Presentation 1
Presentation 1
Presentation 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekosistem lautan merupakan sistem akuatik yang terbesar di bumi ini. Salah satu bagian
dari ekosistem laut adalah kawasan intertidal (intertidal zone). Menurut Nybakken (1992)
zona intertidal merupakan daerah yang paling sempit diantara zona lautan yang lainnya. Zona
intertidal dimulai dari pasang tertinggi sampai pada surut terendah. Zona ini hanya terdapat
pada daerah pulau atau daratan yang luas dengan pantai yang landai. Semakin landai
pantainya maka zona intertidalnya semakin luas, sebaliknya semakin terjal pantainya maka
zona intertidalnya akan semakin sempit.
Akibat seringnya hempasan gelombang dan pasang surut maka daerah intertidal sangat kaya
akan oksigen. Pada tiap zona intertidal terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara satu
daerah dengan daerah yang lain. Jenis substrat di daerah intertidal ada yang berpasir dan ada
yang berbatu.
Letak zona intertidal yang dekat dengan berbagai macam aktifitas manusia dan memiliki
lingkungan dengan dinamika yang tinggi menjadikan kawasan ini sangat rentan terhadap
gangguan. Kondisi ini tentu saja akan berpengaruh terhadap segenap kehidupan di dalamnya.
Pengaruh tersebut salah satunya dapat berupa cara beradaptasi.
Ekosistem intertidal merupakan salah satu ekosistem pesisir atau lautan yang sangat
kompleks. Banyak pola interaksi antar organisme laut yang dapat ditemukan pada ekosistem
ini. Hewan yang hidup pada daerah ini harus dapat beradaptasi dengan keadaan yang ekstrim
tersebut. Dengan demikian, ekosistem intertidal sangat menarik untuk dipelajari lebih lanjut
lagi.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis dapat merincikan permasalan yang akan dibahas
yaitu:
1.
2.
3.
4.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Zona Intertidal
Daerah intertidal merupakan daerah pantai yang terletak antara pasang teringgi dan surut
terendah. Berdasarkan kondisi ingkungan, daerah intertidal merupakan zona intertidal berbatu
dan zona intertidal berpasir. Secara umum, daerah intertidal dipengaruhi oleh pasang dan
surutnya air laut, sehingga dapat dibagi menjadi tiga zona. Zona pertama merupakan zona di
atas pasang tertinggi dan garis laut yang hanya mendapat siraman air laut dari hempasan riak
gelombang dan ombak yang menerpa daerah tersebut (supratidal). Zona kedua merupakan
batas antara surut terendah dan pasang tertinggi dari garis permukaan laut (intertidal). Zona
ketiga adalah batas bawah dari surut terendah garis permukaan laut (subtidal) (Nybakken,
1992).
Sedangkan menurut McNaughton (1998), zona intertidal merupakan daerah terkecil dari
semua daerah yang terdapat di samudra dunia, merupakan pinggiran yang sempit sekali,
hanya beberapa meter luasnya, terletak di antara air tinggi dan air rendah. Walaupun luas
daerah ini sangat terbatas tetapi daerah ini memiliki variasi faktor lingkungan yang terbesar
di bandingkan dengan daerah bahari lainnya, dan variasi ini dapat terjadi pada daerah yang
hanya berbeda jarak beberapa sentimeter saja.
2.2 Faktor Faktor Pembatas di Zona Intertidal
Zona intertidal merupakan zona yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut dengan luas
area yang sempit antara daerah pasang tertinggi dan surut terendah. Pada zona ini terdapat
variasi faktor lingkungan yang cukup besar, seperti fluktuasi suhu, salinitas, kecerahan dan
lain lain. Variasi ini dapat terjadi pada daerah yang hanya berjarak sangat dekat misalnya
beberapa cm. Zona ini dihuni oleh organisme yang keseluruhannya merupakan organisme
bahari. Keragaman faktor lingkungannya dapat dilihat dari perbedaan gradient. Sejumlah
besar gradien ekologi dapat terlihat pada wilayah intertidal yang dapat berupa daerah pantai
berpasir, berbatu maupun estuari dengan substrat berlumpur. Perbedaan pada seluruh tipe
pantai ini dapat dipahami melalui parameter fisika dan biologi lingkungan yang dipusatkan
pada perubahan utamanya serta hubungan antara komponen biotik (parameter fisika-kimia
lingkungan) dan komponen abiotik (seluruh komponen makhluk atau organisme) yang
berasosiasi di dalamnya. Susunan faktor-faktor lingkungan dan kisaran yang dijumpai di zona
intertidal disebabkan karena zona ini berada di udara terbuka selama waktu tertentu dan
kebanyakan faktor fisiknya menunjukkan kisaran yang lebih besar di udara daripada di air.
