Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Identitas Nasional

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

Dinamika dan Tantangan Identitas Nasional

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah umum
Pendidikan Kewarganegaraan 24

disusun oleh
Kelompok 4
Dhina Puspitaningrum

(141710101016)

Yogi Dwi Anggoro Putro

(141710101049)

Milanda Aisyah Rosavani

(141710101070)

Jefrinka Nelza Emania

(141710101109)

Rio Bagus Prasetyo

(141710101112)

UNIT PELAKSANA TEKNIS BIDANG STUDI MATA KULIAH UMUM


UNIVERSITAS JEMBER
2016

BAB 1. LATAR BELAKANG


1.1 Latar Belakang
Faktor penting bagi pembentukan bangsa Indonesia, adanya persamaan nasib,
yaitu penderitaan bersama di bawah penjajahan bangsa asing lebih kurang selama 350
tahun, adanya keinginan bersama untuk merdeka, yaitu wilayah nusantara yang
membentang dari sabang sampai marouke, adanya kesatuan tempat tinggal, yaitu
wilayah nusantara yang membentang dari sabang-marauke, adanya cita-cita bersama
untuk mencapai kemkmuran dan keadilan sebagai suatu bangsa. Berdasarkan factor ini,
factor pembentukan identitas kebangsaan Indonesian bukanlah factor-faktor primordial,
tetapi faktor histeris.
Hakikat Negara Kesatuan Repoblik Indonesia adalah Negara kebangsaan
modern. Negara kebangsaan modern adalah Negara yang membentuknya didasarkan
pada semangat kebangsaan-atau nasionalisme-yaitu pada tekat suatu masyarakat untuk
membangun masa depan bersama di bawah satu Negara yang sama walaupun warga
masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras,etnik atau golongannya.
Identitas nasional merupakan suatu ciri yang dimiliki oleh bangsa kita untuk
dapat membedakannya dengan bangsa lain. Jadi, untuk dapat mempertahankan
keunikan-keunikan dari bangsa Indonesia itu sendiri maka kita harus menanamkan akan
cinta tanah air yang diwujudkan dalam bentuk ketaatan dan kepatuhan terhadap aturaaturan yang telah ditetapkan serta mengamalkan nilai-nilai yang sudah tertera dengan
jelas di dalam pancasila yang dijadikan sebagai falsafah dan dasar hidup bangsa
Indonesia. Dengan keunikan inilah, Indonesia menjadi suatu bangsa yang tidak dapat
disamakan dengan bangsa lain dan itu semua tidak akan pernah lepas dari tanggung
jawab dan perjuangan dari warga Indonesia itu sendiri untuk tetap menjaga nama baik
bangsanya.
Identitas nasional secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu
bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa yang lain.
Berdasarkan perngertian yang demikian ini maka setiap bangsa didunia ini akan
memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan,sifat,ciri-ciri serta karakter

dari bangsa tersebut. Berdasarkan hakikat pengertian identitas nasional sebagai mana di
jelaskan di atas maka identitas nasional suatu Bangsa tidak dapat di pisahkan dengan
jati diri suatu bangsa ataulebih populer disebut dengan kepribadian suatu bangsa
(Kaelan dan Zubaidi, 2007).
Bangsa pada hakikatnya adalah sekelompok besar manusia yang mempunyai
persamaan nasib dalam proses sejarahnya,sehingga mempunyai persamaan watak atau
karakter yang kuat untuk bersatu dan hidup bersama serta mendiami suatu wilayah
tertentu sebagai suatu kesatuan nasional (Syahrial dan Wahid, 2006).
1.2 Tujan
Adapun tujuan dari makalah dinamika dan tantangan identitas Indonesia adalah
sebagai berikut:
a. Membentuk kepribadian warga Negara termasuk mahasiswa agar mampu
mempertahankan identitas nasional
b. Menanamkan pemahaman warga Negara termasuk mahasiswa mengenai
tantangan dan ancaman bagi identitas nasional sehingga dapat mengatasi
tantangan dan masalah yang dihadapi identitas nasional.
1.3 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan makalah dinamika dan tantangan
identitas Indonesia adalah sebagai berikut:;
a. Warga Negara Indonesia termasuk mahasiswa dapat mempertahankan Identitas
Nasional
b. Warga Negara Indonesia termasuk mahasiswa dapat mengetahui ancaman dan
tantangan yang mengancam Identitas Nasional sehingga mampu mengatasinya.

