Analisa Bentuk Fragmen Batuan
Analisa Bentuk Fragmen Batuan
Analisa Bentuk Fragmen Batuan
Boggs (1987, 1992) dan yang lainnya, morfologi butir merupakan aspek tekstur sedimen yang
utama dimana biasanya dibicarakan setelah membahas ukuran butir dan aspek yang terkait
dengannya terutama adalah sortasi sedimen atau batuan sedimen.
Tucker (1991) menyatakan bahwa aspek morfologi butir adalah bentuk (form), derajat
kebolaan (sphericity) clan derajat kebundaran (roundness). Sementara itu, Pettijohn (1975) dan
Boggs (1992) menekankan bahwa aspek morfologi luar suatu butir meliputi bentuk (form),
kebundaran (roundness) dan tekstur permukaan. Mereka menganggap bahwa sphericity adalah
metoda untuk menyatakan suatu bentuk (form) butiran. Pada pengamatan tekstur butir secara
megaskopis dan mikrospokis, aspek bentuk, derajat kebolaan dan derajat kebundaraan
merupakan morfologi butiran yang biasa dilakukan oleh kebanyakan ahli sedimentologi.
Sementara itu analisa pada tekstur permukaan butir masih jarang dilakukan. Pengamatan tekstur
permukaan butir biasanya mengacu pada kenampakan relief mikro permukaan butir, sehingga
memerlukan peralatan khusus untuk mengamatinya. Sejauh ini, kebanyakan tekstur butiran yang
diamati adalah pada butiran kuarsa (lihat Boggs, 1992) dengan alat SEM (scanning electron
microscope) untuk mengamati karakteristik butiran kuarsa pada berbagai lingkungan
pengendapan.
Bentuk Butir
Bentuk butir (form atau shape) merupakan keseluruhan kenampakan partikel secara tiga
dimensi yang berkaitan dengan perbandingan antara ukuran panjang sumbu panjang, menengah
dan pendeknya. Ada berbagai cara untuk mendefinisikan bentuk butir. Cara yang paling
sederhana dikenalkan oleh Zingg (1935) dengan cara menggunakan perbandingan b/a dan c/b
untuk mengelaskan butir dalam empat bentuk yaitu oblate, prolate, bladed clan equant (Gambar
1, Tabel 1). Dalam hal ini, a : panjang (sumbu terpanjang), b : lebar (sumbu menengah) dan c :
tebal/tinggi (sumbu terpendek). Sejauh ini penamaan butir dalam bahasa Indonesia belum
dibakukan sehingga seringkali penggunaan istilah asal tersebut masih dikekalkan. Pengkelasan
bentuk butir ini biasanya diperuntukkan pada butiran yang berukuran kerakal sampai berangkal
(pebble) karena kisaran ukuran tersebut memungkinkan untuk dilakukan pengukuran secara tiga
dimensi karena keterbatasan alat dan cara yang harus dilakukan, terutama pada bongkah dengan
diameter yang mencapai puluhan sampai ratusan centimeter. Pada butir pasir yang bisa diamati
secara tiga dimensi, pendekatan secara kualitatif (misalnya dengan metode visual comparison)
bisa juga dilakukan untuk mendefinisikan bentuk butir meskipun tingkat akurasinya rendah.
