Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
SlideShare a Scribd company logo
Buku cd 2007
“Community Development”
Dalam Praktik Pekerjaan Sosial
“Community Development”
Dalam Praktik Pekerjaan Sosial
Penulis : Badrun Susantyo
Penerbit : STKSPRESS
Jl. Ir. H. Juanda 367 Bandung
Telp. (022) 2504838
E-mail: stkspress@yahoo.com
Layout : Drs. Bambang Sugeng, M.P.
Desain Sampul : M. Oberlijn Siagian
Cetakan Kedua : 2007
ISBN : 978-979-3467-32-4
Hak Cipta © 2007 dilindungi Undang-Undang.
Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini
dalam bentuk apapun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk
memfotocopy, merekam, atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin
tertulis dari Penerbit.
i
KATA PENGANTAR
Hingar bingar kegiatan pemberdayaan masyarakat baik yang
dilakukan oleh pemerintah, LSM maupun organisasi non profit lainnya, tidak
lepas dari metode Community Development. Community Development yang pada
tataran lebih luas diterjemahkan atau dianalogkan dengan pengembangan/
pembangunan masyarakat, pengembangan komunitas, pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat, community work atau apapun penyebutannya,
adalah merupakan upaya luhur guna meningkatkan derajat kesejahteraan
masyarakat.
Penggunaan istlah community development dalam buku ini sebatas untuk
lebih menyederhanakan persepsi di kalangan umum. Namun lebih dari itu,
penekanan community development dalam buku ini hanyalah sebuah “metoda”,
khususnya dalam Praktik Pekerjaan Sosial.
Sebagai salah satu metode praktik dalam Ilmu Pekerjaan Sosial (social
work), tentunya, community development tidaklah mungkin “berjumawa”, berdiri
sendiri dan bertarung langsung dalam upaya-upaya peningkatan derajat
kesejahteraan masyarakat. Diperlukan metode-metode lain guna lebih
melengkapi atau bahkan menggali potensi yang ada dalam metode ini.
Sengaja, buku edisi kedua ini ditulis dalam dua bagian besar. Bagian
pertama mengajak para sidang pembaca untuk mengenal keberadaan Pekerjaan
Sosial sebagai sebuah Profesi, bukannya philantropy atau charity semata. Namun
lebih dari itu, buku ini juga bertujuan untuk mengenalkan kepada para
pembaca umumnya (di luar disiplin Ilmu Pekerjaan Sosial/Kesejahteraan
Sosial) untuk lebih memahami Profesi Pekerjaan Sosial sebagai sebuah profesi
yang kaya akan metode, ketrampilan dan juga teknik dalam berbagai
pelayanan kemanusiaan.
Pada Bagian Kedua, buku ini akan mencoba mengupas penerapan
Community Development sebagai sebuah Metode dalam Ilmu Pekerjaan Sosial.
Baik dari sisi prinsip, proses/langkah, strategi, teknik, bahkan trik-trik yang
perlu dilakukan dalam upaya membawa masyarakat ke dalam kondisi yang
ii
lebih baik, sesuai fokus utama Praktik Pekerjaan Sosial, yaitu : problem solving
dan social functioning.
Kepada Sdr. Drs. Bambang Sugeng, MP tidak lupa penulis sampaikan
beribu terima kasih atas telaahan serta editasi substansi buku ini. Juga kepada
Sdr. Drs. Suradi, M.Si atas dukungan bahan-bahan guna penyusunan buku ini.
Kepada Penerbit STKSPRESS secara khusus penulis sampaikan penghargaan
yang setinggi-tingginya atas penerbitan kembali buku ini.
Kepada semua pihak yang tak mungin disebutkan satu persatu dalam
buku ini (Sdr. Micho cs), yang telah berjerih payah dalam membidani publikasi
buku ini, penulis haturkan ribuan terima kasih.
Semoga edisi kali ini lebih bermanfaat.
Bandung, Agustus 2007
Penulis,
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………… i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………. iii
BAGIAN PERTAMA :
PEKERJAAN SOSIAL SEBAGAI PROFESI
BAB I HAKIKAT PEKERJAAN SOSIAL
A. DEFINISI ……………………………………………………… 2
B. TUJUAN DAN FUNGSI PEKERJAAN SOSIAL ………… 5
C. PRINSIP DASAR PEKERJAAN SOSIAL …………………. 10
BAB II KERANGKA PENGETAHUAN, NILAI DAN
KETRAMPILAN DALAM PEKERJAAN SOSIAL
A. KERANGKA PENGETAHUAN …………………….………. 13
B. KERANGKA NILAI ………………………………………….. 14
C. KERANGKA KETRAMPILAN ……………………………… 20
BAB III FOKUS PEKERJAAN SOSIAL
A. KEBERFUNGSIAN SOSIAL ……………………………….. 31
B. SISTEM SUMBER ……………………………………………. 33
C. SISTEM DASAR ……………………………………………… 35
BAGIAN KEDUA :
“COMMUNITY DEVELOPMENT”
DALAM PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL
BAB IV KONSEPSI, KEDUDUKAN, DSN PRINSIP-PRINSIP
PENGEMBANGAN MASYARAKAT
A. PENGERTIAN ………………………………………………. 37
B. PENGEMBANGAN MASYARAKAT …………………….. 39
iv
C. PRINSIP-PRINSIP PEKERJAAN SOSIAL
DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT ……….… 44
D. TUJUAN DAN FUNGSI
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ……………….…… 46
BAB V PERANAN, STRATEGI DAN PROSES
PENGEMBANGAN MASYARAKAT
A. PERANAN DAN STRATEGI ………………………….….. 51
B. PROSES PENGEMBANGAN MASYARAKAT …….….… 58
BAB VI MODEL, PENDEKATAN DAN PANDANGAN
DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
A. MODEL PENGEMBANGAN MASYARAKAT …….…… 61
B. BEBERAPA PENDEKATAN DALAM
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ……………….…… 64
C. BEBERAPA PANDANGAN DALAM
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ……………….…… 68
BAB VII KETRAMPILAN DAN TEKNIK DALAM
PENGEMBANGAN MASYARAKAT
A. BEBERAPA KETRAMPILAN POKOK ………….…..…… 71
B. BEBERAPA TEKNIK DALAM
PENGEMBANGAN MASYARAKAT …………….……… 78
PUSTAKA SUMBER
INDEKS
LAMPIRAN
1
BAB I
HAKIKAT PEKERJAAN SOSIAL
Permasalahan yang dihadapi oleh setiap individu,
kelompok/komunitas, maupun organisasi berbeda-beda dan upaya
mengatasi permasalahanpun berbeda-beda pula sesuai dengan
kemampuan masing-masing. Namun terdapat individu, kelompok,
maupun organisasi yang tidak mampu memecahkan pernasalahannya
sendiri sehingga perlu bantuan dari pihak lain. Pemberian pertolongan
oleh pihak lain (keluarga atau orang) terdekat kepada individu,
kelompok/komunitas, maupun organisasi tersebut terkadang memiliki
keterbatasan juga, maka diperlukan pihak lain yang ada disekitar kita
seperti pekerja sosial masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat,
aparat pemerintah, organisasi-organisasi kemasyarakatan, institusi-
institusi tertentu, dan lain sebagainya.
Dalam kapasitas sebagai individu atau organisasi yang dimintai
bantuan oleh orang atau sekelompok orang dalam membantu mengatasi
permasalahan yang mereka hadapi maka, perlu memiliki pengetahuan,
keterampilan, atau aturan-aturan tertentu yang memudahkan dalam
proses pemberian bantuan. Adapun pengetahuan, keterampilan,
ataupun aturan-aturan yang perlu dimiliki adalah berkaitan dengan
bagaimana seorang atau sekelompok orang yang kita bantu dapat
menjalankan tugas atau peran yang harus dilakukan pada lingkungan
sosialnya.
 
2
Pekerjaan sosial sebagai salah satu profesi yang dapat mewarnai
para pemberi bantuan dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini
disebabkan profesi pekerjaan sosial berkompetensi dalam meningkatkan
keberfungsian sosial individu, kelompok maupun masyarakat. Istilah
keberfungsian sosial menjadi ciri khas tersendiri pada profesi pekerjaan
sosial. Dengan fokus keberfungsian sosial, maka perlu memahami
hakekat pekerjaan sosial (pengertian, karakteristik, tujuan, fungsi dan
prinsip), kerangka dalam pekerjaan sosial (pengetahuan, keterampilan
dan nilai), hakikat keberfungsian sosial, sistem sumber dan sistem dasar,
sedangkan dalam prakteknya, perlu memahami bidang-bidang garapan
khusus, yang memungkinkan profesi ini bisa terlibat, dan peranan-
peranan yang dapat ditampilkan oleh seorang pekerja sosial.
A. DEFINISI
Dinamika kehidupan yang terus berubah menuju kepada
kompleksitas permasalahan atau kebutuhan maka perlu upaya
pertolongan yang lebih komprehensif kepada perorangan, kelompok
atau masyarakat. Pekerjaan sosial sebagai profesi yang dapat membantu
mereka untuk terlibat dalam dinamika tersebut. Namun sebelum
melakukan praktik pertolongan perlu dipahami dulu pendapat para ahli
pekerjaan social yang mengemukakan pengertian pekerjaan social.
Berdasarkan pada salah satu pengertian pekerjaan sosial (Zastrow; 1999,
5) dikatakan bahwa:
Social work is the profesional activity of helping individuals, groups, or
communities to enchance or restore their capacity for social functioning
and to create societal conditions favorable to their goals.
Pengertian tersebut pada prinsipnya menyebutkan bahwa
pekerjaan sosial adalah aktivitas profesional, yang ditujukan untuk
3
menolong orang, baik sebagai individu, kelompok, organisasi maupun
masyarakat, dalam rangka meningkatkan atau memperbaiki
kemampuan berfungsi sosial mereka dan menciptakan
kondisi/lingkungan sosial yang memungkinkan orang tersebut
mencapai tujuan hidupnya.
Menurut definisi diatas, terdapat lima unsur utama dalam
pekerjaan sosial, yaitu sebagai berikut: (1) pekerjaan sosial sebagai
kegiatan profesional, (2) kegiatannya ditujukan untuk memberikan
pertolongan; (3) klien yang ditolong adalah individu, kelompok, dan
masyarakat; (4) intervensi pertolongan pekerjaan sosial diarahkan
kepada peningkatan dan atau perbaikan kemampuan berfungsi sosial
klien dan mewujudkan lingkungan yang mampu memberikan
kesempatan, pelayanan, dan sumber; (5) tujuan pekerjaan sosial adalah
menciptakan individu, kelompok, dan masyarakat yang mampu
mencapai tujuan hidupnya. Dengan demikian pekerjaan sosial
berkepentingan menyediakan pelayanan sosial yang efektif dan
manusiawi untuk membantu individu, keluarga dan masyarakat agar
mereka dapat berfungsi sosial dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Berdasarkan uraian diatas maka karakteristik pekerjaan sosial,
sebagai berikut:
1. Konsep pertolongan dalam pekerjaan sosial adalah menolong orang
agar mereka mampu menolong dirinya sendiri (to help people to help
themselves), artinya:
a. Kegiatan pertolongan pekerjaan sosial diarahkan kepada
kepentingan klien, bukan untuk kepentingan pekerja sosial yang
bersangkutan.
b. Dalam melakukan kegiatannya tersebut, pekerja sosial senantiasa
bekerjasama dengan klien (working with client) yang
 
4
memungkinkan adanya partisipasi aktif dari klien, sehingga
pada akhirnya klien tersebut dapat mandiri.
2. Pekerjaan sosial menggunakan pendekatan dualistik, yakni bahwa
intervensinya diarahkan kepada orang dan juga lingkungannya.
Ketika seseorang mengalami permasalahan, maka pendekatan
pekerjaan sosial adalah:
a. Kepada orang (klien), pekerja sosial berupaya untuk melakukan
peningkatan kemampuan dan kemauan klien yang mencakup
aspek intelektual, sosial emosional, spiritual dan fisik yang
memungkinkan klien dapat berfungsi sosial dengan baik.
b. Kepada lingkungan, pekerja sosial berupaya untuk menciptakan
kondisi-kondisi yang memungkinkan klien dapat
mengembangkan keberfungsian sosialnya.
3. Praktik pekerjaan sosial mengarah pada tiga tingkatan intervensi,
yakni:
a. Praktik mikro, yaitu kegiatan pekerjaan sosial yang diarahkan
untuk menangani permasalahan yang dialami individu-individu
dan keluarga.
b. Praktik meso, yaitu kegiatan pekerjaan sosial yang diarahkan
terhadap kelompok.
c. Praktik makro, yakni kegiatan pekerjaan sosial yang diarahkan
terhadap organisasi dan masyarakat untuk menghasilkan
perubahan-perubahan yang diinginkan.
4. Ilmu pekerjaan sosial merupakan eclectic sciencies, yaitu merupakan
ilmu yang dalam proses pembentukannya mengambil /
mengadaptasi bagian-bagian / konsep-konsep yang relevan dari
5
berbagai disiplin ilmu lain seperti sosiologi, psikologi, psikologi,
psikiatri dan lain-lain.
B. TUJUAN PEKERJAAN SOSIAL
Selanjutnya, dalam tujuan pekerjaan sosial terdapat tugas-tugas
yang harus dilakukan, sebagai berikut:
1. Membantu orang memperluas kompetensinya dan meningkatkan
kemampuan mereka untuk menghadapi serta memecahkan
permasalahannya.
2. Membantu orang memperoleh sumber-sumber.
3. Membuat organisasi-organisasi yang responsif dalam memberikan
pelayanan sosial.
4. Memberikan fasilitas interaksi antara individu dengan individu lain
dalam lingkungan mereka.
5. Mempengaruhi interaksi antara organisasi-organisasi dengan
institusi-institusi.
6. Mempengaruhi kebijakan sosial maupun kebijakan lingkungan
(Hepworth dan Larsen; 1982, 16).
C. FUNGSI PEKERJAAN SOSIAL
Dengan demikian maka fungsi-fungsi pekerjaaan sosial, adalah:
1. Membantu orang meningkatkan dan menggunakan kemampuannya
secara efektif untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan
memecahkan masalah-masalah sosial yang mereka alami. Tugas
pekerja sosial adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi dan mengadakan kontak dengan orang yang
memerlukan pertolongan.
 
6
b. Memberikan pemahaman, dorongan dan dukungan pada orang
yang dilanda krisis.
c. Memberikan kesempatan kepada orang yang bermasalah untuk
mengemukakan masalahnya.
d. Memberikan beberapa alternatif pemecahan masalahnya.
e. Melakukan konfrontasi dengan tujuan agar mau melakukan
perubahan.
f. Mengajarkan keterampilan-keterampilan yang membantu
mereka dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
2. Mengkaitkan orang dengan sistem-sistem sumber. Adapun tugas
yang dilakukan oleh pekerja sosial adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi orang yang tidak tahu atau belum mampu
mengakses sistem sumber.
b. Memberikan informasi tentang sistem-sistem sumber yang ada,
dan cara memanfaatkannya
c. Membantu orang mengatasi masalah-masalah praktis dalam
memanfaatkan sistem-sistem sumber.
d. Membantu membuat referal untuk menggunakan sistem sumber.
e. Bertindak sebagai advokat bagi mereka yang mengalami
kesulitan dalam memanfaatkan sistem sistem sumber.
f. Membantu dalam menstimulasi sistem-sistem sumber agar lebih
sensitif terhadap orang-orang yang membutuhkan pelayanan.
g. Membantu orang untuk bertindak sebagai sistem sumber dengan
membentuk sistem-sistem sumber baru, dimana mereka
didalamnya saling berkaitan satu sama lain.
3. Memberikan fasilitas interaksi dengan sistem-sistem sumber.
Pekerja sosial melakukan tugas sebagai berikut:
7
a. Memberikan informasi kepada sistem-sistem sumber
kemasyarakatan mengenai pemasalahan sosial yang terjadi.
b. Memberikan pelayanan konsultasi bagi sistem-sistem sumber
kemasyarakatan, dan memberitahukan tentang metoda-metoda
pelayanan yang berbeda-beda.
c. Mengkonsultasikan sistem-sistem informal untuk membantu
mereka memperoleh pelayanan-pelayanan yang ada maupun
yang baru dari sistem sumber kemasyarakatan.
d. Membawa orang ke dalam salah satu sistem sumber
kemasyarakatan atau mengkaitkan orang dengan beberapa
sistem sumber kemasyarakatan agar mereka dapat masuk pada
perencanaan dan pendekatan yang terkoordinasi bagi keluarga
maupun individu.
e. Bertindak sebagai advokat dari konsumen untuk menghadapi
sistem-sistem sumber kemasyarakatan.
f. Mengorganisasikan para konsumen untuk menjadi anggota
organisasi-organisasi yang baru atau membantu organisasi yang
ada agar berbuat serupa.
g. Menengahi dan memecahkan konflik-konflik diantara sistem-
sistem sumber informal, anggota-anggota organisasi maupun
sistem-sistem sumber kemasyarakatan.
4. Memberikan fasilitas interaksi di dalam sistem-sistem sumber.
Kegiatan pekerja sosial adalah sebagai berikut:
a. Menyalurkan informasi dari satu bagian sistem kepada bagian
sistem yang lainnya.
b. Disamping memberikan pelayanan netral, pekerja sosial juga
memihak dan mengadvokasi bagi kepentingan-kepentingan
salah satu sistem yang kurang memiliki kekuatan yaitu tidak
 
8
mampu membuat keputusan maupun tidak mendapatkan
kepuasan dari pelaksanaan peranannya dalam sistem tersebut.
c. Membantu mengorganisasikan sub-sub sistem dan bertindak
sebagai advokat mereka dan bekerja untuk merubah bagian-
bagian sistem tersebut.
d. Bertindak sebagai konsultan bagi anggota-anggota sistem dalam
menjelaskan permasalahan-permasalahan yang dialami dan
menyarankan perubahan pada prosedur operasional maupun
peranan yang harus dilaksanakan.
e. Memberikan keterampilan-keterampilan kepada anggota-
anggota sistem agar mereka mampu melaksanakan peranannya
secara memuaskan dan mampu melaksanakan peranan-peranan
baru di dalam sistem itu.
f. Mencoba memasukkan anggota-anggota baru ke dalam sistem
atau mendorong anggota-anggota yang sudah ada untuk keluar
agar sistem dapat meningkatkan fungsionalitasnnya.
g. Melibatkan anggota-anggota sistem didalam mendiagnosa
permasalahan-permasalahan interaksi diantara mereka melalui
pendiskusian kesulitan-kesulitan yang mereka alami atau
menciptakan mekanisme umpan balik dengan sistem itu sendiri.
5. Mempengaruhi kebijakan sosial. Adapun tugas pekerja sosial adalah
sebagai berikut:
a. Mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang
permasalahanan dan kondisi yang perlu diubah melalui
perubahan kebijakan sosial.
b. Mendorong badan-badan sosial di mana ia bekerja atau sistem-
sistem kemasyarakatan maupun organisasi-organisasi formal
agar mengambil sikap dalam mengatasi permasalahan yang
dihadapi sekelompok warga masyarakat.
9
c. Membentuk sistem-sistem baru untuk melaksanakan perubahan
kebijakan sosial.
d. Memberikan informasi kepada pembuat kebijakan sosial
maupun sebagai advokat untuk mengadakan perubahan
kebijakan sosial.
e. Mendorong yang lainnya untuk menjadi advokat yang secara
langsung berhubungan dengan pembuat kebijakan untuk
melakukan perubahan.
f. Menyusun pelayanan, program, draf/konsep peraturan dan
proposal guna mengubah kebijakan dan menciptakan pelayanan
yang dibutuhkan.
g. Didalam bekerja sama dengan orang lain dapat menguji
eksistensi hukum dan kebijakan-kebijakan administratif melalui
keputusan-keputusan pengadilan dalam memecahkan
permasalahan yang spesifik.
6. Memeratakan atau menyalurkan sumber-sumber material. Dengan
kegiatan pekerja sosial sebagai berikut:
a. Menentukan kebutuhan dan ketepatan sumber-sumber serta
menentukan orang-orang yang memenuhi persyaratan untuk
memanfaatkan sumber tersebut.
b. Membentuk suatu sistem sumber informal yang baru untuk
orang-orang tertentu.
c. Menentukan tempat adanya sumber atau persyaratan-
persyaratan untuk memanfaatkan sumber.
d. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada orang yang
akan bertindak sebagai sistem sumber.
e. Mempersiapkan orang untuk memanfaatkan sumber dan
membantu mereka memanfaatkan sumber tersebut secara efektif.
 
10
f. Memonitor dan mensupervisi pemanfaatan sumber-sumber
tersebut.
7. Memberikan pelayanan sebagai pelaksana kontrol sosial. Tugas
pekerja sosial adalah sebagai berikut:
a. Mensupervisi orang yang dicap bertingkah laku menyimpang
(deviant behaviour).
b. Menyelidiki laporan-laporan tentang adanya praktik-praktik
penterlantaran dan penyiksaan.
c. Memberikan lisensi kepada sumber-sumber yang memberikan
fasilitas untuk menjamin pelayanan yang memadai bagi orang-
orang yang membutuhkan. (Pincus dan Minahan; 1973, 15)
D. PRINSIP DASAR PEKERJAAN SOSIAL
Dalam melaksanakan tujuan maupun fungsi pekerjaaan sosial,
maka terdapat prinsip-prinsip dasar pekerjaan sosial yang harus
digunakan pada saat memberikan pertolongan kepada klien, yaitu
sebagai berikut:
1. Penerimaan (acceptance), pekerja sosial harus menerima klien apa
adanya.
2. Individualisasi (individualization), bahwasanya klien merupakan
pribadi yang unik yang harus dibedakan dengan yang lainnya.
3. Sikap tidak menghakimi (non-judgemental attitude), pekerja sosial
harus mempertahankan sikap tidak menghakimi terhadap
kedudukan apapun dari klien dan tingkah laku klien.
4. Rasional (rationality), pekerja sosial memberikan pandangan yang
obyektif dan faktual terhadap kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi serta mampu mengambil keputusan.
5. Empati (emphaty), kemampuan memahami apa yang dirasakan orang
lain / klien.
11
6. Ketulusan/kesungguhan (genuiness), terutama dalam komunikasi
verbal.
7. Kejujuran (impartiality), tidak menghadiahi atau tidak merendahkan
seseorang dan kelompok (tidak menganakemaskan atau
menganaktirikan).
8. Kerahasiaan (confidentiality), pekerja sosial harus menjaga
kerahasiaan data/informasi perihal klien kepada orang lain.
9. Mawas diri (self awareness), pekerja sosial harus sadar akan
potensinya dan keterbatasan kemampuannya.
a. Prinsip-prinsip ini menjadikan pekerja sosial memiliki pegangan
pada saat melakukan praktik pekerjaan sosial. Dengan adanya
prinsip ini tidak menjadikan pekerja sosial kaku, namun ada kondisi-
kondisi khusus yang harus disikapi oleh perilaku-perilaku khusus
pula.
 
12
13
BAB II
KERANGKA PENGETAHUAN, NILAI
DAN KETERAMPILAN DALAM PEKERJAAN SOSIAL
A. KERANGKA PENGETAHUAN
Pekerjaan sosial dikatakan sebagai suatu profesi karena
didalamnya termuat kriteria profesi, yaitu dalam melaksanakan
kegiatan profesionalnya senantiasa berlandaskan kepada kerangka
pengetahuan, nilai dan keterampilan (body of knowledge, values and
skills). Menurut Morales dan Sheafor (1983) bahwa kerangka
pengetahuan pekerjaan sosial meliputi pengetahuan tentang pekerja
sosial (dirinya, profesi atau disiplin ilmunya, dan metodologi intervensi
pertolongannya); orang yang akan dibantu (client’s) (kepribadiannya,
sikap dan perilakunya, masalah yang dialaminya, motivasinya, dan
sebagainya); dan lingkungan sosial (keluarga, kelompok, organisasi,
masyarakat, kebudayaan, dan sebagainya).
Sedangkan kerangka nilai pekerjaan sosial, meliputi: nilai yang
berkaitan dengan pekerjaan sosialnya (nilai pribadi pekerja sosial
sebagai penyembuh profesional dan nilai profesionalnya berupa disiplin
ilmunya dan kode etik profesinya); nilai tentang klien; dan nilai
lingkungan sosialnya (nilai lembaga dan nilai masyarakatnya).
Selanjutnya kerangka keterampilan pekerjaan sosial meliputi
keterampilan sebagai pekerja sosial profesional (keterampilan
pertolongan dasar, relasi awal, observasi, komunikasi empati, dan
sebagainya) dan keterampilan untuk berinteraksi dan membantu orang
 
14
(keterampilan memahami dan memecahkan masalah klien dan
keterampilan membuat klien dapat melaksanakan fungsi sosialnya).
Jadi disamping memiliki kerangka pengetahuan, nilai dan
keterampilan, pekerjaan sosial dapat dikatakan sebagai suatu profesi
karena didalamnya memiliki kode etik yang mengatur atau menjadi
pedoman dalam melakukan praktik pekerjaan sosial. Kode etik inipun
dirumuskan oleh para profesi pekerjaan sosial untuk membuat aturan
main bagi para pekerja sosial. Profesi ini semakin ajeg karena adanya
partisipasi masyarakat yang juga bisa memberikan penilaian baik
berupa penghargaan maupun hukuman. Selain itu pertemuan rutin
antara asosiasi lembaga pendidikan pekerjaan sosial, asosiasi pekerja
sosialnya dan lembaga tempat para pekerja sosial bekerja semakin
memperkuat bahwa pekerja sosial merupakan profesi yang jelas aturan
mainnya,
B. KERANGKA NILAI
Semua profesi memiliki acuan nilai-nilai yang memberikan arah,
tujuan, arti, makna bagi orang-orang yang melakukan praktik di
dalamnya. Demikian juga makna dan arah tujuan pekerjaan sosial
berakar pada sistem-sistem nilai yang diterima dan dihargai oleh profesi
itu, akan tetapi perlu diingat bahwa nilai-nilai profesional tidaklah
terpisah dan berbeda dari nilai-nilai kemasyarakatan.
Berbicara tentang nilai, tidak akan terlepas pula untuk
membicarakan tentang etik, karena etik itu sendiri memiliki hubungan
yang erat dengan nilai. Hal itu seperti yang dikatakan oleh Levy (1993:
1) bahwa, etika merupakan aplikasi dari nilai dalam relasi dan transaksi
manusia . Jadi semua aktivitas manusia dalam masyarakat senantiasi
diatur dan diarahkan oleh nilai baik nilai yang bersumber dari
teori/disisplin ilmu, negara, agama, masyarakat, institusi, dan pribadi
15
pekerja sosial. Bahkan Heffernan, dkk (1997: 42) menyatakan bahwa,
etika merupakan produk/hasil dari nilai.
Nilai berhubungan dengan sesuatu yang dianggap baik dan
diinginkan. Jadi ia bersifat kualitatif. Nilai ditanamkan secara emosi dan
merupakan sesuatu yang ingin dicapai dimana pekerja sosial harus
mengarahkan tindakan-tindakannya dalam mengadakan relasi
profesional pekerjaan sosial, sedangkan etik merupakan peraturan
penuntun perilaku dan menaruh perhatian tentang apa yang boleh
dilakukan dan yang tidak boleh (Bisman, 1994:42).
Meskipun tidak semua pekerja sosial dari pelbagai bangsa dan
lingkungan kebudayaan selalu menerima dan menjunjung tinggi nilai-
nilai yang sama, namun nilai-nilai yang dirumuskan berikut ini
barangkali dapat mewakili nilai-nilai yang dapat diterima secara umum
oleh pekerja sosial :
1. Orang-orang hendaknya memiliki akses (kedekatan) kepada sumber-
sumber yang dibutuhkan guna menghadapi tantangan-tantangan
dan kesulitan-kesulitan kehidupan serta akses kepada kesempatan-
kesempatan guna mewujudkan potensi-potensi mereka sepanjang
hidup mereka.
2. Setiap orang adalah unik dan memiliki martabat dan harga diri yang
melekat padanya.
3. Orang-orang memiliki hak akan kebebasan sepanjang kebebasan itu
tidak bertentangan atau mengganggu hak orang lain.
4. Perwujudan dari nilai-nilai di atas hendaknya menjadi
tanggungjawab bersama antara individu-individu dengan
masyarakat sebagai satu-kesatuan.
Jika dipertimbangkan satu-persatu maka nilai-nilai, amanat dan
tujuan-tujuan di atas tidaklah menunjukkan hal yang unik bagi
pekerjaan sosial. Sebab profesi atau pihak-pihak lain pun mungkin
menganut nilai-nilai yang sama. Namun jika nilai-nilai tersebut
 
