4. i
KATA PENGANTAR
Hingar bingar kegiatan pemberdayaan masyarakat baik yang
dilakukan oleh pemerintah, LSM maupun organisasi non profit lainnya, tidak
lepas dari metode Community Development. Community Development yang pada
tataran lebih luas diterjemahkan atau dianalogkan dengan pengembangan/
pembangunan masyarakat, pengembangan komunitas, pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat, community work atau apapun penyebutannya,
adalah merupakan upaya luhur guna meningkatkan derajat kesejahteraan
masyarakat.
Penggunaan istlah community development dalam buku ini sebatas untuk
lebih menyederhanakan persepsi di kalangan umum. Namun lebih dari itu,
penekanan community development dalam buku ini hanyalah sebuah “metoda”,
khususnya dalam Praktik Pekerjaan Sosial.
Sebagai salah satu metode praktik dalam Ilmu Pekerjaan Sosial (social
work), tentunya, community development tidaklah mungkin “berjumawa”, berdiri
sendiri dan bertarung langsung dalam upaya-upaya peningkatan derajat
kesejahteraan masyarakat. Diperlukan metode-metode lain guna lebih
melengkapi atau bahkan menggali potensi yang ada dalam metode ini.
Sengaja, buku edisi kedua ini ditulis dalam dua bagian besar. Bagian
pertama mengajak para sidang pembaca untuk mengenal keberadaan Pekerjaan
Sosial sebagai sebuah Profesi, bukannya philantropy atau charity semata. Namun
lebih dari itu, buku ini juga bertujuan untuk mengenalkan kepada para
pembaca umumnya (di luar disiplin Ilmu Pekerjaan Sosial/Kesejahteraan
Sosial) untuk lebih memahami Profesi Pekerjaan Sosial sebagai sebuah profesi
yang kaya akan metode, ketrampilan dan juga teknik dalam berbagai
pelayanan kemanusiaan.
Pada Bagian Kedua, buku ini akan mencoba mengupas penerapan
Community Development sebagai sebuah Metode dalam Ilmu Pekerjaan Sosial.
Baik dari sisi prinsip, proses/langkah, strategi, teknik, bahkan trik-trik yang
perlu dilakukan dalam upaya membawa masyarakat ke dalam kondisi yang
5. ii
lebih baik, sesuai fokus utama Praktik Pekerjaan Sosial, yaitu : problem solving
dan social functioning.
Kepada Sdr. Drs. Bambang Sugeng, MP tidak lupa penulis sampaikan
beribu terima kasih atas telaahan serta editasi substansi buku ini. Juga kepada
Sdr. Drs. Suradi, M.Si atas dukungan bahan-bahan guna penyusunan buku ini.
Kepada Penerbit STKSPRESS secara khusus penulis sampaikan penghargaan
yang setinggi-tingginya atas penerbitan kembali buku ini.
Kepada semua pihak yang tak mungin disebutkan satu persatu dalam
buku ini (Sdr. Micho cs), yang telah berjerih payah dalam membidani publikasi
buku ini, penulis haturkan ribuan terima kasih.
Semoga edisi kali ini lebih bermanfaat.
Bandung, Agustus 2007
Penulis,
6. iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………… i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………. iii
BAGIAN PERTAMA :
PEKERJAAN SOSIAL SEBAGAI PROFESI
BAB I HAKIKAT PEKERJAAN SOSIAL
A. DEFINISI ……………………………………………………… 2
B. TUJUAN DAN FUNGSI PEKERJAAN SOSIAL ………… 5
C. PRINSIP DASAR PEKERJAAN SOSIAL …………………. 10
BAB II KERANGKA PENGETAHUAN, NILAI DAN
KETRAMPILAN DALAM PEKERJAAN SOSIAL
A. KERANGKA PENGETAHUAN …………………….………. 13
B. KERANGKA NILAI ………………………………………….. 14
C. KERANGKA KETRAMPILAN ……………………………… 20
BAB III FOKUS PEKERJAAN SOSIAL
A. KEBERFUNGSIAN SOSIAL ……………………………….. 31
B. SISTEM SUMBER ……………………………………………. 33
C. SISTEM DASAR ……………………………………………… 35
BAGIAN KEDUA :
“COMMUNITY DEVELOPMENT”
DALAM PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL
BAB IV KONSEPSI, KEDUDUKAN, DSN PRINSIP-PRINSIP
PENGEMBANGAN MASYARAKAT
A. PENGERTIAN ………………………………………………. 37
B. PENGEMBANGAN MASYARAKAT …………………….. 39
7. iv
C. PRINSIP-PRINSIP PEKERJAAN SOSIAL
DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT ……….… 44
D. TUJUAN DAN FUNGSI
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ……………….…… 46
BAB V PERANAN, STRATEGI DAN PROSES
PENGEMBANGAN MASYARAKAT
A. PERANAN DAN STRATEGI ………………………….….. 51
B. PROSES PENGEMBANGAN MASYARAKAT …….….… 58
BAB VI MODEL, PENDEKATAN DAN PANDANGAN
DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
A. MODEL PENGEMBANGAN MASYARAKAT …….…… 61
B. BEBERAPA PENDEKATAN DALAM
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ……………….…… 64
C. BEBERAPA PANDANGAN DALAM
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ……………….…… 68
BAB VII KETRAMPILAN DAN TEKNIK DALAM
PENGEMBANGAN MASYARAKAT
A. BEBERAPA KETRAMPILAN POKOK ………….…..…… 71
B. BEBERAPA TEKNIK DALAM
PENGEMBANGAN MASYARAKAT …………….……… 78
PUSTAKA SUMBER
INDEKS
LAMPIRAN
8. 1
BAB I
HAKIKAT PEKERJAAN SOSIAL
Permasalahan yang dihadapi oleh setiap individu,
kelompok/komunitas, maupun organisasi berbeda-beda dan upaya
mengatasi permasalahanpun berbeda-beda pula sesuai dengan
kemampuan masing-masing. Namun terdapat individu, kelompok,
maupun organisasi yang tidak mampu memecahkan pernasalahannya
sendiri sehingga perlu bantuan dari pihak lain. Pemberian pertolongan
oleh pihak lain (keluarga atau orang) terdekat kepada individu,
kelompok/komunitas, maupun organisasi tersebut terkadang memiliki
keterbatasan juga, maka diperlukan pihak lain yang ada disekitar kita
seperti pekerja sosial masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat,
aparat pemerintah, organisasi-organisasi kemasyarakatan, institusi-
institusi tertentu, dan lain sebagainya.
Dalam kapasitas sebagai individu atau organisasi yang dimintai
bantuan oleh orang atau sekelompok orang dalam membantu mengatasi
permasalahan yang mereka hadapi maka, perlu memiliki pengetahuan,
keterampilan, atau aturan-aturan tertentu yang memudahkan dalam
proses pemberian bantuan. Adapun pengetahuan, keterampilan,
ataupun aturan-aturan yang perlu dimiliki adalah berkaitan dengan
bagaimana seorang atau sekelompok orang yang kita bantu dapat
menjalankan tugas atau peran yang harus dilakukan pada lingkungan
sosialnya.
9.
2
Pekerjaan sosial sebagai salah satu profesi yang dapat mewarnai
para pemberi bantuan dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini
disebabkan profesi pekerjaan sosial berkompetensi dalam meningkatkan
keberfungsian sosial individu, kelompok maupun masyarakat. Istilah
keberfungsian sosial menjadi ciri khas tersendiri pada profesi pekerjaan
sosial. Dengan fokus keberfungsian sosial, maka perlu memahami
hakekat pekerjaan sosial (pengertian, karakteristik, tujuan, fungsi dan
prinsip), kerangka dalam pekerjaan sosial (pengetahuan, keterampilan
dan nilai), hakikat keberfungsian sosial, sistem sumber dan sistem dasar,
sedangkan dalam prakteknya, perlu memahami bidang-bidang garapan
khusus, yang memungkinkan profesi ini bisa terlibat, dan peranan-
peranan yang dapat ditampilkan oleh seorang pekerja sosial.
A. DEFINISI
Dinamika kehidupan yang terus berubah menuju kepada
kompleksitas permasalahan atau kebutuhan maka perlu upaya
pertolongan yang lebih komprehensif kepada perorangan, kelompok
atau masyarakat. Pekerjaan sosial sebagai profesi yang dapat membantu
mereka untuk terlibat dalam dinamika tersebut. Namun sebelum
melakukan praktik pertolongan perlu dipahami dulu pendapat para ahli
pekerjaan social yang mengemukakan pengertian pekerjaan social.
Berdasarkan pada salah satu pengertian pekerjaan sosial (Zastrow; 1999,
5) dikatakan bahwa:
Social work is the profesional activity of helping individuals, groups, or
communities to enchance or restore their capacity for social functioning
and to create societal conditions favorable to their goals.
Pengertian tersebut pada prinsipnya menyebutkan bahwa
pekerjaan sosial adalah aktivitas profesional, yang ditujukan untuk
10. 3
menolong orang, baik sebagai individu, kelompok, organisasi maupun
masyarakat, dalam rangka meningkatkan atau memperbaiki
kemampuan berfungsi sosial mereka dan menciptakan
kondisi/lingkungan sosial yang memungkinkan orang tersebut
mencapai tujuan hidupnya.
Menurut definisi diatas, terdapat lima unsur utama dalam
pekerjaan sosial, yaitu sebagai berikut: (1) pekerjaan sosial sebagai
kegiatan profesional, (2) kegiatannya ditujukan untuk memberikan
pertolongan; (3) klien yang ditolong adalah individu, kelompok, dan
masyarakat; (4) intervensi pertolongan pekerjaan sosial diarahkan
kepada peningkatan dan atau perbaikan kemampuan berfungsi sosial
klien dan mewujudkan lingkungan yang mampu memberikan
kesempatan, pelayanan, dan sumber; (5) tujuan pekerjaan sosial adalah
menciptakan individu, kelompok, dan masyarakat yang mampu
mencapai tujuan hidupnya. Dengan demikian pekerjaan sosial
berkepentingan menyediakan pelayanan sosial yang efektif dan
manusiawi untuk membantu individu, keluarga dan masyarakat agar
mereka dapat berfungsi sosial dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Berdasarkan uraian diatas maka karakteristik pekerjaan sosial,
sebagai berikut:
1. Konsep pertolongan dalam pekerjaan sosial adalah menolong orang
agar mereka mampu menolong dirinya sendiri (to help people to help
themselves), artinya:
a. Kegiatan pertolongan pekerjaan sosial diarahkan kepada
kepentingan klien, bukan untuk kepentingan pekerja sosial yang
bersangkutan.
b. Dalam melakukan kegiatannya tersebut, pekerja sosial senantiasa
bekerjasama dengan klien (working with client) yang
11.
4
memungkinkan adanya partisipasi aktif dari klien, sehingga
pada akhirnya klien tersebut dapat mandiri.
2. Pekerjaan sosial menggunakan pendekatan dualistik, yakni bahwa
intervensinya diarahkan kepada orang dan juga lingkungannya.
Ketika seseorang mengalami permasalahan, maka pendekatan
pekerjaan sosial adalah:
a. Kepada orang (klien), pekerja sosial berupaya untuk melakukan
peningkatan kemampuan dan kemauan klien yang mencakup
aspek intelektual, sosial emosional, spiritual dan fisik yang
memungkinkan klien dapat berfungsi sosial dengan baik.
b. Kepada lingkungan, pekerja sosial berupaya untuk menciptakan
kondisi-kondisi yang memungkinkan klien dapat
mengembangkan keberfungsian sosialnya.
3. Praktik pekerjaan sosial mengarah pada tiga tingkatan intervensi,
yakni:
a. Praktik mikro, yaitu kegiatan pekerjaan sosial yang diarahkan
untuk menangani permasalahan yang dialami individu-individu
dan keluarga.
b. Praktik meso, yaitu kegiatan pekerjaan sosial yang diarahkan
terhadap kelompok.
c. Praktik makro, yakni kegiatan pekerjaan sosial yang diarahkan
terhadap organisasi dan masyarakat untuk menghasilkan
perubahan-perubahan yang diinginkan.
4. Ilmu pekerjaan sosial merupakan eclectic sciencies, yaitu merupakan
ilmu yang dalam proses pembentukannya mengambil /
mengadaptasi bagian-bagian / konsep-konsep yang relevan dari
12. 5
berbagai disiplin ilmu lain seperti sosiologi, psikologi, psikologi,
psikiatri dan lain-lain.
B. TUJUAN PEKERJAAN SOSIAL
Selanjutnya, dalam tujuan pekerjaan sosial terdapat tugas-tugas
yang harus dilakukan, sebagai berikut:
1. Membantu orang memperluas kompetensinya dan meningkatkan
kemampuan mereka untuk menghadapi serta memecahkan
permasalahannya.
2. Membantu orang memperoleh sumber-sumber.
3. Membuat organisasi-organisasi yang responsif dalam memberikan
pelayanan sosial.
4. Memberikan fasilitas interaksi antara individu dengan individu lain
dalam lingkungan mereka.
5. Mempengaruhi interaksi antara organisasi-organisasi dengan
institusi-institusi.
6. Mempengaruhi kebijakan sosial maupun kebijakan lingkungan
(Hepworth dan Larsen; 1982, 16).
C. FUNGSI PEKERJAAN SOSIAL
Dengan demikian maka fungsi-fungsi pekerjaaan sosial, adalah:
1. Membantu orang meningkatkan dan menggunakan kemampuannya
secara efektif untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan
memecahkan masalah-masalah sosial yang mereka alami. Tugas
pekerja sosial adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi dan mengadakan kontak dengan orang yang
memerlukan pertolongan.
13.
