Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
SlideShare a Scribd company logo
1
BAGAIMANA KEPEMIMPINAN SEHARUSNYA
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kepemimpinan
yang dibina oleh bapak DRS Heru Susilo, MA
Azmy Maulida K (125030300111037)
Della Andini (125030300111039)
Dinar Rizki Ananda (125030307111016)
Ditia Fitriasshinta (125030306111003)
Yulia Fadilah (125030301111006)
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
PROGRAM STUDI BISNIS INTERNASIONAL
Mei 2013
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dewasa ini masyarakat sudah semakin sadar dengan realita dan fakta-fakta yang
terjadi di kalangan pejabat elit pemerintahan kita. Apalagi kita sudah sering disuguhi berita-
berita khas tentang para politikus ini di media cetak maupun televisi. Mulai dari kasus
korupsi dan skandal – skandal lainya, oknum yang terlibatpun mulai dari pejabat elit hingga
tingkat sekelas kepala desa. Masyarakat yang kecewa dengan kinerja para pemimpinnya
mulai dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat presiden sekalipun, mereka merasa
tertipu dengan sosok pemimpin yang hanya hanya mengobral janji-janji memakmurkan dan
menyejahterakan rakyat. Ketika mereka telah terpilih, janji tersebut seolah hanya menjadi
angin yang berlalu.
Hingga saat ini Indonesia masih menunggu sosok seorang pemimpin. Seorang
pemimpin yang benar-benar bisa membawa perubahan di Indonesia. Sosok yang amanah,
bertanggung jawab, memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, dan cinta kepada rakyat
Indonesia. Sosok yang bisa mengatur potensi sumber daya alam Indonesia untuk
kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Sayangnya praktik demokrasi di negara kita ini
masih belum bisa melahirkan sosok pemimpin Indonesia yang seperti itu. Yang terjadi
adalah hal sebaliknya, banyak sekali pemimpin yang dipilih secara demokratis namun
akhirnya mengecewakan.
Krisis kepemmpinan di Indonesia, bisa dikatakan melanda semua era perjalanan
bangsa Indonesia. Dimulai dari era Orde Lama dan Orde baru, memang pada masa itu
Indonesia memiliki pemimpin yang hebat. Soekarno dengan gaya kekepimpinan yang
kharismatik, sosok orator ulung yang mampu membangkitkan semangat nasionalisme rakyat
Indonesia, beliau merupakan sosok nasionalis yang anti terhadap kolonialisme. Sementara
pada masa orde baru, Soeharto memiliki gaya kepemimpinan yang otoriter, dominan, dan
sentralistis. Sebenarnya gaya kepemimpinan otoriter yang dimiliki oleh merupakan suatu
gaya kepemimpinan yang tepat pada masa awal terpilihnya Soeharto sebagai Presiden
Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan pada masa itu tingkat pergolakan dan situasi yang
3
selalu tidak menentu dan juga tingkat pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Tak
dapat dipungkiri bahwasanya selamat 32 tahun Soeharto telah berkontribusi besar terhadap
kemajuan bangsa dan Negara Indonesia. Namun, dirasa pada awal tahun 1990-an dirasa cara
memimpin Soeharto yang bersifat otoriter ini kurang tepat, karena keadaan yang terjadi di
Indonesia sudah banyak berubah. Masyarakat semakin cerdas dan semakin paham tentang
hakikat negara demokratis. Krisis ekonomi dan kediktatoran Soeharto selama 32 tahun
akhirnya runtuh.
Hingga sekarang Sistem demokrasi yang seyogyanya menghasilkan masyarakat
yang bebas dan sejahtera tidak terlihat hasilnya, malah kenyataannya bertolak belakang.
Tingkat kesejahteraan rakyat menurun setelah reformasi, yang justru saat itulah dimulainya
kebebasan berekspresi dan berpendapat. Ini meruapakan hal aneh mengingat sebenarnya
tujuan dari politik di era demokrasi adalah kesejahteraan. Fungsi partai politik sebagai
pemusatan kepentingan-kepentingan yang sama pun tidak berjalan mengingat tidak adanya
partai politik yang konsisten dengan ideologinya. Banyak sekali kasus KKN dalam birokrasi
dari pungli sampai suap. Ini menjadi bahaya laten karena menimbulkan ketidakpercayaan
yang akut dari masyarakat kepada pemerintah.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas dapat ditarik rumusan permasalahan :
1.2.1 apakah kepemimpinan itu ?
1.2.2 bagaimana kepemimpinan seharusnya ?
1.3 MANFAAT PEMBAHASAN
1.3.1 Diharapkan mahasiswa mengerti apa yang dimaksud kepemimpinan
1.3.2 Diharapkan mahasiswa mengetahui bagaimana kepemimpinan seharusnya
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kepemimpinan
Kepemimpinan sesungguhnya tidak ditentukan oleh pangkat atau pun jabatan seseorang.
Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan
seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi
lingkungan pekerjaannya, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi negerinya.
Hal ini dikatakan dengan lugas oleh seorang jenderal dari Angkatan Udara Amerika Serikat:
”I don’t think you have to be wearing stars on your shoulders or a title to be a leader.
Anybody who wants to raise his hand can be a leader any time.”
—General Ronal Fogleman, US Air Force—
Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan
karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar,
melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang
menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan
membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan
pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam
organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan
sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang
dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).
Ketika pada suatu hari filsuf besar Cina, Lao Tsu, ditanya oleh muridnya tentang siapakah
pemimpin yang sejati, maka dia menjawab:
As for the best leaders, the people do not notice their existence.
The next best, the people honour
And praise.
5
The next, the people fear, And the next the people hate.
When the best leader’s work is done, The people say, ‘we did it ourselves’.
AribowoPrijosaksono (http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/mandiri/2002/083/man01.html)
Seringkali seorang pemimpin sejati tidak diketahui keberadaannya oleh mereka yang
dipimpinnya. Bahkan ketika misi atau tugas terselesaikan, maka seluruh anggota tim akan
mengatakan bahwa merekalah yang melakukannya sendiri. Pemimpin sejati adalah adalah
kepemimpinan yang didasarkan pada kerendahan hati (humble).
Ia adalah seorang pemberi semangat (encourager), motivator, inspirator, dan maximizer.
Pemikiran seperti ini saat sekarang jarang ditemukan dan mungkin tidak bisa diterima oleh para
pemimpin konvensional yang justru mengharapkan penghormatan dan pujian (honor and praise) dari
mereka yang dipimpinnya. Semakin dipuji bahkan dikultuskan, semakin tinggi hati dan lupa dirilah
seorang pemimpin. Seperti yang dikatakan oleh penulis buku terkenal, Kenneth H Blanchard
(1982:115), bahwa kepemimpinan dimulai dari dalam hati dan keluar untuk melayani mereka yang
dipimpinnya. Perubahan karakter adalah segala-galanya bagi seorang pemimpin sejati. Tanpa
perubahan dari dalam, tanpa kedamaian diri, tanpa kerendahan hati, tanpa adanya integritas yang
kokoh, daya tahan menghadapi kesulitan dan tantangan, dan visi serta misi yang jelas, seseorang
tidak akan pernah menjadi pemimpin sejati.
B. Kepemimpinan Menurut Budaya Jawa
Dalam budaya jawa sifat seorang pemimpin sarat dengan kerendahan hati, dan visi luhur.
Visi luhur seorang pemimpin yang utama adalah dapat mengantarkan rakyatnya dalam kesejahteraan
hidup yang hakiki, dalam budaya jawa sifat pemimpin demikian sering disimbulkan dengan benda
atau kondisi alam, visi seorang pemimpin menurut budaya jawa adalah :
1. Pemimpin yang mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya
(empowerment) yang disimbulkan oleh surya (matahari) memancarkan sinar terang
sebagai sumber kehidupan.
2. Seorang pemimpin yang mampu memberi semangat (motivation) kepada rakyatnya
di tengah suasana suka ataupun duka yang disimbulkan dengan candra (bulan), yang
memancarkan sinar di tengah kegelapan malam.
3. Seorang pemimpin yang mampu menjadi teladan dan pencerahan (enlightmen), bagi
rakyatnya untuk berbuat kebaikan yang disimbulkan sebagai kartika (bintang),
6
memancarkan sinar kemilauan, berada di tempat tinggi hingga dapat dijadikan
pedoman arah,
4. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan
mengendalikan diri dalam menampung pendapat rakyatnya yang bermacam-macam
yang disimbulkan dengan angkasa (langit), luas tak terbatas, hingga mampu
menampung apa saja yang datang.
5. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan
derajat da martabatnya yang disimbulkan dengan maruta (angin), selalu ada dimana-
mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong.
6. Pemimpin hendaknya bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya yang disimbulkan
dengan samudra (laut/air), betapapun luasnya, permukaannya selalu datar dan
bersifat sejuk menyegarkan.
7. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara
tegas tanpa pandang bulu yang disimbulkan dengan dahana (api), mempunyai
kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya, dan
8. Pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani) pada rakyatnya untuk tidak
mengecewakan kepercayaan rakyatnya yang disimbulkan dengan bhumi
(bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati. Selalu memberi hasil kepada yang
merawatnya.
