Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
SlideShare a Scribd company logo
MASALAH-MASALAH OTONOMI DAERAH Bahan Kuliah untuk Mahasiswa  Program S1-PIN Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik  Universitas Mulawarman, Samarinda Oleh : Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
OVERVIEW Desentralisasi dengan Dekonsentrasi? Daerah Otonom dengan Wilayah Administratif? Otonomi Daerah dengan Daerah Otonom? Pemerintah Daerah dengan Pemerintahan Daerah? Pemerintahan Daerah dengan Pemerintahan  di  Daerah? Apa Bedanya:
Desentralisasi  vs  Dekonsentrasi Desentralisasi :  penyerahan wewenang  pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI.  Dekonsentrasi :  pelimpahan wewenang  pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Otonomi Daerah  vs  Daerah Otonom Otonomi Daerah :  hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom  untuk  mengatur dan mengurus  sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.  Daerah Otonom :  kesatuan masyarakat hukum  yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang  mengatur dan mengurus urusan  pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut  prakarsa sendiri   berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.
Daerah Otonom  vs  Wil. Administratif Daerah Otonom : implikasi asas  Desentralisasi     hak / wewenang mengatur dan mengurus sendiri urusan RT-nya. Wilayah Administratif : implikasi asas  Dekonsentrasi     hak / wewenang mengatur dan mengurus urusan Pemerintah Pusat di daerah; oleh aparat Pusat di daerah; dengan sumber daya Pusat di daerah.
Pemerintah Daerah  vs  Pemerintahan Daerah  Pemerintah Daerah :  unsur penyelenggara pemerintahan daerah  yang terdiri dari Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah.  Pemerintahan Daerah : penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh  pemerintah daerah dan DPRD  menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI.
Pemerintahan Daerah  vs  Pemerintahan  di  Daerah  Pemerintahan Daerah : UU No. 22 / 1999 dan UU No. 32 / 2004 Propinsi    Daerah Otonom dan “Wakil Pemerintah” Kab/Kota    Daerah Otonom saja. Kecamatan & Kelurahan adalah perangkat Daerah. Pemerintahan  di  Daerah : UU No. 5 / 1974 Propinsi dan Kab/Kodya memiliki 2 (dua) kedudukan sebagai Daerah Otonom sekaligus Wilayah Administratif. Kecamatan & Kelurahan adalah instansi vertikal / perangkat Pusat di daerah.
Sumber: Data diolah dari berbagai media massa (2005 – 2007)
MASALAH 2  OTDA Pemekaran Wilayah Kelembagaan Perangkat Daerah SDM (pegawai) Keuangan (kapasitas fiskal) Akselerasi Pembangunan Daerah (pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, pelayanan publik, dll) ( Sumber  :  Karhi Nisjar, Orasi Ilmiah pada  Dies Natalis XIX Universitas Dr. Soetomo, Surabaya )
UNDP …  (2000: 60-61) Decentralized governance , when  carefully planned , effectively implemented, and appropriately managed, can lead to significant  improvement in the welfare of people at the local level, the cumulative effect of which can lead to enhanced human development . In addition, if decentralization involves real devolution of power to local levels, the  enabling environment for poverty reduction is likely to be stronger . On the contrary,  badly planned  decentralization  can worsen regional inequalities . Left to their own devices,  richer regions are likely to develop faster than poor ones . And a system of matching grants, intended by central government to motivate local government to raise funds, typically exacerbates regional disparities.
Postulat: Otonomi Daerah memiliki korelasi POSITIF terhadap peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Jika pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat tidak semakin baik, berarti ada kesalahan dalam menafsirkan dan menjalankan Otonomi Daerah. Otonomi Daerah perlu dikawal oleh seluruh pihak untuk menjamin tercapainya pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.
Decentralization can be a means of overcoming the severe limitations of centrally controlled national planning. Decentralization can cut through the enormous amounts of red tape and the highly structured procedures. Officials’ knowledge of and sensitivity to local problems and needs can be increased. Decentralization can allow better political and administrative “penetration” of national government policies into areas remote from the national capital. Decentralization might allow greater representation for various political, religious, ethnic, and tribal groups in development decision making that lead to greater equity in the allocation of resources. Decentralization could expand local governments’ and private institutions’ capacity to take over functions that are not usually performed well by central ministries.  The efficiency of the central government could be increased.  Manfaat Desentralisasi (1)
Manfaat Desentralisasi (2) Decentralization can provide a structure through which activities of various central government ministries and agencies could be coordinated more effectively. Decentralization is needed to institutionalize participation of citizens in development planning and management. Decentralization might offset the influence or control over development activities by entrenched local elites.  Decentralization can lead to more flexible, innovative, and creative administration. Decentralization allows local leaders to locate services and facilities more effectively within communities. Decentralization can increase political stability and national unity by giving groups the ability to participate more directly in development decision-making. Decentralization can increase the number of public goods and services and the efficiency with which they are delivered at lower cost.
Manfaat Desentralisasi (3) Desentralisasi meningkatkan level transparansi dan akuntabilitas serta berkembangnya praktek  good governance . Kebutuhan daerah akan terpenuhi secara lebih baik sebagai akibat diberikannya otonomi. Para penguasa akan dapat diawasi secara langsung oleh masyarakat setempat.  Inisiatif penduduk lokal dan kreativitas publik akan berkembang bebas karena mengendornya pengawasan Pusat yang terlalu kuat pada berbagai aspek kehidupan masyarakat  Hadiz  (2003: 16)
Makin tingginya disparitas antar daerah  Bahaya Desentralisasi (Prud’Homme, 1985) Potensi dan kemampuan setiap daerah berbeda-beda, terutama dalam pemilikan sumber daya, sementara desentralisasi berarti memberikan kewenangan yang luas kepada daerah dalam mengurusi aktivitasnya termasuk aktivitas ekonomi. Daerah bebas dalam mengolah sumber daya, menerapkan kebijakan fiskal. Karena potensi dan kemampuan daerah berbeda-beda, maka disparitas antar daerah akan semakin tinggi. Daerah yang kaya dan memiliki struktur ekonomi yang lebih seimbang akan melaju cepat, sementara itu Daerah yang miskin akan ketinggalan.
Inefisiensi produksi dan alokasi . Bahaya Desentralisasi ..  cont. Daerah akan memaksakan diri dalam melakukan produksi suatu komoditas tertentu meskipun secara ekonomis tidak terlalu menguntungkan, sehingga secara nasional dapat dinilai sebagai inefisiensi dalam alokasi sumber daya. Sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk komoditas lain, karena motivasi kemandirian, akhirnya dialokasikan kepada komoditas tertentu yang kurang efisien.
Instabilitas yg berpangkal dari luasnya kewenangan daerah dalam kebijakan fiskal . Bahaya Desentralisasi ..  cont. “ Meskipun desentralisasi fiskal memberikan manfaat di beberapa negara seperti China, India, negara-negara Amerika Latin, serta negara-negara lain di belahan di dunia ini, namun di sisi lain memunculkan 3 masalah utama, yaitu: meningkatnya ketidakadilan (kesenjangan), instabilitas makroekonomi, dan adanya resiko kewenangan lokal yang dapat menyebabkan kesalahan dalam alokasi sumber daya” ( World Development Report: The State in a Changing World , 1997 ).
Cross-country experiences El Salvador : meningkatnya kemandirian masyarakat / aktor sekolah dan kualitas pembelajaran. Dengan meningkatnya partisipasi orang tua, setiap sekolah yang dikelola masyarakat ( community-managed school ) menunjukkan tingkat absensi (meninggalkan kewajiban) yang semakin rendah. Ni karagua : dengan melakukan pengawasan terhadap latar belakang keluarga, murid-murid sekolah diberi hak membuat sendiri keputusan yang berhubungan dengan sekolah mereka. Hal ini ternyata berdampak pada raihan nilai yang lebih baik dalam setiap tes atau ujian. McLean d an King (1999: 55)
Cross-country experiences Manfaat di bidang kesehatan: More rational and unified health service that caters to local preferences. Improvement of health programs implementation. Lessened duplication of services as the target of populations is defined more specifically. Reduction of inequalities between rural and urban areas. Cost containment from moving to streamlined, targeted programs. Greater community financing and involvement of local communities. Greater integration of activities of different public and private agencies. Improvement of inter-sectoral coordination, particularly in local government and rural development activities. Dampak negatif terjadi di P ilipina, Zambia, dan Papua Nugini . Anne Mills ( dalam Kolehmainen-Aitken, 1999: 57)
Cross-country experiences Peningkatan layanan kesehatan di Belo Horizonte, Brazil;  Peningkatan layanan perkotaan di Sinuapa, Honduras; Keberhasilan pelaksanaan berbagai proyek di Jamunia Tank Gram Panchayat, India;  Peningkatan layanan pendidikan di Ma’n dan Irbid, Jordan;  Perbaikan kualitas pemukiman di Pakistan;  Peningkatan layanan kesehatan dii 3 kota di Philipina;  Menggerakkan pembangunan ekonomi lokal di 3 kota Polish;  Peningkatan pendapatan rumah tangga di Ivory Park, South Africa;  Peningkatan jasa-jasa pasar melalui kemitraan dengan sektor swasta di Jinja, Uganda. Work  (2002)
Cross-country experiences Meningkatnya kepedulian dan penghargaan terhadap partisipasi masyarakat dalam proses politik di tingkat lokal. Perangkat Pemda memiliki komitmen yang makin kuat dalam pemberian layanan serta merasakan adanya tekanan yang berat dari masyarakat agar mereka meningkatkan kualitas pelayanan publik.  Pemerintah Kab/Kota dan antara Kab/Kota dengan Propinsi saling bekerjasama dan berbagi informasi untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Indonesia  (IRDA, 2002: 10)
Cross-country experiences Korupsi yang terdesentralisasi dan tersebar,  Aturan yang dijalankan oleh pejabat yang berjiwa “maling” ( predatory local officials ),  Merebaknya  money politics  dan konsolidasi politik gangster. Indonesia  (Hadiz, 2003: 16)  Uni Soviet Philipina Para predator itu … Thailand Indonesia
Indikator Keberhasilan OTDA EKONOMI pendapatan nasional perkapita. pengurangan jumlah penduduk miskin. tingkat pengangguran. gini ratio, luas daerah di bawah kurva lorenz, dll . SOSIAL rasio guru terhadap murid. rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk, dll. PRASARANA DASAR prasarana perhubungan. prasarana penerangan, dll.
PEMEKARAN WILAYAH
ISSU KRUSIAL PEMEKARAN Alasan pemekaran : meningkatkan pelayanan publik dan mendekatkan Pemda. Implikasi Pemekaran : Sumber daya keuangan makin terbatas. Meningkatkan  overhead-cost . Memperbanyak aktor (institusi) Pemda. Mendorong pembentukan lembaga vertikal: polisi, militer, kejaksaan, PN, dll.
APA YANG TERJADI ??? P emekaran tanpa analisis komprehensif terhadap kelayakan teknis, admin i stratif, politik dan potensi daerah . Fakta kesenjangan pembangunan dijawab dengan pemekaran tanpa menyelesaikan masalah pokoknya. Pemekaran justru melemahkan kemampuan fiskal daerah karena adanya pembagian sumber daya. Ilustrasi pemekaran: sakit kepala diobati dengan obat sakit perut.
Siapa KALAH Siapa MENANG ? Penduduk setempat , karena pembangunan di sekelilingnya: jalan, gedung-gedung baru, dll. Daerah yg sepi menjadi lebih ramai. PNS , karena mendapat promosi di daerah yang baru. Parpol , karena kadernya memiliki peluang untuk menjadi anggota DPRD atau Kepala Daerah. Yang Menang & Senang  :
Siapa KALAH Siapa MENANG ? Sumber penerimaan tergantung pada Pusat (94%), dan harus dibagi menjadi dua. Akibatnya, kapasitas fiskal semakin melemah. Menurunnya kapasitas fiskal akan berdampak menurunnya kemampuan pembiayaan pelayanan publik secara keseluruhan (secara parsial mungkin menguntungkan daerah baru). Daerah yg lemah secara ekonomi akan sulit membangun daerahnya pada jangka panjang. Menciptakan kendala baru berupa kebutuhan pembiayaan birokrasi (overhead-cost). Masyarakat secara umum yg mendapat dampaknya. Kasus: Kaltim sbg Provinsi terbesar APBD-nya, namun jumlah penduduk miskinnya terbanyak se Kalimantan (2007). Yang Kalah  :
Jumlah Daerah Otonom Sumber  : Mendagri (Suara Pembaruan, 23 Okt 2007) 33 Prov; 465 Kab/Kota TOTAL 7 Prov; 173 Kab/Kota 1999 – 2007  27 Prov; 292 Kab/Kota Sebelum 1999
PEMBENTUKAN DAERAH MASING-MASING MEMPUNYAI  PEMERINTAHAN DAERAH.  PASAL 2 AYAT (1)   NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA  DIBAGI ATAS DAERAH-DAERAH:  PROVINSI KABUPATEN DAN  KOTA DAERAH PROVINSI DIBAGI ATAS:
PEMEKARAN SETELAH MENCAPAI BATAS MINIMAL USIA PENYELENGGARAAN  PEMERINTAHAN  {Psl 4 (4)} SUBSTANSI UNDANG- UNDANG DIMAKSUD MENCAKUP  Psl {4 (2)} : NAMA CAKUPAN WILAYAH BATAS IBUKOTA KEWENANGAN  PENJABAT KEPALA DAERAH PENGISIAN DPRD PENGALIHAN KEPEGAWAIAN PENDANAAN PERALATAN DAN DOKUMEN  PERANGKAT DAERAH PEMBENTUKAN  DAERAH DAPAT  BERUPA  {Psl 4 (3)}: PENGGABUNGAN BEBERAPA  DAERAH PENGGABUNGAN SEBAGIAN DAERAH YANG  BERSANDINGAN PEMEKARAN DARI SATU DAERAH MENJADI DUA DAERAH ATAU LEBIH PEMBENTUKAN DAERAH:  DITETAPKAN DGN UU  {Pasal 4 (1)} PROVINSI: 10 TAHUN KABUPATEN/KOTA: 7 THN KECAMATAN: 5 TAHUN
. ADMINISTRATIF TEKNIS FISIK  KEWILAYAHAN SYARAT-SYARAT PEMBENTUKAN  DAERAH Pasal 5 Ayat (1)
SYARAT ADMINISTRATIF  PEMBENTUKAN PROVINSI  Pasal 5 Ayat (2) Aspirasi masyarakat. Kep. DPRD Kab / Kota & persetujuan Bupati /  Walikota masing 2  yg akan menjadi cakupan Prov. Kep.  DPRD P rov. induk.  Rekomendasi Gubernur. Rekomendasi Menteri Dalam Negeri ASPIRASI MASYARAKAT. KEPUTUSAN DPRD KABUPATEN/KOTA. PERSETUJUAN BUPATI/WALIKOTA. KEPUTUSAN DPRD PROVINSI/INDUK.  REKOMENDASI GUBERNUR/INDUK. REKOMENDASI MENTERI DALAM NEGERI B. PEMBENTUKAN KABUPATEN/KOTA Pasal 5 Ayat (3)
KEMAMPUAN EKONOMI POTENSI DAERAH SOSIAL BUDAYA SOSIAL POLITIK KEPENDUDUKAN LUAS DAERAH PERTAHANAN KEAMANAN dan FAKTOR LAIN YANG MEMUNGKINKAN  TERSELENGGARANYA OTDA  (KEMAMPUAN KEUANGAN,  TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT, RENTANG KENDALI  PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH) SYARAT TEKNIS Pasal 5 Ayat (4) FAKTOR DASAR PEMBENTUKAN DAERAH
SYARAT FISIK Pasal 5 Ayat (5) KOTA PROVINSI KABUPATEN PALING SEDIKIT 4 KECAMATAN SARANA DAN PRASARANA PEMERINTAHAN PALING SEDIKIT 5 KECAMATAN LOKASI CALON IBUKOTA SARANA DAN PRASARANA PEMERINTAHAN PALING SEDIKIT 5 KABUPATEN/KOTA LOKASI CALON IBUKOTA SARANA DAN PRASARANA PEMERINTAHAN
Tentang JUMLAH PENDUDUK Raymond G. Gettel:  No definite limit can be fixed for the number of persons necessary to form a state . Gilchrist:  It is impossible to fix a definite number of men for a state .  “ semua orang yang pada suatu waktu bertempat tinggal mendiami (menetap) di wilayah daerah atau negara tertentu” RRC   :  1,1 milyar India   :  800 juta Tuvalu dan Nauru :  10 ribu.