16
dipandang sebagai kesatuan yang utuh, maka ini jelas merupakan
identitas unik bagi profesi ini.
Nilai-nilai pekerjaan sosial banyak dikemukakan oleh para ahli
diantaranya Morales and Sheafor (1983; 195), bahwa ada 4 komponen,
yaitu;
1. Nilai pekerjaan sosial yang meliputi nilai pribadi dan profesional
2. Nilai orang/pribadi yang mencakup nilai klien
3. Nilai lembaga di mana pekerja sosial bekerja
4. Nilai masyarakat artinya pekerja sosial harus bekerja sesuai dengan
nilai-nilai yang ada di masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa
sumber nilai profesi adalah nilai masyarakat.
Nilai-nilai pekerjaan sosial yang lain yaitu, Dubois dan Miley
(1992: 41-42) menyatakan bahwa dalam pekerjaan sosial terdapat empat
nilai profesional pekerja sosial, yaitu (a) nilai tentang orang; (b) nilai
tentang masyarakat; (c) nilai dalam prilaku profesional; dan (d) standar
praktek etik. Hal yang sama dikemukakan oleh Hepwoth dan Larsen
(1992) tentang nilai-nilai pekerjaan sosial dalam hal fokus intervensi
pekerjaan sosial, yaitu terbagi menjadi (a) nilai tentang konsepsi klien;
(b) nilai tentang konsepsi masyarakat; dan (c) nilai tentang konsepsi
interaksi antar manusia. Kemudian Zastrow (2000: 107 – 118)
menyatakan adanya beberapa nilai dasar pekerjaan sosial, yaitu (a)
menghargai harkat-martabat dan keunikan individu; (b) hak klien untuk
menentukan dirinya sendiri; (c) kerahasiaan; (d) mengadvokasi dan
melakukan aksi sosial terhadap berbagai penindasan; (e) tanggung
jawab; dan (f) berorientasi kelembagaan; dan (g) menghargai agama dan
kepercayaan orang lain.
Pemahaman etika yang merupakan perwujudan filsafat perlu
dicermati lebih jauh sebab etika pada prinsipnya merupakan sistem
prinsip moral dan persepsi tentang benar atau salah. Oleh karena itu
17
etika pada hakekatnya menurut Barker (1987: 51) dalam The Social
Work Dictionary mendefinisikan etika sebagai berikut:
“Ethics: A system of moral principles and perceptions about right
versus wrong and the resulting philosophy of conduct that is practiced by
an individual, group, profession, or culture.”
Berdasarkan pengertian tersebut, maka etika mengandung 5
unsur, yaitu (1) sistem sosial; (2) perwujudan filsafat; (3) membahas
tentang benar dan salah; (4) pengendalian perilaku; dan (5)
dilaksanakan oleh individu, kelompok, profesi dan kebudayaan.
Atas dasar filosofis dan orientasi nilai, pekerjaan sosial
menggunakan seperangkat prinsip-prinsip praktik etik yang
membimbing dan membatasi tindakan-tindakan pertolongan yang
dilakukan pekerja sosial. Prinsip-prinsip praktik etik tersebut dipandang
sebagai kewajiban-kewajiban, standar-standar, tugas-tugas dan
tanggung jawab untuk diterapkan pada semua relasi dan situasi
pertolongan dengan klien, rekan kerja dan rekan profesional lainnya.
Prinsip-prinsip ini akan mempermudah pekerja sosial dalam melibatkan
diri dan berfungsi di dalam situasi yang sulit dan tertekan, juga ketika ia
berhadapan dengan masalah-masalah yang tidak terpecahkan.
Prinsip-prinsip dasar pekerjaan sosial adalah (a) menghargai dan
mempermudah/ mewujudkan partisipasi klien; (b) menghargai
keinginan klien atau menentukan nasib sendiri; dan (c) menghargai
martabat dan harga diri klien. Sedangkan prinsip-prinsip dasar lainnya
adalah (a) penerimaan (Acceptance) artinya Pekerja sosial harus dapat
menerima klien secara apa adanya; (b) individualisasi (Individualization),
bahwasanya klien merupakan pribadi yang unik yang harus dibedakan
dengan yang lainnya; (c) sikap tidak menghakimi (Non-judmental
attitude), pekerja sosial harus mempertahankan sikap non-judmental
 
18
terhadap kedudukan apapun dari klien dan tingkah laku klien; (d)
rasional (Rationality), pekerja sosial memberikan pandangan yang
obyektif dan faktual terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi,
serta mampu mengambil keputusan; (e) empati (Emphaty), kemampuan
memahami apa yang dirasakan orang lain/ klien; (f)
ketulusan/kesungguhan (Genuiness), terutama dalam komunikasi
verbal; (g) kejujuran (Impartiality), tidak menghadiahi ataupun tidak
merendahkan seseorang dan kelompok (tidak menganak-emaskan atau
menganak-tirikan); (h) kerahasiaan (Confidentiality), pekerja sosial
harus menjaga kerahasiaan data/informasi perihal klien kepada orang
lain; dan (i) mawas diri (Self awareness), pekerja sosial harus sadar akan
potensinya dan keterbatasan kemampuannya.
Kesemuanya itu akan menolong Pekerja Sosial untuk mengakui
bahwa tindakan yang terkait dengan prinsip-prinsip moral dan etik,
tidak berarti harus mengikuti semua aturan moral yang umum secara
kaku karena memang ada tingkah laku khusus yang perlu dilakukan
atau dipilih oleh pekerja sosial dalam situasi dan kondisi-kondisi
khusus. Prinsip-prinsip moral dan etik merupakan suatu jalan yang
menuntut pekerja sosial melakukan suatu praktik pertolongan secara
efektif. Kita selalu percaya bahwa dalam proses pertolongan
sebagaimana juga dalam kehidupan ini, mengamati dan membuat
pilihan-pilihan dengan atau atas dasar prinsip moral dan etik
merupakan "upaya memperbaiki kedudukan manusia yang amat
sukar".
Prinsip-prinsip praktik etik dituangkan dalam kode etik profesi,
dalam bentuk petunjuk-petunjuk dan kewajiban-kewajiban. Barker
(1987:26) menyatakan bahwa kode etik merupakan pernyataan yang
secara tegas atau terbuka yang berisi tentang nilai, prinsip, dan aturan
suatu profesi yang mengatur perilaku anggotanya. Sedangkan Banks
(1995:71) mengatakan bahwa kode etik merupakan semangat dan
19
standar etik yang merefleksikan harapan, keterampilan, dan praktek
yang menjadi perhatian pekerjaan sosial.
Berdasarkan kedua pengertian diatas maka kode etik pada
prinsipnya mengandung unsur-unsur (a) pernyataan tegas dan terbuka
yang disampaikan oleh profesi; (b) pernyataan yang berisi tentang
semangat dan standar nilai, prinsip, maupun aturan; dan (c) bertujuan
untuk mengatur perilaku anggotanya.
O’Connor, et.al (1995, 222) menyatakan lima fungsi utama kode
etik, yaitu, (a) Sebagai pedoman bagi perilaku profesional; (b)
membantu menciptakan identitas profesional; (c) menyediakan ukuran
yang mengatur diri sendiri; (d) melindungi klien dari praktisi-praktisi
yang tidak kompeten; dan (e) melindungi pekerja sosial dari tuntutan
hukum karena tuduhan malpraktek.
The National Association of Social Workers (1996) tentang kode
etik pekerja sosial yaitu:
1. Tanggungjawab Etis Pekerja Sosial Terhadap Klien, yaitu (a)
Komitmen dengan klien; (b) Penentuan diri sendiri; (c)
Menginformasikan hal-hal yang telah disetujui bersama; (d)
Kompeten; (e) Kompeten dalam berbudaya dan perbedaan status
sosial; (f) Terjadinya konflik; (g) Pribadi dan kerahasiaan; (h) Akses
pada catatan klien; (i) Hubungan secara pribadi dengan klien; (j)
Kontak fisik; (k) Pelecehan seksual; (l) Pergunakan bahasa yang
biasa yang dipakai; (m) Pembayaran akan pelayanan; (n)
Membantu klien yang kurang kapasitasnya dalam pengambilan
keputusan; (o) Interupsi terhadap pelayanan; dan (p) Terminasi
pelayanan.
2. Tanggung jawab Etis Pekerja Sosial terhadap Kolega, yaitu (a)
Respek; (b) Kerahasiaan antara kolega; (c) Kerjasama interdisiplin;
(d) Tidak overlap dalam bekerja dengan kolega; (e) Konsultasi; (f)
 
20
Rujukan pelayanan; (g) Tidak terjadi hubungan yang bersifat
pribadi; (h) Pelecehan seksual; (i) Ketidakmampuan kolega; (j)
Tidak kompeten kolega; dan (k) Tidak beretika dengan kolega.
3. Tanggung jawab etik pekerja sosial dalam praktek di berbagai
bidang pelayanan, yaitu (a) Supervisi dan konsultasi; (b)
Pendidikan dan pelatihan; (c) Evaluasi kinerja; (d) Catatan klien;
(e) Tagihan; (f) Rujukan klien; (g) Administrasi; (h) Pengembangan
staf dengan pendidikan lanjut; (i) Komitmen dengan pegawai; dan
(j)Managemen pekerja.
4. Tanggung jawab Etis Pekerja Sosial sebagai profesional, yaitu (a)
Kompetensi; (b) Diskriminasi; (c) Hal-hal pribadi; (d) Tidak jujur; (e)
Ketidakmampuan; (f) Kesalah pahaman; (g) Suap; dan
Berpengetahuan.
5. Tanggung jawab Etis Pekerja Sosial terhadap Profesi Pekerja Sosial,
yaitu (a) Integritas profesi; (b) Evaluasi dan penelitian.
6. Tanggung jawab Etis Pekerja Sosial terhadap Masyarakat, yaitu
(a) Kesejahteraan sosial; (b) Partisipasi; (c) Kedaruratan; dan (d)
Aksi sosial dan politik.
C. KERANGKA KETRAMPILAN
Keterampilan dan teknik sering sekali disamakan pengertiannya
dan agak sulit untuk dibedakan. Padahal apabila ditelaah definisinya
menunjukkan bahwa keterampilan dan teknik adalah dua hal yang
berbeda. Keterampilan adalah kemampuan seseorang dalam
menggunakan ilmu, metode dan teknik yang dipelajari untuk
menangani dan mengatasi masalah klien. Sedangkan teknik adalah cara
yang digunakan seseorang secara tepat untuk membantu, menangani,
dan mengatasi masalah seseorang.
21
Dalam praktik pekerjaan sosial generalis, pekerja sosial memiliki enam
kegiatan yang berkaitan dengan keterampilan umum (common generalist
skills) dalam melakukan intervensi terhadap klien, antara lain:
1. Pekerja sosial harus memiliki persiapan sebelum melakukan
intervensi, misalnya mendapatkan informasi dan membuat rencana.
2. Pekerja sosial harus mengetahui bagaimana cara berkomunikasi.
3. Pekerja sosial perlu menganalisa situasi masalah yang berkaitan
dengan individu, kelompok, dan masayarakat.
4. Pekerja sosial harus mampu merumuskan kontrak dengan sistem
klien
5. Pekerja sosial perlu membuat asumsi berbagai peranan yang
berkenaan dengan permasalahan, apakah sebagai advocator,
enabler, educator, manager, broker, dan mediator.
6. Pekerja sosial harus mampu menciptakan situasi yang stabil. Skill
may be defined as the ability to use knowledge effectively and readily in
execution or performance (Morales and Sheafor, 1983: 219).
Keterampilan Pekerjaan Sosial
dalam Praktik Mikro
Ashman dan Hull (1993: 44-78) mengemukakan jenis
keterampilan dan teknik pekerjaan sosial dalam praktik mikro, meso,
dan makro. Keterampilan pekerja sosial dalam praktik mikro adalah
bahwa pekerja sosial bekerja dengan individu-individu. Jenis-jenis
keterampilan tersebut antara lain:
1. Pekerja sosial memiliki keahlian dalam menjalin hubungan yang
baik dengan klien (establish a good worker / client relationship).
2. Berkomunikasi secara verbal dan non verbal (communication with
client is obviously necessary to work with and help them). Adapun yang
dimaksud dengan komunikasi verbal adalah pekerja sosial berbicara
langsung dengan klien sedangkan non verbal adalah cara-cara
 
22
berkomunikasi yang tidak / tanpa diucapkan seperti melalui
ekspresi wajah, gerakan-gerakan tangan, kontak mata, cara duduk
dan sebagainya.
3. Keterampilan interpersonal.
4. Personal communication. Komunikasi personal sangat penting dalam
praktik mikro, seperti yang dikemukakan oleh Ife (1995: 237) bahwa
pekerja sosial harus mampu melakukan komunikasi personal
dengan orang lain dengan melihat kapasitas untuk melakukan
inisiatif pembicaraan, menyimpulkan pembicaraan, fokus
pembicaraan, lingkungan sekitar, memperhatikan dengan seksama,
menerjemahkan apa yang dikatakan klien, menerima apa adanya
klien, dan bertanya dengan baik.
5. Keterampilan memberikan rasa hangat, empati, dan sungguh-
sungguh. Rasa hangat ditunjukkan yang ditunjukan oleh pekerja
sosial yaitu dengan cara menyampaikan suatu perasaan tentang
minat, perhatian, kesejahteraan, dan afeksi terhadap individu
lainnya. Empati diberikan oleh pekerja sosial tidak hanya
menyampaikan pada klien tentang perasaan-perasaan klien akan
tetapi memahami bagaimana dia merasakan. Rasa sungguh-
sungguh dapat ditunjukkan dengan peranan profesional yang
ditampilkan untuk mencapai tujuan pertolongan, seperti apa
adanya/natural, spontan, terbuka dan perilaku-perilaku yang jujur.
(Ashman and Hull, 1993: 49).
6. Keterampilan pekerja sosial dalam melakukan interview.
Keterampilan pekerja sosial dalam melakukan interview tercermin
dalam melakukan hubungan yang baik dalam pemecahan masalah
klien dan perubahan-perubahan yang positif serta memaksimalkan
kualitas kehidupan klien. (Ashman and Hull, 1993: 53).
23
Keterampilan Pekerjaan Sosial
dalam Praktik Meso
Keterampilan dalam praktik meso merupakan pelaksanaan
pemberian pelayanan pada klien yang memadukan pengetahuan dan
nilai-nilai sehingga tindakan yang ditampilkan merupakan suatu respon
terhadap keinginan dan kebutuhan klien. Artinya suatu keterampilan
dimaknai sebagai organisasi tingkah laku untuk mencapai tujuan
tertentu dan diwujudkan dalam aktivitas tertentu pula. Betty Baer dan
Ronald Federico membagi komponen keterampilan menjadi empat hal
yaitu informasi dan asesmen, pengembangan dan penggunaan
keprofesionalnya, aktifitas praktik dengan individu, kelompok, dan
masyarakat, serta evaluasi.
Keterampilan pekerja sosial dalam praktik meso sebagaimana
dikemukakan Ashman dan Hull (1993: 103-113), bahwa keterampilan
dan teknik tersebut ditujukan kepada kelompok untuk menyelesaikan
tugas dan memfasilitasi penyembuhan kelompok. Keterampilan yang
harus dimiliki pekerja sosial, antara lain:
1. Resolusi konflik (conflict resolution)
Konflik merupakan suatu fakta kehidupan dan terjadi secara rutin
dalam setiap relasi dengan dampak bisa positif atau negatif
tergantung pada bagaimana menanganinya. Konflik muncul
disebabkan kekuatan atau status yang berbeda, perbedaan
kepribadian atau nilai dan sistem kepercayaan. Konflik cenderung
dipandang sebagai hal yang negatif karena dianggap tidak mampu
memecahkan masalah dan tidak mencapai keberhasilan. Frieser
(1987) menyarankan empat langkah pemecahan masalah pada
managemen konflik:
 
24
a. Recognizing conflict adalah mengenali konflik yang terjadi apakah
diantara individu, kelompok yang disebabkan oleh reaksi
personal, tegang, dan salah pengertian.
b. Assessing conflict adalah pemahaman terhadap konflik terutama
sumber, sebab yang mendahului, dan salah komunikasi yang
menyebabkan konflik.
c. Choosing a startegy and intervening adalah melakukan tawar
menawar dan negosiasi serta metode-metode yang dirancang
untuk mengatasi konflik.
d. Win lose resolution strategy adalah strategi yang digunakan untuk
mengatasi konflik dengan cara menyuruh setiap orang untuk
aktif mendengarkan orang lain, role playing, membuat
persamaan dan kesepahaman, serta mencoba mengidentifikasi
tujuan bersama.
2. Model dan Pelatihan (Modelling and Coaching).
Pekerja sosial dapat membuat modeling dalam sejumlah situasi
yang berkaitan dengan keterampilan tertentu. Selain itu modeling
ditujukan sebagai metode alternatif pemecahan masalah klien dan
membantu klien mengembangkan cara merespon secara baik
terhadap berbagai situasi masalah yang terjadi. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam modeling ini adalah:
a. Tingkatan perhatian atau kesadaran model oleh pengamat.
b. Perhatian kembali pengamat terhadap perilaku model.
c. Kemampuan pengamat untuk menampilkan perilaku yang
diberikan model.
d. Motivasi pengamat untuk menampilkan perilaku.
Dalam praktik meso, modeling dapat dicapai melalui beberapa
metode meliputi :
25
1). Menyuruh klien untuk memperhatikan dengan seksama
perilaku model
2). Gambaran bagi pengamat mengapa perilaku model penting
3). Berikan peranan pengamat memainkan perilaku model
untuk menjamin bahwa mereka paham dan dapat
melakukannya.
4). Berikan pujian bagi keduanya untuk pengamat dan orang
lain yang tampil sesuai perilaku yang diharapkan.
5). Berikan bagi pengamat secepatnya umpan balik yang
korektif bila mereka mencoba perilaku yang baru. Umpan
balik yang korektif atau umpan balik yang sederhana adalah
satu unsur keerampilan yang disebut pelatihan (coaching).
Dalam latihan, pekerja sosial bisa memilih untuk melakukan
intervensi secepatnya sesudah klien terlibat dalam suatu
perilaku. Jika perilaku diubah termasuk komunikasi verbal,
pekerja sosil bisa memfokuskan pada proses pertolongan.
3. Pengembangan Tim (Team Building)
Tim building dapat terjadi bila ada dorongan organisasi yang kuat
untuk tim. Dorongan ini dapat terlihat melalui beberapa tujuan:
a. Wadah tim dalam organisasi harus jelas. Tim harus mempunyai
kebebasan untuk melakukan pertemuan sesuai dengan
kebutuhan dan tidak selalu terhambat dengan aturan-aturan
tertentu.
b. Tim berjalan sesuai dengan tujuan, peranan, dan tanggung
jawab,
c. Pengambilan keputusan selalu melalui proses.
 
26
4. Konfrontasi (Confrontation)
Dalam kelompok sangat penting di mana pekerja sosial harus
mampu berhadapan dengan anggota lain sekalipun tidak setuju,
dan pada tugas-tugas sosial menyuruh anggota kelompok
bertanggung jawab bagi pemecahan masalah. Konfrontasi dalam
kelompok-kelompok tugas adalah penting.
5. Konsultasi (Consultation)
Pekerja sosial dapat menjadi seorang konsultan pada kelompok
yang bertindak dalam suatu peranan kepemimpinan. Pekerja sosial
dapat menerima semua pihak untuk mengatasi masalahnya.
Contohnya, seorang ayah yang ingin mengkonsultasikan masalah
anaknya yang kena obat-obatan terlarang. Bagaimana ayah tersebut
menyikapi masalah itu sekarang dan di masa yang akan datang.
6. Koordinasi (Coordination)
Fungsi koordinasi dalam pekerjaan sosial adalah meliputi dua hal,
kolaborasi dan kerja tim (collaboration and teamwork). Untuk
keberhasilan koordinasi bahwa semua orang / anggota kelompok
memiliki tujuan yang sama. Tujuan bisa berhubungan dengan klien
atau penyedia pelayanan pada populasi target. Ada harapan bahwa
semua anggota kelompok yakin terjadi peningkatan jika koordinasi
pelayanan dicapai.
Keterampilan Pekerjaan Sosial
dalam Praktik Makro
Praktik makro merupakan bentuk praktik langsung yang
dirancang dalam rangka melakukan perubahan secara terencana pada
tingkat organisasi atau komunitas. Minahan (1987: 83), menyatakan
27
bahwa praktik makro berkaitan erat dengan empat aplikasi dasar;
planning, administration, evaluation, dan community organizing.
Selanjutnya, menurut Barker (1987: 122) memberikan definisi praktik
makro dalam empat dimensi; target satu kegiatan tiga, adanya
perubahan atau peningkatan kebijakan dan prosedur di mana distribusi
sumber pada klien harus ada aturan, pengembangan sumber-sumber
baru bila kebutuhan klien tidak terpenuhi, dan membantu klien untuk
mendapatkan hak-haknya.
Dalam melaksanakan tugasnya di masyarakat luas, pekerja sosial
memiliki beberapa keterampilan umum dalam praktik makro, antara
lain:
1. Membangun dan memelihara organisasi (building and maintaining
organizations). Rubin dan Rubin (1986: 37) mengidentifikasi sejumlah
keterampilan teknis dalam membangun dan memelihara organisasi,
yaitu mencari dana, mengelola dana, mengumpulkan informasi
melalui survei, dan menggunakan taktik khusus untuk mencapai
suatu tujuan.
2. Mengevaluasi hasil (evaluating outcomes)
Dalam pelaksanaan kegiatan, klien selalu mengharapkan pekerja
sosial tampil baik terutama dalam melakukan pendekatan-
pendekatan. Oleh karena itu, ada dua pendekatan utama dalam
mengevaluasi hasil: evaluasi praktik dan evaluasi program. Evaluasi
praktik memfokuskan diri pada evaluasi efektifitas atau hasil dari
apa yang pekerja sosial lakukan sendiri antara lain dalam bentuk
rancangan subjek tunggal, skala pencapaian tugas, survei kepuasan
klien atau skala pencapaian tugas. Evaluasi program adalah
menyatakan efektifitas dan hasil program keseluruhan. Teknik
evaluasi program bisa meliputi asesmen kebutuhan, asesmen
evaluasi, analisa proses, analisa hasil, dan analisa cost-benefit.
 
28
3. Negosiasi (negotiating)
Negosiasi adalah suatu proses dimana sekurang-kurangnya dua
individu berpartisipasi dalam suatu interaksi face to face agar
mencapai persetujuan yang dapat diterima kedua belah pihak.
Seringkali negosiasi ini memunculkan hal yang bertolak belakang.
Contohnya pekerja sosial berpikir klien membutuhkan pakaian
seharga Rp. 10000,- sedangkan supervisor anda cukup menilai
pakaian klien seharga Rp. 5000,- Fisher dan Ury (1981) menyarankan
penggunaan empat langkah prinsip negosiasi: pisahkan masalah
dari orang yang terlibat, perhatian langsung pada kepentingan
bersama, memberikan keuntungan bersama, kedua belah pihak
harus setuju menggunakan kriteria objektif untuk mengambil suatu
keputusan dalam suatu isu / masalah.
4. Mediasi (mediating)
Mediasi merupakan suatu proses yang digunakan untuk
memecahkan kembali perselisihan antara dua yang bertentangan.
Contohnya kasus perceraian suami istri. Masalahnya adalah adanya
ketidaksetujuan dalam hal-hal tertentu seperti pengasuhan dan
pemeliharaan anak.
5. Mempengaruhi para pengambil keputusan (influencing decision
makers)
Cara yang dilakukan untuk mempengaruhi para pengambil
keputusan adalah dengan menggunakan beberapa strategi dengan
cara: petisi, menggunakan media, edukasi terhadap pengambil
keputusan, persuasi, konfrontasi, kolaborasi, menulis surat.
29
6. Asesmen kebutuhan (needs assessment)
Asesmen kebutuhan digunakan untuk berbagai tujuan terutama
untuk mengembangkan pelayanan khusus atau program. Barker
(1987) menggambarkan asesmen kebutuhan sebagai berikut:
penilaian yang sistematis dalam mengevaluasi klien, masalah,
keberadaan sumber, solusi dan hambatan terhadap pemecahan
masalah. Selanjutnya ada 5 metode penting dalam melakukan
asesmen kebutuhan: pendekatan informan, pendekatan forum
masyarakat, pendekatan melalui tingkat penyembuhan, dan
pendekatan indikator sosial serta studi lapangan.
7. Bekerja dengan koalisi.
Koalisi merupakan suatu aliansi berbagai fraksi atau kelompok
ideologi dalam suatu masyarakat yang bersama-sama untuk
mencapai tujuan.
 