BAB 2. PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN


2.1. Permasalahan
2.1.1. Definisi Identitas Sosial
Konsep mengenai Identitas Nasional merupakan sebuah konsep yang
multidimensional dimana dikembangkan dan dianalisis oleh berbagai disiplin ilmu dan
relevan dengan berbagai bidang penelitian. Psikologi merupakan salah satu cabang ilmu
yang mengkaji Identitas Nasional sebagai kajian psikologi sosial.
Identitas Nasional merupakan salah satu bentuk dari identitas sosial (Michener
dan Delamater, 1999; Bostock Dan Smith, 2001). Identitas Nasional dianggap sebagai
konsep utama dari identifikasi individu pada kelompok sosial dalam dunia modern
(Davidov, 2009). Kelekatan anggota kelompok terhadap negara mereka diekspresikan
dengan rasa memiliki, cinta, loyalitas, kebanggaan, dan perlindungan terhadap
kelompok dan tanah air-nya (Davidov,2009). Tajfel dan Turner (1986) menyatakan
bahwa secara umum Identitas Nasional menggambarkan perasaan yang subjektif
terhadap suatu bangsa, yang pada dasarnya bersifat positif. Sejalan dengan pendapat
tersebut, Blank, Schmidt dan Westle (2001) menggambarkan Identitas Nasional sebagai
perasaan kedekatan yang kuat terhadap negara sendiri.
Berdasarkan definisi Identitas Nasional menurut beberapa ahli di atas dapat
disimpulkan bahwa Identitas Nasional merupakan salah satu bentuk dari identitas sosial
yang mencerminkan identifikasi, perasaan dan penilaian yang positif dari individu
terhadap bangsa dan negaranya.
2.1.2. Identitas Nasional Sebagai Bentuk dari Identitas Sosial
Banyak peneliti yang berasusmsi bahwa identifikasi nasional sama dengan
identifikasi kolektivitas (identifikasi sosial) yang lain (Gibson, 2003). Muller-Peters
(1998) mendefinisikan Identitas Nasional sebagai bentuk khusus dari identitas kolektif
atau sosial, dan dalam hal ini kelompok sosial yang dimaksud adalah bangsa. Martin
dan Nakayama (2010) kemudian mengemukakan konsep dimana terdapat beberapa

bentuk-bentuk utama dari identitas sosial dalam konteks komunikasi interkultural.


Identitas Nasional merupakan salah satu bentuk dari identitas sosial dalam konteks
tersebut. Teori identitas sosial sendiri awalnya dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun
1957 dalam upaya menjelaskan prasangka, diskriminasi, perubahan sosial dan konflik
antar kelompok.
Menurut Tajfel (1978), social identity (identitas sosial) adalah bagian dari
konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam
suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional dari
keanggotaan tersebut. Social identity berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli dan juga
rasa bangga dari keanggotaan dalam suatu kelompok tertentu (Tajfel & Turner, 1979).
Branscombe, Ellemers, Spears, dan Doosje (1999) mengemukakan tiga komponen
dalam identitas sosial, yaitu cognitive component (self categorization), evaluative
component (group self esteem), dan emotional component (affective component).
1) Cognitive component (Self categorization)
Kesadaran

kognitif

akan

keanggotaannya

dalam

kelompok.

Individu

mengkategorisasikan dirinya dengan kelompok tertentu yang akan menentukan


kecenderungan mereka untuk berperilaku sesuai dengan keanggotaan kelompoknya.
Komponen ini juga berhubungan dengan self stereotyping yang menghasilkan identitas
pada diri individu dan anggota kelompok lain yang satu kelompok dengannya. Self
stereotyping dapat memunculkan perilaku kelompok (Hogg, 1988).
2) Evaluative component (group self esteem)
Merupakan nilai positif atau negatif yang dimiliki oleh individu terhadap
keanggotaannya dalam kelompok. Evaluative component ini menekankan pada nilainilai yang dimiliki individu terhadap keanggotaan kelompoknya.
3) Emotional component (affective component)
Merupakan perasaan keterlibatan emosional terhadap kelompok. Emotional
component ini lebih menekankan pada seberapa besar perasaan emosional yang dimiliki
individu terhadap kelompoknya (affective commitment). Komitmen afektif cenderung
lebih kuat dalam kelompok yang dievaluasi secara positif karena kelompok lebih
berkontribusi terhadap social identity yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa identitas