Filsafat kepemimpinan bagi budaya jawa mengandung makna sikap pemimpin yang
membawa ketenangan dan kewibawaan hidup rakyatnya, seperti : Ojo gumunan, ojo kagetan lan ojo
dumeh. Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu
yang baru (walau sebenarnya amat sangat heran), tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal di
luar dugaan dan tidak boleh sombong (dumeh) dan aji mumpung sewaktu menjadi seorang
pemimpin. Hal ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan emosi bagi seorang pemimpin. Dalam
budaya jawa juga mengajarkan sikap yang hendaknya dilakukan oleh seorang bawahan atau rakyat
seperti tidak mengandalakan egoisme individu, terlebih untuk mempermalukan atasan, seperti
digambarkan dengan, keno cepet ning aja ndhisiki, keno pinter ning aja ngguroni,keno takon ning
aja ngrusuhi. Maksudnya, boleh cepat tapi jangan mendahului (sang pimpinan) , boleh pintar tapi
jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya tapi jangan menyudutkan pimpinan. Seorang anak
buah atau rakyat hendaknya jangan bertindak yang memalukan pimpinan, walau dia mungkin lebih
mampu dari sang pemimpin. Penyampaian pendapat tidak harus dengan memalukan,menggurui dan
mendemonstrasi (ngrusuhi) pimpinan, namun pasti ada cara di luar itu yang lebih baik.
7
C. Beberapa pandangan tentang Kepemimpinan
Ada yang beranggapan bahwa pemimpin sebagaimana yang digambarkan oleh budaya jawa
di atas mestilah seorang yang memiliki kharisma, tanpa kharisma yang dimiliki seorang pemimpin,
maka visi tak dapat direalisasikan seperti kharisma yang melekat pada seorang raja. Pada pandangan
yang lebih baru, kharisma bukanlah semata-mata “dilahirkan” namun dapat dibentuk karena visinya,
karakternya, Yukl (1994: 226) mengutip beberapa pengertian pemimpin kharismatik sebagai berikut,
"suatu hasil persepsi para pengikut dan atribut-atribut yang dipengaruhi oleh kemampuan-
kemampuan aktual dan prilaku dari para pemimpin dalam konteks situasi kepemimpinan dan dalam
kebutuhan-kebutuhn individual maupun kolektif para pengikut " Ada teori atribusi yang menyatakan
bahwa kepemimpinan karismatik didasarkan atas asumsi bahwa karisma adalah sebuah fenomena
atribusi (Conger & Kanungo, 1987) dan ada juga yang menyatakan bahwa karismatik seorang
pemimpin dapat dilihat pada sejauh mana apeksi seorang pengikut, keterlibatan emosi dan motivasi
yang tinggi didasari pengorbanan jiwa yang luar biasa (Shamir, house, Arthur, 1993).
Menyimak dari pandangan ini maka untuk menjadi seorang pemimpin yang “mumpuni” tak
haruslah pemimpin yang memiliki kharisma, melainkan yang memiliki visi, kehendak luhur, dan
memilikik pengorbanan jiwa yang besar. Sebagaimana fithrah manusia yang dicipta oleh Yang Maha
Kuasa sebagai khalifah di muka bumi, maka manusia sudah di “stempel” oleh Pencipta sebagai
pemimpin di muka bumi, ia berarti siap mengorbankan apa saja demi fithrahnya. Sebagai khalifah ia
memiliki peran memelihara, memanfaatkan dan memakmurkan isi semesta, termasuk manusia itu
sendiri.
Dunia selalu berubah, tuntutan manusiapun ikut berubah. Banyak kalangan mengatakan
bahwa pemimpin yang ideal saat ini adalah pemimpin yang demokratis, karena tuntutan
demokratisasi, termasuk Indonesia. Berbagai kalangan pengamat kepemimpinan membenarkan
kesimpulan yang menyatakan bahwa “bangsa kita tidak terlalu siap dalam menghadapi tuntutan
demokratisasi, desentralisasi, dan globalisasi” itu. Demokratisasi yang terjadi telah diwarnai dengan
euforia kebebasan yang berlebihan, dan diisi dengan pertentangan antar elit politik secara
menyedihkan. Desentralisasi tidak terencana secara baik, pelimpahan kewenangan terasa tanpa
didasari perhitungan dan persiapan yang matang, peningkatan pelayanan prima yang merupakan
salah satu tujuan utama dari otonomi masih jauh dari kenyataan. Globalisasi yang menuntut
peningkatan daya saing ditandai dengan semakin merosotnya tingkat daya saing nasional dalam
perekonomian dunia. Bangsa kita terasa masih tenggelam dengan permasalahan yang timbul sebagai
akibat kesalahan mendasar yang dibuatnya sendiri; khususnya yang dilakukan para pemimpinnya
(Mustopadidjaja, http://aparaturnegara.bappenas.go.id).
8
Kita pahami, demokrasi merupakan pilihan terbaik dalam penyelenggaraan negara yang
pernah dihasilkan sejarah kemanusiaan dan peradaban manusia. Oleh sebab itu demokratisasi harus
disertai semangat dan nilai-nilai peradaban yang luhur dan sesuai fitrah manusia. Demokrasi memang
mengandung makna kebebasan dan optimalitas pelaksanaan hak-hak asasi manusia dari, oleh, dan
bagi seluruh warga bangsa dan bangsa-bangsa, tanpa membedakannya berdasar latar belakang etnik,
agama, ideologi, ataupun domisili. Demokrasi adalah pencapaian konsensus atau kebersamaan dalam
keragaman atau pluralitas. Demokratisasi adalah debat mengenai kepentingan bersama, bukan
konflik berkepanjangan demi kepentingan pribadi atau golongan. Demokratisasi adalah menghargai
keputusan bersama sebagai hasil musyawarah ataupun perdebatan rasional melalui lembaga-lembaga
demokrasi. Demokrasi adalah suatu bentuk “rational human cooperation” dengan sistem
kelembagaan yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan hukum yang berkeadilan; serta
“keadaban” berupa kepatuhan pada keputusan bersama yang diambil secara objektif, rasional dan
manusiawi melalui sistem kelembagaan yang berkembang dalam penyelenggaraan negara sebagai
wujud penghargaan terhadap pluralitas. Namun, yang berkembang kelihatannya bukan “kerjasama
yang rasional dan manusiawi” melainkan konflik, desintegrasi, dan perilaku yang seakan tidak
mencerminkan pemahaman akan nilai-nilai peradaban demokrasi yang luhur.
Dari sudut falsafah dan ilmu pengetahuan administrasi negara, demokrasi adalah kearifan
(wisdom) dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan umum dan pem-bangunan; yang
termanifestasikan dalam pengelolaan kebijakan pemerintahan (public policy) untuk mengatasi
masalah-masalah publik (public affairs) dan untuk mengoptimalkan pencapaian kepentingan publik
(public interests), termasuk pertanggung-jawaban kinerja kebijakan tersebut. Ini yang kiranya kurang
dipahami (Mustopadidjaja, http://aparaturnegara.bappenas.go.id). Pada kenyataanya demokrasi
hanya dipahami dalam konteks pemilihan seorang pemimpin negara atau kepala daerah dan bukan
dalam konteks isi kepemimpinan itu sendiri. Karena isi kepemimpinan itu sendiri banyak ditentukan
oleh seorang pemimpin maka ada beberapa faktor penting yang seharusnya dimiliki oleh seorang
pemimpin. Beberapa faktor tersebut adalah:
Ada beberapa faktor penting yg harus dimiliki seorang pemimpin:
1. Confident (percaya diri)
Inilah syarat pertama yang semestinya dimiliki siapapun yang ingin jadi pemimpin. Jangan
berharap dan bermimpi jadi pemimpin kalau tidak percaya diri. Artinya percaya diri di sini berbeda
dengan pengertian percaya diri pada umumnya, percaya diri dimaksud adalah percaya bahwa dirinya
adalah mendadapat amanah dari Yang Maha Kuasa sebagai khalifah di muka bumi. Beberapa ciri nya
adalah :
9
Selalu menganggap setiap orang sejajar dengan dirinya, tidak lebih tinggi dan tidak lebih
rendah. Tidak menunduk atau mengangkat kepala, apapun status orang yang dihadapi:
Sopan dan rendah hati. Kesopanan dan kerendahhatian terkadang kabur maknanya dengan
keminderan. Pemimpin sopan bukan karena minder, tapi karena memang etika sosial yg
harus diikuti.
Lebih mengutamakan hal substantif/mendasar/prinsip dari pada hal-hal remeh tapi dianggap
penting oleh orang kebanyakan.
2. Visi.
Kenneth Blanchard (1982: 132) mengatakan bahwa pemimpin harus memiliki visi atau
wawasan ke depan yang jelas. Bahwa kepemimpinan dimulai dari dalam hati dan keluar untuk
melayani mereka yang dipimpinnya. Perubahan karakter adalah segala-galanya bagi seorang
pemimpin sejati. Tanpa perubahan dari dalam, tanpa kedamaian diri, tanpa kerendahan hati, tanpa
adanya integritas yang kokoh, daya tahan menghadapi kesulitan dan tantangan, dan visi serta misi
yang jelas, seseorang tidak akan pernah menjadi pemimpin sejati.
