Referat Metformin Pcos - 20150706081447
Referat Metformin Pcos - 20150706081447
Referat Metformin Pcos - 20150706081447
Pembimbing:
dr. Herman Sumawan, M.Sc, Sp.OG
Oleh:
Novita Lusiana
G4A014079
G4A014082
Stefanus Andityo
G4A014132
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
METFORMIN USE IN WOMEN WITH POLYCYSTIC OVARY SYNDROME
Oleh:
Novita Lusiana
G4A014079
G4A014082
Stefanus Andityo
G4A014132
Juli 2015
Pembimbing,
BAB I
PENDAHULUAN
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau Sindrom Ovarium Polikistik
(SOPK) merupakan endokrinopati yang sering terjadi dan menyebabkan gangguan
pada wanita pada usia reproduksi, dengan karakteristik gangguan anovulasi kronis
atau avulasi yang tidak teratur, kegemukan, hirsutisme, hiperandrogen serta jika
dilihat dari ultrasonografi terlihat gambaran banyak folikel. Sindrom Ovarium
Polikistik paling sering menyebabkan infertilitas karena wanita tidak terjadi
ovulasi. Kejadian Sindrom Ovarium Polikistik pada populasi beragam antara 5%10% pada populasi umum. Didasarkan pada gejalanya kejadiannya sangat
bervariasi yaitu menstruasi yang tidak normal (4%-21%) dan keluhan
hiperandrogen (3,5%-9%). Dari sekian banyak itu bahwa 40% wanita tersebut
menderita oligomenore, 84% dengan hirsutisme dan 100% wanita tersebut dengan
akne berat (Djuwantono dkk, 2010).
Diagnosis dan terapi PCOS masih menjadi kontroversi. Pada pertemuan
European Society for Human Reproduction and Embryology (ESHRE) and the
American Society for Reproductive Medicine (ASRM) di Rotterdam pada tahun
2003 telah ditetapkan poin diagnostik untuk menegakkan PCOS yaitu adanya
oligoovulasi atau anovulasi, hiperandrogenisme, dan polycystic ovarian
morphology (sonografi). Jika didapatkan 2 dari 3 kriteria tersebut maka seorang
wanita dapat ditegakan diagnosis PCOS (Djuwantono dkk, 2010).
Resistensi insulin yang merupakan karakteristik sindrom ovarium polikistik
tampaknya bertanggung jawab terhadap hubungan antara kelainan tersebut dengan
diabetes tipe II. Resistensi insulin juga mungkin mendasari hubungan antara
sindrom ovarium polikistik dengan faktor risiko kardiovaskular yang telah
dikenal, misalnya dislipidemia dan hipertensi, demikian juga dengan gangguan
anatomi dan fisiologi kardiovaskuler (Maharani&Wratsangka, 2012).
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensatori juga memainkan
peranan yang serius dalam aspek lain sindrom ovarium polikistik, termasuk
kelebihan androgen dan anovulasi. Insulin menstimulasi produksi androgen oleh
ovarium dengan mengaktivasi reseptor homolognya, dan ovarium pada wanita
dengan sindrom ovarium polikistik tampaknya tetap sensitif terhadap insulin, atau
mungkin hipersensitif terhadap insulin, bahkan saat jaringan target klasik seperti
otot dan lemak menunjukkan resistensi terhadap kerja insulin. Sebagai tambahan,
hiperinsulinemia menghambat produksi hepatik sex hormone-binding globulin,
sehingga lebih meningkatkan kadar testosterone bebas dalam sirkulasi. Insulin
juga menghambat ovulasi, baik secara langsung mempengaruhi perkembangan
folikel atau secara tidak langsung meningkatkan androgen intraovarian
ataumengubah sekresi gonadotropin. Bukti lebih lanjut pengaruh resistensi insulin
pada sindrom ovarium polikistik adalah bahwa intervensi yang beragam, yang
saling berhubungan hanya dalam hal menurunkan level insulin sirkulasi,
menyebabkan meningkatnya frekuensi ovulasi atau menstruasi, menurunkan kadar
serum testosteron, atau keduanya (Maharani&Wratsangka, 2012).