b/a
>2/3
> 2/3
< 2/3
< 2/3
c/b
< 2/3
> 2/3
< 2/3
> 2/3
Bentuk
Oblate (Discoidal)
Equant (Equiaxial/spherical)
Bladed (Triaxial)
Prolate (Rod-shaped)
Sphericity
Sphericity ( W ) didefinisikan secara sederhana sebagai ukuran bagaimana suatu butiran
mendekati bentuk bola. Semakin butiran berbentuk menyerupai bola maka mempunyai nilai
sphericity yang semakin tinggi. Wadell (1932) mendefinisikan sphericity yang sebenarnya (true
sphericity) sebagai luas permukaan butir dibagi dengan luas permukaan sebuah bola yang
keduanya mempunyai volume sama. Lewis & McConchie (1994) mengatakan bahwa rumusan
ini sangat sulit untuk dipraktekkan. Sebagai pendekatan, perbandingan luas permukaan tersebut
dianggap sebanding dengan perbandingan volume, sehingga rumus sphericity menurut Wadell
(1932) adalah :
(circumscribing sphere)
Krumbein (1941) kemudian menyempurnakan persamaan tersebut dengan :
Rumus yang diajukan Krumbein (1941) ini disebut dengan intercept sphericity (WI) yang dapat
dihitung dengan mengukur sumbu-sumbu panjang, menengah dan pendek suatu partikel dan
memasukkan pada rumus tersebut. Sneed & Folk (1958) menganggap bahwa intercept sphericity
tidak dapat secara tepat menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan. Butiran yang dapat
diproyeksikan secara maksimum mestinya diendapkan lebih cepat, misalnya bentuk prolate
seharusnya lebih cepat mengendap dibandingkan oblate, tetapi dengan rumus W, justru
didapatkan nilai yang terbalik. Untuk itu mereka mengusulkan rumusan tersendiri pada
sphericity yang dikenal dengan maximum projection sphericity (Vp) atau sphericity proyeksi
maksimum. Secara matematis Wp dirumuskan sebagai perbandingan antara area proyeksi
maksimum bola dengan proyeksi maksimum partikel yang mempunyai volume sama, atau secara
ringkas dapat ditulis dengan:
Dalam hal ini L, I dan S adalah sumbu-sumbu panjang, menengah dan pendek sebagaimana
dalam rumus Krumbein (1941). Menurut Boggs (1987), pada prinsipnya rumus yang diajukan
oleh Sneed & Folk (1958) ini tidak lebih valid dibandingkan dengan intercept sphericity,
terutama kalau diaplikasikan pada sedimen yang diendapkan oleh aliran gravitasi dan es.
Dengan tanpa mempertimbangkan bagaimana sphericity dihitung, Boggs (1987) menyatakan
bahwa hasil perhitungan sphericity yang sama terkadang dapat diperoleh pada semua bentuk
butir. Gambar 2 menunjukkan bahwa partikel dengan bentuk yang berbeda bisa mempunyai nilai
sphericity yang sama. Untuk mendefinisikan sphericity dari hitungan matematis, Folk (1968)
mengelaskan sphericity dalam 7 kelas sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2.
Bentuk butir ukuran kerakal atau yang lebih besar dipengaruhi oleh bentuk asalnya dari batuan
cumber, namun demikian butiran dengan ukuran ini akan lebih banyak mengalami perubahan
bentuk karena abrasi dan pemecahan selama transportasi dibandingkan dengan butiran yang
berukuran pasir. Untuk butiran sedimen yang berukuran pasir atau lebih kecil, bentuk butir juga
lebih banyak dipengaruhi oleh bentuk asal mineralnya. Pada prakteknya, analisis bentuk butir
pada sedimen yang berukuran pasir biasanya dilakukan pada mineral kuarsa. Hal ini disebabkan
sifat mineral kuarsa yang keras, tahan terhadap pelapukan, clan jumlahnya yang melimpah pada
batuan sedimen. Namun demikian, untuk membuat perbandingan bentuk butiran setelah
mengalami transportasi, pengamatan bentuk butir pada mineral lain maupun fragmen batuan
(lithic) boleh juga dilakukan.
Gambar 2. Hubungan antara sphericity matematis dengan bentuk butir klasifikasi Zingg (kelas butir
lihat gambar 1). Kurva menunjukkan kesamaan nilai sphericity. (Pettijohn, 1975).
Tabel 2. Klasifikasi sphericity menurut Folk (1968).
Hitungan Matematis
<0.75
0.60-0.63
0.63-0.66
0.66-0.69
0.69-0.72
0.72-0.75
>0.75
Kelas
Very Elongate
Elongate
Subelongate
Intermediete Shape
Subequent
Equent
Very Equent
Bentuk butir akan berpengaruh pada kecepatan pengendapan (settling velocity). Secara umum
batuan yang bentuknya tidak spheris (tidak menyerupai bola) mempunyai kecepatan
pengendapan yang lebih rendah. Dengan demikian bentuk butir akan mempengaruhi tingkat
transportasinya pads sistem suspensi (Boggs, 1987). Butiran yang tidak spheris cenderung
tertahan iebih lama pads media suspensi dibandingkan yang spheris. Bentuk jugs berpengaruh
pads transportasi sedimen secara bedlood (traksi). Secara umum butiran yang spheris clan
prolate lebih mudah tertransport dibandingKan bentuk blade clan disc (oblate). Lebih jauh
analisis sedimen berdasarkan butiran saja sulit untuk dilakukan. Sebagai contoh, Boggs (1987)
menyatakan bahwa dari pengamatan bentuk butir saja tidak dapat digunakan untuk menafsirkan
suatu lingkungan pengendapan.
