Laporan Akhir Praktikum TPHP
Laporan Akhir Praktikum TPHP
Laporan Akhir Praktikum TPHP
Disusun oleh:
Kelompok 8 / Perikanan B
Naila Amalia Nadiyah 230110150092
Simon Dicky S. 230110150103
Basma Emeralda H. 230110150106
Raudatu F. Safarina 230110150122
Rida Himyati 230110150144
Adan Prabhasworo L. 230110150145
Abdurrahman Faris 230110150154
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan laporan akhir praktikum mata
kuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan serta dukungannya dalam
pembuatan dan penyusunan laporan ini. Laporan akhir praktikum ini berisikan
laporan akhir dari praktikum yang telah dilakukan, di antaranya adalah pembuatan
bekasam, bakso ikan, ebi, petis udang, abon ikan, dan kecimpring.
Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dalam
pembuatan laporan akhir praktikum yang lebih baik. Akhir kata, semoga Allah
SWT senantiasa melimpahkan karunia-Nya dan membalas segala amal budi serta
kebaikan pihak-pihak yang mebantu penulisan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Bab Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................ iv
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Tujuan ...................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bekasam ................................................................................... 3
2.2 Bakso Ikan ............................................................................... 5
2.3 Abon Ikan ................................................................................ 11
2.4 Ebi ............................................................................................ 13
2.5 Petis Udang .............................................................................. 15
2.6 Kecimpring .............................................................................. 19
III METDOLOGI
3.1 Alat Praktikum ......................................................................... 20
3.1.1 Alat Bekasam .................................................................. 20
3.1.2 Alat Bakso Ikan............................................................... 20
3.1.3 Alat Abon Ikan ................................................................ 20
3.1.4 Alat Ebi ........................................................................... 21
3.1.5 Alat Petis Udang ............................................................. 21
3.1.6 Alat Kecimpring.............................................................. 21
3.2 Bahan Praktikum ..................................................................... 22
3.2.1 Bahan Bekasam ............................................................... 22
3.2.2 Bahan Bakso Ikan ........................................................... 22
3.2.3 Bahan Abon Ikan ............................................................ 22
3.2.4 Bahan Ebi ........................................................................ 23
3.2.5 Bahan Petis Udang .......................................................... 23
3.2.6 Bahan Kecimpring .......................................................... 24
3.3 Prosedur Praktikum ................................................................. 24
3.3.1 Prosedur Bekasam ........................................................... 24
3.3.2 Prosedur Bakso Ikan ....................................................... 24
3.3.3 Prosedur Abon Ikan ........................................................ 25
3.3.4 Prosedur Ebi .................................................................... 25
3.3.5 Prosedur Petis Udang ...................................................... 26
3.3.6 Prosedur Kecimpring ...................................................... 26
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Praktikum ....................................................................... 27
4.1.1 Hasil Bekasam ................................................................ 27
4.1.2 Hasil Bakso Ikan ............................................................. 28
ii
4.1.3 Hasil Abon Ikan .............................................................. 29
4.1.4 Hasil Ebi.......................................................................... 29
4.1.5 Hasil Petis Udang ............................................................ 30
4.1.6 Hasil Kecimpring ............................................................ 31
4.2 Pembahasan ............................................................................. 31
4.2.1 Pembahasan Bekasam ..................................................... 31
4.2.2 Pembahasan Bakso Ikan ................................................. 35
4.2.3 Pembahasan Abon Ikan................................................... 38
4.2.4 Pembahasan Ebi .............................................................. 40
4.2.5 Pembahasan Petis Udang ................................................ 42
4.2.6 Pembahasan Kecimpring ................................................ 45
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .............................................................................. 47
5.2 Saran ........................................................................................ 48
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 49
LAMPIRAN ................................................................................. 51
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Produk perikanan merupakan hasil kekayaan alam Indonesia yang
melimpah dan memiliki potensi cukup baik untuk dimanfaatkan. Karena ikan
merupakan sumber gizi yang bermanfaat bagi tubuh. Manfaat tersebut diantaranya
sebagai sumber energi, membantu pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh,
memperkuat daya tahan tubuh, memperlancar proses fisiologis dalam tubuh.
Kelebihan produk perikanan yaitu mengandung protein yang cukup tinggi (20%)
dalam tubuh ikan, protein juga berfungsi sebagai bahan bakar didalam tubuh.