Tentang LUAS WILAYAH “ daerah teritorial tertentu sebagai tempat kedudukan suatu daerah atau negara, dalam mana kekuasaan daerah atau negara berlaku atas seluruh penduduk yang bertempat tinggal menetap didalam daerah teritorial tersebut” RRC   :  9.561.000 km 2   India   :  3.275.198 km 2   Tuvalu dan Nauru :  26 km 2  dan 21 km 2
Size and Democracy: Case for Decentralization   (Larry Diamond & Svetlana Tsalik, 1999): 1998    hampir 75% negara berpenduduk dibawah 1 juta jiwa merupakan negara demokratis; kurang dari 60% negara dengan populasi > 1 juta jiwa diikategorikan  demokratis .  5 dari 6 negara berpenduduk < setengah juta ( microstate ) adalah demokratis, dan lebih dari tiga perempatnya menerapkan demokrasi liberal.  Kesimpulan : jika menginginkan suatu negara / daerah demokratis, maka harus diupayakan agar jumlah penduduk tidak berkembang secara dramatis. Pemekaran Wilayah “ Microstate” Pemerintahan Demokratis
Benarkah LOGIKA Diatas? Jepang memiliki 47 propinsi ( prefecture ) dan 3.232 daerah otonom setingkat kabupaten / kota ( Shi Cho Son ).  Di Thailand terdapat 75 propinsi dengan 1.130 daerah otonom setingkat kabupaten / kota.  INDONESIA ?? BENAR , dengan argumen:
Benarkah LOGIKA Diatas?   … (2) Demokrasi tidak hanya dilakukan dengan pemekaran, tapi bisa juga dengan  devolusi kekuasaan  (baik dengan sistem federalisme maupun otonomi luas).  Kasus Indonesia     kesenjangan antar wilayah : Jawa saja yg “layak” dimekarkan dan menjadi demokratis, sedang luar Jawa sulit dimekarkan karena sedikitnya jumlah penduduk. Pemekaran membuat  rentang kendali semakin panjang , shg mempersulit mekanisme koordinasi, pengawasan & pembinaan oleh Pusat terhadap Daerah. Pemekaran berimplikasi terhadap  berkurangnya jumlah dan kemampuan anggaran   (fiscal capacity)  baik bagi daerah baru hasil pemekaran maupun daerah induknya. Pemekaran memicu  orientasi menggali PAD  melalui penetapan Perda retribusi yang  menjadikan iklim usaha kurang kondusif . SALAH , dengan argumen:
Itulah Sebabnya … Di Jepang, 47 propinsi yang ada saat ini secara administratif dikelompokkan menjadi 12 wilayah saja. Sedang pada level kedua, amalgamasi dilakukan dengan target pengurangan  municipalities  dari 3.232 menjadi hanya 257 (Masahisa Hayashi, 2002).  Thailand menciutkan jumlah daerah otonom tingkat III yg disebut TAO (Tambol Administrative Organization, di Indonesia setingkat Kecamatan) dari 7.498 menjadi hanya 5.000 ( Bangkok Post , 3/11/02).  Di Swedia, unit pemda berkurang dari 1.006 pada 1960-an menjadi 284 pada 1980-an. Pada periode yang sama, Belgia berkurang dari 2.663 menjadi 589; Denmark dari 1.387 menjadi 275; Jerman dari 24.282 menjadi 8.426; & Inggris dari 1.288 menjadi 457 (Hubert Allen, 1990).  Pemekaran tidak lagi menjadi opsi yg disukai:
Presiden ttg Pemekaran (Pidato di depan DPD-RI tg 23 Agustus 2007) Jika pemekaran daerah tidak berangkat dari tujuan yang benar, serta tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan  beban kepada keuangan negara , serta memberikan dampak  penurunan anggaran terhadap seluruh pemerintah daerah  lain, karena akan menurunkan alokasi DAU secara proporsional bagi daerah lain di seluruh tanah air.  Pemekaran juga mempengaruhi  penyediaan DAK Bidang Prasarana Pemerintahan  (sarana dan prasarana gedung kantor instansi vertikal, belanja pegawai, dan belanja operasional lainnya), serta untuk mendanai urusan-urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. “ Kita harus tegas dan berani  menolak tuntutan pemekaran , yang sama sekali tidak memiliki urgensi dan tidak memberikan manfaat nyata bagi rakyat di daerah itu”.
Ironisnya … Ada sebuah dagelan politik tingkat tinggi, dimana  imbauan Presiden pada sidang paripurna DPD RI 23 Agustus 2007 untuk moratorium pemekaran justru dibalas politisi DPR dengan menetapkan 8 UU pemekaran yang baru .  Ada apa dengan hubungan Eksekutif – Legislatif di Indonesia?
MASALAH 2  PEMEKARAN WIL. 76 % daerah hasil pemekaran mengalami kemunduran dari sebelumnya, dengan indikator jumlah masyarakat miskin meningkat (Priyo Budi Santoso, Suara Pembaruan: 10-4-2007). Laporan Depdagri 2006: dari 148 daerah otonom baru yang dievaluasi, sekitar 80 % masuk kategori bermasalah dan gagal. Data Dep. Keuangan 2007: mayoritas daerah pemekaran tergolong berkemampuan keuangan rendah. BPK juga menyebutkan, pemekaran berdampak negatif pada perekonomian, sebab membebani keuangan negara (Kompas, 31-5-2007 ). Pemekaran yang tidak terencana menyulitkan  penentuan daerah pemilihan untuk Pemilu 2009 (Mendagri, Kompas, 9-3-2007). Daerah otonom baru belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan (Mendagri, Kompas, 23-10-2007).  &quot;Bukan rahasia lagi, lebih dari 90 % APBD daerah otonom baru disubsidi dari APBN” (Ryaas Rasyid, Kompas, 23-10-2007).
MASALAH 2  PEMEKARAN WIL. Letak daerah yang jauh dari pusat pemerintah bukanlah masalah yang harus diatasi dengan pemekaran. Akibatnya, banyak daerah baru hasil pemekaran justru menjadi beban pemerintah (Taliziduhu Ndraha, Kompas, 13-3-2007). Pemekaran belum menyentuh kesejahteraan publik terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan dan layanan umum. Pemekaran lebih banyak memberikan keuntungan bagi segelintir elite dan kelompok birokrasi maupun pengusaha saja (Suara Karya, 21-5-2007).  Pemekaran menimbulkan ketidakefisienan secara ekonomi. Ini terlihat dari munculnya banyak perda yang berbeda di tiap daerah  (Kompas, 24-4-2007). Syarat kewilayahan yang diatur PP No. 129/2000 berbeda dengan yang diatur UU No. 32/2004. Bagaimana dengan daerah yang terlanjur terbentuk? Digabung lagi?
Pilihan Solusi Moratorium, sambil lakukan evaluasi. Percepat PP pengganti PP No. 129/2000, dengan memperketat  usulan-usulan pemekaran daerah, yang benar-benar sesuai kebutuhan (bukan karena desakan / motif politik). Insentif bagi daerah yg mau menggabungkan diri. Pengetatan pembentukan Perda yg tidak ramah pasar ( pro-investment ). Pembentukan daerah baru harus seiring dengan kebijakan di bidang lain, misalnya tentang Pemilu (misal: pembentukan KPUD). Treatment  khusus bagi daerah yang sudah terlanjur dimekarkan, misalnya dengan mengembangkan kecamatan (bagi kab/kota), atau kab/kota (bagi provinsi). Susun  Grand Design  (RIP) Pemekaran Wilayah. Pemberdayaan Kec & Kelurahan (Desentralisasi Tahap II).
Pengetatan Persyaratan Syarat wilayah bagi provinsi sedikitnya terdiri atas 5 kabupaten/kota. Syarat wilayah kabupaten minimal terdiri atas 5 kecamatan dan kota minimal terdiri atas 4 kecamatan.  Soal batas usia, daerah otonom baru bisa dimekarkan kembali jika telah berusia 10 tahun untuk provinsi dan 7 tahun untuk kabupaten/kota. Penambahan kriteria pengukuran kelayakan pemekaran wilayah dari 7 kriteria (PP 129/2000) menjadi 11 kriteria pada RPP terbaru.
KERJASAMA ANTAR DAERAH
Landasan Hukum   Kerjasama Antar Daerah PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan .   PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang  Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004-2009. SE Menteri Dalam Negeri No. 120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah. UU No. 17 tahun 2007 tentang RPJP Nasional 2005 – 2025. Operational Level Policy Level
Pasal-pasal Kerjasama Antar Daerah  dalam UU No. 32 /2004 Pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait. Untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat. Untuk pengelolaan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), daerah membentuk adan kerjasama. Apabila daerah tidak melaksanakan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pengelolaan pelayanan publik tersebut dapat dilaksanakan oleh Pemerintah. Pasal 196 Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi, dan saling menguntungkan. (2)  Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama. (3)  Dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerjasama dengan pihak ketiga. (4) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) yang membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD. Pasal 195 I s i Pasal
Urgensi Kerjasama  Antara Daerah Keterkaitan Antar Daerah  ( Inter-regional-linkages ): ekonomi, geografis, pemerintahan, sosial Meningkatkan Efisiensi Dalam Skala Ekonomi  (e conomies of Scale ),  Berpotensi Menekan Cost & Optimalisasi Sumber Daya : pengelolaan air bersih, pemadam kebakaran, persampahan.  Meningkatkan Efektifitas & Kualitas Pelayanan Publik : Pendidikan dan Kesehatan. Ketersediaan Sumber Daya di Masing-Masing Daerah Bervariasi   (plus vs minus). Menghindarkan Duplikasi Pelayanan Publik  di Kabupaten/Kota Berdekatan.
Prinsip-Prinsip KAD Spesifik : isu yang dibahas atau dikerjasamakan lebih baik spesif ik, agar kerjasama yang dilakukan bisa fokus dan kelembagaan yang dibentuk bisa efisien. Penting bagi daerah lokal : isu yang dikerjasamakan memang penting bagi daerah-daerah yang terkait, atau bisa membawa keuntungan bagi daerah. Saling menguntungkan  bagi semua pihak. Skema harus partisipatif : mengingat kerjasama adalah untuk kepentingan umum, skema harus partisipatif. Ada kepastian hukum. Mengikuti kaidah good governance : transparansi & akuntabilitas terjaga.
Prinsip-Prinsip KAD Politically feasible : kerjasama itu harus menarik secara politis. Pada akhirnya keputusan & komitmen untuk melakukan kerjasama itu ada di level pimpinan ( leadership ), yang merupakan dunia politis. Economically feasible : kerjasama itu secara ekonomi atau keuangan daerah mampu dilakukan, dan membawa keuntungan secara ekonomi juga. Geographically feasible : secara geografis memungkinkan, termasuk apabila diputuskan akan dibentuk semacam sekretariat bersama yang mudah diakses oleh pihak-pihak terkait Linkage antar aktor : adanya jaringan komunikasi yang cukup kuat di semua  stakeholders  yang terlibat.
Model-Model KAD
 
 
PERMASALAHAN KERJASAMA DAERAH Pola Pikir & Permasalahan KAD KETERBATASAN DAERAH KOMITMEN NASIONAL GLOBAL PELAKSANAAN KERJASAMA DAERAH
BANYAKNYA  DUK MISKIN KESEJANGAN  ANTAR DAERAH KESEMPATAN KERJA TDK SEBANDING  PENGANGGUR KURANGNYA YAN DASAR LEMAHNYA STRUKTUR  PEREKON DAERAH RENDAHNYA YAN BLIK SUPREMASI HUKUM BLM OPTIMALNYA LAKS OTDA BLM OPTIMALNYA PENGELOLAAN SDA MASALAH POKOK Masalah yg Melatarbelakangi Pentingnya KAD
Penyelesaian Perselisihan KAD Apabila terjadi perselisihan dalam pelaksanaan kerja sama akan diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat. Apabila dengan musyawarah untuk mencapai mufakat tidak terselesaikan, maka penyelesaian perselisihan difasilitasi oleh Mendagri sesuai ketentuan yang berlaku. Keputusan Mendagri dalam upaya penyelesaian perselisihan bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang bekerja sama.  Apabila penyelesaian perselisihan melalui Mendagri sebagaimana dimaksud  pada ayat (2) salah satu pihak tidak dapat menerima, maka dapat mengajukan penyelesaian melalui MA.
Penyelesaian Perselisihan Apabila terjadi perselisihan dlm penyeleng fung pemerintahan antar Kab/Kota dlm satu Prov, Gub menyelesaikan perselisihan dimaksud  {Ps. 198(1)} Apabila terjadi perselisihan antar Prov, antara Prov dan Kab/Kota diwilayahnya serta antara Prov dan Kab/Kota diluar wilayahnya, Mendagri menyelesaikan perselisihan {Ps. 198(2)} Kept Gub dan Mendagri bersifat Final.  {Ps. 198(3)}
KASUS KAD Pemprov DKI membangun tanggul di Kali Mokervart. Belum ada komunikasi dengan wilayah penyangga (Bodetabekjur). Pemkot Tangerang menganggap tanggul tsb berada di wilayahnya, kemudian membatalkan proyek tsb. Pokok masalah: lemahnya koordinasi, tidak jelasnya batas kewenangan, ketiadaan visi yg sama, lembaga pengelola kerjasama tidak optimal, dll.
SUMBER DAYA APARATUR KELEMBAGAAN Sumber Daya Manusia KEUANGAN
KONDISI LEMBAGA PEMERINTAH SEBELUM OTONOMI PUSAT   : 800 jabatan eselon I 2.392 eselon II 11.245 eselon III 70.787 eselon IV 208.850 es. V DAERAH   : 27 jabatan eselon I 788 eselon II 7.964 eselon III 44.372 eselon IV 79.791 eselon V (Mustopadidjaja, 1999)
SETELAH OTONOMI Komisi Yudisial    UU No. 22/2004 Komisi Pemilihan Umum    UU No. 12/2003 Komnas HAM    UU No. 39/1999 Komisi Pengawas Persaingan Usaha    UU No. 5/1999 Komisi Penyiaran Indonesia    UU No. 32/2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi / KPK    UU No 30/2002 Komisi Perlindungan Anak    UU No. 23/2002 Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi    UU No. 27/2004 Komnas Anti Kekerasan Thd Perempuan    Keppres No. 181/1998 Komisi Ombudsman Nasional    Keppres No. 44/2000 Komisi Kepolisian    UU No. 2/2002 Komisi Kejaksaan    UU No. 16/2004 Komisi Hukum Nasional    Keppres No. 15/2000 Pusat     Inflasi Komisi / Dewan Negara:
Dewan Pers    UU No. 40/1999 Dewan Pendidikan    UU No. 20/2003 Dewan Pembina Industri Strategis    Keppres No. 40/1999 Dewan Riset Nasional    Keppres No. 94/1999 Dewan Buku Nasional    Keppres No. 110/1999 Dewan Maritim Indonesia    Keppres No. 161/1999 Dewan Ekonomi Nasional    Keppres No. 144/1999 Dewan Pengembangan Usaha Nasional    Keppres No. 165/1999 Dewan Gula Nasional Keppres No. 23/2003 Dewan Ketahanan Pangan    Keppres No. 132/2001 Dewan Pengembangan Kws Tmr Indonesia    Keppres No. 44/2002 Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah    Keppres No. 151/2000 Dewan Pertahanan Nasional    Keppres No. 3/2003 Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional    Keppres No. 132/1998 Komite Nasional Keselamatan Transportasi    UU No. 41/1999 Komite Antar Dept. Bidang Kehutanan    Keppres No. 80/2000 Komite Akreditasi Nasional    Keppres No. 78/2001 Komite Penilaian Independen    Keppres No. 99/1999 Komite Olahraga Nasional Indonesia    Keppres No. 72/2001 Komite Kebijakan Sektor Keuangan    Keppres No. 89/1999 Komite Standar Nasional Untuk Satuan Ukuran    PP No. 102/2000 Inflasi Komisi / Dewan Negara  (lanjutan) :
ORGANISASI PERANGKAT DAERAH (Dari UU 22/1999 ke UU 32/2004) UU 22/1999 Psl. 60 s.d Psl. 68, Psl. 66 serta Psl 120: Sekretariat Daerah; Dinas Daerah;  Lembaga Teknis Daerah;  Camat;  Satuan Polisi Pamong Praja PP NO. 8/2003 PP 41/2007 UU 32/2004 Psl. 120 s.d Psl. 128:  PERANGKAT DAERAH PROV: Sekretariat Daerah; Sekretariat DPRD; Dinas Daerah;  Lembaga Teknis Daerah; PERANGKAT DAERAH KAB/KOTA:  Sekretariat Daerah; Sekretariat DPRD; Dinas Daerah; Lembaga Teknis Daerah;  Kecamatan; Kelurahan.