6
b. Memberikan pemahaman, dorongan dan dukungan pada orang
yang dilanda krisis.
c. Memberikan kesempatan kepada orang yang bermasalah untuk
mengemukakan masalahnya.
d. Memberikan beberapa alternatif pemecahan masalahnya.
e. Melakukan konfrontasi dengan tujuan agar mau melakukan
perubahan.
f. Mengajarkan keterampilan-keterampilan yang membantu
mereka dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
2. Mengkaitkan orang dengan sistem-sistem sumber. Adapun tugas
yang dilakukan oleh pekerja sosial adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi orang yang tidak tahu atau belum mampu
mengakses sistem sumber.
b. Memberikan informasi tentang sistem-sistem sumber yang ada,
dan cara memanfaatkannya
c. Membantu orang mengatasi masalah-masalah praktis dalam
memanfaatkan sistem-sistem sumber.
d. Membantu membuat referal untuk menggunakan sistem sumber.
e. Bertindak sebagai advokat bagi mereka yang mengalami
kesulitan dalam memanfaatkan sistem sistem sumber.
f. Membantu dalam menstimulasi sistem-sistem sumber agar lebih
sensitif terhadap orang-orang yang membutuhkan pelayanan.
g. Membantu orang untuk bertindak sebagai sistem sumber dengan
membentuk sistem-sistem sumber baru, dimana mereka
didalamnya saling berkaitan satu sama lain.
3. Memberikan fasilitas interaksi dengan sistem-sistem sumber.
Pekerja sosial melakukan tugas sebagai berikut:
14. 7
a. Memberikan informasi kepada sistem-sistem sumber
kemasyarakatan mengenai pemasalahan sosial yang terjadi.
b. Memberikan pelayanan konsultasi bagi sistem-sistem sumber
kemasyarakatan, dan memberitahukan tentang metoda-metoda
pelayanan yang berbeda-beda.
c. Mengkonsultasikan sistem-sistem informal untuk membantu
mereka memperoleh pelayanan-pelayanan yang ada maupun
yang baru dari sistem sumber kemasyarakatan.
d. Membawa orang ke dalam salah satu sistem sumber
kemasyarakatan atau mengkaitkan orang dengan beberapa
sistem sumber kemasyarakatan agar mereka dapat masuk pada
perencanaan dan pendekatan yang terkoordinasi bagi keluarga
maupun individu.
e. Bertindak sebagai advokat dari konsumen untuk menghadapi
sistem-sistem sumber kemasyarakatan.
f. Mengorganisasikan para konsumen untuk menjadi anggota
organisasi-organisasi yang baru atau membantu organisasi yang
ada agar berbuat serupa.
g. Menengahi dan memecahkan konflik-konflik diantara sistem-
sistem sumber informal, anggota-anggota organisasi maupun
sistem-sistem sumber kemasyarakatan.
4. Memberikan fasilitas interaksi di dalam sistem-sistem sumber.
Kegiatan pekerja sosial adalah sebagai berikut:
a. Menyalurkan informasi dari satu bagian sistem kepada bagian
sistem yang lainnya.
b. Disamping memberikan pelayanan netral, pekerja sosial juga
memihak dan mengadvokasi bagi kepentingan-kepentingan
salah satu sistem yang kurang memiliki kekuatan yaitu tidak
15.
8
mampu membuat keputusan maupun tidak mendapatkan
kepuasan dari pelaksanaan peranannya dalam sistem tersebut.
c. Membantu mengorganisasikan sub-sub sistem dan bertindak
sebagai advokat mereka dan bekerja untuk merubah bagian-
bagian sistem tersebut.
d. Bertindak sebagai konsultan bagi anggota-anggota sistem dalam
menjelaskan permasalahan-permasalahan yang dialami dan
menyarankan perubahan pada prosedur operasional maupun
peranan yang harus dilaksanakan.
e. Memberikan keterampilan-keterampilan kepada anggota-
anggota sistem agar mereka mampu melaksanakan peranannya
secara memuaskan dan mampu melaksanakan peranan-peranan
baru di dalam sistem itu.
f. Mencoba memasukkan anggota-anggota baru ke dalam sistem
atau mendorong anggota-anggota yang sudah ada untuk keluar
agar sistem dapat meningkatkan fungsionalitasnnya.
g. Melibatkan anggota-anggota sistem didalam mendiagnosa
permasalahan-permasalahan interaksi diantara mereka melalui
pendiskusian kesulitan-kesulitan yang mereka alami atau
menciptakan mekanisme umpan balik dengan sistem itu sendiri.
5. Mempengaruhi kebijakan sosial. Adapun tugas pekerja sosial adalah
sebagai berikut:
a. Mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang
permasalahanan dan kondisi yang perlu diubah melalui
perubahan kebijakan sosial.
b. Mendorong badan-badan sosial di mana ia bekerja atau sistem-
sistem kemasyarakatan maupun organisasi-organisasi formal
agar mengambil sikap dalam mengatasi permasalahan yang
dihadapi sekelompok warga masyarakat.
16. 9
c. Membentuk sistem-sistem baru untuk melaksanakan perubahan
kebijakan sosial.
d. Memberikan informasi kepada pembuat kebijakan sosial
maupun sebagai advokat untuk mengadakan perubahan
kebijakan sosial.
e. Mendorong yang lainnya untuk menjadi advokat yang secara
langsung berhubungan dengan pembuat kebijakan untuk
melakukan perubahan.
f. Menyusun pelayanan, program, draf/konsep peraturan dan
proposal guna mengubah kebijakan dan menciptakan pelayanan
yang dibutuhkan.
g. Didalam bekerja sama dengan orang lain dapat menguji
eksistensi hukum dan kebijakan-kebijakan administratif melalui
keputusan-keputusan pengadilan dalam memecahkan
permasalahan yang spesifik.
6. Memeratakan atau menyalurkan sumber-sumber material. Dengan
kegiatan pekerja sosial sebagai berikut:
a. Menentukan kebutuhan dan ketepatan sumber-sumber serta
menentukan orang-orang yang memenuhi persyaratan untuk
memanfaatkan sumber tersebut.
b. Membentuk suatu sistem sumber informal yang baru untuk
orang-orang tertentu.
c. Menentukan tempat adanya sumber atau persyaratan-
persyaratan untuk memanfaatkan sumber.
d. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada orang yang
akan bertindak sebagai sistem sumber.
e. Mempersiapkan orang untuk memanfaatkan sumber dan
membantu mereka memanfaatkan sumber tersebut secara efektif.
17.
10
f. Memonitor dan mensupervisi pemanfaatan sumber-sumber
tersebut.
7. Memberikan pelayanan sebagai pelaksana kontrol sosial. Tugas
pekerja sosial adalah sebagai berikut:
a. Mensupervisi orang yang dicap bertingkah laku menyimpang
(deviant behaviour).
b. Menyelidiki laporan-laporan tentang adanya praktik-praktik
penterlantaran dan penyiksaan.
c. Memberikan lisensi kepada sumber-sumber yang memberikan
fasilitas untuk menjamin pelayanan yang memadai bagi orang-
orang yang membutuhkan. (Pincus dan Minahan; 1973, 15)
D. PRINSIP DASAR PEKERJAAN SOSIAL
Dalam melaksanakan tujuan maupun fungsi pekerjaaan sosial,
maka terdapat prinsip-prinsip dasar pekerjaan sosial yang harus
digunakan pada saat memberikan pertolongan kepada klien, yaitu
sebagai berikut:
1. Penerimaan (acceptance), pekerja sosial harus menerima klien apa
adanya.
2. Individualisasi (individualization), bahwasanya klien merupakan
pribadi yang unik yang harus dibedakan dengan yang lainnya.
3. Sikap tidak menghakimi (non-judgemental attitude), pekerja sosial
harus mempertahankan sikap tidak menghakimi terhadap
kedudukan apapun dari klien dan tingkah laku klien.
4. Rasional (rationality), pekerja sosial memberikan pandangan yang
obyektif dan faktual terhadap kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi serta mampu mengambil keputusan.
5. Empati (emphaty), kemampuan memahami apa yang dirasakan orang
lain / klien.
18. 11
6. Ketulusan/kesungguhan (genuiness), terutama dalam komunikasi
verbal.
7. Kejujuran (impartiality), tidak menghadiahi atau tidak merendahkan
seseorang dan kelompok (tidak menganakemaskan atau
menganaktirikan).
8. Kerahasiaan (confidentiality), pekerja sosial harus menjaga
kerahasiaan data/informasi perihal klien kepada orang lain.
9. Mawas diri (self awareness), pekerja sosial harus sadar akan
potensinya dan keterbatasan kemampuannya.
a. Prinsip-prinsip ini menjadikan pekerja sosial memiliki pegangan
pada saat melakukan praktik pekerjaan sosial. Dengan adanya
prinsip ini tidak menjadikan pekerja sosial kaku, namun ada kondisi-
kondisi khusus yang harus disikapi oleh perilaku-perilaku khusus
pula.
20. 13
BAB II
KERANGKA PENGETAHUAN, NILAI
DAN KETERAMPILAN DALAM PEKERJAAN SOSIAL
A. KERANGKA PENGETAHUAN
Pekerjaan sosial dikatakan sebagai suatu profesi karena
didalamnya termuat kriteria profesi, yaitu dalam melaksanakan
kegiatan profesionalnya senantiasa berlandaskan kepada kerangka
pengetahuan, nilai dan keterampilan (body of knowledge, values and
skills). Menurut Morales dan Sheafor (1983) bahwa kerangka
pengetahuan pekerjaan sosial meliputi pengetahuan tentang pekerja
sosial (dirinya, profesi atau disiplin ilmunya, dan metodologi intervensi
pertolongannya); orang yang akan dibantu (client’s) (kepribadiannya,
sikap dan perilakunya, masalah yang dialaminya, motivasinya, dan
sebagainya); dan lingkungan sosial (keluarga, kelompok, organisasi,
masyarakat, kebudayaan, dan sebagainya).
Sedangkan kerangka nilai pekerjaan sosial, meliputi: nilai yang
berkaitan dengan pekerjaan sosialnya (nilai pribadi pekerja sosial
sebagai penyembuh profesional dan nilai profesionalnya berupa disiplin
ilmunya dan kode etik profesinya); nilai tentang klien; dan nilai
lingkungan sosialnya (nilai lembaga dan nilai masyarakatnya).
Selanjutnya kerangka keterampilan pekerjaan sosial meliputi
keterampilan sebagai pekerja sosial profesional (keterampilan
pertolongan dasar, relasi awal, observasi, komunikasi empati, dan
sebagainya) dan keterampilan untuk berinteraksi dan membantu orang
21.
14
(keterampilan memahami dan memecahkan masalah klien dan
keterampilan membuat klien dapat melaksanakan fungsi sosialnya).
Jadi disamping memiliki kerangka pengetahuan, nilai dan
keterampilan, pekerjaan sosial dapat dikatakan sebagai suatu profesi
karena didalamnya memiliki kode etik yang mengatur atau menjadi
pedoman dalam melakukan praktik pekerjaan sosial. Kode etik inipun
dirumuskan oleh para profesi pekerjaan sosial untuk membuat aturan
main bagi para pekerja sosial. Profesi ini semakin ajeg karena adanya
partisipasi masyarakat yang juga bisa memberikan penilaian baik
berupa penghargaan maupun hukuman. Selain itu pertemuan rutin
antara asosiasi lembaga pendidikan pekerjaan sosial, asosiasi pekerja
sosialnya dan lembaga tempat para pekerja sosial bekerja semakin
memperkuat bahwa pekerja sosial merupakan profesi yang jelas aturan
mainnya,
B. KERANGKA NILAI
Semua profesi memiliki acuan nilai-nilai yang memberikan arah,
tujuan, arti, makna bagi orang-orang yang melakukan praktik di
dalamnya. Demikian juga makna dan arah tujuan pekerjaan sosial
berakar pada sistem-sistem nilai yang diterima dan dihargai oleh profesi
itu, akan tetapi perlu diingat bahwa nilai-nilai profesional tidaklah
terpisah dan berbeda dari nilai-nilai kemasyarakatan.
Berbicara tentang nilai, tidak akan terlepas pula untuk
membicarakan tentang etik, karena etik itu sendiri memiliki hubungan
yang erat dengan nilai. Hal itu seperti yang dikatakan oleh Levy (1993:
1) bahwa, etika merupakan aplikasi dari nilai dalam relasi dan transaksi
manusia . Jadi semua aktivitas manusia dalam masyarakat senantiasi
diatur dan diarahkan oleh nilai baik nilai yang bersumber dari
teori/disisplin ilmu, negara, agama, masyarakat, institusi, dan pribadi
22. 15
pekerja sosial. Bahkan Heffernan, dkk (1997: 42) menyatakan bahwa,
etika merupakan produk/hasil dari nilai.
Nilai berhubungan dengan sesuatu yang dianggap baik dan
diinginkan. Jadi ia bersifat kualitatif. Nilai ditanamkan secara emosi dan
merupakan sesuatu yang ingin dicapai dimana pekerja sosial harus
mengarahkan tindakan-tindakannya dalam mengadakan relasi
profesional pekerjaan sosial, sedangkan etik merupakan peraturan
penuntun perilaku dan menaruh perhatian tentang apa yang boleh
dilakukan dan yang tidak boleh (Bisman, 1994:42).
Meskipun tidak semua pekerja sosial dari pelbagai bangsa dan
lingkungan kebudayaan selalu menerima dan menjunjung tinggi nilai-
nilai yang sama, namun nilai-nilai yang dirumuskan berikut ini
barangkali dapat mewakili nilai-nilai yang dapat diterima secara umum
oleh pekerja sosial :
1. Orang-orang hendaknya memiliki akses (kedekatan) kepada sumber-
sumber yang dibutuhkan guna menghadapi tantangan-tantangan
dan kesulitan-kesulitan kehidupan serta akses kepada kesempatan-
kesempatan guna mewujudkan potensi-potensi mereka sepanjang
hidup mereka.
2. Setiap orang adalah unik dan memiliki martabat dan harga diri yang
melekat padanya.
3. Orang-orang memiliki hak akan kebebasan sepanjang kebebasan itu
tidak bertentangan atau mengganggu hak orang lain.
4. Perwujudan dari nilai-nilai di atas hendaknya menjadi
tanggungjawab bersama antara individu-individu dengan
masyarakat sebagai satu-kesatuan.
Jika dipertimbangkan satu-persatu maka nilai-nilai, amanat dan
tujuan-tujuan di atas tidaklah menunjukkan hal yang unik bagi
pekerjaan sosial. Sebab profesi atau pihak-pihak lain pun mungkin
menganut nilai-nilai yang sama. Namun jika nilai-nilai tersebut
23.