Protein pada ikan mengandung komposisi asam amino yang diperlukan oleh tubuh
manusia, selain itu di dalam ikan terdapat asam-asam lemak tak jenuh esensial serta
zat gizi lainnya yang dibutuhkan oleh tubuh serta sumber vitamin, terutama vitamin
A dan sumber mineral seperti zat besi, iodium, seng, selenium dan kalsium yang
semuanya erat kaitannya dengan defisiensi dari zat gizi mikro.
Seiring meningkatnya produksi dalam sektor perikanan di Indonesia, maka
permintaan untuk ikan segar semakin meningkat. Sehingga ikan-ikan yang sudah
ditangkap akan ditangani sebaik mungkin agar tetap segar hingga sampai ke tangan
konsumen, tetapi tidak sedikit pula ikan yang salah dalam penangannya sehingga
mengalami penurunan kualitas. Hal tersebut menyebabkan harga jual semakin
rendah sehingga nelayan tidak mendapatkan keuntungan yang seharusnya
didapatkan.
Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan dilakukannya pengolahan pasca
penangkapan yaitu pengawetan ikan sehingga produk perikanan dapat bertahan
lebih lama. Selain mempertahankan kualitas produk perikanan, pengolahan ikan
dilakukan untuk menambahkan nilai ekonomis ikan sehingga meningkatkan harga
jual ikan. Produk-produk perikanan yang diolah dan diawetkan ada berbagai macam
yaitu ikan asin, ikan beku, pengalengan ikan, ikan kering ikan asap, dan lain-lain.
1
2
1. 2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan yang
telah dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses pengolahan bekasam dengan perlakuan kadar
garam dan penambahan sumber karbohidrat yang berbeda dan diuji secara
organoleptik.
2. Untuk mengetahui proses pengolahan bakso ikan dengan perlakuan bahan
baku utama yang berbeda dan diuji secara organoleptik (uji tingkat
kesukaan) dan uji lipat (folding test).
3. Untuk mengetahui dan memahami proses pengolahan abon ikan dengan
perlakuan jenis ikan dan penambahan santan yang berbeda.
4. Untuk mengetahui karakteristik ebi (rendemen dan kadar air ebi)
berdasarkan perlakuan cara pengolahan.
5. Untuk mengetahui proses pembuatan petis udang dengan memanfaatkan
limbah pengolahan ebi yang berbeda.
6. Untuk mengetahui proses pembuatan kecimpring dengan fortifikasi daging
dari jenis ikan yang berbeda dan diuji tingkat kesukannya secara
organoleptik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Bekasam
Bekasam merupakan produk fermentasi ikan yang rasanya asam. Bekasam
merupakan hasil atau produk fermentasi secara tradisional yang dibuat dari ikan air
tawar, yang diawali dengan proses pembersihan ikan, pemberian garam dan
pemberian nasi serta difermentasi selama satu minggu. Metode pengawetan ikan ini
sangat praktis dan mudah dikerjakan dengan peralatan yang sederhana, tidak
membutuhkan biaya yang tinggi serta dapat meningkatkan nilai gizi, digemari
masyarakat karena memiliki aroma dan rasa yang khas serta bernilai ekonomis.
Selain itu juga masih banyaknya masyarakat yang belum mengenal produk
bekasam itu sendiri (Suyatno, Sari dan Loekman 2015 dalam Berlian dkk. 2016).
Gambar 1. Bekasam
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989), ikan yang dibuat bekasam harus
dikelompokkan berdasarkan jenis, ukuran, dan tingkat kesegarannya agar diperoleh
ikan bekasam yang seragam dengan mutu baik. Ditambahkan oleh Adawiyah
(2007), ikan yang biasa digunakan untuk pengolahan bekasam adalah ikan lele, ikan
mas, ikan wader, ikan nila, ikan mujair dan ikan sepat, atau ikan air tawar lainnya.
Bekasam banyak ditemui di daerah Sumatera, Jawa Tengah, dan
Kalimantan walaupun dengan nama yang berbeda. Bekasam ataupun pekasam
merupakan satu proses pengawetan yang sama yaitu dengan menggunakan ikan,
3
4
nasi sebagai sumber karbohidrat, dan garam yang dimasukkan ke dalam toples
ditutup rapat dan disimpan untuk mengalami proses fermentasi selama beberapa
hari. Proses fermentasi pada bekasam ikan ini merupakan fermentasi bakteri asam
laktat yang dapat mengubah 95% glukosa menjadi asam laktat. Akan tetapi, masih
banyak masyarakat yang belum mengetahui cara pengawetan dalam bentuk
bekasam (Hidayati dkk 2012 dalam Berlian dkk. 2016).