30
31
BAB III
FOKUS PEKERJAAN SOSIAL
A. KEBERFUNGSIAN SOSIAL
Pekerjaan sosial dalam pelaksanaan kegiatannya memiliki
konsentrasi atau fokus yaitu terhadap Keberfungsian Sosial baik secara
individu maupun kolektif. Adapun keberfungsian sosial ini memiliki
beberapa pengertian diantaranya disampaikan oleh Garvin dan Seabury
(1984, vii) yang mengatakan bahwa:
Social Functioning is encompasses all the way that we respons to the
demands of our social environment – an environment that include family,
peers, organizations, communities, as well as entire society.
Sedangkan Leonora S. de Guzman (1982, 9) mengatakan bahwa:
Social functioning is the expression of the interaction between man and
his social environment: it is the product of his activity as he related to
his surrounding.
Jadi inti dari kedua pengertian diatas bahwa social functioning
lebih cenderung dikaitkan dengan bagaimana intekrasi orang dengan
lingkungan sosialnya. Dalam hal ini pekerjaan sosial mencoba
membantu orang yang tidak atau kurang mampu berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya sehingga bisa melaksanakan tugas-tugas dalam
 
32
kehidupannya, memecahkan permasalahannya ataupun memenuhi
kebutuhannya.
Dikaitkan dengan pemenuhan tugas-tugas kehidupannya, maka
social functioning tidak akan lepas berbicara mengenai peranan sosial
(social role) dengan status sosial (social statute). Artinya perlu adanya
keseimbangan atau balancing diantara keduanya. Oleh karena itu
keberfungsian sosial dikatakan sebagai perbandingan antara peranan
sosial yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya sesuai dengan status
sosialnya dengan peranan sosial yang nyata yang dilaksanakan oleh
orang tersebut. Jika memenuhi harapan berarti berfungsi sosial atau
sebaliknya maka dikatakan kurang atau tidak berfungsi sosial.
Ada beberapa pandangan mengenai social functioning, yaitu
sebagai berikut:
1. Social functioning dipandang sebagai kemampuan melaksanakan
peranan sosial.
2. Social functioning dipandang sebagai kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan.
3. Social functioning dipandang sebagai kemampuan untuk
memecahkan permasalahan sosial yang dialaminya.
Menurut Skdmore, et. al (1991:19), keberfungsian social terbagi ke
dalam tiga dimensi dan saling berkaitan, yaitu (1) Kepuasan berperanan
dalam kehidupan (satisfaction with role in life), (2) Relasi positif dengan
orang lain (Positive relationships with others), dan (3) Perasaan
menyukai atau menghargai diri (Fellings of self worth). Sementara itu,
Dubois and Milley (1992; 14) membuat klasifikasi keberfungsian social
menjadi:
1. Keberfungsian social adaptif, yaitu sistem yang mampu
memanfaatkan sumber-sumber personal, interpersonal dan
institusional pada saat dihadapkan pada masalah, kebutuhan
ataupun isu.
33
2. Keberfungsian social rentan, yaitu menggambarkan keberfungsian
social yang dialami oleh populasi yang berresiko, yang sangat rentan
terhadap masalah keberfungsian walaupun belum muncul
kepermukaan. Misal, pengangguran atau anak terlantar memiliki
resiko tidak mampu berfungsi social karena tidak mempunyai
kesempatan ekonomi dan pendidikan.
3. Keberfungsian social tidak adaptif, yaitu masalah yang dihadapi
semakin parah karena kemampuan system tidak mampu
menjalankan fungsinya dan tidak mampu berinisiatif mengatasi
perubahan. Misal, individu yang depresi dan kesepian, keluarga
yang mengalami masalah komunikasi, dsb.
Jadi Keberfungsian social ini harus dilihat dalam konteks struktur social
yang luas, baik sebagai masalah atau solusi yang dilakukan.
B. SISTEM SUMBER
Dalam membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi
klien, profesi pekerjaan sosial harus mengkaitkan kebutuhan dengan
sistem sumber. Adapun yang dimaksud dengan sistem sumber adalah
segala sesuatu yang sudah digali, dikelola, dimanfaatkan,
didayagunakan dan dikembangkan untuk mendukung keberfungsian
sosial, memenuhi kebutuhan, dan memecahkan masalah-masalah.
Beberapa ahli mengklasifikasikan sistem sumber ke dalam beberapa
jenis, salah satunya diungkapkan oleh Pincus dan Minahan (1973)
menjadi:
1. Sistem sumber informal atau alamiah, misal keluarga, teman,
tetangga, dsb.
2. Sistem sumber formal, misal persatuan orang tua murid, organisasi-
organisasi profesi, dsb.
 
34
3. Sistem sumber kemasyarakatan, misal, sekolah, perpustakaan,
lembaga bantuan hukum, dsb.
Keberadaan sistem sumber sangatlah potensial untuk membantu
dalam pemecahan masalah , namun terkadang ada keterbatasan –
keterbatasan dalam memanfaatkan sistem sumber itu sendiri. Pincus
dan Minahan (1973), mengidentifikasi keterbatasan berdasarkan
klasifikasinya:
1. Sistem sumber informal: seseorang tidak terkait dengan sistem
sumber informal, seseorang sungkan untuk meminta bantuan kepada
keluarga, sumber informal tidak dapat memberikan bantuan yang
diminta seseorang, dan sebagainya.
2. Sistem sumber formal: organisasi formal tidak ada dan tidak tahu di
lingkungannya, orang enggan memasuki organisasi yang ada karena
ketidaktahuan sejauhmana kemampuan organisasi tersebut
membantu mereka, tidak setuju dengan tujuan organisasi tersebut,
takut tidak akan diterima, kurang memiliki pengetahuan atau
keterampilan untuk berpartisipasi dalam organisasi tersebut dan
sumber yang ada tidak menyediakan yang dibutuhkan oleh mereka.
3. Sistem sumber kemasyarakatan: tidak tersedia atau terbatasnya atau
tidak ada sistem sumber; secara geografis, psikologis, atau kultural
tidak memungkinkan untuk dijangkau; ada sistem sumbernya tapi
berbeda model pelayanannya.
Sehubungan dengan fungsi dan tugas pekerja sosial berkaitan
dengan sistem sumber, telah dijelaskan dalam fungsi pekerjaan sosial.
Sedangkan berkaitan dengan bagaimana sumber-sumber harus digali,
diolah, dikelola, dikembangkan dan dilestarikan terdapat beberapa
langkah yang dapat dilakukan oleh pekerja sosial, yaitu: identifikasi
35
sumber meliputi inventarisasi sumber, klasifikasi sumber, seleksi
sumber, dan analisis sumber; mobilisasi sumber; pendayagunaan
sumber; pengembangan dan penganekaragaman sumber; dan
pelestarian sumber.
C. SISTEM DASAR PEKERJAAN SOSIAL
Dalam proses membantu individu, kelompok ataupun masyarakat
agar mau dan mampu melaksanakan keberfungsian sosialnya, pekerja
sosial menggunakan sistem dasar pekerjaan sosial. Sistem ini
membantu pekerja sosial dalam mengidentifikasi dan menganalisis baik
permasalahan, kegiatan, ataupun sasarannya dengan cara dipetakan
atau digambarkan. Oleh karena itu sistem ini disebut sebagai tools of
identification dan tools of analysis. Jenis sistem dasar dalam pekerjaan
sosial terbagi ke dalam:
1. Sistem pelaksana perubahan, yaitu orang yang memiliki keahlian
berbeda dengan sistem kerja yang berbeda pula; pekerja sosial
dengan institusi pelayanan sosial; dan pekerja sosial dengan orang
lain. Dalam proses pelayanannya, pekerja sosial bisa berposisi
sebagai pelaksana perubahan dan lembaga pelayanan sosial
dikatakan sebagai lembaga pelaksana perubahan. Artinya terjadi
ikatan antara pekerja sosial dengan lembaga secara kebijakan atau
peraturannya dimana pekerja sosial bekerja atau bisa juga pekerja
sosial tidak terikat oleh lembaga atau independen.
2. Sistem klien, yaitu klien-klien dan pihak-pihak lain yang
memerlukan pertolongan, bantuan atau pelayanan dari pekerja sosial
agar klien dapat berfungsi sosial. Jadi melalui sistem klien ini akan
diperoleh gambaran tentang siapa saja klien yang akan dihadapi, apa
 
36
fokus masalahnya, aspek-aspek perilaku mana yang akan dirubah
atau diperbaiki.
3. Sistem sasaran, yaitu semua pihak/hal (individu, kelompok,
masyarakat, lembaga, peraturan, sistem nilai, prosedur pelayanan,
persyaratan pelayanan, dan lain-lain) yang hendak dipengaruhi atau
diubah agar tujuan-tujuan pelayanan dapat tercapai secara optimal.
Sistem sasaran ini terkadang tumpang tindih dengan sistem klien
sehingga perlu adanya kecermatan dalam menentukan prioritas
masalah yang akan segera ditangani.
4. Sistem kegiatan, yaitu dengan siapa dan dalam bentuk – bentuk
kegiatan serta cara-cara bagaimana suatu kegiatan akan dilakukan
untuk menolong klien.
Upaya memetakan sistem dasar dalam pekerjaan sosial sangat
penting dan perlu dilakukan oleh pekerja sosial bersama-sama klien dan
pihak-pihak lain yang terkait, sehingga muncul istilah stakeholder
analysis. Hal ini dilakukan karena yang paham dan tahu secara
mendetail masalahnya adalah klien dan pihak-pihak lain yang terkait
tersebut. Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa sistem dasar dalam
pekerjaan sosial bersifat interchangeable atau dapat berubah-ubah posisi
atau status, misal klien asalnya sebagai sistem klien berubah menjadi
sistem sasaran, dan lain sebagainya.
37
BAB IV
KONSEP, KEDUDUKAN DAN PRINSIP-PRINSIP
DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
A. PENGERTIAN
Dalam praktik pekerjaan sosial ada tiga metoda utama yang
digunakan yaitu metoda pekerjaan sosial dengan individu dan keluarga
(Social Case Work), metoda pekerjaan sosial dengan kelompok (Social
Group Work) dan metoda pekerjaan sosial dengan masyarakat
(Community Organization/ Community Development). Metoda-metoda
tersebut terbagi dalam tiga tingkatan sesuai dengan cakupan
pelayanannya, yaitu tingkat mikro untuk social case work, tingkat messo
untuk social group work, dan tingkat makro untuk community
development/community organization. Di dalam pelaksanaan intervensi ke
tiga metoda tersebut saling berkaitan, misal pada intervensi praktik
makro biasanya berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan, masalah-
masalah, isu-isu yang timbul dari tingkat mikro dan messo. Kegiatan
pada tiga tingkatan tersebut merupakan kegiatan profesional karena
dalam pelaksanaannya selalu didukung oleh teori-teori pekerjaan sosial,
model-model praktik pekerjaan sosial, dan nilai dan etik pekerjaan
sosial.
Bagian ini akan membahas tentang praktik makro atau metoda
pekerjaan sosial dengan masyarakat. Sebutan pekerjaan sosial dengan
masyarakat bermacam-macam, misal community organisation /community
development (Gilbert & Specht, 1981), bimbingan sosial masyarakat
 
38
(Soetarso, 1991), pekerjaan kemasyarakatan (community work),
penyembuhan sosial (social treatment), perawatan sosial (social care) atau
perawatan masyarakat (community care). (Twelvetrees, 1993; Payne,
1986). Jadi apabila ada yang menggunakan salah satu sebutan seperti di
atas masih memiliki arti yang sama.
Metoda pekerjaan sosial yang diarahkan pada masyarakat atau
komunitas dikenal dengan sebutan pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat (CO/CD). Dalam praktik makro ini ada dua
hal pokok yang perlu dipahami, yaitu pengorganisasian masyarakat
(Community Organization) dan pengembangan masyarakat (Community
Development). Pengorganisasian masyarakat (Community Organization)
menurut Arthur Dunham adalah sebagai proses dinamis untuk
mewujudkan penyesuaian yang semakin efektif antara kebutuhan dan
sumber-sumber kesejahteraan sosial. Sedangkan pengembangan
masyarakat (community development) terdiri dari dua konsep, yaitu
pengembangan dan masyarakat. Secara singkat pengembangan atau
pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk
meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Bidang-bidang
pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi,
pendidikan, kesehatan dan sosial budaya. Sedangkan masyarakat
menurut Mayo (1998; 162) dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu:
1. Masyarakat sebagai tempat bersama, yakni sebuah wilayah geografi
yang sama. Sebagai contoh sebuah rukun tetangga, perumahan di
daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan.
2. Masyarakat sebagai kepentingan bersama, yakni kesamaan
kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. sebagai contoh,
kepentingan bersama pada masyarakat etnis minoritas atau
kepentingan bersama berdasarkan identifikasi kebutuhan tertentu
seperti halnya pada kasus para orang tua yang memiliki anak
39
dengan kebutuhan khusus (anak cacat phisik) atau bekas para
pengguna pelayanan kesehatan mental.
Istilah masyarakat dalam pekerjaan sosial dengan istilah
masyarakat pada umumnya diterapkan terhadap pelayanan-pelayanan
sosial kemasyarakatan yang membedakannya dengan pelayanan-
pelayanan sosial kelembagaan. Pelayanan perawatan lanjut usia (lansia)
yang diberikan di rumah mereka dan/atau di pusat-pusat pelayanan
yang terletak di suatu masyarakat merupakan contoh pelayanan sosial
kemasyarakatan. Sedangkan perawatan lansia di rumah sakit khusus
lansia adalah contoh pelayanan sosial kelembagaan.
Dengan demikian pekerjaan sosial dengan masyarakat dapat
didefinisikan sebagai metoda yang memungkinkan orang dapat
meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar
pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi
kehidupannya (AMA, 1993). Menurut Twelvetrees (1991;1), pekerjaan
sosial dengan masyarakat adalah “the process of assisting ordinary people to
improve their own communities by undertaking collective actions.” Secara
khusus pekerjaan sosial dengan masyarakat berkenaan dengan upaya
pemenuhan kebutuhan atas orang yang tertindas, baik yang disebabkan
oleh kemiskinan maupun oleh kelas sosial, suku, jender, jenis kelamin,
usia dan kecacatan.
Dalam buku ini selanjutnya akan dipergunakan istilah
community development, pengembangan masyarakat atau praktik makro
untuk pengorganisasian dan pengembangan masyarakat.
B. PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Masalah yang berkembang pasca krisis semakin meningkat baik
dari segi kualitas maupun kuantitas. Permasalahan-permasalahan
individu telah berkembang menjadi permasalahan bersama yang perlu
 
40
memperoleh perhatian masyarakat secara keseluruhan terutama upaya
pemecahan permasalahan. Hal ini disebabkan dampak dari
permasalahan individu akan terasa oleh masyarakat itu sendiri.
Upaya-upaya yang dilakukan secara bersama oleh masyarakat
tentu akan berbeda dengan upaya yang dilakukan oleh individu dalam
menghadapi permasalahannya. Misal dalam analisa kesulitan yang
dialami oleh individu, alternatif tindakan yang akan direncanakan,
strategi intervensi yang akan dilaksanakan, dan sebagainya. Jadi dalam
hal ini masyarakat pada lokasi tertentu mengorganisasikan diri dan
memikirkan tindakan dalam menghadapi masalah dan kesulitan
bersama. Ini menggambarkan tema dari pengembangan masyarakat
sebagaimana yang dikemukakan Lee J. Carry (1970), bahwa:
The organization of people in locality to deal themselves with problems
and opportunities close at hand that affect their lives and pattern of
living is teh central theme of community.
Pengembangan masyarakat (community development) tergantung
pada inisiatif dan kemampuan masyarakat lokal dalam menentukan
alternatif pemecahan masalah. Kemampuan ini ditunjang oleh
keterlibatan dari anggota masyarakat dalam kegiatan intervensi,
sehingga perlu pembinaan kesadaran dan motivasi pada masyarakat
lokal untuk mewujudkan kemampuan mereka dalam usaha bersama
memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Lee J. Carry (1970) lebih lanjut mendefinisikan pengembangan
masyarakat sebagai “the deliberate attempt by people to work together to
guide the future of communities and the development of a corresponding set of
techniques for assisting community people in such process.” Pengembangan
masyarakat merupakan upaya mengorganisir dari orang dalam
masyarakat lokal terhadap berbagai kondisi yang mempengaruhi secara
41
negatif atau mengancam kehidupan mereka. Kekuatan penyebab
masalah berada secara eksternal yang pengaruhnya sangat dirasakan
orang per orang dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Dengan demikian, gagasan pengembangan masyarakat sebetulnya
dapat diterapkan dalam konteks masyarakat lokal yang berbeda, baik
masyarakat perkotaan dan industri atau pedesaan dan praindustri
dalam merespon berbagai kesulitan spesifik dari masing-masing
masyarakat tersebut saat ini.
Berdasarkan pada jenis tantangan dan kesulitan yang berbeda
dan spesifik pada masyarakat tertentu, menuntut adanya arah kegiatan
yang berbeda, oleh sebab itu proses pengembangan masyarakat perlu
memperhatikan karakteristik dan perkembangan masyarakat lokal.
Menurut Carry (1970) bahwa dalam konteks masyarakat desa atau
masyarakat yang kurang berkembang (rural atau less development
context), proses pengembangan masyarakat cenderung untuk membantu
menimbulkan industrialisasi dan modernisasi. Sementara itu dalam
konteks masyarakat yang lebih berkembang, proses tersebut bisa
merupakan cara untuk membantu mengatasi akibat dari industrialisasi
dan modernisasi.
Pengembangan masyarakat menggambarkan suatu kesatuan
yang terdiri dari beberapa aspek penting. Keberadaan aspek tersebut
sebagai persyaratan terlaksananya upaya pengembangan masyarakat.
Aspek-aspek tersebut adalah:
1. Masyarakat sebagai unit kegiatan.
Masyarakat sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam suatu
lokasi yang sama dan mereka terikat kepentingan dan nilai-nilai
yang sama. Terdapat berbagai jenis masyarakat yang ditentukan
oleh berbagai tingkatannya dari masyarakat lingkungan desa, kota
dan negara. Anggota masyarakat memiliki konsen dan kepentingan
untuk kemajuan kehidupan yang lebih baik yang menuntut
 
42
keterlibatan dari semua anggota. Pengembangan masyarakat
menempatkan masyarakat sebagai unit dari kegiatan mereka.
2. Inisiatif dan kepemimpinan lokal
Di dalam masyarakat terdapat sumber daya manusia yang dapat
dikembangkan untuk kepentingan masyarakat dalam mewujudkan
keinginan akan perubahan dalam masyarakat lokal, harus
memanfaatkan inisiatif dan kepemimpinan secara internal dari
sumber-sumber tersebut. Untuk itu pengembangan sosial
masyarakat harus dilaksanakan dalam rangka menumbuhkan
kesadaran dan tanggung jawab serta meningkatkan kemampuan
orang melalui pelatihan kepemimpinan, manajemen, dan
pengorganisasian masyarakat.
3. Penggunaan sumber-sumber dari dalam dan luar (strenght and
capabilitirs).
Sumber mengacu kepada berbagai kekuatan yang bermanfaat untuk
mengadakan perubahan. Orang perlu memahami terlebih dahulu
sumber-sumber apa yang tersedia, dimana dan bagaimana cara
menggunakannya untuk memberikan manfaat yang optimal.
Sumber tersebut bisa berasal dari dalam (within) atau luar (outside)
masyarakat lokal yang menggunakannya secara fleksibel sesuai
dengan kebutuhan.
4. Partisipasi secara inklusif
Partisipasi secara inklusif berarti memberikan kesempatan kepada
semua kelompok dan segmen dalam masyarakt untuk berpera serta
dalam pengembangan masyarakat. Struktur masyarakat harus
terbuka (open-ended) yang memungkinkan kelompok-kelompok baru
menjadi bagian dari proses yang berlangsung. Diharapkan bahwa
semua anggota masyarakat bisa memainkan peranannya dalam
pengembangan masyarakat.
43
5. Pendekatan terorganisisr, komprehensif sebagai konsep peyerta dari
partisipasi inklusif.
Pendekatan komprehensif merupakanupaya untuk memusatkan
perhatian terhadap situasi masyarakat yang luas tidak membatasi
pada isu-isu dan perhatian tertentu yang dihadapi dengan
menggunakan sekumpulan sumber-sumber yang luas. Pendekatan
komprehensif mencoba untuk memperluas usaha masyarakat dalam
pendekatan yang digunakan, kepentingan masyarakat. Pendekatan
ini akan menghasilkan partisipasi yang luas dalam arti keterlibatan
yang intensif.
6. Proses pengambilan keputusan harus secara demokratis, rasional,
dan diorientasikan pada pencapaian tugas yang khusus.
Demokratis berarti keputusan diambil dengan suara mayoritas dan
tiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk
menyalurkan pendapat mereka. Tidak ada kewenangan tunggal dan
terpusat dalam pengambilan keputusan, namun perlu rasional
untuk melihat sejauhmana keputusan tersebut logis dan dapat
dilaksanakan. Keputusan diarahkan dalam pelaksanaan tugas yang
spesifik.
Pada dasarnya unsur pokok pengembangan masyarakat adalah
perencanaan dan integrasi masyarakat. Perencanaan itu merupakan
proses untuk menentukan, menemukan dan memperjelas arti dari suatu
masalah, meningkatkan hakekat ruang lingkup masalah,
mempertimbangkan berbagai upaya yang diperlukan guna
penanggulangannya, memilih upaya yang kiranya dapat dilaksanakan
serta mengadakan yang sesuai dengan upaya yang telah dipilih.
Integrasi masyarakat, yaitu suatu proses dimana menerapkan
sikap-sikap dan praktik-praktik kerjasama menghasilkan berbagai
peningkatan dalam mengidentifikasi dengan masyarakat secara
 
44
keseluruhan, minat dan partisipasi dalam urusan masyarakat dan saling
menukar nilai-nilai dan sarana-sarana untuk mengutarakan nilai-nilai.
C. PRINSIP-PRINSIP PEKERJAAN SOSIAL
DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Secara teoritis, pekerjaan sosial dengan masyarakat dapat
dikatakan sebagai sebuah pendekatan pekerjaan sosial yang
dikembangkan dari dua perspektif yang berlawanan, yakni aliran kiri
(sosialis-Marxis) dan kanan (kapitalis-demokratis) dalam spektrum politik.
Dewasa ini, terutama dalam konteks menguatnya sistem ekonomi pasar
bebas dan swastanisasi kesejahteraan sosial, pekerjaan sosial dengan
masyarakat semakin menekankan pentingnya swadaya dan keterlibatan
informal dalam mendukung strategi penanganan kemiskinan dan
penindasan, maupun dalam memfasilitasi dan pemberdayaan
masyarakat.
Secara garis besar, Twelvetrees (1991) membagi perspektif
pekerjaan sosial dengan masyarakat ke dalam dua bingkai yaitu
pendekatan profesional dan pendekatan radikal. Kedua perspektif
tersebut memiliki prinsip-prinsip sendiri yang relatif berbeda satu sama
lain. Pendekatan profesional menunjuk pada upaya untuk
meningkatkan kemandirian dan memperbaiki sistem pemberian
pelayanan dalam kerangka relasi-relasi sosial. Sementara itu, berpijak
pada teori struktural neo-Marxis, feminisme, dan analisis anti-rasis,
pendekatan radikal lebih terfokus pada upaya mengubah
ketidakseimbangan relasi-relasi sosial yang ada melalui pemberdayaan
kelompok-kelompok lemah, mencari sebab-sebab kelemahan mereka,
serta menganalisis sumber-sumber ketertindasannya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Payne (1995; 166), “This is the
type of approach which supports minority ethnic communities, for example, in
45
drawing attention to inequalities in service provision and in power which lie
behind severe deprivation.” Seperti digambarkan pada Tabel 1, dua
pendekatan tersebut dapat dipecah lagi ke dalam beberapa perspektif
sesuai dengan beragam jenis dan tingkat praktik pekerjaan sosial
dengan masyarakat. Sebagai contoh, pendekatan fungsional dapat diberi
label sebagai perspektif (yang) tradisional, netral dan teknikal.
Sedangkan pendekatan radikal dapat diberi label sebagai pespektif
transformational (Dominelli, 1990; Mayo, 1998).
Sedangkan Frank dan Ruth Young (dalam Lee J. Cary, 1970)
berpendapat bahwa asas-asas dalam pengembangan masyarakat
meliputi :
1. Bahwa masyarakat berkembang secara bertahap dan kumulatif
tanpa banyak penyimpangan-penyimpangan.
2. Perkembangan secara bertahap dan kumulatif itu berlaku juga di
semua masyarakat baik yang kecil, sedang, maupun yang besar
sekalipun.
3. Pertumbuhan lembaga-lembaga secara interen identik dengan
kelancaran komunikasi dengan pihak luar.
4. Arah dan pertumbuhan suatu masyarakat selalu tertuju pada
partisipasi yang lebih besar di dalam struktur sosial nasional atau
yang lebih luas.
5. Jumlah penduduk dari suatu masyarakat itu bertambah sesuai
dengan tingkat perkembangan masyarakat secara proporsional.
 
46
Tabel 1
Dua Perspektif Pengembangan Masyarakat
Sumber: diadaptasi dari Mayo (1998: 166).
D. TUJUAN DAN FUNGSI
PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Pada dasarnya tujuan umum pengembangan masyarakat adalah
menciptakan dan mengembangkan suatu penyesuaian yang efektif
antara sumber-sumber kesejahteraan sosial dengan kebutuhan-
kebutuhan kesejahteraan sosial. Sedangkan tujuan khusus dari
pengembangan masyarakat itu sendiri adalah:
Perspektif Prinsip
Profesional
(Tradisional,
Netral &
Teknikal)
- Meningkatkan inisiatif masyarakat,
termasuk kemandirian
- Memperbaiki pemberian pelayanan
sosial dalam kerangka relasi sosial yang
ada
Radikal
(Transfor-
masional)
- Meningkatkan inisiatif masyarakat,
memperbaiki pemberian pelayanan
sosial
- Pemberdayaan masyarakat guna
mencari akar penyebab keterindasan
dan diskriminasi
- Mengembangkan strategi dan
membangun kerja sama dalam
melakukan perubahan sosial sebagai
bagian dari upaya mengubah relasi
sosial yang menindas, diskriminatif dan
eksploitatif.
47
1. Memperoleh data dan fakta yang cukup sebagai dasar untuk
perencanaan dan tindakan yang sehat.
2. Memulai mengembangkan dan merubah program-program dan
usaha-usaha kesejahteraan sosial untuk memperoleh penyesuaian
yang lebih baik antara sumber-sumber dan kebutuhan.
3. Meningkatkan standar pekerjaan sosial untuk meningkatkan
efektivitas kerja dari lembaga-lembaga.
4. Meningkatkan dan memberikan fasilitas interelasi dan
meningkatkan koordinasi anatar organisasi, kelompok, dan
individu-individu yang terlibat dalam program dan usaha
kesejahteraan sosial.
5. Mengembangkan pengertian umum daripada masalah-masalah,
kebutuhan kesejahteraan sosial, tujuan-tujuan, program-program
dan metode-metode pekerjaan sosial.
6. Mengembangkan dukungan dan patisipasi masyarakat dalam
aktivitas kesejahteraan sosial.
Adapun beberapa fungsi pengembangan masyarakat sebagai
metoda dalam pekerjaan sosial, yaitu:
1. Untuk memperoleh dan memelihara adanya dasar-dasar faktual
yang lengkap bagi penyusunan perencanaan dan pelaksanaan.
Fakta-fakta yang harus diidentifikasi oleh pekerja sosial, yaitu: (a)
ciri-ciri dan luasnya masalah, (b) ciri-ciri dan luasnya sumber-
sumber yang tersedia, dan (c) ciri-ciri dan luasnya usaha
kesejahteraan sosial.
2. Memulai mengembangkan, merubah dan mengakhiri program dan
usaha kesejahteraan sosial. Bahwa aktivitas-aktivitas yang
berhubungan dengan program kesejahteraan sosial merupakan
pusat kegiatan pengembangan masyarakat. Oleh karen itu
pengembangan masyarakat berfungsi secara langsung
 
48
mempengaruhi pola-pola usaha kesejahteraan sosial suatu
masyarakat. Kegiatan mengembangkan program meliputi: (a)
mengorganisir atau reorganisasi sesuatu badan atau lembaga sosial,
(b) mengadakan perubahan-perubahan terhadap program-program
yang telah ada, (c) memadukan dua atau lebih lembaga-lembaga
sosial yang ada atau mengatur kerja sama antara organisasi yang
hampir bersamaan fungsinya, (d) mengakhiri suatu lembaga dan
program kesejahteraan sosial, (e) mengakhiri atau mencegah
pengembangan program kesejahteraan sosial, apabila dipandang
tidak sehat. Pengembangan program tidak hanya menyangkut aspek
peningkatan, melainkan menyangkut aspek pencegahan, (f)
merencanakan dan melaksanakan perpaduan program-program di
suatu bidang tertentu, (g) merencanakan suatu program
kesepakatan yang memadai bagi suatu masyarakat.
3. Menciptakan, mempertahankan dan meningkatkan standar
kesejahteraan sosial dan meningkatkan efektifitas dan efisiensi
usaha – usaha kesejahteraan sosial dan lembaga-lembaga sosial.
Aspek yang penting dalam fungsi ini adalah (a) menetapkan kriteria
untuk menentukan pola-pola pelaksanaan yang baik dan (b)
membantu lembaga-lembaga dan petugas untuk memenuhi kriteria
tersebut di salam praktik.
4. Mengembangkan dan memberikan fasilitas interelasi dan
meningkatkan koordinasi antara oorganisasi-organisasi, kelompok-
kelompok dan individu-individu yang terlibat di dalam program
dan usaha kesejahteraan sosial.
5. Mengembangkan pengertian yang baik dari seluruh warga
masyarakat tentang kebutuhan-kebutuhan kesejahteraan sosial,
sumber-sumber, tujuan-tujuan, usaha-usaha, metode dan standar
setiap lembaga, setiap program, bahkan setiap profesi
membutuhkan pengertian masyarakat tentang tujuan, fungsi, status
49
dan sebagainya, dengan adanya pengertian masyarakat maka akan
timbul dukungan terhadap program kesejahteraan sosial.
6. Mengembangkan dukungan dan partisipasi di dalam kegiatan
kesejahteraan sosial. Bahwa lembaga-lembaga pemerintah
memperoleh biaya dari pajak masyarakat dan lembaga-lembaga
swasta memperoleh biaya dari bantuan usaha-usaha swasta atau
perorangan.
Keenam fungsi diatas satu sama lain berhubungan erat dan tidak
boleh dipisah-pisahkan, satu sama lain saling melengkapi dan
pekerjaan sosial tidak hanya melakukan salah satu fungsi saja.
 