UU Keolahragaan UU KPI UU Penyuluhan UU Kepegawaian UU Keuangan UU BNN UU Ketahanan Pangan PP Pengawasan PP Satpol PP PP 38 dan 41 Tahun 2007 Penataan Organisasi Pemda PENATAAN KELEMBAGAAN ORGANISASI PEMERINTAH DAERAH
KRITERIA PENATAAN ORGANISASI Semakin tinggi tingkat pembagian kerja, semakin besar ukuran organisasi. Semakin tinggi tingkat kompleksitas urusan, maka makin besar organisasi diperlukan. Semakin tinggi tinggi tingkat rutinitas pekerjaan, maka makin tinggi tingkat sentralistis sebuah organisasi. Semakin tinggi tingkat pekerjaan non rutinitas, maka makin tinggi tingkat desentralisasinya. Semakin besar suatu organisasi maka makin besar jumlah personilnya. Semakin besar suatu organisasi maka makin diperlukan banyak sumber daya yang diperlukan. Semakin luas wilayah kerja, makin besar ukuran organisasinya. Semakin tinggi tingkatan teknologi, semakin kecil ukuran organisasinya. Semakin tinggi variasi budaya, makin besar variasi sebuah organisasi.  Semakin tinggi tingkat kemitraan, makin tinggi tingkat efisiensi kerja. Semakin banyak hubungan kerja, semakin besar ukuran sebuah organisasi. Semakin rendah tingkat disiplin pegawai, semakin besar ukuran organisasi pengawasan / pembinaan. Makin rendah tingkat stabilitas / keamanan, makin besar ukuran organisasi. Makin tinggi kompleksitas, makin tinggi tuntutan akan kualitas kepemimpinan.
SDM APARATUR Birokrasi Parkinsonian   (Parkinson’s Law)     proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur.  Birokrasi Orwellian     proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Big bureaucracy
Jumlah PNS & Rasio Penduduk Jumlah PNS: 4,4 juta (2 % dari total penduduk) Komparasi    AS :   2,7 % (1991) Jerman Barat :   7,1 % (1980) Malaysia :   4 % (1980) Philipina :   2,6 (1990) Singapura :   2,5 (1990) Problem kualitas, Problem ketimpangan distribusi tugas + Problem mutasi, promosi, penempatan + Problem tour of area (vertical), dll
Profil Kualitas SDM  (1991) Sarjana (S1 keatas) :  7 % Sarjana Muda :  9,8 %  SLTA :  58,6 %  Sisanya berpendidikan SLTP & SD :  24,6 %. Downsizing, Cross-posting, Contracting-out, Continuous improvement.
MANAJEMEN PNSD Pemerintah laks Pembinaan Manaj PNSD    satu kesatuan penyeleng Manaj PNS scr Nas.  {Ps.129(1)} Manaj PNSD meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak & kewajiban kedudukan hkm, pengemb kapasitas & pengendalian jml. {Ps.129(2)}
PENGANGKATAN, PEMINDAHAN & PEMBERHENTIAN DLM JABATAN ES. II Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Es. II Prov ditetapkan Gub .{Ps.130(1)} Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Es. II Kab/Kota ditetapkan Bup/Walikota setelah konsultasi kpd Gub. {Ps.130(2)} Konsultasi Pem Prov Pem Kab/Kota
PERPINDAHAN PNSD antar Kab/Kota dlm satu Prov ditetapkan Gub setelah peroleh pertimbangan Ka.BKN {Ps.131(1)} antar Kab/Kota antar Prov, dan antar Prov ditetapkan Mendagri setelah peroleh pertimbangan Ka.BKN  {Ps.131(2)} Prov, Kab/Kota ke Dep/LPND dan sebaliknya  ditetapkan Mendagri setelah peroleh pertimbangan Ka.BKN {Ps.131(3)}
KEUANGAN DAERAH Dari 229 Kab / Kota: 71,23 % memiliki PAD kurang dari 20%;  22,26 % ber-PAD antara 20,1 % hingga 40 %;  5,83 % memiliki PAD lebih dari 40 % ( Sulistyo , 1995).  Kajian serupa oleh Kano (1995): Penerimaan kotor seluruh Kab / Kota di Indonesia, sebesar 70 % merupakan grant dan subsidi Pusat dan Propinsi.  40 % dari pengeluaran tahunannya diperuntukkan sebagai belanja pegawai.
AKUNTABILITAS dan KORUPSI
AKUNTABILITAS Prof. Dr. Miriam Budiardjo:   Pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat itu. Menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi ( checks & balances system ). Hubungan MANDAN – MANDATARIS
AKUNTABILITAS KINERJA Akuntabilitas:  Kewajiban  untuk menyampaikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang / badan hukum / pimpinan kolektif atau organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban . Kinerja:   Perwujudan kewajiban  suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan melalui sistem pertanggungjawaban secara periodik.
 
 
AKUNTABILITAS KINERJA AKIN Instansi  Pemerintah  Penyelenggara  Negara  Lingkup eksekutif Lihat rincian  
PENYELENGGARA NEGARA Pejabat Negara ,  Pimpinan dan pegawai Bank Indonesia,  Pegawai Negeri,  Pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,  Pejabat dan pegawai pada komisi, badan atau lembaga negara lainnya, Pejabat atau Pegawai pada BUMN / BUMD / BHMN.
PEJABAT NEGARA Presiden, Wakil Presiden; Ketua, Wakil Ketua & anggota MPR, DPR, DPD; Menteri / pejabat yang setingkat, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, dan wakilnya; Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung serta Ketua, Wakil Ketua & Hakim pada semua Badan Peradilan;  Ketua, Wakil Ketua & anggota BPK;  Duta Besar; Gubernur / Wakil Gubernur, Bupati / Wakil Bupati dan Walikota / Wakil Walikota.
JENIS 2  AKUNTABILITAS: Akuntabilitas politik  dari pemerintah melalui lembaga perwakilan. Akuntabilitas keuangan  melalui pelembagaan budget dan pengawasan BPK. Akuntabilitas hukum , dalam bentuk aturan hukum, reformasi hukum dan pengembangan perangkat hukum. Akuntabilitas ekonomi  (efisiensi), dalam bentuk likuiditas dan (tidak) kepailitan dalam suatu pemerintahan yang demokratis, tanggung gugat rakyat melalui sistem perwakilan. Prof. Bintoro Tjokroamidjojo:
JENIS 2  AKUNTABILITAS: Akuntabilitas keuangan  ( financial accountability ). Akuntabilitas administrative  ( administrative accountability ). Akuntabilitas kebijakan public  ( policy decision accountability ). B. Guy Peters:
JENIS 2  AKUNTABILITAS: Akuntabilitas Eksplisit . Pertanggungjawaban pejabat negara manakala diharuskan untuk menjawab / memikul konsekuensi atas cara-caranya dalam melaksanakan tugas kedinasan. Akuntabilitas Implisit Segenap aparatur negara secara implisit bertanggung jawab atas setiap pengaruh yang tak terduga dari akibat-akibat keputusan yang dibuat. Dadang Solihin
SCOPE AKUNTABILITAS Akuntabilitas Penyelenggaraan  Negara Lembaga 2   Negara  Fungsi2 Negara  Obyek  Substantif
ESENSI AKUNTABILITAS Hak memperoleh pelayanan & perlakuan yang layak. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara; Hak diikutsertakan dalam merencanakan kinerja program / kegiatan pemerintah / Penyelenggara Negara. Hak menilai pencapaian kinerja pelayanan publik. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan Hak memperoleh perlindungan hukum. Jaminan pemenuhan & penghormatan HAK 2  Masyarakat:
ESENSI AKUNTABILITAS Menyusun Rencana Kinerja dan menyampaikan pada masyarakat diawal setiap tahun anggaran. Melakukan pengukuran pencapaian kinerja dan menyampaikan hasilnya pada masyarakat diakhir tahun. Melakukan pengukuran kepuasan masyarakat dan menyampaikan hasilnya atas program yang dijalankan. Memberikan tanggapan thd pengaduan & kebutuhan masyarakat. Memperbaharui rencana kinerja yang baru sebagai kesepakatan komitmen (kontrak sosial) baru. Jaminan pelaksanaan KEWAJIBAN Penyelenggara Negara:
Model Akuntabilitas di New Zealand
Accountability should be associated to & combined with ..
 
Accountability should also be associated to & combined with .. INFORMATION DISCLOSURE DELIVERING PEOPLE’S RIGHT TO KNOW AND TO CONTROL –  Open Government
INFORMASI – KONTROL   Official information act     Thailand: wajib menginformasikan akses informasi pasif atas permintaan masyarakat dalam jangka waktu tertentu. RUU  Kebebasan Memperoleh Informasi, RUU Kerahasiaan Negara, dan RUU Intelejen Negara UU No. 7/1971 tentang Ketentuan Pokok Kearsipan. PP No. 68/1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara. PP No. 69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang. UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
ESENSI LAIN AKUNTABILITAS Hak publik untuk membaca dan mendapatkan dokumen resmi ( official document ). Hak aparatur penyelenggara negara, termasuk aparatur pemerintah daerah untuk menyampaikan informasi tentang apa yang ia ketahui kepada siapapun ( freedom of expression of civil servant )  Hak aparatur penyelenggara negara untuk menyampaikan informasi / dokumen kepada media massa.  Hak publik dan media massa untuk menghadiri persidangan ( access to court hearings )  Hak publik dan media massa untuk hadir pada pertemuan-pertemuan resmi parlemen ( Swedish Parliament ),  Municipal Assembly , dan  Country Council .   Jaminan pemenuhan & penghormatan HAK 2  Publik:
Tantangan RUU Akuntabilitas Menjadi  Umbrella Act     konsep & kebijakan ttg akuntabilitas merujuk pada RUU, termasuk Inpres No. 7/1999. Hindari area abu-abu yg mengakibatkan persoalan multi tafsir dan tidak terukur. Pengaturan ttg Sanksi: moral, administratif, atau pidana? Hindari kemungkinan tumpang tindih dengan RUU Adm. Pemerintahan, dan overlap dalam penerapan RUU Akuntabilitas, misalnya antara KON / KOD, Badan Peradilan, atau Instansi Pemerintah ( upaya administratif ).
Perangkat Pendukung Indikator Akuntabilitas SOP penyelenggaraan urusan pemerintahan    SPM. Mekanisme pertanggungjawaban. Laporan berkala (triwulan, semester, tahun, 5 tahun, akhir jabatan). Sistem pemantauan & pengawasan kinerja. Mekanisme  reward and punishment .
MENGAPA IMPLEMENTASI AKUNTABILITAS SULIT? Tidak jelasnya tupoksi lembaga dalam menjabarkan visi, tujuan dan indikator kinerja organisasi. Lemahnya komitmen aparat dalam membuat laporan akuntabilitas. Belum terbangunnya etika pemerintahan thd pertanggungjawaban dan hak publik. Sistem pelaporan akuntabilitas belum mengandung penghargaan dan sanksi. Belum memadainya kesadaran masyarakat untuk sebagai  pressure group  dalam mendorong implementasi akuntabilitas oleh penyelenggara negara. ( Dadang Solihin )
Accountability should also be associated to & combined with .. CORRUPTION
 
 
Equation for Corruption C  =  corruption D  =  discretion M  =  monopoly A  =  accountability C = D + M – A
 
Corruption Perception Index (CPI) ‏
Weak commitment to, and consistency of, law enforcement and the law system itself;  Lack of role models & leadership from the national elite;  Weak managing of the government;  Civil servants wages that are too low;  Lack of integrity and professionalism;  Internal monitoring mechanisms at banking and financial institutions and bureaucracies are not yet adequate;  Work environment conditions, official duties & public permissiveness that increase incentives for corruption;  Lack of faith, honesty, and a sense of shame;  Lack of ethics & national morals in support of corruption eradication. CAUSES OF CORRUPTION
Low quality public services;  Low quality government-produced facilities;  Rising public burden from inefficiencies and ineffectiveness in the management of public institutions that regulate public needs such as telecommunication, fossil fuels, electricity, etc; Rising poverty and public misery;  Rising inequality;  Rising crime and other social problems;  National unity is threatened;  Democracy is forestalled.  IMPACTS OF CORRUPTION
IMPACTS OF CORRUPTION Impact of corruption on investment, economic growth, and social programs. low per capita income, government intervention in markets, low civil service pay, and ethnic fragmentation of the society.  Impact of corruption on infrastructure in developing countries. high cost in develop project, little investor will come. Impact of corruption on the human rights based approach to development. unemployment rate increase, poor people increase. Impact of corruption in the health services. low quality in healthy services  Impact of corruption on education’s program. many students don’t have representative school facilities.