Apakah persamaan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh sekaliber Sir Winston Churchill,
Soekarno, Mohammad Hatta, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr, Bunda Teresa, Nelson
Mandela, Kim Dae-jung, Henry Ford, Walt Disney, Jack Welch, Konosuke Matsushita, Rich DeVos–
Jay Van Andel, Steve Jobs, Bill Gates, Larry Ellison, Andy Grove, Michael Dell, Jeff Bezos, dan
Lou Gerstner? Sedikitnya dapat disebutkan dua hal ini: pertama, visi besar dan jelas (great-clear-
bold vision); kedua, konstituen yang tulus dan antusias (willing and enthusiastic constituents).
Terhadap jawaban itu dapat ditambahkan bahwa mereka sama-sama manusia yang pernah dilahirkan
di muka bumi, pernah melakukan serangkaian aktivitas terencana dalam hidupnya, dan kemudian
dikenal dunia sebagai negarawan, pemimpin besar, perintis dan agen perubahan, inovator-kreator,
konglomerat, orang-orang terkaya, dan seterusnya.
Kita tahu bahwa “bisnis” utama para pemimpin sejati adalah visi. Mereka melakukan “survai
pasar” untuk mengenai kebutuhan “konsumennya”. Mereka merancang konsep “produk dan jasa”
yang akan “diproduksinya”. Mereka mempersiapkan “saluran distribusi”, melakukan “promosi”, dan
merekrut “agen-agen” sampai “pengecer”. Mereka menetapkan “harga produk/jasa” dan memberikan
“personal guarantee” kepada para “konsumen”. Singkatnya, mereka melakukan segala aktivitas
“pemasaran” dalam arti yang seluas-luasnya untuk memastikan visi yang dirumuskannya “laris
terjual” Apakah para pemimpin visioner itu “cuma” sekadar “pemasar” saja? Tidak. Mereka juga
“mengkonsumsi” sendiri visi yang dirumuskannya itu. Mereka hidup dari situ, mereka makan dan
minum dari situ, mereka bernafas dari situ. Mereka menjadi “pasangan” dari visi yang
dikampanyekannya. Begitulah, sejarah mengajarkan kepada kita bahwa menjadi pemimpin itu tidak
10
mungkin, bila tanpa visi. Kepemimpinan tanpa visi itu tidak ada. Kalaupun ada, hanya seolah-olah
ada, tidak sejati, tidak sungguh-sungguh ada.
3. Idealisme.
Pemimpin memiliki kepribadian kuat. Bersikap idealis. Dia konsisten pada nilai-nilai
idealisme. Tapi rela bersikap kompromistis, elastis atau pragmatis pada hal-hal yang tidak prinsipil.
Pelajaran mengenai idealisme sejati dapat kita peroleh dari kisah hidup Nelson Mandela. Seorang
pemimpin besar Afrika Selatan, yang membawa bangsanya dari negara yang rasialis, menjadi negara
yang demokratis dan merdeka. Bagaimana Nelson Mandela menceritakan bahwa selama penderitaan
27 tahun dalam penjara pemerintah Apartheid, justru melahirkan perubahan dalam dirinya. Dia
mengalami perubahan karakter dan memperoleh kedamaian dalam dirinya. Sehingga dia menjadi
manusia yang rendah hati dan mau memaafkan mereka yang telah membuatnya
menderitaselamabertahun-tahun.
4. Tanggung Jawab.
Salah satu hal yang membuat orang percaya pada seseorang pemimpin adalah karena dinilai
memiliki tanggung jawab. Tanggung jawab itu identik/intrinsik/koheren dengan sikap konsisten
dalam ucapan dan perilaku. Tanggung jawab juga berkaitan erat dengan sikap semangat yang stabil
dari awal tugas sampai akhir. Tidak hangat-hangat kuku. Dan akan selalu melakukan dan
menyelesaikan tugas yg diemban dengan penuh dedikasi, tanpa peduli tugasnya mendapat apresiasi
atau kritikan bahkan makian. Karena ia tahu, melaksanakan tugas dan menyelesaikannya sampai
tuntas adalah dalam rangka membangun kredibilitas kepemimpinannya sendiri di masa sekarang dan
masa depan.
5. Egaliter/merakyat
Salah satu ciri menyolok dari pemimpin massa yang karismatik dan populer adalah sikapnya
yang egaliter atau merakyat dan accessible (mudah dihubungi). Biasanya orang pada umumnya jika
memiliki sedikit kelebihan (entah itu jabatan, status atau kepintaran) dari yang lain sudah merasa
pongah dan susah ditemui. Menjadi egaliter tidak akan membuat kita diremehkan, sebaliknya justru
semakin mengundang kekaguman dan simpati. Sikap egaliter itu identik dengan kerendah hatian.
Salah satu ciri rendah hati (tawadhu‟ ) adalah open-minded dan tidak marah ketika dikritik, ketika
dihina, ketika dicaci. Karena dalam semuanya selalu terdapa kebenaran. Kebenaran tidak hanya
terbungkus dalam kotak beludru yang indah dan rapi, ia terkadang berada dalam tumpukan sampah
yang kotor.
6. Caring/Tidak Selfish atau Egois
11
Caring berarti selalu peduli pada nasib orang lain. Pemimpin kredibel selalu “mengalah”
ketika kepentingan pribadinya bertabrakan dengan kepentingan umum. Ia selalu berkorban.
Termasuk mengorbankan perasaannya sendiri bilamana perlu. Ia tidak ingin senang di saat „anak
buah‟ nya sengsara, baik lahir atau batin.
Kredibilitas pribadi seorang pemimpin baru teruji disaat ia menghadapi “ujian” yang
dianggapnya terberat. Apabila ia kuat melawan “ujian” itu, ia lulus dan akan semakin kredibel.
Apabila tidak, ia hanya akan jadi pemimpin sampah yang akan dimakan debu sejarah. Beda pribadi
yang kuat dengan yang lembek adalah di saat krisis terberat datang. Karena di saat tenang, semua
orang dapat jadi pemimpin. Ujian terberat, sebagaimana
peluang emas, terkadang datang cuma sekali; tapi ia sangat vital dalam menentukan pola
masa depan.
7. Dignified (bermartabat)
Pemimpin itu simbol yg mewakili institusi dan seluruh anggotanya. Citra baik atau buruk
sang pemimpin akan mempengaruhi citra institusi dan anggotanya. Ketika jadi pemimpin, ia tak lagi
milik dirinya sendiri dan merasa bebas berbuat apa saja. Ketika akan melakukan sesuatu, hal pertama
yg mesti diingat seorang pemimpin adalah adakah hal itu akan merusak martabat institusi, anggota
dan kepemimpinannya? Apabila berhasil memenuhi segala kriteria di atas, kepemimpinan tidak akan
berhenti sampai di sini. Ia akan terus berlanjut sampai di masa datang. Karena pemimpin kredibel itu
langka adanya dan mahal harganya. Ia akan dicari walaupun dia berada di sebuah lereng gunung atau
di dalam hutan yang tak berpenghuni. (www.fatihsyuhud.com)
Tom Stevens pada tahun 2004 menulis dalam jurnalnya dan telah berpengalaman dalam
pelatihan kepemimpinan mengatakan bahwa ada 5 dimensi penting yang sebaiknya dimiliki oleh
seorang pemimpin untuk mensukseskan kepemimpinannya yakni apa yang disebut dengan At To
HELM yang digambarkan sebuah segilima HELM: yang dia sebut dengan The dimensions are Head,
Expert, Lead, Manage (HELM), each interconnected to You and the unique Character you bring to
leadership.
1. Head
The ‘head’ is a role that is recognized as having a formal position of accountability, power,
or control, relative to others. Usually this role has a title, whether boss, chief, director, team leader
or manager.
2. Expert
12
The ‘Expert’ role is recognized as having specialized experience, skill, or knowledge, often
in the form of credentials, education, or licensure, to be used for the benefit of another person or
entity. The driving objective of the Expert dimension is credibility – adherence to parameters set by a
profession, evidence-based practices, or other standards.
3. Lead
Leading is the act of gaining willing followers for a course of action when the path forward
is unclear or undetermined. The act of leading begins when people choose to follow someone on a
course of action. The skill of leading is to create relationships and environments where people
willingly choose to follow. The driving objective of leading is change - movement from one state or
condition to another.
4. Manage
Managing is the act of aligning resources within established processes to achieve
predetermined objectives. It requires skill in handling the resources managed. The core objective of
managing is stability - to achieve goals efficiently, effectively, and predictably. (Stevens 2004,
www.esquareleadership.com/thinkfreearticles)
Kelima dimensi ini menunjuk bahwa seorang pemimpin yang sukses haruslah memiliki
kapasitas sebagai atasan yang harus bertanggungjawab dan mengendalikan keseluruhan aktivitas,
Sebagai Expert, pemimpin haruslah memiliki keahlian sehingga ia menjadi pemimpin yang kredibel
dan menguasai permasalahan. Pemimpin juga sebagai pembimbing yang dapat mengarahkan dan
merubah dari kondisi satu ke kondisi yang lain yang lebih baik, dan pemimpin haruslah sebagai
pengatur semua sumberdaya ke arah tujuan organisasi secara efisien, efektiv dan memiliki masa
depan.
Di muka telah dijelaskan secara ringkas banyak hal yang bisa dikupas perihal kepemimpinan
dari kepemimpinan budaya jawa sampai kepemimpinan berbasis skuler. Semuanya tampak baik,
memikat dan banyak hal tampak bisa ditiru. Karena begitu menariknya bahasan tentang
kepemimpinan atau leadership, tidak kurang dari 90.000 tema di Amazon berkaitan dengan
leadreship ini. Lalu bagaimana kepemimpinan yang sebenarnya?