individu sebagai anggota kelompok sangat penting dalam menunjukkan keterlibatan


emosionalnya yang kuat terhadap kelompoknya walaupun kelompoknya diberikan
karakteristik negatif.
2.1.3. Fungsi Identitas Nasional
Menurut Smith (1991) terdapat tiga fungsi dari Identitas Nasional, yaitu:
1) Identitas Nasional memberikan jawaban yang memuaskan terhadap rasa takut akan
kehilangan identitas melalui identifikasi terhadap bangsa.
2) Identitas Nasional menawarkan pembaharuan pribadi dan martabat bagi individu
dengan menjadi bagian dari keluarga besar suatu bangsa
3) Identitas Nasional memungkinkan adanya realisasi dari perasaan persaudaraan,
terutama melalui simbol-simbol dan upacara.
2.1.4. Bentuk Bentuk Identitas Nasional: Nasionalisme dan Patriotisme Pembangunan
Nasionalisme (Nationalism) dan Patriotisme Membangun (Constructive
Patriotism) menggambarkan bentuk yang lebih spesifik dari Identitas Nasional (Blank
dan Schmidt, 2003). Nasionalisme (Nationalism) merupakan sebuah idealisasi bangsa,
keyakinan terhadap superioritas bangsa sendiri, penilaian positif tehadap bangsa serta
penolakan terhadap sikap dan emosi negatif dan ambivalen pada bangsa. Schmidt
(2003) mengemukakan tiga indikator Sikap Nasionalisme (Nationalism), yaitu :
a. Penilaian positif terhadap bangsa sendiri secara general (generalized positive
assessment of the nation).
Penilaian positif ini mencakup hal-hal berupa penekanan sikap
ambivalen terhadap bangsa, sebuah penerimaan penuh dari otoritas nasional,
negara, dan politik.
b. Perasaan superioritas (feelings of superiority).
Indikator ini mencakup perasaan individu bahwa bangsa dan negaranya
lebih superior daripada bangsa dan negara lain (a feeling of national
superiority). Selain itu, terdapat juga relevansi yang tinggi dari perbandingan
sosial dengan kelompok yang tidak dianggap sebagai bagian dari bangsa,

c. Kecenderungan Idealisasi terkait dengan bangsa (nation-related tendencies of


idealization).
Indikator ini mencakup konsep mengenai idealisasi bangsa (idealization
of the nation), idealisasi terhadap bangsa ini juga mencakup idealisasi terhadap
sejarah bangsa sendiri.
Sementara itu, Patriotisme Membangun (Constructive Patriotism) merupakan
bentuk lain dari Identitas Nasional yang menolak konsep idealisasi bangsa. Orang-orang
dengan Identitas Nasional Patriotisme Membangun (Constructive Patriotism) akan
mencerminkan pandangan kritis dan konstruktif terhadap bangsanya, mereka akan
memberikan dukungan terhadap sistem selama sistem tersebut sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Dalam sikap Patriotisme Membangun (Constructive Patriotism) juga
terdapat penerimaan terhadap emosi negatif pada bangsa. Secara lebih rinci, Patriotisme
Membangun (Constructive Patriotism) digambarkan memiliki indikator-indikator
berikut ini (Schmidt, 2003):
1) Aspek demokrasi dari Patriotisme Membangun (democratic aspects of patriotism).
Aspek demokrasi ini mencakup penolakan terhadap penerimaan penuh dari
suatu otoritas nasional, penolakan terhadap budaya otoriter dan dukungan terhadap
budaya demokrasi. Dukungan terhadap sistem berakhir segera setelah tujuan bangsa
tidak lagi sesuai dengan keyakinan nilai-nilai humanis.
2) Kritik membangun terhadap negara (constructive critic of ones country).
Individu dapat menganggap bahwa bangsa ini tidak ideal yang ditinjau dari hati
nurani. Hati nurani di sini mengacu pada pembentukan opini bangsa yang independen
dari elit dalam kelompok. Dalam Patriotisme Membangun (Constructive Patriotism)
juga terdapat penerimaan emosi negatif terhadap bangsa sendiri.
Dalam sikap Nasionalisme (Nationalism) terdapat penekanan afiliasi nasional
kedalam konsep diri individu. Sementara itu, Patriotisme Membangun (Constructive
Patriotism) tidak terlalu menekankan afiliasi nasional terhadap konsep diri individu.
Sikap Nasionalisme (Nationalism) juga memiliki kecenderungan untuk menganggap
kelompok sendiri lebih homogen dan mendefinisikan kelompoknya melalui garis
keturunan, ras, atau afiliasi budaya, sedangkan dalam sikap Patriotisme Membangun

(Constructive Patriotism), terdapat penolakan terhadap pendefinisian kelompok sendiri


berdasarkan kriteria objektif tersebut (Schmidt, 2003).
2.1.5. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Identitas Nasional
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan Identitas Nasional bangsa
Indonesia, meliputi primordial, sakral, tokoh, bhineka tunggal ika, konsep sejarah,
perkembangan ekonomi, dan kelembagaan (Surbakti, 1999).
1) Primordial
Ikatan kekerabatan (darah dan keluarga) dan kesamaan suku bangsa, daerah,
bahasa, dan adat-istiadat merupakan faktor-faktor primordial yang dapat membentuk
negara-bangsa. Primordialisme tidak hanya menimbulkan pola perilaku yang sama,
tetapi juga melahirkan persepsi yang sama tentang masyarakat negara yang dicitacitakan. Walaupun ikatan kekerabatan dan kesamaan budaya itu tidak menjamin
terbentuknya suatu bangsa (karena mungkin ada faktor yang lain yang lebih menonjol),
namun kemajemukan secara budaya mempersulit pembentukan satu nasionalitas baru
(negara bangsa) karena perbedaan ini akan melahirkan konflik nilai.
2) Sakral
Kesamaan agama yang dianut oleh suatu masyarakat, atau ikatan ideologi yang
kuat dalam masyarakat, juga merupakan faktor yang dapat membentuk negara-bangsa.
3) Tokoh
Kepemimpinan dari seorang tokoh yang disegani dan dihormati secara luas oleh
masyarakat dapat menjadi faktor yang menyatukan suatu bangsa-negara. Pemimpin ini
menjadi panutan sebab warga masyarakat mengidentifikasikan diri kepada sang
pemimpin, dan ia dianggap sebagai "penyambung lidah" masyarakat.
4) Sejarah
Persepsi yang sama tentang asal-usul (nenek moyang) dan tentang pengalaman
masa lalu, seperti penderitaan yang sama akibat dari penjajahan tidak hanya melahirkan
solidaritas (sependeritaan dan sepenanggungan), tetapi juga tekad dan tujuan yang sama
antar kelompok suku bangsa. Solidaritas, tekad, dan tujuan yang sama itu dapat menjadi