KASUS KORUPSI TAHUN 2004 (MENURUT ICW – 2005) Anggota DPRD  =  125  orang Kepala Daerah =  84  orang Aparat Pemda =  57  orang Direksi BUMN/BUMD =  36  orang Kep. Dinas/Lembaga  =  25  orang Aparat Depertemen  =  15  orang Aparat Kejaksaan  =  13 orang Sekretaris Daerah  =  7 orang Aparat kepolisian  =  5 orang Pengelola pendidikan  =  5 orang Pimpinan proyek  =  36 orang Pengusaha  =  12 orang
PERINGKAT TERTINGGI KORUPSI  DI INDONESIA BERDASARKAN PROPINSI Peringkat I  :  DKI Jakarta Peringkat II  :  Jatim Peringkat III  :  Jateng Peringkat IV  :  Jabar Peringkat  V  :  Sumsel Peringkat  VI  :  Aceh Peringkat VII  :  Sumut ( ICW – 2004 )
PERINGKAT KABUPATEN / KOTA  TERKORUP DI KALTIM Kutai Kertanegara  =  25, 8 % Samarinda  =  17, 6 % Bontang  =  10, 1 % Kutai Timur  =  9, 3 % Balikpapan  =  6, 8 % Kab. Lainnya  =  6, 9 % Tidak tahu  =  23, 5 % (Kaltim Post,  hal. 1 tgl 12-8-2006)
change system be accountable Better society Public Participation & Control Policy & Institutional Building
Memperhatikan Etika. Terbuka. Bebas dan bersih dari Korupsi. K E S I M P U L A N Penyelenggara Negara AKUNTABEL, jika (minimal):
PILKADA dan  DEMOKRASI LOKAL
Dapatkan Otda mendorong Demokrasi? Benarkah keduanya memiliki hubungan konvergen, atau justru divergen?  Mampukah Pilkada Langsung menjadi instrumen demokratisasi di tingkat terbawah? Mengapa banyak konflik terjadi di era demokrasi, keterbukaan, reformasi, dan otda? OTONOMI DAERAH & DEMOKRASI “ OTDA mendorong tumbuhnya demokrasi lokal (grassroots democracy)”
Demokrasi baru dapat berjalan jika beberapa kondisi terpenuhi (tingkat pendidikan & melek huruf, kelas menengah yg mapan, masyarakat sipil yg dinamis, rendahnya kesenjangan sosial, serta adanya ideologi sekuler).  Jika ada  trade-off  berupa sedikit penurunan laju pertumbuhan, hal itu dapat terima ( acceptable )   sebagai harga yang harus dibayar untuk membangun tatanan politik yang demokratis, kebebasan warga, dan perlindungan thd HAM. 2 mainstreams ttg kaitan   DEMOKRASI & PEMBANGUNAN democracy as  outcome  of development   democracy as  prerequisite  for development
PEMBANGUNAN: LPE > 4% (1966-1990an) Kemiskinan menurun menjadi  12% (1996) Swasembada beras (1 984) Bank Dunia:  Indonesia sbg “miracle” (1993) DEMOKRASI: Pengekangan  kebebasan Pers,  Tekanan thd serikat buruh,  Pembatasan jumlah Parpol, dll. Demokrasi   &   Pembangunan,  Bisakah berjalan seiring? “ Demokrasi sebagai  HASIL PEMBANGUNAN ” PEMBANGUNAN: LPE –13,7%, 0,31%, 4,8%, dan 3% (1998-2001) Kemiskinan melonjak menjadi > 20% HDI / IPM merosot terus DEMOKRASI: Konstitusi di Amandemen Sistem Multi Partai diperkenalkan Kebebasan Pers dan Mimbar Pembentukan Komnas HAM Otonomi luas,  Pilkada Langsung , dll. “ Demokrasi sebagai  PRASYARAT  PEMBANGUNAN ” Masa  PRA  Demokratisasi Masa  PASCA  Demokratisasi
Demokratisasi sbg  penyebab utama  terjadinya konflik  Terbukanya ruang demokrasi melahirkan banyak kelompok dengan berbagai aliran dan tuntutan yang berbeda    banyaknya politik aliran ini berimplikasi pada sulitnya mengorganisasikan berbagai kepentingan secara  negotiable .  Demokrasi adalah  peredam konflik  secara damai Demokrasi memang bukan jaminan tidak adanya konflik, namun  bangsa yang demokratis akan mampu mambangun pranata sosial, sumber daya & fleksibilitas sistem yang lebih baik, sehingga akan lebih mampu mengelola setiap perbedaan & sengketa.   Demokrasi menyediakan metode pengambilan keputusan yang anti kekerasan, forum perwakilan untuk mempertemukan berbagai perbedaan, serta kesempatan berpartisipasi secara inklusif.   Kaitan Demokrasi & Konflik
Demokratisasi sbg  penyebab utama  terjadinya konflik  Rejim Nyerere (Tanzania), Soekarno, dan Boigny (Ivory Coast) di masa lampau; serta Mahathir (Malaysia) & Museveni (Uganda) pada masa sekarang.  Hanya sistem 1 partai / demokrasi terpimpin yg dibutuhkan untuk meredam ketegangan & konflik sosial. Kompetisi multi-partai yg berlebihan hanya akan menjadikan demokrasi menjadi tidak stabil. Demokrasi adalah  peredam konflik  secara damai International Institute for Democracy and Electoral Assistance. Demokrasi dapat difungsikan sebagai alat untuk mengelola konflik melalui tiga teknik analisa konflik yaitu  adversarial   (melihat konflik sebagai “kita melawan mereka”),  reflektif   (introspeksi & mempertimbangkan jalan keluar terbaik), serta  integratif  (memahami pandangan & kepentingan kedua pihak).  Kaitan Demokrasi & Konflik
Demokrasi   &   Konflik  di Indonesia Konflik “klasik” seperti GAM, GPK, RMS. Konflik “klasik” lain: PILKADES. Konflik “klasik” menjadi  internationalized . Muncul konflik horizontal baru: Poso, Ambon, Sampit, Sambas, dll. Konflik kewenangan Eksekutif – Legislatif.  Konflik antar lembaga publik / antar daerah. Konflik vertikal antara kelompok masyarakat dengan aparat. PRA  Demokratisasi Masa  PASCA  Demokratisasi “ Sedikit demokrasi sedikit Konflik” “ Demokrasi memicu Konflik”
Apakah Pilkadasung hanya mrpk hasil dari proses pembangunan selama ini. Pilkadasung  sbg instrumen Demokrasi:  Sebuah Tantangan Apakah Pilkadasung mrpk titik awal untuk menjalankan pembangunan. Apakah Pilkadasung hanya menghasilkan konflik yang sebelumnya tidak terjadi. Apakah Pilkadasung dapat menjadi menjadi media rekonsiliasi antar elit lokal.
Indikasi Awal Pilkadasung 76 daerah dari 226 daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada sangat berpotensi terjadi konflik karena berbagai sebab (Depdagri).   Gejala munculnya polarisasi dan fragmentasi di tingkat  grassroot  akibat dari adanya kecenderungan preferensi emosional dan primordial.   Kondisi tadi dapat  mempengaruhi stabilitas di daerah dan pada gilirannya dapat pula mengancam keberlangsungan pembangunan sosial ekonomi daerah.  Gagal memperkuat demokrasi lokal? Gagal mengakselerasi pembangunan daerah? Ada yang salah dengan Pilkadasung?
PILKADA & KORUPSI Unanswered question : Dapatkan Pilkada menekan  money politics ? Calon Independen baru sebatas putusan  judicial review  MK, shg  rakyat hanya memiliki “hak pilih” dari calon-calon yg telah ditentukan oleh partai politik.  Parpol masih tetap menjadi “mesin politik” utama menuju kekuasaan. Peran inilah yang akan menjadi medan magnet terjadinya  money politics .  Pusaran korupsi diperkirakan tidak sekuat 5 tahun y.l. Ada kecenderungan  money politics  ini lebih menyebar dan menjangkau langsung kepada masyarakat.  Logikanya,  money politics  akan mengikuti dimana “suara” berada.  Jadi, Pilkada dan Korupsi sementara masih akan tetap menjadi 2 sisi dari 1 mata uang yang sama.
Implikasi Lintas Dimensi Sistem Politik secara makro . Artinya, desain Pilkada sangat tergantung dengan Paket UU Politik (UU Pemilu, UU Parpol, UU Susduk) yg biasanya selalu diperbaharui setiap 5 tahun. Artinya, untuk menghasilkan Pilkada yg benar-benar berbobot, maka sistem politik makronya juga harus disesuaikan. Tidak mungkin hanya Pilkada-nya yg dioprek-oprek sementara supra struktur politiknya tidak berubah.  Pengembangan karis PNS di Daerah . Pilkada memberi legitimasi yang besar sekali kepada KDH terpilih untuk merombak birokrasi karir sesuai &quot;keinginannya&quot;. Sayangnya, seringkali KDH terpilih kurang menguasai ilmu kepemerintahan, sehingga cenderung berlaku subyektif. Kondisi ini diperparah dengan &quot;keterjeratan&quot; atau terperangkapnya KDH kedalam jaring-jaring kroni ( cronyism trap ) sehingga banyak pertimbangan politis dalam setiap kebijakan administratif yg menjadi kewenangannya. Bukti-bukti awal sudah cukup banyak, misalnya melonjaknya calon peserta Diklatpim II pasca Pilkada.
Implikasi Lintas Dimensi Netralitas Birokrasi  baik pada kadar netralitasnya, maupun definisi dan kriterianya. Selama ini tidak jelas, apakah mengikuti (baca: mendengarkan) kampanye seseorang termasuk kampanye. Atau, jika seorang ajudan masih melaksanakan tugas-tugas rutin KDH yg kebetulan adalah Calon KDH pada Pilkada, apakah juga bisa dikategorikan tidak netral. Selama ini tafsir netralitas lebih banyak melekat pada KDH terpilih, sehingga banyak PNS jadi korban karena dianggap &quot;tiarap&quot;. Kasus di Kutai Kartanegara sangat unique mengenai hal satu ini.  Pilkada yg tidak dibatasi oleh  nilai-nilai  yg tegas juga dapat berdampak pada rendahnya mutu kebijakan publik di daerah. Dan jika hal ini berlangsung terus, maka masyarakatlah yang menjadi korban dari sebuah sistem demokrasi bernama Pilkada .
PRASYARAT  PILKADA YANG DEMOKRATIS &  BERCIRIKAN  GOOD GOVERNANCE RULE OF LAW & ENFORCEMENT (KEJELASAN & KETEGASAN ATURAN HUKUM) VOTERS & CIVIC EDUCATION  (SOSIALISASI ATURAN PILKADA) STATESMANSHIP  (KENEGARAWANAN KANDIDAT)
Kesimpulan & Rekomendasi Hubungan antara demokrasi dan pembangunan,  serta antara demokrasi dan resolusi konflik  tidak perlu dipahami secara hitam putih. Divergensi atau konvergensi antar kedua variabel diatas sangat tergantung pada para pelaku politik dan mapannya sistem yang digunakan. Desentralisasi harus diperkuat untuk membangun  good local governance     kinerja pembangunan akan meningkat dengan sendirinya sementara rezim demokratis juga dapat ikut terbangun.  Perlu pengembangan kapasitas birokrasi untuk menjalankan program pembangunan secara efektif tanpa intervensi politis secara berlebihan; sekaligus meningkatkan akuntabilitas dan efisiensi pemerintahan daerah.  Perlu dibangun proses dan kelembagaan politik yang hati-hati ( prudent politics ), serta menyiapkan infrastruktur ekonomi, sosial dan politik untuk berjalannya demokrasi secara wajar.  Perlu diberi peran kepada otoritas lokal untuk membangun kerangka penyaluran aspirasi dan kepentingan rakyat.
KEPEMERINTAHAN YANG BAIK (Good Governance)
Kerangka Pikir Perlunya Etika / AAUPB (Salus Populi Suprema Lex) Masyarakat Discretionary Power (Kewenangan Bertindak Secara Bebas) Kemungkinan Penyimpangan (perbuatan melanggar hkm / onrechmatige overheidsdaad  ; perbuatan menyalahgunakan wewenang /  detournement de pouvoir  ; perbuatan sewenang-wenang /  abus de droit )  Upaya Perlindungan Birokrasi (Fungsi Yan & Kesejahteraan) Hukum Positif Etika / Asas atau Prinsip Pemerintahan Yang Baik good governance civil society
Pendapat Ahli ttg Kegagalan Pemerintah Peter F. Drucker (1968) dalam  ‘The Age of Discontinuity’     kemungkinan bangkrutnya birokrasi. Barzelay (1982) dalam  ‘Breaking Through Bureaucracy’     masyarakat bosan dan muak pada birokrasi yang rakus dan bekerja lamban. Osborne & Gaebler (1992) dalam  ‘Reinventing Government’ =>  kegagalan utama pemerintah saat ini adalah karena kelemahan manajemennya, bukan pada apa yang dikerjakan pemerintah, melainkan bagaimana caranya pemerintah mengerjakannya. Osborne & Plastrik (1996) dalam  ‘Banishing Bureucracy’ =>  agar birokrasi lebih efektif, perlu dipangkas agar ramping,  ‘the least government is the best government’. E. S. Savas (1987) => perlunya privatisasi, ramping struktur kaya fungsi, pemilahan dan pemilihan fungsi publik.
Mc Leod (1998)    krisis multidimensional di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh adanya salah urus ( mismanagement ) pada semua sektor, baik swasta dan terutama pemerintah. Diantara komponen bangsa, setelah terjadinya reformasi, ternyata birokrasi merupakan sektor yang paling lamban berubahnya. Diperlukan pembaruan manajemen pemerintahan pada semua tahapan, mulai dari tahapan perencanaan, implementasi sampai evaluasi. Paradigma  good governance  pada dasarnya adalah upaya membangun filosofi, strategi & teknik mengelola urusan-urusan publik secara lebih transparan dengan melibatkan pihak yang terlibat ( stakeholder & shareholder).
KONSEP  GOOD GOVERNANCE Berdasarkan praktek pemerintahan di berbagai negara ditengarai adanya  bad government , yang ditandai dengan banyaknya korupsi, kolusi, nepotisme, yang membuat negara mengarah ke kebangkrutan. Oleh karena itu, diperlukan konsep baru mengenai cara berpemerintahan yang baik ( good government ). Bad  Government Good  Government
KONSEP  GOOD GOVERNANCE World Bank     Governance  diartikan sebagai  ‘the way state power is used in managing economic and social resources for development society’.  Dengan demikian, governance adalah  cara , yaitu cara bagaimana kekuasaan negara digunakan untuk  mengelola  sumber daya ekonomi dan sosial guna pembangunan masyarakat. UNDP, mengartikan governance sebagai  ‘the exercise of political,economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels ’. Kata  governance ,  diartikan sbg penggunaan / pelaksanaan, yakni  penggunaan kewenangan  politik, ekonomi dan administratif untuk mengelola masalah nasional pada semua tingkatan.
Perbandingan Ciri-ciri  Bad Government   dengan  Good Government Proaktif Ramah & Persuasif Transparan Mengutamakan proses & produk Proporsional & profesional Bekerja secara sistemik Pembelajaran sepanjang hayat Menempatkan  stakeholder & shareholder  ditempat utama Lamban & reaktif Arogan Korup Birokratisme Boros Bekerja secara naluriah Enggan berubah Kurang berorientasi pada kepentingan publik Good Government Bad Government
3 Domain  Governance Negara/pemerintahan     sbg pembuat kebijakan, pengendali & pengawas. Swasta/Dunia usaha    sbg penggerak aktivitas bidang ekonomi. Masyarakat    sbg subyek dan obyek dari sektor pemerintah dan swasta.
Posisi 3 Domain dalam konsep  good governance  yg bersifat heterarkhis,  BUKAN  hierarkhis   Pemerintah Masyarakat Swasta
3 Elemen  Good Governance Economic Governance     Proses pembuatan keputusan utk memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri & interaksi diantara penyelenggara ekonomi. Political Governance     Proses pembuatan keputusan utk formulasi kebijakan publik, yang dilakukan oleh birokrasi  bersama politisi Administrative Governance     Implementasi proses kebijakan yang telah diputuskan oleh institusi politik Economic Gov Administrative Gov Political  Gov
OPERASIONALISASI KONSEP  GOOD GOVERNANCE PEMERINTAH SWASTA MASYARAKAT Administrative Governance Political Governance Economic Governance
Kab. Sleman     tahun 2004 membuat neraca yang diaudit oleh Akuntan Publik Independen dan memuatnya di Harian Kompas. Kab. Jembrana     efisiensi pemerintahan (5 Dinas, regrouping sekolah, penghapusan kendaraan & rumah dinas, dll). Kota Palangkaraya     mekanisme untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap kinerja pemberian pelayanan publik oleh pemerintah daerah IMPLEMENTASI PARADIGMA  GOOD GOVERNANCE  DALAM OTONOMI DAERAH
Kota Bandung      pelayanan kebutuhan air bersih dikelola secara swakelola .  Caranya, RW membangun sumur artesis (sekitar 60m) dan menjualnya kepada warga sekitar dengan harga yang lebih murah dibanding harga PDAM. Dalam hal ini, implementasi  good local governance  terlihat dari posisi masyarakat bertindak selaku penyedia jasa layanan ( service provider ), pengguna ( service user ), sekaligus kelompok kepentingan ( concern groups ).  Penyedia / Produsen Jasa Layanan Pengguna Jasa Layanan Kelompok Kepentingan
PENUGASAN Bentuklah kelas menjadi 4 kelompok. Setiap kelompok diminta mencari salah satu masalah yang timbul dari pelaksanaan Otda, kemudian dianalisis (cari faktor penyebab dan temukan solusinya). Setiap kelompok wajib mempresentasikan makalah di depan kelompok lain. Pembagian peran dan penguasaan materi menjadi pertimbangan penilaian.