Yang Maha Kuasa mencontohkan kepemimpinan Fir’aun, yang menganggap dirinya Tuhan.
Cukuplah Fir’aun sebagai contoh manusia paling sekuler, dan jangan sampai ada lagi masyarakat
yang mencetak pemimpin seperti dia. Cukuplah Fir’aun sebagai pelajaran, jangan sampai berulang
lagi muncul masyarakat seperti masyarakat Fir’aun yang mau dibodohi. Padahal sebenarnya Fir’aun
itu sangat lemah. Ia menjadi raja karena dapat dukungan rakyatnya. Coba rakyatnya bersepakat untuk
13
menghancurkannya, Fir’aun pasti tidak akan berdaya apa-apa. Sungguh bila belajar dari perjalanan
para orang-orang yang patuh pada Yang Maha Kuasa, kita menemukan fakta masyarakat yang berani
berkorban apa saja demi sebuah idealisme. Mereka berani hijrah meninggalkan tanah air bahkan
harta dan rumah yang sangat mereka banggakan, demi idealisme. Mereka bahkan berani
mengorbankan jiwa mereka dalam berbagai pertempuran demi idealisme. Apa yang membedakan
negeri yang dipimpin oleh sekuler dan negeri yang religi? Negara-negara yang dipimpin oleh pola
kepemimpinan sekuler, mereka memimpin dengan penuh ambisius menghalalkan segala cara demi
ambisinya. Negara-negara sekuler seperti Inggris, Belanda misalnya di awal permulaan abad ini
mereka hidup makmur melalui eksploitasi sumberdaya negara lain.
Mereka mengekploitasi negara lain yang buminya makmur penuh berkah, mereka
mengekploitasi karena negerinya tak dapat menghidupi penduduknya. Sekulerime yang mereka anut
tampaknya memberi dampak bumi mereka tak cukup dapat memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Sekirnya dapat disimpulkan secara ringkas pola kepemimpinan sekuler membawa akibat
bumi dan tanahnya tak dapat makmur. Jasirah Arab misalnya pada saat negara-negara tersebut masih
dalam jaman “bodoh” (dalam arti tak dapat memandang kebenaran), negeri-negeri tersebut tandus,
kering kerontang, buminya tak dapat menghidupi penduduknya. Negeri Sabak (negara Yaman)
misalnya semula subur-makmur, namun setelah menjadi negeri yang sekuler yang tidak lagi patuh
kepada Yang Maha Kuasa berubahlah negeri yang makmur diterjang banjir besar, buminya menjadi
tandus, kecuali sebagian kecil Yaman.
Hal ini membawa pelajaran bagi generasi berikutnya, setelah jasirah Arab mengalami masa
pencerahan beralih pada negeri yang religius, tanah yang gersang, kering kerontang, berubah negeri
yang makmur, bahkan negeri yang dapat menghidupi penduduk seluruh negeri di dunia dengan
limpahan kekayaan alamnya. Kepemimpinan yang religius telah membawa keberkahan bagi bumi
dan penduduknya. Adakah indikator kepemimpinan sekuler yang ternyata membawa sengsara hidup
penduduknya? Jika menyimak perjalanan sejarah kepemimpinan sekuler adalah kepemimpinan yang
tidak berbasis pada nilai-nilai Ke Esaan Pencipta, kepemimpinan yang hanya didasarkan atas logika
semata demi ambisi orang per orang dengan dalih kesejahteraan rakyat.
Pemimpin yang dipilih oleh rakyat dengan dalih suara rakyat adalah suara tuhan, belum ada
bukti negeri yang demikian adalah negeri yang buminya penuh berkah. Karena pemimpin dipilih
rakyat tidak salah bila kandidat kepada daerah, calon presiden semuanya mengaku sebagai calon
pemimpin bangsa, mengiklankan diri bisa membawa bangsanya pada keadaan lebih baik, makmur,
adil, sejahtera. Banyak visi telah diungkapkan, banyak janji yang telah disampaikan, untuk merebut
suara rakyat sebanyak-banyaknya. Dengan dalih suara rakyat adalah suara tuhan, maka demokrasi
ditegakkan, rakyat sebagai dalih untuk melegitimasi kekuasaannya. Yang menarik adalah para
kandidat “menantang” amanah dari “rakyat”, amanah diminta dan bukan diberikan. Inilah yang
14
berbeda dengan pemimpin terdahulu yang sering disebut dengan khalifah Pemimpin pada zaman itu
(zaman kenabian sampai pada generasi sesudahnya). Tidak pernah para pemimpin atau khalifah
minta dipilih atau minta amanah untuk dijadikan pemimpin atau penguasa. Mereka secara santun
memberikan kesempatan pihak lain untuk menjadi pemimpin. Dengan kerendahan hatinya tak merasa
lebih baik dari pihak lain. Ketika Abubakar Siddig diminta untuk menjadi khalifah, dengan santun
merasa yang lebih mampu adalah sahabat Umar, ketika amanah jatuh pada diri Umar, Umar bin
Khatabpun dengan santun menolak dan menunjuk Ali bin Abuthalib yang layak untuk menjadi
khalifah. Ternyata Ali pun menolaknya dan dengan santun agar khalifah bisa diamanahkan pada
sahabat Abubakar, dan akhirnya ditetapkanlah Abubakar siddig menjadi khalifah. Sekiranya boleh
mengasumsikan kepemimpinan pada zaman sekarang, yang merasa lebih baik dari pihak lain pada
proses kepemimpinan, boleh jadi mirip dengan sifat iblis yang merasa lebih baik dan lebih mulia dari
Adam saat itu. Sifat merasa lebih baik tak pernah dicontohkan dalam kepemimpinan yang berbasis
religi kecuali pada pemerintahan sekuler.
15
BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Dengan dalih dewa demokrasi, bahwa suara rakyat adalah suara tuhan, telah mengorbankan
kesantunan dalam perikehidupan ”aku lebih baik dari yang lain”. Pilihan rakyat menjadi pilihan
utama, dan menjadi simbul legitimasi ingin dipuji dan dijunjung tinggi. Sekiranya pada tahun 630an
di jazirah Arab menggunakan asumsi demokrasi bahwa suara rakyat adalah suara tuhan, maka yang
menang dalam pemilihan saat itu adalah Abu Jahal simbul suara rakyat yang sekuler, karena dia
adalah yang mewakili rakyatnya saat itu yakni rakyat jahiliah. Akankah kita akan justru beralih dari
masyarakat yang beradab menjadi masyarakat jahil, bodoh? Akankah kita mengulang pada jaman
Nabi Nuh, atau kaum Sabak? Kerusakan alam saat itu bukan disebabkan oleh kerusakan hutan,
ekplorasi hasil bumi, melainkan disebabkan oleh kebodohan rakyat yang tak dapat memandang
kebenaran. Manusia jahilah yang merusak daratan dan lautan, yang memandang nafsunya lebih baik
dan dapat menyelesaikan permasalahan kehidupan.
Dari pelajaran itu terlihat bahwa daratan menjadi tandus tak dapat menghidupi penduduknya,
buminya tak dapat mengeluarkan kemakmuran bagi penduduk yang mendiaminya. Suara rakyat
kebanyakan telah menjadi alat legitimasi, siapapun yang mendapat suara terbanyak maka layak
menjadi penguasa. Tidak ada jaminan suara terbanyak adalah suara kebenaran, Dalam pandangan
Islam, disebutkan bahwa
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka
akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka,
dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (Qs.6:116)
Orang bodoh (sekuler) boleh jadi tak dapat memandang kebenaran ini. Kalau hendak mau
memandang fakta, bahwa negara-negara sekuler, yang dipelopori oleh Amerika dan Eropa, bumi
mereka tak dapat menghidupi penduduknya, oleh karenanya wajar mereka hidup dengan menjajah
negara-negara yang makmur negara-negara yang penduduknya religius. Tanah mereka tak bisa
menghidupi penduduknya, kegersangan tanahnya menjadikan mereka bernafsu mengekploitasi hasil
bumi dari negara lain. Bumi makmur berubah menjadi tandus sebagaimana pada kaum Sabak.
Bagaimana dengan kita, Indonesia? Berapa luas bumi kita telah menjadi rusak, tandus, tanah-tanah
subur berubah menjadi kubangan-kubangan, danau-danau baru karena akibat terjebak dalam
sekulerisme? Tak dapatkah kita belajar dari fakta demikian?
16
”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya…(Qs. 7:96)
17
DAFTAR PUSTAKA
Bass, 1995. Locke et.al., 1991., dalam Mochammad Teguh, dkk., 2001:69.
Blancard, Kenneth H., Prentice Hall,Inc, 1982
Fakih , Aunur Rohim, dk., 2001, Kepemimpinan Islam, UII Press, Yogyakarta.
Nawawi, Hadari, 1993, Kepemimpinan Menurut Islam, Gadjah Mada University Prehalindo,
Jakarta, 1994
Rangkuti, Bachrub, Kepemimpinan Muhammad Rasulullah, t.p.
Press, Yogyakarta.
Teguh, Mochammad, dkk., 2001, Latihan Kepemimpinan Islam Tingkat Dasar [LKID], UII
Press, Yogyakarta.