identitas yang menyatukan mereka sebagai bangsa, sebab dengan membentuk konsep
ke-kita-an dalam masyarakat.
5) Bhinneka Tunggal Ika
Prinsip bersatu dalam perbedaan (unity in diversity) merupakan salah satu faktor
yang dapat membentuk bangsa-negara. Bersatu dalam perbedaan artinya kesediaan
warga masyarakat untuk bersama dalam suatu lembaga yang disebut Negara, atau
pemerintahan walaupun mereka memiliki suku bangsa, adat-istiadat, ras atau agama
yang berbeda.
6) Perkembangan Ekonomi
Perkembangan ekonomi (industrialisasi) akan melahirkan spesialisasi pekerjaan
yang beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Semakin tinggi mutu dan
semakin bervarariasi kebutuhan masyarakat, semakin tinggi pula tingkat saling
bergantung di antara berbagai jenis pekerjaan. Setiap orang bergantung pada pihak lain
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin kuat suasana saling bergantung antar
anggota masyarakat karena perkembangan ekonomi, maka semakin besar pula
solidaritas dan persatuan dalam masyarakat.
7) Kelembagaan
Proses pembentukan bangsa berupa lembaga-lembaga pemerintahan dan politik,
seperti birokrasi, angkatan bersenjata, dan partai politik. Setidak-tidaknya terdapat dua
sumbangan birokrasi pemerintahan (pegawai negeri) bagi proses pembentukan bangsa,
yakni mempertemukan berbagai kepentingan dalam instansi pemerintah dengan
berbagai kepentingan di kalangan penduduk sehingga tersusun suatu kepentingan
nasional, watak kerja, dan pelayanannya yang bersifat impersonal; tidak saling
membedakan untuk melayani warga negara. Angkatan bersenjata berideologi
nasionalistis karena fungsinya memelihara dan mempertahankan keutuhan wilayah dan
persatuan bangsa, personilnya direkrut dari berbagai etnis dan golongan dalam
masyarakat. Selain soal ideologi, mutasi dan kehadirannya di seluruh wilayah negara
merupakan sumbangan angkatan bersenjata bagi pembinaan persatuan bangsa
Keanggotaan partai politik yang bersifat umum (terbuka bagi warga negara yang
berlainan etnis, agama, atau golongan), kehadiran cabang-cabangnya di wilayah negara,

dan peranannya dalam menampung dan memadukan berbagai kepentingan masyarakat


menjadi suatu alternatif kebijakan umum merupakan kontribusi partai politik dalam
proses pembentukan bangsa.
Robinson

(2009)

menemukan

bahwa

tingkat

pendapatan

juga

dapat

mempengaruhi Identitas Nasional seseorang. Salah satu interpretasi dari hubungan ini
adalah bahwa pendapatan yang lebih tinggi kemudian menyebabkan modernisasi yang
lebih besar, yang pada gilirannya akan meningkatkan nasionalisme melalui pendidikan,
industrialisasi dan urbanisasi. Selain itu, usia dan jenis kelamin diketahui juga
merupakan prediktor Identifikasi Nasional. Laki-laki secara signifikan lebih
mengidentifikasikan dirinya dengan negara. Dari segi usia, rata-rata usia memiliki
hubungan non-linier untuk nasionalisme. Identitas Nasional lebih tinggi pada orangorang yang berusia dewasa keatas (Robinson, 2009). Rajiman, Davidov, Schmidt dan
Hochman (2008) menemukan bahwa pada beberapa negara, pendidikan dan orientasi
politik mempengaruhi Identitas Nasional Individu. Individu yang berpendidikan rendah
dan memiliki orientasi politik sayap kanan cenderung lebih nasionalis.
Blank, Schmidt dan Westle (2001) menemukan pengaruh usia dalam perbedaan
tingkat Identitas Nasional individu. Identitas Nasional secara konsisten dan signifikan
meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Hasil ini ditemukan dari penelitian yang
dilakukan di Austria, Jerman Barat, Jerman Timur, Inggris, Italia, Amerika dan Rusia.
Usia dapat memoderator tingkat identifikasi nasional individu berdasarkan pengalaman
hidupnya dengan bangsa. Dan usia dapat menjadi indikator untuk kemungkinan dan
realisasi pengalaman internasional individu. Kemungkinan individu yang lebih tua
untuk memiliki pengalaman internasional lebih sedikit jika dibandingkan dengan
individu yang lebih muda, sehingga memungkinkan mereka untuk memiliki hubungan
yang lebih kuat dengan bangsa dan negaranya dibandingkan individu yang lebih muda
(Blank, Schmidt dan Westle, 2001).
2.1.6. Identitas Nasional Bangsa Indonesia
Proses pembentukan Identitas Nasional bangsa Indonesia cukup panjang,
dimulai dari kesadaran adanya perasaan senasib sepenanggungan bangsa Indonesia

