While in the activities of play appear when
playing together and the selection of games. Implication in this research is expected
counselor can give understanding related to understanding of gender to child so that can
explore the potential that exist in him. Materials that can be learning to improve an
understanding of gender equality such as skills and courage in questions and opinions,
collaborate with classmates without differentiating between boys and girls, selection of study
groups, leadership and interaction with peer group.

Key word: elementary school students; gender equality; learning; playing

PENDAHULUAN
Isu gender merupakan wacana dan pergerakan untuk mencapai kesetaraan peran, hak
dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Pergerakan gender ini berputar disekitar
permasalahan yang terjadi terhadap perempuan yaitu stereotipe, marginalisasi, subordinasi,
beban ganda dan kekerasan. Perbedaan peran gender ini sangat membantu untuk memikirkan
kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada manusia
perempuan dan laki-laki. Dengan mempelajari gender sebagai sesuatu yang tidak tetap, tidak
permanen sehingga memudahkan untuk membangun gambaran tentang realitas relasi
perempuan dan laki-laki yang dinamis yang lebih tepat dan cocok dengan kenyataan yang ada
dalam masyarakat.
Pemahaman kesetaraan gender yang sesungguhnya adalah setiap manusia berjenis
kelamin laki-laki dan perempuan memiliki kondisi yang sama dan mewujudkan hak-hak dan

Seminar Nasional BK FIP-UPGRIS | 2017 143


“PENERAPAN PANDUAN OPERASIONAL PENYELENGGARAN (POP)
BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH DALAM MENYIKAPI TANTANGAN PROFESI BK
DI ABAD 21
potensi yang ada pada dirinya secara penuh tanpa dibeda-bedakan. Ulya (2013) juga
mengungkapkan bahwa pendidikan kesetaraan gender pada dasarnya adalah pendidikan yang
mengakomodir perbedaan gender, tanpa adanya diskriminasi dan mampu memberikan
kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia dalam dunia pendidikan.
Untuk mendapatkan pemahaman kesetaraan gender yang diharapkan dapat ditempuh
dengan mewujudkan adanya keadilan gender, yakni suatu kondisi adil untuk perempuan dan
laki-laki melalui proses budaya dan kebijakan menghilangkan hambatan-hambatan berperan
bagi perempuan dan laki-laki. Seperti yang diungkapkan oleh Nuraini (dalam Zaduqisti, 2009)
bahwa pendidikan berbasis gender jangan diterjemahkan sebagai upaya perempuan melawan
laki-laki. Namun, bagaimana perempuan dapat mendapatkan kesetaraan nonkodrati, dalam
jangka panjang dapat meningkatkan perlindungan, pelayanan dan kesejahteraan kaum
perempuan. Dimana secara hukum, perempuan dan laki-laki memiliki hak, kesempatan, dan
kewajiban yang sama untuk mendapatkan pendidikan.
Ketidakadilan gender sering kali terjadi di pendidikan formal seperti yang
diungkapkan Zaduqisti (2009) dimana secara tidak sadar guru memberikan peran dan
kesempatan yang lebih pada siswa laki-laki dibanding siswa perempuan. Fakih (2013)
mengungkapkan bahwa secaraumum stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap
suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotip menimbulkan ketidakadilan. Handayani (2014)
mengungkapkan terdapat dampak lain yang mungkin terjadi dari adanya bias gender dalam
pendidikan. Beberapa bentuknya adalah: lestarinya budaya yang mengunggulkan laki-laki
daripada perempuan, pembentukan cita-cita yang berbeda antara laki-laki dan perempuan,
peserta didik mengalami kesulitan menyesuaikan diri terhadap berbagai peran yang harus
mereka jalani ketika dewasa, dan lain sebagainya.
Untuk meningkatkan kesadaran gender melalui pendidikan baik formal maupun
pendidikan keluarga yang berspektif gender dan mempertimbangkan kebutuhan gender
praktis dan strategis untuk perempuan dan laki-laki secara seimbang akan mempercepat
terwujudnya keadilan gender secara luas (Zaduqisti:2009). Sanyata (2009) juga
mengungkapkan bahwa konselor dituntut untuk cakap dalam membantu konseli dalam
menganalis peran gender sehingga terbangun pemahaman kesetaraan gender.

