Salinitas 3
Salinitas 3
Salinitas 3
Djukri
Abstrak
Makalah ini merupakan kajian pustaka masalah salinitas yang terdapat di
permukaan bumi. Tanah salin tersebar hampir di seluruh permukaan bumi ini, namun
yang terbesar terdapat di daerah pasang surut. Kondisi tanah salin seperti ini merupakan
cekaman bagi tanaman yang tidak toleran. Berbagai jenis tanaman mempunyai daya
tahan yang berbeda dalam menghadapi kondisi salin dimana tanaman tumbuh, sehingga
pengaruhnya terhadap berbagai aktivitas kehidupan yang terkait dengan pertumbuhan
juga bervariasi. Pengaruh yang bervariasi tersebut karena akibat dari cara adaptasi
tanaman yang berbeda-beda. Cara adaptasi yang dilakukan tanaman agar mampu
bertahan hidup pada lahan dalam kondisi salin secara umum ada dua macam yaitu
penghindaran (avoidance) dan toleran (tolerance). Secara umum pertumbuhan tanaman
akan mengalami gangguan bila menghadapi lingkungan dengan kondisi salin, kecuali
bagi tanaman yang toleran. Pengaruh yang ditimbulkan oleh kondisi salin tersebut
karena efek dari Na+ dan Cl-. Efek dari kedua ion tersebut akan berakibat buruk bagi
pertumbuhan bahkan fatal bagi tanaman yang peka.
PENDAHULUAN
Tanah salin di dunia meliputi salt marshes di zona temperate, dan daerah pasang surut
(mangrove swamps) di daerah subtropik dan tropic. Ditaksir antara 400-900 juta ha lahan di dunia
mempunyai problema salinitas. Tanah salin sangat banyak terdapat di daerah yang curah hujannya
tidak mencukupi untuk pencucian (leaching). Problem salinitas terjadi pada daerah non irigasi
sebagai akibat dari evaporasi dan transpirasi dari air bumi yang berkadar garam tinggi atau akibat
dari input garam dari curah hujan (Didy Sopandie, 1998).
Tanah tergolong salin bila mengandung garam dalam jumlah yang cukup untuk
mengganggu pertumbuhan kebanyakan spesies tanaman. Akan tetapi ini bukan merupakan jumlah
yang tepat karena akan tergantung kepada spesies tanaman, tekstur tanah dan kandungan air tanah,
seta komposisi garamnya sendiri. Sesuai dengan definisi yang dipakai oleh US Salinity
Laboratory bahwa ekstrak jenuh (larutan yang diekstraksi dari tanah pada kondisi jenuh air) dari
tanah salin mempunyai nilai DHL (daya hantar listrik, EC= electrical conductivity) lebih besar dari
4 deci Siemens/m (ekivalen dengan 40 mM NaCl) dan persentase natrium yang dapat dirukar
(ESP= exchangeable sodium percentage) kurang dari 15.
Walaupun pH tanah salin bisa bervariasi dalam selang yang lebar, namun kebanyakan
mendekati netral atau sedikit alkali. Tanah salin dengan nilai ESP> 15 disebut sebagai tanah salin-
alkali, mempunyai pH yang tinggi dan cenderung menjadi sedikit impermiabel terhadap air dan
aerasi ketika garam-garam terlarut mengalami pencucian.
Pengukuran kecocokan tanah salin untuk produksi tanaman dapat dilakukan secara cepat
dan sederhana dengan melihat nilai EC. Dari nilai EC, potensial osmotic dari ekstrak jenuh dapat
juga dihitung dengan persamaan osmotic potensial =EC x 0,036. Karena nilai EC diukur pada
ekstrak tanah dalam keadaan jenuh, konsentrasi garam pada larutan tanah pada kapasitas lapang
sebenarnya mendekati dua kali dari kondisi jenuh, atau bahkan lebih tinggi bila kadar air tanah
turun. Sebagai perbandingan, EC air laut berkisar antara 44-55 dS/m, sedangkan kualitas air irigasi
yang baik harus mempunyai EC < 2 dS/m.
Tanaman memiliki kemampuan menanggapi factor lingkungan seperti halnya kelompok
organisme lain.Tanggapan tersebut muncul akibat adanya cekaman lingkungan yang dapat
B-49
Djukri/Cekaman Salinitas Terhadap.