Adapun faktor-faktor pembatas yang menjadi indikator di zona inertidal dapat disebutkan
sebagai berikut :
2.2.1 Lingkungan Abiotik
1. Pasang Surut
Naik turunnya permukaan laut secara periodik selama satu interval waktu disebut
pasang-surut. Pasang surut merupakan faktor lingkungan yang paling penting yang
mempengaruhi kehidupan di zona intertidal. Tanpa adanya pasang-surut atau hal-hal lain
yang menyebabkan naik turunnya permukaan air secara periodik, zona ini tidak akan seperti
itu, dan faktor-faktor lain akan kehilangan pengaruhnya. Ini diakibatkan kisaran yang luas
pada banyak faktor fisik akibat hubungan langsung yang bergantian antara keadaan terkena
udara terbuka dan keadaan yang terendam air. Jika tidak ada pasang surut, fluktuasi yang
besar ini tidak akan terjadi.
Dengan pengecualian, kebanyakan daerah pantai di dunia mengalami pasang surut. Lautlaut besar yang sangat kurang mengalami pasang surut adalah laut tengah dan laut baltik. Di
daerah ini, fluktuasi permukaan air di garis pantai terutama yang disebabkan oleh pengaruh
angin (gerakan air) yang mendorong air laut ini. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa semua
pantai mengalami kisaran atau tipe pasang surut yang sama. Penyebab terjadinya pasang
surut dan kisaran yang berbeda, sangat kompleks dan berhubungan dengan interaksi tenaga
penggerak pasang surut, matahari dan bulan, rotasi bumi, geomorfologi pasur samudra, dan
osilasi alamiah berbagai pasur samudera.
Naik turunnya muka laut dapat terjadi sekali sehari atau sering juga disebut pasang surut
diurnal, atau dua kali sehari atau disebut juga pasang surut semi diurnal. Dan ada juga yang
berperilaku diantara keduanya disebut dengan pasang surut campuran. Pada suatu perairan
pasang surut ini dapat diprediksi dengan analisa numerik sehingga pengetahuan kita tentang
ramalan pasang surut akan memudahkan pada saat kita melaksanakan penelitian di daerah
pesisir. Untuk keperluan itu diperlukan data pengukuran paling sedikit selama 15 hari, atau
selama 18.6 tahun jika ingin mendapatkan hasil prediksi dengan akurasi yang tinggi. Datadata yang didapat tersebut dapat kita uraikan menjadi komponen pasang surut, yang kita
kenal dengan komponen harmonik. Hal ini dimungkinkan karena pasang surut bersifat
sebagai gelombang, sehingga dengan mengetahui amplitudo dan perioda dari masing-masing
komponen pasur tersebut, kita dapat mensitesanya melalui penjumlahan komponen pasur
yang ada.
2. Gelombang
Di zona intertidal, gerakan ombak mempunyai pengaruh yang terbesar terhadap
organisme dan komunitas dibandingkan dengan daerah-daerah laut lainnya. Pengaruh in
terlihat nyata baik secara langsung maupun tidak langsung. Aktivitas gelombang
a)
mempengaruhi kehidupan pantai secara langsung dengan dua cara utama yaitu :
Pengaruh mekaniknya menghancurkan dan menghanyutkan benda yang terkena. Sering
terjadi penghancuran bangunan-bangunan buatan manusia yang disebabkan oleh berbagai
jenis gelombang badai dan hal ini terjadi juga di zona intertidal. Jadi mahluk apapun yang
mendiami zona ini harus beradaptasi dengan mekanisme penghancuran gelombang ini. Pada
pantai-pantai yang memilki pasir atau kerikil, kegiatan ombak yang besar dapat membongkar
substrat yang ada disekitarnya, sehingga mempengaruhi bentuk zona. Terpaan ombak dapat
menjadi pembatas bagi organisme yang tidak dapat menahan terpaan tersebut, tetapi
diperlukan bagi organisme lain yang tidak dapat hidup selain di daerah dengan ombak yang
kuat.