16
dipandang sebagai kesatuan yang utuh, maka ini jelas merupakan
identitas unik bagi profesi ini.
Nilai-nilai pekerjaan sosial banyak dikemukakan oleh para ahli
diantaranya Morales and Sheafor (1983; 195), bahwa ada 4 komponen,
yaitu;
1. Nilai pekerjaan sosial yang meliputi nilai pribadi dan profesional
2. Nilai orang/pribadi yang mencakup nilai klien
3. Nilai lembaga di mana pekerja sosial bekerja
4. Nilai masyarakat artinya pekerja sosial harus bekerja sesuai dengan
nilai-nilai yang ada di masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa
sumber nilai profesi adalah nilai masyarakat.
Nilai-nilai pekerjaan sosial yang lain yaitu, Dubois dan Miley
(1992: 41-42) menyatakan bahwa dalam pekerjaan sosial terdapat empat
nilai profesional pekerja sosial, yaitu (a) nilai tentang orang; (b) nilai
tentang masyarakat; (c) nilai dalam prilaku profesional; dan (d) standar
praktek etik. Hal yang sama dikemukakan oleh Hepwoth dan Larsen
(1992) tentang nilai-nilai pekerjaan sosial dalam hal fokus intervensi
pekerjaan sosial, yaitu terbagi menjadi (a) nilai tentang konsepsi klien;
(b) nilai tentang konsepsi masyarakat; dan (c) nilai tentang konsepsi
interaksi antar manusia. Kemudian Zastrow (2000: 107 – 118)
menyatakan adanya beberapa nilai dasar pekerjaan sosial, yaitu (a)
menghargai harkat-martabat dan keunikan individu; (b) hak klien untuk
menentukan dirinya sendiri; (c) kerahasiaan; (d) mengadvokasi dan
melakukan aksi sosial terhadap berbagai penindasan; (e) tanggung
jawab; dan (f) berorientasi kelembagaan; dan (g) menghargai agama dan
kepercayaan orang lain.
Pemahaman etika yang merupakan perwujudan filsafat perlu
dicermati lebih jauh sebab etika pada prinsipnya merupakan sistem
prinsip moral dan persepsi tentang benar atau salah. Oleh karena itu
24. 17
etika pada hakekatnya menurut Barker (1987: 51) dalam The Social
Work Dictionary mendefinisikan etika sebagai berikut:
“Ethics: A system of moral principles and perceptions about right
versus wrong and the resulting philosophy of conduct that is practiced by
an individual, group, profession, or culture.”
Berdasarkan pengertian tersebut, maka etika mengandung 5
unsur, yaitu (1) sistem sosial; (2) perwujudan filsafat; (3) membahas
tentang benar dan salah; (4) pengendalian perilaku; dan (5)
dilaksanakan oleh individu, kelompok, profesi dan kebudayaan.
Atas dasar filosofis dan orientasi nilai, pekerjaan sosial
menggunakan seperangkat prinsip-prinsip praktik etik yang
membimbing dan membatasi tindakan-tindakan pertolongan yang
dilakukan pekerja sosial. Prinsip-prinsip praktik etik tersebut dipandang
sebagai kewajiban-kewajiban, standar-standar, tugas-tugas dan
tanggung jawab untuk diterapkan pada semua relasi dan situasi
pertolongan dengan klien, rekan kerja dan rekan profesional lainnya.
Prinsip-prinsip ini akan mempermudah pekerja sosial dalam melibatkan
diri dan berfungsi di dalam situasi yang sulit dan tertekan, juga ketika ia
berhadapan dengan masalah-masalah yang tidak terpecahkan.
Prinsip-prinsip dasar pekerjaan sosial adalah (a) menghargai dan
mempermudah/ mewujudkan partisipasi klien; (b) menghargai
keinginan klien atau menentukan nasib sendiri; dan (c) menghargai
martabat dan harga diri klien. Sedangkan prinsip-prinsip dasar lainnya
adalah (a) penerimaan (Acceptance) artinya Pekerja sosial harus dapat
menerima klien secara apa adanya; (b) individualisasi (Individualization),
bahwasanya klien merupakan pribadi yang unik yang harus dibedakan
dengan yang lainnya; (c) sikap tidak menghakimi (Non-judmental
attitude), pekerja sosial harus mempertahankan sikap non-judmental
25.
18
terhadap kedudukan apapun dari klien dan tingkah laku klien; (d)
rasional (Rationality), pekerja sosial memberikan pandangan yang
obyektif dan faktual terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi,
serta mampu mengambil keputusan; (e) empati (Emphaty), kemampuan
memahami apa yang dirasakan orang lain/ klien; (f)
ketulusan/kesungguhan (Genuiness), terutama dalam komunikasi
verbal; (g) kejujuran (Impartiality), tidak menghadiahi ataupun tidak
merendahkan seseorang dan kelompok (tidak menganak-emaskan atau
menganak-tirikan); (h) kerahasiaan (Confidentiality), pekerja sosial
harus menjaga kerahasiaan data/informasi perihal klien kepada orang
lain; dan (i) mawas diri (Self awareness), pekerja sosial harus sadar akan
potensinya dan keterbatasan kemampuannya.
Kesemuanya itu akan menolong Pekerja Sosial untuk mengakui
bahwa tindakan yang terkait dengan prinsip-prinsip moral dan etik,
tidak berarti harus mengikuti semua aturan moral yang umum secara
kaku karena memang ada tingkah laku khusus yang perlu dilakukan
atau dipilih oleh pekerja sosial dalam situasi dan kondisi-kondisi
khusus. Prinsip-prinsip moral dan etik merupakan suatu jalan yang
menuntut pekerja sosial melakukan suatu praktik pertolongan secara
efektif. Kita selalu percaya bahwa dalam proses pertolongan
sebagaimana juga dalam kehidupan ini, mengamati dan membuat
pilihan-pilihan dengan atau atas dasar prinsip moral dan etik
merupakan "upaya memperbaiki kedudukan manusia yang amat
sukar".
Prinsip-prinsip praktik etik dituangkan dalam kode etik profesi,
dalam bentuk petunjuk-petunjuk dan kewajiban-kewajiban. Barker
(1987:26) menyatakan bahwa kode etik merupakan pernyataan yang
secara tegas atau terbuka yang berisi tentang nilai, prinsip, dan aturan
suatu profesi yang mengatur perilaku anggotanya. Sedangkan Banks
(1995:71) mengatakan bahwa kode etik merupakan semangat dan
26. 19
standar etik yang merefleksikan harapan, keterampilan, dan praktek
yang menjadi perhatian pekerjaan sosial.
Berdasarkan kedua pengertian diatas maka kode etik pada
prinsipnya mengandung unsur-unsur (a) pernyataan tegas dan terbuka
yang disampaikan oleh profesi; (b) pernyataan yang berisi tentang
semangat dan standar nilai, prinsip, maupun aturan; dan (c) bertujuan
untuk mengatur perilaku anggotanya.
O’Connor, et.al (1995, 222) menyatakan lima fungsi utama kode
etik, yaitu, (a) Sebagai pedoman bagi perilaku profesional; (b)
membantu menciptakan identitas profesional; (c) menyediakan ukuran
yang mengatur diri sendiri; (d) melindungi klien dari praktisi-praktisi
yang tidak kompeten; dan (e) melindungi pekerja sosial dari tuntutan
hukum karena tuduhan malpraktek.
The National Association of Social Workers (1996) tentang kode
etik pekerja sosial yaitu:
1. Tanggungjawab Etis Pekerja Sosial Terhadap Klien, yaitu (a)
Komitmen dengan klien; (b) Penentuan diri sendiri; (c)
Menginformasikan hal-hal yang telah disetujui bersama; (d)
Kompeten; (e) Kompeten dalam berbudaya dan perbedaan status
sosial; (f) Terjadinya konflik; (g) Pribadi dan kerahasiaan; (h) Akses
pada catatan klien; (i) Hubungan secara pribadi dengan klien; (j)
Kontak fisik; (k) Pelecehan seksual; (l) Pergunakan bahasa yang
biasa yang dipakai; (m) Pembayaran akan pelayanan; (n)
Membantu klien yang kurang kapasitasnya dalam pengambilan
keputusan; (o) Interupsi terhadap pelayanan; dan (p) Terminasi
pelayanan.
2. Tanggung jawab Etis Pekerja Sosial terhadap Kolega, yaitu (a)
Respek; (b) Kerahasiaan antara kolega; (c) Kerjasama interdisiplin;
(d) Tidak overlap dalam bekerja dengan kolega; (e) Konsultasi; (f)
27.
20
Rujukan pelayanan; (g) Tidak terjadi hubungan yang bersifat
pribadi; (h) Pelecehan seksual; (i) Ketidakmampuan kolega; (j)
Tidak kompeten kolega; dan (k) Tidak beretika dengan kolega.
3. Tanggung jawab etik pekerja sosial dalam praktek di berbagai
bidang pelayanan, yaitu (a) Supervisi dan konsultasi; (b)
Pendidikan dan pelatihan; (c) Evaluasi kinerja; (d) Catatan klien;
(e) Tagihan; (f) Rujukan klien; (g) Administrasi; (h) Pengembangan
staf dengan pendidikan lanjut; (i) Komitmen dengan pegawai; dan
(j)Managemen pekerja.
4. Tanggung jawab Etis Pekerja Sosial sebagai profesional, yaitu (a)
Kompetensi; (b) Diskriminasi; (c) Hal-hal pribadi; (d) Tidak jujur; (e)
Ketidakmampuan; (f) Kesalah pahaman; (g) Suap; dan
Berpengetahuan.
5. Tanggung jawab Etis Pekerja Sosial terhadap Profesi Pekerja Sosial,
yaitu (a) Integritas profesi; (b) Evaluasi dan penelitian.
6. Tanggung jawab Etis Pekerja Sosial terhadap Masyarakat, yaitu
(a) Kesejahteraan sosial; (b) Partisipasi; (c) Kedaruratan; dan (d)
Aksi sosial dan politik.
C. KERANGKA KETRAMPILAN
Keterampilan dan teknik sering sekali disamakan pengertiannya
dan agak sulit untuk dibedakan. Padahal apabila ditelaah definisinya
menunjukkan bahwa keterampilan dan teknik adalah dua hal yang
berbeda. Keterampilan adalah kemampuan seseorang dalam
menggunakan ilmu, metode dan teknik yang dipelajari untuk
menangani dan mengatasi masalah klien. Sedangkan teknik adalah cara
yang digunakan seseorang secara tepat untuk membantu, menangani,
dan mengatasi masalah seseorang.
28. 21
Dalam praktik pekerjaan sosial generalis, pekerja sosial memiliki enam
kegiatan yang berkaitan dengan keterampilan umum (common generalist
skills) dalam melakukan intervensi terhadap klien, antara lain:
1. Pekerja sosial harus memiliki persiapan sebelum melakukan
intervensi, misalnya mendapatkan informasi dan membuat rencana.
2. Pekerja sosial harus mengetahui bagaimana cara berkomunikasi.
3. Pekerja sosial perlu menganalisa situasi masalah yang berkaitan
dengan individu, kelompok, dan masayarakat.
4. Pekerja sosial harus mampu merumuskan kontrak dengan sistem
klien
5. Pekerja sosial perlu membuat asumsi berbagai peranan yang
berkenaan dengan permasalahan, apakah sebagai advocator,
enabler, educator, manager, broker, dan mediator.
6. Pekerja sosial harus mampu menciptakan situasi yang stabil. Skill
may be defined as the ability to use knowledge effectively and readily in
execution or performance (Morales and Sheafor, 1983: 219).
Keterampilan Pekerjaan Sosial
dalam Praktik Mikro
Ashman dan Hull (1993: 44-78) mengemukakan jenis
keterampilan dan teknik pekerjaan sosial dalam praktik mikro, meso,
dan makro. Keterampilan pekerja sosial dalam praktik mikro adalah
bahwa pekerja sosial bekerja dengan individu-individu. Jenis-jenis
keterampilan tersebut antara lain:
1. Pekerja sosial memiliki keahlian dalam menjalin hubungan yang
baik dengan klien (establish a good worker / client relationship).
2. Berkomunikasi secara verbal dan non verbal (communication with
client is obviously necessary to work with and help them). Adapun yang
dimaksud dengan komunikasi verbal adalah pekerja sosial berbicara
langsung dengan klien sedangkan non verbal adalah cara-cara
29.
22
berkomunikasi yang tidak / tanpa diucapkan seperti melalui
ekspresi wajah, gerakan-gerakan tangan, kontak mata, cara duduk
dan sebagainya.
3. Keterampilan interpersonal.
4. Personal communication. Komunikasi personal sangat penting dalam
praktik mikro, seperti yang dikemukakan oleh Ife (1995: 237) bahwa
pekerja sosial harus mampu melakukan komunikasi personal
dengan orang lain dengan melihat kapasitas untuk melakukan
inisiatif pembicaraan, menyimpulkan pembicaraan, fokus
pembicaraan, lingkungan sekitar, memperhatikan dengan seksama,
menerjemahkan apa yang dikatakan klien, menerima apa adanya
klien, dan bertanya dengan baik.
5. Keterampilan memberikan rasa hangat, empati, dan sungguh-
sungguh. Rasa hangat ditunjukkan yang ditunjukan oleh pekerja
sosial yaitu dengan cara menyampaikan suatu perasaan tentang
minat, perhatian, kesejahteraan, dan afeksi terhadap individu
lainnya. Empati diberikan oleh pekerja sosial tidak hanya
menyampaikan pada klien tentang perasaan-perasaan klien akan
tetapi memahami bagaimana dia merasakan. Rasa sungguh-
sungguh dapat ditunjukkan dengan peranan profesional yang
ditampilkan untuk mencapai tujuan pertolongan, seperti apa
adanya/natural, spontan, terbuka dan perilaku-perilaku yang jujur.
(Ashman and Hull, 1993: 49).
6. Keterampilan pekerja sosial dalam melakukan interview.
Keterampilan pekerja sosial dalam melakukan interview tercermin
dalam melakukan hubungan yang baik dalam pemecahan masalah
klien dan perubahan-perubahan yang positif serta memaksimalkan
kualitas kehidupan klien. (Ashman and Hull, 1993: 53).