KAJIAN TEORI
Peran Na+ dan Cl- dalam Tumbuhan
NaCl merupakan garam utama yang terkandung dalam tanah salin. Pada lahan semacam ini
kadar NaCl berkisar antara 2-6 %. NaCl jika dilarutkan dalam air akan berdisosiasi menjadi ion-ion
penyusunnya yaitu Na+ dan Cl-. Natrium merupakan unsure alkali yang sangat reaktif sehingga
tidak dijumpai sebagai unsure bebas di alam. Atom monovalen ini memiliki energi ionisasi kecil
sehingga sangat mudah untuk membentuk senyawa dengan unsure-unsur yang memiliki daya
elektro negative besar, misalnya dengan unsure-unsur halogen (Tan, 1991 dan Harborne,1982).
Klorin juga sangat reaktif dan tidak dijumpai sebagai unsure bebas di alam. Unsur golongan
halogen ini memiliki daya kelektronegatifan besar sehingga sangat mudah bereaksi dengan logam
alkali. Itulah sebabnya mengapa kedua unsure ini biasanya ditemui sebagai senyawa NaCl (Suharto
dkk, 1997).
Besarnya kadar NaCl dalam tanah dapat terjadi karena tingginya masukan air yang
mengandung garam atau karena mengalami tingkat evaporasi yang melebihi presipitasi. Hal ini
berarti tanah salin tidak hanya ditemukan pada kawasan pantai semata, tetapi juga pada kawasan
kering dengan curah hujan yang rendah (Fitter dan Hay, 1991). Klorin diserap dari tanah sebagai
ion klorida (Cl-) dan sebagian besar tetap dalam bentuk ini apabila sudah berada dalam jaringan
tumbuhan (Bidwell,1979). Kebanyakan spesies tumbuhan menyerap Cl- 10-100 kali lebih banyak
dari yang mereka butuhkan. Unsur ini tergolong unsure mikro yang memiliki peran esensial bagi
kehidupan tumbuhan, konsentrasinya hanya sekitar 100 mg/kg jaringan kering (Salisbury dan
Ross,1995).
Rains (Bonner dan Varner, 1976) menyatakan bahwa Cl- mempunyai fungsi utama dalam
reaksi fotosintesis. Ion klor ini bertugas sebagai pemicu oksidasi pada fotosistem II. Cl- bersama
K+ juga dianggap bertanggung jawab pada aktivitas pembukaan stomata saat kondisi ada cahaya.
K+ dan Cl- bergeak menuju sel-sel penjaga dalam waktu yang relative cepat setelah adanya cahaya,
sehingga air segera masuk ke dalam sel akibat perbedaan potensial osmotic. Disamping itu Cl- juga
penting bagi akar dan pada pembelahan sel daun.
Natrium bukan merupakan unsure hara yang esensial bagi sebagian besar spesies
tumbuhan. Unsur ini hanya esensial bagi tumbuhan halofit serta tumbuhan C4 (Bidwell, 1979 ;
Salisbury dan Ross, 1995). Menurut Rains (Bonner dan Varner, 1976). Tumbuhan halofit Atriplex
vesicaria akan mati dalam 35 hari jika ditumbuhkan dalam medium yang mengandung Na+ kurang
dari 0,0016 ppm. Na+ juga penting untuk fiksasi karbon pada tanaman C4. Pemasukan Na+ pada
kondisi salin akan mengubah lintasan fotosintesis dari C3 menuju C4. Hal tersebut juga terjadi
pada jagung di mana Na+ berpengaruh pada keseimbangan antara enzim fosfo enol piruvat
karboksilase dan riboluse bifosfat karboksilase.
B-50
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA,
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009
Kondisi yang membahayakan bahkan dapat menyebabkan kematian tersebut akan memacu
tumbuhan untuk beradaptasi demi meningkatkan ketahanannya. Adaptasi itu dapat ditunjukkan
dengan terbentuknya molekul-molekul tertentu di dalam sel, seperti prolin dan berbagai asam
amino bebas lainnya, yang berperan dalam peningkatan ketahanan terhadap cekaman garam.
Tanggapan tersebut bervariasi tergantung spesies tumbuhan, derajat dan lamnya cekaman
(Rachmawati, 2000). Untuk pertumbuhan tanaman, nilai EC (electrical conductivity) pada ekstrak
tanah jenuh dinilai sebagai indicator yang belum tepat karena (1) konsentrasi actual garam pada
permukaan akar dapat jauh lebih tinggi disbanding tanah di sekitarnya, dan (2) karakter EC hanya
dari kandungan garam total, bukan menunjuk pada komposisinya. Walaupun NaCl yang dominant,
garam yang lainpun mungkin dalam konsentrasi tinggi dan dengan komposisi yang beragam
tergantung pada asal dari air salin itu dan kelarutannya.