b) Kegiatan ombak dapat memperluas batas zona intertidal. Ini terjadi karena penghempasan air
yang lebih tinggi di pantai dibandingkan yang terjadi pada saat pasang surut yang normal.
Deburan ombak yang terus-menerus ini membuat organime laut dapat hidup di daerah yang
lebih tinggi di daerah yang terkena terpaan ombak daripada di daerah tenang pada kisaran
pasang surut yang sama. Kegiatan ombak juga mempunyai pengaruh kecil lainnya Yakni
mencampur atau mengaduk gas-gas atmosfir ke dalam air, jadi meningkatkan kandungan
oksigen sehingga daerah yang diterpa ombak tidak pernah kekurangan oksigen. Karena
interaksi dengan atmosfer terjadi secara teratur dan terjadi pembentukan gelembung serta
pengadukan substrat, penetrasi cahaya di daerah yang diterpa ombak dapat berkurang. Akan
tetapi secara ekologi hal ini tidak begitu jelas.
3. Suhu dan Salinitas
Merupakan parameter yang sangat penting apabila kita menyelidiki tentang asal-usul dari air
tersebut. Kedua parameter ini menentukan densitas air laut. Perbedaan densitas antara dua
tempat akan menhasilkan perbedaan tekanan yang kemudian memicu aliran massa air dari
tempat yang bertekanan tinggi ke tempat yang bertekanan rendah. Disamping itu, dengan
menggambungkan suhu dan salinitas dalam suatu diagram (dikenal sebagai T-S diagram) kita
dapat melacak asal-usul dari massa air tesebut.
3.1 Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh:
Radiasi surya
Posisi surya
Letak geografis, musim, dan kondisi awan
Serta proses antara air tawar dan air laut (seperti alih bahang, penguapan , hembusan angin.
3.2 Salinitas juga dipengaruhi oleh:
Lingkungan
Musim
Interaksi antara air dan udara (penguapan dan hembusan angin, percampuran antara sungai
dan laut, dan interaksi antara laut dengan daratan/gunung es)
4. Tekstur
Sifat-sifat fisik pasir yang berperan dalam ekosistem meliputi tekstur, kematangan, dan
kemapuan menahan air.
5. Air
Hal-hal penting pada air yang mempengaruhi kehidupan makhluk hidup adalah suhu air,
kadar mineral air, salinitas, arus air, penguapan, dan kedalaman air.
6. Udara
Udara merupakan lingkungan abiotik yang berupa gas. Gas itu berbentuk atmosfer yang
melingkupi makhluk hidup. Oksigen, karbon dioksida, dan nitrogen merupakan gas yang
paling penting bagi kehidupan makhluk hidup.
7. Cahaya Matahari
Cahaya matahari merupakan sumber energi utama bagi kehidupan di bumi ini. Namun
demikian, penyebara cahaya di bumi belum merata. Oleh karena itu, organisme harus
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang intensitas dan kualitas cahayanya berbeda.
8. Kecepatan Arus
Arus dapat mempengaruhi keberadaan dan distribusi organisme di suatu habitat sedimen serta
mempengaruhi kebiasaan makan meiofauna. Kelimpahan beberapa 36 meiofauna secara
negatif dipengaruhi oleh arus.
9. Derajat Keasaman (pH)
Faktor pH sedimen memiliki peranan yang tidak begitu besar dalam kehidupan organisme.
Hal ini disebabkan oleh nilai pH air laut yang cukup tinggi sekitar 7.58.8 dapat berperan
sebagai penyangga (buffer) yang dapat mencegah terjadinya perubahan pH yang terlalu besar.