akibat penjajahan Belanda, kemudian memunculkan komitmen bangsa (tekad dan


kemudian menjadi kesepakatan bersama). Dalam perkembangan selanjutnnya
dirumuskan beberapa Identitas Nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam UUD
1945 dalam pasal 35-36 C, yaitu:
1) Bahasa Nasional atau Bahasa Persatuan yaitu Bahasa Indonesia
2) Bendera Negara yaitu Sang Merah Putih
3) Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya
4) Lambang Negara yaitu Pancasila
5) Semboyan Negara yaitu Bhinnika Tunggal Ika
6) Dasar Falsafah Negara yaitu pancasila
7) Konstituti (Hukum Dasar) Negara yaitu UUD1945
8) Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
9) Konsepsi Wawasan Nusantara
10) Kebudayaan daerah yang telah diteria Kebudayaan Nasional
2.1.7. Problem Identitas Nasional
Identitas nasional yang terus dipertahankan, pasti mendapatkan sebuah
permasalahan dan tantangan dalam suatu bangsa. Hal ini disebabkan karena individu
yang berkumpul pada suatu negara tidak lagi memiliki prinsip keterbukaan dalam
negara, memiliki perbedaan pendapat, dan perkembangan jaman yang membuat pola
pikir setiap individu semakin berubah. Permasalahan identitas nasional diantaranya:
1. Pluralisme dan multikulturalisme
2. Kesenjangan tradisionalisme, modernisme dan postmodernisme
3. Globalisasi
4. Disintegrasi Bangsa
Selain masalah masalah diatas, terdapat juga tantangan dan permasalahan yang
dihadapi oleh bangsa pada saat ini yaitu:
1. Apakah

warga

negara

dan

pemimpin

mengimplementasikan nilai nilai Pancasila?

Indonesia

masih

ingat

dan

2. Apakah warga negara dan pemimpin Indonesia masih mampu berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar?
3. Apakah warga negara dan pemimpin Indonesia masih bisa menyanyikan lagu
kebangsaan Indonesia Raya?
4. Apakah warga negara dan pemimpin Indonesia masih bisa mengenal lambang
negara?
5. Apakah warga negara dan pemimpin Indonesia masih bisa mengenal dan
melestarikan tradisi dan kebudayaan dari daerah dan asal etnik masing masing?
2.2 Pembahasan
1. Pluralisme dan Multikulturalisme
Pluralisme adalah suatu paham atau pandangan hidup yang mengakui
dan menerima adanya Kemajemukan atau Keanekaragaman dalam suatu
kelompok masyarakat. Kemajemukan dimaksud misalnya dilihat dari segi
agama, suku, ras, adat-istiadat, dll. Segi-segi inilah yang biasanya menjadi dasar
pembentukan aneka macam kelompok lebih kecil, terbatas dan khas, serta yang
mencirikhaskan dan membedakan kelompok yang satu dengan kelompok yang
lain, dalam suatu kelompok masyarakat yang majemuk dan yang lebih besar atau
lebih luas. Misalnya masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari
berbagai kelompok umat beragama, suku, dan ras, yang memiliki aneka macam
budaya atau adat-istiadat. Begitu pula masyarakat Maluku yang majemuk,
ataupun masyarakat Aru yang majemuk.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk
meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami
multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan
konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya
multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Berbagai konsep yang relevan
dengan multikulturalisme antara lain adalah demokrasi, keadilan dan hukum,
nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat,
sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan,

ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM (Hak Asasi


Manusia), hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.
Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep
keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi
ciri

masyarakat

keanekaragaman

majemuk,
kebudayaan

karena
dalam

multikulturalisme
kesederajatan.

Ulasan

menekankan
mengenai

multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang


mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan
hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan
golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu
produktivitas.
2. Kesenjangan tradisionalisme, modernisme dan postmodernisme.
Secara etimologis modernisme menurut Tom Jacob mengartikan
modern sebagai:

terbaru, mutakhir;

sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.