Kendala utama pertumbuhan tanaman pada kondisi kadar garam tinggi ada tiga hal yaitu
(1) deficit air (stress air) yang ditimbulkan oleh rendahnya (lebih negative) potensial air dari media
tumbuh, (2) toksisitas ion akibat serapan berlebih ion natrium dan klorida, (3) ketidak seimbangan
nutrisi akibat inhibisi dari serapan ion dan atau transport ke pucuk serta ketidaksesuaian distribusi
mineral nutrisi pada internal, terutama kalsium. Sangat sulit untuk melihat kontribusi relatif dari
ketiga factor ini pada kondisi salinitas tinggi, karena berbagai faktor mungkin juga terlibat. Faktor-
faktor tersebut meliputi konsentrasi ion dan hubungannya dengan medium, lamanya cekaman,
spesies tanaman, kultivar dan tipe dari root stock (excluder atau includer), stadia pertumbuhan,
organ tanaman, dan kondisi lingkungan.
Waktu cekaman yang lama (long-term exposure) terhadap tanaman akan menimbulkan
toksisitas ion pada pada daun tua dan deficit air serta kekurangan karbohidrat pada daun lebih
muda. Contoh-contoh berikut (deficit air, toksisitas ion, ketidakseimbangan nutrisi) menjelaskan
kemungkinan bekerjanya ketiga kendala tersebut, dan juga memberikan gambaran betapa sulitnya
membuat kesimpulan umum tentang pengaruh salinitas.
Defisit air, sebagai hal umum bahwa pertumbuhan pucuk lebih terhambat dibandingkan
dengan akar pada saat tanaman ditanam pada kondisi salin, walaupun perpanjangan akar bisa saja
secara mendadak terhenti dengan perlakuan garam tinggi dengan kalsium rendah. Kebanyakan
respon yang cepat dari turunnya laju perpanjangan daun berkaitan dengan perubahan dari status air
daun. Bila perlakuan dihentikan dan kembali pada kondisi normal, laju perpanjangan daun kembali
pada laju sebelum diperlakukan dengan garam. Ini menunjukkan bahwa deficit air adalah alasan
utama terjadinya reduksi di dalam pertumbuhan dibanding oleh toksisitas ion.
Toksisitas ion, pada kondisi garam tinggi, Na+ dan Cl- merupakan ion-ion dominan.
Walaupun Cl- merupakan hara mikro esensial bagi tanaman tingkat tinggi, dan Na+ merupakan
nutrisi penting bagi tanaman halofita dan C4. Konsentrasi Na+ dan Cl- pada kondisi salin jauh
melampaui kebutuhan dan menimbulkan toksisitas bagi tanaman yang tergolong tidak toleran. Pada
beberapa tanaman herba, seperti anggur dan beberapa tanaman buah, penghambatan pertumbuhan
dan kerusakan daun (menjadi klorosis, dan nekrosis pada daun dewasa) terjadi, bahkan pada
konsentrasi yang rendah. Dalam kondisi demikian kendalanya bukan deficit air, paling tidak untuk
spesies jeruk, tetapi sensivitas terhadap Cl- atau toksisitas Cl- adalah yang merupakan kendala
utama.
Ketidakseimbangan serapan dan transport nutrisi, terutama peran kalsium dalam
meningkatkan toleransi tanaman terhadap salinitas telah banyak diketahui. Penggunaan kapur
adalah cara yang biasa dilakukan pada reklamasi lahan salin-sodic dan sodic. Penggunaan gypsum
pada kentang terbukti dapat meningkatkan toleransi pada kondisi salinitas 1,2% (EC 20 dS/m,
threshold untuk kentang 2 dS/m), yaitu terbukti dengan meningkatnya hasil umbi. Pada tanaman
kedelai, pemberian gypsum memberikan efek ganda, yaitu memperbaiki struktur tanah dan aerasi
tanah serta meningkatkan rasio Ca2+/Na+ yang sangat mendukung kapasitas akar menahan influx
Na+.
B-51
Djukri/Cekaman Salinitas Terhadap.
jaringannya. Walaupun pemisahan yang tegas sering dibuat antara salt includers dan salt
excluders, dalam kenyataannya terdapat spektrum yang kontinyu dari derajat perbedaan eksklusi
dan inklusi dari Na+ dan Cl- itu sendiri, dan perbedaan antara organ-organ tanaman yang berbeda.