30. 23
Keterampilan Pekerjaan Sosial
dalam Praktik Meso
Keterampilan dalam praktik meso merupakan pelaksanaan
pemberian pelayanan pada klien yang memadukan pengetahuan dan
nilai-nilai sehingga tindakan yang ditampilkan merupakan suatu respon
terhadap keinginan dan kebutuhan klien. Artinya suatu keterampilan
dimaknai sebagai organisasi tingkah laku untuk mencapai tujuan
tertentu dan diwujudkan dalam aktivitas tertentu pula. Betty Baer dan
Ronald Federico membagi komponen keterampilan menjadi empat hal
yaitu informasi dan asesmen, pengembangan dan penggunaan
keprofesionalnya, aktifitas praktik dengan individu, kelompok, dan
masyarakat, serta evaluasi.
Keterampilan pekerja sosial dalam praktik meso sebagaimana
dikemukakan Ashman dan Hull (1993: 103-113), bahwa keterampilan
dan teknik tersebut ditujukan kepada kelompok untuk menyelesaikan
tugas dan memfasilitasi penyembuhan kelompok. Keterampilan yang
harus dimiliki pekerja sosial, antara lain:
1. Resolusi konflik (conflict resolution)
Konflik merupakan suatu fakta kehidupan dan terjadi secara rutin
dalam setiap relasi dengan dampak bisa positif atau negatif
tergantung pada bagaimana menanganinya. Konflik muncul
disebabkan kekuatan atau status yang berbeda, perbedaan
kepribadian atau nilai dan sistem kepercayaan. Konflik cenderung
dipandang sebagai hal yang negatif karena dianggap tidak mampu
memecahkan masalah dan tidak mencapai keberhasilan. Frieser
(1987) menyarankan empat langkah pemecahan masalah pada
managemen konflik:
31.
24
a. Recognizing conflict adalah mengenali konflik yang terjadi apakah
diantara individu, kelompok yang disebabkan oleh reaksi
personal, tegang, dan salah pengertian.
b. Assessing conflict adalah pemahaman terhadap konflik terutama
sumber, sebab yang mendahului, dan salah komunikasi yang
menyebabkan konflik.
c. Choosing a startegy and intervening adalah melakukan tawar
menawar dan negosiasi serta metode-metode yang dirancang
untuk mengatasi konflik.
d. Win lose resolution strategy adalah strategi yang digunakan untuk
mengatasi konflik dengan cara menyuruh setiap orang untuk
aktif mendengarkan orang lain, role playing, membuat
persamaan dan kesepahaman, serta mencoba mengidentifikasi
tujuan bersama.
2. Model dan Pelatihan (Modelling and Coaching).
Pekerja sosial dapat membuat modeling dalam sejumlah situasi
yang berkaitan dengan keterampilan tertentu. Selain itu modeling
ditujukan sebagai metode alternatif pemecahan masalah klien dan
membantu klien mengembangkan cara merespon secara baik
terhadap berbagai situasi masalah yang terjadi. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam modeling ini adalah:
a. Tingkatan perhatian atau kesadaran model oleh pengamat.
b. Perhatian kembali pengamat terhadap perilaku model.
c. Kemampuan pengamat untuk menampilkan perilaku yang
diberikan model.
d. Motivasi pengamat untuk menampilkan perilaku.
Dalam praktik meso, modeling dapat dicapai melalui beberapa
metode meliputi :
32. 25
1). Menyuruh klien untuk memperhatikan dengan seksama
perilaku model
2). Gambaran bagi pengamat mengapa perilaku model penting
3). Berikan peranan pengamat memainkan perilaku model
untuk menjamin bahwa mereka paham dan dapat
melakukannya.
4). Berikan pujian bagi keduanya untuk pengamat dan orang
lain yang tampil sesuai perilaku yang diharapkan.
5). Berikan bagi pengamat secepatnya umpan balik yang
korektif bila mereka mencoba perilaku yang baru. Umpan
balik yang korektif atau umpan balik yang sederhana adalah
satu unsur keerampilan yang disebut pelatihan (coaching).
Dalam latihan, pekerja sosial bisa memilih untuk melakukan
intervensi secepatnya sesudah klien terlibat dalam suatu
perilaku. Jika perilaku diubah termasuk komunikasi verbal,
pekerja sosil bisa memfokuskan pada proses pertolongan.
3. Pengembangan Tim (Team Building)
Tim building dapat terjadi bila ada dorongan organisasi yang kuat
untuk tim. Dorongan ini dapat terlihat melalui beberapa tujuan:
a. Wadah tim dalam organisasi harus jelas. Tim harus mempunyai
kebebasan untuk melakukan pertemuan sesuai dengan
kebutuhan dan tidak selalu terhambat dengan aturan-aturan
tertentu.
b. Tim berjalan sesuai dengan tujuan, peranan, dan tanggung
jawab,
c. Pengambilan keputusan selalu melalui proses.
33.
26
4. Konfrontasi (Confrontation)
Dalam kelompok sangat penting di mana pekerja sosial harus
mampu berhadapan dengan anggota lain sekalipun tidak setuju,
dan pada tugas-tugas sosial menyuruh anggota kelompok
bertanggung jawab bagi pemecahan masalah. Konfrontasi dalam
kelompok-kelompok tugas adalah penting.
5. Konsultasi (Consultation)
Pekerja sosial dapat menjadi seorang konsultan pada kelompok
yang bertindak dalam suatu peranan kepemimpinan. Pekerja sosial
dapat menerima semua pihak untuk mengatasi masalahnya.
Contohnya, seorang ayah yang ingin mengkonsultasikan masalah
anaknya yang kena obat-obatan terlarang. Bagaimana ayah tersebut
menyikapi masalah itu sekarang dan di masa yang akan datang.
6. Koordinasi (Coordination)
Fungsi koordinasi dalam pekerjaan sosial adalah meliputi dua hal,
kolaborasi dan kerja tim (collaboration and teamwork). Untuk
keberhasilan koordinasi bahwa semua orang / anggota kelompok
memiliki tujuan yang sama. Tujuan bisa berhubungan dengan klien
atau penyedia pelayanan pada populasi target. Ada harapan bahwa
semua anggota kelompok yakin terjadi peningkatan jika koordinasi
pelayanan dicapai.
Keterampilan Pekerjaan Sosial
dalam Praktik Makro
Praktik makro merupakan bentuk praktik langsung yang
dirancang dalam rangka melakukan perubahan secara terencana pada
tingkat organisasi atau komunitas. Minahan (1987: 83), menyatakan
34. 27
bahwa praktik makro berkaitan erat dengan empat aplikasi dasar;
planning, administration, evaluation, dan community organizing.
Selanjutnya, menurut Barker (1987: 122) memberikan definisi praktik
makro dalam empat dimensi; target satu kegiatan tiga, adanya
perubahan atau peningkatan kebijakan dan prosedur di mana distribusi
sumber pada klien harus ada aturan, pengembangan sumber-sumber
baru bila kebutuhan klien tidak terpenuhi, dan membantu klien untuk
mendapatkan hak-haknya.
Dalam melaksanakan tugasnya di masyarakat luas, pekerja sosial
memiliki beberapa keterampilan umum dalam praktik makro, antara
lain:
1. Membangun dan memelihara organisasi (building and maintaining
organizations). Rubin dan Rubin (1986: 37) mengidentifikasi sejumlah
keterampilan teknis dalam membangun dan memelihara organisasi,
yaitu mencari dana, mengelola dana, mengumpulkan informasi
melalui survei, dan menggunakan taktik khusus untuk mencapai
suatu tujuan.
2. Mengevaluasi hasil (evaluating outcomes)
Dalam pelaksanaan kegiatan, klien selalu mengharapkan pekerja
sosial tampil baik terutama dalam melakukan pendekatan-
pendekatan. Oleh karena itu, ada dua pendekatan utama dalam
mengevaluasi hasil: evaluasi praktik dan evaluasi program. Evaluasi
praktik memfokuskan diri pada evaluasi efektifitas atau hasil dari
apa yang pekerja sosial lakukan sendiri antara lain dalam bentuk
rancangan subjek tunggal, skala pencapaian tugas, survei kepuasan
klien atau skala pencapaian tugas. Evaluasi program adalah
menyatakan efektifitas dan hasil program keseluruhan. Teknik
evaluasi program bisa meliputi asesmen kebutuhan, asesmen
evaluasi, analisa proses, analisa hasil, dan analisa cost-benefit.
35.
28
3. Negosiasi (negotiating)
Negosiasi adalah suatu proses dimana sekurang-kurangnya dua
individu berpartisipasi dalam suatu interaksi face to face agar
mencapai persetujuan yang dapat diterima kedua belah pihak.
Seringkali negosiasi ini memunculkan hal yang bertolak belakang.
Contohnya pekerja sosial berpikir klien membutuhkan pakaian
seharga Rp. 10000,- sedangkan supervisor anda cukup menilai
pakaian klien seharga Rp. 5000,- Fisher dan Ury (1981) menyarankan
penggunaan empat langkah prinsip negosiasi: pisahkan masalah
dari orang yang terlibat, perhatian langsung pada kepentingan
bersama, memberikan keuntungan bersama, kedua belah pihak
harus setuju menggunakan kriteria objektif untuk mengambil suatu
keputusan dalam suatu isu / masalah.
4. Mediasi (mediating)
Mediasi merupakan suatu proses yang digunakan untuk
memecahkan kembali perselisihan antara dua yang bertentangan.
Contohnya kasus perceraian suami istri. Masalahnya adalah adanya
ketidaksetujuan dalam hal-hal tertentu seperti pengasuhan dan
pemeliharaan anak.
5. Mempengaruhi para pengambil keputusan (influencing decision
makers)
Cara yang dilakukan untuk mempengaruhi para pengambil
keputusan adalah dengan menggunakan beberapa strategi dengan
cara: petisi, menggunakan media, edukasi terhadap pengambil
keputusan, persuasi, konfrontasi, kolaborasi, menulis surat.
36. 29
6. Asesmen kebutuhan (needs assessment)
Asesmen kebutuhan digunakan untuk berbagai tujuan terutama
untuk mengembangkan pelayanan khusus atau program. Barker
(1987) menggambarkan asesmen kebutuhan sebagai berikut:
penilaian yang sistematis dalam mengevaluasi klien, masalah,
keberadaan sumber, solusi dan hambatan terhadap pemecahan
masalah. Selanjutnya ada 5 metode penting dalam melakukan
asesmen kebutuhan: pendekatan informan, pendekatan forum
masyarakat, pendekatan melalui tingkat penyembuhan, dan
pendekatan indikator sosial serta studi lapangan.
7. Bekerja dengan koalisi.
Koalisi merupakan suatu aliansi berbagai fraksi atau kelompok
ideologi dalam suatu masyarakat yang bersama-sama untuk
mencapai tujuan.
38. 31
BAB III
FOKUS PEKERJAAN SOSIAL
A. KEBERFUNGSIAN SOSIAL
Pekerjaan sosial dalam pelaksanaan kegiatannya memiliki
konsentrasi atau fokus yaitu terhadap Keberfungsian Sosial baik secara
individu maupun kolektif. Adapun keberfungsian sosial ini memiliki
beberapa pengertian diantaranya disampaikan oleh Garvin dan Seabury
(1984, vii) yang mengatakan bahwa:
Social Functioning is encompasses all the way that we respons to the
demands of our social environment – an environment that include family,
peers, organizations, communities, as well as entire society.
Sedangkan Leonora S. de Guzman (1982, 9) mengatakan bahwa:
Social functioning is the expression of the interaction between man and
his social environment: it is the product of his activity as he related to
his surrounding.
Jadi inti dari kedua pengertian diatas bahwa social functioning
lebih cenderung dikaitkan dengan bagaimana intekrasi orang dengan
lingkungan sosialnya. Dalam hal ini pekerjaan sosial mencoba
membantu orang yang tidak atau kurang mampu berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya sehingga bisa melaksanakan tugas-tugas dalam
39.
32
kehidupannya, memecahkan permasalahannya ataupun memenuhi
kebutuhannya.
Dikaitkan dengan pemenuhan tugas-tugas kehidupannya, maka
social functioning tidak akan lepas berbicara mengenai peranan sosial
(social role) dengan status sosial (social statute). Artinya perlu adanya
keseimbangan atau balancing diantara keduanya. Oleh karena itu
keberfungsian sosial dikatakan sebagai perbandingan antara peranan
sosial yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya sesuai dengan status
sosialnya dengan peranan sosial yang nyata yang dilaksanakan oleh
orang tersebut. Jika memenuhi harapan berarti berfungsi sosial atau
sebaliknya maka dikatakan kurang atau tidak berfungsi sosial.
Ada beberapa pandangan mengenai social functioning, yaitu
sebagai berikut:
1. Social functioning dipandang sebagai kemampuan melaksanakan
peranan sosial.
2. Social functioning dipandang sebagai kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan.
3. Social functioning dipandang sebagai kemampuan untuk
memecahkan permasalahan sosial yang dialaminya.
Menurut Skdmore, et. al (1991:19), keberfungsian social terbagi ke
dalam tiga dimensi dan saling berkaitan, yaitu (1) Kepuasan berperanan
dalam kehidupan (satisfaction with role in life), (2) Relasi positif dengan
orang lain (Positive relationships with others), dan (3) Perasaan
menyukai atau menghargai diri (Fellings of self worth). Sementara itu,
Dubois and Milley (1992; 14) membuat klasifikasi keberfungsian social
menjadi:
1. Keberfungsian social adaptif, yaitu sistem yang mampu
memanfaatkan sumber-sumber personal, interpersonal dan
institusional pada saat dihadapkan pada masalah, kebutuhan
ataupun isu.
40. 33
2. Keberfungsian social rentan, yaitu menggambarkan keberfungsian
social yang dialami oleh populasi yang berresiko, yang sangat rentan
terhadap masalah keberfungsian walaupun belum muncul
kepermukaan. Misal, pengangguran atau anak terlantar memiliki
resiko tidak mampu berfungsi social karena tidak mempunyai
kesempatan ekonomi dan pendidikan.