Terima  kasih Semoga Bermanfaat

More Related Content

Masalah Otonomi Daerah

  • 1. MASALAH-MASALAH OTONOMI DAERAH Bahan Kuliah untuk Mahasiswa Program S1-PIN Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Samarinda Oleh : Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
  • 2. OVERVIEW Desentralisasi dengan Dekonsentrasi? Daerah Otonom dengan Wilayah Administratif? Otonomi Daerah dengan Daerah Otonom? Pemerintah Daerah dengan Pemerintahan Daerah? Pemerintahan Daerah dengan Pemerintahan di Daerah? Apa Bedanya:
  • 3. Desentralisasi vs Dekonsentrasi Desentralisasi : penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI. Dekonsentrasi : pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
  • 4. Otonomi Daerah vs Daerah Otonom Otonomi Daerah : hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah Otonom : kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.
  • 5. Daerah Otonom vs Wil. Administratif Daerah Otonom : implikasi asas Desentralisasi  hak / wewenang mengatur dan mengurus sendiri urusan RT-nya. Wilayah Administratif : implikasi asas Dekonsentrasi  hak / wewenang mengatur dan mengurus urusan Pemerintah Pusat di daerah; oleh aparat Pusat di daerah; dengan sumber daya Pusat di daerah.
  • 6. Pemerintah Daerah vs Pemerintahan Daerah Pemerintah Daerah : unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang terdiri dari Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah. Pemerintahan Daerah : penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI.
  • 7. Pemerintahan Daerah vs Pemerintahan di Daerah Pemerintahan Daerah : UU No. 22 / 1999 dan UU No. 32 / 2004 Propinsi  Daerah Otonom dan “Wakil Pemerintah” Kab/Kota  Daerah Otonom saja. Kecamatan & Kelurahan adalah perangkat Daerah. Pemerintahan di Daerah : UU No. 5 / 1974 Propinsi dan Kab/Kodya memiliki 2 (dua) kedudukan sebagai Daerah Otonom sekaligus Wilayah Administratif. Kecamatan & Kelurahan adalah instansi vertikal / perangkat Pusat di daerah.
  • 8. Sumber: Data diolah dari berbagai media massa (2005 – 2007)
  • 9. MASALAH 2 OTDA Pemekaran Wilayah Kelembagaan Perangkat Daerah SDM (pegawai) Keuangan (kapasitas fiskal) Akselerasi Pembangunan Daerah (pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, pelayanan publik, dll) ( Sumber : Karhi Nisjar, Orasi Ilmiah pada Dies Natalis XIX Universitas Dr. Soetomo, Surabaya )
  • 10. UNDP … (2000: 60-61) Decentralized governance , when carefully planned , effectively implemented, and appropriately managed, can lead to significant improvement in the welfare of people at the local level, the cumulative effect of which can lead to enhanced human development . In addition, if decentralization involves real devolution of power to local levels, the enabling environment for poverty reduction is likely to be stronger . On the contrary, badly planned decentralization can worsen regional inequalities . Left to their own devices, richer regions are likely to develop faster than poor ones . And a system of matching grants, intended by central government to motivate local government to raise funds, typically exacerbates regional disparities.
  • 11. Postulat: Otonomi Daerah memiliki korelasi POSITIF terhadap peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Jika pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat tidak semakin baik, berarti ada kesalahan dalam menafsirkan dan menjalankan Otonomi Daerah. Otonomi Daerah perlu dikawal oleh seluruh pihak untuk menjamin tercapainya pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.
  • 12. Decentralization can be a means of overcoming the severe limitations of centrally controlled national planning. Decentralization can cut through the enormous amounts of red tape and the highly structured procedures. Officials’ knowledge of and sensitivity to local problems and needs can be increased. Decentralization can allow better political and administrative “penetration” of national government policies into areas remote from the national capital. Decentralization might allow greater representation for various political, religious, ethnic, and tribal groups in development decision making that lead to greater equity in the allocation of resources. Decentralization could expand local governments’ and private institutions’ capacity to take over functions that are not usually performed well by central ministries. The efficiency of the central government could be increased. Manfaat Desentralisasi (1)
  • 13. Manfaat Desentralisasi (2) Decentralization can provide a structure through which activities of various central government ministries and agencies could be coordinated more effectively. Decentralization is needed to institutionalize participation of citizens in development planning and management. Decentralization might offset the influence or control over development activities by entrenched local elites. Decentralization can lead to more flexible, innovative, and creative administration. Decentralization allows local leaders to locate services and facilities more effectively within communities. Decentralization can increase political stability and national unity by giving groups the ability to participate more directly in development decision-making. Decentralization can increase the number of public goods and services and the efficiency with which they are delivered at lower cost.
  • 14. Manfaat Desentralisasi (3) Desentralisasi meningkatkan level transparansi dan akuntabilitas serta berkembangnya praktek good governance . Kebutuhan daerah akan terpenuhi secara lebih baik sebagai akibat diberikannya otonomi. Para penguasa akan dapat diawasi secara langsung oleh masyarakat setempat. Inisiatif penduduk lokal dan kreativitas publik akan berkembang bebas karena mengendornya pengawasan Pusat yang terlalu kuat pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Hadiz (2003: 16)
  • 15. Makin tingginya disparitas antar daerah Bahaya Desentralisasi (Prud’Homme, 1985) Potensi dan kemampuan setiap daerah berbeda-beda, terutama dalam pemilikan sumber daya, sementara desentralisasi berarti memberikan kewenangan yang luas kepada daerah dalam mengurusi aktivitasnya termasuk aktivitas ekonomi. Daerah bebas dalam mengolah sumber daya, menerapkan kebijakan fiskal. Karena potensi dan kemampuan daerah berbeda-beda, maka disparitas antar daerah akan semakin tinggi. Daerah yang kaya dan memiliki struktur ekonomi yang lebih seimbang akan melaju cepat, sementara itu Daerah yang miskin akan ketinggalan.
  • 16. Inefisiensi produksi dan alokasi . Bahaya Desentralisasi .. cont. Daerah akan memaksakan diri dalam melakukan produksi suatu komoditas tertentu meskipun secara ekonomis tidak terlalu menguntungkan, sehingga secara nasional dapat dinilai sebagai inefisiensi dalam alokasi sumber daya. Sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk komoditas lain, karena motivasi kemandirian, akhirnya dialokasikan kepada komoditas tertentu yang kurang efisien.
  • 17. Instabilitas yg berpangkal dari luasnya kewenangan daerah dalam kebijakan fiskal . Bahaya Desentralisasi .. cont. “ Meskipun desentralisasi fiskal memberikan manfaat di beberapa negara seperti China, India, negara-negara Amerika Latin, serta negara-negara lain di belahan di dunia ini, namun di sisi lain memunculkan 3 masalah utama, yaitu: meningkatnya ketidakadilan (kesenjangan), instabilitas makroekonomi, dan adanya resiko kewenangan lokal yang dapat menyebabkan kesalahan dalam alokasi sumber daya” ( World Development Report: The State in a Changing World , 1997 ).
  • 18. Cross-country experiences El Salvador : meningkatnya kemandirian masyarakat / aktor sekolah dan kualitas pembelajaran. Dengan meningkatnya partisipasi orang tua, setiap sekolah yang dikelola masyarakat ( community-managed school ) menunjukkan tingkat absensi (meninggalkan kewajiban) yang semakin rendah. Ni karagua : dengan melakukan pengawasan terhadap latar belakang keluarga, murid-murid sekolah diberi hak membuat sendiri keputusan yang berhubungan dengan sekolah mereka. Hal ini ternyata berdampak pada raihan nilai yang lebih baik dalam setiap tes atau ujian. McLean d an King (1999: 55)
  • 19. Cross-country experiences Manfaat di bidang kesehatan: More rational and unified health service that caters to local preferences. Improvement of health programs implementation. Lessened duplication of services as the target of populations is defined more specifically. Reduction of inequalities between rural and urban areas. Cost containment from moving to streamlined, targeted programs. Greater community financing and involvement of local communities. Greater integration of activities of different public and private agencies. Improvement of inter-sectoral coordination, particularly in local government and rural development activities. Dampak negatif terjadi di P ilipina, Zambia, dan Papua Nugini . Anne Mills ( dalam Kolehmainen-Aitken, 1999: 57)
  • 20. Cross-country experiences Peningkatan layanan kesehatan di Belo Horizonte, Brazil; Peningkatan layanan perkotaan di Sinuapa, Honduras; Keberhasilan pelaksanaan berbagai proyek di Jamunia Tank Gram Panchayat, India; Peningkatan layanan pendidikan di Ma’n dan Irbid, Jordan; Perbaikan kualitas pemukiman di Pakistan; Peningkatan layanan kesehatan dii 3 kota di Philipina; Menggerakkan pembangunan ekonomi lokal di 3 kota Polish; Peningkatan pendapatan rumah tangga di Ivory Park, South Africa; Peningkatan jasa-jasa pasar melalui kemitraan dengan sektor swasta di Jinja, Uganda. Work (2002)
  • 21. Cross-country experiences Meningkatnya kepedulian dan penghargaan terhadap partisipasi masyarakat dalam proses politik di tingkat lokal. Perangkat Pemda memiliki komitmen yang makin kuat dalam pemberian layanan serta merasakan adanya tekanan yang berat dari masyarakat agar mereka meningkatkan kualitas pelayanan publik. Pemerintah Kab/Kota dan antara Kab/Kota dengan Propinsi saling bekerjasama dan berbagi informasi untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Indonesia (IRDA, 2002: 10)
  • 22. Cross-country experiences Korupsi yang terdesentralisasi dan tersebar, Aturan yang dijalankan oleh pejabat yang berjiwa “maling” ( predatory local officials ), Merebaknya money politics dan konsolidasi politik gangster. Indonesia (Hadiz, 2003: 16) Uni Soviet Philipina Para predator itu … Thailand Indonesia
  • 23. Indikator Keberhasilan OTDA EKONOMI pendapatan nasional perkapita. pengurangan jumlah penduduk miskin. tingkat pengangguran. gini ratio, luas daerah di bawah kurva lorenz, dll . SOSIAL rasio guru terhadap murid. rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk, dll. PRASARANA DASAR prasarana perhubungan. prasarana penerangan, dll.
  • 25. ISSU KRUSIAL PEMEKARAN Alasan pemekaran : meningkatkan pelayanan publik dan mendekatkan Pemda. Implikasi Pemekaran : Sumber daya keuangan makin terbatas. Meningkatkan overhead-cost . Memperbanyak aktor (institusi) Pemda. Mendorong pembentukan lembaga vertikal: polisi, militer, kejaksaan, PN, dll.
  • 26. APA YANG TERJADI ??? P emekaran tanpa analisis komprehensif terhadap kelayakan teknis, admin i stratif, politik dan potensi daerah . Fakta kesenjangan pembangunan dijawab dengan pemekaran tanpa menyelesaikan masalah pokoknya. Pemekaran justru melemahkan kemampuan fiskal daerah karena adanya pembagian sumber daya. Ilustrasi pemekaran: sakit kepala diobati dengan obat sakit perut.
  • 27. Siapa KALAH Siapa MENANG ? Penduduk setempat , karena pembangunan di sekelilingnya: jalan, gedung-gedung baru, dll. Daerah yg sepi menjadi lebih ramai. PNS , karena mendapat promosi di daerah yang baru. Parpol , karena kadernya memiliki peluang untuk menjadi anggota DPRD atau Kepala Daerah. Yang Menang & Senang :
  • 28. Siapa KALAH Siapa MENANG ? Sumber penerimaan tergantung pada Pusat (94%), dan harus dibagi menjadi dua. Akibatnya, kapasitas fiskal semakin melemah. Menurunnya kapasitas fiskal akan berdampak menurunnya kemampuan pembiayaan pelayanan publik secara keseluruhan (secara parsial mungkin menguntungkan daerah baru). Daerah yg lemah secara ekonomi akan sulit membangun daerahnya pada jangka panjang. Menciptakan kendala baru berupa kebutuhan pembiayaan birokrasi (overhead-cost). Masyarakat secara umum yg mendapat dampaknya. Kasus: Kaltim sbg Provinsi terbesar APBD-nya, namun jumlah penduduk miskinnya terbanyak se Kalimantan (2007). Yang Kalah :
  • 29. Jumlah Daerah Otonom Sumber : Mendagri (Suara Pembaruan, 23 Okt 2007) 33 Prov; 465 Kab/Kota TOTAL 7 Prov; 173 Kab/Kota 1999 – 2007 27 Prov; 292 Kab/Kota Sebelum 1999
  • 30. PEMBENTUKAN DAERAH MASING-MASING MEMPUNYAI PEMERINTAHAN DAERAH. PASAL 2 AYAT (1) NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DIBAGI ATAS DAERAH-DAERAH: PROVINSI KABUPATEN DAN KOTA DAERAH PROVINSI DIBAGI ATAS:
  • 31. PEMEKARAN SETELAH MENCAPAI BATAS MINIMAL USIA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN {Psl 4 (4)} SUBSTANSI UNDANG- UNDANG DIMAKSUD MENCAKUP Psl {4 (2)} : NAMA CAKUPAN WILAYAH BATAS IBUKOTA KEWENANGAN PENJABAT KEPALA DAERAH PENGISIAN DPRD PENGALIHAN KEPEGAWAIAN PENDANAAN PERALATAN DAN DOKUMEN PERANGKAT DAERAH PEMBENTUKAN DAERAH DAPAT BERUPA {Psl 4 (3)}: PENGGABUNGAN BEBERAPA DAERAH PENGGABUNGAN SEBAGIAN DAERAH YANG BERSANDINGAN PEMEKARAN DARI SATU DAERAH MENJADI DUA DAERAH ATAU LEBIH PEMBENTUKAN DAERAH: DITETAPKAN DGN UU {Pasal 4 (1)} PROVINSI: 10 TAHUN KABUPATEN/KOTA: 7 THN KECAMATAN: 5 TAHUN
  • 32. . ADMINISTRATIF TEKNIS FISIK KEWILAYAHAN SYARAT-SYARAT PEMBENTUKAN DAERAH Pasal 5 Ayat (1)
  • 33. SYARAT ADMINISTRATIF PEMBENTUKAN PROVINSI Pasal 5 Ayat (2) Aspirasi masyarakat. Kep. DPRD Kab / Kota & persetujuan Bupati / Walikota masing 2 yg akan menjadi cakupan Prov. Kep. DPRD P rov. induk. Rekomendasi Gubernur. Rekomendasi Menteri Dalam Negeri ASPIRASI MASYARAKAT. KEPUTUSAN DPRD KABUPATEN/KOTA. PERSETUJUAN BUPATI/WALIKOTA. KEPUTUSAN DPRD PROVINSI/INDUK. REKOMENDASI GUBERNUR/INDUK. REKOMENDASI MENTERI DALAM NEGERI B. PEMBENTUKAN KABUPATEN/KOTA Pasal 5 Ayat (3)
  • 34. KEMAMPUAN EKONOMI POTENSI DAERAH SOSIAL BUDAYA SOSIAL POLITIK KEPENDUDUKAN LUAS DAERAH PERTAHANAN KEAMANAN dan FAKTOR LAIN YANG MEMUNGKINKAN TERSELENGGARANYA OTDA (KEMAMPUAN KEUANGAN, TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT, RENTANG KENDALI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH) SYARAT TEKNIS Pasal 5 Ayat (4) FAKTOR DASAR PEMBENTUKAN DAERAH
  • 35. SYARAT FISIK Pasal 5 Ayat (5) KOTA PROVINSI KABUPATEN PALING SEDIKIT 4 KECAMATAN SARANA DAN PRASARANA PEMERINTAHAN PALING SEDIKIT 5 KECAMATAN LOKASI CALON IBUKOTA SARANA DAN PRASARANA PEMERINTAHAN PALING SEDIKIT 5 KABUPATEN/KOTA LOKASI CALON IBUKOTA SARANA DAN PRASARANA PEMERINTAHAN
  • 36. Tentang JUMLAH PENDUDUK Raymond G. Gettel: No definite limit can be fixed for the number of persons necessary to form a state . Gilchrist: It is impossible to fix a definite number of men for a state . “ semua orang yang pada suatu waktu bertempat tinggal mendiami (menetap) di wilayah daerah atau negara tertentu” RRC : 1,1 milyar India : 800 juta Tuvalu dan Nauru : 10 ribu.