Seminar Nasional BK FIP-UPGRIS | 2017 144


“PENERAPAN PANDUAN OPERASIONAL PENYELENGGARAN (POP)
BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH DALAM MENYIKAPI TANTANGAN PROFESI BK
DI ABAD 21
METODE

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan pendekatan


fenomenologi. Lokasi penelitian di Rumah Pintar Bangjo Johar. Fokus penelitian dipusatkan
pada pemahaman kesetaran gender anak pada kegiatan belajar dan aktivitas bermain, dengan
sasaran siswa kelas IV sekolah dasar. Subyek penelitian yaitu anak yang bertempat tinggal di
Pasar Johar dengan keadaan ekonomi keluarga dan pekerjaan orang tua yang hanya bekerja
sebagai buruh angkut barang dan buruh kupas di pasar Johar.
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
wawancara, observasi dan dokumentasi. Reliabilitas instrument menggunakan teknik
triangulasi dan analisis data menggunakan milik Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2014)
mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan
berlangsung secara terus menerus samapai tuntas, sehingga datanya jenuh.
Hasil Penelitian
Hasil yang telah didapatkan tentang pemahaman kesetaraan gender anak pada kegiatan
belajar dan pemahaman kesetaraan gender anak dalam aktivitas bermain anak dapat dapat
dirangkum dalam tabel dibawah ini
Tabel 1. Pemahaman Kesetaraan Gender Anak
Isu Gender
No Konteks Ada Tidak Keterangan
Ada
1. Bertanya dan V - Kecakapan dan keberanian
berpendapat anak
2. Kelompok belajar - v Guru pembagi yang adil
3. Pembagian tempat - v Fasilitas kelas
duduk
4. Hak siswa (piket dan V - Mengunggulkan laki-laki
pemilihan ketua kelas) dalam pemilihan ketua kelas;
laki-laki sering tidak mau piket
5. Bermain bersama V - Laki-laki harus menang;
perempuan selalu kalah
6. Pemilihan permainan V - Perbedaan mainan.

Tidak semua kontek yang muncul terdapat isu kesetraan gender, dalam kegiatan
betanyan dan berpendapat muncul kesetaraan gender namun menjadikan ketidak merataan
karena didominasi oleh anak yang pandai saja. Dalam kegiatan kelompok belajar dan
pembagian tempat duduk tidak terdapat isu gender, dimana guru menjadi pengadil dalam
pembagiannya. Kegiatan piket kelas dan pemilihan ketua kelas terjadi adanya ketidakadilan

Seminar Nasional BK FIP-UPGRIS | 2017 145


“PENERAPAN PANDUAN OPERASIONAL PENYELENGGARAN (POP)
BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH DALAM MENYIKAPI TANTANGAN PROFESI BK
DI ABAD 21
gender karena hanya anak laki-laki yang bisa menjadi ketua kelas dan saat piket anak laki-laki
tidak mau piket. Sedangkan dalam kegiatan bermain anak menjadi terpisah dan sering terjadi
adanya stereotip gender karena anak laki-laki selalu menang bagaimanapun caranya, dan
ketika memilih permainan anak-anak terbatasi oleh permainan yang hanya boleh untuk laki-
laki saja dan untuk perempuan saja.

PEMBAHASAN
Nugroho (2008) kesetaraan gender berarti adanya kesamaankondisi bagi laki-laki
maupun perempuandalam memperoleh kesempatan serta hak-haknyasebagai manusia, agar
mampuberperan dan berpartispasi dalam kegiatanpolitik, hukum, ekonomi, sosial
budaya,pendidikan, dan pertahanan dan keamanannasional serta kesamaan dalam
menikmatihasil pembangunan.
Berbeda dengan hasil penelitian, tidak semua anak mendapat kesempatan yang sama,
hanya pada kegiatan bertanya dan berpendapat yang terdapat kesetaraan gender. Sedangkan
kegiatan anak yang lain belum terdapat kesetaraan gender. Hak anak dalam kegiatan di kelas
seperti pemilihan ketua kelas dan piket harian terdapat ketidakadilan gender, dimana anak
perempuan tidak diberi kesempatan untuk menjadi ketua kelas dan dalam kegiatan piket anak
laki-laki sering tidak piket dan menyerahkan tugas piketnya kepada anak perempuan. Selain
itu ketika pemilihan kelompok belajar dan pembagian tempat duduk anak menganggap bahwa
guru yang paling adil dalam pembagian. Dalam kegiatan bermain bersama terdapat stereotip
gender, anak laki-laki merasa paling kuat dan anak perempuan lemah, disisi lain anak
perempuan merasa itu tidak masalah dan merasa memang seperti itu adanya. Masih terdapat
pemisahan gender ketika pemilihan permainan, anak laki-laki dan perempuan terpisah dalam
memilih permainan.
Ampera (2012) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa tidak terdapat dominasi
dalam menjawab pertanyaan, keduanya mendapat kesempatan dan peluang yang sama. Dalam
pembagian tugas piket dibedakan antara laki-laki dan peremuan, misal: menghapus papan
tulis hanya dilakukan anak laki-laki, sementara anak perempuan bertugas menyapu menyapu.
Sebagian guru masih dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Disisi lain siswa
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berbeda, sehingga keseimbangan pekerjaan siswa
selalu masih membedakan gender, sebagian sekolah yang diteliti memberikan penugasan
kepada anak laki-laki dan perempuan sama. Namun sebagian sekolah masih terdapat
pemisahan gender dalam bidang rutin misalnya saat baris masuk kelas, daftar hadir,