3. Keberfungsian social tidak adaptif, yaitu masalah yang dihadapi
semakin parah karena kemampuan system tidak mampu
menjalankan fungsinya dan tidak mampu berinisiatif mengatasi
perubahan. Misal, individu yang depresi dan kesepian, keluarga
yang mengalami masalah komunikasi, dsb.
Jadi Keberfungsian social ini harus dilihat dalam konteks struktur social
yang luas, baik sebagai masalah atau solusi yang dilakukan.
B. SISTEM SUMBER
Dalam membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi
klien, profesi pekerjaan sosial harus mengkaitkan kebutuhan dengan
sistem sumber. Adapun yang dimaksud dengan sistem sumber adalah
segala sesuatu yang sudah digali, dikelola, dimanfaatkan,
didayagunakan dan dikembangkan untuk mendukung keberfungsian
sosial, memenuhi kebutuhan, dan memecahkan masalah-masalah.
Beberapa ahli mengklasifikasikan sistem sumber ke dalam beberapa
jenis, salah satunya diungkapkan oleh Pincus dan Minahan (1973)
menjadi:
1. Sistem sumber informal atau alamiah, misal keluarga, teman,
tetangga, dsb.
2. Sistem sumber formal, misal persatuan orang tua murid, organisasi-
organisasi profesi, dsb.
41.
34
3. Sistem sumber kemasyarakatan, misal, sekolah, perpustakaan,
lembaga bantuan hukum, dsb.
Keberadaan sistem sumber sangatlah potensial untuk membantu
dalam pemecahan masalah , namun terkadang ada keterbatasan –
keterbatasan dalam memanfaatkan sistem sumber itu sendiri. Pincus
dan Minahan (1973), mengidentifikasi keterbatasan berdasarkan
klasifikasinya:
1. Sistem sumber informal: seseorang tidak terkait dengan sistem
sumber informal, seseorang sungkan untuk meminta bantuan kepada
keluarga, sumber informal tidak dapat memberikan bantuan yang
diminta seseorang, dan sebagainya.
2. Sistem sumber formal: organisasi formal tidak ada dan tidak tahu di
lingkungannya, orang enggan memasuki organisasi yang ada karena
ketidaktahuan sejauhmana kemampuan organisasi tersebut
membantu mereka, tidak setuju dengan tujuan organisasi tersebut,
takut tidak akan diterima, kurang memiliki pengetahuan atau
keterampilan untuk berpartisipasi dalam organisasi tersebut dan
sumber yang ada tidak menyediakan yang dibutuhkan oleh mereka.
3. Sistem sumber kemasyarakatan: tidak tersedia atau terbatasnya atau
tidak ada sistem sumber; secara geografis, psikologis, atau kultural
tidak memungkinkan untuk dijangkau; ada sistem sumbernya tapi
berbeda model pelayanannya.
Sehubungan dengan fungsi dan tugas pekerja sosial berkaitan
dengan sistem sumber, telah dijelaskan dalam fungsi pekerjaan sosial.
Sedangkan berkaitan dengan bagaimana sumber-sumber harus digali,
diolah, dikelola, dikembangkan dan dilestarikan terdapat beberapa
langkah yang dapat dilakukan oleh pekerja sosial, yaitu: identifikasi
42. 35
sumber meliputi inventarisasi sumber, klasifikasi sumber, seleksi
sumber, dan analisis sumber; mobilisasi sumber; pendayagunaan
sumber; pengembangan dan penganekaragaman sumber; dan
pelestarian sumber.
C. SISTEM DASAR PEKERJAAN SOSIAL
Dalam proses membantu individu, kelompok ataupun masyarakat
agar mau dan mampu melaksanakan keberfungsian sosialnya, pekerja
sosial menggunakan sistem dasar pekerjaan sosial. Sistem ini
membantu pekerja sosial dalam mengidentifikasi dan menganalisis baik
permasalahan, kegiatan, ataupun sasarannya dengan cara dipetakan
atau digambarkan. Oleh karena itu sistem ini disebut sebagai tools of
identification dan tools of analysis. Jenis sistem dasar dalam pekerjaan
sosial terbagi ke dalam:
1. Sistem pelaksana perubahan, yaitu orang yang memiliki keahlian
berbeda dengan sistem kerja yang berbeda pula; pekerja sosial
dengan institusi pelayanan sosial; dan pekerja sosial dengan orang
lain. Dalam proses pelayanannya, pekerja sosial bisa berposisi
sebagai pelaksana perubahan dan lembaga pelayanan sosial
dikatakan sebagai lembaga pelaksana perubahan. Artinya terjadi
ikatan antara pekerja sosial dengan lembaga secara kebijakan atau
peraturannya dimana pekerja sosial bekerja atau bisa juga pekerja
sosial tidak terikat oleh lembaga atau independen.
2. Sistem klien, yaitu klien-klien dan pihak-pihak lain yang
memerlukan pertolongan, bantuan atau pelayanan dari pekerja sosial
agar klien dapat berfungsi sosial. Jadi melalui sistem klien ini akan
diperoleh gambaran tentang siapa saja klien yang akan dihadapi, apa
43.
36
fokus masalahnya, aspek-aspek perilaku mana yang akan dirubah
atau diperbaiki.
3. Sistem sasaran, yaitu semua pihak/hal (individu, kelompok,
masyarakat, lembaga, peraturan, sistem nilai, prosedur pelayanan,
persyaratan pelayanan, dan lain-lain) yang hendak dipengaruhi atau
diubah agar tujuan-tujuan pelayanan dapat tercapai secara optimal.
Sistem sasaran ini terkadang tumpang tindih dengan sistem klien
sehingga perlu adanya kecermatan dalam menentukan prioritas
masalah yang akan segera ditangani.
4. Sistem kegiatan, yaitu dengan siapa dan dalam bentuk – bentuk
kegiatan serta cara-cara bagaimana suatu kegiatan akan dilakukan
untuk menolong klien.
Upaya memetakan sistem dasar dalam pekerjaan sosial sangat
penting dan perlu dilakukan oleh pekerja sosial bersama-sama klien dan
pihak-pihak lain yang terkait, sehingga muncul istilah stakeholder
analysis. Hal ini dilakukan karena yang paham dan tahu secara
mendetail masalahnya adalah klien dan pihak-pihak lain yang terkait
tersebut. Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa sistem dasar dalam
pekerjaan sosial bersifat interchangeable atau dapat berubah-ubah posisi
atau status, misal klien asalnya sebagai sistem klien berubah menjadi
sistem sasaran, dan lain sebagainya.
44. 37
BAB IV
KONSEP, KEDUDUKAN DAN PRINSIP-PRINSIP
DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
A. PENGERTIAN
Dalam praktik pekerjaan sosial ada tiga metoda utama yang
digunakan yaitu metoda pekerjaan sosial dengan individu dan keluarga
(Social Case Work), metoda pekerjaan sosial dengan kelompok (Social
Group Work) dan metoda pekerjaan sosial dengan masyarakat
(Community Organization/ Community Development). Metoda-metoda
tersebut terbagi dalam tiga tingkatan sesuai dengan cakupan
pelayanannya, yaitu tingkat mikro untuk social case work, tingkat messo
untuk social group work, dan tingkat makro untuk community
development/community organization. Di dalam pelaksanaan intervensi ke
tiga metoda tersebut saling berkaitan, misal pada intervensi praktik
makro biasanya berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan, masalah-
masalah, isu-isu yang timbul dari tingkat mikro dan messo. Kegiatan
pada tiga tingkatan tersebut merupakan kegiatan profesional karena
dalam pelaksanaannya selalu didukung oleh teori-teori pekerjaan sosial,
model-model praktik pekerjaan sosial, dan nilai dan etik pekerjaan
sosial.
Bagian ini akan membahas tentang praktik makro atau metoda
pekerjaan sosial dengan masyarakat. Sebutan pekerjaan sosial dengan
masyarakat bermacam-macam, misal community organisation /community
development (Gilbert & Specht, 1981), bimbingan sosial masyarakat
45.
38
(Soetarso, 1991), pekerjaan kemasyarakatan (community work),
penyembuhan sosial (social treatment), perawatan sosial (social care) atau
perawatan masyarakat (community care). (Twelvetrees, 1993; Payne,
1986). Jadi apabila ada yang menggunakan salah satu sebutan seperti di
atas masih memiliki arti yang sama.
Metoda pekerjaan sosial yang diarahkan pada masyarakat atau
komunitas dikenal dengan sebutan pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat (CO/CD). Dalam praktik makro ini ada dua
hal pokok yang perlu dipahami, yaitu pengorganisasian masyarakat
(Community Organization) dan pengembangan masyarakat (Community
Development). Pengorganisasian masyarakat (Community Organization)
menurut Arthur Dunham adalah sebagai proses dinamis untuk
mewujudkan penyesuaian yang semakin efektif antara kebutuhan dan
sumber-sumber kesejahteraan sosial. Sedangkan pengembangan
masyarakat (community development) terdiri dari dua konsep, yaitu
pengembangan dan masyarakat. Secara singkat pengembangan atau
pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk
meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Bidang-bidang
pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi,
pendidikan, kesehatan dan sosial budaya. Sedangkan masyarakat
menurut Mayo (1998; 162) dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu:
1. Masyarakat sebagai tempat bersama, yakni sebuah wilayah geografi
yang sama. Sebagai contoh sebuah rukun tetangga, perumahan di
daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan.
2. Masyarakat sebagai kepentingan bersama, yakni kesamaan
kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. sebagai contoh,
kepentingan bersama pada masyarakat etnis minoritas atau
kepentingan bersama berdasarkan identifikasi kebutuhan tertentu
seperti halnya pada kasus para orang tua yang memiliki anak
46. 39
dengan kebutuhan khusus (anak cacat phisik) atau bekas para
pengguna pelayanan kesehatan mental.
Istilah masyarakat dalam pekerjaan sosial dengan istilah
masyarakat pada umumnya diterapkan terhadap pelayanan-pelayanan
sosial kemasyarakatan yang membedakannya dengan pelayanan-
pelayanan sosial kelembagaan. Pelayanan perawatan lanjut usia (lansia)
yang diberikan di rumah mereka dan/atau di pusat-pusat pelayanan
yang terletak di suatu masyarakat merupakan contoh pelayanan sosial
kemasyarakatan. Sedangkan perawatan lansia di rumah sakit khusus
lansia adalah contoh pelayanan sosial kelembagaan.
Dengan demikian pekerjaan sosial dengan masyarakat dapat
didefinisikan sebagai metoda yang memungkinkan orang dapat
meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar
pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi
kehidupannya (AMA, 1993). Menurut Twelvetrees (1991;1), pekerjaan
sosial dengan masyarakat adalah “the process of assisting ordinary people to
improve their own communities by undertaking collective actions.” Secara
khusus pekerjaan sosial dengan masyarakat berkenaan dengan upaya
pemenuhan kebutuhan atas orang yang tertindas, baik yang disebabkan
oleh kemiskinan maupun oleh kelas sosial, suku, jender, jenis kelamin,
usia dan kecacatan.
Dalam buku ini selanjutnya akan dipergunakan istilah
community development, pengembangan masyarakat atau praktik makro
untuk pengorganisasian dan pengembangan masyarakat.
B. PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Masalah yang berkembang pasca krisis semakin meningkat baik
dari segi kualitas maupun kuantitas. Permasalahan-permasalahan
individu telah berkembang menjadi permasalahan bersama yang perlu
47.
40
memperoleh perhatian masyarakat secara keseluruhan terutama upaya
pemecahan permasalahan. Hal ini disebabkan dampak dari
permasalahan individu akan terasa oleh masyarakat itu sendiri.
Upaya-upaya yang dilakukan secara bersama oleh masyarakat
tentu akan berbeda dengan upaya yang dilakukan oleh individu dalam
menghadapi permasalahannya. Misal dalam analisa kesulitan yang
dialami oleh individu, alternatif tindakan yang akan direncanakan,
strategi intervensi yang akan dilaksanakan, dan sebagainya. Jadi dalam
hal ini masyarakat pada lokasi tertentu mengorganisasikan diri dan
memikirkan tindakan dalam menghadapi masalah dan kesulitan
bersama. Ini menggambarkan tema dari pengembangan masyarakat
sebagaimana yang dikemukakan Lee J. Carry (1970), bahwa:
The organization of people in locality to deal themselves with problems
and opportunities close at hand that affect their lives and pattern of
living is teh central theme of community.
Pengembangan masyarakat (community development) tergantung
pada inisiatif dan kemampuan masyarakat lokal dalam menentukan
alternatif pemecahan masalah. Kemampuan ini ditunjang oleh
keterlibatan dari anggota masyarakat dalam kegiatan intervensi,
sehingga perlu pembinaan kesadaran dan motivasi pada masyarakat
lokal untuk mewujudkan kemampuan mereka dalam usaha bersama
memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Lee J. Carry (1970) lebih lanjut mendefinisikan pengembangan
masyarakat sebagai “the deliberate attempt by people to work together to
guide the future of communities and the development of a corresponding set of
techniques for assisting community people in such process.” Pengembangan
masyarakat merupakan upaya mengorganisir dari orang dalam
masyarakat lokal terhadap berbagai kondisi yang mempengaruhi secara
48. 41
negatif atau mengancam kehidupan mereka. Kekuatan penyebab
masalah berada secara eksternal yang pengaruhnya sangat dirasakan
orang per orang dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Dengan demikian, gagasan pengembangan masyarakat sebetulnya
dapat diterapkan dalam konteks masyarakat lokal yang berbeda, baik
masyarakat perkotaan dan industri atau pedesaan dan praindustri
dalam merespon berbagai kesulitan spesifik dari masing-masing
masyarakat tersebut saat ini.
Berdasarkan pada jenis tantangan dan kesulitan yang berbeda
dan spesifik pada masyarakat tertentu, menuntut adanya arah kegiatan
yang berbeda, oleh sebab itu proses pengembangan masyarakat perlu
memperhatikan karakteristik dan perkembangan masyarakat lokal.