50
51
BAB V
PERANAN, STRATEGI DAN PROSES
DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
A. PERANAN DAN STRATEGI
Paradigma generalis dapat memberi petunjuk mengenai fungsi
kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat serta menunjukkan
peranan-peranan dan strategi-strategi sesuai dengan fungsi tersebut.
Mengacu pada Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994), ada beberapa
strategi dalam pengembangan masyarakat. Strategi tersebut disesuaikan
dengan peranan pekerja sosial dalam melakukan pengembangan
masyarakat. Lima peran di bawah ini sangat relevan diketahui oleh para
pekerja sosial yang akan melakukan pengembangan masyarakat,
meliputi :
1. Fasilitator
Dalam literatur pekerjaan sosial, peranan fasilitator sering
disebut sebagai pemungkin (enabler). Keduanya bahkan sering
dipertukarkan satu sama lain. Seperti dinyatakan Parsons, Jorgensen
dan hernandez (1994; 188), “The traditional role of enabler in social
work implies education, facilitation and promotion of interaction and
action.” Selanjutnya Barker (1987) memberi definisi pemungkin atau
 
52
fasilitator sebagai tanggung jawab untuk membantu klien menjadi
mampu menangani tekanan situasional atau transisional.
Strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut
meliputi: pemberian harapan, pengurangan penolakan dan
ambivalensi, pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan,
pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan-kekuatan personal
dan aset-aset sosial, pemilahan masalah menjadi beberapa bagian
sehingga lebih mudah dipecahkan, dan pemeliharaan sebuah fokus
pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya (Barker, 1987:49).
Pengertian ini didasari oleh visi pekerjaan sosial bahwa
“setiap perubahan terjadi pada dasarnya dikarenakan oleh adanya
usaha-usaha klien sendiri, dan peranan pekerja sosial adalah
memfasilitasi atau memungkinkan klien mampu melakukan
perubahan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.” (Parsons,
Jorgensen, dan Hernandez, 1994). Adapun tugas-tugas yang dapat
dilakukan oleh pekerja sosial:
a. Mendefinisikan keanggotaan atau siapa yang akan dilibatkan
dalam pelaksanaan kegiatan
b. Mendefinisikan tujuan keterlibatan.
c. Mendorong komunikasi dan relasi, serta menghargai
pengalaman dan perbedaan-perbedaan.
d. Memfasilitasi keterikatan dan kualitas sinergi sebuah sistem
yaitu menemukan kesamaan dan perbedaan.
e. Memfasilitasi pendidikan, yaitu membangun pengetahuan dan
keterampilan.
f. Memberikan model atau contoh dan memfasilitasi pemecahan
masalah bersama, yaitu mendorong kegiatan kolektif.
g. Mengidentifikasi masalah-masalah yang akan dipecahkan.
h. Memfasilitasi penetapan tujuan
53
i. Merancang solusi-solusi alternatif.
j. Mendorong pelaksanaan tugas.
k. Memelihara relasi sistem.
l. Memecahkan konflik.
2. Broker
Dalam pengertian umum, seorang broker membeli dan
menjual saham dan surat berharga lainnya di pasar modal. Seorang
broker berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dari transaksi
tersebut sehingga klien dapat memperoleh keuntungan sebesar
mungkin. Pada saat klien menyewa seorang broker, klien meyakini
bahwa broker tersebut memiliki pengetahuan mengenai pasar modal,
pengetahuan yang diperoleh terutama berdasarkan pengalamannya
sehari-hari.
Dalam konteks pekerajaan sosial dengan masyarakat, peran
pekerja sosial sebagai broker tidak jauh berbeda dengan peran broker
di pasar modal. Seperti halnya di pasar modal, dalam pekerjaan
sosial dengan masyarakat terdapat klien atau konsumen. Namun
demikian, pekerja sosial yang menjadi broker mengenai kualitas
pelayanan sosial di sekitar lingkungannya menjadi sangat penting
dalam memenuhi keinginan kliennya memperoleh keuntungan
maksimal.
Dalam proses pengembangan masyarakat, ada tiga prinsip
utama dalam melakukan peranan sebagai broker:
a. Mampu mengidentifikasi dan melokalisir sumber-sumber
kemasyarakatan yang tepat.
b. Mampu menghubungkan konsumen atau klien dengan sumber
secara konsisten.
c. Mampu mengevaluasi efektifitas sumber dalam kaitannya
dengan kebutuhan-kebutuhan klien.
 
54
Prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan makna broker seperti
telah dijelaskan di muka. Peranan sebagai broker mencakup
menghubungkan klien dengan barang-barang dan jasa dan
mengontrol kualitas barang dan jasa tersebut. Dengan demikian ada
tiga kata kunci dalam pelaksanaan peran sebagai broker, yaitu
menghubungkan (linking), barang-barang dan jasa (goods and
services) dan pengontrolan kualitas (quality control). Parsons,
Jorgensen dan Hernandez (1994: 226-227) menerangkan ketiga
konsep di atas satu per satu:
b. Linking adalah proses menghubungkan orang dengan lembaga-
lembaga atau pihak-pihak lainnya yang memiliki sumber-
sumber yang diperlukan. Linking tidak sebatas hanya memberi
petunjuk kepada orang mengenai sumber-sumber yang ada.
Lebih dari itu, ia juga meliputi memperkenalkan klien dan
sumber referal, tindak lanjut, pendistribusian sumber, dan
menjamin bahwa barang-barang dan jasa dapat diterima oleh
klien.
c. Goods meliputi obyek-obyek yang nyata, seperti makanan, uang,
pakaian, perumahan, obat-obatan. Sedangkan services mencakup
keluaran pelayanan lembaga yang dirancang untuk memenuhi
kebutuhan hidup klien, semisal perawatan kesehatan,
pendidikan, pelatihan, konseling, pengasuhan anak.
d. Quality control adalah proses pengawasan yang dapat
menjamin bahwa produk-produk yang dihasilkan lembaga
memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan. Proses ini
memerlukan monitoring yang terus menerus terhadap lembaga
dan semua jaringan pelayanan untuk menjamin bahwa
pelayanan memiliki mutu yang dapat dipertanggungjawabkan
setiap saat.
55
Dalam proses pengembangan masyarakat, ada dua
pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki pekerja sosial:
1. Pengetahuan dan keterampilan melakukan asesmen kebutuhan
masyarakat (community needs assesment), yang meliputi: (1)
jenis dan tipe kebutuhan, (2) distribusi kebutuhan, (3) kebutuhan
akan pelayanan, (4) pola-pola penggunaan pelayanan, dan (5)
hambatan-hambatan dalam menjangkau pelayanan.
2. Pengetahuan dan keterampilan membangun konsorsium dan
jaringan antar organisasi. Kegiatan ini bertujuan untuk: (1)
memperjelas kebijakan-kebijakan setiap lembaga, (2)
mendefinisikan peranan lembaga-lembaga, (3) mendefinisikan
potensi dan hambatan setiap lembaga, (4) memilih metode guna
menentukan partisipasi setiap lembaga dalam memecahkan
masalah sosial masyarakat, (5) mengembangkan prosedur guna
menghindari duplikasi pelayanan, dan (6) mengembangkan
prosedur guna mengidentifkasi dan memenuhi kekurangan
pelayanan sosial.
3. Mediator
Pekerja sosial sering melakukan peran mediator dalam
berbagai kegiatan pertolongannya. Peran ini sangat penting dalam
paradigma generalis. Peran mediator diperlukan terutama pada saat
terdapat perbedaan yang mencolok dan mengarah pada konplik
antara berbagai pihak. Pekerja sosial dapat memerankan sebagai
fungsi kekuatan ketiga untuk menjembatani antara anggota
kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam melakukan
peraan mediator meliputi kontrak perilaku, negosiasi, pendamai
pihak ketiga, serta berbagai macam resolusi konflik. Dalam mediasi,
 
56
upaya-upaya yang dilakukan pada hakekatnya diarahkan untuk
mencapai solusi menang-menang (win-win solution). Hal ini berbeda
dengan peran sebagai pembela dimana bantuan pekerja sosial
diarahkan untuk memenangkan kasus klien atau membantu klien
memenangkan dirinya sendiri.
Compton dan Galaway (1989:511) memberikan beberapa
teknik dan keterampilan yang dapat digunakan dalam melakukan
peran mediator:
a. Mencari persamaan nilai dari pihak-pihak yang terlibat konflik.
b. Membantu setiap pihak agar mengakui legitimasi kepentingan
pihak lain
c. Membantu pihak-pihak yang bertikai dalam mengidentifikasi
kepentingannya.
d. Hindari situasi yang mengarah pada munculnya kondisi menang
dan kalah.
e. Berupaya untuk melokalisisr konflik ke dalam isu, waktu, dan
tempat yang spesifik.
f. Membagi konflik ke dalam beberapa isu.
g. Membantu pihak-pihak yang bertikai untuk mengakui bahwa
mereka lebih memiliki manfaat jika melanjutkan sebuah
hubungan ketimbang terlibat terus dalam konflik.
h. Menfasilitasi komunikasi dengan cara mendukung mereka agar
mau berbicara satu sama lain.
i. Gunakan prosedur-prosedur persuasi.
4. Pembela
Dalam praktik pekerjaan sosial dengan masyarakat,
seringkali pekerja sosial harus berhadapan dengan sistem politik
dalam rangka menajmin kebutuhan dan sumber yang diperlukan
oleh klien atau dalam melaksanakan tujuan-tujuan pengembangan
57
masyarakat. Manakala pelayanan dan sumber-sumber sulit
dijangkau oleh klien, pekerja sosial harus memainkan peranan
sebagai pembela (advocate). Peran pembelaan atau advokasi
merupakan salah satu praktik pekerjaan sosial yang bersentuhan
dengan kegiatan politik.
Peran pembelaan dapat dibagi dua: advokasi kasus (case
advocacy) dan advokasi kausal (cause advocacy) (DuBois dan
Miley,1992; Parsons, Jorgensen dan Hernandez, 1994). Apabila
pekerja sosial melakukan pembelaan atas nama seorang klien secara
individual, maka ia berperan sebagai pembela kasus. Pembelaan
kausa terjadi manakala klien yang dibela pekerja sosial bukanlah
individu melainkan sekelompok anggota masyarakat.
Rotblatt (1978) memberikan beberapa contoh yang dapat
dijadikan acuan dalam melakukan peran pembela dalam pekerjaan
sosial dengan masyarakat:
a. Keterbukaan, yaitu membiarkan berbagai pandangan untuk
didengar.
b. Perwakilan luas, yaitu mewakili semua pelaku yang memiliki
kepentingan dalam pembuatan keputusan.
c. Keadilan, yaitu memiliki sebuah sisten kesetaraan atau kesamaan
sehingga posis-posisi yang berbeda dapat diketahui sebagai
bahan perbandingan.
d. Pengurangan permusuhan, yaitu mengembangkan sebuah
keputusan yang mampu mengurangi permusuhan dan
keterasingan.
e. Informasi, yaitu menyajikan masing-masing pandangan secara
bersama sengan dukungan dokumen dan analisis.
f. Pendukungan, yaitu mendukung partisipasi secara luas.
 
58
g. Kepekaan, yaitu mendorong para pembuat keputusan untuk
benar-benar mendengar, mempertimbangkan dan peka terhadap
minat-minat dan posisi-posisi orang lain.
5. Pelindung.
Tanggung jawab pekerja sosial terhadap masyarakat
didukung oleh hukum. Hukum tersebut memberikan legitimasi
kepada pekerja sosial untuk menjadi pelindung (protector) terhadap
orang-orang yang lemah dan rentan. Dalam melakukan peran
sebagai pelindung (guardian role), pekerja sosial bertindak
berdasarkan kepentingan korban, calon korban, dan populasi yang
beresiko lainnya. Peranan sebagai pelindung mencakup penerapan
berbagai kemampuan yang menyangkut; (a) kekuasaan, (b)
pengaruh, (c) otoritas, dan (d) pengawasan sosial.
Prinsip-prinsip peran pelindung meliputi:
1. Menentukan siapa klien pekerja sosial yang paling utama.
2. Menjamin bahwa tindakan dilakukan sesaui dengan proses
perlindungan.
3. Berkomunikasi dengan semua pihak yang terpengaruh oleh
tindakan sesuai dengan tanggung jawab etis, legal dan rasional
praktik pekerjaan sosial.
B. PROSES PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Pelaksanaan pekerjaan sosial dengan masyarakat (COCD) dapat
dilakukan melalui penetapan sebuah program atau proyek
pembangunan. Secara garis besar, perencanaannya dapat dilakukan
dengan mengikuti 6 langkah perencanaan :
1. Perumusan masalah
Pekerjaan sosial dengan masyarakat dilaksanakan berdasarkan
masalah atau kebutuhan masyarakat setempat. Beberapa masalah
59
yang biasanya ditangani oleh pekerja sosial berkaitan dengan
kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, pemberantasan buta
huruf, dll. Perumusan masalah dilakukan dengan menggunakan
penelitian (survey, wawancara, observasi), diskusi kelompok, rapat
desa, dan seterusnya.
2. Penetapan Program
Setelah masalah dapat diidentidikasi dan disepakati sebagai
prioritas yang perlu segera ditangani, maka dirumuskan program
penanganan masalah tersebut.
3. Perumusan Tujuan.
Agar program dapat dilaksanakan dengan baik dan keberhasilannya
dapat diukur perlu dirumuskan apa tujuan dari program yang telah
ditetapkan. Tujuan yang baik memiliki karakteristik jelas dan
spesifik sehingga tercermin bagaimana cara mencapai tujuan
tersebut sesuai dengan dana, waktu, dan tenaga yang tersedia.
4. Penentuan Kelompok Sasaran.
Kelompok sasaran adalah sejumlah orang yang akan ditingkatkan
kualitas hidupnya melalui program yang telah ditetapkan.
5. Identifikasi Sumber dan Tenaga Pelaksana.
Sumber adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
menunjang program kegiatan, termasuk didalamnya adalah sarana,
sumber dana, dan sumber daya manusia.
6. Penentuan Strategi dan Jadwal Kegiatan
Strategi adalah cara atau metoda yang dapat digunakan dalam
melaksanakan program kegiatan.
7. Monitoring dan Evaluasi.
Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk memantau proses dan
hasil pelaksanaan program. Apakah program dapat dilaksanakan
sesuai dengan strategi dan jadwal kegiatan? Apakah program sudah
mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan?
 
60
61
BAB VI
MODEL, PENDEKATAN DAN PANDANGAN
DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
A. MODEL-MODEL PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Jack Rothman (1968) mengembangkan tiga model yang berguna
dalam memahami konsep pekerjaan sosial dengan masyarakat: (1)
Pengembangan Masyarakat Lokal (Locality Development), (2)
Perencanaan Sosial (Social Planning), dan (3). Aksi Sosial (Social Action).
Paradigma ini merupakan format ideal yang dikembangkan terutama
untuk tujuan analisis dan konseptual. Dalam praktiknya, ketiga model
tersebut saling bersentuhan satu sama lain. Setiap komponennya dapat
digunakan secara kombinasi dan simultan sesuai dengan kebutuhan
dan situasi yang ada.
1. Pengembangan Masyarakat Lokal.
Pengembangan masyarakat lokal adalah proses yang
ditujukan untuk menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi
masyarakat melalui partisipasi aktif serta inisiatif anggota
masyarakat itu sendiri (United Nations, 1955). Anggota masyarakat
dipandang bukan sebagai sistem klien yang bermasalah melainkan
sebagai masyarakat yang unik dan memiliki potensi, hanya saja
potensi tersebut belum sepenuhnya dikembangkan. Pengembangan
masyarakat lokal pada dasarnya merupakan proses interaksi antara
 
62
anggota masyarakat setempat yang difasilitasi oleh pekerja sosial.
Pekerja sosial membantu meningkatkan kesadaran dan
mengembangkan kemampuan mereka dalam mencapai tujuan-
tujuan yang diharapkan.
Pengembangan masyarakat lokal lebih berorientasi pada
tujuan proses (process goal) daripada tujuan tugas atau tujuan hasil
(task or product goal). Setiap anggota masyarakat bertanggung jawab
untuk menentukan tujuan dan memilih strategi yang tepat untuk
mencapai tujuan tersebut. Pengembangan kepemimpinan lokal,
peningkatan strategi kemandirian, peningkatan informasi,
komunikasi, relasi dan keterlibatan anggita masyarakat merupakan
inti dari proses pengembangan masyarakat lokal ini.
2. Perencanaan Sosial
Perencanaan sosial disini diartikan sebagai proses pragmatis
untuk menentukan keputusan dan menetapkan tindakan dalam
memecahkan masalah sosial tertentu seperti kemiskinan,
pengangguran, kenakalan remaja, kebodohan (buta huruf),
kesehatan masyarakat yang buruk (rendahnya usia harapan hidup,
tingginya tingkat kematian bayi, kekurangan gizi), dll.
Berbeda dengan pengembangan masyarakat lokal,
perencanaan sosial lebih berorientasi pada tujuan tugas. Sistem klien
perencanaan sosial umumnya adalah kelompok-kelompok yang
kurang beruntung (disadvantaged groups) atau kelompok rawan
sosial ekonomi, seperti para lanjut usia, orang cacat, janda, yatim
piatu, wanita/pria tuna sosial, dst. Pekerja sosial berperan sebagai
perencana sosial yang memandang mereka sebagai konsumen atau
penerima pelayanan. Keterlibatan para penerima pelayanan dalam
proses pembuatan kebijakan, penetuan tujuan dan pemecahan
masalah bukan merupakan prioritas, karena pengambilan
63
keputusan dilakukan oleh para pekerja sosial di lembaga-lembaga
formal, semisal lembaga kesejahteraan sosial (Depsos), peradilan
(Depkeh), pembangunan desa (Bangdes), kesehatan (Depkes), atau
kependudukan (BKKBN). Para perencana sosial dipandang sebagai
ahli (expert) dalam melakukan penelitian, menganalisa masalah dan
kebutuhan masyarakat, serta dalam mengidentifikasi, melaksanakan
dan mengevaluasi program-program pelayanan kemanusiaan.
3. Aksi Sosial
Tujuan dan sasaran utama aksi sosial adalah perubahan-
perubahan fundamental dalam kelembagaan dan struktur
masyarakat melalui proses pendistribusian kekuasaan (distribution
of power), sumber (distribution of resources) dan pengambilan
keputusan (distribution of desicion making). Pendekatan aksi sosial
didasari suatu pandangan bahwa masyarakat adalah sistem klien
yang seringkali menjadi korban ketidakadilan struktur. Mereka
miskin karena dimiskinkan, mereka lemah karena dilemahkan, dan
mereka tidak berdaya karena tidak diberdayakan, oleh kelompok
elit masyarakat yang menguasai sumber-sumber ekonomi, politik,
dan kemasyarakatan. Aksi sosial berorientasi pada tujuan proses
dan tujuan hasil. Masyarakat diorganisir melalui proses penyadaran,
pemberdayaan, dan tindakan-tindakan aktual untuk mengubah
struktur kekuasaan agar lebih memenuhi prinsip demokratis,
kenerataan (equality) dan keadilan (equity).
 
64
B. BEBERAPA PENDEKATAN
DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
TR. Batten (1967) mengemukakan dua pendekatan dalam
pengembangan masyarakat, yaitu;
1. Pendekatan Direktif
Pendekatan direktif dilakukan berlandaskan pada asumsi
bahwa pekerja sosial tahu apa yang dibutuhkan dan apa yang baik
untuk masyarakat. Dalam pendekatan ini peranan pekerja sosial
bersifat lebih dominan, karena prakarsa kegiatan dan sumber daya
yang dibutuhkan lebih banyak berasal dari pekerja sosial. Pekerja
sosial menetapkan apa yang baik atau apa yang buruk bagi
masyarakat, cara-cara apa yang perlu dilakukan untuk
memperbaikinya, dan selanjutnya menyediakan sarana yang
diperlukan untuk perbaikan tersebut. Dengan pendekatan ini,
prakarsa dan pengambilan keputusan berada ditangan pekerja
sosial. Dalam praktiknya pekerja sosial memang mungkin
menanyakan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat atau cara apa
yang perlu dilakukan untuk menangani suatu masalah, tetapi
jawabanyang muncul dari suatu masyarakat selalu diukur dari segi
baik dan buruk menurut pekerja sosial.
Dengan menerapkan pendekatan ini memang banyak hasil
yang telah diperoleh, tetapi hasil yang didapat lebih terkait dengan
tujuan jangka pendek dan seringkali lebih bersifat pencapaian secara
fisik belaka. Pendekatan direktif kurang menjadi efektif, untuk
mencapai hal-hal yang sifatnya jangka panjang ataupun perubahan
yang mendasar yang berkaitan dengan perilaku seseorang, seperti
kognisi, afektif dan psikomotorik.
65
Penggunaan pendekatan ini, sebenarnya akan mengakibatkan
berkurangnya kesempatan memperoleh pengalaman belajar dari
masyarakat, sedangkan bagi masyarakat segi buruknya adalah
dapat munculnya ketergantungan terhadap kehadiran petugas
sebagai agen perubahan. Sehingga dapat dikatakan pendekatan
direktif identik dengan pendekatan instruktif.
Selanjutnya, Batten (1967) juga mengemukakan bahwa untuk
mencapai kondisi masyarakat yang tahu akan kebutuhannya atau
permasalahannya, sehingga pekerja sosial menggunakan
pendekatan non direktif, maka tugas yang harus dilaksanakan
yaitu:
a. Menumbuhkan keinginan untuk bertindak dengan merangsang
munculnya diskusi tentang apa yang menjadi masalah dalam
masyarakt, sehingga mereka dapat menentukan dengan pasti
apa yang sebenarnya mereka inginkan.
b. Memberikan informasi, jika dibutuhkan, tentang pengalaman
kelompok lain dalam mengorganisasikan diri untuk
mengahadapi hal yang serupa.
c. Membantu masyarakat untuk membuat analisis secara
sistematis tentang hakikat dan penyebab dari masalah, serta
menelusuri keuntungan dan kerugian dari setiap usulan yang
terkait dengan upaya memecahkan masalah yang mereka
hadapi.
d. Menghubungkan masyarakat dengan sumber yang dapat
dimanfaatkan untuk membantu mengatasi masalah yang
sedang dihadapi mereka sebagai tambahan dari sumber yang
memang sudah dimiliki masyarakat.
 
66
2. Pendekatan Non-direktif
Pendekatan ini berdasarkan asumsi bahwa masyarakat tahu
apa yang sebenarnya mereka butuhkan dan apa yang baik untuk
mereka. Pendekatan ini pekerja sosial tidak menempatkan diri
sebagai orang yang menetapkan apa yang baik ataupun buruk bagi
suatu masyarakat. Pemeran utama dalam perubahan masyarakat
adalah masyarakat itu sendiri. Pekerja sosial lebih bersifat menggali
dan mengembangkan potensi masyarakat. Masyarakat diberi
kesempatan seluas-luasnya untuk membuat analisis dan mengambil
keputusan yang berguna bagi mereka sendiri, serta mereka diberi
kesempatan penuh dalam penentuan cara-cara untuk mencapai
tujuan yang mereka inginkan.
Pekerja sosial merangsang tumbuhnya kemampuan masyarakat
untuk menentukan arah langkahnya sendiri dan kemampuan untuk
menolong dirinya sendiri. Tujuan pendekatan iniadalah agar
masyarakat memperoleh pengalaman belajar untuk
mengembangkan dirinya melalui pemikiran dan tindakan yang
dirumuskan oleh mereka. Pendekatan nondirektif ini sering disebut
sebagai pendekatan yang bersifat partisipatif.
Dalam penerapan di lapangan pendekatan direktif dan non
direktif, perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan
masyarakat. Masyarakat yang sudah mampu mendayagunakan
potensi yang dimiliki perlu didekati dengan pendekatan non
direktif, tetapi bagi masyarakat yang relatif belum berkembang,
maka pilihan pendekatan direktif.
Pemilihan pendekatan yang akan digunakan dapat saja
dimulai dari pendekatan yang bersifat direktif, apabila masyarakat
masih dalam keadaan belum mengetahui kebutuhan (terbelakang),
67
tetapi sejalan dengan perkembangannya, masyarakt akan
mengetahui kebutuhannya secara bertahap, sehingga pekerja sosial
akan menggunakan pendekatan non direktif atau partisipatif.
Walaupun pekerja sosial mengarahkan agar menjadi mandiri
sehingga pendekatan yang digunakan adalah non-direktif, namun
terdapat kelemahannya juga, seperti dikemukakan Batten (1967),
yaitu:
a. Pekerja sosial tidak dapat sepenuhnya menjamin bahwa hasil
akhir dari pembangunan yang mereka lakukan akan sesuai
dengan keinginan mareka, karena mereka tidak dapat
mengontrol dengan ketat perilaku komunitas lokal.
b. Masyarakat yang sudah biasa dengan pendekatan direktif
cenderung tidak menyukai pendekatan ini, karena mereka
dipaksa untuk terlibat secara aktif dan ikut bertanggung jawab
sepenuhnya atas keputusan yang mereka hadapi.
Sedangkan keuntungan pendekatan non direktif adalah:
a. Memungkinkan diperolehnya hasil yang lebih baik dalam
keterbatasan sumber daya yang ada.
b. Membantu perkembangan masyarakat.
c. Menumbuhkan rasa kebersamaan.
d. Memunculkan banyak kesempatan untuk mendidik dan
mempengaruhi masyarakat.
Meskipun demikian, pendekatan direktif dan non-direktif
diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.
Masyarakat yang lebih siap dapat dibina dengan pendekatan non
direktif, sedangkan pada masyarakat yang belum siap dapat dimulai
dengan pendekatan direktif.
 