10. Kedalaman
Kedalaman perairan mempengaruhi jumlah dan jenis hewan. Secara teori dikatakan bahwa
perbedaan variasi dari jumlah spesies antara kedalaman 0,2-4 meter adalah kecil. Secara tidak
langsung kecerahan perairan juga akan mempengaruhi komunitas di perairan.
2.2.2 Biotik
1. Jumlah Predator
Aktivitas pemangsaan dapat menyebabkan hilangnya meiofauna dari suatu daerah yang
sempit dan menyebabkan gangguan yang dapat diikuti oleh suatu rangkaian pembentukan
kembali suatu koloni. Hal ini menyebabkan terjadinya distribusi yang tidak merata di
sedimen. Kelimpahan meiofauna dekat batas antara sedimen-air meningkat bilamana tidak
hadirnya predator. Berkurangnya tekanan predasi ini menyebabkan mikrofitobentos dan
stabilitas sedimen meningkat.
2. Struktur Umur
Sebaran umur dalam populasi akan sangat mempengaruhi natalitas dan mortalitas yang
pada akhirnya berpengaruh terhadap densitas populasi. Data struktur umur dari populasi
biasanya disajikan dalam bentuk piramida umur (Odum, 1996)
2.3 Jenis Organisme di Zona Intertidal
Pada zona intertidal, pasang-surut yang terjadi pada siang hari atau malam hari memiliki
pengaruh yang berbeda terhadap organisme. Surut pada malam hari menyebabkan daerah
intertidal berada dalam kondisi udara terbuka dengan kisaran suhu relatif lebih rendah jika
dibanding dengan daerah yang mengalami surut pada saat siang hari. Pengaruh pasang-surut
yang lain adalah karena biasanya terjadi secara periodik maka pasang-surut cenderung
membentuk irama tertentu dalam kegiatan organisme pantai, misalnya irama memijah,
mencari makan atau aktivitas organisme lainnya. Pengaruh pasang-surut terhadap organisme
dan komunitas zona intertidal paling jelas adalah kondisi yang menyebabkan daerah intertidal
terkena udara terbuka secara periodik dengan kisaran parameter fisik yang cukup lebar.
Organisme intertidal perlu kemampuan adaptasi agar dapat menempati daerah ini.
2.3.1 Biota di daerah zona intertidal
Keragaman faktor lingkungannya dapat dilihat dari perbedaan faktor lingkungan secara
fisik , yang mempengaruhi terbentuknya tipe atau karakteristik komunitas biota serta
habitatnya. Sebagian besar gradien ekologi dapat terlihat pada wilayah intertidal yang dapat
berupa daerah pantai berpasir, berbatu maupun estuari dengan substrat berlumpur. Perbedaan
pada seluruh tipe pantai ini dapat dipahami melalui parameter fisika dan biologi lingkungan
yang dipusatkan pada perubahan utamanya serta hubungan antara komponen biotik
(parameter fisika - kimia lingkungan) dan komponen abiotik (seluruh komponen makhluk
atau organisme) yang berasosiasi di dalamnya.
Biota pada ekosistem pantai berbatu adalah salah satu daerah ekologi yang paling
familiar, habitat dan interaksinya sudah diketahui oleh ilmuan, penelitian diadakan di pulau
Cruger yang pantai utaranya merupakan ( freshwater ) air tawar dan berbatu. Fauna pada
pantai berbatu pulau cruger berkarakteristik dominan pada binatang air tawar. Sebagian besar
Pantai berbatu
Alga yang menjalar
Pantai berpasir
Scylla olivacea,
zone
Pantai berlumpur
nematoda dan
oligochaetes
cacing kecil,
Scylla paramamosain
dimana Scylla
Middle
Bernakel, Kerang
olivacea
Scaphopoda (keong
Harpacticoid copepoda
zone
gading), Crustacea,
mystacocarid,
Cacing policaeta,
nematoda, oligochaetes
dan turbelaria
Mytilus edulis,
crustacea,nekton
baronang, botana,
Kepe coklat,kepe
monyong zebra,
(Ophiura), bulu
kambingan, Kerapu
babi(stongylocentrotus, nekton
layar,dll
Biota yang ada di daerah zona intertidal didukung oleh adanya penelitian-penelitian
seperti, penelitian pertama dilakukan oleh Dayton (1975), Dia menemukan kelompok
dominan seperti Hedophyllum sessile, Laminaria setchelli, dan Lessionopsis littolaris,
semuanya tumbuh lebat dan menyaingi beberapa spesies yang lebih kecil di daerah intertidal
bawah. Spesies yang lebih kecil itu biasanya merupakan spesies yang dapat tumbuh cepat dan
dapat membentuk koloni dengan cepat di tempat yang terbuka. Penelitian kedua dilakukan
oleh Vadas yang menemukan bahwa kelompok raksasa Nereocystis menyaingi dan menutup
alga cokelat Agarum. Di pantai New England, penelitian yang sama dilakukan oleh
Lubchenko (1978) yang menunjukkan bahwa Entomorpha intestinalis merupakan
kompetitior ruang yang dominan.