Sedangkan menurut Kant menyebutnya sebagai, pencapaian transendentalisasi


jauh dari imanensi manusia. Sehingga manusia bisa mencapai tingkat yang
paling tinggi. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran
pengetahuan dan kebudayaan modern (Abdullah, 1995). Pada era ini rasio
dipandang sebagai kekuatan yang dimiliki oleh manusia untuk memahami
realitas, untuk membangun ilmu pengetahuan dan teknologi, moralitas, dan
estetika. Pendek kata, rasio dipandang sebagai kekuatan tunggal yang
menentukan segala-galanya. Kenyataannya, modernisme adalah salah satu
bentuk dari humanisme. Narasi-narasi besar modernisme yang berasal dari
kapitalisme,

eksistensialisme,

liberalisme,

idealisme,

tidak

bisa

lain

membuktikan hal itu. Modernisme juga bisa diartikan sebagai semangat untuk
mencari dan menemukan kebenaran asasi, kebenaran esensial, dan kebenaran
universial. Rasio manusia dianggap mampu menyelami kenyataan faktual untuk

menemukan hukum-hukum atau dasar-dasar yang esensial dan universal dari


kenyataan.
Postmodernisme disebut sebagai sebuah gerakan pencerahan atas
pencerahan, oleh karena postmodernisme sangat gigih dalam melakukan kritikan
dan gugatan terhadap modernisme yang sangat mendewakan rasio dalam
ilmu pengetahuan yang diyakini akan membawa dan mengarahkan manusia
memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dalam kehidupannya. Namun,
yang terjadi adalah sebaliknya, yakni manusia bukan lagi sebagai subjek dan
pelaku untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi jatuh
terperangkap ke dalam objek dan sasaran yang dikendalikan oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Amat tragis dan ironis manusia modernis,
Postmodernisme selaku sebuah fase sejarah ingin secara tuntas mengantisipasi
dan membebaskan manusia dari segala bentuk cengkeraman zaman yang
tak menyenangkan inklusif perbudakan terhadap rasionalitas, bendawi dan
lain-lain (Christopher, 2003).
Pengaruh Postmodernisme terhadap paradigma pendidikan yaitu
pendidikan pada saat sekarang tidak lagi dipahami sebagai peneguhan proses
transformasi pengetahuan (knowledge) yang hanya dikuasai oleh sekolah
(pendidikan formal). Guru dengan demikian tidak lagi dipandang sebagai dewa
dengan segala kemampuannya untuk melakukan proses pencerdasan masyarakat.
Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi terpusat pada guru. Ruang
pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang sempit, yang bernama
sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat, entah itu melalui
pendidikan

alternatif

maupun

melalui

pendidikan

luar

sekolah.

Ivan

(2003) mengatakan bahwa proses pendidikan akan memperoleh keuntungan dari


upaya membebaskan masyarakat yang cendrung mendewakan sekolah, dengan
demikian kegiatan sekolah tidak lebih hanya sebagai pengkhianatan terhadap
upaya pencerahan budi.
3. Globalisasi

Globalisasi masuk dan berkembang dengan begitu cepat. Dunia ketiga


tidak bisa mengelak masuknya era globalisasi. Konsep globalisasi pada dasarnya
mengacu pada pada pengertian ketiadaan batas antar negara. Konsep ini merujuk
pada pengertian bahwa suatu negara tidak dapat membendung sesuatu yang
terjadi di negara lain. Pengertian sesuatu tersebut dikaitkan dengan banyak hal
seperti pola

perilaku, tatanan kehidupan, sistem perdagangan. Proses

Globalisasi sebenarnya sudah dimulai sejak awal Indonesia mulai melakukan


pembangunan. Arus Globalisasi mendapat perhatian yang serius dari berbagai
negara manakala teknologi, terutama informasi, komunikasi terus berkembang
sedemikian cepat. Munculnya Globalisasi diikuti dengan munculnya pasar bebas
atau liberalisme. Globalisasi menjadi sebuah tantangan dan juga ancaman bagi
negara-negara dunia ke tiga. Globalisasi muncul akibat modernisasi yang
dilakukan oleh negara-negara maju. Padahal kondisi sosial, ekonomi, politik
negara berkembang atau negara dunia ketiga sangat berbeda jauh dengan negara
maju. Globalisasi sendiri bagi masyarakat negara berkembang boleh dikatakan
sebagai bentuk pemaksaan struktural yang menuntut perubahan sosial, politik
dan ekonomi suatu negara. Munculnya liberalisasi diikuti dengan Industrialisasi
, industrialisasi berkembang cepat di negara Indonesia, industrialisasi menjadi
sebuah bentuk-bentuk baru kapaitalisme baru. Dimana muncul kaum-kaum
buruh yang terasingkan, karena diekspolitasi dibawah standar kemanusiaan.
Imbas dari Industrialisasi

berdampak pada petani-petani yang terhisap

tenaganya, karena petani menjadi penyuplai kebutuhan bahan mentah industri.