Menurut Carry (1970) bahwa dalam konteks masyarakat desa atau
masyarakat yang kurang berkembang (rural atau less development
context), proses pengembangan masyarakat cenderung untuk membantu
menimbulkan industrialisasi dan modernisasi. Sementara itu dalam
konteks masyarakat yang lebih berkembang, proses tersebut bisa
merupakan cara untuk membantu mengatasi akibat dari industrialisasi
dan modernisasi.
Pengembangan masyarakat menggambarkan suatu kesatuan
yang terdiri dari beberapa aspek penting. Keberadaan aspek tersebut
sebagai persyaratan terlaksananya upaya pengembangan masyarakat.
Aspek-aspek tersebut adalah:
1. Masyarakat sebagai unit kegiatan.
Masyarakat sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam suatu
lokasi yang sama dan mereka terikat kepentingan dan nilai-nilai
yang sama. Terdapat berbagai jenis masyarakat yang ditentukan
oleh berbagai tingkatannya dari masyarakat lingkungan desa, kota
dan negara. Anggota masyarakat memiliki konsen dan kepentingan
untuk kemajuan kehidupan yang lebih baik yang menuntut
49.
42
keterlibatan dari semua anggota. Pengembangan masyarakat
menempatkan masyarakat sebagai unit dari kegiatan mereka.
2. Inisiatif dan kepemimpinan lokal
Di dalam masyarakat terdapat sumber daya manusia yang dapat
dikembangkan untuk kepentingan masyarakat dalam mewujudkan
keinginan akan perubahan dalam masyarakat lokal, harus
memanfaatkan inisiatif dan kepemimpinan secara internal dari
sumber-sumber tersebut. Untuk itu pengembangan sosial
masyarakat harus dilaksanakan dalam rangka menumbuhkan
kesadaran dan tanggung jawab serta meningkatkan kemampuan
orang melalui pelatihan kepemimpinan, manajemen, dan
pengorganisasian masyarakat.
3. Penggunaan sumber-sumber dari dalam dan luar (strenght and
capabilitirs).
Sumber mengacu kepada berbagai kekuatan yang bermanfaat untuk
mengadakan perubahan. Orang perlu memahami terlebih dahulu
sumber-sumber apa yang tersedia, dimana dan bagaimana cara
menggunakannya untuk memberikan manfaat yang optimal.
Sumber tersebut bisa berasal dari dalam (within) atau luar (outside)
masyarakat lokal yang menggunakannya secara fleksibel sesuai
dengan kebutuhan.
4. Partisipasi secara inklusif
Partisipasi secara inklusif berarti memberikan kesempatan kepada
semua kelompok dan segmen dalam masyarakt untuk berpera serta
dalam pengembangan masyarakat. Struktur masyarakat harus
terbuka (open-ended) yang memungkinkan kelompok-kelompok baru
menjadi bagian dari proses yang berlangsung. Diharapkan bahwa
semua anggota masyarakat bisa memainkan peranannya dalam
pengembangan masyarakat.
50. 43
5. Pendekatan terorganisisr, komprehensif sebagai konsep peyerta dari
partisipasi inklusif.
Pendekatan komprehensif merupakanupaya untuk memusatkan
perhatian terhadap situasi masyarakat yang luas tidak membatasi
pada isu-isu dan perhatian tertentu yang dihadapi dengan
menggunakan sekumpulan sumber-sumber yang luas. Pendekatan
komprehensif mencoba untuk memperluas usaha masyarakat dalam
pendekatan yang digunakan, kepentingan masyarakat. Pendekatan
ini akan menghasilkan partisipasi yang luas dalam arti keterlibatan
yang intensif.
6. Proses pengambilan keputusan harus secara demokratis, rasional,
dan diorientasikan pada pencapaian tugas yang khusus.
Demokratis berarti keputusan diambil dengan suara mayoritas dan
tiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk
menyalurkan pendapat mereka. Tidak ada kewenangan tunggal dan
terpusat dalam pengambilan keputusan, namun perlu rasional
untuk melihat sejauhmana keputusan tersebut logis dan dapat
dilaksanakan. Keputusan diarahkan dalam pelaksanaan tugas yang
spesifik.
Pada dasarnya unsur pokok pengembangan masyarakat adalah
perencanaan dan integrasi masyarakat. Perencanaan itu merupakan
proses untuk menentukan, menemukan dan memperjelas arti dari suatu
masalah, meningkatkan hakekat ruang lingkup masalah,
mempertimbangkan berbagai upaya yang diperlukan guna
penanggulangannya, memilih upaya yang kiranya dapat dilaksanakan
serta mengadakan yang sesuai dengan upaya yang telah dipilih.
Integrasi masyarakat, yaitu suatu proses dimana menerapkan
sikap-sikap dan praktik-praktik kerjasama menghasilkan berbagai
peningkatan dalam mengidentifikasi dengan masyarakat secara
51.
44
keseluruhan, minat dan partisipasi dalam urusan masyarakat dan saling
menukar nilai-nilai dan sarana-sarana untuk mengutarakan nilai-nilai.
C. PRINSIP-PRINSIP PEKERJAAN SOSIAL
DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Secara teoritis, pekerjaan sosial dengan masyarakat dapat
dikatakan sebagai sebuah pendekatan pekerjaan sosial yang
dikembangkan dari dua perspektif yang berlawanan, yakni aliran kiri
(sosialis-Marxis) dan kanan (kapitalis-demokratis) dalam spektrum politik.
Dewasa ini, terutama dalam konteks menguatnya sistem ekonomi pasar
bebas dan swastanisasi kesejahteraan sosial, pekerjaan sosial dengan
masyarakat semakin menekankan pentingnya swadaya dan keterlibatan
informal dalam mendukung strategi penanganan kemiskinan dan
penindasan, maupun dalam memfasilitasi dan pemberdayaan
masyarakat.
Secara garis besar, Twelvetrees (1991) membagi perspektif
pekerjaan sosial dengan masyarakat ke dalam dua bingkai yaitu
pendekatan profesional dan pendekatan radikal. Kedua perspektif
tersebut memiliki prinsip-prinsip sendiri yang relatif berbeda satu sama
lain. Pendekatan profesional menunjuk pada upaya untuk
meningkatkan kemandirian dan memperbaiki sistem pemberian
pelayanan dalam kerangka relasi-relasi sosial. Sementara itu, berpijak
pada teori struktural neo-Marxis, feminisme, dan analisis anti-rasis,
pendekatan radikal lebih terfokus pada upaya mengubah
ketidakseimbangan relasi-relasi sosial yang ada melalui pemberdayaan
kelompok-kelompok lemah, mencari sebab-sebab kelemahan mereka,
serta menganalisis sumber-sumber ketertindasannya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Payne (1995; 166), “This is the
type of approach which supports minority ethnic communities, for example, in
52. 45
drawing attention to inequalities in service provision and in power which lie
behind severe deprivation.” Seperti digambarkan pada Tabel 1, dua
pendekatan tersebut dapat dipecah lagi ke dalam beberapa perspektif
sesuai dengan beragam jenis dan tingkat praktik pekerjaan sosial
dengan masyarakat. Sebagai contoh, pendekatan fungsional dapat diberi
label sebagai perspektif (yang) tradisional, netral dan teknikal.
Sedangkan pendekatan radikal dapat diberi label sebagai pespektif
transformational (Dominelli, 1990; Mayo, 1998).
Sedangkan Frank dan Ruth Young (dalam Lee J. Cary, 1970)
berpendapat bahwa asas-asas dalam pengembangan masyarakat
meliputi :
1. Bahwa masyarakat berkembang secara bertahap dan kumulatif
tanpa banyak penyimpangan-penyimpangan.
2. Perkembangan secara bertahap dan kumulatif itu berlaku juga di
semua masyarakat baik yang kecil, sedang, maupun yang besar
sekalipun.
3. Pertumbuhan lembaga-lembaga secara interen identik dengan
kelancaran komunikasi dengan pihak luar.
4. Arah dan pertumbuhan suatu masyarakat selalu tertuju pada
partisipasi yang lebih besar di dalam struktur sosial nasional atau
yang lebih luas.
5. Jumlah penduduk dari suatu masyarakat itu bertambah sesuai
dengan tingkat perkembangan masyarakat secara proporsional.
53.
46
Tabel 1
Dua Perspektif Pengembangan Masyarakat
Sumber: diadaptasi dari Mayo (1998: 166).
D. TUJUAN DAN FUNGSI
PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Pada dasarnya tujuan umum pengembangan masyarakat adalah
menciptakan dan mengembangkan suatu penyesuaian yang efektif
antara sumber-sumber kesejahteraan sosial dengan kebutuhan-
kebutuhan kesejahteraan sosial. Sedangkan tujuan khusus dari
pengembangan masyarakat itu sendiri adalah:
Perspektif Prinsip
Profesional
(Tradisional,
Netral &
Teknikal)
- Meningkatkan inisiatif masyarakat,
termasuk kemandirian
- Memperbaiki pemberian pelayanan
sosial dalam kerangka relasi sosial yang
ada
Radikal
(Transfor-
masional)
- Meningkatkan inisiatif masyarakat,
memperbaiki pemberian pelayanan
sosial
- Pemberdayaan masyarakat guna
mencari akar penyebab keterindasan
dan diskriminasi
- Mengembangkan strategi dan
membangun kerja sama dalam
melakukan perubahan sosial sebagai
bagian dari upaya mengubah relasi
sosial yang menindas, diskriminatif dan
eksploitatif.
54. 47
1. Memperoleh data dan fakta yang cukup sebagai dasar untuk
perencanaan dan tindakan yang sehat.
2. Memulai mengembangkan dan merubah program-program dan
usaha-usaha kesejahteraan sosial untuk memperoleh penyesuaian
yang lebih baik antara sumber-sumber dan kebutuhan.
3. Meningkatkan standar pekerjaan sosial untuk meningkatkan
efektivitas kerja dari lembaga-lembaga.
4. Meningkatkan dan memberikan fasilitas interelasi dan
meningkatkan koordinasi anatar organisasi, kelompok, dan
individu-individu yang terlibat dalam program dan usaha
kesejahteraan sosial.
5. Mengembangkan pengertian umum daripada masalah-masalah,
kebutuhan kesejahteraan sosial, tujuan-tujuan, program-program
dan metode-metode pekerjaan sosial.
6. Mengembangkan dukungan dan patisipasi masyarakat dalam
aktivitas kesejahteraan sosial.
Adapun beberapa fungsi pengembangan masyarakat sebagai
metoda dalam pekerjaan sosial, yaitu:
1. Untuk memperoleh dan memelihara adanya dasar-dasar faktual
yang lengkap bagi penyusunan perencanaan dan pelaksanaan.
Fakta-fakta yang harus diidentifikasi oleh pekerja sosial, yaitu: (a)
ciri-ciri dan luasnya masalah, (b) ciri-ciri dan luasnya sumber-
sumber yang tersedia, dan (c) ciri-ciri dan luasnya usaha
kesejahteraan sosial.
2. Memulai mengembangkan, merubah dan mengakhiri program dan
usaha kesejahteraan sosial. Bahwa aktivitas-aktivitas yang
berhubungan dengan program kesejahteraan sosial merupakan
pusat kegiatan pengembangan masyarakat. Oleh karen itu
pengembangan masyarakat berfungsi secara langsung
55.
48
mempengaruhi pola-pola usaha kesejahteraan sosial suatu
masyarakat. Kegiatan mengembangkan program meliputi: (a)
mengorganisir atau reorganisasi sesuatu badan atau lembaga sosial,
(b) mengadakan perubahan-perubahan terhadap program-program
yang telah ada, (c) memadukan dua atau lebih lembaga-lembaga
sosial yang ada atau mengatur kerja sama antara organisasi yang
hampir bersamaan fungsinya, (d) mengakhiri suatu lembaga dan
program kesejahteraan sosial, (e) mengakhiri atau mencegah
pengembangan program kesejahteraan sosial, apabila dipandang
tidak sehat. Pengembangan program tidak hanya menyangkut aspek
peningkatan, melainkan menyangkut aspek pencegahan, (f)
merencanakan dan melaksanakan perpaduan program-program di
suatu bidang tertentu, (g) merencanakan suatu program
kesepakatan yang memadai bagi suatu masyarakat.
3. Menciptakan, mempertahankan dan meningkatkan standar
kesejahteraan sosial dan meningkatkan efektifitas dan efisiensi
usaha – usaha kesejahteraan sosial dan lembaga-lembaga sosial.
Aspek yang penting dalam fungsi ini adalah (a) menetapkan kriteria
untuk menentukan pola-pola pelaksanaan yang baik dan (b)
membantu lembaga-lembaga dan petugas untuk memenuhi kriteria
tersebut di salam praktik.
4. Mengembangkan dan memberikan fasilitas interelasi dan
meningkatkan koordinasi antara oorganisasi-organisasi, kelompok-
kelompok dan individu-individu yang terlibat di dalam program
dan usaha kesejahteraan sosial.
5. Mengembangkan pengertian yang baik dari seluruh warga
masyarakat tentang kebutuhan-kebutuhan kesejahteraan sosial,
sumber-sumber, tujuan-tujuan, usaha-usaha, metode dan standar
setiap lembaga, setiap program, bahkan setiap profesi
membutuhkan pengertian masyarakat tentang tujuan, fungsi, status
56. 49
dan sebagainya, dengan adanya pengertian masyarakat maka akan
timbul dukungan terhadap program kesejahteraan sosial.
6. Mengembangkan dukungan dan partisipasi di dalam kegiatan
kesejahteraan sosial. Bahwa lembaga-lembaga pemerintah
memperoleh biaya dari pajak masyarakat dan lembaga-lembaga
swasta memperoleh biaya dari bantuan usaha-usaha swasta atau
perorangan.
Keenam fungsi diatas satu sama lain berhubungan erat dan tidak
boleh dipisah-pisahkan, satu sama lain saling melengkapi dan
pekerjaan sosial tidak hanya melakukan salah satu fungsi saja.
58. 51
BAB V
PERANAN, STRATEGI DAN PROSES
DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
A. PERANAN DAN STRATEGI
Paradigma generalis dapat memberi petunjuk mengenai fungsi
kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat serta menunjukkan
peranan-peranan dan strategi-strategi sesuai dengan fungsi tersebut.