2.3.2 Pola adaptasi organisme di daerah zona intertidal
Bentuk adaptasi adalah mengcakup adaptasi struktural, adaptasi fisiologi, dan adaptasi
tingkah laku. Adaptasi struktural merupakan cara hidup untuk menyesuaikan dirinya dengan
mengembangkan struktur tubuh atau alat-alat tubuh ke arah yang lebih sesuai dengan keadaan
lingkungan dan keperluan hidup.
Adaptasi fisiologi adalah cara makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan dengan cara penyesuian proses-proses fisiologis dalam tubuhnya. Adaptasi
tingkah laku adalah respons-respon hewan terhadap kondisi lingkungan dalam bentuk
perubahan tingkah laku. Organisme intertidal memilki kemampuan untuk beradaptasi dengan
kondisi lingkungan yang dapat berubah secara signifikan, pola tersebut meliputi :
a) Daya Tahan terhadap Kehilangan air
Organisme laut berpindah dari air ke udara terbuka, mereka mulai kehilangan air. Mekanisme
yang sederhana untuk menghindari kehilangan air terlihat pada hewan-hewan yang bergerak
seperti kepiting dan anemon.
b) Pemeliharaan Keseimbangan Panas
Organisme intertidal juga mengalami keterbukaan terhadap suhu panas
dan dingin yang ekstrim dan memperlihatkan adaptasi tingkah laku dan
struktur tubuh untuk menjaga keseimbangan panas internal.
c) Tekanan mekanik
Gerakan ombak mempunyai pengaruh yang berbeda, pada pantai berbatu
dan pada pantai
air
tawar
yang
dapat
Oleh karena itu, setiap makhlik hidup terdiri atas materi yang juga merupakan bagian dari
bumi ini. Hampir 30 sampai 40 unsur diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan
organisme. Di antaranya yang terpenting adalah: C, H, O, N, S, P, K, Ca, Fe, Mg, B, Zn, Cl,
Mo, Co, I, dan F. Unsur-unsur ini mengalir dari komponen abiotik ke biotik dan kembali lagi
ke komponen abiotik. Proses ini dikenal dengan siklus biogeokimia atau siklus organikanorganik. Siklus unsur-unsur ini tidak hanya melalui organisme saja tetapi juga diikuti
reaksi-reaksi kimia dalam lingkungan abiotik. Siklus biogeokimia ada tiga jenis, yaitu siklus
hidrologi, siklus udara, dan siklus endapan.
1. Siklus Hidrologi
Air merupakan bagian yang cukup besar dari tubuh mahluk hidup. Proses-proses yang
berlangsung pada tubuh mahluk hidup memerlukan air sebagai medium, oleh karena itu tanpa
air maka tidak ada kehidupan. Pertukaran atmosfer, daratan, laut, dan antara organisme
dengan lingkungannya berlangsung melalui siklus air. Siklus air melibatkan proses evaporasi,
transpirasi, pembentukan awan, presipitasi, kondensasi dan aliran air permukaan Evaporasi
sangat penting untuk kelembaban atmosfir dan kelembaban ini penting untuk pembentukan
awan dan presipitasi. Air yang sampai dipermukaan bumi dari atmosfer terjadi melalui proses
presipitasi dan kondensasi berupa hujan atau salju. Sebaliknya air yang dari permukaan bumi
mencapai atmosfer melalui proses evaporasi dan transpirasi. Jumlah air yang tersedia untuk
evaporasi ditentukan oleh jumlah yang diberikan oleh proses presipitasi dan kondensasi. Air
yang jatuh ke permukaan bumi dapat langsung ke laut dan daratan. Di daratan air mengalir
melalui parit, danau, saluran-saluran di bawah tanah terus ke sungai dan akhirnya ke laut,
selama perjalanan ini air menguap melalui atmosfir. Tumbuhan darat dan hewan darat
memperoleh air selama air ada di perjalanan dengan cara mengisap dan meminumnya.