68
C. BEBERAPA PANDANGAN
TENTANG PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Sanders dalam Jusman Iskandar (1989) menyatakan ada 4
(empat) cara memandang pengembangan masyarakat, yaitu :
1. Pengembangan masyarakat sebagai proses
Artinya suatu perubahan yang berkesinambungan dari suatu
tahapan atau kondisi kepada tahapan atau kondisi berikutnya
menuju suatu masyarakat yang lebih baik/maju seperti mandiri
mampu menentukan nasibnya sendiri dan menempuh berbagai
upaya bersama untuk mencapainya.
2. Pengembangan masyarakat sebagai metode
Artinya dipandang sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan.
Sebagai metode, pengembangan masyarakat menempatkan faktor
manusia sebagai subyek pembangunan, bukan obyek
pembangunan, ia dilibatkan secara maksimal dalam pengembangan
masyarakat. Untuk dapat mengembangkan secara maksimal dalam
pengembangan masyarakat maka diperlukan penggalian potensi
sumber daya manusia melalui pemberian bimbingan-bimbingan dan
pendidikan-pendidikan serta latihan-latihan keahlian praktis
tertentu dan bantuan teknis lainnya.
3. Pengembangan masyarakat sebagai suatu program
Artinya pengembangan masyarakat terlihat dari hasil sebagai
keluarannya (output). Hal ini jika dikaitkan dengan pembangunan
nasional, maka pengembangan masyarakat sebagai bagian integral
dari pembangunan nasional.Jadi titik berat pengembangan
69
masyarakat sebagai program adalah pencapaian tujuan/sasaran
kegiatan. Diantara sejumlah program nasional ada yang langsung
menyangkut kepentingan masyarakat. Pengembangan masyarakat
sebagai program dalam beberapa hal berlawanan dengan
pengembangan masyarakat sebagai suatu metode. Sebagai suatu
program, pengembangan masyarakat bisa saja dilakukan oleh
pemerintah atau lembaga di luar desa, tanpa partisipasi masyarakat
yang bersangkutan.
4. Pengembangan masyarakat sebagai suatu gerakan
Sebagai suatu gerakan, pengembangan masyarakat dipandang
sebagi suatu media pelembagaan pengembangan struktur organisasi
masyarakat. Pelembagaan ini tercapai apabila pengembangan
masyarakat dilaksanakan baik sebagai proses, metode dan program
dengan melibatkan seluruh warga masyarakat dalam setiap tahapan
pembangunan. Jadi pengembangan masyarakat sebagai gerakan
merupakan tingkatan atau kondisi yang paling tinggi, dimana warga
masyarakat berpartisipasi aktif dalam meningkatkan taraf
kehidupannya baik secara individual maupun secara kelompok atau
organisasi.
 
70
Buku cd 2007
Buku cd 2007
Buku cd 2007
Buku cd 2007
Buku cd 2007
Buku cd 2007
Buku cd 2007
Buku cd 2007
Buku cd 2007
Buku cd 2007
Buku cd 2007
Buku cd 2007
Buku cd 2007
Buku cd 2007
Buku cd 2007