Mujiono, Imam, 2002, Kepemimpinan dan Keorganisasian, UII Press, Yogyakarta.
Yukl, Garry, Kepemimpinan dalam organisasi (terjemahan). Jusuf udaya,
Stevens 2004, www.esquareleadership.com/thinkfreearticles
AribowoPrijosaksonohttp://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/mandiri/2002/083/man01.html
Mustopadidjaja, http://aparaturnegara.bappenas.go.id.
www.fatihsyuhud.com
http://herususilofia.lecture.ub.ac.id/
http://aditya87.wordpress.com/2008/09/14/kegagalan-demokrasi-indonesia/

More Related Content

bagaimana kepemimpinan seharusnya

  • 1. 1 BAGAIMANA KEPEMIMPINAN SEHARUSNYA MAKALAH Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kepemimpinan yang dibina oleh bapak DRS Heru Susilo, MA Azmy Maulida K (125030300111037) Della Andini (125030300111039) Dinar Rizki Ananda (125030307111016) Ditia Fitriasshinta (125030306111003) Yulia Fadilah (125030301111006) UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI PROGRAM STUDI BISNIS INTERNASIONAL Mei 2013
  • 2. 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini masyarakat sudah semakin sadar dengan realita dan fakta-fakta yang terjadi di kalangan pejabat elit pemerintahan kita. Apalagi kita sudah sering disuguhi berita- berita khas tentang para politikus ini di media cetak maupun televisi. Mulai dari kasus korupsi dan skandal – skandal lainya, oknum yang terlibatpun mulai dari pejabat elit hingga tingkat sekelas kepala desa. Masyarakat yang kecewa dengan kinerja para pemimpinnya mulai dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat presiden sekalipun, mereka merasa tertipu dengan sosok pemimpin yang hanya hanya mengobral janji-janji memakmurkan dan menyejahterakan rakyat. Ketika mereka telah terpilih, janji tersebut seolah hanya menjadi angin yang berlalu. Hingga saat ini Indonesia masih menunggu sosok seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang benar-benar bisa membawa perubahan di Indonesia. Sosok yang amanah, bertanggung jawab, memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, dan cinta kepada rakyat Indonesia. Sosok yang bisa mengatur potensi sumber daya alam Indonesia untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Sayangnya praktik demokrasi di negara kita ini masih belum bisa melahirkan sosok pemimpin Indonesia yang seperti itu. Yang terjadi adalah hal sebaliknya, banyak sekali pemimpin yang dipilih secara demokratis namun akhirnya mengecewakan. Krisis kepemmpinan di Indonesia, bisa dikatakan melanda semua era perjalanan bangsa Indonesia. Dimulai dari era Orde Lama dan Orde baru, memang pada masa itu Indonesia memiliki pemimpin yang hebat. Soekarno dengan gaya kekepimpinan yang kharismatik, sosok orator ulung yang mampu membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia, beliau merupakan sosok nasionalis yang anti terhadap kolonialisme. Sementara pada masa orde baru, Soeharto memiliki gaya kepemimpinan yang otoriter, dominan, dan sentralistis. Sebenarnya gaya kepemimpinan otoriter yang dimiliki oleh merupakan suatu gaya kepemimpinan yang tepat pada masa awal terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan pada masa itu tingkat pergolakan dan situasi yang
  • 3. 3 selalu tidak menentu dan juga tingkat pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Tak dapat dipungkiri bahwasanya selamat 32 tahun Soeharto telah berkontribusi besar terhadap kemajuan bangsa dan Negara Indonesia. Namun, dirasa pada awal tahun 1990-an dirasa cara memimpin Soeharto yang bersifat otoriter ini kurang tepat, karena keadaan yang terjadi di Indonesia sudah banyak berubah. Masyarakat semakin cerdas dan semakin paham tentang hakikat negara demokratis. Krisis ekonomi dan kediktatoran Soeharto selama 32 tahun akhirnya runtuh. Hingga sekarang Sistem demokrasi yang seyogyanya menghasilkan masyarakat yang bebas dan sejahtera tidak terlihat hasilnya, malah kenyataannya bertolak belakang. Tingkat kesejahteraan rakyat menurun setelah reformasi, yang justru saat itulah dimulainya kebebasan berekspresi dan berpendapat. Ini meruapakan hal aneh mengingat sebenarnya tujuan dari politik di era demokrasi adalah kesejahteraan. Fungsi partai politik sebagai pemusatan kepentingan-kepentingan yang sama pun tidak berjalan mengingat tidak adanya partai politik yang konsisten dengan ideologinya. Banyak sekali kasus KKN dalam birokrasi dari pungli sampai suap. Ini menjadi bahaya laten karena menimbulkan ketidakpercayaan yang akut dari masyarakat kepada pemerintah. 1.2 RUMUSAN MASALAH Dari uraian diatas dapat ditarik rumusan permasalahan : 1.2.1 apakah kepemimpinan itu ? 1.2.2 bagaimana kepemimpinan seharusnya ? 1.3 MANFAAT PEMBAHASAN 1.3.1 Diharapkan mahasiswa mengerti apa yang dimaksud kepemimpinan 1.3.2 Diharapkan mahasiswa mengetahui bagaimana kepemimpinan seharusnya
  • 4. 4 BAB II PEMBAHASAN A. Kepemimpinan Kepemimpinan sesungguhnya tidak ditentukan oleh pangkat atau pun jabatan seseorang. Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi lingkungan pekerjaannya, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi negerinya. Hal ini dikatakan dengan lugas oleh seorang jenderal dari Angkatan Udara Amerika Serikat: ”I don’t think you have to be wearing stars on your shoulders or a title to be a leader. Anybody who wants to raise his hand can be a leader any time.” —General Ronal Fogleman, US Air Force— Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out). Ketika pada suatu hari filsuf besar Cina, Lao Tsu, ditanya oleh muridnya tentang siapakah pemimpin yang sejati, maka dia menjawab: As for the best leaders, the people do not notice their existence. The next best, the people honour And praise.
  • 5. 5 The next, the people fear, And the next the people hate. When the best leader’s work is done, The people say, ‘we did it ourselves’. AribowoPrijosaksono (http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/mandiri/2002/083/man01.html) Seringkali seorang pemimpin sejati tidak diketahui keberadaannya oleh mereka yang dipimpinnya. Bahkan ketika misi atau tugas terselesaikan, maka seluruh anggota tim akan mengatakan bahwa merekalah yang melakukannya sendiri. Pemimpin sejati adalah adalah kepemimpinan yang didasarkan pada kerendahan hati (humble). Ia adalah seorang pemberi semangat (encourager), motivator, inspirator, dan maximizer. Pemikiran seperti ini saat sekarang jarang ditemukan dan mungkin tidak bisa diterima oleh para pemimpin konvensional yang justru mengharapkan penghormatan dan pujian (honor and praise) dari mereka yang dipimpinnya. Semakin dipuji bahkan dikultuskan, semakin tinggi hati dan lupa dirilah seorang pemimpin. Seperti yang dikatakan oleh penulis buku terkenal, Kenneth H Blanchard (1982:115), bahwa kepemimpinan dimulai dari dalam hati dan keluar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Perubahan karakter adalah segala-galanya bagi seorang pemimpin sejati. Tanpa perubahan dari dalam, tanpa kedamaian diri, tanpa kerendahan hati, tanpa adanya integritas yang kokoh, daya tahan menghadapi kesulitan dan tantangan, dan visi serta misi yang jelas, seseorang tidak akan pernah menjadi pemimpin sejati. B. Kepemimpinan Menurut Budaya Jawa Dalam budaya jawa sifat seorang pemimpin sarat dengan kerendahan hati, dan visi luhur. Visi luhur seorang pemimpin yang utama adalah dapat mengantarkan rakyatnya dalam kesejahteraan hidup yang hakiki, dalam budaya jawa sifat pemimpin demikian sering disimbulkan dengan benda atau kondisi alam, visi seorang pemimpin menurut budaya jawa adalah : 1. Pemimpin yang mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya (empowerment) yang disimbulkan oleh surya (matahari) memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. 2. Seorang pemimpin yang mampu memberi semangat (motivation) kepada rakyatnya di tengah suasana suka ataupun duka yang disimbulkan dengan candra (bulan), yang memancarkan sinar di tengah kegelapan malam. 3. Seorang pemimpin yang mampu menjadi teladan dan pencerahan (enlightmen), bagi rakyatnya untuk berbuat kebaikan yang disimbulkan sebagai kartika (bintang),
  • 6. 6 memancarkan sinar kemilauan, berada di tempat tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah, 4. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam menampung pendapat rakyatnya yang bermacam-macam yang disimbulkan dengan angkasa (langit), luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang. 5. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat da martabatnya yang disimbulkan dengan maruta (angin), selalu ada dimana- mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. 6. Pemimpin hendaknya bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya yang disimbulkan dengan samudra (laut/air), betapapun luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan. 7. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu yang disimbulkan dengan dahana (api), mempunyai kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya, dan 8. Pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani) pada rakyatnya untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya yang disimbulkan dengan bhumi (bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati. Selalu memberi hasil kepada yang merawatnya. Filsafat kepemimpinan bagi budaya jawa mengandung makna sikap pemimpin yang membawa ketenangan dan kewibawaan hidup rakyatnya, seperti : Ojo gumunan, ojo kagetan lan ojo dumeh. Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru (walau sebenarnya amat sangat heran), tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal di luar dugaan dan tidak boleh sombong (dumeh) dan aji mumpung sewaktu menjadi seorang pemimpin. Hal ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan emosi bagi seorang pemimpin. Dalam budaya jawa juga mengajarkan sikap yang hendaknya dilakukan oleh seorang bawahan atau rakyat seperti tidak mengandalakan egoisme individu, terlebih untuk mempermalukan atasan, seperti digambarkan dengan, keno cepet ning aja ndhisiki, keno pinter ning aja ngguroni,keno takon ning aja ngrusuhi. Maksudnya, boleh cepat tapi jangan mendahului (sang pimpinan) , boleh pintar tapi jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya tapi jangan menyudutkan pimpinan. Seorang anak buah atau rakyat hendaknya jangan bertindak yang memalukan pimpinan, walau dia mungkin lebih mampu dari sang pemimpin. Penyampaian pendapat tidak harus dengan memalukan,menggurui dan mendemonstrasi (ngrusuhi) pimpinan, namun pasti ada cara di luar itu yang lebih baik.