Sedangkan hewan dan tumbuhan darat melepaskan air ke atmosfir melalui proses pernafasan,
penguapan, dan paling banyak pada hewan sewaktu hewan membuang kotorannya.
2. Siklus Udara
a) Siklus Oksigen
Oksigen ditemukan dalam keadaan bebas di atmosfir dan terlarut didalam air, oksigen
dilepaskan sebagai hasil tambahan pada proses fotosintesis dan digunakan pada proses
respirasi oleh semua tumbuhan dan binatang. Sewaktu organisme hidup bernafas, CO 2
dilepaskan dan akan digunakan oleh tumbuhan hijau sebagai bahan mentah untuk sintesis
karbohidrat pada proses fotosintesis. Dengan cara ini O2 pada ekosistem dapat dipelihara.
b) Siklus Karbon
Karbon merupakan unsur penyusun semua senyawa organik. Selama transfer energi di dalam
konsumsi makanan berupa karbohidrat dan lemak, pergerakan karbon menuju ekosistem
bersama dengan aliran energi. Sumber karbon untuk organisme hidup adalah CO 2 yang
ditemukan baik dalam keadaan bebas di atmosfir maupun terlarut di dalam air dan lapisan
bumi. Tumbuh-tumbuhan menggunakan CO2 untuk membentuk karbohidrat pada proses
fotosintesis. Demikian juga lemak dan polisakarida dibentuk oleh tumbuh-tumbuhan yang
akan di gunakan oleh hewan herbivora. Karnivora yang memakan herbivora mengubah
senyawa karbon menjadi bentuk lain. Karbon dilepaskan ke atmosfir secara langsung berupa
CO2 dari respirasi tumbuh-tumbuhan dan hewan. Bakteri dan jamur memecah senyawa
organik kompleks dari sisa tumbuh-tunbuhan dan binatang mati menjadi senyawa sederhana
yang akan berfungsi untuk siklus lain. Karbon organik juga terdapat pada kerak bumi berupa
batu bara gas alam, minyak, batu kapur, dan karang. Karbon tersebut akan dibebaskan setelah
periode waktu yang lama.
c) Siklus Nitrogen
Nitrogen sangat penting untuk pertumbuhan tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan memperoleh
nitrogen didalam tanah berupa ammoniaum, ion nitrit (NO2-) dan nitrat (NO3-). Sumber
nitrogen yang paling penting untuk tumbuhan hijau adalah nitrogen yang difiksasi oleh
bakteri nitrogen. Beberapa bakteri yang memfiksasi nitrogen terdapat pada bintil (nodule)
akar Leguminosae dan tumbuhan lain serta ditemukan bebas di dalam tanah. Nitrogen
diambil dari udara secara langsung oleh bakteri nitrogen oleh bintil akar yaitu oleh bakteri
Rhizobium, atau oleh bakteri aerob yang tumbuh bebas yaitu Azotobacter atau oleh bakteri
tanah yang anaerob yaitu Clostridium. Bakteri-bakteri ini menyediakan nitrogen yang
berguna untuk tumbuh-tumbuhan. Beberapa ganggang biru seperti Nostoc dan anabaena juga
mampu memfiksasi nitrogen. Jika nitrogen yang diserap berupa nitrat akan direduksi menjadi
amonia sebelum digunakan untuk sintesis asam amino dan protein. Penguraian jaringan yang
telah mati oleh bakteri pembusuk menghasilkan senyawa ammonia dari protein dan senyawa
lainnya seperti asan nukleat. Bakteri Nitrosomonas mengoksidari ammonia menjadi nitrit dan
Nitrobakter mengoksidasi nitrit menjadi nitrat (nitrifikasi). Ammonia dapat diubah secara
langsung menjadi nitrogen bebas oleh bakteri denitrifikasi, sampah metabolisme senyawa
nitrogen pada hewan dikeluarka berupa urea atu senyawa nitrogen yang lainnya. Dengan cara
diatas siklus nitrogen berulang didalam ekosistem.