  • 37. Tentang LUAS WILAYAH “ daerah teritorial tertentu sebagai tempat kedudukan suatu daerah atau negara, dalam mana kekuasaan daerah atau negara berlaku atas seluruh penduduk yang bertempat tinggal menetap didalam daerah teritorial tersebut” RRC : 9.561.000 km 2 India : 3.275.198 km 2 Tuvalu dan Nauru : 26 km 2 dan 21 km 2
  • 38. Size and Democracy: Case for Decentralization (Larry Diamond & Svetlana Tsalik, 1999): 1998  hampir 75% negara berpenduduk dibawah 1 juta jiwa merupakan negara demokratis; kurang dari 60% negara dengan populasi > 1 juta jiwa diikategorikan demokratis . 5 dari 6 negara berpenduduk < setengah juta ( microstate ) adalah demokratis, dan lebih dari tiga perempatnya menerapkan demokrasi liberal. Kesimpulan : jika menginginkan suatu negara / daerah demokratis, maka harus diupayakan agar jumlah penduduk tidak berkembang secara dramatis. Pemekaran Wilayah “ Microstate” Pemerintahan Demokratis
  • 39. Benarkah LOGIKA Diatas? Jepang memiliki 47 propinsi ( prefecture ) dan 3.232 daerah otonom setingkat kabupaten / kota ( Shi Cho Son ). Di Thailand terdapat 75 propinsi dengan 1.130 daerah otonom setingkat kabupaten / kota. INDONESIA ?? BENAR , dengan argumen:
  • 40. Benarkah LOGIKA Diatas? … (2) Demokrasi tidak hanya dilakukan dengan pemekaran, tapi bisa juga dengan devolusi kekuasaan (baik dengan sistem federalisme maupun otonomi luas). Kasus Indonesia  kesenjangan antar wilayah : Jawa saja yg “layak” dimekarkan dan menjadi demokratis, sedang luar Jawa sulit dimekarkan karena sedikitnya jumlah penduduk. Pemekaran membuat rentang kendali semakin panjang , shg mempersulit mekanisme koordinasi, pengawasan & pembinaan oleh Pusat terhadap Daerah. Pemekaran berimplikasi terhadap berkurangnya jumlah dan kemampuan anggaran (fiscal capacity) baik bagi daerah baru hasil pemekaran maupun daerah induknya. Pemekaran memicu orientasi menggali PAD melalui penetapan Perda retribusi yang menjadikan iklim usaha kurang kondusif . SALAH , dengan argumen:
  • 41. Itulah Sebabnya … Di Jepang, 47 propinsi yang ada saat ini secara administratif dikelompokkan menjadi 12 wilayah saja. Sedang pada level kedua, amalgamasi dilakukan dengan target pengurangan municipalities dari 3.232 menjadi hanya 257 (Masahisa Hayashi, 2002). Thailand menciutkan jumlah daerah otonom tingkat III yg disebut TAO (Tambol Administrative Organization, di Indonesia setingkat Kecamatan) dari 7.498 menjadi hanya 5.000 ( Bangkok Post , 3/11/02). Di Swedia, unit pemda berkurang dari 1.006 pada 1960-an menjadi 284 pada 1980-an. Pada periode yang sama, Belgia berkurang dari 2.663 menjadi 589; Denmark dari 1.387 menjadi 275; Jerman dari 24.282 menjadi 8.426; & Inggris dari 1.288 menjadi 457 (Hubert Allen, 1990). Pemekaran tidak lagi menjadi opsi yg disukai:
  • 42. Presiden ttg Pemekaran (Pidato di depan DPD-RI tg 23 Agustus 2007) Jika pemekaran daerah tidak berangkat dari tujuan yang benar, serta tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan beban kepada keuangan negara , serta memberikan dampak penurunan anggaran terhadap seluruh pemerintah daerah lain, karena akan menurunkan alokasi DAU secara proporsional bagi daerah lain di seluruh tanah air. Pemekaran juga mempengaruhi penyediaan DAK Bidang Prasarana Pemerintahan (sarana dan prasarana gedung kantor instansi vertikal, belanja pegawai, dan belanja operasional lainnya), serta untuk mendanai urusan-urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. “ Kita harus tegas dan berani menolak tuntutan pemekaran , yang sama sekali tidak memiliki urgensi dan tidak memberikan manfaat nyata bagi rakyat di daerah itu”.
  • 43. Ironisnya … Ada sebuah dagelan politik tingkat tinggi, dimana imbauan Presiden pada sidang paripurna DPD RI 23 Agustus 2007 untuk moratorium pemekaran justru dibalas politisi DPR dengan menetapkan 8 UU pemekaran yang baru . Ada apa dengan hubungan Eksekutif – Legislatif di Indonesia?
  • 44. MASALAH 2 PEMEKARAN WIL. 76 % daerah hasil pemekaran mengalami kemunduran dari sebelumnya, dengan indikator jumlah masyarakat miskin meningkat (Priyo Budi Santoso, Suara Pembaruan: 10-4-2007). Laporan Depdagri 2006: dari 148 daerah otonom baru yang dievaluasi, sekitar 80 % masuk kategori bermasalah dan gagal. Data Dep. Keuangan 2007: mayoritas daerah pemekaran tergolong berkemampuan keuangan rendah. BPK juga menyebutkan, pemekaran berdampak negatif pada perekonomian, sebab membebani keuangan negara (Kompas, 31-5-2007 ). Pemekaran yang tidak terencana menyulitkan penentuan daerah pemilihan untuk Pemilu 2009 (Mendagri, Kompas, 9-3-2007). Daerah otonom baru belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan (Mendagri, Kompas, 23-10-2007). &quot;Bukan rahasia lagi, lebih dari 90 % APBD daerah otonom baru disubsidi dari APBN” (Ryaas Rasyid, Kompas, 23-10-2007).
  • 45. MASALAH 2 PEMEKARAN WIL. Letak daerah yang jauh dari pusat pemerintah bukanlah masalah yang harus diatasi dengan pemekaran. Akibatnya, banyak daerah baru hasil pemekaran justru menjadi beban pemerintah (Taliziduhu Ndraha, Kompas, 13-3-2007). Pemekaran belum menyentuh kesejahteraan publik terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan dan layanan umum. Pemekaran lebih banyak memberikan keuntungan bagi segelintir elite dan kelompok birokrasi maupun pengusaha saja (Suara Karya, 21-5-2007). Pemekaran menimbulkan ketidakefisienan secara ekonomi. Ini terlihat dari munculnya banyak perda yang berbeda di tiap daerah (Kompas, 24-4-2007). Syarat kewilayahan yang diatur PP No. 129/2000 berbeda dengan yang diatur UU No. 32/2004. Bagaimana dengan daerah yang terlanjur terbentuk? Digabung lagi?
  • 46. Pilihan Solusi Moratorium, sambil lakukan evaluasi. Percepat PP pengganti PP No. 129/2000, dengan memperketat usulan-usulan pemekaran daerah, yang benar-benar sesuai kebutuhan (bukan karena desakan / motif politik). Insentif bagi daerah yg mau menggabungkan diri. Pengetatan pembentukan Perda yg tidak ramah pasar ( pro-investment ). Pembentukan daerah baru harus seiring dengan kebijakan di bidang lain, misalnya tentang Pemilu (misal: pembentukan KPUD). Treatment khusus bagi daerah yang sudah terlanjur dimekarkan, misalnya dengan mengembangkan kecamatan (bagi kab/kota), atau kab/kota (bagi provinsi). Susun Grand Design (RIP) Pemekaran Wilayah. Pemberdayaan Kec & Kelurahan (Desentralisasi Tahap II).
  • 47. Pengetatan Persyaratan Syarat wilayah bagi provinsi sedikitnya terdiri atas 5 kabupaten/kota. Syarat wilayah kabupaten minimal terdiri atas 5 kecamatan dan kota minimal terdiri atas 4 kecamatan. Soal batas usia, daerah otonom baru bisa dimekarkan kembali jika telah berusia 10 tahun untuk provinsi dan 7 tahun untuk kabupaten/kota. Penambahan kriteria pengukuran kelayakan pemekaran wilayah dari 7 kriteria (PP 129/2000) menjadi 11 kriteria pada RPP terbaru.
  • 49. Landasan Hukum Kerjasama Antar Daerah PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan . PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004-2009. SE Menteri Dalam Negeri No. 120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah. UU No. 17 tahun 2007 tentang RPJP Nasional 2005 – 2025. Operational Level Policy Level
  • 50. Pasal-pasal Kerjasama Antar Daerah dalam UU No. 32 /2004 Pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait. Untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat. Untuk pengelolaan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), daerah membentuk adan kerjasama. Apabila daerah tidak melaksanakan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pengelolaan pelayanan publik tersebut dapat dilaksanakan oleh Pemerintah. Pasal 196 Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi, dan saling menguntungkan. (2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama. (3) Dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerjasama dengan pihak ketiga. (4) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) yang membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD. Pasal 195 I s i Pasal
  • 51. Urgensi Kerjasama Antara Daerah Keterkaitan Antar Daerah ( Inter-regional-linkages ): ekonomi, geografis, pemerintahan, sosial Meningkatkan Efisiensi Dalam Skala Ekonomi (e conomies of Scale ), Berpotensi Menekan Cost & Optimalisasi Sumber Daya : pengelolaan air bersih, pemadam kebakaran, persampahan. Meningkatkan Efektifitas & Kualitas Pelayanan Publik : Pendidikan dan Kesehatan. Ketersediaan Sumber Daya di Masing-Masing Daerah Bervariasi (plus vs minus). Menghindarkan Duplikasi Pelayanan Publik di Kabupaten/Kota Berdekatan.
  • 52. Prinsip-Prinsip KAD Spesifik : isu yang dibahas atau dikerjasamakan lebih baik spesif ik, agar kerjasama yang dilakukan bisa fokus dan kelembagaan yang dibentuk bisa efisien. Penting bagi daerah lokal : isu yang dikerjasamakan memang penting bagi daerah-daerah yang terkait, atau bisa membawa keuntungan bagi daerah. Saling menguntungkan bagi semua pihak. Skema harus partisipatif : mengingat kerjasama adalah untuk kepentingan umum, skema harus partisipatif. Ada kepastian hukum. Mengikuti kaidah good governance : transparansi & akuntabilitas terjaga.
  • 53. Prinsip-Prinsip KAD Politically feasible : kerjasama itu harus menarik secara politis. Pada akhirnya keputusan & komitmen untuk melakukan kerjasama itu ada di level pimpinan ( leadership ), yang merupakan dunia politis. Economically feasible : kerjasama itu secara ekonomi atau keuangan daerah mampu dilakukan, dan membawa keuntungan secara ekonomi juga. Geographically feasible : secara geografis memungkinkan, termasuk apabila diputuskan akan dibentuk semacam sekretariat bersama yang mudah diakses oleh pihak-pihak terkait Linkage antar aktor : adanya jaringan komunikasi yang cukup kuat di semua stakeholders yang terlibat.
  • 55.  
  • 56.  
  • 57. PERMASALAHAN KERJASAMA DAERAH Pola Pikir & Permasalahan KAD KETERBATASAN DAERAH KOMITMEN NASIONAL GLOBAL PELAKSANAAN KERJASAMA DAERAH
  • 58. BANYAKNYA DUK MISKIN KESEJANGAN ANTAR DAERAH KESEMPATAN KERJA TDK SEBANDING PENGANGGUR KURANGNYA YAN DASAR LEMAHNYA STRUKTUR PEREKON DAERAH RENDAHNYA YAN BLIK SUPREMASI HUKUM BLM OPTIMALNYA LAKS OTDA BLM OPTIMALNYA PENGELOLAAN SDA MASALAH POKOK Masalah yg Melatarbelakangi Pentingnya KAD
  • 59. Penyelesaian Perselisihan KAD Apabila terjadi perselisihan dalam pelaksanaan kerja sama akan diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat. Apabila dengan musyawarah untuk mencapai mufakat tidak terselesaikan, maka penyelesaian perselisihan difasilitasi oleh Mendagri sesuai ketentuan yang berlaku. Keputusan Mendagri dalam upaya penyelesaian perselisihan bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang bekerja sama. Apabila penyelesaian perselisihan melalui Mendagri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) salah satu pihak tidak dapat menerima, maka dapat mengajukan penyelesaian melalui MA.
  • 60. Penyelesaian Perselisihan Apabila terjadi perselisihan dlm penyeleng fung pemerintahan antar Kab/Kota dlm satu Prov, Gub menyelesaikan perselisihan dimaksud {Ps. 198(1)} Apabila terjadi perselisihan antar Prov, antara Prov dan Kab/Kota diwilayahnya serta antara Prov dan Kab/Kota diluar wilayahnya, Mendagri menyelesaikan perselisihan {Ps. 198(2)} Kept Gub dan Mendagri bersifat Final. {Ps. 198(3)}
  • 61. KASUS KAD Pemprov DKI membangun tanggul di Kali Mokervart. Belum ada komunikasi dengan wilayah penyangga (Bodetabekjur). Pemkot Tangerang menganggap tanggul tsb berada di wilayahnya, kemudian membatalkan proyek tsb. Pokok masalah: lemahnya koordinasi, tidak jelasnya batas kewenangan, ketiadaan visi yg sama, lembaga pengelola kerjasama tidak optimal, dll.
  • 62. SUMBER DAYA APARATUR KELEMBAGAAN Sumber Daya Manusia KEUANGAN
  • 63. KONDISI LEMBAGA PEMERINTAH SEBELUM OTONOMI PUSAT : 800 jabatan eselon I 2.392 eselon II 11.245 eselon III 70.787 eselon IV 208.850 es. V DAERAH : 27 jabatan eselon I 788 eselon II 7.964 eselon III 44.372 eselon IV 79.791 eselon V (Mustopadidjaja, 1999)
  • 64. SETELAH OTONOMI Komisi Yudisial  UU No. 22/2004 Komisi Pemilihan Umum  UU No. 12/2003 Komnas HAM  UU No. 39/1999 Komisi Pengawas Persaingan Usaha  UU No. 5/1999 Komisi Penyiaran Indonesia  UU No. 32/2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi / KPK  UU No 30/2002 Komisi Perlindungan Anak  UU No. 23/2002 Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi  UU No. 27/2004 Komnas Anti Kekerasan Thd Perempuan  Keppres No. 181/1998 Komisi Ombudsman Nasional  Keppres No. 44/2000 Komisi Kepolisian  UU No. 2/2002 Komisi Kejaksaan  UU No. 16/2004 Komisi Hukum Nasional  Keppres No. 15/2000 Pusat  Inflasi Komisi / Dewan Negara:
  • 65. Dewan Pers  UU No. 40/1999 Dewan Pendidikan  UU No. 20/2003 Dewan Pembina Industri Strategis  Keppres No. 40/1999 Dewan Riset Nasional  Keppres No. 94/1999 Dewan Buku Nasional  Keppres No. 110/1999 Dewan Maritim Indonesia  Keppres No. 161/1999 Dewan Ekonomi Nasional  Keppres No. 144/1999 Dewan Pengembangan Usaha Nasional  Keppres No. 165/1999 Dewan Gula Nasional Keppres No. 23/2003 Dewan Ketahanan Pangan  Keppres No. 132/2001 Dewan Pengembangan Kws Tmr Indonesia  Keppres No. 44/2002 Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah  Keppres No. 151/2000 Dewan Pertahanan Nasional  Keppres No. 3/2003 Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional  Keppres No. 132/1998 Komite Nasional Keselamatan Transportasi  UU No. 41/1999 Komite Antar Dept. Bidang Kehutanan  Keppres No. 80/2000 Komite Akreditasi Nasional  Keppres No. 78/2001 Komite Penilaian Independen  Keppres No. 99/1999 Komite Olahraga Nasional Indonesia  Keppres No. 72/2001 Komite Kebijakan Sektor Keuangan  Keppres No. 89/1999 Komite Standar Nasional Untuk Satuan Ukuran  PP No. 102/2000 Inflasi Komisi / Dewan Negara (lanjutan) :
  • 66. ORGANISASI PERANGKAT DAERAH (Dari UU 22/1999 ke UU 32/2004) UU 22/1999 Psl. 60 s.d Psl. 68, Psl. 66 serta Psl 120: Sekretariat Daerah; Dinas Daerah; Lembaga Teknis Daerah; Camat; Satuan Polisi Pamong Praja PP NO. 8/2003 PP 41/2007 UU 32/2004 Psl. 120 s.d Psl. 128: PERANGKAT DAERAH PROV: Sekretariat Daerah; Sekretariat DPRD; Dinas Daerah; Lembaga Teknis Daerah; PERANGKAT DAERAH KAB/KOTA: Sekretariat Daerah; Sekretariat DPRD; Dinas Daerah; Lembaga Teknis Daerah; Kecamatan; Kelurahan.