Dalam proses pengolahan bekasam ditambahkan sumber karbohidrat seperti
nasi atau kerak dengan tujuan merangsang pertumbuhan bakteri asam laktat.
Bakteri asam laktat akan menguraikan pati menjadi senyawasenyawa sederhana
yaitu asam laktat, asam asetat, asam propionat, dan etil alkohol. Senyawa-senyawa
ini berguna sebagai pengawet dan pemberi rasa asam pada produk bekasam
(Rahayu et al. 1992). Sumber karbohidrat yang digunakan dalam pembuatan
bekasam dapat berupa nasi, beras sangrai, singkong, tape ketan, tepung, dan
sebagainya (Murtini et al. 1997). Pengolahan bekasam di daerah Kalimantan ada
yang menggunakan tambahan gula merah sebagai sumber karbohidrat. Bekasam
yang dihasilkan mempunyai karakteristik daging ikan seperti ikan segar dengan
daging ikan yang semakin kenyal, rasa asam asin khas bekasam dengan aroma
tertentu. Bekasam hampir serupa dengan beberapa produk fermentasi ikan yang
dijumpai di beberapa negara lainnya seperti, burong isda, burong bangus
(Philipina), pla-ra, pla-chom, som-fak (Thailand), heshiko, nakazuke (Jepang).
Pada dasarnya pembuatan bekasam adalah salah satu upaya pengawetan
ikan yang memanfaatkan bakteri asam laktat. Penelitian tentang bakteri asam laktat
pada produk fermentasi berkembang dengan ditemukannya beberapa manfaat
bakteri asam laktat dalam bahan pangan antara lain penghasil bakteriosin dan
manfaat lainnya dalam memberikan efek fisiologis tertentu yang membawa manfaat
bagi kesehatan antara lain sebagai antikolesterol, mencegah kanker, dan
antihipertensi. Aktivitas antihipertensi produk fermentasi berkaitan dengan adanya
aktivitas proteolitik baik oleh enzim indogenus, ataupun aktivitas enzim proteolitik
bakteri asam laktat. Beberapa jenis bakteri asam laktat diketahui mempunyai
aktivitas proteolitik. Bakteri asam laktat L. plantarum, L. brevis, dan Pediococcus
sp. Yang diisolasi dari pla-ra diketahui mempunyai aktivitas proteolitik (Vichasilp
5
2. 2 Bakso Ikan
Sumberdaya hayati perairan Indonesia mempunyai potensi yang sangat
besar, terutama ikan, tetapi potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal,
dengan demikian pemenuhan kebutuhan akan protein hewani sangat
memungkinkan. Kandungan protein pada ikan cukup tinggi, yaitu sekitar 15-24
persen yang tersusun oleh sejumlah asam amino yang berpola mendekati asam
amino dalam tubuh manusia, sebab itu, ikan mempuyai nilai biologis yang tinggi
yaitu sebesar 90 persen (Afrianto dan Liviawati 1989).
makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ikan
dengan kadar daging ikan tidak kurang dari 50% dan pati atau serealia dengan atau
tanpa penambahan bahan makanan yang diizinkan (BSN 1995 dalam Wiraswanti
2008).
Daging yang akan dibuat bakso harus sesegar mungkin. Daging yang telah
mengalami penyimpanan akan menghasilkan bakso yang rendah, baik mutu
maupun rendemennya (Winarno dan Rahayu 1994 dalam Wiraswanti 2008). Bakso
dibuat dari daging yang digiling halus ditambah bahan pengisi pati atau tepung
terigu dan bumbu-bumbu. Daging yang baik untuk membuat bakso adalah daging
segar yang belum mengalami rigor mortis karena daya ikat air pada ikan segar lebih
tinggi dibanding daging rigor mortis maupun pasca rigor (Pearson dan Tauber 1984
dalam Wiraswanti 2008).
Umumnya bakso memiliki masa simpan maksimal satu hari (12-24 jam)
apabila disimpan pada suhu kamar dan maksimal dua minggu apabila disimpan
pada suhu (-1)-5ºC. Bakso mengandung protein tinggi, memiliki kadar air tinggi
(aw > 0,9), serta pH netral (6,0-6,5) sehingga rentan terhadap kerusakan. Tanda-
tanda kerusakan bakso adalah rasa agak asam atau asam; tekstur lunak dan
mengelupas, mudah hancur dan berlendir, dan memiliki aroma yang busuk
(Wiraswanti 2008).
sangat mirip dengan amilopektin karena tapioka sebagian besar terdiri atas
amilopektin. Sifat–sifat amilopektin yaitu: a) dalam bentuk pasta amilopektin
menunjukkan penampakan yang sangat jernih sehingga dapat meningkatkan mutu
penampilan produk akhir, b) pada suhu normal pasta dari amilopektin tidak mudah
menggumpal dan kembali menjadi keras, c) mempunyai daya perekat yang tinggi
sehingga pemakaiaan pati dapat dihemat (Tjokroadikosoemo 1986 dalam
Wiraswanti 2008).