  • 7. 7 C. Beberapa pandangan tentang Kepemimpinan Ada yang beranggapan bahwa pemimpin sebagaimana yang digambarkan oleh budaya jawa di atas mestilah seorang yang memiliki kharisma, tanpa kharisma yang dimiliki seorang pemimpin, maka visi tak dapat direalisasikan seperti kharisma yang melekat pada seorang raja. Pada pandangan yang lebih baru, kharisma bukanlah semata-mata “dilahirkan” namun dapat dibentuk karena visinya, karakternya, Yukl (1994: 226) mengutip beberapa pengertian pemimpin kharismatik sebagai berikut, "suatu hasil persepsi para pengikut dan atribut-atribut yang dipengaruhi oleh kemampuan- kemampuan aktual dan prilaku dari para pemimpin dalam konteks situasi kepemimpinan dan dalam kebutuhan-kebutuhn individual maupun kolektif para pengikut " Ada teori atribusi yang menyatakan bahwa kepemimpinan karismatik didasarkan atas asumsi bahwa karisma adalah sebuah fenomena atribusi (Conger & Kanungo, 1987) dan ada juga yang menyatakan bahwa karismatik seorang pemimpin dapat dilihat pada sejauh mana apeksi seorang pengikut, keterlibatan emosi dan motivasi yang tinggi didasari pengorbanan jiwa yang luar biasa (Shamir, house, Arthur, 1993). Menyimak dari pandangan ini maka untuk menjadi seorang pemimpin yang “mumpuni” tak haruslah pemimpin yang memiliki kharisma, melainkan yang memiliki visi, kehendak luhur, dan memilikik pengorbanan jiwa yang besar. Sebagaimana fithrah manusia yang dicipta oleh Yang Maha Kuasa sebagai khalifah di muka bumi, maka manusia sudah di “stempel” oleh Pencipta sebagai pemimpin di muka bumi, ia berarti siap mengorbankan apa saja demi fithrahnya. Sebagai khalifah ia memiliki peran memelihara, memanfaatkan dan memakmurkan isi semesta, termasuk manusia itu sendiri. Dunia selalu berubah, tuntutan manusiapun ikut berubah. Banyak kalangan mengatakan bahwa pemimpin yang ideal saat ini adalah pemimpin yang demokratis, karena tuntutan demokratisasi, termasuk Indonesia. Berbagai kalangan pengamat kepemimpinan membenarkan kesimpulan yang menyatakan bahwa “bangsa kita tidak terlalu siap dalam menghadapi tuntutan demokratisasi, desentralisasi, dan globalisasi” itu. Demokratisasi yang terjadi telah diwarnai dengan euforia kebebasan yang berlebihan, dan diisi dengan pertentangan antar elit politik secara menyedihkan. Desentralisasi tidak terencana secara baik, pelimpahan kewenangan terasa tanpa didasari perhitungan dan persiapan yang matang, peningkatan pelayanan prima yang merupakan salah satu tujuan utama dari otonomi masih jauh dari kenyataan. Globalisasi yang menuntut peningkatan daya saing ditandai dengan semakin merosotnya tingkat daya saing nasional dalam perekonomian dunia. Bangsa kita terasa masih tenggelam dengan permasalahan yang timbul sebagai akibat kesalahan mendasar yang dibuatnya sendiri; khususnya yang dilakukan para pemimpinnya (Mustopadidjaja, http://aparaturnegara.bappenas.go.id).
  • 8. 8 Kita pahami, demokrasi merupakan pilihan terbaik dalam penyelenggaraan negara yang pernah dihasilkan sejarah kemanusiaan dan peradaban manusia. Oleh sebab itu demokratisasi harus disertai semangat dan nilai-nilai peradaban yang luhur dan sesuai fitrah manusia. Demokrasi memang mengandung makna kebebasan dan optimalitas pelaksanaan hak-hak asasi manusia dari, oleh, dan bagi seluruh warga bangsa dan bangsa-bangsa, tanpa membedakannya berdasar latar belakang etnik, agama, ideologi, ataupun domisili. Demokrasi adalah pencapaian konsensus atau kebersamaan dalam keragaman atau pluralitas. Demokratisasi adalah debat mengenai kepentingan bersama, bukan konflik berkepanjangan demi kepentingan pribadi atau golongan. Demokratisasi adalah menghargai keputusan bersama sebagai hasil musyawarah ataupun perdebatan rasional melalui lembaga-lembaga demokrasi. Demokrasi adalah suatu bentuk “rational human cooperation” dengan sistem kelembagaan yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan hukum yang berkeadilan; serta “keadaban” berupa kepatuhan pada keputusan bersama yang diambil secara objektif, rasional dan manusiawi melalui sistem kelembagaan yang berkembang dalam penyelenggaraan negara sebagai wujud penghargaan terhadap pluralitas. Namun, yang berkembang kelihatannya bukan “kerjasama yang rasional dan manusiawi” melainkan konflik, desintegrasi, dan perilaku yang seakan tidak mencerminkan pemahaman akan nilai-nilai peradaban demokrasi yang luhur. Dari sudut falsafah dan ilmu pengetahuan administrasi negara, demokrasi adalah kearifan (wisdom) dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan umum dan pem-bangunan; yang termanifestasikan dalam pengelolaan kebijakan pemerintahan (public policy) untuk mengatasi masalah-masalah publik (public affairs) dan untuk mengoptimalkan pencapaian kepentingan publik (public interests), termasuk pertanggung-jawaban kinerja kebijakan tersebut. Ini yang kiranya kurang dipahami (Mustopadidjaja, http://aparaturnegara.bappenas.go.id). Pada kenyataanya demokrasi hanya dipahami dalam konteks pemilihan seorang pemimpin negara atau kepala daerah dan bukan dalam konteks isi kepemimpinan itu sendiri. Karena isi kepemimpinan itu sendiri banyak ditentukan oleh seorang pemimpin maka ada beberapa faktor penting yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin. Beberapa faktor tersebut adalah: Ada beberapa faktor penting yg harus dimiliki seorang pemimpin: 1. Confident (percaya diri) Inilah syarat pertama yang semestinya dimiliki siapapun yang ingin jadi pemimpin. Jangan berharap dan bermimpi jadi pemimpin kalau tidak percaya diri. Artinya percaya diri di sini berbeda dengan pengertian percaya diri pada umumnya, percaya diri dimaksud adalah percaya bahwa dirinya adalah mendadapat amanah dari Yang Maha Kuasa sebagai khalifah di muka bumi. Beberapa ciri nya adalah :
  • 9. 9 Selalu menganggap setiap orang sejajar dengan dirinya, tidak lebih tinggi dan tidak lebih rendah. Tidak menunduk atau mengangkat kepala, apapun status orang yang dihadapi: Sopan dan rendah hati. Kesopanan dan kerendahhatian terkadang kabur maknanya dengan keminderan. Pemimpin sopan bukan karena minder, tapi karena memang etika sosial yg harus diikuti. Lebih mengutamakan hal substantif/mendasar/prinsip dari pada hal-hal remeh tapi dianggap penting oleh orang kebanyakan. 2. Visi. Kenneth Blanchard (1982: 132) mengatakan bahwa pemimpin harus memiliki visi atau wawasan ke depan yang jelas. Bahwa kepemimpinan dimulai dari dalam hati dan keluar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Perubahan karakter adalah segala-galanya bagi seorang pemimpin sejati. Tanpa perubahan dari dalam, tanpa kedamaian diri, tanpa kerendahan hati, tanpa adanya integritas yang kokoh, daya tahan menghadapi kesulitan dan tantangan, dan visi serta misi yang jelas, seseorang tidak akan pernah menjadi pemimpin sejati. Apakah persamaan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh sekaliber Sir Winston Churchill, Soekarno, Mohammad Hatta, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr, Bunda Teresa, Nelson Mandela, Kim Dae-jung, Henry Ford, Walt Disney, Jack Welch, Konosuke Matsushita, Rich DeVos– Jay Van Andel, Steve Jobs, Bill Gates, Larry Ellison, Andy Grove, Michael Dell, Jeff Bezos, dan Lou Gerstner? Sedikitnya dapat disebutkan dua hal ini: pertama, visi besar dan jelas (great-clear- bold vision); kedua, konstituen yang tulus dan antusias (willing and enthusiastic constituents). Terhadap jawaban itu dapat ditambahkan bahwa mereka sama-sama manusia yang pernah dilahirkan di muka bumi, pernah melakukan serangkaian aktivitas terencana dalam hidupnya, dan kemudian dikenal dunia sebagai negarawan, pemimpin besar, perintis dan agen perubahan, inovator-kreator, konglomerat, orang-orang terkaya, dan seterusnya. Kita tahu bahwa “bisnis” utama para pemimpin sejati adalah visi. Mereka melakukan “survai pasar” untuk mengenai kebutuhan “konsumennya”. Mereka merancang konsep “produk dan jasa” yang akan “diproduksinya”. Mereka mempersiapkan “saluran distribusi”, melakukan “promosi”, dan merekrut “agen-agen” sampai “pengecer”. Mereka menetapkan “harga produk/jasa” dan memberikan “personal guarantee” kepada para “konsumen”. Singkatnya, mereka melakukan segala aktivitas “pemasaran” dalam arti yang seluas-luasnya untuk memastikan visi yang dirumuskannya “laris terjual” Apakah para pemimpin visioner itu “cuma” sekadar “pemasar” saja? Tidak. Mereka juga “mengkonsumsi” sendiri visi yang dirumuskannya itu. Mereka hidup dari situ, mereka makan dan minum dari situ, mereka bernafas dari situ. Mereka menjadi “pasangan” dari visi yang dikampanyekannya. Begitulah, sejarah mengajarkan kepada kita bahwa menjadi pemimpin itu tidak