3. Siklus Sendimen
Unsur-unsur mineral yang diperlukan organisme diperoleh dari sumber-sumber
anorganik, sumber ini biasanya terlarut didalam air mineral. Garam-garam mineral secara
langsung berasal dari kerak bumi. Garam-garam yang larut mengikuti siklus air, dan dengan
pergerakan air mineral beredar dari tanah menuju aliran air, danau, dan terakhir sampai
tinggal di laut secata tetap. Garam-garam lain kembali menjadi kerak bumi melalui proses
sedimentasi. Tumbuhan dan binatang mengambil mineral dari mineral terlarut dari
habitatnya. Bila organisme itu mati maka mineralnya akan kembali ke tanah dan air akibat
kerja pengurai atau dekomposer (bakteri dan jamur) dan transformer. Tumbuhan hijau dan
pengurai memegang peranan penting di dalam sirkulasi nutrien. Mineral fosfor, kalsium dan
mineral lainnya berada di laut dalam keadaan terlarut, kemudian terjadi proses sedimentasi.
Pada tekanan kdeposet sedimen ini, nutrien tersimpan untuk waktu yang tidak terbatas dan
dalam keadaan ini mineral itu terpisah dari jalur siklus. Bila sedimen ini hancur karena
pengaruh iklim, maka mineral itu akan terbaskan kembali untuk menuju siklus lagi. Siklus
nutrien bukan merupakan siklus yang tertutupi di dalam ekosistem. Jumlah nutrien yang
tersedia untuk tumbuhan pada suatu ekosistem dibawa oleh hujan dan salju. Nutrien pada
ekosistem berasal dari proses presipitasi. Pengendapan materi-materi di dalam ekosistem itu
dan mineral yang dilepaskan karena proses pemecahan akibat pengaruh cuaca. Aliran air dari
hutan mengandung bahan mineral yang lebuh banyak di banding mineral yang dibawa
mwlalui proses sedimentasi. Nutrien di hutan tersimpan pada tumbuhan dan lapisan humus.
Bila tumbuhan di pindahkan maka sejumlah nutrien iku terbawa. Ekosistem, hanya akan tetap
produktif jika nutrien ada dalam keadaan seimbang (Sudarmaji, 2012).
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut:
Zona intertidal adalah zona litoral yang secara reguler terkena pasang
surut air laut, tingginya adalah dari pasang tertinggi hingga pasang
terendah. Di dalam wilayah intertidal terbentuk banyak tebing-tebing,
cerukan, dan gua, yang merupakan habitat yang sangat mengakomodasi
organisme sedimenter. Morfologi di zona intertidal ini mencakup tebing
berbatu, pantai pasir, dan tanah basah / wetlands.
Zona intertidal secara bergantian tertutup oleh laut dan terkena udara, sehingga organisme
yang hidup di lingkungan ini harus memiliki adaptasi baik untuk kondisi basah dan kering.
Bahaya termasuk menjadi hancur atau terbawa oleh gelombang kasar, paparan suhu sangat
tinggi, dan pengeringan. Bentuk
adaptasi
struktural,
dan
adaptasi
fisiologi,
adalah
adaptasi
mengcakup
tingkah
laku.
adaptasi
Adaptasi
DAFTAR PUSTAKA
Hutabarat, S. 2008. Pengantar Oseanograf. Jakarta: Universitas Indonesia.
Juwana, Sri . 2007. Biologi Laut. Jakarta: Djambatan.
Mukayat, D. Brotowidjoyo. 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Yogyakarta:
Liberty.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Odum. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: Universitas Gadja Mada.
Sudarmadji. 2012. Pengenalan Ekologi. Jember: Yayasan Alam Lestari.