More Related Content

Buku cd 2007

  • 3. “Community Development” Dalam Praktik Pekerjaan Sosial Penulis : Badrun Susantyo Penerbit : STKSPRESS Jl. Ir. H. Juanda 367 Bandung Telp. (022) 2504838 E-mail: stkspress@yahoo.com Layout : Drs. Bambang Sugeng, M.P. Desain Sampul : M. Oberlijn Siagian Cetakan Kedua : 2007 ISBN : 978-979-3467-32-4 Hak Cipta © 2007 dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotocopy, merekam, atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit.
  • 4. i KATA PENGANTAR Hingar bingar kegiatan pemberdayaan masyarakat baik yang dilakukan oleh pemerintah, LSM maupun organisasi non profit lainnya, tidak lepas dari metode Community Development. Community Development yang pada tataran lebih luas diterjemahkan atau dianalogkan dengan pengembangan/ pembangunan masyarakat, pengembangan komunitas, pengorganisasian dan pengembangan masyarakat, community work atau apapun penyebutannya, adalah merupakan upaya luhur guna meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat. Penggunaan istlah community development dalam buku ini sebatas untuk lebih menyederhanakan persepsi di kalangan umum. Namun lebih dari itu, penekanan community development dalam buku ini hanyalah sebuah “metoda”, khususnya dalam Praktik Pekerjaan Sosial. Sebagai salah satu metode praktik dalam Ilmu Pekerjaan Sosial (social work), tentunya, community development tidaklah mungkin “berjumawa”, berdiri sendiri dan bertarung langsung dalam upaya-upaya peningkatan derajat kesejahteraan masyarakat. Diperlukan metode-metode lain guna lebih melengkapi atau bahkan menggali potensi yang ada dalam metode ini. Sengaja, buku edisi kedua ini ditulis dalam dua bagian besar. Bagian pertama mengajak para sidang pembaca untuk mengenal keberadaan Pekerjaan Sosial sebagai sebuah Profesi, bukannya philantropy atau charity semata. Namun lebih dari itu, buku ini juga bertujuan untuk mengenalkan kepada para pembaca umumnya (di luar disiplin Ilmu Pekerjaan Sosial/Kesejahteraan Sosial) untuk lebih memahami Profesi Pekerjaan Sosial sebagai sebuah profesi yang kaya akan metode, ketrampilan dan juga teknik dalam berbagai pelayanan kemanusiaan. Pada Bagian Kedua, buku ini akan mencoba mengupas penerapan Community Development sebagai sebuah Metode dalam Ilmu Pekerjaan Sosial. Baik dari sisi prinsip, proses/langkah, strategi, teknik, bahkan trik-trik yang perlu dilakukan dalam upaya membawa masyarakat ke dalam kondisi yang
  • 5. ii lebih baik, sesuai fokus utama Praktik Pekerjaan Sosial, yaitu : problem solving dan social functioning. Kepada Sdr. Drs. Bambang Sugeng, MP tidak lupa penulis sampaikan beribu terima kasih atas telaahan serta editasi substansi buku ini. Juga kepada Sdr. Drs. Suradi, M.Si atas dukungan bahan-bahan guna penyusunan buku ini. Kepada Penerbit STKSPRESS secara khusus penulis sampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas penerbitan kembali buku ini. Kepada semua pihak yang tak mungin disebutkan satu persatu dalam buku ini (Sdr. Micho cs), yang telah berjerih payah dalam membidani publikasi buku ini, penulis haturkan ribuan terima kasih. Semoga edisi kali ini lebih bermanfaat. Bandung, Agustus 2007 Penulis,
  • 6. iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………… i DAFTAR ISI ………………………………………………………………. iii BAGIAN PERTAMA : PEKERJAAN SOSIAL SEBAGAI PROFESI BAB I HAKIKAT PEKERJAAN SOSIAL A. DEFINISI ……………………………………………………… 2 B. TUJUAN DAN FUNGSI PEKERJAAN SOSIAL ………… 5 C. PRINSIP DASAR PEKERJAAN SOSIAL …………………. 10 BAB II KERANGKA PENGETAHUAN, NILAI DAN KETRAMPILAN DALAM PEKERJAAN SOSIAL A. KERANGKA PENGETAHUAN …………………….………. 13 B. KERANGKA NILAI ………………………………………….. 14 C. KERANGKA KETRAMPILAN ……………………………… 20 BAB III FOKUS PEKERJAAN SOSIAL A. KEBERFUNGSIAN SOSIAL ……………………………….. 31 B. SISTEM SUMBER ……………………………………………. 33 C. SISTEM DASAR ……………………………………………… 35 BAGIAN KEDUA : “COMMUNITY DEVELOPMENT” DALAM PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL BAB IV KONSEPSI, KEDUDUKAN, DSN PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN MASYARAKAT A. PENGERTIAN ………………………………………………. 37 B. PENGEMBANGAN MASYARAKAT …………………….. 39
  • 7. iv C. PRINSIP-PRINSIP PEKERJAAN SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT ……….… 44 D. TUJUAN DAN FUNGSI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ……………….…… 46 BAB V PERANAN, STRATEGI DAN PROSES PENGEMBANGAN MASYARAKAT A. PERANAN DAN STRATEGI ………………………….….. 51 B. PROSES PENGEMBANGAN MASYARAKAT …….….… 58 BAB VI MODEL, PENDEKATAN DAN PANDANGAN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT A. MODEL PENGEMBANGAN MASYARAKAT …….…… 61 B. BEBERAPA PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT ……………….…… 64 C. BEBERAPA PANDANGAN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT ……………….…… 68 BAB VII KETRAMPILAN DAN TEKNIK DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT A. BEBERAPA KETRAMPILAN POKOK ………….…..…… 71 B. BEBERAPA TEKNIK DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT …………….……… 78 PUSTAKA SUMBER INDEKS LAMPIRAN
  • 8. 1 BAB I HAKIKAT PEKERJAAN SOSIAL Permasalahan yang dihadapi oleh setiap individu, kelompok/komunitas, maupun organisasi berbeda-beda dan upaya mengatasi permasalahanpun berbeda-beda pula sesuai dengan kemampuan masing-masing. Namun terdapat individu, kelompok, maupun organisasi yang tidak mampu memecahkan pernasalahannya sendiri sehingga perlu bantuan dari pihak lain. Pemberian pertolongan oleh pihak lain (keluarga atau orang) terdekat kepada individu, kelompok/komunitas, maupun organisasi tersebut terkadang memiliki keterbatasan juga, maka diperlukan pihak lain yang ada disekitar kita seperti pekerja sosial masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat pemerintah, organisasi-organisasi kemasyarakatan, institusi- institusi tertentu, dan lain sebagainya. Dalam kapasitas sebagai individu atau organisasi yang dimintai bantuan oleh orang atau sekelompok orang dalam membantu mengatasi permasalahan yang mereka hadapi maka, perlu memiliki pengetahuan, keterampilan, atau aturan-aturan tertentu yang memudahkan dalam proses pemberian bantuan. Adapun pengetahuan, keterampilan, ataupun aturan-aturan yang perlu dimiliki adalah berkaitan dengan bagaimana seorang atau sekelompok orang yang kita bantu dapat menjalankan tugas atau peran yang harus dilakukan pada lingkungan sosialnya.
  • 9.   2 Pekerjaan sosial sebagai salah satu profesi yang dapat mewarnai para pemberi bantuan dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan profesi pekerjaan sosial berkompetensi dalam meningkatkan keberfungsian sosial individu, kelompok maupun masyarakat. Istilah keberfungsian sosial menjadi ciri khas tersendiri pada profesi pekerjaan sosial. Dengan fokus keberfungsian sosial, maka perlu memahami hakekat pekerjaan sosial (pengertian, karakteristik, tujuan, fungsi dan prinsip), kerangka dalam pekerjaan sosial (pengetahuan, keterampilan dan nilai), hakikat keberfungsian sosial, sistem sumber dan sistem dasar, sedangkan dalam prakteknya, perlu memahami bidang-bidang garapan khusus, yang memungkinkan profesi ini bisa terlibat, dan peranan- peranan yang dapat ditampilkan oleh seorang pekerja sosial. A. DEFINISI Dinamika kehidupan yang terus berubah menuju kepada kompleksitas permasalahan atau kebutuhan maka perlu upaya pertolongan yang lebih komprehensif kepada perorangan, kelompok atau masyarakat. Pekerjaan sosial sebagai profesi yang dapat membantu mereka untuk terlibat dalam dinamika tersebut. Namun sebelum melakukan praktik pertolongan perlu dipahami dulu pendapat para ahli pekerjaan social yang mengemukakan pengertian pekerjaan social. Berdasarkan pada salah satu pengertian pekerjaan sosial (Zastrow; 1999, 5) dikatakan bahwa: Social work is the profesional activity of helping individuals, groups, or communities to enchance or restore their capacity for social functioning and to create societal conditions favorable to their goals. Pengertian tersebut pada prinsipnya menyebutkan bahwa pekerjaan sosial adalah aktivitas profesional, yang ditujukan untuk
  • 10. 3 menolong orang, baik sebagai individu, kelompok, organisasi maupun masyarakat, dalam rangka meningkatkan atau memperbaiki kemampuan berfungsi sosial mereka dan menciptakan kondisi/lingkungan sosial yang memungkinkan orang tersebut mencapai tujuan hidupnya. Menurut definisi diatas, terdapat lima unsur utama dalam pekerjaan sosial, yaitu sebagai berikut: (1) pekerjaan sosial sebagai kegiatan profesional, (2) kegiatannya ditujukan untuk memberikan pertolongan; (3) klien yang ditolong adalah individu, kelompok, dan masyarakat; (4) intervensi pertolongan pekerjaan sosial diarahkan kepada peningkatan dan atau perbaikan kemampuan berfungsi sosial klien dan mewujudkan lingkungan yang mampu memberikan kesempatan, pelayanan, dan sumber; (5) tujuan pekerjaan sosial adalah menciptakan individu, kelompok, dan masyarakat yang mampu mencapai tujuan hidupnya. Dengan demikian pekerjaan sosial berkepentingan menyediakan pelayanan sosial yang efektif dan manusiawi untuk membantu individu, keluarga dan masyarakat agar mereka dapat berfungsi sosial dan meningkatkan kualitas hidupnya. Berdasarkan uraian diatas maka karakteristik pekerjaan sosial, sebagai berikut: 1. Konsep pertolongan dalam pekerjaan sosial adalah menolong orang agar mereka mampu menolong dirinya sendiri (to help people to help themselves), artinya: a. Kegiatan pertolongan pekerjaan sosial diarahkan kepada kepentingan klien, bukan untuk kepentingan pekerja sosial yang bersangkutan. b. Dalam melakukan kegiatannya tersebut, pekerja sosial senantiasa bekerjasama dengan klien (working with client) yang
  • 11.   4 memungkinkan adanya partisipasi aktif dari klien, sehingga pada akhirnya klien tersebut dapat mandiri. 2. Pekerjaan sosial menggunakan pendekatan dualistik, yakni bahwa intervensinya diarahkan kepada orang dan juga lingkungannya. Ketika seseorang mengalami permasalahan, maka pendekatan pekerjaan sosial adalah: a. Kepada orang (klien), pekerja sosial berupaya untuk melakukan peningkatan kemampuan dan kemauan klien yang mencakup aspek intelektual, sosial emosional, spiritual dan fisik yang memungkinkan klien dapat berfungsi sosial dengan baik. b. Kepada lingkungan, pekerja sosial berupaya untuk menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan klien dapat mengembangkan keberfungsian sosialnya. 3. Praktik pekerjaan sosial mengarah pada tiga tingkatan intervensi, yakni: a. Praktik mikro, yaitu kegiatan pekerjaan sosial yang diarahkan untuk menangani permasalahan yang dialami individu-individu dan keluarga. b. Praktik meso, yaitu kegiatan pekerjaan sosial yang diarahkan terhadap kelompok. c. Praktik makro, yakni kegiatan pekerjaan sosial yang diarahkan terhadap organisasi dan masyarakat untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang diinginkan. 4. Ilmu pekerjaan sosial merupakan eclectic sciencies, yaitu merupakan ilmu yang dalam proses pembentukannya mengambil / mengadaptasi bagian-bagian / konsep-konsep yang relevan dari
  • 12. 5 berbagai disiplin ilmu lain seperti sosiologi, psikologi, psikologi, psikiatri dan lain-lain. B. TUJUAN PEKERJAAN SOSIAL Selanjutnya, dalam tujuan pekerjaan sosial terdapat tugas-tugas yang harus dilakukan, sebagai berikut: 1. Membantu orang memperluas kompetensinya dan meningkatkan kemampuan mereka untuk menghadapi serta memecahkan permasalahannya. 2. Membantu orang memperoleh sumber-sumber. 3. Membuat organisasi-organisasi yang responsif dalam memberikan pelayanan sosial. 4. Memberikan fasilitas interaksi antara individu dengan individu lain dalam lingkungan mereka. 5. Mempengaruhi interaksi antara organisasi-organisasi dengan institusi-institusi. 6. Mempengaruhi kebijakan sosial maupun kebijakan lingkungan (Hepworth dan Larsen; 1982, 16). C. FUNGSI PEKERJAAN SOSIAL Dengan demikian maka fungsi-fungsi pekerjaaan sosial, adalah: 1. Membantu orang meningkatkan dan menggunakan kemampuannya secara efektif untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan memecahkan masalah-masalah sosial yang mereka alami. Tugas pekerja sosial adalah sebagai berikut: a. Mengidentifikasi dan mengadakan kontak dengan orang yang memerlukan pertolongan.
  • 13.   6 b. Memberikan pemahaman, dorongan dan dukungan pada orang yang dilanda krisis. c. Memberikan kesempatan kepada orang yang bermasalah untuk mengemukakan masalahnya. d. Memberikan beberapa alternatif pemecahan masalahnya. e. Melakukan konfrontasi dengan tujuan agar mau melakukan perubahan. f. Mengajarkan keterampilan-keterampilan yang membantu mereka dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. 2. Mengkaitkan orang dengan sistem-sistem sumber. Adapun tugas yang dilakukan oleh pekerja sosial adalah sebagai berikut: a. Mengidentifikasi orang yang tidak tahu atau belum mampu mengakses sistem sumber. b. Memberikan informasi tentang sistem-sistem sumber yang ada, dan cara memanfaatkannya c. Membantu orang mengatasi masalah-masalah praktis dalam memanfaatkan sistem-sistem sumber. d. Membantu membuat referal untuk menggunakan sistem sumber. e. Bertindak sebagai advokat bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memanfaatkan sistem sistem sumber. f. Membantu dalam menstimulasi sistem-sistem sumber agar lebih sensitif terhadap orang-orang yang membutuhkan pelayanan. g. Membantu orang untuk bertindak sebagai sistem sumber dengan membentuk sistem-sistem sumber baru, dimana mereka didalamnya saling berkaitan satu sama lain. 3. Memberikan fasilitas interaksi dengan sistem-sistem sumber. Pekerja sosial melakukan tugas sebagai berikut:
  • 14. 7 a. Memberikan informasi kepada sistem-sistem sumber kemasyarakatan mengenai pemasalahan sosial yang terjadi. b. Memberikan pelayanan konsultasi bagi sistem-sistem sumber kemasyarakatan, dan memberitahukan tentang metoda-metoda pelayanan yang berbeda-beda. c. Mengkonsultasikan sistem-sistem informal untuk membantu mereka memperoleh pelayanan-pelayanan yang ada maupun yang baru dari sistem sumber kemasyarakatan. d. Membawa orang ke dalam salah satu sistem sumber kemasyarakatan atau mengkaitkan orang dengan beberapa sistem sumber kemasyarakatan agar mereka dapat masuk pada perencanaan dan pendekatan yang terkoordinasi bagi keluarga maupun individu. e. Bertindak sebagai advokat dari konsumen untuk menghadapi sistem-sistem sumber kemasyarakatan. f. Mengorganisasikan para konsumen untuk menjadi anggota organisasi-organisasi yang baru atau membantu organisasi yang ada agar berbuat serupa. g. Menengahi dan memecahkan konflik-konflik diantara sistem- sistem sumber informal, anggota-anggota organisasi maupun sistem-sistem sumber kemasyarakatan. 4. Memberikan fasilitas interaksi di dalam sistem-sistem sumber. Kegiatan pekerja sosial adalah sebagai berikut: a. Menyalurkan informasi dari satu bagian sistem kepada bagian sistem yang lainnya. b. Disamping memberikan pelayanan netral, pekerja sosial juga memihak dan mengadvokasi bagi kepentingan-kepentingan salah satu sistem yang kurang memiliki kekuatan yaitu tidak
  • 15.   8 mampu membuat keputusan maupun tidak mendapatkan kepuasan dari pelaksanaan peranannya dalam sistem tersebut. c. Membantu mengorganisasikan sub-sub sistem dan bertindak sebagai advokat mereka dan bekerja untuk merubah bagian- bagian sistem tersebut. d. Bertindak sebagai konsultan bagi anggota-anggota sistem dalam menjelaskan permasalahan-permasalahan yang dialami dan menyarankan perubahan pada prosedur operasional maupun peranan yang harus dilaksanakan. e. Memberikan keterampilan-keterampilan kepada anggota- anggota sistem agar mereka mampu melaksanakan peranannya secara memuaskan dan mampu melaksanakan peranan-peranan baru di dalam sistem itu. f. Mencoba memasukkan anggota-anggota baru ke dalam sistem atau mendorong anggota-anggota yang sudah ada untuk keluar agar sistem dapat meningkatkan fungsionalitasnnya. g. Melibatkan anggota-anggota sistem didalam mendiagnosa permasalahan-permasalahan interaksi diantara mereka melalui pendiskusian kesulitan-kesulitan yang mereka alami atau menciptakan mekanisme umpan balik dengan sistem itu sendiri. 5. Mempengaruhi kebijakan sosial. Adapun tugas pekerja sosial adalah sebagai berikut: a. Mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang permasalahanan dan kondisi yang perlu diubah melalui perubahan kebijakan sosial. b. Mendorong badan-badan sosial di mana ia bekerja atau sistem- sistem kemasyarakatan maupun organisasi-organisasi formal agar mengambil sikap dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi sekelompok warga masyarakat.
  • 16. 9 c. Membentuk sistem-sistem baru untuk melaksanakan perubahan kebijakan sosial. d. Memberikan informasi kepada pembuat kebijakan sosial maupun sebagai advokat untuk mengadakan perubahan kebijakan sosial. e. Mendorong yang lainnya untuk menjadi advokat yang secara langsung berhubungan dengan pembuat kebijakan untuk melakukan perubahan. f. Menyusun pelayanan, program, draf/konsep peraturan dan proposal guna mengubah kebijakan dan menciptakan pelayanan yang dibutuhkan. g. Didalam bekerja sama dengan orang lain dapat menguji eksistensi hukum dan kebijakan-kebijakan administratif melalui keputusan-keputusan pengadilan dalam memecahkan permasalahan yang spesifik. 6. Memeratakan atau menyalurkan sumber-sumber material. Dengan kegiatan pekerja sosial sebagai berikut: a. Menentukan kebutuhan dan ketepatan sumber-sumber serta menentukan orang-orang yang memenuhi persyaratan untuk memanfaatkan sumber tersebut. b. Membentuk suatu sistem sumber informal yang baru untuk orang-orang tertentu. c. Menentukan tempat adanya sumber atau persyaratan- persyaratan untuk memanfaatkan sumber. d. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada orang yang akan bertindak sebagai sistem sumber. e. Mempersiapkan orang untuk memanfaatkan sumber dan membantu mereka memanfaatkan sumber tersebut secara efektif.
  • 17.   10 f. Memonitor dan mensupervisi pemanfaatan sumber-sumber tersebut. 7. Memberikan pelayanan sebagai pelaksana kontrol sosial. Tugas pekerja sosial adalah sebagai berikut: a. Mensupervisi orang yang dicap bertingkah laku menyimpang (deviant behaviour). b. Menyelidiki laporan-laporan tentang adanya praktik-praktik penterlantaran dan penyiksaan. c. Memberikan lisensi kepada sumber-sumber yang memberikan fasilitas untuk menjamin pelayanan yang memadai bagi orang- orang yang membutuhkan. (Pincus dan Minahan; 1973, 15) D. PRINSIP DASAR PEKERJAAN SOSIAL Dalam melaksanakan tujuan maupun fungsi pekerjaaan sosial, maka terdapat prinsip-prinsip dasar pekerjaan sosial yang harus digunakan pada saat memberikan pertolongan kepada klien, yaitu sebagai berikut: 1. Penerimaan (acceptance), pekerja sosial harus menerima klien apa adanya. 2. Individualisasi (individualization), bahwasanya klien merupakan pribadi yang unik yang harus dibedakan dengan yang lainnya. 3. Sikap tidak menghakimi (non-judgemental attitude), pekerja sosial harus mempertahankan sikap tidak menghakimi terhadap kedudukan apapun dari klien dan tingkah laku klien. 4. Rasional (rationality), pekerja sosial memberikan pandangan yang obyektif dan faktual terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi serta mampu mengambil keputusan. 5. Empati (emphaty), kemampuan memahami apa yang dirasakan orang lain / klien.
  • 18. 11 6. Ketulusan/kesungguhan (genuiness), terutama dalam komunikasi verbal. 7. Kejujuran (impartiality), tidak menghadiahi atau tidak merendahkan seseorang dan kelompok (tidak menganakemaskan atau menganaktirikan). 8. Kerahasiaan (confidentiality), pekerja sosial harus menjaga kerahasiaan data/informasi perihal klien kepada orang lain. 9. Mawas diri (self awareness), pekerja sosial harus sadar akan potensinya dan keterbatasan kemampuannya. a. Prinsip-prinsip ini menjadikan pekerja sosial memiliki pegangan pada saat melakukan praktik pekerjaan sosial. Dengan adanya prinsip ini tidak menjadikan pekerja sosial kaku, namun ada kondisi- kondisi khusus yang harus disikapi oleh perilaku-perilaku khusus pula.
  • 19.   12
  • 20. 13 BAB II KERANGKA PENGETAHUAN, NILAI DAN KETERAMPILAN DALAM PEKERJAAN SOSIAL A. KERANGKA PENGETAHUAN Pekerjaan sosial dikatakan sebagai suatu profesi karena didalamnya termuat kriteria profesi, yaitu dalam melaksanakan kegiatan profesionalnya senantiasa berlandaskan kepada kerangka pengetahuan, nilai dan keterampilan (body of knowledge, values and skills). Menurut Morales dan Sheafor (1983) bahwa kerangka pengetahuan pekerjaan sosial meliputi pengetahuan tentang pekerja sosial (dirinya, profesi atau disiplin ilmunya, dan metodologi intervensi pertolongannya); orang yang akan dibantu (client’s) (kepribadiannya, sikap dan perilakunya, masalah yang dialaminya, motivasinya, dan sebagainya); dan lingkungan sosial (keluarga, kelompok, organisasi, masyarakat, kebudayaan, dan sebagainya). Sedangkan kerangka nilai pekerjaan sosial, meliputi: nilai yang berkaitan dengan pekerjaan sosialnya (nilai pribadi pekerja sosial sebagai penyembuh profesional dan nilai profesionalnya berupa disiplin ilmunya dan kode etik profesinya); nilai tentang klien; dan nilai lingkungan sosialnya (nilai lembaga dan nilai masyarakatnya). Selanjutnya kerangka keterampilan pekerjaan sosial meliputi keterampilan sebagai pekerja sosial profesional (keterampilan pertolongan dasar, relasi awal, observasi, komunikasi empati, dan sebagainya) dan keterampilan untuk berinteraksi dan membantu orang
  • 21.   14 (keterampilan memahami dan memecahkan masalah klien dan keterampilan membuat klien dapat melaksanakan fungsi sosialnya). Jadi disamping memiliki kerangka pengetahuan, nilai dan keterampilan, pekerjaan sosial dapat dikatakan sebagai suatu profesi karena didalamnya memiliki kode etik yang mengatur atau menjadi pedoman dalam melakukan praktik pekerjaan sosial. Kode etik inipun dirumuskan oleh para profesi pekerjaan sosial untuk membuat aturan main bagi para pekerja sosial. Profesi ini semakin ajeg karena adanya partisipasi masyarakat yang juga bisa memberikan penilaian baik berupa penghargaan maupun hukuman. Selain itu pertemuan rutin antara asosiasi lembaga pendidikan pekerjaan sosial, asosiasi pekerja sosialnya dan lembaga tempat para pekerja sosial bekerja semakin memperkuat bahwa pekerja sosial merupakan profesi yang jelas aturan mainnya, B. KERANGKA NILAI Semua profesi memiliki acuan nilai-nilai yang memberikan arah, tujuan, arti, makna bagi orang-orang yang melakukan praktik di dalamnya. Demikian juga makna dan arah tujuan pekerjaan sosial berakar pada sistem-sistem nilai yang diterima dan dihargai oleh profesi itu, akan tetapi perlu diingat bahwa nilai-nilai profesional tidaklah terpisah dan berbeda dari nilai-nilai kemasyarakatan. Berbicara tentang nilai, tidak akan terlepas pula untuk membicarakan tentang etik, karena etik itu sendiri memiliki hubungan yang erat dengan nilai. Hal itu seperti yang dikatakan oleh Levy (1993: 1) bahwa, etika merupakan aplikasi dari nilai dalam relasi dan transaksi manusia . Jadi semua aktivitas manusia dalam masyarakat senantiasi diatur dan diarahkan oleh nilai baik nilai yang bersumber dari teori/disisplin ilmu, negara, agama, masyarakat, institusi, dan pribadi
  • 22. 15 pekerja sosial. Bahkan Heffernan, dkk (1997: 42) menyatakan bahwa, etika merupakan produk/hasil dari nilai. Nilai berhubungan dengan sesuatu yang dianggap baik dan diinginkan. Jadi ia bersifat kualitatif. Nilai ditanamkan secara emosi dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai dimana pekerja sosial harus mengarahkan tindakan-tindakannya dalam mengadakan relasi profesional pekerjaan sosial, sedangkan etik merupakan peraturan penuntun perilaku dan menaruh perhatian tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh (Bisman, 1994:42). Meskipun tidak semua pekerja sosial dari pelbagai bangsa dan lingkungan kebudayaan selalu menerima dan menjunjung tinggi nilai- nilai yang sama, namun nilai-nilai yang dirumuskan berikut ini barangkali dapat mewakili nilai-nilai yang dapat diterima secara umum oleh pekerja sosial : 1. Orang-orang hendaknya memiliki akses (kedekatan) kepada sumber- sumber yang dibutuhkan guna menghadapi tantangan-tantangan dan kesulitan-kesulitan kehidupan serta akses kepada kesempatan- kesempatan guna mewujudkan potensi-potensi mereka sepanjang hidup mereka. 2. Setiap orang adalah unik dan memiliki martabat dan harga diri yang melekat padanya. 3. Orang-orang memiliki hak akan kebebasan sepanjang kebebasan itu tidak bertentangan atau mengganggu hak orang lain. 4. Perwujudan dari nilai-nilai di atas hendaknya menjadi tanggungjawab bersama antara individu-individu dengan masyarakat sebagai satu-kesatuan. Jika dipertimbangkan satu-persatu maka nilai-nilai, amanat dan tujuan-tujuan di atas tidaklah menunjukkan hal yang unik bagi pekerjaan sosial. Sebab profesi atau pihak-pihak lain pun mungkin menganut nilai-nilai yang sama. Namun jika nilai-nilai tersebut
  • 23.   16 dipandang sebagai kesatuan yang utuh, maka ini jelas merupakan identitas unik bagi profesi ini. Nilai-nilai pekerjaan sosial banyak dikemukakan oleh para ahli diantaranya Morales and Sheafor (1983; 195), bahwa ada 4 komponen, yaitu; 1. Nilai pekerjaan sosial yang meliputi nilai pribadi dan profesional 2. Nilai orang/pribadi yang mencakup nilai klien 3. Nilai lembaga di mana pekerja sosial bekerja 4. Nilai masyarakat artinya pekerja sosial harus bekerja sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa sumber nilai profesi adalah nilai masyarakat. Nilai-nilai pekerjaan sosial yang lain yaitu, Dubois dan Miley (1992: 41-42) menyatakan bahwa dalam pekerjaan sosial terdapat empat nilai profesional pekerja sosial, yaitu (a) nilai tentang orang; (b) nilai tentang masyarakat; (c) nilai dalam prilaku profesional; dan (d) standar praktek etik. Hal yang sama dikemukakan oleh Hepwoth dan Larsen (1992) tentang nilai-nilai pekerjaan sosial dalam hal fokus intervensi pekerjaan sosial, yaitu terbagi menjadi (a) nilai tentang konsepsi klien; (b) nilai tentang konsepsi masyarakat; dan (c) nilai tentang konsepsi interaksi antar manusia. Kemudian Zastrow (2000: 107 – 118) menyatakan adanya beberapa nilai dasar pekerjaan sosial, yaitu (a) menghargai harkat-martabat dan keunikan individu; (b) hak klien untuk menentukan dirinya sendiri; (c) kerahasiaan; (d) mengadvokasi dan melakukan aksi sosial terhadap berbagai penindasan; (e) tanggung jawab; dan (f) berorientasi kelembagaan; dan (g) menghargai agama dan kepercayaan orang lain. Pemahaman etika yang merupakan perwujudan filsafat perlu dicermati lebih jauh sebab etika pada prinsipnya merupakan sistem prinsip moral dan persepsi tentang benar atau salah. Oleh karena itu
  • 24. 17 etika pada hakekatnya menurut Barker (1987: 51) dalam The Social Work Dictionary mendefinisikan etika sebagai berikut: “Ethics: A system of moral principles and perceptions about right versus wrong and the resulting philosophy of conduct that is practiced by an individual, group, profession, or culture.” Berdasarkan pengertian tersebut, maka etika mengandung 5 unsur, yaitu (1) sistem sosial; (2) perwujudan filsafat; (3) membahas tentang benar dan salah; (4) pengendalian perilaku; dan (5) dilaksanakan oleh individu, kelompok, profesi dan kebudayaan. Atas dasar filosofis dan orientasi nilai, pekerjaan sosial menggunakan seperangkat prinsip-prinsip praktik etik yang membimbing dan membatasi tindakan-tindakan pertolongan yang dilakukan pekerja sosial. Prinsip-prinsip praktik etik tersebut dipandang sebagai kewajiban-kewajiban, standar-standar, tugas-tugas dan tanggung jawab untuk diterapkan pada semua relasi dan situasi pertolongan dengan klien, rekan kerja dan rekan profesional lainnya. Prinsip-prinsip ini akan mempermudah pekerja sosial dalam melibatkan diri dan berfungsi di dalam situasi yang sulit dan tertekan, juga ketika ia berhadapan dengan masalah-masalah yang tidak terpecahkan. Prinsip-prinsip dasar pekerjaan sosial adalah (a) menghargai dan mempermudah/ mewujudkan partisipasi klien; (b) menghargai keinginan klien atau menentukan nasib sendiri; dan (c) menghargai martabat dan harga diri klien. Sedangkan prinsip-prinsip dasar lainnya adalah (a) penerimaan (Acceptance) artinya Pekerja sosial harus dapat menerima klien secara apa adanya; (b) individualisasi (Individualization), bahwasanya klien merupakan pribadi yang unik yang harus dibedakan dengan yang lainnya; (c) sikap tidak menghakimi (Non-judmental attitude), pekerja sosial harus mempertahankan sikap non-judmental
  • 25.   18 terhadap kedudukan apapun dari klien dan tingkah laku klien; (d) rasional (Rationality), pekerja sosial memberikan pandangan yang obyektif dan faktual terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, serta mampu mengambil keputusan; (e) empati (Emphaty), kemampuan memahami apa yang dirasakan orang lain/ klien; (f) ketulusan/kesungguhan (Genuiness), terutama dalam komunikasi verbal; (g) kejujuran (Impartiality), tidak menghadiahi ataupun tidak merendahkan seseorang dan kelompok (tidak menganak-emaskan atau menganak-tirikan); (h) kerahasiaan (Confidentiality), pekerja sosial harus menjaga kerahasiaan data/informasi perihal klien kepada orang lain; dan (i) mawas diri (Self awareness), pekerja sosial harus sadar akan potensinya dan keterbatasan kemampuannya. Kesemuanya itu akan menolong Pekerja Sosial untuk mengakui bahwa tindakan yang terkait dengan prinsip-prinsip moral dan etik, tidak berarti harus mengikuti semua aturan moral yang umum secara kaku karena memang ada tingkah laku khusus yang perlu dilakukan atau dipilih oleh pekerja sosial dalam situasi dan kondisi-kondisi khusus. Prinsip-prinsip moral dan etik merupakan suatu jalan yang menuntut pekerja sosial melakukan suatu praktik pertolongan secara efektif. Kita selalu percaya bahwa dalam proses pertolongan sebagaimana juga dalam kehidupan ini, mengamati dan membuat pilihan-pilihan dengan atau atas dasar prinsip moral dan etik merupakan "upaya memperbaiki kedudukan manusia yang amat sukar". Prinsip-prinsip praktik etik dituangkan dalam kode etik profesi, dalam bentuk petunjuk-petunjuk dan kewajiban-kewajiban. Barker (1987:26) menyatakan bahwa kode etik merupakan pernyataan yang secara tegas atau terbuka yang berisi tentang nilai, prinsip, dan aturan suatu profesi yang mengatur perilaku anggotanya. Sedangkan Banks (1995:71) mengatakan bahwa kode etik merupakan semangat dan
  • 26. 19 standar etik yang merefleksikan harapan, keterampilan, dan praktek yang menjadi perhatian pekerjaan sosial. Berdasarkan kedua pengertian diatas maka kode etik pada prinsipnya mengandung unsur-unsur (a) pernyataan tegas dan terbuka yang disampaikan oleh profesi; (b) pernyataan yang berisi tentang semangat dan standar nilai, prinsip, maupun aturan; dan (c) bertujuan untuk mengatur perilaku anggotanya. O’Connor, et.al (1995, 222) menyatakan lima fungsi utama kode etik, yaitu, (a) Sebagai pedoman bagi perilaku profesional; (b) membantu menciptakan identitas profesional; (c) menyediakan ukuran yang mengatur diri sendiri; (d) melindungi klien dari praktisi-praktisi yang tidak kompeten; dan (e) melindungi pekerja sosial dari tuntutan hukum karena tuduhan malpraktek. The National Association of Social Workers (1996) tentang kode etik pekerja sosial yaitu: 1. Tanggungjawab Etis Pekerja Sosial Terhadap Klien, yaitu (a) Komitmen dengan klien; (b) Penentuan diri sendiri; (c) Menginformasikan hal-hal yang telah disetujui bersama; (d) Kompeten; (e) Kompeten dalam berbudaya dan perbedaan status sosial; (f) Terjadinya konflik; (g) Pribadi dan kerahasiaan; (h) Akses pada catatan klien; (i) Hubungan secara pribadi dengan klien; (j) Kontak fisik; (k) Pelecehan seksual; (l) Pergunakan bahasa yang biasa yang dipakai; (m) Pembayaran akan pelayanan; (n) Membantu klien yang kurang kapasitasnya dalam pengambilan keputusan; (o) Interupsi terhadap pelayanan; dan (p) Terminasi pelayanan. 2. Tanggung jawab Etis Pekerja Sosial terhadap Kolega, yaitu (a) Respek; (b) Kerahasiaan antara kolega; (c) Kerjasama interdisiplin; (d) Tidak overlap dalam bekerja dengan kolega; (e) Konsultasi; (f)
  • 27.   20 Rujukan pelayanan; (g) Tidak terjadi hubungan yang bersifat pribadi; (h) Pelecehan seksual; (i) Ketidakmampuan kolega; (j) Tidak kompeten kolega; dan (k) Tidak beretika dengan kolega. 3. Tanggung jawab etik pekerja sosial dalam praktek di berbagai bidang pelayanan, yaitu (a) Supervisi dan konsultasi; (b) Pendidikan dan pelatihan; (c) Evaluasi kinerja; (d) Catatan klien; (e) Tagihan; (f) Rujukan klien; (g) Administrasi; (h) Pengembangan staf dengan pendidikan lanjut; (i) Komitmen dengan pegawai; dan (j)Managemen pekerja. 4. Tanggung jawab Etis Pekerja Sosial sebagai profesional, yaitu (a) Kompetensi; (b) Diskriminasi; (c) Hal-hal pribadi; (d) Tidak jujur; (e) Ketidakmampuan; (f) Kesalah pahaman; (g) Suap; dan Berpengetahuan. 5. Tanggung jawab Etis Pekerja Sosial terhadap Profesi Pekerja Sosial, yaitu (a) Integritas profesi; (b) Evaluasi dan penelitian. 6. Tanggung jawab Etis Pekerja Sosial terhadap Masyarakat, yaitu (a) Kesejahteraan sosial; (b) Partisipasi; (c) Kedaruratan; dan (d) Aksi sosial dan politik. C. KERANGKA KETRAMPILAN Keterampilan dan teknik sering sekali disamakan pengertiannya dan agak sulit untuk dibedakan. Padahal apabila ditelaah definisinya menunjukkan bahwa keterampilan dan teknik adalah dua hal yang berbeda. Keterampilan adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan ilmu, metode dan teknik yang dipelajari untuk menangani dan mengatasi masalah klien. Sedangkan teknik adalah cara yang digunakan seseorang secara tepat untuk membantu, menangani, dan mengatasi masalah seseorang.