  • 67. UU Keolahragaan UU KPI UU Penyuluhan UU Kepegawaian UU Keuangan UU BNN UU Ketahanan Pangan PP Pengawasan PP Satpol PP PP 38 dan 41 Tahun 2007 Penataan Organisasi Pemda PENATAAN KELEMBAGAAN ORGANISASI PEMERINTAH DAERAH
  • 68. KRITERIA PENATAAN ORGANISASI Semakin tinggi tingkat pembagian kerja, semakin besar ukuran organisasi. Semakin tinggi tingkat kompleksitas urusan, maka makin besar organisasi diperlukan. Semakin tinggi tinggi tingkat rutinitas pekerjaan, maka makin tinggi tingkat sentralistis sebuah organisasi. Semakin tinggi tingkat pekerjaan non rutinitas, maka makin tinggi tingkat desentralisasinya. Semakin besar suatu organisasi maka makin besar jumlah personilnya. Semakin besar suatu organisasi maka makin diperlukan banyak sumber daya yang diperlukan. Semakin luas wilayah kerja, makin besar ukuran organisasinya. Semakin tinggi tingkatan teknologi, semakin kecil ukuran organisasinya. Semakin tinggi variasi budaya, makin besar variasi sebuah organisasi. Semakin tinggi tingkat kemitraan, makin tinggi tingkat efisiensi kerja. Semakin banyak hubungan kerja, semakin besar ukuran sebuah organisasi. Semakin rendah tingkat disiplin pegawai, semakin besar ukuran organisasi pengawasan / pembinaan. Makin rendah tingkat stabilitas / keamanan, makin besar ukuran organisasi. Makin tinggi kompleksitas, makin tinggi tuntutan akan kualitas kepemimpinan.
  • 69. SDM APARATUR Birokrasi Parkinsonian (Parkinson’s Law)  proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Birokrasi Orwellian  proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Big bureaucracy
  • 70. Jumlah PNS & Rasio Penduduk Jumlah PNS: 4,4 juta (2 % dari total penduduk) Komparasi  AS : 2,7 % (1991) Jerman Barat : 7,1 % (1980) Malaysia : 4 % (1980) Philipina : 2,6 (1990) Singapura : 2,5 (1990) Problem kualitas, Problem ketimpangan distribusi tugas + Problem mutasi, promosi, penempatan + Problem tour of area (vertical), dll
  • 71. Profil Kualitas SDM (1991) Sarjana (S1 keatas) : 7 % Sarjana Muda : 9,8 % SLTA : 58,6 % Sisanya berpendidikan SLTP & SD : 24,6 %. Downsizing, Cross-posting, Contracting-out, Continuous improvement.
  • 72. MANAJEMEN PNSD Pemerintah laks Pembinaan Manaj PNSD  satu kesatuan penyeleng Manaj PNS scr Nas. {Ps.129(1)} Manaj PNSD meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak & kewajiban kedudukan hkm, pengemb kapasitas & pengendalian jml. {Ps.129(2)}
  • 73. PENGANGKATAN, PEMINDAHAN & PEMBERHENTIAN DLM JABATAN ES. II Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Es. II Prov ditetapkan Gub .{Ps.130(1)} Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Es. II Kab/Kota ditetapkan Bup/Walikota setelah konsultasi kpd Gub. {Ps.130(2)} Konsultasi Pem Prov Pem Kab/Kota
  • 74. PERPINDAHAN PNSD antar Kab/Kota dlm satu Prov ditetapkan Gub setelah peroleh pertimbangan Ka.BKN {Ps.131(1)} antar Kab/Kota antar Prov, dan antar Prov ditetapkan Mendagri setelah peroleh pertimbangan Ka.BKN {Ps.131(2)} Prov, Kab/Kota ke Dep/LPND dan sebaliknya ditetapkan Mendagri setelah peroleh pertimbangan Ka.BKN {Ps.131(3)}
  • 75. KEUANGAN DAERAH Dari 229 Kab / Kota: 71,23 % memiliki PAD kurang dari 20%; 22,26 % ber-PAD antara 20,1 % hingga 40 %; 5,83 % memiliki PAD lebih dari 40 % ( Sulistyo , 1995). Kajian serupa oleh Kano (1995): Penerimaan kotor seluruh Kab / Kota di Indonesia, sebesar 70 % merupakan grant dan subsidi Pusat dan Propinsi. 40 % dari pengeluaran tahunannya diperuntukkan sebagai belanja pegawai.
  • 77. AKUNTABILITAS Prof. Dr. Miriam Budiardjo: Pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat itu. Menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi ( checks & balances system ). Hubungan MANDAN – MANDATARIS
  • 78. AKUNTABILITAS KINERJA Akuntabilitas: Kewajiban untuk menyampaikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang / badan hukum / pimpinan kolektif atau organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban . Kinerja: Perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan melalui sistem pertanggungjawaban secara periodik.
  • 79.  
  • 80.  
  • 81. AKUNTABILITAS KINERJA AKIN Instansi Pemerintah Penyelenggara Negara Lingkup eksekutif Lihat rincian 
  • 82. PENYELENGGARA NEGARA Pejabat Negara , Pimpinan dan pegawai Bank Indonesia, Pegawai Negeri, Pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pejabat dan pegawai pada komisi, badan atau lembaga negara lainnya, Pejabat atau Pegawai pada BUMN / BUMD / BHMN.
  • 83. PEJABAT NEGARA Presiden, Wakil Presiden; Ketua, Wakil Ketua & anggota MPR, DPR, DPD; Menteri / pejabat yang setingkat, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, dan wakilnya; Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung serta Ketua, Wakil Ketua & Hakim pada semua Badan Peradilan; Ketua, Wakil Ketua & anggota BPK; Duta Besar; Gubernur / Wakil Gubernur, Bupati / Wakil Bupati dan Walikota / Wakil Walikota.
  • 84. JENIS 2 AKUNTABILITAS: Akuntabilitas politik dari pemerintah melalui lembaga perwakilan. Akuntabilitas keuangan melalui pelembagaan budget dan pengawasan BPK. Akuntabilitas hukum , dalam bentuk aturan hukum, reformasi hukum dan pengembangan perangkat hukum. Akuntabilitas ekonomi (efisiensi), dalam bentuk likuiditas dan (tidak) kepailitan dalam suatu pemerintahan yang demokratis, tanggung gugat rakyat melalui sistem perwakilan. Prof. Bintoro Tjokroamidjojo:
  • 85. JENIS 2 AKUNTABILITAS: Akuntabilitas keuangan ( financial accountability ). Akuntabilitas administrative ( administrative accountability ). Akuntabilitas kebijakan public ( policy decision accountability ). B. Guy Peters:
  • 86. JENIS 2 AKUNTABILITAS: Akuntabilitas Eksplisit . Pertanggungjawaban pejabat negara manakala diharuskan untuk menjawab / memikul konsekuensi atas cara-caranya dalam melaksanakan tugas kedinasan. Akuntabilitas Implisit Segenap aparatur negara secara implisit bertanggung jawab atas setiap pengaruh yang tak terduga dari akibat-akibat keputusan yang dibuat. Dadang Solihin
  • 87. SCOPE AKUNTABILITAS Akuntabilitas Penyelenggaraan Negara Lembaga 2 Negara Fungsi2 Negara Obyek Substantif
  • 88. ESENSI AKUNTABILITAS Hak memperoleh pelayanan & perlakuan yang layak. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara; Hak diikutsertakan dalam merencanakan kinerja program / kegiatan pemerintah / Penyelenggara Negara. Hak menilai pencapaian kinerja pelayanan publik. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan Hak memperoleh perlindungan hukum. Jaminan pemenuhan & penghormatan HAK 2 Masyarakat:
  • 89. ESENSI AKUNTABILITAS Menyusun Rencana Kinerja dan menyampaikan pada masyarakat diawal setiap tahun anggaran. Melakukan pengukuran pencapaian kinerja dan menyampaikan hasilnya pada masyarakat diakhir tahun. Melakukan pengukuran kepuasan masyarakat dan menyampaikan hasilnya atas program yang dijalankan. Memberikan tanggapan thd pengaduan & kebutuhan masyarakat. Memperbaharui rencana kinerja yang baru sebagai kesepakatan komitmen (kontrak sosial) baru. Jaminan pelaksanaan KEWAJIBAN Penyelenggara Negara:
  • 90. Model Akuntabilitas di New Zealand
  • 91. Accountability should be associated to & combined with ..
  • 92.  
  • 93. Accountability should also be associated to & combined with .. INFORMATION DISCLOSURE DELIVERING PEOPLE’S RIGHT TO KNOW AND TO CONTROL – Open Government
  • 94. INFORMASI – KONTROL Official information act  Thailand: wajib menginformasikan akses informasi pasif atas permintaan masyarakat dalam jangka waktu tertentu. RUU Kebebasan Memperoleh Informasi, RUU Kerahasiaan Negara, dan RUU Intelejen Negara UU No. 7/1971 tentang Ketentuan Pokok Kearsipan. PP No. 68/1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara. PP No. 69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang. UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
  • 95. ESENSI LAIN AKUNTABILITAS Hak publik untuk membaca dan mendapatkan dokumen resmi ( official document ). Hak aparatur penyelenggara negara, termasuk aparatur pemerintah daerah untuk menyampaikan informasi tentang apa yang ia ketahui kepada siapapun ( freedom of expression of civil servant ) Hak aparatur penyelenggara negara untuk menyampaikan informasi / dokumen kepada media massa. Hak publik dan media massa untuk menghadiri persidangan ( access to court hearings ) Hak publik dan media massa untuk hadir pada pertemuan-pertemuan resmi parlemen ( Swedish Parliament ), Municipal Assembly , dan Country Council . Jaminan pemenuhan & penghormatan HAK 2 Publik:
  • 96. Tantangan RUU Akuntabilitas Menjadi Umbrella Act  konsep & kebijakan ttg akuntabilitas merujuk pada RUU, termasuk Inpres No. 7/1999. Hindari area abu-abu yg mengakibatkan persoalan multi tafsir dan tidak terukur. Pengaturan ttg Sanksi: moral, administratif, atau pidana? Hindari kemungkinan tumpang tindih dengan RUU Adm. Pemerintahan, dan overlap dalam penerapan RUU Akuntabilitas, misalnya antara KON / KOD, Badan Peradilan, atau Instansi Pemerintah ( upaya administratif ).
  • 97. Perangkat Pendukung Indikator Akuntabilitas SOP penyelenggaraan urusan pemerintahan  SPM. Mekanisme pertanggungjawaban. Laporan berkala (triwulan, semester, tahun, 5 tahun, akhir jabatan). Sistem pemantauan & pengawasan kinerja. Mekanisme reward and punishment .
  • 98. MENGAPA IMPLEMENTASI AKUNTABILITAS SULIT? Tidak jelasnya tupoksi lembaga dalam menjabarkan visi, tujuan dan indikator kinerja organisasi. Lemahnya komitmen aparat dalam membuat laporan akuntabilitas. Belum terbangunnya etika pemerintahan thd pertanggungjawaban dan hak publik. Sistem pelaporan akuntabilitas belum mengandung penghargaan dan sanksi. Belum memadainya kesadaran masyarakat untuk sebagai pressure group dalam mendorong implementasi akuntabilitas oleh penyelenggara negara. ( Dadang Solihin )
  • 99. Accountability should also be associated to & combined with .. CORRUPTION
  • 100.  
  • 101.  
  • 102. Equation for Corruption C = corruption D = discretion M = monopoly A = accountability C = D + M – A
  • 103.  
  • 105. Weak commitment to, and consistency of, law enforcement and the law system itself; Lack of role models & leadership from the national elite; Weak managing of the government; Civil servants wages that are too low; Lack of integrity and professionalism; Internal monitoring mechanisms at banking and financial institutions and bureaucracies are not yet adequate; Work environment conditions, official duties & public permissiveness that increase incentives for corruption; Lack of faith, honesty, and a sense of shame; Lack of ethics & national morals in support of corruption eradication. CAUSES OF CORRUPTION
  • 106. Low quality public services; Low quality government-produced facilities; Rising public burden from inefficiencies and ineffectiveness in the management of public institutions that regulate public needs such as telecommunication, fossil fuels, electricity, etc; Rising poverty and public misery; Rising inequality; Rising crime and other social problems; National unity is threatened; Democracy is forestalled. IMPACTS OF CORRUPTION
  • 107. IMPACTS OF CORRUPTION Impact of corruption on investment, economic growth, and social programs. low per capita income, government intervention in markets, low civil service pay, and ethnic fragmentation of the society. Impact of corruption on infrastructure in developing countries. high cost in develop project, little investor will come. Impact of corruption on the human rights based approach to development. unemployment rate increase, poor people increase. Impact of corruption in the health services. low quality in healthy services Impact of corruption on education’s program. many students don’t have representative school facilities.