Pada halofita terrestrial dari famili Chenopodiaceae, adaptasi yang tinggi terhadap
cekaman garam sebagian besar didasarkan atas kemampuan inklusi garam dan penggunannya
untuk mempertahankan turgor atau untuk penggantian fungsi K+ oleh Na+ pada bermacam-macam
fungsi metabolisme, misalnya pada tanaman bit gula. Pada spesies yang mempunyai toleransi
tinggi seperti Casuarina dan halofita monokotil, mekanisme eksklusi masih memberikan kontribusi
yang tinggi terhadap adaptasi mereka yang tinggi terhadap garam. Akan tetapi spesies-spesies
tersebut menderita ketidakseimbangan air dan pertumbuhannya sangat dihambat dalam kondisi
salin.
Pada glikofita, yang mewakili kebanyakan tanaman budidaya, terdapat korelasi terbalik
antara serapan garam dengan toleransi, yaitu mekanisme eksklusi merupakan strategi utama. Akan
tetapi klasifikasi glikofita sebagai tipe ekskluder adalah terminology relative, yaitu dalam
pengertian menyerap garam jauh lebih sedikit dari pada tipe inkluder. Umumnya istilah ini dipakai
hanya untuk transport dari akar ke pucuk dan daun-daun yang sedang tumbuh.
Bit gula mempunyai penampilan yang khas seperti halofita inkluder yang toleran garam.
Pertumbuhannya distimulasi oleh salinitas dan konsentrasi Cl- dan terutama Na+ di pucuk
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi NaCl pada larutan. Sebaliknya K+ dan Ca++
menurun akibat kompetisi kation. Jagung lebih sensitive dibandingkan bit gula, pertumbuhannya
dihambat walaupun Cl- dan Na+ pada pucuk tetap rendah. Defisiensi K+ dan Ca++ tampaknya
bukan penyebab terhambatnya pertumbuhan, kegagalan dalam penyesuaian osmotic diduga sebagai
factor utama. Buncis adalah spesies paling peka dari ketiga spesies yang diuji, dan tampaknya
toksisitas Cl- adalah factor utama yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan buncis, bahkan
pada konsentrasi rendah. Kebalikannya dengan Cl-, transport Na+ ke pucuk terlihat sangat
dihambat pada buncis. Oleh karena itu, buncis seperti kebanyakan tanaman peka lainnya yang
tergolong ekskluder untuk Na+ tetapi tidak untuk Cl-.
Perbedaan dalam kapasitas eksklusi Na+ dan Cl- terdapat pada beberapa kultivar dalam
spesies. Sebagai contoh, pada beberapa kultivar toleran gandum, barley dan jeruk dikaitkan kepada
lebih efektifnya transport ke pucuk dari Na+ dan Cl-. Kapasitas dari eksklusi Cl- tampaknya
merupkan pengaruh gen dominant dan diketahui bersifat bebas dengan kemampuan eksklusi Na+
dari pucuk. Toleransi pada kedelai diketahui berhubungan dengan kemampuan restriksi transport
Cl- dari akar ke pucuk. Perbedaan pada beberapa kultivar kedelai sangat menarik untuk dipelajari.
Mekanisme yang membatasi transport Na+ yang berlebih dari akar ke pucuk terjadi pada
level akar dan sepanjang perjalanan dari akar ke pucuk. Retranslokasi Na+ dari pucuk ke akar dapat
mengurangi kandungan Na+ di pucuk baik untuk spesies yang peka (Phaseolus vulgaris) atau
spesies yang toleran (Phragmites communis). Pada glikofita, perbedaan dalam permeabilitas
membrane secara pasif terhadap Na+ dan Cl-, pompa effluks pada membrane plasma adalah
mekanisme utama pada akar untuk membatasi uptake dan transfer dari akar ke pucuk.
Proses Na+/H+ antiport pada plasma membrane dan tonoplas dari sel akar mungkin
meningkat dalam kondisi salin, tetapi tidak semua spesies mempunyai mekanisme yang sama. Pada
spesies gandum tidak ditemukan adanya mekanisme toleransi yang berdasarkan perbedaan
selektivitas K+/Na+ dari saluran kation (cation channel) pada plasma membrane. Pada kultivar
jagung, derajat perbedaan dalam eksklusi Na+ tampaknya berkaitan dengan permeabilitas pasif
Na+ pada membrane akar. Peningkatan plasmamembrane-bound H+ pumping ATPase activity
dan tonoplas- bound H+ pumping ATPase activity sebagai respon tanaman barley terhadap
cekaman garam tinggi. Peningkatan dari kerja membrane tersebut lebih terlihat dengan jelas pada
tanaman sorgum sebagai tanaman yang tergolong Na+ excluder dibandingkan pada Spartina
sebagai tanaman Na+ includers.