Seminar Nasional BK FIP-UPGRIS | 2017 146


“PENERAPAN PANDUAN OPERASIONAL PENYELENGGARAN (POP)
BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH DALAM MENYIKAPI TANTANGAN PROFESI BK
DI ABAD 21
pembagian duduk dalam kelas dan lainnya. Selain ituRoziqoh (2014) interaksi yang dilakukan
peserta didik saat mereka bermain, tidak membeda-bedakanya berdasarkan jenis kelamin,
mereka tidak menganggap bahwa masak-masakan adalah mainan untuk anak perempuan, dan
mereka juga menganggap bahwa peran publik seperti sopir yang selama ini di stereotip kan
sebagai pekerjaan laki-laki ternyata juga bisa dilakukan oleh perempuan.
Dari hasil penelitian mengungkapkan bahwa dalam kegiatan bertanya dan berpendapat
ditunjang dengan kompetensi yang dimiliki oleh siswa sehingga menjadikan ketidakmerataan
karena didominasi oleh anak yang pandai. Dalam kegiatan pemilihan ketua kelas dan piket
kelas terdapat ketidakadilan karena siswa perempuan tidak diberi kesempatan untuk menjadi
ketua kelas dan piket yang mengerjakan hanya anak perempuan saja, sama halnya dengan
penelitian terdahulu bahwa masih terdapat guru yang membedakan penugasan kepada siswa
sehingga tidak semua siswa mendapatkan kesempatan yang sama. Sedangkan dalam kegiatan
pembagian kelompok dan guru menjadi pengadil karena ketika dibagi dengan guru siswa akan
merasa adil.
Aktvitas bermain anak masih membedakan permainan laki-laki dan perempuan, ini
disebabkan oleh lingkungan yang sejak awal membedakan perbedaan permainan. Sedangkan
penelitian terdahulu menyatakan bahwa interaksi anak sudah tidak membedakan anak laki-
laki dan perempuan, mereka menganggap bahwa peran laki-laki boleh dilakukan oleh
perempuan begitupun sebaliknya ini disebabkan karena anak telah mendapat pendidikan
kesetaraan gender sehingga mereka sudah terbiasa untuk tidak membeda-bedakan permainan
anak laki-laki dan perempuan, mereka juga tidak canggung ketika bermain bersama dengan
lawan jenis. Sedangkan subyek penelitian belum mendapatkan pendidikan kesetaraan gender
sehingga mereka masih membeda-bedakan permainan laki-laki dan perempuan, ini
menyebabkan terjadinya pemisahan gender, selain itu juga subjek penelitian masih
menganggap bahwa anak perempuan selalu kalah ketika bermain bersama.
Sesuai dengan pembahasan diatas dapat ditarik implikasi bahwa tingkat sekolah dasar
merupakan fondasi untuk mengembangkan dasar-dasar perilaku dan pengembangan aspek
kognitif dan sosial anak dimasa yang akan datang. Ketika anak memahami kesetaraan gender
sejak sekolah dasar, anak tidak akan canggung dan takut untuk melakukan sesuatu, terutama
pada kegiatan belajar dan bermain. Anak akan bebas dalam mengembangkan kemampuan
yang dimilikinya. Selain itu pendidik haruslah memberikan kesempatan yang sama bagi
semua anak, dengan memberikan kesempatan yang sama anak akan lebih cepat memahami
bahwa anak laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan dan peluang yang sama dengan