Roundness
Roundness merupakan morfologi butir yang berkaitan dengan ketajaman pinggir dan sudut suatu
partikel sedimen klastik. Secara matematis, Wadell (1932) mendefinisikan roundness Sebagai
rata-rata aritmetik roundness masing-masing sudut butiran pada bidang pengukuran. Roundness
masing-masing sudut diukur dengan membandingkan jari-jari lengkungan sudut tersebut dengan
jari-jari lingkaran maksimum yang dapat dimasukkan pada butiran tersebut (Gambar 3).
Gambar 3. Ilustrasi pengukuran jari-jari lingkaran maksimum pada butiran (R) dan jari-jari
lengkungan pada sudut butiran. (Boggs, 1987 dengan modifikasi)
Rumusannya :
r : jari-jari lingkaran kecil,
R : jari-jari lingkaran maksimum,
N : banyaknya sudut.
Menurut Folk (1968) pengukuran sudut-sudut tersebut hampir tidak mungkin bisa dipraktekkan,
sedangkan Boggs (1987) menegaskan bahwa cara tersebut memerlukan waktu yang banyak
untuk kerja di laboratorium dengan harus dibantu alat circular protractor atau electronic
particle-size analyzer. Untuk mengatasi hal tersebut, maka penentuan roundness butiran adalah
dengan membandingkan kenampakan (visual comparison) antara kerakal atau butir pasir dengan
tabel visual secara sketsa (Krumbein, 1941) dan/atau tabel visual foto (Powers, 1953). Kedua
tabel tersebut disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4. sedangkan Tabel 3 menunjukkan kelas
roundness menurut Wadell (1932) dan korelasinya pada visual Powers (1953).
Visual Kelas
(Powers, 1953)
Very angular
0,17 0,25
Angular
0,25 0,35
Subangular
0,35 0,49
Subrounded
0,49 0,70
Rounded
0,70 1,00
Well rounded
Roundness butiran pada endapan sedimen ditentukan oleh komposisi butiran, ukuran butir,
proses transportasi dan jarak transportnya (Boggs, 1987). Butiran dengan sifat fisik keras dan
resisten seperti kuarsa dan zircon lebih sulit membulat selama proses transport dibandingkan
butiran yang kurang keras seperti feldspar dan piroksen. Butiran dengan ukuran kerikil sampai
berangkal biasanya lebih mudah membulat dibandingkan butiran pasir. Sementara itu mineral
yang resisten dengan ukuran butir lebih kecil 0.05-0.1 mm tidak menunjukkan perubahan
roundness oleh semua jenis transport sedimen (Boggs, 1987). Berdasarkan hal tersebut, maka
perlu diperhatikan untuk melakukan pengamatan roundness pada batuan atau mineral yang sama
dan kisaran butir yang sama besar.
Sumber :
Boggs, S. Jr., 1992, Petrology of Sedimentary Rocks, Mac-millan Publishing Company, New
York.
Lewis. D. W, 1983, Practical Sedimentology, P 65-67, Van Nostrand Reinhold Company Inc,
New York.
Pettijohn, FJ, Potter, PE, and Siever, R, 1987, Sand and Sandstone, second edition, Springer
Verlag, New York.
Surjono, Sugeng S., 2008, Panduan Praktikum Sedimentologi, Jurusan Teknik Geologi FT UGM,
Yogyakarta.
Tucker M.E, 1991, Sedimentary Petrology : An Introduction to the Origin of Sedimentary Rocks;
2nd, Blackwell Scientific Publisher, USA.
http://www.geomacnews.com/2014/03/morfologi-butir-sedimen-ketika-bentuk.html