4. Disintegrasi Bangsa
Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa di tanah air
dewasa ini yang dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan pertikaian,
gelombang

reformasi

yang

tengah

berjalan

menimbulkan

berbagai

kecenderungan dan realitas baru. Segala hal yang terkait dengan Orde Baru
termasuk format politik dan paradigmanya dihujat dan dibongkar. Bermunculan
pula aliansi ideologi dan politik yang ditandai dengan menjamurnya partai-partai
politik baru. Seiring dengan itu lahir sejumlah tuntutan daerah-daerah diluar

Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas atau merdeka yang dengan
sendirinya makin menambah problem, manakala diwarnai terjadinya konflik dan
benturan antar etnik dengan segala permasalahannya.
Penyebab timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena
perlakuan yang tidak adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
khususnya pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya/kekayaan
alamnya

berlimpah/

menyelenggarakan

berlebih,

pemerintahan

sehingga
sendiri

daerah

dengan

tersebut

tingkat

mampu

kesejahteraan

masyarakat yang tinggi.


Menjawab permasalah dan tantangan yang dihadapi oleh bangsa pada
saat ini adalah mengenai implementasi nilai nilai Pancasila, penggunaan
bahasa Indonesia yang baik dan benar, lagu kebangsaan Indonesia yang mungkin
sudah sedikit dilupakan, lambang Negara yang banyak dilupakan esensinya dan
pelestarian budaya yang ada di Indonesia. Jawaban yang dapat diberikan dari
permasalahan dan tantangan tersebut adalah sebagai warga Negara Indonesia
implementasi nilai nilai Pancasila masih belum seluruhnya dapat
diimplementasikan dengan baik dan benar oleh seluruh warga Negara Indonesia.
Implementasi nilai nilai Pancasila hanya dapat diimplementasikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dan hanya sebatas pada sila pertama dan
ketiga pada sila Pancasila. Hal tersebut dikarenakan, pengamalan sila pancasila
dan pendidikan kewarganegaraan secara mendalam mengenai masing masing
sila hanya diajarkan sampai dengan jenjang sekolah. Sedangkan pada dunia
pekerjaan, sila sila Pancasila banyak dilupakan dan hanya sebatas teori yang
sedikit dipahami oleh sebagian warga Negara.
Selain itu, bahasa Indonesia yang merupakan bahasa pemersatu bagi
rakyat Indonesia tidak selalu digunakan dengan baik dan benar. Hal tersebut
terjadi karena berbagai macam bahasa daerah yang telah mendarah daging dalam
masyarakat Indonesia tidak mampu dipisahkan. Namun, masih banyak warga
Indonesia yang mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar
dikarenakan pemerintah mewajibkan pendidikan wajib belajar 9 tahun sehingga

warga Negara Indonesia dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan
benar. Selain penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, lagu
kebangsaan Indonesia yaitu Indonesia Raya juga mulai dilupakan karena mulai
tergeser dengan lagu lagu yang sekarang banyak diminati oleh banyak warga
Indonesia sehingga lagu daerah maupun lagu nasional tergeser dan mulai
dilupakan. Namun, hal tersebut masih dapat disiasati dengan cara mengadakan
upacara bendera setiap hari senin bukan hanya untuk kalangan pelajar namun
juga pegawai sehingga lagu nasional terutama lagu Indonesia Raya masih
diingat dan dinyanyikan oleh seluruh warga Negara Indonesia.
Lambang Negara yang merupakan identitas bangsa Indonesia juga
merupakan salah satu hal yang sangat penting dan tidak boleh dilupakan (harus
dilesatarikan). Lambang Negara kita yaitu Burung Garuda yang terdapat juga
lambang pada sila Pancasila harus tetap diingat dan dipahami. Salah satu cara
yang dapat dilakukan agar warga Negara Indonesia tetap mengingat lambang
Negara adalah dengan cara setiap instansi pemerintahan, perkantoran maupun
pendidikan memasang foto maupun lambang Negara Burung Garuda sehingga
kita sebagai warga Negara tetap mengingat lambang Negara kita.
Permasalahan dan tantangan lainnya adalah mengenai pelestarian tradisi
dan kebudayaan daerah. Pelestarian tradisi dan kebudayaan daerah harus
dilakukan agar tradisi dan budaya yang telah ada sejak jaman dahulu kala tetap
lestari dan tidak tergantikan oleh budaya dari luar negeri. Pelestarian harus
dilakukan karena apabila budaya daerah tergantikan oleh budaya luar negeri
maka budaya luar akan dengan mudah mengintervensi Negara kita yang
nantinya bisa jadi akan merubah khasanah dan budaya kita selain itu apabila
budaya luar masuk dengan bebas ke Indonesia akan menggeser nilai nilai
budaya Indonesia yang tidak sesuai dengan nilai nilai Pancasila. Cara yang
dapat dilakukan agar budaya daerah tetap lestari adalah tetap merayakan
peringatan upacara adat seperti ngaben di Bali, Lompat Batu di Nias, dsb.

BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah dinamika dan tantangan identitas Indonesia
adalah sebagai berikut:
a. Pluralisme adalah suatu paham yang biasanya menjadi dasar pembentukan aneka
macam kelompok lebih kecil, terbatas dan khas, serta yang mencirikhaskan dan
membedakan kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, dalam suatu
kelompok masyarakat yang majemuk dan yang lebih besar atau lebih luas.
b. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan
yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan
serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.
c. Postmodernisme disebut sebagai sebuah gerakan pencerahan atas pencerahan
namun, yang terjadi adalah sebaliknya, yakni manusia bukan lagi sebagai subjek
dan pelaku untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi
jatuh terperangkap ke dalam objek dan sasaran yang dikendalikan oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
d. Pengaruh Postmodernisme terhadap paradigma pendidikan yaitu pendidikan
pada saat sekarang tidak lagi dipahami sebagai peneguhan proses transformasi
pengetahuan (knowledge) yang hanya dikuasai oleh sekolah (pendidikan
formal).
e. Globalisasi menjadi sebuah tantangan dan juga ancaman bagi negara-negara
dunia ke tiga. Globalisasi muncul akibat modernisasi yang dilakukan oleh
negara-negara maju.
f. Penyebab timbulnya disintegrasi karena perlakuan yang tidak adil dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada daerah-daerah yang
memiliki potensi sumber daya berlebih.

g. permasalah dan tantangan yang dihadapi oleh bangsa pada saat ini adalah
mengenai implementasi nilai nilai Pancasila, penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar, lagu kebangsaan Indonesia yang mungkin sudah sedikit
dilupakan, lambang Negara yang banyak dilupakan esensinya dan pelestarian
budaya yang ada di Indonesia.
h. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi tantangan dan permasalahn
identitas bangsa Indonesia antara lain: pemerintah mewajibkan pendidikan wajib
belajar 9 tahun sehingga warga Negara Indonesia dapat menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar, upacara bendera setiap hari senin bukan hanya
untuk kalangan pelajar namun juga pegawai sehingga lagu nasional terutama
lagu Indonesia Raya masih diingat dan dinyanyikan oleh seluruh warga Negara
Indonesia, instansi pemerintahan, perkantoran maupun pendidikan memasang
foto maupun lambang Negara Burung Garuda sehingga kita sebagai warga
Negara tetap mengingat lambang Negara kita serta tetap merayakan peringatan
upacara adat seperti ngaben di Bali, Lompat Batu di Nias, dsb.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan adalah warga Negara Indonesia termasuk
mahasiswa lebih mendalami tentang Identitas Nasional beserta ancaman dan tantangan
yang akan dihadapi. Selain itu, juga agar dapat mempertahankan Identitas Nasional
sehingga tidak mudah terpengaruh oleh Negara lain.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1995. 50 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT Citra Media Persada.
Blank, T., Schmidt, P., & Westle, B. (2001). Patriotism A Contradiction, A
Possibility, or An Empirical Strategy?. Grenole: ECPR.
Bostock, W. W., & Smith, G. W. (2001). On Measuring National Identity. Hobart: Sosial
Science Paper Publisher.
Davidov, E. (2009). Measurement Equivalence of Nationalism and Constructive
Patriotism in the ISSP: 34 Countries in a Comparative Perspective. Political
Analysis, 17, 64-82.
Gibson, S. (2003). Social Psychological Studies of National Identity: A Literature
Review. Lancaster: Lancaster University.
Hogg, M., & Abrams, D. (1988). Social Identification: A Social Psychology of
Intergroup Relations and Group Processes.London: Routledge.
Illich, Ivan. (2003). Bebaskan masyarakat dari belenggu sekolah. Terjemahan, Sonny
Keraf. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kaelan dan Zubaidi.2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta:Paradigma, Edisi
pertama.
Martin, J. & Nakayama, T. (2010). Intercultural Communication in Contexts. New York:
The MC Graw-Hill Companies Inc.

Michener, A., & Delamater, J. (1999). Social Psychology. Fourth Edition. USA:
Harcourt Brace College Publishers.
Mller-Peters, A. (1998). The Significance of National Pride and National Identity to
the Attitude Toward the Single European Currency: A EuropeWide
Comparison. Journal of Economic Psychology, 19, 701-719.
Norris,

Christopher.

2003. Membongkar

teori

dekonstruksi

Jaques

Derrida, Terjemahan. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta


Robinson, A. L. (2009). National versus Ethnic Identity in Africa: State, Group, and
Individual Level Correlates of National Identification. Berkeley: University of
California.
Smith, A. D. (1991). National Identity. London: Penguin.
Surbakti, R. (1999). Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo.
Tajfel, H. & Turner, J. C. (1986). The Social Identity Theory of Intergroup Behavior.
Dalam S. Worchel & W. G. Austin, eds. Psychology of Intergroup Relations.
Chicago, IL: Nelson-Hall.

Anda mungkin juga menyukai