Metformin, suatu biguanid, adalah obat yang paling banyak digunakan
sebagai terapi diabetes tipe II di seluruh dunia. Kerja utamanya adalah untuk
menghambat produksi glucose hepatic, dan juga meningkatkan sensitivitas
jaringan perifer terhadap insulin. Peningkatan sensitivitas insulin, yang
memberikan kontribusi terhadap kemanjuran metformin dalam terapi diabetes,
juga terjadi pada wanita non diabetic dengan sindrom ovarium polikistik.
(Maharani&Wratsangka, 2012).
Sindrom ovarium polikistik adalah suatu diagnosis klinis yang ditandai
dengan adanya 2 atau lebih ciri-ciri berikut: oligoovulasi atau anovulasi kronis,
hiperandrogen, dan ovarium polikistik. Sindrom ini terjadi pada 5 10% wanita
usia reproduksi, dan merupakan penyebab yang lazim pada infertilitas anovulatoir
di negara berkembang. Manifestasi klinis yang sering tampak adalah iregularitas
menstruasi dan tanda-tanda kelebihan androgen berupa hirsutisme, akne, dan
kebotakan (Maharani&Wratsangka, 2012).
Sindrom ovarium polikistik berhubungan dengan gangguan metabolisme
yang penting. Kejadian diabetes tipe II di Amerika Serikat 10 kali lebih tinggi
pada wanita muda dengan sindrom ovarium polikistik dibandingkan dengan
wanita normal, dan kelemahan toleransi terhadap glukosa atau perkembangan
diabetes tipe II yang nyata berkembang pada usia 30 tahun pada 30 50% wanita
dengan sindrom ovarium polikistik. Kejadian sindrom metabolik 2 atau 3 kali
lebih tinggi pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik dibandingkan wanita
normal yang sama usia dan indeks massa tubuhnya, dan 20% wanita dengan
sindrom ovarium polikistik yang berusia kurang dari 20 tahun juga mengalami
sindrom metabolik. Walaupun data outcome yang spesifik untuk wanita dengan
sindrom ovarium polikistik masih kurang, risiko infark miokard fatal lebih tinggi
2 kali lipat pada wanita dengan oligomenorrhea berat, dimana sebagian besarnya
diduga mengalami sindrom ovarium polikistik, dibandingkan dengan wanita
eumenorrhea (Maharani&Wratsangka, 2012).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Definisi klinis dari sindrom ovarium polikistik yang diterima secara luas adalah
suatu kelainan pada wanita yang ditandai dengan adanya hiperandrogenisme
dengan anovulasi kronik yang saling berhubungan dan tidak disertai dengan
kelainan pada kelenjar adrenal maupun kelenjar hipofisis. Hiperandrogenisme
merupakan suatu keadaan di mana secara klinis didapatkan adanya hirsutisme,
jerawat dan kebotakan dengan disertai peningkatan konsentrasi androgen terutama
testosteron dan androstenedion. Obesitas juga dijumpai pada 50%-60% penderita
sindrom ini (Djuwantono dkk, 2010).