  • 28. 21 Dalam praktik pekerjaan sosial generalis, pekerja sosial memiliki enam kegiatan yang berkaitan dengan keterampilan umum (common generalist skills) dalam melakukan intervensi terhadap klien, antara lain: 1. Pekerja sosial harus memiliki persiapan sebelum melakukan intervensi, misalnya mendapatkan informasi dan membuat rencana. 2. Pekerja sosial harus mengetahui bagaimana cara berkomunikasi. 3. Pekerja sosial perlu menganalisa situasi masalah yang berkaitan dengan individu, kelompok, dan masayarakat. 4. Pekerja sosial harus mampu merumuskan kontrak dengan sistem klien 5. Pekerja sosial perlu membuat asumsi berbagai peranan yang berkenaan dengan permasalahan, apakah sebagai advocator, enabler, educator, manager, broker, dan mediator. 6. Pekerja sosial harus mampu menciptakan situasi yang stabil. Skill may be defined as the ability to use knowledge effectively and readily in execution or performance (Morales and Sheafor, 1983: 219). Keterampilan Pekerjaan Sosial dalam Praktik Mikro Ashman dan Hull (1993: 44-78) mengemukakan jenis keterampilan dan teknik pekerjaan sosial dalam praktik mikro, meso, dan makro. Keterampilan pekerja sosial dalam praktik mikro adalah bahwa pekerja sosial bekerja dengan individu-individu. Jenis-jenis keterampilan tersebut antara lain: 1. Pekerja sosial memiliki keahlian dalam menjalin hubungan yang baik dengan klien (establish a good worker / client relationship). 2. Berkomunikasi secara verbal dan non verbal (communication with client is obviously necessary to work with and help them). Adapun yang dimaksud dengan komunikasi verbal adalah pekerja sosial berbicara langsung dengan klien sedangkan non verbal adalah cara-cara
  • 29.   22 berkomunikasi yang tidak / tanpa diucapkan seperti melalui ekspresi wajah, gerakan-gerakan tangan, kontak mata, cara duduk dan sebagainya. 3. Keterampilan interpersonal. 4. Personal communication. Komunikasi personal sangat penting dalam praktik mikro, seperti yang dikemukakan oleh Ife (1995: 237) bahwa pekerja sosial harus mampu melakukan komunikasi personal dengan orang lain dengan melihat kapasitas untuk melakukan inisiatif pembicaraan, menyimpulkan pembicaraan, fokus pembicaraan, lingkungan sekitar, memperhatikan dengan seksama, menerjemahkan apa yang dikatakan klien, menerima apa adanya klien, dan bertanya dengan baik. 5. Keterampilan memberikan rasa hangat, empati, dan sungguh- sungguh. Rasa hangat ditunjukkan yang ditunjukan oleh pekerja sosial yaitu dengan cara menyampaikan suatu perasaan tentang minat, perhatian, kesejahteraan, dan afeksi terhadap individu lainnya. Empati diberikan oleh pekerja sosial tidak hanya menyampaikan pada klien tentang perasaan-perasaan klien akan tetapi memahami bagaimana dia merasakan. Rasa sungguh- sungguh dapat ditunjukkan dengan peranan profesional yang ditampilkan untuk mencapai tujuan pertolongan, seperti apa adanya/natural, spontan, terbuka dan perilaku-perilaku yang jujur. (Ashman and Hull, 1993: 49). 6. Keterampilan pekerja sosial dalam melakukan interview. Keterampilan pekerja sosial dalam melakukan interview tercermin dalam melakukan hubungan yang baik dalam pemecahan masalah klien dan perubahan-perubahan yang positif serta memaksimalkan kualitas kehidupan klien. (Ashman and Hull, 1993: 53).
  • 30. 23 Keterampilan Pekerjaan Sosial dalam Praktik Meso Keterampilan dalam praktik meso merupakan pelaksanaan pemberian pelayanan pada klien yang memadukan pengetahuan dan nilai-nilai sehingga tindakan yang ditampilkan merupakan suatu respon terhadap keinginan dan kebutuhan klien. Artinya suatu keterampilan dimaknai sebagai organisasi tingkah laku untuk mencapai tujuan tertentu dan diwujudkan dalam aktivitas tertentu pula. Betty Baer dan Ronald Federico membagi komponen keterampilan menjadi empat hal yaitu informasi dan asesmen, pengembangan dan penggunaan keprofesionalnya, aktifitas praktik dengan individu, kelompok, dan masyarakat, serta evaluasi. Keterampilan pekerja sosial dalam praktik meso sebagaimana dikemukakan Ashman dan Hull (1993: 103-113), bahwa keterampilan dan teknik tersebut ditujukan kepada kelompok untuk menyelesaikan tugas dan memfasilitasi penyembuhan kelompok. Keterampilan yang harus dimiliki pekerja sosial, antara lain: 1. Resolusi konflik (conflict resolution) Konflik merupakan suatu fakta kehidupan dan terjadi secara rutin dalam setiap relasi dengan dampak bisa positif atau negatif tergantung pada bagaimana menanganinya. Konflik muncul disebabkan kekuatan atau status yang berbeda, perbedaan kepribadian atau nilai dan sistem kepercayaan. Konflik cenderung dipandang sebagai hal yang negatif karena dianggap tidak mampu memecahkan masalah dan tidak mencapai keberhasilan. Frieser (1987) menyarankan empat langkah pemecahan masalah pada managemen konflik:
  • 31.   24 a. Recognizing conflict adalah mengenali konflik yang terjadi apakah diantara individu, kelompok yang disebabkan oleh reaksi personal, tegang, dan salah pengertian. b. Assessing conflict adalah pemahaman terhadap konflik terutama sumber, sebab yang mendahului, dan salah komunikasi yang menyebabkan konflik. c. Choosing a startegy and intervening adalah melakukan tawar menawar dan negosiasi serta metode-metode yang dirancang untuk mengatasi konflik. d. Win lose resolution strategy adalah strategi yang digunakan untuk mengatasi konflik dengan cara menyuruh setiap orang untuk aktif mendengarkan orang lain, role playing, membuat persamaan dan kesepahaman, serta mencoba mengidentifikasi tujuan bersama. 2. Model dan Pelatihan (Modelling and Coaching). Pekerja sosial dapat membuat modeling dalam sejumlah situasi yang berkaitan dengan keterampilan tertentu. Selain itu modeling ditujukan sebagai metode alternatif pemecahan masalah klien dan membantu klien mengembangkan cara merespon secara baik terhadap berbagai situasi masalah yang terjadi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam modeling ini adalah: a. Tingkatan perhatian atau kesadaran model oleh pengamat. b. Perhatian kembali pengamat terhadap perilaku model. c. Kemampuan pengamat untuk menampilkan perilaku yang diberikan model. d. Motivasi pengamat untuk menampilkan perilaku. Dalam praktik meso, modeling dapat dicapai melalui beberapa metode meliputi :
  • 32. 25 1). Menyuruh klien untuk memperhatikan dengan seksama perilaku model 2). Gambaran bagi pengamat mengapa perilaku model penting 3). Berikan peranan pengamat memainkan perilaku model untuk menjamin bahwa mereka paham dan dapat melakukannya. 4). Berikan pujian bagi keduanya untuk pengamat dan orang lain yang tampil sesuai perilaku yang diharapkan. 5). Berikan bagi pengamat secepatnya umpan balik yang korektif bila mereka mencoba perilaku yang baru. Umpan balik yang korektif atau umpan balik yang sederhana adalah satu unsur keerampilan yang disebut pelatihan (coaching). Dalam latihan, pekerja sosial bisa memilih untuk melakukan intervensi secepatnya sesudah klien terlibat dalam suatu perilaku. Jika perilaku diubah termasuk komunikasi verbal, pekerja sosil bisa memfokuskan pada proses pertolongan. 3. Pengembangan Tim (Team Building) Tim building dapat terjadi bila ada dorongan organisasi yang kuat untuk tim. Dorongan ini dapat terlihat melalui beberapa tujuan: a. Wadah tim dalam organisasi harus jelas. Tim harus mempunyai kebebasan untuk melakukan pertemuan sesuai dengan kebutuhan dan tidak selalu terhambat dengan aturan-aturan tertentu. b. Tim berjalan sesuai dengan tujuan, peranan, dan tanggung jawab, c. Pengambilan keputusan selalu melalui proses.
  • 33.   26 4. Konfrontasi (Confrontation) Dalam kelompok sangat penting di mana pekerja sosial harus mampu berhadapan dengan anggota lain sekalipun tidak setuju, dan pada tugas-tugas sosial menyuruh anggota kelompok bertanggung jawab bagi pemecahan masalah. Konfrontasi dalam kelompok-kelompok tugas adalah penting. 5. Konsultasi (Consultation) Pekerja sosial dapat menjadi seorang konsultan pada kelompok yang bertindak dalam suatu peranan kepemimpinan. Pekerja sosial dapat menerima semua pihak untuk mengatasi masalahnya. Contohnya, seorang ayah yang ingin mengkonsultasikan masalah anaknya yang kena obat-obatan terlarang. Bagaimana ayah tersebut menyikapi masalah itu sekarang dan di masa yang akan datang. 6. Koordinasi (Coordination) Fungsi koordinasi dalam pekerjaan sosial adalah meliputi dua hal, kolaborasi dan kerja tim (collaboration and teamwork). Untuk keberhasilan koordinasi bahwa semua orang / anggota kelompok memiliki tujuan yang sama. Tujuan bisa berhubungan dengan klien atau penyedia pelayanan pada populasi target. Ada harapan bahwa semua anggota kelompok yakin terjadi peningkatan jika koordinasi pelayanan dicapai. Keterampilan Pekerjaan Sosial dalam Praktik Makro Praktik makro merupakan bentuk praktik langsung yang dirancang dalam rangka melakukan perubahan secara terencana pada tingkat organisasi atau komunitas. Minahan (1987: 83), menyatakan
  • 34. 27 bahwa praktik makro berkaitan erat dengan empat aplikasi dasar; planning, administration, evaluation, dan community organizing. Selanjutnya, menurut Barker (1987: 122) memberikan definisi praktik makro dalam empat dimensi; target satu kegiatan tiga, adanya perubahan atau peningkatan kebijakan dan prosedur di mana distribusi sumber pada klien harus ada aturan, pengembangan sumber-sumber baru bila kebutuhan klien tidak terpenuhi, dan membantu klien untuk mendapatkan hak-haknya. Dalam melaksanakan tugasnya di masyarakat luas, pekerja sosial memiliki beberapa keterampilan umum dalam praktik makro, antara lain: 1. Membangun dan memelihara organisasi (building and maintaining organizations). Rubin dan Rubin (1986: 37) mengidentifikasi sejumlah keterampilan teknis dalam membangun dan memelihara organisasi, yaitu mencari dana, mengelola dana, mengumpulkan informasi melalui survei, dan menggunakan taktik khusus untuk mencapai suatu tujuan. 2. Mengevaluasi hasil (evaluating outcomes) Dalam pelaksanaan kegiatan, klien selalu mengharapkan pekerja sosial tampil baik terutama dalam melakukan pendekatan- pendekatan. Oleh karena itu, ada dua pendekatan utama dalam mengevaluasi hasil: evaluasi praktik dan evaluasi program. Evaluasi praktik memfokuskan diri pada evaluasi efektifitas atau hasil dari apa yang pekerja sosial lakukan sendiri antara lain dalam bentuk rancangan subjek tunggal, skala pencapaian tugas, survei kepuasan klien atau skala pencapaian tugas. Evaluasi program adalah menyatakan efektifitas dan hasil program keseluruhan. Teknik evaluasi program bisa meliputi asesmen kebutuhan, asesmen evaluasi, analisa proses, analisa hasil, dan analisa cost-benefit.
  • 35.   28 3. Negosiasi (negotiating) Negosiasi adalah suatu proses dimana sekurang-kurangnya dua individu berpartisipasi dalam suatu interaksi face to face agar mencapai persetujuan yang dapat diterima kedua belah pihak. Seringkali negosiasi ini memunculkan hal yang bertolak belakang. Contohnya pekerja sosial berpikir klien membutuhkan pakaian seharga Rp. 10000,- sedangkan supervisor anda cukup menilai pakaian klien seharga Rp. 5000,- Fisher dan Ury (1981) menyarankan penggunaan empat langkah prinsip negosiasi: pisahkan masalah dari orang yang terlibat, perhatian langsung pada kepentingan bersama, memberikan keuntungan bersama, kedua belah pihak harus setuju menggunakan kriteria objektif untuk mengambil suatu keputusan dalam suatu isu / masalah. 4. Mediasi (mediating) Mediasi merupakan suatu proses yang digunakan untuk memecahkan kembali perselisihan antara dua yang bertentangan. Contohnya kasus perceraian suami istri. Masalahnya adalah adanya ketidaksetujuan dalam hal-hal tertentu seperti pengasuhan dan pemeliharaan anak. 5. Mempengaruhi para pengambil keputusan (influencing decision makers) Cara yang dilakukan untuk mempengaruhi para pengambil keputusan adalah dengan menggunakan beberapa strategi dengan cara: petisi, menggunakan media, edukasi terhadap pengambil keputusan, persuasi, konfrontasi, kolaborasi, menulis surat.
  • 36. 29 6. Asesmen kebutuhan (needs assessment) Asesmen kebutuhan digunakan untuk berbagai tujuan terutama untuk mengembangkan pelayanan khusus atau program. Barker (1987) menggambarkan asesmen kebutuhan sebagai berikut: penilaian yang sistematis dalam mengevaluasi klien, masalah, keberadaan sumber, solusi dan hambatan terhadap pemecahan masalah. Selanjutnya ada 5 metode penting dalam melakukan asesmen kebutuhan: pendekatan informan, pendekatan forum masyarakat, pendekatan melalui tingkat penyembuhan, dan pendekatan indikator sosial serta studi lapangan. 7. Bekerja dengan koalisi. Koalisi merupakan suatu aliansi berbagai fraksi atau kelompok ideologi dalam suatu masyarakat yang bersama-sama untuk mencapai tujuan.
  • 37.   30
  • 38. 31 BAB III FOKUS PEKERJAAN SOSIAL A. KEBERFUNGSIAN SOSIAL Pekerjaan sosial dalam pelaksanaan kegiatannya memiliki konsentrasi atau fokus yaitu terhadap Keberfungsian Sosial baik secara individu maupun kolektif. Adapun keberfungsian sosial ini memiliki beberapa pengertian diantaranya disampaikan oleh Garvin dan Seabury (1984, vii) yang mengatakan bahwa: Social Functioning is encompasses all the way that we respons to the demands of our social environment – an environment that include family, peers, organizations, communities, as well as entire society. Sedangkan Leonora S. de Guzman (1982, 9) mengatakan bahwa: Social functioning is the expression of the interaction between man and his social environment: it is the product of his activity as he related to his surrounding. Jadi inti dari kedua pengertian diatas bahwa social functioning lebih cenderung dikaitkan dengan bagaimana intekrasi orang dengan lingkungan sosialnya. Dalam hal ini pekerjaan sosial mencoba membantu orang yang tidak atau kurang mampu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya sehingga bisa melaksanakan tugas-tugas dalam
  • 39.   32 kehidupannya, memecahkan permasalahannya ataupun memenuhi kebutuhannya. Dikaitkan dengan pemenuhan tugas-tugas kehidupannya, maka social functioning tidak akan lepas berbicara mengenai peranan sosial (social role) dengan status sosial (social statute). Artinya perlu adanya keseimbangan atau balancing diantara keduanya. Oleh karena itu keberfungsian sosial dikatakan sebagai perbandingan antara peranan sosial yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya sesuai dengan status sosialnya dengan peranan sosial yang nyata yang dilaksanakan oleh orang tersebut. Jika memenuhi harapan berarti berfungsi sosial atau sebaliknya maka dikatakan kurang atau tidak berfungsi sosial. Ada beberapa pandangan mengenai social functioning, yaitu sebagai berikut: 1. Social functioning dipandang sebagai kemampuan melaksanakan peranan sosial. 2. Social functioning dipandang sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan. 3. Social functioning dipandang sebagai kemampuan untuk memecahkan permasalahan sosial yang dialaminya. Menurut Skdmore, et. al (1991:19), keberfungsian social terbagi ke dalam tiga dimensi dan saling berkaitan, yaitu (1) Kepuasan berperanan dalam kehidupan (satisfaction with role in life), (2) Relasi positif dengan orang lain (Positive relationships with others), dan (3) Perasaan menyukai atau menghargai diri (Fellings of self worth). Sementara itu, Dubois and Milley (1992; 14) membuat klasifikasi keberfungsian social menjadi: 1. Keberfungsian social adaptif, yaitu sistem yang mampu memanfaatkan sumber-sumber personal, interpersonal dan institusional pada saat dihadapkan pada masalah, kebutuhan ataupun isu.
  • 40. 33 2. Keberfungsian social rentan, yaitu menggambarkan keberfungsian social yang dialami oleh populasi yang berresiko, yang sangat rentan terhadap masalah keberfungsian walaupun belum muncul kepermukaan. Misal, pengangguran atau anak terlantar memiliki resiko tidak mampu berfungsi social karena tidak mempunyai kesempatan ekonomi dan pendidikan. 3. Keberfungsian social tidak adaptif, yaitu masalah yang dihadapi semakin parah karena kemampuan system tidak mampu menjalankan fungsinya dan tidak mampu berinisiatif mengatasi perubahan. Misal, individu yang depresi dan kesepian, keluarga yang mengalami masalah komunikasi, dsb. Jadi Keberfungsian social ini harus dilihat dalam konteks struktur social yang luas, baik sebagai masalah atau solusi yang dilakukan. B. SISTEM SUMBER Dalam membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi klien, profesi pekerjaan sosial harus mengkaitkan kebutuhan dengan sistem sumber. Adapun yang dimaksud dengan sistem sumber adalah segala sesuatu yang sudah digali, dikelola, dimanfaatkan, didayagunakan dan dikembangkan untuk mendukung keberfungsian sosial, memenuhi kebutuhan, dan memecahkan masalah-masalah. Beberapa ahli mengklasifikasikan sistem sumber ke dalam beberapa jenis, salah satunya diungkapkan oleh Pincus dan Minahan (1973) menjadi: 1. Sistem sumber informal atau alamiah, misal keluarga, teman, tetangga, dsb. 2. Sistem sumber formal, misal persatuan orang tua murid, organisasi- organisasi profesi, dsb.
  • 41.   34 3. Sistem sumber kemasyarakatan, misal, sekolah, perpustakaan, lembaga bantuan hukum, dsb. Keberadaan sistem sumber sangatlah potensial untuk membantu dalam pemecahan masalah , namun terkadang ada keterbatasan – keterbatasan dalam memanfaatkan sistem sumber itu sendiri. Pincus dan Minahan (1973), mengidentifikasi keterbatasan berdasarkan klasifikasinya: 1. Sistem sumber informal: seseorang tidak terkait dengan sistem sumber informal, seseorang sungkan untuk meminta bantuan kepada keluarga, sumber informal tidak dapat memberikan bantuan yang diminta seseorang, dan sebagainya. 2. Sistem sumber formal: organisasi formal tidak ada dan tidak tahu di lingkungannya, orang enggan memasuki organisasi yang ada karena ketidaktahuan sejauhmana kemampuan organisasi tersebut membantu mereka, tidak setuju dengan tujuan organisasi tersebut, takut tidak akan diterima, kurang memiliki pengetahuan atau keterampilan untuk berpartisipasi dalam organisasi tersebut dan sumber yang ada tidak menyediakan yang dibutuhkan oleh mereka. 3. Sistem sumber kemasyarakatan: tidak tersedia atau terbatasnya atau tidak ada sistem sumber; secara geografis, psikologis, atau kultural tidak memungkinkan untuk dijangkau; ada sistem sumbernya tapi berbeda model pelayanannya. Sehubungan dengan fungsi dan tugas pekerja sosial berkaitan dengan sistem sumber, telah dijelaskan dalam fungsi pekerjaan sosial. Sedangkan berkaitan dengan bagaimana sumber-sumber harus digali, diolah, dikelola, dikembangkan dan dilestarikan terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh pekerja sosial, yaitu: identifikasi
  • 42. 35 sumber meliputi inventarisasi sumber, klasifikasi sumber, seleksi sumber, dan analisis sumber; mobilisasi sumber; pendayagunaan sumber; pengembangan dan penganekaragaman sumber; dan pelestarian sumber. C. SISTEM DASAR PEKERJAAN SOSIAL Dalam proses membantu individu, kelompok ataupun masyarakat agar mau dan mampu melaksanakan keberfungsian sosialnya, pekerja sosial menggunakan sistem dasar pekerjaan sosial. Sistem ini membantu pekerja sosial dalam mengidentifikasi dan menganalisis baik permasalahan, kegiatan, ataupun sasarannya dengan cara dipetakan atau digambarkan. Oleh karena itu sistem ini disebut sebagai tools of identification dan tools of analysis. Jenis sistem dasar dalam pekerjaan sosial terbagi ke dalam: 1. Sistem pelaksana perubahan, yaitu orang yang memiliki keahlian berbeda dengan sistem kerja yang berbeda pula; pekerja sosial dengan institusi pelayanan sosial; dan pekerja sosial dengan orang lain. Dalam proses pelayanannya, pekerja sosial bisa berposisi sebagai pelaksana perubahan dan lembaga pelayanan sosial dikatakan sebagai lembaga pelaksana perubahan. Artinya terjadi ikatan antara pekerja sosial dengan lembaga secara kebijakan atau peraturannya dimana pekerja sosial bekerja atau bisa juga pekerja sosial tidak terikat oleh lembaga atau independen. 2. Sistem klien, yaitu klien-klien dan pihak-pihak lain yang memerlukan pertolongan, bantuan atau pelayanan dari pekerja sosial agar klien dapat berfungsi sosial. Jadi melalui sistem klien ini akan diperoleh gambaran tentang siapa saja klien yang akan dihadapi, apa
  • 43.   36 fokus masalahnya, aspek-aspek perilaku mana yang akan dirubah atau diperbaiki. 3. Sistem sasaran, yaitu semua pihak/hal (individu, kelompok, masyarakat, lembaga, peraturan, sistem nilai, prosedur pelayanan, persyaratan pelayanan, dan lain-lain) yang hendak dipengaruhi atau diubah agar tujuan-tujuan pelayanan dapat tercapai secara optimal. Sistem sasaran ini terkadang tumpang tindih dengan sistem klien sehingga perlu adanya kecermatan dalam menentukan prioritas masalah yang akan segera ditangani. 4. Sistem kegiatan, yaitu dengan siapa dan dalam bentuk – bentuk kegiatan serta cara-cara bagaimana suatu kegiatan akan dilakukan untuk menolong klien. Upaya memetakan sistem dasar dalam pekerjaan sosial sangat penting dan perlu dilakukan oleh pekerja sosial bersama-sama klien dan pihak-pihak lain yang terkait, sehingga muncul istilah stakeholder analysis. Hal ini dilakukan karena yang paham dan tahu secara mendetail masalahnya adalah klien dan pihak-pihak lain yang terkait tersebut. Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa sistem dasar dalam pekerjaan sosial bersifat interchangeable atau dapat berubah-ubah posisi atau status, misal klien asalnya sebagai sistem klien berubah menjadi sistem sasaran, dan lain sebagainya.
  • 44. 37 BAB IV KONSEP, KEDUDUKAN DAN PRINSIP-PRINSIP DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT A. PENGERTIAN Dalam praktik pekerjaan sosial ada tiga metoda utama yang digunakan yaitu metoda pekerjaan sosial dengan individu dan keluarga (Social Case Work), metoda pekerjaan sosial dengan kelompok (Social Group Work) dan metoda pekerjaan sosial dengan masyarakat (Community Organization/ Community Development). Metoda-metoda tersebut terbagi dalam tiga tingkatan sesuai dengan cakupan pelayanannya, yaitu tingkat mikro untuk social case work, tingkat messo untuk social group work, dan tingkat makro untuk community development/community organization. Di dalam pelaksanaan intervensi ke tiga metoda tersebut saling berkaitan, misal pada intervensi praktik makro biasanya berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan, masalah- masalah, isu-isu yang timbul dari tingkat mikro dan messo. Kegiatan pada tiga tingkatan tersebut merupakan kegiatan profesional karena dalam pelaksanaannya selalu didukung oleh teori-teori pekerjaan sosial, model-model praktik pekerjaan sosial, dan nilai dan etik pekerjaan sosial. Bagian ini akan membahas tentang praktik makro atau metoda pekerjaan sosial dengan masyarakat. Sebutan pekerjaan sosial dengan masyarakat bermacam-macam, misal community organisation /community development (Gilbert & Specht, 1981), bimbingan sosial masyarakat
  • 45.   38 (Soetarso, 1991), pekerjaan kemasyarakatan (community work), penyembuhan sosial (social treatment), perawatan sosial (social care) atau perawatan masyarakat (community care). (Twelvetrees, 1993; Payne, 1986). Jadi apabila ada yang menggunakan salah satu sebutan seperti di atas masih memiliki arti yang sama. Metoda pekerjaan sosial yang diarahkan pada masyarakat atau komunitas dikenal dengan sebutan pengorganisasian dan pengembangan masyarakat (CO/CD). Dalam praktik makro ini ada dua hal pokok yang perlu dipahami, yaitu pengorganisasian masyarakat (Community Organization) dan pengembangan masyarakat (Community Development). Pengorganisasian masyarakat (Community Organization) menurut Arthur Dunham adalah sebagai proses dinamis untuk mewujudkan penyesuaian yang semakin efektif antara kebutuhan dan sumber-sumber kesejahteraan sosial. Sedangkan pengembangan masyarakat (community development) terdiri dari dua konsep, yaitu pengembangan dan masyarakat. Secara singkat pengembangan atau pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial budaya. Sedangkan masyarakat menurut Mayo (1998; 162) dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu: 1. Masyarakat sebagai tempat bersama, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai contoh sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan. 2. Masyarakat sebagai kepentingan bersama, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. sebagai contoh, kepentingan bersama pada masyarakat etnis minoritas atau kepentingan bersama berdasarkan identifikasi kebutuhan tertentu seperti halnya pada kasus para orang tua yang memiliki anak
  • 46. 39 dengan kebutuhan khusus (anak cacat phisik) atau bekas para pengguna pelayanan kesehatan mental. Istilah masyarakat dalam pekerjaan sosial dengan istilah masyarakat pada umumnya diterapkan terhadap pelayanan-pelayanan sosial kemasyarakatan yang membedakannya dengan pelayanan- pelayanan sosial kelembagaan. Pelayanan perawatan lanjut usia (lansia) yang diberikan di rumah mereka dan/atau di pusat-pusat pelayanan yang terletak di suatu masyarakat merupakan contoh pelayanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan perawatan lansia di rumah sakit khusus lansia adalah contoh pelayanan sosial kelembagaan. Dengan demikian pekerjaan sosial dengan masyarakat dapat didefinisikan sebagai metoda yang memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya (AMA, 1993). Menurut Twelvetrees (1991;1), pekerjaan sosial dengan masyarakat adalah “the process of assisting ordinary people to improve their own communities by undertaking collective actions.” Secara khusus pekerjaan sosial dengan masyarakat berkenaan dengan upaya pemenuhan kebutuhan atas orang yang tertindas, baik yang disebabkan oleh kemiskinan maupun oleh kelas sosial, suku, jender, jenis kelamin, usia dan kecacatan. Dalam buku ini selanjutnya akan dipergunakan istilah community development, pengembangan masyarakat atau praktik makro untuk pengorganisasian dan pengembangan masyarakat. B. PENGEMBANGAN MASYARAKAT Masalah yang berkembang pasca krisis semakin meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Permasalahan-permasalahan individu telah berkembang menjadi permasalahan bersama yang perlu
  • 47.   40 memperoleh perhatian masyarakat secara keseluruhan terutama upaya pemecahan permasalahan. Hal ini disebabkan dampak dari permasalahan individu akan terasa oleh masyarakat itu sendiri. Upaya-upaya yang dilakukan secara bersama oleh masyarakat tentu akan berbeda dengan upaya yang dilakukan oleh individu dalam menghadapi permasalahannya. Misal dalam analisa kesulitan yang dialami oleh individu, alternatif tindakan yang akan direncanakan, strategi intervensi yang akan dilaksanakan, dan sebagainya. Jadi dalam hal ini masyarakat pada lokasi tertentu mengorganisasikan diri dan memikirkan tindakan dalam menghadapi masalah dan kesulitan bersama. Ini menggambarkan tema dari pengembangan masyarakat sebagaimana yang dikemukakan Lee J. Carry (1970), bahwa: The organization of people in locality to deal themselves with problems and opportunities close at hand that affect their lives and pattern of living is teh central theme of community. Pengembangan masyarakat (community development) tergantung pada inisiatif dan kemampuan masyarakat lokal dalam menentukan alternatif pemecahan masalah. Kemampuan ini ditunjang oleh keterlibatan dari anggota masyarakat dalam kegiatan intervensi, sehingga perlu pembinaan kesadaran dan motivasi pada masyarakat lokal untuk mewujudkan kemampuan mereka dalam usaha bersama memperoleh kehidupan yang lebih baik. Lee J. Carry (1970) lebih lanjut mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai “the deliberate attempt by people to work together to guide the future of communities and the development of a corresponding set of techniques for assisting community people in such process.” Pengembangan masyarakat merupakan upaya mengorganisir dari orang dalam masyarakat lokal terhadap berbagai kondisi yang mempengaruhi secara
  • 48. 41 negatif atau mengancam kehidupan mereka. Kekuatan penyebab masalah berada secara eksternal yang pengaruhnya sangat dirasakan orang per orang dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, gagasan pengembangan masyarakat sebetulnya dapat diterapkan dalam konteks masyarakat lokal yang berbeda, baik masyarakat perkotaan dan industri atau pedesaan dan praindustri dalam merespon berbagai kesulitan spesifik dari masing-masing masyarakat tersebut saat ini. Berdasarkan pada jenis tantangan dan kesulitan yang berbeda dan spesifik pada masyarakat tertentu, menuntut adanya arah kegiatan yang berbeda, oleh sebab itu proses pengembangan masyarakat perlu memperhatikan karakteristik dan perkembangan masyarakat lokal. Menurut Carry (1970) bahwa dalam konteks masyarakat desa atau masyarakat yang kurang berkembang (rural atau less development context), proses pengembangan masyarakat cenderung untuk membantu menimbulkan industrialisasi dan modernisasi. Sementara itu dalam konteks masyarakat yang lebih berkembang, proses tersebut bisa merupakan cara untuk membantu mengatasi akibat dari industrialisasi dan modernisasi. Pengembangan masyarakat menggambarkan suatu kesatuan yang terdiri dari beberapa aspek penting. Keberadaan aspek tersebut sebagai persyaratan terlaksananya upaya pengembangan masyarakat. Aspek-aspek tersebut adalah: 1. Masyarakat sebagai unit kegiatan. Masyarakat sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam suatu lokasi yang sama dan mereka terikat kepentingan dan nilai-nilai yang sama. Terdapat berbagai jenis masyarakat yang ditentukan oleh berbagai tingkatannya dari masyarakat lingkungan desa, kota dan negara. Anggota masyarakat memiliki konsen dan kepentingan untuk kemajuan kehidupan yang lebih baik yang menuntut
  • 49.   42 keterlibatan dari semua anggota. Pengembangan masyarakat menempatkan masyarakat sebagai unit dari kegiatan mereka. 2. Inisiatif dan kepemimpinan lokal Di dalam masyarakat terdapat sumber daya manusia yang dapat dikembangkan untuk kepentingan masyarakat dalam mewujudkan keinginan akan perubahan dalam masyarakat lokal, harus memanfaatkan inisiatif dan kepemimpinan secara internal dari sumber-sumber tersebut. Untuk itu pengembangan sosial masyarakat harus dilaksanakan dalam rangka menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab serta meningkatkan kemampuan orang melalui pelatihan kepemimpinan, manajemen, dan pengorganisasian masyarakat. 3. Penggunaan sumber-sumber dari dalam dan luar (strenght and capabilitirs). Sumber mengacu kepada berbagai kekuatan yang bermanfaat untuk mengadakan perubahan. Orang perlu memahami terlebih dahulu sumber-sumber apa yang tersedia, dimana dan bagaimana cara menggunakannya untuk memberikan manfaat yang optimal. Sumber tersebut bisa berasal dari dalam (within) atau luar (outside) masyarakat lokal yang menggunakannya secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan. 4. Partisipasi secara inklusif Partisipasi secara inklusif berarti memberikan kesempatan kepada semua kelompok dan segmen dalam masyarakt untuk berpera serta dalam pengembangan masyarakat. Struktur masyarakat harus terbuka (open-ended) yang memungkinkan kelompok-kelompok baru menjadi bagian dari proses yang berlangsung. Diharapkan bahwa semua anggota masyarakat bisa memainkan peranannya dalam pengembangan masyarakat.
  • 50. 43 5. Pendekatan terorganisisr, komprehensif sebagai konsep peyerta dari partisipasi inklusif. Pendekatan komprehensif merupakanupaya untuk memusatkan perhatian terhadap situasi masyarakat yang luas tidak membatasi pada isu-isu dan perhatian tertentu yang dihadapi dengan menggunakan sekumpulan sumber-sumber yang luas. Pendekatan komprehensif mencoba untuk memperluas usaha masyarakat dalam pendekatan yang digunakan, kepentingan masyarakat. Pendekatan ini akan menghasilkan partisipasi yang luas dalam arti keterlibatan yang intensif. 6. Proses pengambilan keputusan harus secara demokratis, rasional, dan diorientasikan pada pencapaian tugas yang khusus. Demokratis berarti keputusan diambil dengan suara mayoritas dan tiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menyalurkan pendapat mereka. Tidak ada kewenangan tunggal dan terpusat dalam pengambilan keputusan, namun perlu rasional untuk melihat sejauhmana keputusan tersebut logis dan dapat dilaksanakan. Keputusan diarahkan dalam pelaksanaan tugas yang spesifik. Pada dasarnya unsur pokok pengembangan masyarakat adalah perencanaan dan integrasi masyarakat. Perencanaan itu merupakan proses untuk menentukan, menemukan dan memperjelas arti dari suatu masalah, meningkatkan hakekat ruang lingkup masalah, mempertimbangkan berbagai upaya yang diperlukan guna penanggulangannya, memilih upaya yang kiranya dapat dilaksanakan serta mengadakan yang sesuai dengan upaya yang telah dipilih. Integrasi masyarakat, yaitu suatu proses dimana menerapkan sikap-sikap dan praktik-praktik kerjasama menghasilkan berbagai peningkatan dalam mengidentifikasi dengan masyarakat secara