  • 10. 10 mungkin, bila tanpa visi. Kepemimpinan tanpa visi itu tidak ada. Kalaupun ada, hanya seolah-olah ada, tidak sejati, tidak sungguh-sungguh ada. 3. Idealisme. Pemimpin memiliki kepribadian kuat. Bersikap idealis. Dia konsisten pada nilai-nilai idealisme. Tapi rela bersikap kompromistis, elastis atau pragmatis pada hal-hal yang tidak prinsipil. Pelajaran mengenai idealisme sejati dapat kita peroleh dari kisah hidup Nelson Mandela. Seorang pemimpin besar Afrika Selatan, yang membawa bangsanya dari negara yang rasialis, menjadi negara yang demokratis dan merdeka. Bagaimana Nelson Mandela menceritakan bahwa selama penderitaan 27 tahun dalam penjara pemerintah Apartheid, justru melahirkan perubahan dalam dirinya. Dia mengalami perubahan karakter dan memperoleh kedamaian dalam dirinya. Sehingga dia menjadi manusia yang rendah hati dan mau memaafkan mereka yang telah membuatnya menderitaselamabertahun-tahun. 4. Tanggung Jawab. Salah satu hal yang membuat orang percaya pada seseorang pemimpin adalah karena dinilai memiliki tanggung jawab. Tanggung jawab itu identik/intrinsik/koheren dengan sikap konsisten dalam ucapan dan perilaku. Tanggung jawab juga berkaitan erat dengan sikap semangat yang stabil dari awal tugas sampai akhir. Tidak hangat-hangat kuku. Dan akan selalu melakukan dan menyelesaikan tugas yg diemban dengan penuh dedikasi, tanpa peduli tugasnya mendapat apresiasi atau kritikan bahkan makian. Karena ia tahu, melaksanakan tugas dan menyelesaikannya sampai tuntas adalah dalam rangka membangun kredibilitas kepemimpinannya sendiri di masa sekarang dan masa depan. 5. Egaliter/merakyat Salah satu ciri menyolok dari pemimpin massa yang karismatik dan populer adalah sikapnya yang egaliter atau merakyat dan accessible (mudah dihubungi). Biasanya orang pada umumnya jika memiliki sedikit kelebihan (entah itu jabatan, status atau kepintaran) dari yang lain sudah merasa pongah dan susah ditemui. Menjadi egaliter tidak akan membuat kita diremehkan, sebaliknya justru semakin mengundang kekaguman dan simpati. Sikap egaliter itu identik dengan kerendah hatian. Salah satu ciri rendah hati (tawadhu‟ ) adalah open-minded dan tidak marah ketika dikritik, ketika dihina, ketika dicaci. Karena dalam semuanya selalu terdapa kebenaran. Kebenaran tidak hanya terbungkus dalam kotak beludru yang indah dan rapi, ia terkadang berada dalam tumpukan sampah yang kotor. 6. Caring/Tidak Selfish atau Egois
  • 11. 11 Caring berarti selalu peduli pada nasib orang lain. Pemimpin kredibel selalu “mengalah” ketika kepentingan pribadinya bertabrakan dengan kepentingan umum. Ia selalu berkorban. Termasuk mengorbankan perasaannya sendiri bilamana perlu. Ia tidak ingin senang di saat „anak buah‟ nya sengsara, baik lahir atau batin. Kredibilitas pribadi seorang pemimpin baru teruji disaat ia menghadapi “ujian” yang dianggapnya terberat. Apabila ia kuat melawan “ujian” itu, ia lulus dan akan semakin kredibel. Apabila tidak, ia hanya akan jadi pemimpin sampah yang akan dimakan debu sejarah. Beda pribadi yang kuat dengan yang lembek adalah di saat krisis terberat datang. Karena di saat tenang, semua orang dapat jadi pemimpin. Ujian terberat, sebagaimana peluang emas, terkadang datang cuma sekali; tapi ia sangat vital dalam menentukan pola masa depan. 7. Dignified (bermartabat) Pemimpin itu simbol yg mewakili institusi dan seluruh anggotanya. Citra baik atau buruk sang pemimpin akan mempengaruhi citra institusi dan anggotanya. Ketika jadi pemimpin, ia tak lagi milik dirinya sendiri dan merasa bebas berbuat apa saja. Ketika akan melakukan sesuatu, hal pertama yg mesti diingat seorang pemimpin adalah adakah hal itu akan merusak martabat institusi, anggota dan kepemimpinannya? Apabila berhasil memenuhi segala kriteria di atas, kepemimpinan tidak akan berhenti sampai di sini. Ia akan terus berlanjut sampai di masa datang. Karena pemimpin kredibel itu langka adanya dan mahal harganya. Ia akan dicari walaupun dia berada di sebuah lereng gunung atau di dalam hutan yang tak berpenghuni. (www.fatihsyuhud.com) Tom Stevens pada tahun 2004 menulis dalam jurnalnya dan telah berpengalaman dalam pelatihan kepemimpinan mengatakan bahwa ada 5 dimensi penting yang sebaiknya dimiliki oleh seorang pemimpin untuk mensukseskan kepemimpinannya yakni apa yang disebut dengan At To HELM yang digambarkan sebuah segilima HELM: yang dia sebut dengan The dimensions are Head, Expert, Lead, Manage (HELM), each interconnected to You and the unique Character you bring to leadership. 1. Head The ‘head’ is a role that is recognized as having a formal position of accountability, power, or control, relative to others. Usually this role has a title, whether boss, chief, director, team leader or manager. 2. Expert
  • 12. 12 The ‘Expert’ role is recognized as having specialized experience, skill, or knowledge, often in the form of credentials, education, or licensure, to be used for the benefit of another person or entity. The driving objective of the Expert dimension is credibility – adherence to parameters set by a profession, evidence-based practices, or other standards. 3. Lead Leading is the act of gaining willing followers for a course of action when the path forward is unclear or undetermined. The act of leading begins when people choose to follow someone on a course of action. The skill of leading is to create relationships and environments where people willingly choose to follow. The driving objective of leading is change - movement from one state or condition to another. 4. Manage Managing is the act of aligning resources within established processes to achieve predetermined objectives. It requires skill in handling the resources managed. The core objective of managing is stability - to achieve goals efficiently, effectively, and predictably. (Stevens 2004, www.esquareleadership.com/thinkfreearticles) Kelima dimensi ini menunjuk bahwa seorang pemimpin yang sukses haruslah memiliki kapasitas sebagai atasan yang harus bertanggungjawab dan mengendalikan keseluruhan aktivitas, Sebagai Expert, pemimpin haruslah memiliki keahlian sehingga ia menjadi pemimpin yang kredibel dan menguasai permasalahan. Pemimpin juga sebagai pembimbing yang dapat mengarahkan dan merubah dari kondisi satu ke kondisi yang lain yang lebih baik, dan pemimpin haruslah sebagai pengatur semua sumberdaya ke arah tujuan organisasi secara efisien, efektiv dan memiliki masa depan. Di muka telah dijelaskan secara ringkas banyak hal yang bisa dikupas perihal kepemimpinan dari kepemimpinan budaya jawa sampai kepemimpinan berbasis skuler. Semuanya tampak baik, memikat dan banyak hal tampak bisa ditiru. Karena begitu menariknya bahasan tentang kepemimpinan atau leadership, tidak kurang dari 90.000 tema di Amazon berkaitan dengan leadreship ini. Lalu bagaimana kepemimpinan yang sebenarnya? Yang Maha Kuasa mencontohkan kepemimpinan Fir’aun, yang menganggap dirinya Tuhan. Cukuplah Fir’aun sebagai contoh manusia paling sekuler, dan jangan sampai ada lagi masyarakat yang mencetak pemimpin seperti dia. Cukuplah Fir’aun sebagai pelajaran, jangan sampai berulang lagi muncul masyarakat seperti masyarakat Fir’aun yang mau dibodohi. Padahal sebenarnya Fir’aun itu sangat lemah. Ia menjadi raja karena dapat dukungan rakyatnya. Coba rakyatnya bersepakat untuk