  • 108. KASUS KORUPSI TAHUN 2004 (MENURUT ICW – 2005) Anggota DPRD = 125 orang Kepala Daerah = 84 orang Aparat Pemda = 57 orang Direksi BUMN/BUMD = 36 orang Kep. Dinas/Lembaga = 25 orang Aparat Depertemen = 15 orang Aparat Kejaksaan = 13 orang Sekretaris Daerah = 7 orang Aparat kepolisian = 5 orang Pengelola pendidikan = 5 orang Pimpinan proyek = 36 orang Pengusaha = 12 orang
  • 109. PERINGKAT TERTINGGI KORUPSI DI INDONESIA BERDASARKAN PROPINSI Peringkat I : DKI Jakarta Peringkat II : Jatim Peringkat III : Jateng Peringkat IV : Jabar Peringkat V : Sumsel Peringkat VI : Aceh Peringkat VII : Sumut ( ICW – 2004 )
  • 110. PERINGKAT KABUPATEN / KOTA TERKORUP DI KALTIM Kutai Kertanegara = 25, 8 % Samarinda = 17, 6 % Bontang = 10, 1 % Kutai Timur = 9, 3 % Balikpapan = 6, 8 % Kab. Lainnya = 6, 9 % Tidak tahu = 23, 5 % (Kaltim Post, hal. 1 tgl 12-8-2006)
  • 111. change system be accountable Better society Public Participation & Control Policy & Institutional Building
  • 112. Memperhatikan Etika. Terbuka. Bebas dan bersih dari Korupsi. K E S I M P U L A N Penyelenggara Negara AKUNTABEL, jika (minimal):
  • 113. PILKADA dan DEMOKRASI LOKAL
  • 114. Dapatkan Otda mendorong Demokrasi? Benarkah keduanya memiliki hubungan konvergen, atau justru divergen? Mampukah Pilkada Langsung menjadi instrumen demokratisasi di tingkat terbawah? Mengapa banyak konflik terjadi di era demokrasi, keterbukaan, reformasi, dan otda? OTONOMI DAERAH & DEMOKRASI “ OTDA mendorong tumbuhnya demokrasi lokal (grassroots democracy)”
  • 115. Demokrasi baru dapat berjalan jika beberapa kondisi terpenuhi (tingkat pendidikan & melek huruf, kelas menengah yg mapan, masyarakat sipil yg dinamis, rendahnya kesenjangan sosial, serta adanya ideologi sekuler). Jika ada trade-off berupa sedikit penurunan laju pertumbuhan, hal itu dapat terima ( acceptable ) sebagai harga yang harus dibayar untuk membangun tatanan politik yang demokratis, kebebasan warga, dan perlindungan thd HAM. 2 mainstreams ttg kaitan DEMOKRASI & PEMBANGUNAN democracy as outcome of development democracy as prerequisite for development
  • 116. PEMBANGUNAN: LPE > 4% (1966-1990an) Kemiskinan menurun menjadi 12% (1996) Swasembada beras (1 984) Bank Dunia: Indonesia sbg “miracle” (1993) DEMOKRASI: Pengekangan kebebasan Pers, Tekanan thd serikat buruh, Pembatasan jumlah Parpol, dll. Demokrasi & Pembangunan, Bisakah berjalan seiring? “ Demokrasi sebagai HASIL PEMBANGUNAN ” PEMBANGUNAN: LPE –13,7%, 0,31%, 4,8%, dan 3% (1998-2001) Kemiskinan melonjak menjadi > 20% HDI / IPM merosot terus DEMOKRASI: Konstitusi di Amandemen Sistem Multi Partai diperkenalkan Kebebasan Pers dan Mimbar Pembentukan Komnas HAM Otonomi luas, Pilkada Langsung , dll. “ Demokrasi sebagai PRASYARAT PEMBANGUNAN ” Masa PRA Demokratisasi Masa PASCA Demokratisasi
  • 117. Demokratisasi sbg penyebab utama terjadinya konflik Terbukanya ruang demokrasi melahirkan banyak kelompok dengan berbagai aliran dan tuntutan yang berbeda  banyaknya politik aliran ini berimplikasi pada sulitnya mengorganisasikan berbagai kepentingan secara negotiable . Demokrasi adalah peredam konflik secara damai Demokrasi memang bukan jaminan tidak adanya konflik, namun bangsa yang demokratis akan mampu mambangun pranata sosial, sumber daya & fleksibilitas sistem yang lebih baik, sehingga akan lebih mampu mengelola setiap perbedaan & sengketa. Demokrasi menyediakan metode pengambilan keputusan yang anti kekerasan, forum perwakilan untuk mempertemukan berbagai perbedaan, serta kesempatan berpartisipasi secara inklusif. Kaitan Demokrasi & Konflik
  • 118. Demokratisasi sbg penyebab utama terjadinya konflik Rejim Nyerere (Tanzania), Soekarno, dan Boigny (Ivory Coast) di masa lampau; serta Mahathir (Malaysia) & Museveni (Uganda) pada masa sekarang. Hanya sistem 1 partai / demokrasi terpimpin yg dibutuhkan untuk meredam ketegangan & konflik sosial. Kompetisi multi-partai yg berlebihan hanya akan menjadikan demokrasi menjadi tidak stabil. Demokrasi adalah peredam konflik secara damai International Institute for Democracy and Electoral Assistance. Demokrasi dapat difungsikan sebagai alat untuk mengelola konflik melalui tiga teknik analisa konflik yaitu adversarial (melihat konflik sebagai “kita melawan mereka”), reflektif (introspeksi & mempertimbangkan jalan keluar terbaik), serta integratif (memahami pandangan & kepentingan kedua pihak). Kaitan Demokrasi & Konflik
  • 119. Demokrasi & Konflik di Indonesia Konflik “klasik” seperti GAM, GPK, RMS. Konflik “klasik” lain: PILKADES. Konflik “klasik” menjadi internationalized . Muncul konflik horizontal baru: Poso, Ambon, Sampit, Sambas, dll. Konflik kewenangan Eksekutif – Legislatif. Konflik antar lembaga publik / antar daerah. Konflik vertikal antara kelompok masyarakat dengan aparat. PRA Demokratisasi Masa PASCA Demokratisasi “ Sedikit demokrasi sedikit Konflik” “ Demokrasi memicu Konflik”
  • 120. Apakah Pilkadasung hanya mrpk hasil dari proses pembangunan selama ini. Pilkadasung sbg instrumen Demokrasi: Sebuah Tantangan Apakah Pilkadasung mrpk titik awal untuk menjalankan pembangunan. Apakah Pilkadasung hanya menghasilkan konflik yang sebelumnya tidak terjadi. Apakah Pilkadasung dapat menjadi menjadi media rekonsiliasi antar elit lokal.
  • 121. Indikasi Awal Pilkadasung 76 daerah dari 226 daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada sangat berpotensi terjadi konflik karena berbagai sebab (Depdagri). Gejala munculnya polarisasi dan fragmentasi di tingkat grassroot akibat dari adanya kecenderungan preferensi emosional dan primordial. Kondisi tadi dapat mempengaruhi stabilitas di daerah dan pada gilirannya dapat pula mengancam keberlangsungan pembangunan sosial ekonomi daerah. Gagal memperkuat demokrasi lokal? Gagal mengakselerasi pembangunan daerah? Ada yang salah dengan Pilkadasung?
  • 122. PILKADA & KORUPSI Unanswered question : Dapatkan Pilkada menekan money politics ? Calon Independen baru sebatas putusan judicial review MK, shg rakyat hanya memiliki “hak pilih” dari calon-calon yg telah ditentukan oleh partai politik. Parpol masih tetap menjadi “mesin politik” utama menuju kekuasaan. Peran inilah yang akan menjadi medan magnet terjadinya money politics . Pusaran korupsi diperkirakan tidak sekuat 5 tahun y.l. Ada kecenderungan money politics ini lebih menyebar dan menjangkau langsung kepada masyarakat. Logikanya, money politics akan mengikuti dimana “suara” berada. Jadi, Pilkada dan Korupsi sementara masih akan tetap menjadi 2 sisi dari 1 mata uang yang sama.
  • 123. Implikasi Lintas Dimensi Sistem Politik secara makro . Artinya, desain Pilkada sangat tergantung dengan Paket UU Politik (UU Pemilu, UU Parpol, UU Susduk) yg biasanya selalu diperbaharui setiap 5 tahun. Artinya, untuk menghasilkan Pilkada yg benar-benar berbobot, maka sistem politik makronya juga harus disesuaikan. Tidak mungkin hanya Pilkada-nya yg dioprek-oprek sementara supra struktur politiknya tidak berubah. Pengembangan karis PNS di Daerah . Pilkada memberi legitimasi yang besar sekali kepada KDH terpilih untuk merombak birokrasi karir sesuai &quot;keinginannya&quot;. Sayangnya, seringkali KDH terpilih kurang menguasai ilmu kepemerintahan, sehingga cenderung berlaku subyektif. Kondisi ini diperparah dengan &quot;keterjeratan&quot; atau terperangkapnya KDH kedalam jaring-jaring kroni ( cronyism trap ) sehingga banyak pertimbangan politis dalam setiap kebijakan administratif yg menjadi kewenangannya. Bukti-bukti awal sudah cukup banyak, misalnya melonjaknya calon peserta Diklatpim II pasca Pilkada.
  • 124. Implikasi Lintas Dimensi Netralitas Birokrasi baik pada kadar netralitasnya, maupun definisi dan kriterianya. Selama ini tidak jelas, apakah mengikuti (baca: mendengarkan) kampanye seseorang termasuk kampanye. Atau, jika seorang ajudan masih melaksanakan tugas-tugas rutin KDH yg kebetulan adalah Calon KDH pada Pilkada, apakah juga bisa dikategorikan tidak netral. Selama ini tafsir netralitas lebih banyak melekat pada KDH terpilih, sehingga banyak PNS jadi korban karena dianggap &quot;tiarap&quot;. Kasus di Kutai Kartanegara sangat unique mengenai hal satu ini. Pilkada yg tidak dibatasi oleh nilai-nilai yg tegas juga dapat berdampak pada rendahnya mutu kebijakan publik di daerah. Dan jika hal ini berlangsung terus, maka masyarakatlah yang menjadi korban dari sebuah sistem demokrasi bernama Pilkada .
  • 125. PRASYARAT PILKADA YANG DEMOKRATIS & BERCIRIKAN GOOD GOVERNANCE RULE OF LAW & ENFORCEMENT (KEJELASAN & KETEGASAN ATURAN HUKUM) VOTERS & CIVIC EDUCATION (SOSIALISASI ATURAN PILKADA) STATESMANSHIP (KENEGARAWANAN KANDIDAT)
  • 126. Kesimpulan & Rekomendasi Hubungan antara demokrasi dan pembangunan, serta antara demokrasi dan resolusi konflik tidak perlu dipahami secara hitam putih. Divergensi atau konvergensi antar kedua variabel diatas sangat tergantung pada para pelaku politik dan mapannya sistem yang digunakan. Desentralisasi harus diperkuat untuk membangun good local governance  kinerja pembangunan akan meningkat dengan sendirinya sementara rezim demokratis juga dapat ikut terbangun. Perlu pengembangan kapasitas birokrasi untuk menjalankan program pembangunan secara efektif tanpa intervensi politis secara berlebihan; sekaligus meningkatkan akuntabilitas dan efisiensi pemerintahan daerah. Perlu dibangun proses dan kelembagaan politik yang hati-hati ( prudent politics ), serta menyiapkan infrastruktur ekonomi, sosial dan politik untuk berjalannya demokrasi secara wajar. Perlu diberi peran kepada otoritas lokal untuk membangun kerangka penyaluran aspirasi dan kepentingan rakyat.
  • 127. KEPEMERINTAHAN YANG BAIK (Good Governance)
  • 128. Kerangka Pikir Perlunya Etika / AAUPB (Salus Populi Suprema Lex) Masyarakat Discretionary Power (Kewenangan Bertindak Secara Bebas) Kemungkinan Penyimpangan (perbuatan melanggar hkm / onrechmatige overheidsdaad ; perbuatan menyalahgunakan wewenang / detournement de pouvoir ; perbuatan sewenang-wenang / abus de droit ) Upaya Perlindungan Birokrasi (Fungsi Yan & Kesejahteraan) Hukum Positif Etika / Asas atau Prinsip Pemerintahan Yang Baik good governance civil society
  • 129. Pendapat Ahli ttg Kegagalan Pemerintah Peter F. Drucker (1968) dalam ‘The Age of Discontinuity’  kemungkinan bangkrutnya birokrasi. Barzelay (1982) dalam ‘Breaking Through Bureaucracy’  masyarakat bosan dan muak pada birokrasi yang rakus dan bekerja lamban. Osborne & Gaebler (1992) dalam ‘Reinventing Government’ => kegagalan utama pemerintah saat ini adalah karena kelemahan manajemennya, bukan pada apa yang dikerjakan pemerintah, melainkan bagaimana caranya pemerintah mengerjakannya. Osborne & Plastrik (1996) dalam ‘Banishing Bureucracy’ => agar birokrasi lebih efektif, perlu dipangkas agar ramping, ‘the least government is the best government’. E. S. Savas (1987) => perlunya privatisasi, ramping struktur kaya fungsi, pemilahan dan pemilihan fungsi publik.
  • 130. Mc Leod (1998)  krisis multidimensional di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh adanya salah urus ( mismanagement ) pada semua sektor, baik swasta dan terutama pemerintah. Diantara komponen bangsa, setelah terjadinya reformasi, ternyata birokrasi merupakan sektor yang paling lamban berubahnya. Diperlukan pembaruan manajemen pemerintahan pada semua tahapan, mulai dari tahapan perencanaan, implementasi sampai evaluasi. Paradigma good governance pada dasarnya adalah upaya membangun filosofi, strategi & teknik mengelola urusan-urusan publik secara lebih transparan dengan melibatkan pihak yang terlibat ( stakeholder & shareholder).
  • 131. KONSEP GOOD GOVERNANCE Berdasarkan praktek pemerintahan di berbagai negara ditengarai adanya bad government , yang ditandai dengan banyaknya korupsi, kolusi, nepotisme, yang membuat negara mengarah ke kebangkrutan. Oleh karena itu, diperlukan konsep baru mengenai cara berpemerintahan yang baik ( good government ). Bad Government Good Government
  • 132. KONSEP GOOD GOVERNANCE World Bank  Governance diartikan sebagai ‘the way state power is used in managing economic and social resources for development society’. Dengan demikian, governance adalah cara , yaitu cara bagaimana kekuasaan negara digunakan untuk mengelola sumber daya ekonomi dan sosial guna pembangunan masyarakat. UNDP, mengartikan governance sebagai ‘the exercise of political,economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels ’. Kata governance , diartikan sbg penggunaan / pelaksanaan, yakni penggunaan kewenangan politik, ekonomi dan administratif untuk mengelola masalah nasional pada semua tingkatan.
  • 133. Perbandingan Ciri-ciri Bad Government dengan Good Government Proaktif Ramah & Persuasif Transparan Mengutamakan proses & produk Proporsional & profesional Bekerja secara sistemik Pembelajaran sepanjang hayat Menempatkan stakeholder & shareholder ditempat utama Lamban & reaktif Arogan Korup Birokratisme Boros Bekerja secara naluriah Enggan berubah Kurang berorientasi pada kepentingan publik Good Government Bad Government
  • 134. 3 Domain Governance Negara/pemerintahan  sbg pembuat kebijakan, pengendali & pengawas. Swasta/Dunia usaha  sbg penggerak aktivitas bidang ekonomi. Masyarakat  sbg subyek dan obyek dari sektor pemerintah dan swasta.
  • 135. Posisi 3 Domain dalam konsep good governance yg bersifat heterarkhis, BUKAN hierarkhis Pemerintah Masyarakat Swasta
  • 136. 3 Elemen Good Governance Economic Governance  Proses pembuatan keputusan utk memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri & interaksi diantara penyelenggara ekonomi. Political Governance  Proses pembuatan keputusan utk formulasi kebijakan publik, yang dilakukan oleh birokrasi bersama politisi Administrative Governance  Implementasi proses kebijakan yang telah diputuskan oleh institusi politik Economic Gov Administrative Gov Political Gov
  • 137. OPERASIONALISASI KONSEP GOOD GOVERNANCE PEMERINTAH SWASTA MASYARAKAT Administrative Governance Political Governance Economic Governance
  • 138. Kab. Sleman  tahun 2004 membuat neraca yang diaudit oleh Akuntan Publik Independen dan memuatnya di Harian Kompas. Kab. Jembrana  efisiensi pemerintahan (5 Dinas, regrouping sekolah, penghapusan kendaraan & rumah dinas, dll). Kota Palangkaraya  mekanisme untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap kinerja pemberian pelayanan publik oleh pemerintah daerah IMPLEMENTASI PARADIGMA GOOD GOVERNANCE DALAM OTONOMI DAERAH
  • 139. Kota Bandung  pelayanan kebutuhan air bersih dikelola secara swakelola . Caranya, RW membangun sumur artesis (sekitar 60m) dan menjualnya kepada warga sekitar dengan harga yang lebih murah dibanding harga PDAM. Dalam hal ini, implementasi good local governance terlihat dari posisi masyarakat bertindak selaku penyedia jasa layanan ( service provider ), pengguna ( service user ), sekaligus kelompok kepentingan ( concern groups ). Penyedia / Produsen Jasa Layanan Pengguna Jasa Layanan Kelompok Kepentingan
  • 140. PENUGASAN Bentuklah kelas menjadi 4 kelompok. Setiap kelompok diminta mencari salah satu masalah yang timbul dari pelaksanaan Otda, kemudian dianalisis (cari faktor penyebab dan temukan solusinya). Setiap kelompok wajib mempresentasikan makalah di depan kelompok lain. Pembagian peran dan penguasaan materi menjadi pertimbangan penilaian.
  • 141. Terima kasih Semoga Bermanfaat