  • 51.   44 keseluruhan, minat dan partisipasi dalam urusan masyarakat dan saling menukar nilai-nilai dan sarana-sarana untuk mengutarakan nilai-nilai. C. PRINSIP-PRINSIP PEKERJAAN SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT Secara teoritis, pekerjaan sosial dengan masyarakat dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan pekerjaan sosial yang dikembangkan dari dua perspektif yang berlawanan, yakni aliran kiri (sosialis-Marxis) dan kanan (kapitalis-demokratis) dalam spektrum politik. Dewasa ini, terutama dalam konteks menguatnya sistem ekonomi pasar bebas dan swastanisasi kesejahteraan sosial, pekerjaan sosial dengan masyarakat semakin menekankan pentingnya swadaya dan keterlibatan informal dalam mendukung strategi penanganan kemiskinan dan penindasan, maupun dalam memfasilitasi dan pemberdayaan masyarakat. Secara garis besar, Twelvetrees (1991) membagi perspektif pekerjaan sosial dengan masyarakat ke dalam dua bingkai yaitu pendekatan profesional dan pendekatan radikal. Kedua perspektif tersebut memiliki prinsip-prinsip sendiri yang relatif berbeda satu sama lain. Pendekatan profesional menunjuk pada upaya untuk meningkatkan kemandirian dan memperbaiki sistem pemberian pelayanan dalam kerangka relasi-relasi sosial. Sementara itu, berpijak pada teori struktural neo-Marxis, feminisme, dan analisis anti-rasis, pendekatan radikal lebih terfokus pada upaya mengubah ketidakseimbangan relasi-relasi sosial yang ada melalui pemberdayaan kelompok-kelompok lemah, mencari sebab-sebab kelemahan mereka, serta menganalisis sumber-sumber ketertindasannya. Sebagaimana diungkapkan oleh Payne (1995; 166), “This is the type of approach which supports minority ethnic communities, for example, in
  • 52. 45 drawing attention to inequalities in service provision and in power which lie behind severe deprivation.” Seperti digambarkan pada Tabel 1, dua pendekatan tersebut dapat dipecah lagi ke dalam beberapa perspektif sesuai dengan beragam jenis dan tingkat praktik pekerjaan sosial dengan masyarakat. Sebagai contoh, pendekatan fungsional dapat diberi label sebagai perspektif (yang) tradisional, netral dan teknikal. Sedangkan pendekatan radikal dapat diberi label sebagai pespektif transformational (Dominelli, 1990; Mayo, 1998). Sedangkan Frank dan Ruth Young (dalam Lee J. Cary, 1970) berpendapat bahwa asas-asas dalam pengembangan masyarakat meliputi : 1. Bahwa masyarakat berkembang secara bertahap dan kumulatif tanpa banyak penyimpangan-penyimpangan. 2. Perkembangan secara bertahap dan kumulatif itu berlaku juga di semua masyarakat baik yang kecil, sedang, maupun yang besar sekalipun. 3. Pertumbuhan lembaga-lembaga secara interen identik dengan kelancaran komunikasi dengan pihak luar. 4. Arah dan pertumbuhan suatu masyarakat selalu tertuju pada partisipasi yang lebih besar di dalam struktur sosial nasional atau yang lebih luas. 5. Jumlah penduduk dari suatu masyarakat itu bertambah sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat secara proporsional.
  • 53.   46 Tabel 1 Dua Perspektif Pengembangan Masyarakat Sumber: diadaptasi dari Mayo (1998: 166). D. TUJUAN DAN FUNGSI PENGEMBANGAN MASYARAKAT Pada dasarnya tujuan umum pengembangan masyarakat adalah menciptakan dan mengembangkan suatu penyesuaian yang efektif antara sumber-sumber kesejahteraan sosial dengan kebutuhan- kebutuhan kesejahteraan sosial. Sedangkan tujuan khusus dari pengembangan masyarakat itu sendiri adalah: Perspektif Prinsip Profesional (Tradisional, Netral & Teknikal) - Meningkatkan inisiatif masyarakat, termasuk kemandirian - Memperbaiki pemberian pelayanan sosial dalam kerangka relasi sosial yang ada Radikal (Transfor- masional) - Meningkatkan inisiatif masyarakat, memperbaiki pemberian pelayanan sosial - Pemberdayaan masyarakat guna mencari akar penyebab keterindasan dan diskriminasi - Mengembangkan strategi dan membangun kerja sama dalam melakukan perubahan sosial sebagai bagian dari upaya mengubah relasi sosial yang menindas, diskriminatif dan eksploitatif.
  • 54. 47 1. Memperoleh data dan fakta yang cukup sebagai dasar untuk perencanaan dan tindakan yang sehat. 2. Memulai mengembangkan dan merubah program-program dan usaha-usaha kesejahteraan sosial untuk memperoleh penyesuaian yang lebih baik antara sumber-sumber dan kebutuhan. 3. Meningkatkan standar pekerjaan sosial untuk meningkatkan efektivitas kerja dari lembaga-lembaga. 4. Meningkatkan dan memberikan fasilitas interelasi dan meningkatkan koordinasi anatar organisasi, kelompok, dan individu-individu yang terlibat dalam program dan usaha kesejahteraan sosial. 5. Mengembangkan pengertian umum daripada masalah-masalah, kebutuhan kesejahteraan sosial, tujuan-tujuan, program-program dan metode-metode pekerjaan sosial. 6. Mengembangkan dukungan dan patisipasi masyarakat dalam aktivitas kesejahteraan sosial. Adapun beberapa fungsi pengembangan masyarakat sebagai metoda dalam pekerjaan sosial, yaitu: 1. Untuk memperoleh dan memelihara adanya dasar-dasar faktual yang lengkap bagi penyusunan perencanaan dan pelaksanaan. Fakta-fakta yang harus diidentifikasi oleh pekerja sosial, yaitu: (a) ciri-ciri dan luasnya masalah, (b) ciri-ciri dan luasnya sumber- sumber yang tersedia, dan (c) ciri-ciri dan luasnya usaha kesejahteraan sosial. 2. Memulai mengembangkan, merubah dan mengakhiri program dan usaha kesejahteraan sosial. Bahwa aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan program kesejahteraan sosial merupakan pusat kegiatan pengembangan masyarakat. Oleh karen itu pengembangan masyarakat berfungsi secara langsung
  • 55.   48 mempengaruhi pola-pola usaha kesejahteraan sosial suatu masyarakat. Kegiatan mengembangkan program meliputi: (a) mengorganisir atau reorganisasi sesuatu badan atau lembaga sosial, (b) mengadakan perubahan-perubahan terhadap program-program yang telah ada, (c) memadukan dua atau lebih lembaga-lembaga sosial yang ada atau mengatur kerja sama antara organisasi yang hampir bersamaan fungsinya, (d) mengakhiri suatu lembaga dan program kesejahteraan sosial, (e) mengakhiri atau mencegah pengembangan program kesejahteraan sosial, apabila dipandang tidak sehat. Pengembangan program tidak hanya menyangkut aspek peningkatan, melainkan menyangkut aspek pencegahan, (f) merencanakan dan melaksanakan perpaduan program-program di suatu bidang tertentu, (g) merencanakan suatu program kesepakatan yang memadai bagi suatu masyarakat. 3. Menciptakan, mempertahankan dan meningkatkan standar kesejahteraan sosial dan meningkatkan efektifitas dan efisiensi usaha – usaha kesejahteraan sosial dan lembaga-lembaga sosial. Aspek yang penting dalam fungsi ini adalah (a) menetapkan kriteria untuk menentukan pola-pola pelaksanaan yang baik dan (b) membantu lembaga-lembaga dan petugas untuk memenuhi kriteria tersebut di salam praktik. 4. Mengembangkan dan memberikan fasilitas interelasi dan meningkatkan koordinasi antara oorganisasi-organisasi, kelompok- kelompok dan individu-individu yang terlibat di dalam program dan usaha kesejahteraan sosial. 5. Mengembangkan pengertian yang baik dari seluruh warga masyarakat tentang kebutuhan-kebutuhan kesejahteraan sosial, sumber-sumber, tujuan-tujuan, usaha-usaha, metode dan standar setiap lembaga, setiap program, bahkan setiap profesi membutuhkan pengertian masyarakat tentang tujuan, fungsi, status
  • 56. 49 dan sebagainya, dengan adanya pengertian masyarakat maka akan timbul dukungan terhadap program kesejahteraan sosial. 6. Mengembangkan dukungan dan partisipasi di dalam kegiatan kesejahteraan sosial. Bahwa lembaga-lembaga pemerintah memperoleh biaya dari pajak masyarakat dan lembaga-lembaga swasta memperoleh biaya dari bantuan usaha-usaha swasta atau perorangan. Keenam fungsi diatas satu sama lain berhubungan erat dan tidak boleh dipisah-pisahkan, satu sama lain saling melengkapi dan pekerjaan sosial tidak hanya melakukan salah satu fungsi saja.
  • 57.   50
  • 58. 51 BAB V PERANAN, STRATEGI DAN PROSES DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT A. PERANAN DAN STRATEGI Paradigma generalis dapat memberi petunjuk mengenai fungsi kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat serta menunjukkan peranan-peranan dan strategi-strategi sesuai dengan fungsi tersebut. Mengacu pada Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994), ada beberapa strategi dalam pengembangan masyarakat. Strategi tersebut disesuaikan dengan peranan pekerja sosial dalam melakukan pengembangan masyarakat. Lima peran di bawah ini sangat relevan diketahui oleh para pekerja sosial yang akan melakukan pengembangan masyarakat, meliputi : 1. Fasilitator Dalam literatur pekerjaan sosial, peranan fasilitator sering disebut sebagai pemungkin (enabler). Keduanya bahkan sering dipertukarkan satu sama lain. Seperti dinyatakan Parsons, Jorgensen dan hernandez (1994; 188), “The traditional role of enabler in social work implies education, facilitation and promotion of interaction and action.” Selanjutnya Barker (1987) memberi definisi pemungkin atau
  • 59.   52 fasilitator sebagai tanggung jawab untuk membantu klien menjadi mampu menangani tekanan situasional atau transisional. Strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut meliputi: pemberian harapan, pengurangan penolakan dan ambivalensi, pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan, pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan aset-aset sosial, pemilahan masalah menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya (Barker, 1987:49). Pengertian ini didasari oleh visi pekerjaan sosial bahwa “setiap perubahan terjadi pada dasarnya dikarenakan oleh adanya usaha-usaha klien sendiri, dan peranan pekerja sosial adalah memfasilitasi atau memungkinkan klien mampu melakukan perubahan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.” (Parsons, Jorgensen, dan Hernandez, 1994). Adapun tugas-tugas yang dapat dilakukan oleh pekerja sosial: a. Mendefinisikan keanggotaan atau siapa yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan b. Mendefinisikan tujuan keterlibatan. c. Mendorong komunikasi dan relasi, serta menghargai pengalaman dan perbedaan-perbedaan. d. Memfasilitasi keterikatan dan kualitas sinergi sebuah sistem yaitu menemukan kesamaan dan perbedaan. e. Memfasilitasi pendidikan, yaitu membangun pengetahuan dan keterampilan. f. Memberikan model atau contoh dan memfasilitasi pemecahan masalah bersama, yaitu mendorong kegiatan kolektif. g. Mengidentifikasi masalah-masalah yang akan dipecahkan. h. Memfasilitasi penetapan tujuan
  • 60. 53 i. Merancang solusi-solusi alternatif. j. Mendorong pelaksanaan tugas. k. Memelihara relasi sistem. l. Memecahkan konflik. 2. Broker Dalam pengertian umum, seorang broker membeli dan menjual saham dan surat berharga lainnya di pasar modal. Seorang broker berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dari transaksi tersebut sehingga klien dapat memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Pada saat klien menyewa seorang broker, klien meyakini bahwa broker tersebut memiliki pengetahuan mengenai pasar modal, pengetahuan yang diperoleh terutama berdasarkan pengalamannya sehari-hari. Dalam konteks pekerajaan sosial dengan masyarakat, peran pekerja sosial sebagai broker tidak jauh berbeda dengan peran broker di pasar modal. Seperti halnya di pasar modal, dalam pekerjaan sosial dengan masyarakat terdapat klien atau konsumen. Namun demikian, pekerja sosial yang menjadi broker mengenai kualitas pelayanan sosial di sekitar lingkungannya menjadi sangat penting dalam memenuhi keinginan kliennya memperoleh keuntungan maksimal. Dalam proses pengembangan masyarakat, ada tiga prinsip utama dalam melakukan peranan sebagai broker: a. Mampu mengidentifikasi dan melokalisir sumber-sumber kemasyarakatan yang tepat. b. Mampu menghubungkan konsumen atau klien dengan sumber secara konsisten. c. Mampu mengevaluasi efektifitas sumber dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan klien.
  • 61.   54 Prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan makna broker seperti telah dijelaskan di muka. Peranan sebagai broker mencakup menghubungkan klien dengan barang-barang dan jasa dan mengontrol kualitas barang dan jasa tersebut. Dengan demikian ada tiga kata kunci dalam pelaksanaan peran sebagai broker, yaitu menghubungkan (linking), barang-barang dan jasa (goods and services) dan pengontrolan kualitas (quality control). Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994: 226-227) menerangkan ketiga konsep di atas satu per satu: b. Linking adalah proses menghubungkan orang dengan lembaga- lembaga atau pihak-pihak lainnya yang memiliki sumber- sumber yang diperlukan. Linking tidak sebatas hanya memberi petunjuk kepada orang mengenai sumber-sumber yang ada. Lebih dari itu, ia juga meliputi memperkenalkan klien dan sumber referal, tindak lanjut, pendistribusian sumber, dan menjamin bahwa barang-barang dan jasa dapat diterima oleh klien. c. Goods meliputi obyek-obyek yang nyata, seperti makanan, uang, pakaian, perumahan, obat-obatan. Sedangkan services mencakup keluaran pelayanan lembaga yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan hidup klien, semisal perawatan kesehatan, pendidikan, pelatihan, konseling, pengasuhan anak. d. Quality control adalah proses pengawasan yang dapat menjamin bahwa produk-produk yang dihasilkan lembaga memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan. Proses ini memerlukan monitoring yang terus menerus terhadap lembaga dan semua jaringan pelayanan untuk menjamin bahwa pelayanan memiliki mutu yang dapat dipertanggungjawabkan setiap saat.
  • 62. 55 Dalam proses pengembangan masyarakat, ada dua pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki pekerja sosial: 1. Pengetahuan dan keterampilan melakukan asesmen kebutuhan masyarakat (community needs assesment), yang meliputi: (1) jenis dan tipe kebutuhan, (2) distribusi kebutuhan, (3) kebutuhan akan pelayanan, (4) pola-pola penggunaan pelayanan, dan (5) hambatan-hambatan dalam menjangkau pelayanan. 2. Pengetahuan dan keterampilan membangun konsorsium dan jaringan antar organisasi. Kegiatan ini bertujuan untuk: (1) memperjelas kebijakan-kebijakan setiap lembaga, (2) mendefinisikan peranan lembaga-lembaga, (3) mendefinisikan potensi dan hambatan setiap lembaga, (4) memilih metode guna menentukan partisipasi setiap lembaga dalam memecahkan masalah sosial masyarakat, (5) mengembangkan prosedur guna menghindari duplikasi pelayanan, dan (6) mengembangkan prosedur guna mengidentifkasi dan memenuhi kekurangan pelayanan sosial. 3. Mediator Pekerja sosial sering melakukan peran mediator dalam berbagai kegiatan pertolongannya. Peran ini sangat penting dalam paradigma generalis. Peran mediator diperlukan terutama pada saat terdapat perbedaan yang mencolok dan mengarah pada konplik antara berbagai pihak. Pekerja sosial dapat memerankan sebagai fungsi kekuatan ketiga untuk menjembatani antara anggota kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam melakukan peraan mediator meliputi kontrak perilaku, negosiasi, pendamai pihak ketiga, serta berbagai macam resolusi konflik. Dalam mediasi,
  • 63.   56 upaya-upaya yang dilakukan pada hakekatnya diarahkan untuk mencapai solusi menang-menang (win-win solution). Hal ini berbeda dengan peran sebagai pembela dimana bantuan pekerja sosial diarahkan untuk memenangkan kasus klien atau membantu klien memenangkan dirinya sendiri. Compton dan Galaway (1989:511) memberikan beberapa teknik dan keterampilan yang dapat digunakan dalam melakukan peran mediator: a. Mencari persamaan nilai dari pihak-pihak yang terlibat konflik. b. Membantu setiap pihak agar mengakui legitimasi kepentingan pihak lain c. Membantu pihak-pihak yang bertikai dalam mengidentifikasi kepentingannya. d. Hindari situasi yang mengarah pada munculnya kondisi menang dan kalah. e. Berupaya untuk melokalisisr konflik ke dalam isu, waktu, dan tempat yang spesifik. f. Membagi konflik ke dalam beberapa isu. g. Membantu pihak-pihak yang bertikai untuk mengakui bahwa mereka lebih memiliki manfaat jika melanjutkan sebuah hubungan ketimbang terlibat terus dalam konflik. h. Menfasilitasi komunikasi dengan cara mendukung mereka agar mau berbicara satu sama lain. i. Gunakan prosedur-prosedur persuasi. 4. Pembela Dalam praktik pekerjaan sosial dengan masyarakat, seringkali pekerja sosial harus berhadapan dengan sistem politik dalam rangka menajmin kebutuhan dan sumber yang diperlukan oleh klien atau dalam melaksanakan tujuan-tujuan pengembangan
  • 64. 57 masyarakat. Manakala pelayanan dan sumber-sumber sulit dijangkau oleh klien, pekerja sosial harus memainkan peranan sebagai pembela (advocate). Peran pembelaan atau advokasi merupakan salah satu praktik pekerjaan sosial yang bersentuhan dengan kegiatan politik. Peran pembelaan dapat dibagi dua: advokasi kasus (case advocacy) dan advokasi kausal (cause advocacy) (DuBois dan Miley,1992; Parsons, Jorgensen dan Hernandez, 1994). Apabila pekerja sosial melakukan pembelaan atas nama seorang klien secara individual, maka ia berperan sebagai pembela kasus. Pembelaan kausa terjadi manakala klien yang dibela pekerja sosial bukanlah individu melainkan sekelompok anggota masyarakat. Rotblatt (1978) memberikan beberapa contoh yang dapat dijadikan acuan dalam melakukan peran pembela dalam pekerjaan sosial dengan masyarakat: a. Keterbukaan, yaitu membiarkan berbagai pandangan untuk didengar. b. Perwakilan luas, yaitu mewakili semua pelaku yang memiliki kepentingan dalam pembuatan keputusan. c. Keadilan, yaitu memiliki sebuah sisten kesetaraan atau kesamaan sehingga posis-posisi yang berbeda dapat diketahui sebagai bahan perbandingan. d. Pengurangan permusuhan, yaitu mengembangkan sebuah keputusan yang mampu mengurangi permusuhan dan keterasingan. e. Informasi, yaitu menyajikan masing-masing pandangan secara bersama sengan dukungan dokumen dan analisis. f. Pendukungan, yaitu mendukung partisipasi secara luas.
  • 65.   58 g. Kepekaan, yaitu mendorong para pembuat keputusan untuk benar-benar mendengar, mempertimbangkan dan peka terhadap minat-minat dan posisi-posisi orang lain. 5. Pelindung. Tanggung jawab pekerja sosial terhadap masyarakat didukung oleh hukum. Hukum tersebut memberikan legitimasi kepada pekerja sosial untuk menjadi pelindung (protector) terhadap orang-orang yang lemah dan rentan. Dalam melakukan peran sebagai pelindung (guardian role), pekerja sosial bertindak berdasarkan kepentingan korban, calon korban, dan populasi yang beresiko lainnya. Peranan sebagai pelindung mencakup penerapan berbagai kemampuan yang menyangkut; (a) kekuasaan, (b) pengaruh, (c) otoritas, dan (d) pengawasan sosial. Prinsip-prinsip peran pelindung meliputi: 1. Menentukan siapa klien pekerja sosial yang paling utama. 2. Menjamin bahwa tindakan dilakukan sesaui dengan proses perlindungan. 3. Berkomunikasi dengan semua pihak yang terpengaruh oleh tindakan sesuai dengan tanggung jawab etis, legal dan rasional praktik pekerjaan sosial. B. PROSES PENGEMBANGAN MASYARAKAT Pelaksanaan pekerjaan sosial dengan masyarakat (COCD) dapat dilakukan melalui penetapan sebuah program atau proyek pembangunan. Secara garis besar, perencanaannya dapat dilakukan dengan mengikuti 6 langkah perencanaan : 1. Perumusan masalah Pekerjaan sosial dengan masyarakat dilaksanakan berdasarkan masalah atau kebutuhan masyarakat setempat. Beberapa masalah
  • 66. 59 yang biasanya ditangani oleh pekerja sosial berkaitan dengan kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, pemberantasan buta huruf, dll. Perumusan masalah dilakukan dengan menggunakan penelitian (survey, wawancara, observasi), diskusi kelompok, rapat desa, dan seterusnya. 2. Penetapan Program Setelah masalah dapat diidentidikasi dan disepakati sebagai prioritas yang perlu segera ditangani, maka dirumuskan program penanganan masalah tersebut. 3. Perumusan Tujuan. Agar program dapat dilaksanakan dengan baik dan keberhasilannya dapat diukur perlu dirumuskan apa tujuan dari program yang telah ditetapkan. Tujuan yang baik memiliki karakteristik jelas dan spesifik sehingga tercermin bagaimana cara mencapai tujuan tersebut sesuai dengan dana, waktu, dan tenaga yang tersedia. 4. Penentuan Kelompok Sasaran. Kelompok sasaran adalah sejumlah orang yang akan ditingkatkan kualitas hidupnya melalui program yang telah ditetapkan. 5. Identifikasi Sumber dan Tenaga Pelaksana. Sumber adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menunjang program kegiatan, termasuk didalamnya adalah sarana, sumber dana, dan sumber daya manusia. 6. Penentuan Strategi dan Jadwal Kegiatan Strategi adalah cara atau metoda yang dapat digunakan dalam melaksanakan program kegiatan. 7. Monitoring dan Evaluasi. Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk memantau proses dan hasil pelaksanaan program. Apakah program dapat dilaksanakan sesuai dengan strategi dan jadwal kegiatan? Apakah program sudah mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan?
  • 67.   60
  • 68. 61 BAB VI MODEL, PENDEKATAN DAN PANDANGAN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT A. MODEL-MODEL PENGEMBANGAN MASYARAKAT Jack Rothman (1968) mengembangkan tiga model yang berguna dalam memahami konsep pekerjaan sosial dengan masyarakat: (1) Pengembangan Masyarakat Lokal (Locality Development), (2) Perencanaan Sosial (Social Planning), dan (3). Aksi Sosial (Social Action). Paradigma ini merupakan format ideal yang dikembangkan terutama untuk tujuan analisis dan konseptual. Dalam praktiknya, ketiga model tersebut saling bersentuhan satu sama lain. Setiap komponennya dapat digunakan secara kombinasi dan simultan sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang ada. 1. Pengembangan Masyarakat Lokal. Pengembangan masyarakat lokal adalah proses yang ditujukan untuk menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui partisipasi aktif serta inisiatif anggota masyarakat itu sendiri (United Nations, 1955). Anggota masyarakat dipandang bukan sebagai sistem klien yang bermasalah melainkan sebagai masyarakat yang unik dan memiliki potensi, hanya saja potensi tersebut belum sepenuhnya dikembangkan. Pengembangan masyarakat lokal pada dasarnya merupakan proses interaksi antara
  • 69.   62 anggota masyarakat setempat yang difasilitasi oleh pekerja sosial. Pekerja sosial membantu meningkatkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan mereka dalam mencapai tujuan- tujuan yang diharapkan. Pengembangan masyarakat lokal lebih berorientasi pada tujuan proses (process goal) daripada tujuan tugas atau tujuan hasil (task or product goal). Setiap anggota masyarakat bertanggung jawab untuk menentukan tujuan dan memilih strategi yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Pengembangan kepemimpinan lokal, peningkatan strategi kemandirian, peningkatan informasi, komunikasi, relasi dan keterlibatan anggita masyarakat merupakan inti dari proses pengembangan masyarakat lokal ini. 2. Perencanaan Sosial Perencanaan sosial disini diartikan sebagai proses pragmatis untuk menentukan keputusan dan menetapkan tindakan dalam memecahkan masalah sosial tertentu seperti kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, kebodohan (buta huruf), kesehatan masyarakat yang buruk (rendahnya usia harapan hidup, tingginya tingkat kematian bayi, kekurangan gizi), dll. Berbeda dengan pengembangan masyarakat lokal, perencanaan sosial lebih berorientasi pada tujuan tugas. Sistem klien perencanaan sosial umumnya adalah kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups) atau kelompok rawan sosial ekonomi, seperti para lanjut usia, orang cacat, janda, yatim piatu, wanita/pria tuna sosial, dst. Pekerja sosial berperan sebagai perencana sosial yang memandang mereka sebagai konsumen atau penerima pelayanan. Keterlibatan para penerima pelayanan dalam proses pembuatan kebijakan, penetuan tujuan dan pemecahan masalah bukan merupakan prioritas, karena pengambilan
  • 70. 63 keputusan dilakukan oleh para pekerja sosial di lembaga-lembaga formal, semisal lembaga kesejahteraan sosial (Depsos), peradilan (Depkeh), pembangunan desa (Bangdes), kesehatan (Depkes), atau kependudukan (BKKBN). Para perencana sosial dipandang sebagai ahli (expert) dalam melakukan penelitian, menganalisa masalah dan kebutuhan masyarakat, serta dalam mengidentifikasi, melaksanakan dan mengevaluasi program-program pelayanan kemanusiaan. 3. Aksi Sosial Tujuan dan sasaran utama aksi sosial adalah perubahan- perubahan fundamental dalam kelembagaan dan struktur masyarakat melalui proses pendistribusian kekuasaan (distribution of power), sumber (distribution of resources) dan pengambilan keputusan (distribution of desicion making). Pendekatan aksi sosial didasari suatu pandangan bahwa masyarakat adalah sistem klien yang seringkali menjadi korban ketidakadilan struktur. Mereka miskin karena dimiskinkan, mereka lemah karena dilemahkan, dan mereka tidak berdaya karena tidak diberdayakan, oleh kelompok elit masyarakat yang menguasai sumber-sumber ekonomi, politik, dan kemasyarakatan. Aksi sosial berorientasi pada tujuan proses dan tujuan hasil. Masyarakat diorganisir melalui proses penyadaran, pemberdayaan, dan tindakan-tindakan aktual untuk mengubah struktur kekuasaan agar lebih memenuhi prinsip demokratis, kenerataan (equality) dan keadilan (equity).
  • 71.   64 B. BEBERAPA PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT TR. Batten (1967) mengemukakan dua pendekatan dalam pengembangan masyarakat, yaitu; 1. Pendekatan Direktif Pendekatan direktif dilakukan berlandaskan pada asumsi bahwa pekerja sosial tahu apa yang dibutuhkan dan apa yang baik untuk masyarakat. Dalam pendekatan ini peranan pekerja sosial bersifat lebih dominan, karena prakarsa kegiatan dan sumber daya yang dibutuhkan lebih banyak berasal dari pekerja sosial. Pekerja sosial menetapkan apa yang baik atau apa yang buruk bagi masyarakat, cara-cara apa yang perlu dilakukan untuk memperbaikinya, dan selanjutnya menyediakan sarana yang diperlukan untuk perbaikan tersebut. Dengan pendekatan ini, prakarsa dan pengambilan keputusan berada ditangan pekerja sosial. Dalam praktiknya pekerja sosial memang mungkin menanyakan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat atau cara apa yang perlu dilakukan untuk menangani suatu masalah, tetapi jawabanyang muncul dari suatu masyarakat selalu diukur dari segi baik dan buruk menurut pekerja sosial. Dengan menerapkan pendekatan ini memang banyak hasil yang telah diperoleh, tetapi hasil yang didapat lebih terkait dengan tujuan jangka pendek dan seringkali lebih bersifat pencapaian secara fisik belaka. Pendekatan direktif kurang menjadi efektif, untuk mencapai hal-hal yang sifatnya jangka panjang ataupun perubahan yang mendasar yang berkaitan dengan perilaku seseorang, seperti kognisi, afektif dan psikomotorik.
  • 72. 65 Penggunaan pendekatan ini, sebenarnya akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan memperoleh pengalaman belajar dari masyarakat, sedangkan bagi masyarakat segi buruknya adalah dapat munculnya ketergantungan terhadap kehadiran petugas sebagai agen perubahan. Sehingga dapat dikatakan pendekatan direktif identik dengan pendekatan instruktif. Selanjutnya, Batten (1967) juga mengemukakan bahwa untuk mencapai kondisi masyarakat yang tahu akan kebutuhannya atau permasalahannya, sehingga pekerja sosial menggunakan pendekatan non direktif, maka tugas yang harus dilaksanakan yaitu: a. Menumbuhkan keinginan untuk bertindak dengan merangsang munculnya diskusi tentang apa yang menjadi masalah dalam masyarakt, sehingga mereka dapat menentukan dengan pasti apa yang sebenarnya mereka inginkan. b. Memberikan informasi, jika dibutuhkan, tentang pengalaman kelompok lain dalam mengorganisasikan diri untuk mengahadapi hal yang serupa. c. Membantu masyarakat untuk membuat analisis secara sistematis tentang hakikat dan penyebab dari masalah, serta menelusuri keuntungan dan kerugian dari setiap usulan yang terkait dengan upaya memecahkan masalah yang mereka hadapi. d. Menghubungkan masyarakat dengan sumber yang dapat dimanfaatkan untuk membantu mengatasi masalah yang sedang dihadapi mereka sebagai tambahan dari sumber yang memang sudah dimiliki masyarakat.
  • 73.   66 2. Pendekatan Non-direktif Pendekatan ini berdasarkan asumsi bahwa masyarakat tahu apa yang sebenarnya mereka butuhkan dan apa yang baik untuk mereka. Pendekatan ini pekerja sosial tidak menempatkan diri sebagai orang yang menetapkan apa yang baik ataupun buruk bagi suatu masyarakat. Pemeran utama dalam perubahan masyarakat adalah masyarakat itu sendiri. Pekerja sosial lebih bersifat menggali dan mengembangkan potensi masyarakat. Masyarakat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk membuat analisis dan mengambil keputusan yang berguna bagi mereka sendiri, serta mereka diberi kesempatan penuh dalam penentuan cara-cara untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Pekerja sosial merangsang tumbuhnya kemampuan masyarakat untuk menentukan arah langkahnya sendiri dan kemampuan untuk menolong dirinya sendiri. Tujuan pendekatan iniadalah agar masyarakat memperoleh pengalaman belajar untuk mengembangkan dirinya melalui pemikiran dan tindakan yang dirumuskan oleh mereka. Pendekatan nondirektif ini sering disebut sebagai pendekatan yang bersifat partisipatif. Dalam penerapan di lapangan pendekatan direktif dan non direktif, perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan masyarakat. Masyarakat yang sudah mampu mendayagunakan potensi yang dimiliki perlu didekati dengan pendekatan non direktif, tetapi bagi masyarakat yang relatif belum berkembang, maka pilihan pendekatan direktif. Pemilihan pendekatan yang akan digunakan dapat saja dimulai dari pendekatan yang bersifat direktif, apabila masyarakat masih dalam keadaan belum mengetahui kebutuhan (terbelakang),
  • 74. 67 tetapi sejalan dengan perkembangannya, masyarakt akan mengetahui kebutuhannya secara bertahap, sehingga pekerja sosial akan menggunakan pendekatan non direktif atau partisipatif. Walaupun pekerja sosial mengarahkan agar menjadi mandiri sehingga pendekatan yang digunakan adalah non-direktif, namun terdapat kelemahannya juga, seperti dikemukakan Batten (1967), yaitu: a. Pekerja sosial tidak dapat sepenuhnya menjamin bahwa hasil akhir dari pembangunan yang mereka lakukan akan sesuai dengan keinginan mareka, karena mereka tidak dapat mengontrol dengan ketat perilaku komunitas lokal. b. Masyarakat yang sudah biasa dengan pendekatan direktif cenderung tidak menyukai pendekatan ini, karena mereka dipaksa untuk terlibat secara aktif dan ikut bertanggung jawab sepenuhnya atas keputusan yang mereka hadapi. Sedangkan keuntungan pendekatan non direktif adalah: a. Memungkinkan diperolehnya hasil yang lebih baik dalam keterbatasan sumber daya yang ada. b. Membantu perkembangan masyarakat. c. Menumbuhkan rasa kebersamaan. d. Memunculkan banyak kesempatan untuk mendidik dan mempengaruhi masyarakat. Meskipun demikian, pendekatan direktif dan non-direktif diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Masyarakat yang lebih siap dapat dibina dengan pendekatan non direktif, sedangkan pada masyarakat yang belum siap dapat dimulai dengan pendekatan direktif.
  • 75.   68 C. BEBERAPA PANDANGAN TENTANG PENGEMBANGAN MASYARAKAT Sanders dalam Jusman Iskandar (1989) menyatakan ada 4 (empat) cara memandang pengembangan masyarakat, yaitu : 1. Pengembangan masyarakat sebagai proses Artinya suatu perubahan yang berkesinambungan dari suatu tahapan atau kondisi kepada tahapan atau kondisi berikutnya menuju suatu masyarakat yang lebih baik/maju seperti mandiri mampu menentukan nasibnya sendiri dan menempuh berbagai upaya bersama untuk mencapainya. 2. Pengembangan masyarakat sebagai metode Artinya dipandang sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan. Sebagai metode, pengembangan masyarakat menempatkan faktor manusia sebagai subyek pembangunan, bukan obyek pembangunan, ia dilibatkan secara maksimal dalam pengembangan masyarakat. Untuk dapat mengembangkan secara maksimal dalam pengembangan masyarakat maka diperlukan penggalian potensi sumber daya manusia melalui pemberian bimbingan-bimbingan dan pendidikan-pendidikan serta latihan-latihan keahlian praktis tertentu dan bantuan teknis lainnya. 3. Pengembangan masyarakat sebagai suatu program Artinya pengembangan masyarakat terlihat dari hasil sebagai keluarannya (output). Hal ini jika dikaitkan dengan pembangunan nasional, maka pengembangan masyarakat sebagai bagian integral dari pembangunan nasional.Jadi titik berat pengembangan
  • 76. 69 masyarakat sebagai program adalah pencapaian tujuan/sasaran kegiatan. Diantara sejumlah program nasional ada yang langsung menyangkut kepentingan masyarakat. Pengembangan masyarakat sebagai program dalam beberapa hal berlawanan dengan pengembangan masyarakat sebagai suatu metode. Sebagai suatu program, pengembangan masyarakat bisa saja dilakukan oleh pemerintah atau lembaga di luar desa, tanpa partisipasi masyarakat yang bersangkutan. 4. Pengembangan masyarakat sebagai suatu gerakan Sebagai suatu gerakan, pengembangan masyarakat dipandang sebagi suatu media pelembagaan pengembangan struktur organisasi masyarakat. Pelembagaan ini tercapai apabila pengembangan masyarakat dilaksanakan baik sebagai proses, metode dan program dengan melibatkan seluruh warga masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan. Jadi pengembangan masyarakat sebagai gerakan merupakan tingkatan atau kondisi yang paling tinggi, dimana warga masyarakat berpartisipasi aktif dalam meningkatkan taraf kehidupannya baik secara individual maupun secara kelompok atau organisasi.
  • 77.   70