  • 13. 13 menghancurkannya, Fir’aun pasti tidak akan berdaya apa-apa. Sungguh bila belajar dari perjalanan para orang-orang yang patuh pada Yang Maha Kuasa, kita menemukan fakta masyarakat yang berani berkorban apa saja demi sebuah idealisme. Mereka berani hijrah meninggalkan tanah air bahkan harta dan rumah yang sangat mereka banggakan, demi idealisme. Mereka bahkan berani mengorbankan jiwa mereka dalam berbagai pertempuran demi idealisme. Apa yang membedakan negeri yang dipimpin oleh sekuler dan negeri yang religi? Negara-negara yang dipimpin oleh pola kepemimpinan sekuler, mereka memimpin dengan penuh ambisius menghalalkan segala cara demi ambisinya. Negara-negara sekuler seperti Inggris, Belanda misalnya di awal permulaan abad ini mereka hidup makmur melalui eksploitasi sumberdaya negara lain. Mereka mengekploitasi negara lain yang buminya makmur penuh berkah, mereka mengekploitasi karena negerinya tak dapat menghidupi penduduknya. Sekulerime yang mereka anut tampaknya memberi dampak bumi mereka tak cukup dapat memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sekirnya dapat disimpulkan secara ringkas pola kepemimpinan sekuler membawa akibat bumi dan tanahnya tak dapat makmur. Jasirah Arab misalnya pada saat negara-negara tersebut masih dalam jaman “bodoh” (dalam arti tak dapat memandang kebenaran), negeri-negeri tersebut tandus, kering kerontang, buminya tak dapat menghidupi penduduknya. Negeri Sabak (negara Yaman) misalnya semula subur-makmur, namun setelah menjadi negeri yang sekuler yang tidak lagi patuh kepada Yang Maha Kuasa berubahlah negeri yang makmur diterjang banjir besar, buminya menjadi tandus, kecuali sebagian kecil Yaman. Hal ini membawa pelajaran bagi generasi berikutnya, setelah jasirah Arab mengalami masa pencerahan beralih pada negeri yang religius, tanah yang gersang, kering kerontang, berubah negeri yang makmur, bahkan negeri yang dapat menghidupi penduduk seluruh negeri di dunia dengan limpahan kekayaan alamnya. Kepemimpinan yang religius telah membawa keberkahan bagi bumi dan penduduknya. Adakah indikator kepemimpinan sekuler yang ternyata membawa sengsara hidup penduduknya? Jika menyimak perjalanan sejarah kepemimpinan sekuler adalah kepemimpinan yang tidak berbasis pada nilai-nilai Ke Esaan Pencipta, kepemimpinan yang hanya didasarkan atas logika semata demi ambisi orang per orang dengan dalih kesejahteraan rakyat. Pemimpin yang dipilih oleh rakyat dengan dalih suara rakyat adalah suara tuhan, belum ada bukti negeri yang demikian adalah negeri yang buminya penuh berkah. Karena pemimpin dipilih rakyat tidak salah bila kandidat kepada daerah, calon presiden semuanya mengaku sebagai calon pemimpin bangsa, mengiklankan diri bisa membawa bangsanya pada keadaan lebih baik, makmur, adil, sejahtera. Banyak visi telah diungkapkan, banyak janji yang telah disampaikan, untuk merebut suara rakyat sebanyak-banyaknya. Dengan dalih suara rakyat adalah suara tuhan, maka demokrasi ditegakkan, rakyat sebagai dalih untuk melegitimasi kekuasaannya. Yang menarik adalah para kandidat “menantang” amanah dari “rakyat”, amanah diminta dan bukan diberikan. Inilah yang
  • 14. 14 berbeda dengan pemimpin terdahulu yang sering disebut dengan khalifah Pemimpin pada zaman itu (zaman kenabian sampai pada generasi sesudahnya). Tidak pernah para pemimpin atau khalifah minta dipilih atau minta amanah untuk dijadikan pemimpin atau penguasa. Mereka secara santun memberikan kesempatan pihak lain untuk menjadi pemimpin. Dengan kerendahan hatinya tak merasa lebih baik dari pihak lain. Ketika Abubakar Siddig diminta untuk menjadi khalifah, dengan santun merasa yang lebih mampu adalah sahabat Umar, ketika amanah jatuh pada diri Umar, Umar bin Khatabpun dengan santun menolak dan menunjuk Ali bin Abuthalib yang layak untuk menjadi khalifah. Ternyata Ali pun menolaknya dan dengan santun agar khalifah bisa diamanahkan pada sahabat Abubakar, dan akhirnya ditetapkanlah Abubakar siddig menjadi khalifah. Sekiranya boleh mengasumsikan kepemimpinan pada zaman sekarang, yang merasa lebih baik dari pihak lain pada proses kepemimpinan, boleh jadi mirip dengan sifat iblis yang merasa lebih baik dan lebih mulia dari Adam saat itu. Sifat merasa lebih baik tak pernah dicontohkan dalam kepemimpinan yang berbasis religi kecuali pada pemerintahan sekuler.
  • 15. 15 BAB III PENUTUPAN Kesimpulan Dengan dalih dewa demokrasi, bahwa suara rakyat adalah suara tuhan, telah mengorbankan kesantunan dalam perikehidupan ”aku lebih baik dari yang lain”. Pilihan rakyat menjadi pilihan utama, dan menjadi simbul legitimasi ingin dipuji dan dijunjung tinggi. Sekiranya pada tahun 630an di jazirah Arab menggunakan asumsi demokrasi bahwa suara rakyat adalah suara tuhan, maka yang menang dalam pemilihan saat itu adalah Abu Jahal simbul suara rakyat yang sekuler, karena dia adalah yang mewakili rakyatnya saat itu yakni rakyat jahiliah. Akankah kita akan justru beralih dari masyarakat yang beradab menjadi masyarakat jahil, bodoh? Akankah kita mengulang pada jaman Nabi Nuh, atau kaum Sabak? Kerusakan alam saat itu bukan disebabkan oleh kerusakan hutan, ekplorasi hasil bumi, melainkan disebabkan oleh kebodohan rakyat yang tak dapat memandang kebenaran. Manusia jahilah yang merusak daratan dan lautan, yang memandang nafsunya lebih baik dan dapat menyelesaikan permasalahan kehidupan. Dari pelajaran itu terlihat bahwa daratan menjadi tandus tak dapat menghidupi penduduknya, buminya tak dapat mengeluarkan kemakmuran bagi penduduk yang mendiaminya. Suara rakyat kebanyakan telah menjadi alat legitimasi, siapapun yang mendapat suara terbanyak maka layak menjadi penguasa. Tidak ada jaminan suara terbanyak adalah suara kebenaran, Dalam pandangan Islam, disebutkan bahwa Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (Qs.6:116) Orang bodoh (sekuler) boleh jadi tak dapat memandang kebenaran ini. Kalau hendak mau memandang fakta, bahwa negara-negara sekuler, yang dipelopori oleh Amerika dan Eropa, bumi mereka tak dapat menghidupi penduduknya, oleh karenanya wajar mereka hidup dengan menjajah negara-negara yang makmur negara-negara yang penduduknya religius. Tanah mereka tak bisa menghidupi penduduknya, kegersangan tanahnya menjadikan mereka bernafsu mengekploitasi hasil bumi dari negara lain. Bumi makmur berubah menjadi tandus sebagaimana pada kaum Sabak. Bagaimana dengan kita, Indonesia? Berapa luas bumi kita telah menjadi rusak, tandus, tanah-tanah subur berubah menjadi kubangan-kubangan, danau-danau baru karena akibat terjebak dalam sekulerisme? Tak dapatkah kita belajar dari fakta demikian?
  • 16. 16 ”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya…(Qs. 7:96)
  • 17. 17 DAFTAR PUSTAKA Bass, 1995. Locke et.al., 1991., dalam Mochammad Teguh, dkk., 2001:69. Blancard, Kenneth H., Prentice Hall,Inc, 1982 Fakih , Aunur Rohim, dk., 2001, Kepemimpinan Islam, UII Press, Yogyakarta. Nawawi, Hadari, 1993, Kepemimpinan Menurut Islam, Gadjah Mada University Prehalindo, Jakarta, 1994 Rangkuti, Bachrub, Kepemimpinan Muhammad Rasulullah, t.p. Press, Yogyakarta. Teguh, Mochammad, dkk., 2001, Latihan Kepemimpinan Islam Tingkat Dasar [LKID], UII Press, Yogyakarta. Mujiono, Imam, 2002, Kepemimpinan dan Keorganisasian, UII Press, Yogyakarta. Yukl, Garry, Kepemimpinan dalam organisasi (terjemahan). Jusuf udaya, Stevens 2004, www.esquareleadership.com/thinkfreearticles AribowoPrijosaksonohttp://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/mandiri/2002/083/man01.html Mustopadidjaja, http://aparaturnegara.bappenas.go.id. www.fatihsyuhud.com http://herususilofia.lecture.ub.ac.id/ http://aditya87.wordpress.com/2008/09/14/kegagalan-demokrasi-indonesia/