Mengacu pada Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994), ada beberapa
strategi dalam pengembangan masyarakat. Strategi tersebut disesuaikan
dengan peranan pekerja sosial dalam melakukan pengembangan
masyarakat. Lima peran di bawah ini sangat relevan diketahui oleh para
pekerja sosial yang akan melakukan pengembangan masyarakat,
meliputi :
1. Fasilitator
Dalam literatur pekerjaan sosial, peranan fasilitator sering
disebut sebagai pemungkin (enabler). Keduanya bahkan sering
dipertukarkan satu sama lain. Seperti dinyatakan Parsons, Jorgensen
dan hernandez (1994; 188), “The traditional role of enabler in social
work implies education, facilitation and promotion of interaction and
action.” Selanjutnya Barker (1987) memberi definisi pemungkin atau
59.
52
fasilitator sebagai tanggung jawab untuk membantu klien menjadi
mampu menangani tekanan situasional atau transisional.
Strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut
meliputi: pemberian harapan, pengurangan penolakan dan
ambivalensi, pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan,
pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan-kekuatan personal
dan aset-aset sosial, pemilahan masalah menjadi beberapa bagian
sehingga lebih mudah dipecahkan, dan pemeliharaan sebuah fokus
pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya (Barker, 1987:49).
Pengertian ini didasari oleh visi pekerjaan sosial bahwa
“setiap perubahan terjadi pada dasarnya dikarenakan oleh adanya
usaha-usaha klien sendiri, dan peranan pekerja sosial adalah
memfasilitasi atau memungkinkan klien mampu melakukan
perubahan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.” (Parsons,
Jorgensen, dan Hernandez, 1994). Adapun tugas-tugas yang dapat
dilakukan oleh pekerja sosial:
a. Mendefinisikan keanggotaan atau siapa yang akan dilibatkan
dalam pelaksanaan kegiatan
b. Mendefinisikan tujuan keterlibatan.
c. Mendorong komunikasi dan relasi, serta menghargai
pengalaman dan perbedaan-perbedaan.
d. Memfasilitasi keterikatan dan kualitas sinergi sebuah sistem
yaitu menemukan kesamaan dan perbedaan.
e. Memfasilitasi pendidikan, yaitu membangun pengetahuan dan
keterampilan.
f. Memberikan model atau contoh dan memfasilitasi pemecahan
masalah bersama, yaitu mendorong kegiatan kolektif.
g. Mengidentifikasi masalah-masalah yang akan dipecahkan.
h. Memfasilitasi penetapan tujuan
60. 53
i. Merancang solusi-solusi alternatif.
j. Mendorong pelaksanaan tugas.
k. Memelihara relasi sistem.
l. Memecahkan konflik.
2. Broker
Dalam pengertian umum, seorang broker membeli dan
menjual saham dan surat berharga lainnya di pasar modal. Seorang
broker berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dari transaksi
tersebut sehingga klien dapat memperoleh keuntungan sebesar
mungkin. Pada saat klien menyewa seorang broker, klien meyakini
bahwa broker tersebut memiliki pengetahuan mengenai pasar modal,
pengetahuan yang diperoleh terutama berdasarkan pengalamannya
sehari-hari.
Dalam konteks pekerajaan sosial dengan masyarakat, peran
pekerja sosial sebagai broker tidak jauh berbeda dengan peran broker
di pasar modal. Seperti halnya di pasar modal, dalam pekerjaan
sosial dengan masyarakat terdapat klien atau konsumen. Namun
demikian, pekerja sosial yang menjadi broker mengenai kualitas
pelayanan sosial di sekitar lingkungannya menjadi sangat penting
dalam memenuhi keinginan kliennya memperoleh keuntungan
maksimal.
Dalam proses pengembangan masyarakat, ada tiga prinsip
utama dalam melakukan peranan sebagai broker:
a. Mampu mengidentifikasi dan melokalisir sumber-sumber
kemasyarakatan yang tepat.
b. Mampu menghubungkan konsumen atau klien dengan sumber
secara konsisten.
c. Mampu mengevaluasi efektifitas sumber dalam kaitannya
dengan kebutuhan-kebutuhan klien.
61.
54
Prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan makna broker seperti
telah dijelaskan di muka. Peranan sebagai broker mencakup
menghubungkan klien dengan barang-barang dan jasa dan
mengontrol kualitas barang dan jasa tersebut. Dengan demikian ada
tiga kata kunci dalam pelaksanaan peran sebagai broker, yaitu
menghubungkan (linking), barang-barang dan jasa (goods and
services) dan pengontrolan kualitas (quality control). Parsons,
Jorgensen dan Hernandez (1994: 226-227) menerangkan ketiga
konsep di atas satu per satu:
b. Linking adalah proses menghubungkan orang dengan lembaga-
lembaga atau pihak-pihak lainnya yang memiliki sumber-
sumber yang diperlukan. Linking tidak sebatas hanya memberi
petunjuk kepada orang mengenai sumber-sumber yang ada.
Lebih dari itu, ia juga meliputi memperkenalkan klien dan
sumber referal, tindak lanjut, pendistribusian sumber, dan
menjamin bahwa barang-barang dan jasa dapat diterima oleh
klien.
c. Goods meliputi obyek-obyek yang nyata, seperti makanan, uang,
pakaian, perumahan, obat-obatan. Sedangkan services mencakup
keluaran pelayanan lembaga yang dirancang untuk memenuhi
kebutuhan hidup klien, semisal perawatan kesehatan,
pendidikan, pelatihan, konseling, pengasuhan anak.
d. Quality control adalah proses pengawasan yang dapat
menjamin bahwa produk-produk yang dihasilkan lembaga
memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan. Proses ini
memerlukan monitoring yang terus menerus terhadap lembaga
dan semua jaringan pelayanan untuk menjamin bahwa
pelayanan memiliki mutu yang dapat dipertanggungjawabkan
setiap saat.
62. 55
Dalam proses pengembangan masyarakat, ada dua
pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki pekerja sosial:
1. Pengetahuan dan keterampilan melakukan asesmen kebutuhan
masyarakat (community needs assesment), yang meliputi: (1)
jenis dan tipe kebutuhan, (2) distribusi kebutuhan, (3) kebutuhan
akan pelayanan, (4) pola-pola penggunaan pelayanan, dan (5)
hambatan-hambatan dalam menjangkau pelayanan.
2. Pengetahuan dan keterampilan membangun konsorsium dan
jaringan antar organisasi. Kegiatan ini bertujuan untuk: (1)
memperjelas kebijakan-kebijakan setiap lembaga, (2)
mendefinisikan peranan lembaga-lembaga, (3) mendefinisikan
potensi dan hambatan setiap lembaga, (4) memilih metode guna
menentukan partisipasi setiap lembaga dalam memecahkan
masalah sosial masyarakat, (5) mengembangkan prosedur guna
menghindari duplikasi pelayanan, dan (6) mengembangkan
prosedur guna mengidentifkasi dan memenuhi kekurangan
pelayanan sosial.
3. Mediator
Pekerja sosial sering melakukan peran mediator dalam
berbagai kegiatan pertolongannya. Peran ini sangat penting dalam
paradigma generalis. Peran mediator diperlukan terutama pada saat
terdapat perbedaan yang mencolok dan mengarah pada konplik
antara berbagai pihak. Pekerja sosial dapat memerankan sebagai
fungsi kekuatan ketiga untuk menjembatani antara anggota
kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam melakukan
peraan mediator meliputi kontrak perilaku, negosiasi, pendamai
pihak ketiga, serta berbagai macam resolusi konflik. Dalam mediasi,
63.
56
upaya-upaya yang dilakukan pada hakekatnya diarahkan untuk
mencapai solusi menang-menang (win-win solution). Hal ini berbeda
dengan peran sebagai pembela dimana bantuan pekerja sosial
diarahkan untuk memenangkan kasus klien atau membantu klien
memenangkan dirinya sendiri.
Compton dan Galaway (1989:511) memberikan beberapa
teknik dan keterampilan yang dapat digunakan dalam melakukan
peran mediator:
a. Mencari persamaan nilai dari pihak-pihak yang terlibat konflik.
b. Membantu setiap pihak agar mengakui legitimasi kepentingan
pihak lain
c. Membantu pihak-pihak yang bertikai dalam mengidentifikasi
kepentingannya.
d. Hindari situasi yang mengarah pada munculnya kondisi menang
dan kalah.
e. Berupaya untuk melokalisisr konflik ke dalam isu, waktu, dan
tempat yang spesifik.
f. Membagi konflik ke dalam beberapa isu.
g. Membantu pihak-pihak yang bertikai untuk mengakui bahwa
mereka lebih memiliki manfaat jika melanjutkan sebuah
hubungan ketimbang terlibat terus dalam konflik.
h. Menfasilitasi komunikasi dengan cara mendukung mereka agar
mau berbicara satu sama lain.
i. Gunakan prosedur-prosedur persuasi.
4. Pembela
Dalam praktik pekerjaan sosial dengan masyarakat,
seringkali pekerja sosial harus berhadapan dengan sistem politik
dalam rangka menajmin kebutuhan dan sumber yang diperlukan
oleh klien atau dalam melaksanakan tujuan-tujuan pengembangan
64. 57
masyarakat. Manakala pelayanan dan sumber-sumber sulit
dijangkau oleh klien, pekerja sosial harus memainkan peranan
sebagai pembela (advocate). Peran pembelaan atau advokasi
merupakan salah satu praktik pekerjaan sosial yang bersentuhan
dengan kegiatan politik.
Peran pembelaan dapat dibagi dua: advokasi kasus (case
advocacy) dan advokasi kausal (cause advocacy) (DuBois dan
Miley,1992; Parsons, Jorgensen dan Hernandez, 1994). Apabila
pekerja sosial melakukan pembelaan atas nama seorang klien secara
individual, maka ia berperan sebagai pembela kasus. Pembelaan
kausa terjadi manakala klien yang dibela pekerja sosial bukanlah
individu melainkan sekelompok anggota masyarakat.
Rotblatt (1978) memberikan beberapa contoh yang dapat
dijadikan acuan dalam melakukan peran pembela dalam pekerjaan
sosial dengan masyarakat:
a. Keterbukaan, yaitu membiarkan berbagai pandangan untuk
didengar.
b. Perwakilan luas, yaitu mewakili semua pelaku yang memiliki
kepentingan dalam pembuatan keputusan.
c. Keadilan, yaitu memiliki sebuah sisten kesetaraan atau kesamaan
sehingga posis-posisi yang berbeda dapat diketahui sebagai
bahan perbandingan.
d. Pengurangan permusuhan, yaitu mengembangkan sebuah
keputusan yang mampu mengurangi permusuhan dan
keterasingan.
e. Informasi, yaitu menyajikan masing-masing pandangan secara
bersama sengan dukungan dokumen dan analisis.
f. Pendukungan, yaitu mendukung partisipasi secara luas.
65.
58
g. Kepekaan, yaitu mendorong para pembuat keputusan untuk
benar-benar mendengar, mempertimbangkan dan peka terhadap
minat-minat dan posisi-posisi orang lain.
5. Pelindung.
Tanggung jawab pekerja sosial terhadap masyarakat
didukung oleh hukum. Hukum tersebut memberikan legitimasi
kepada pekerja sosial untuk menjadi pelindung (protector) terhadap
orang-orang yang lemah dan rentan. Dalam melakukan peran
sebagai pelindung (guardian role), pekerja sosial bertindak
berdasarkan kepentingan korban, calon korban, dan populasi yang
beresiko lainnya. Peranan sebagai pelindung mencakup penerapan
berbagai kemampuan yang menyangkut; (a) kekuasaan, (b)
pengaruh, (c) otoritas, dan (d) pengawasan sosial.
Prinsip-prinsip peran pelindung meliputi:
1. Menentukan siapa klien pekerja sosial yang paling utama.
2. Menjamin bahwa tindakan dilakukan sesaui dengan proses
perlindungan.
3. Berkomunikasi dengan semua pihak yang terpengaruh oleh
tindakan sesuai dengan tanggung jawab etis, legal dan rasional
praktik pekerjaan sosial.
B. PROSES PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Pelaksanaan pekerjaan sosial dengan masyarakat (COCD) dapat
dilakukan melalui penetapan sebuah program atau proyek
pembangunan. Secara garis besar, perencanaannya dapat dilakukan
dengan mengikuti 6 langkah perencanaan :
1. Perumusan masalah
Pekerjaan sosial dengan masyarakat dilaksanakan berdasarkan
masalah atau kebutuhan masyarakat setempat. Beberapa masalah
66. 59
yang biasanya ditangani oleh pekerja sosial berkaitan dengan
kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, pemberantasan buta
huruf, dll. Perumusan masalah dilakukan dengan menggunakan
penelitian (survey, wawancara, observasi), diskusi kelompok, rapat
desa, dan seterusnya.
2. Penetapan Program
Setelah masalah dapat diidentidikasi dan disepakati sebagai
prioritas yang perlu segera ditangani, maka dirumuskan program
penanganan masalah tersebut.
3. Perumusan Tujuan.
Agar program dapat dilaksanakan dengan baik dan keberhasilannya
dapat diukur perlu dirumuskan apa tujuan dari program yang telah
ditetapkan. Tujuan yang baik memiliki karakteristik jelas dan
spesifik sehingga tercermin bagaimana cara mencapai tujuan
tersebut sesuai dengan dana, waktu, dan tenaga yang tersedia.
4. Penentuan Kelompok Sasaran.
Kelompok sasaran adalah sejumlah orang yang akan ditingkatkan
kualitas hidupnya melalui program yang telah ditetapkan.
5. Identifikasi Sumber dan Tenaga Pelaksana.
Sumber adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
menunjang program kegiatan, termasuk didalamnya adalah sarana,
sumber dana, dan sumber daya manusia.
6. Penentuan Strategi dan Jadwal Kegiatan
Strategi adalah cara atau metoda yang dapat digunakan dalam
melaksanakan program kegiatan.
7. Monitoring dan Evaluasi.
Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk memantau proses dan
hasil pelaksanaan program. Apakah program dapat dilaksanakan
sesuai dengan strategi dan jadwal kegiatan? Apakah program sudah
mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan?