Patofisiologi
Sindrom ovarium polikistik adalah suatu anovulasi kronik yang menyebabkan
infertilitas dan bersifat hiperandrogenik, di mana terjadi gangguan hubungan
umpan balik antara pusat (hipotalamus hipofisis) dan ovarium sehingga kadar
estrogen selalu tinggi yang mengakibatkan tidak pernah terjadi kenaikan kadar
FSH yang cukup adekuat. Fisiologi ovulasi harus dimengerti lebih dahulu untuk
dapat mengetahui mengapa sindrom ovarium polikistik ini dapat menyebabkan
infertilitas. Secara normal, kadar estrogen mencapai titik terendah pada saat
seorang wanita dalam keadaan menstruasi. Pada waktu yang bersamaan, kadar LH
dan FSH mulai meningkat dan merangsang pembentukan folikel ovarium yang
mengandung ovum. Folikel yang matang memproduksi hormon androgen seperti
testosteron dan androstenedion yang akan dilepaskan ke sirkulasi darah. Beberapa
dari hormon androgen tersebut akan berikatan dengan sex hormone binding
globulin (SHBG) di dalam darah. Androgen yang berikatan ini tidak aktif dan
tidak memberikan efek pada tubuh. Sedangkan androgen bebas menjadi aktif dan
berubah menjadi hormon estrogen di jaringan lunak tubuh. Perubahan ini
menyebabkan kadar estrogen meningkat, yang mengakibatkan kadar LH dan FSH
menurun. Selain itu kadar estrogen yang terus meningkat akhirnya menyebabkan
lonjakan LH yang merangsang ovum lepas dari folikel sehingga terjadi ovulasi.
Setelah ovulasi terjadi luteinisasi sempurna dan peningkatan tajam kadar
progesteron yang diikuti penurunan kadar estrogen, LH dan FSH. Progesteron
akan mencapai puncak pada hari ke tujuh sesudah ovulasi dan perlahan turun
sampai terjadi menstruasi berikutnya (Maharani&Wratsangka, 2012).
Pada sindrom ovarium polikistik siklus ini terganggu, karena adanya
peningkatan aktivitas sitokrom p-450c17 (enzim yang diperlukan untuk
pembentukan androgen ovarium) dan terjadi juga peningkatan kadar LH yang
tinggi akibat sekresi gonadotropine releasing hormone (GnRH) yang meningkat.
Hal ini sehingga menyebabkan sekresi androgen dari ovarium bertambah karena
ovarium pada penderita sindrom ini lebih sensitif terhadap stimulasi gonadotropin.
Peningkatan produksi androgen menyebabkan terganggunya perkembangan
folikel sehingga tidak dapat memproduksi folikel yang matang. Hal ini
mengakibatkan berkurangnya estrogen yang dihasilkan oleh ovarium dan tidak
adanya lonjakan LH yang memicu terjadinya ovulasi (Maharani&Wratsangka,
2012).
4
Penegakan Diagnosis
Diagnosis sindrom ovarium polikistik dilakukan dengan 3 cara yang
merupakan kombinasi dari kelainan klinis, keadaan hormonal dan gambaran
ultrasonografi. Keadaan klinis yang dijumpai adalah gangguan menstruasi di
mana siklus menstruasi tidak teratur atau tidak menstruasi sama sekali, terkadang
dengan disertai terjadinya perdarahan uterus disfungsional. Sedangkan gejala
hiperandrogenisme berupa hirsutisme, kelainan seboroik pada kulit dan rambut
serta kebotakan dengan pola seperti yang ditemukan pada pria. Tes laboratorium
yang dilakukan berupa tes hormonal, tidak saja penting untuk diagnosis tetapi
juga sangat penting untuk melihat kelainan secara keseluruhan. Kelainan endokrin
yang ditemukan adalah peningkatan konsentrasi LH dan peningkatan aktivitas
androgen yaitu testosteron dan androstenedion. Hiperinsulinemia juga ditemukan
akibat adanya resistensi insulin. Dari pemeriksaan ultrasonografi transvaginal
didapatkan gambaran lebih dari 10 kista pada salah satu ovarium dengan besar
kurang dari 1 cm, disertai besar ovarium 1,5 - 3 kali dari ukuran normal. Hasil
pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran pasti jika secara klinis terdapat
dugaan sindrom ovarium polikistik (Djuwantono dkk, 2010).