Pada tanaman gandum, daya toleransi tampaknya berkaitan erat dengan kemampuan dalam
restriksi serapan Na+ dan transpornya ke pucuk. Banyak kemajuan telah dibuat dalam pemuliaan
tanaman dengan hibridisasi dan introduksi genom-D dari tanaman toleran diploid dan
memproduksi tipe heksaploid sintetik. Berbeda dengan daya selektivitasnya terhadap kation (dalam
hal ini Na+), genome-D tidak mempunyai pengaruh terhadap akumulasi Cl- di pucuk.
B-52
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA,
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009
Berbeda dengan tanaman gandum, pada kultivar barley yang toleran garam daya
adaptasinya bahkan berhubungan dengan transport Na+ pada xylem yang tinggi ke pucuk, yang
merupakan sifat-sifat khas tipe inkluder. Bahkan pada tomat, perbedaan daya toleransi dari
kultivar-kultivar tersebut dapat saja berdasarkan mekanisme yang sangat berbeda; pada kebanyakan
kultivar toleran; satu pihak dapat melalui kemampuan dalam menahan translokasi dari akar ke
pucuk secara efektif, yang lain melalui akumulasi Na+ dan Cl- pada pucuk dan secara simultan
emempunyai kandungan K+ yang lebih rendah dibandingkan dengan kultivar lain.
PEMBAHASAN
Pertumbuhan tanaman secara umum diartikan sebagai terjadinya peningkatan bobot kering
tubuh tanaman. Pada proses pertumbuhan melibatkan berbagai aktivitas kehidupan dan indikator
yang dapat diukur antara lain meliputi fotosintesis, respirasi, transpirasi, bobot basah, bobot kering,
tinggi, hasil metabolisme yang lain. Bagaimana efek salinitas terhadap pertumbuhan khususnya
terhadap indicator-indikator tersebut?
B-53
Djukri/Cekaman Salinitas Terhadap.
KESIMPULAN
1. Dalam batas tertentu Na+ dan Cl- masih dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman.
2. Pada tanah salin dengan kadar Na+ dan Cl- yang tinggi akan menghambat bahkan
mematikan tanaman
3. Penghambatan pertumbuhan tanaman terjadi pada berbagai aktivitas kehidupan sel,
misalnya fotosintesis, respirasi, sintesis protein, dan sistem hormon
DAFTAR PUSTAKA
Anthraper, A and DuBois, J. D. 2003. The Effect of NaCl on Growth, N2 Fixation, and Percentage
Total Nitrogen in Leucaena leucacephala var K-8. American J.of Botany, Vol. 90:683-692
B-54
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA,
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009
Bonner, J. and Varner, J. E. 1976. Plant Biochemistry. Academic Press. New York.
Boudsocq, M and Lauriere, C. 2005. Osmotic Signaling in Plants: Multiple Patways Mediated by
Emerging Kinase Families. Plant Physiology. Vol. 38: 11185-1194
Didy Sopandie. 1998. Adaptasi Tanaman terhadapCekaman Hara Mineral. IPB. Bogor.
Fitter, A. H. dan Hay, R. K. M. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. UGM Press. Yogyakarta.
Kreps, J. A. et al. 2002. Transcriptome Changes for Arabidopsis in Response to Salt, Osmotic, and
Cold Stress. Plant Physiology. Vol. 130: 2129-2141
Lubis, M. S. 2008. Pertumbuhan dan Kandungan Protein Jagung di bawah Cekaman NaCl .
Jurusan Pendidikan Biologi. Yogyakarta.
Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. Second Edition. Academic Press Harcourt
Brace & Company Publisher. New York.
Rachmawati, D. 2000. Tanggapan Tanaman Sorgum terhadap Cekaman NaCl: Pertumbuhan dan
Osmoregulasi. Biologi. Vol. 2: 515-529
Salisbury, F. B and Ross, C. W. 1995. Plant Physiology. Fourth Edition. Wadsworth Publishing
Company. California.
Suharto, dkk. 1997. Kimia Dasar II. Jurdik Kimia FPMIPA IKIP Yogyakarta
Tester, M. and Basic, A. Abiotic Stress Tolerance in Grasses: From Model Plants to Crop Plants.
Plant Physiology. Vol. 137: 791-793
B-55