68. 61
BAB VI
MODEL, PENDEKATAN DAN PANDANGAN
DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
A. MODEL-MODEL PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Jack Rothman (1968) mengembangkan tiga model yang berguna
dalam memahami konsep pekerjaan sosial dengan masyarakat: (1)
Pengembangan Masyarakat Lokal (Locality Development), (2)
Perencanaan Sosial (Social Planning), dan (3). Aksi Sosial (Social Action).
Paradigma ini merupakan format ideal yang dikembangkan terutama
untuk tujuan analisis dan konseptual. Dalam praktiknya, ketiga model
tersebut saling bersentuhan satu sama lain. Setiap komponennya dapat
digunakan secara kombinasi dan simultan sesuai dengan kebutuhan
dan situasi yang ada.
1. Pengembangan Masyarakat Lokal.
Pengembangan masyarakat lokal adalah proses yang
ditujukan untuk menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi
masyarakat melalui partisipasi aktif serta inisiatif anggota
masyarakat itu sendiri (United Nations, 1955). Anggota masyarakat
dipandang bukan sebagai sistem klien yang bermasalah melainkan
sebagai masyarakat yang unik dan memiliki potensi, hanya saja
potensi tersebut belum sepenuhnya dikembangkan. Pengembangan
masyarakat lokal pada dasarnya merupakan proses interaksi antara
69.
62
anggota masyarakat setempat yang difasilitasi oleh pekerja sosial.
Pekerja sosial membantu meningkatkan kesadaran dan
mengembangkan kemampuan mereka dalam mencapai tujuan-
tujuan yang diharapkan.
Pengembangan masyarakat lokal lebih berorientasi pada
tujuan proses (process goal) daripada tujuan tugas atau tujuan hasil
(task or product goal). Setiap anggota masyarakat bertanggung jawab
untuk menentukan tujuan dan memilih strategi yang tepat untuk
mencapai tujuan tersebut. Pengembangan kepemimpinan lokal,
peningkatan strategi kemandirian, peningkatan informasi,
komunikasi, relasi dan keterlibatan anggita masyarakat merupakan
inti dari proses pengembangan masyarakat lokal ini.
2. Perencanaan Sosial
Perencanaan sosial disini diartikan sebagai proses pragmatis
untuk menentukan keputusan dan menetapkan tindakan dalam
memecahkan masalah sosial tertentu seperti kemiskinan,
pengangguran, kenakalan remaja, kebodohan (buta huruf),
kesehatan masyarakat yang buruk (rendahnya usia harapan hidup,
tingginya tingkat kematian bayi, kekurangan gizi), dll.
Berbeda dengan pengembangan masyarakat lokal,
perencanaan sosial lebih berorientasi pada tujuan tugas. Sistem klien
perencanaan sosial umumnya adalah kelompok-kelompok yang
kurang beruntung (disadvantaged groups) atau kelompok rawan
sosial ekonomi, seperti para lanjut usia, orang cacat, janda, yatim
piatu, wanita/pria tuna sosial, dst. Pekerja sosial berperan sebagai
perencana sosial yang memandang mereka sebagai konsumen atau
penerima pelayanan. Keterlibatan para penerima pelayanan dalam
proses pembuatan kebijakan, penetuan tujuan dan pemecahan
masalah bukan merupakan prioritas, karena pengambilan
70. 63
keputusan dilakukan oleh para pekerja sosial di lembaga-lembaga
formal, semisal lembaga kesejahteraan sosial (Depsos), peradilan
(Depkeh), pembangunan desa (Bangdes), kesehatan (Depkes), atau
kependudukan (BKKBN). Para perencana sosial dipandang sebagai
ahli (expert) dalam melakukan penelitian, menganalisa masalah dan
kebutuhan masyarakat, serta dalam mengidentifikasi, melaksanakan
dan mengevaluasi program-program pelayanan kemanusiaan.
3. Aksi Sosial
Tujuan dan sasaran utama aksi sosial adalah perubahan-
perubahan fundamental dalam kelembagaan dan struktur
masyarakat melalui proses pendistribusian kekuasaan (distribution
of power), sumber (distribution of resources) dan pengambilan
keputusan (distribution of desicion making). Pendekatan aksi sosial
didasari suatu pandangan bahwa masyarakat adalah sistem klien
yang seringkali menjadi korban ketidakadilan struktur. Mereka
miskin karena dimiskinkan, mereka lemah karena dilemahkan, dan
mereka tidak berdaya karena tidak diberdayakan, oleh kelompok
elit masyarakat yang menguasai sumber-sumber ekonomi, politik,
dan kemasyarakatan. Aksi sosial berorientasi pada tujuan proses
dan tujuan hasil. Masyarakat diorganisir melalui proses penyadaran,
pemberdayaan, dan tindakan-tindakan aktual untuk mengubah
struktur kekuasaan agar lebih memenuhi prinsip demokratis,
kenerataan (equality) dan keadilan (equity).
71.
64
B. BEBERAPA PENDEKATAN
DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
TR. Batten (1967) mengemukakan dua pendekatan dalam
pengembangan masyarakat, yaitu;
1. Pendekatan Direktif
Pendekatan direktif dilakukan berlandaskan pada asumsi
bahwa pekerja sosial tahu apa yang dibutuhkan dan apa yang baik
untuk masyarakat. Dalam pendekatan ini peranan pekerja sosial
bersifat lebih dominan, karena prakarsa kegiatan dan sumber daya
yang dibutuhkan lebih banyak berasal dari pekerja sosial. Pekerja
sosial menetapkan apa yang baik atau apa yang buruk bagi
masyarakat, cara-cara apa yang perlu dilakukan untuk
memperbaikinya, dan selanjutnya menyediakan sarana yang
diperlukan untuk perbaikan tersebut. Dengan pendekatan ini,
prakarsa dan pengambilan keputusan berada ditangan pekerja
sosial. Dalam praktiknya pekerja sosial memang mungkin
menanyakan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat atau cara apa
yang perlu dilakukan untuk menangani suatu masalah, tetapi
jawabanyang muncul dari suatu masyarakat selalu diukur dari segi
baik dan buruk menurut pekerja sosial.
Dengan menerapkan pendekatan ini memang banyak hasil
yang telah diperoleh, tetapi hasil yang didapat lebih terkait dengan
tujuan jangka pendek dan seringkali lebih bersifat pencapaian secara
fisik belaka. Pendekatan direktif kurang menjadi efektif, untuk
mencapai hal-hal yang sifatnya jangka panjang ataupun perubahan
yang mendasar yang berkaitan dengan perilaku seseorang, seperti
kognisi, afektif dan psikomotorik.
72. 65
Penggunaan pendekatan ini, sebenarnya akan mengakibatkan
berkurangnya kesempatan memperoleh pengalaman belajar dari
masyarakat, sedangkan bagi masyarakat segi buruknya adalah
dapat munculnya ketergantungan terhadap kehadiran petugas
sebagai agen perubahan. Sehingga dapat dikatakan pendekatan
direktif identik dengan pendekatan instruktif.
Selanjutnya, Batten (1967) juga mengemukakan bahwa untuk
mencapai kondisi masyarakat yang tahu akan kebutuhannya atau
permasalahannya, sehingga pekerja sosial menggunakan
pendekatan non direktif, maka tugas yang harus dilaksanakan
yaitu:
a. Menumbuhkan keinginan untuk bertindak dengan merangsang
munculnya diskusi tentang apa yang menjadi masalah dalam
masyarakt, sehingga mereka dapat menentukan dengan pasti
apa yang sebenarnya mereka inginkan.
b. Memberikan informasi, jika dibutuhkan, tentang pengalaman
kelompok lain dalam mengorganisasikan diri untuk
mengahadapi hal yang serupa.
c. Membantu masyarakat untuk membuat analisis secara
sistematis tentang hakikat dan penyebab dari masalah, serta
menelusuri keuntungan dan kerugian dari setiap usulan yang
terkait dengan upaya memecahkan masalah yang mereka
hadapi.
d. Menghubungkan masyarakat dengan sumber yang dapat
dimanfaatkan untuk membantu mengatasi masalah yang
sedang dihadapi mereka sebagai tambahan dari sumber yang
memang sudah dimiliki masyarakat.
73.
66
2. Pendekatan Non-direktif
Pendekatan ini berdasarkan asumsi bahwa masyarakat tahu
apa yang sebenarnya mereka butuhkan dan apa yang baik untuk
mereka. Pendekatan ini pekerja sosial tidak menempatkan diri
sebagai orang yang menetapkan apa yang baik ataupun buruk bagi
suatu masyarakat. Pemeran utama dalam perubahan masyarakat
adalah masyarakat itu sendiri. Pekerja sosial lebih bersifat menggali
dan mengembangkan potensi masyarakat. Masyarakat diberi
kesempatan seluas-luasnya untuk membuat analisis dan mengambil
keputusan yang berguna bagi mereka sendiri, serta mereka diberi
kesempatan penuh dalam penentuan cara-cara untuk mencapai
tujuan yang mereka inginkan.
Pekerja sosial merangsang tumbuhnya kemampuan masyarakat
untuk menentukan arah langkahnya sendiri dan kemampuan untuk
menolong dirinya sendiri. Tujuan pendekatan iniadalah agar
masyarakat memperoleh pengalaman belajar untuk
mengembangkan dirinya melalui pemikiran dan tindakan yang
dirumuskan oleh mereka. Pendekatan nondirektif ini sering disebut
sebagai pendekatan yang bersifat partisipatif.
Dalam penerapan di lapangan pendekatan direktif dan non
direktif, perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan
masyarakat. Masyarakat yang sudah mampu mendayagunakan
potensi yang dimiliki perlu didekati dengan pendekatan non
direktif, tetapi bagi masyarakat yang relatif belum berkembang,
maka pilihan pendekatan direktif.
Pemilihan pendekatan yang akan digunakan dapat saja
dimulai dari pendekatan yang bersifat direktif, apabila masyarakat
masih dalam keadaan belum mengetahui kebutuhan (terbelakang),
74. 67
tetapi sejalan dengan perkembangannya, masyarakt akan
mengetahui kebutuhannya secara bertahap, sehingga pekerja sosial
akan menggunakan pendekatan non direktif atau partisipatif.
Walaupun pekerja sosial mengarahkan agar menjadi mandiri
sehingga pendekatan yang digunakan adalah non-direktif, namun
terdapat kelemahannya juga, seperti dikemukakan Batten (1967),
yaitu:
a. Pekerja sosial tidak dapat sepenuhnya menjamin bahwa hasil
akhir dari pembangunan yang mereka lakukan akan sesuai
dengan keinginan mareka, karena mereka tidak dapat
mengontrol dengan ketat perilaku komunitas lokal.
b. Masyarakat yang sudah biasa dengan pendekatan direktif
cenderung tidak menyukai pendekatan ini, karena mereka
dipaksa untuk terlibat secara aktif dan ikut bertanggung jawab
sepenuhnya atas keputusan yang mereka hadapi.
Sedangkan keuntungan pendekatan non direktif adalah:
a. Memungkinkan diperolehnya hasil yang lebih baik dalam
keterbatasan sumber daya yang ada.
b. Membantu perkembangan masyarakat.
c. Menumbuhkan rasa kebersamaan.
d. Memunculkan banyak kesempatan untuk mendidik dan
mempengaruhi masyarakat.
Meskipun demikian, pendekatan direktif dan non-direktif
diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.
Masyarakat yang lebih siap dapat dibina dengan pendekatan non
direktif, sedangkan pada masyarakat yang belum siap dapat dimulai
dengan pendekatan direktif.
75.
68
C. BEBERAPA PANDANGAN
TENTANG PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Sanders dalam Jusman Iskandar (1989) menyatakan ada 4
(empat) cara memandang pengembangan masyarakat, yaitu :
1. Pengembangan masyarakat sebagai proses
Artinya suatu perubahan yang berkesinambungan dari suatu
tahapan atau kondisi kepada tahapan atau kondisi berikutnya
menuju suatu masyarakat yang lebih baik/maju seperti mandiri
mampu menentukan nasibnya sendiri dan menempuh berbagai
upaya bersama untuk mencapainya.
2. Pengembangan masyarakat sebagai metode
Artinya dipandang sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan.
Sebagai metode, pengembangan masyarakat menempatkan faktor
manusia sebagai subyek pembangunan, bukan obyek
pembangunan, ia dilibatkan secara maksimal dalam pengembangan
masyarakat. Untuk dapat mengembangkan secara maksimal dalam
pengembangan masyarakat maka diperlukan penggalian potensi
sumber daya manusia melalui pemberian bimbingan-bimbingan dan
pendidikan-pendidikan serta latihan-latihan keahlian praktis
tertentu dan bantuan teknis lainnya.
3. Pengembangan masyarakat sebagai suatu program
Artinya pengembangan masyarakat terlihat dari hasil sebagai
keluarannya (output). Hal ini jika dikaitkan dengan pembangunan
nasional, maka pengembangan masyarakat sebagai bagian integral
dari pembangunan nasional.Jadi titik berat pengembangan
76. 69
masyarakat sebagai program adalah pencapaian tujuan/sasaran
kegiatan. Diantara sejumlah program nasional ada yang langsung
menyangkut kepentingan masyarakat. Pengembangan masyarakat
sebagai program dalam beberapa hal berlawanan dengan
pengembangan masyarakat sebagai suatu metode. Sebagai suatu
program, pengembangan masyarakat bisa saja dilakukan oleh
pemerintah atau lembaga di luar desa, tanpa partisipasi masyarakat
yang bersangkutan.
4. Pengembangan masyarakat sebagai suatu gerakan
Sebagai suatu gerakan, pengembangan masyarakat dipandang
sebagi suatu media pelembagaan pengembangan struktur organisasi
masyarakat. Pelembagaan ini tercapai apabila pengembangan
masyarakat dilaksanakan baik sebagai proses, metode dan program
dengan melibatkan seluruh warga masyarakat dalam setiap tahapan
pembangunan. Jadi pengembangan masyarakat sebagai gerakan
merupakan tingkatan atau kondisi yang paling tinggi, dimana warga
masyarakat berpartisipasi aktif dalam meningkatkan taraf
kehidupannya baik secara individual maupun secara kelompok atau
organisasi.