National Institute of Health-National Institute of Child Health and Human
Development (NIH-NICHD) menyatakan diagnosis sindrom ovarium polikistik
ditegakkan bila paling sedikit ditemukan 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor
(Djuwantono dkk, 2010).
1. Kriteria mayor
a. Anovulasi
b. Hiperandrogenisme
2. Kriteria minor
a. Resistensi insulin
b. Hirsutisme
c. Obesitas
d. LH/FSH >2,5
e. Pada USG terdapat gambaran ovarium polikistik.
Gejala klasik yang ada pada sindrom ini adalah gangguan siklus menstruasi,
hirsutisme dan obesitas. Biasanya pasien mencari bantuan karena adanya siklus
menstruasi yang tidak teratur, infertilitas dan masalah penampilan akibat obesitas
dan hirsutisme.
5
Penatalaksanaan
Terdapat beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan ketika mengevaluasi dan
mengobati SOPK. Pengobatan terapi bertujuan, pertama melancarkan siklus haid
dan mengembalikan kesuburan, kedua merubah gangguan metabolik glukosa dan
resiko
yang
meningkat
untuk
mengalami
aborsi
spontan
(Maharani&Wratsangka, 2012).
B Metformin
1. Sifat Fisis dan Kimiawi Metformin
Metformin atau bimethylguanide merupakan molekul hidrofilik dengan muatan
positif dalam keadaan pH fisiologis yang tidak dimetabolisme dalam tubuh selama
melewati hepar dan sirkulasi darah. Metformin memiliki berat molekul 129,164
g/mol dengan bioavailabilitas 5016% waktu paruh 5 jam dan laju bersihan renal
510130 mL/menit pada subyek yang memiliki fungsi renal yang baik. Tingkat
terapeutik obat ini berkisar pada rentang 0,5-1,0 mg/L dengan ambang 2,5 mg/L
untuk terjadinya asidosis laktat (Rojas et al., 2014).
2. Farmakokinetik
Metformin tidak dimetabolisme dalam tubuh dan diekskresikan secara utuh
melalui urin dengan waktu paruh 5 jam. Jalur utama eliminasi metformin adalah
sekresi tubular aktif oleh ginjal. Obat ini didistribusikan secara luas dan dapat
masuk ke berbagai jaringan tubuh seperti usus, hepar, dan ginjal oleh organic
cationic transporter (OCT) (Graham et al., 2011).
Absorpsi metformin di intestinal dimediasi oleh plasma membrane monoamine
transporter (PMAT) yang diekspresikan pada sisi luminal enterosit. Pada brush
border enterosit, diekspresikan OCT3 yang juga berfungsi dalam penyerapan
metformin. Selain itu, OCT1 yang diekspresikan di membran basolateral dan
sitoplasma enterosit dapat memfasilitasi pemindahan metformin ke dalam cairan
interstisial (Zhou et al., 2007 ; Muller et al., 2005).
Absorbsi metformin di hepar dimediasi oleh OCT1 dan OCT3. Kedua
transporter tersebut diekspresikan di membran basolateral hepatosit. Metformin
juga merupakan senyawa yang baik bagi human multidrug and toxin extrusion
(MATE-1 dan MATE-2k). MATE-1 berperan dalam proses ekskresi metformin
yang diekspresikan dalam jumlah banyak di hepar, ginjal, dan otot skeletal.
Namun, peran MATE1 di hepar masih belum jelas karena pada penelitian yang
dilakukan Graham et al. (2011) tidak mendapatkan hasil signifikan dalam proses
ekskresi biliaris pada manusia (Graham et al., 2011).
Absorpsi metformin dari sirkulasi menuju sel epitel ginjal difasilitasi oleh
OCT2, yang diekspresikan di membran basolateral tubulus renal. Ekskresi
metformin melalui renal dimediasi oleh MATE1 dan MATE2k yang diekspresikan
oleh membran apikal sel tubulus proksimal renalis. OCT1 juga diekspresikan di
sisi apikal maupun subapikal dari tubulus proksimal dan distal renalis yang
berperan dalam reabsorpsi metformin di tubulus renalis. PMAT diekspresikan di
sisi apikal sel epitel renal dan berperan dalam reabsorpsi metformin (Takane et al.,
2008 ; Tzvetkov et al., 2009).