Seminar Nasional BK FIP-UPGRIS | 2017 147


“PENERAPAN PANDUAN OPERASIONAL PENYELENGGARAN (POP)
BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH DALAM MENYIKAPI TANTANGAN PROFESI BK
DI ABAD 21
anak perempuan. Dengan memberikan kesempatan yang sama bagi anak laki-laki dan
perempuan akan mewujudkan adanya keadilan gender pada anak.
Peran konselor dalam meningkatkan pemahaman kesetaraan gender sangatlah penting,
karena dengan pemahaman kesetaraan gender anak tidak akan merasa terbatasi dengan jenis
kelamin ketika mengembangkan kemampuan yang ada pada dirinya. Proses konseling tidak
hanya membantu mengatasi problem konseli tetapi sekaligus memiliki pemahaman
barutentang konsep gender. Konselor harus mampu memberikan penjelasan dan pemahaman
kesetaraan gender kepada siswa agar siswa mengetahui pemahaman dan konsep gender yang
sesungguhnya. Konselor dapat menjelaskan bahwa dalam kegiatan belajar dan bermain tidak
terdapat perbedaan. Semua siswa mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa
membedakan jenis kelamin tertentu. Selain itu juga agar anak tidak terbatasi dalam
menggembangkan kemampuan yang dimilikinya. Materi yang dapat disampaikan untuk
meningkatkan pemahaman kesetaraan gender seperti kecakapan dan keberanian dalam
bertanya dan berpendapat, berkolaborasi dengan teman satu kelas tanpa membedakan anak
laki-laki dan perempuan, pemilihan kelompok belajar, kepemimpinan dan interaksi dengan
teman sebaya. Hal ini selaras dengan pendapat Arsyadani (2011) beberapa upaya yang dapat
dilakukan pendidik untuk membangkitkan minat pada diri siswanya untuk mempermudah
guru dalam sosialisasi kesetaraan gender, yaitu: membangkitkan adanya suatu kebutuhan,
memberi kesempatan untuk mendapatkan hasil yang baik, menghubungkan dengan persoalan
pengalaman yang lampau dan menggunakan berbagai macam metode mengajar.
Sosialisasikesetaraan gender yang dilakukan guru mengandung manfaat yang sangat
besarbaik dari segi kekayaan informasi yang diperoleh siswa, hubungan sosial siswa,serta
sikap dan apresiasi para siswa terhadap kondisi sosial yang ada di sekitarnya. Dalam
pendidikan diharapkan untuk membiasakan keadilan gender, dimana memberikan kesempatan
yang sama bagi semua siswa dan tidak membedakan laki-laki dan perempuan. Selain itu
pemahaman kesetaraan gender dan sensitivitas adil gender juga perlu dipraktikkan bagi para
praktisi pendidikan terutama konselor agar bisa mengubah persepsi gender yang lebih adil.
Dengan adanya peningkatan kesadaran gender melalui pendidikan formal dan nonformal akan
semakin mempercepat terwujudnya keadilan gender terutama bagi anak Sekolah Dasar.
Karena dengan adanya keadilan gender akan mewujudkan kesetaraan gender.

Seminar Nasional BK FIP-UPGRIS | 2017 148


“PENERAPAN PANDUAN OPERASIONAL PENYELENGGARAN (POP)
BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH DALAM MENYIKAPI TANTANGAN PROFESI BK
DI ABAD 21
SIMPULAN
Pemahaman kesetaraan gender tidak selalu muncul dalam kegiatan bermain anak, hanya
dalam kegiatan bertanya dan berpendapat, hak siswa, bermian bersama dan pemilihan
permainan. Sedangkan dalam kegiatan pemilihan tempat duduk dan belajar kelompok tidak
terdapat isu kesetaraan gendder mereka menganggap adil ketika yang membagi adalah
gurunya. Bagi konselor komunitas dan konselor di sekolah diharapkan mampu
mengoptimalkan kesetaraan gender pada anak dengan memberikan layanan yang berkaitan
dengan kesetaraan gender pada kegiatan sehari-hari anak.

DAFTAR PUSTAKA
Ampera, D. (2012). Kajian Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Di Sekolah Dasar Mitra
PPL PGSD. Jurnal Tabularasa PPS UNIMED, 2.

Arsyadani, D. K. (2011). Peran Guru dalam Sosialisasi Kesetaraan Gender pada Siswa
Sekolah Dasar.

Fakih, M. (2013). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Herdiansyah, H. (2016). Gender dalam Perspektif Psikologi. Jakarta: Salemba Humanika.

Nugroho, R. (2008). Gender dan Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Roziqoh, S. (2014). Pendidikan Berspektif Gender Pada Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan
dan Pemberdayaan Masyarakat, 86-99.

Sanyata, S., & Nurhayati, S. R. (2009). Konseling Berspektif Gender Bagi Perempuan Korban
KDRT. Jurnal Penelitian Humanioral, 9-10.

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Ulya, I. (2013). Pendidikan Berbasis Kesetaraan Gender: Studi Kebijakan Pemerintah dan
Aplikasi dalam Pendidikan. Jurnal Wahana Akademika, 148-170.

Zaduqisti, E. (2009). Stereotipe Peran Gender Bagi Pendidikan Anak. Jurnal Nuwazan, 73-82.

Seminar Nasional BK FIP-UPGRIS | 2017 149


“PENERAPAN PANDUAN OPERASIONAL PENYELENGGARAN (POP)
BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH DALAM MENYIKAPI TANTANGAN PROFESI BK
DI ABAD 21

View publication stats

You might also like