Interaksi obat-obat yang mengakibatkan inhibisi transporter metformin (OCT
dan MATE) secara klinis penting diperhatikan karena metformin tidak
AMPK bukan sasaran langsung metformin. Penelitian yang dilakukan Foretz et al.
(2010) mendapatkan adanya efek inhibisi glukoneogenesis hepatik pada tikus
yang dijadikan defisiensi AMPK. Penelitian lain mendapatkan adanya aktivasi
AMPK dan inhibisi glukoneogenesis pada tikus yang mengalami defisiensi OCT1.
Hal tersebut menandakan adanya efek inhibisi glukoneogenesis oleh metformin
dapat terjadi secara tergantung AMPK ataupun tidak tergantung AMPK (Foretz et
al., 2010 ; Kim et al., 2008) .
AMPK merupakan pengatur utama metabolisme lipid dan glukosa dalam sel.
AMPK yang teraktivasi dapat memfosforilasi dan menginaktivasi HMG-CoA
reduktase, MTOR, ACC-2, ACC, gliserol-3-fosfat asiltransferase. Aktivasi AMPK
oleh metformin juga dapat menimbulkan efek supresi pada SREBP-1 ; sebuah
faktor transkripsi lipogenik dan mengganggu koaktivasi PXR dengan SRC1
sehingga terjadi penurunan ekspresi gen CYP3A4. Fosforilasi AMPK juga dapat
mengaktivasi SiRT dan meningkatkan ekspresi Pgc-1a di nukleus yang akan
menyebabkan terjadinya proses aktivasi biogenesis mitokondial. Selain itu,
aktivasi AMPK akan menyebabkan peningkatan ambilan glukosa di otot skeletal
oleh karena peningkatan GLUT4 (Gong et al., 2012).
4. Indikasi
Sediaan biguanid tidak dapat menggantikan fungsi insulin endogen. Metformin
biasa digunakan pada terapi diabetes pada orang dewasa. Dosis metformin adalah
1-3 gram sehari dibagi dalam 2-3 kali pemberian (Suherman, 2009).
5. Kontraindikasi
Biguanid tidak boleh diberikan pada kehamilan, pasien penyakit hepar berat,
penyakit ginjal dengan uremia, penyakit jantung kongestif dan penyakit paru
dengan hipoksia kronik. Pada pasien yang akan diberikan zat kontras intravena
atau yang akan dioperasi, pemberian obat ini harus dihentikan. Setelah lebih dari
48 jam, obat ini dapat diberikan dengan catatan bahwa fungsi ginjal harus tetap
normal. Hal ini untuk mencegah terjadinya pembentukan laktat yang berlebihan
dan dapat berakhir fatal akibat terjadinya asidosis laktat (Suherman, 2009).
6. Efek Samping
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau sistem kardiovaskular,
pemberian biguanid dapar menimbulkan peningkatan kadar asam laktat dalam
darah, sehingga hal ini dapat mengganggu keseimbangan elektrolit dalam cairan
tubuh. Hampir 20% pasien dengan metformin mengalami mual, muntah, diare,
dan rasa pengecapan logam; akan tetapi keluhan tersebut dapat dihilangkan
dengan menurunkan dosis pemberian obat (Suherman, 2009).
C Pembahasan Jurnal
Karakteristik sindrom ovarium polikistik belum sepenuhnya dipahami tetapi
telah diketahui melibatkan interaksi kompleks antara kerja gonadotropin, ovarium,
androgen, dan insulin. Unsur penting sindrom ini adalah resistensi insulin.
Mayoritas wanita dengan sindrom ovarium polikistik, tanpa mempertimbangkan
berat badan, mengalami resistensi insulin yang intrinsik terhadap sindrom tersebut
dan sangat sedikit dipahami. Wanita obes dengan sindrom ovarium polikistik
menambahkan beban resistensi insulin yang berhubungan dengan adipositasnya
(Maharani&Wratsangka, 2012).
Resistensi insulin yang merupakan karakteristik sindrom ovarium polikistik
tampaknya bertanggung jawab terhadap hubungan antara kelainan tersebut dengan
diabetes tipe II. Resistensi insulin juga mungkin mendasari hubungan antara
sindrom ovarium polikistik dengan faktor risiko kardiovaskular yang telah
dikenal, misalnya dislipidemia dan hipertensi, demikian juga dengan gangguan
anatomi dan fisiologi kardiovaskuler (Maharani&Wratsangka, 2012).
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensatori juga memainkan
peranan yang serius dalam aspek lain sindrom ovarium polikistik, termasuk
kelebihan androgen dan anovulasi. Insulin menstimulasi produksi androgen oleh
ovarium dengan mengaktivasi reseptor homolognya, dan ovarium pada wanita
dengan sindrom ovarium polikistik tampaknya tetap sensitif terhadap insulin, atau
mungkin hipersensitif terhadap insulin, bahkan saat jaringan target klasik seperti
otot dan lemak menunjukkan resistensi terhadap kerja insulin. Sebagai tambahan,
hiperinsulinemia menghambat produksi hepatic sex hormone-binding globulin,
sehingga lebih meningkatkan kadar testosteron bebas dalam sirkulasi. Insulin juga
menghambat ovulasi, baik secara langsung mempengaruhi perkembangan folikel
atau secara tidak langsung meningkatkan androgen intraovarian atau mengubah
sekresi gonadotropin. Bukti lebih lanjut pengaruh resistensi insulin pada sindrom
ovarium.
Kebanyakan
penelitian
mengkonfirmasi
kemampuan
metformin untuk menurunkan insulin serum puasa dan kadar androgen pada
wanita dengan sindrom ovarium polikistik. Tetapi penelitian yang secara spesifik
menilai efek metformin pada tanda klinis hiperandrogen (misalnya hirsutism,
akne, dan alopesia androgenetis) masih terbatas (Rojas et al, 2014).
Hal yang berhubungan dengan ovulasi, hasil dari suatu RCT pada tahun
1998, terapi awal dengan metformin dibandingkan dengan placebo meningkatkan
II secara spesifik pada pasien dengan sindrom ovarium polikistik. Pada suatu
penelitian retrospektif tidak terkontrol, pada 50 wanita dengan sindrom ovarium
polikistik yang diterapi dengan metformin selama rata-rata 43 bulan pada suatu
sentra medis akademik, tidak terjadi perkembangan menjadi diabetes tipe II,
walaupun terdapat 11 wanita (22.0%) dengan toleransi glukosa terganggu. Tingkat
perubahan tahunan dari toleransi glukosa normal menjadi toleransi glukosa
terganggu hanya 1.4%, dibandingkan dengan 16 19% yang dilaporkan dalam
literatur untuk wanita dengan sindrom ovarium polikistik yang tidak
mengkonsumsi metformin (Ainudin, 2015).
Pendekatan terhadap penanganan sindrom ovarium polikistik tergantung
pada tujuan terapi pasien dan dokter. Pada sebagian wanita, infertilitas merupakan
masalah utama. Pasien-pasien tersebut seringkali diterapi dengan induksi ovulasi
jangka pendek dengan klomifen. Jika fertilitas tidak menjadi permasalahan,
kontrasepsi
estrogen-progestin,
dengan
atau
tanpa
antiandrogen
seperti
BAB III
KESIMPULAN
Pernyataan
American
Association
of
Clinical
Endocrinologist