2. Bumbu
Bumbu-bumbu yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah garam
dapur, bawang merah, bawang putih, dan lada sehingga dapat memberikan rasa
yang sesuai pada produk bakso. Sebaiknya tidak digunakan penyedap masakan
monosodium glutamat atau vetsin (Wibowo 1999 dalam Wiraswanti 2008).
Bumbu-bumbu yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Garam
Garam berfungsi sebagai pemberi rasa pelarut protein dan pengawet
(Wibowo 1999 dalam Wiraswanti 2008). Selain berfungsi untuk memberikan
flavor, garam juga berfungsi terutama untuk melarutkan protein myosin yang
berperan sebagai emulsifier utama dan meningkatkan daya ikat air (Forrest et al.
1975 dalam Wiraswanti 2008).
b. Gula
Gula lebih banyak berperan memberikan citarasa daripada mengawetkan
produk. Meskipun demikian pemakaian gula akan menyebabkan bakteri-bakteri
asam berkembang, terutama bakteri-bakteri yang dapat memfermentasi gula
menjadi asam dan alkohol. Timbulnya asam dan alkohol diharapkan akan dapat
memperbaiki citarasa produk (Hadiwiyoto 1993 dalam Wiraswanti 2008).
c. Bawang Merah dan Bawang Putih
Bawang merah sebagian besar terdiri dari air sekitar 80-85%, protein 1,55%,
lemak 0,3%, dan karbohidrat 9,2%. Bawang merah mengandung cukup banyak
vitamin B dan vitamin C dan biasanya bawang merah digunakan sebagai bumbu
dan obat-obatan tradisional (Ashari 1995 diacu dalam Jauharti 1997 dalam
9
Wiraswanti 2008). Kandungan bawang putih antara lain air mencapai 60,9-67,8%,
protein 3,5-7%, lemak 0,3%, karbohidrat 24,0-27,4% dan serat 0,7%, juga
mengandung mineral penting dan beberapa vitamin dalam jumlah tidak besar
(Wibowo 1999 dalam Wiraswanti 2008).
d. Lada
Lada (Piper nigrum L) merupakan tanaman serba guna dimana buahnya
dapat dimanfaatkan sebagai bumbu dalam berbagai masakan. Tujuan penambahan
lada adalah sebagai pemberi aroma sedap, menambah kelezatan, dan
memperpanjang daya awet makanan (Sarpian 1999 dalam Wiraswanti 2008).
3. Air dan Es
Bahan penting lainnya dalam pembuatan bakso adalah es atau air es. Es
yang digunakan sebaiknya berupa es batu. Bahan ini berfungsi membantu
pembentukan adonan dan membantu memperbaiki tekstur bakso. Penggunaan es
yang berfungsi membantu pembentukan adonan dan memperbaiki tekstur bakso.
Suhu dapat dipertahankan tetap rendah dengan adanya es sehingga protein daging
tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan
dengan baik. Dapat digunakan es sebanyak 10-15% dari berat daging (Wibowo
1999 dalam Wiraswanti 2008).
Rahayu 1994 dalam Wiraswanti 2008). Suhu yang tinggi hingga lebih dari 22°C
akan mengakibatkan pecahnya emulsi sehingga lemak dan air akan terpisah selama
pemasakan akibat terdenaturasinya protein (Wilson 1981 diacu dalam
Damuringrum 2002 dalam Wiraswanti 2008).
2. Pembuatan Adonan
Pembuatan adonan dapat dilakukan dengan mencampurkan seluruh bahan,
lalu menghancurkannya atau dengan menghancurkan daging giling kemudian
mencampurkannya dengan seluruh bahan (Damuringrum 2002 dalam Wiraswanti
2008). Daging lumat digiling lagi bersama-sama es batu dan garam agar bakso yang
dihasilkan bagus, baru kemudian ditambahkan bahan lain. Garam dapur dapat pula
ditambahkan bersama-sama bumbunya. Kemudian tepung tapioka ditambahkan
sambil dilumatkan hingga diperoleh adonan yang homogen. Pembuatan adonan ini
dapat menggunakan tangan, alat pengaduk yang digerakkan dengan tangan atau
dengan mesin bertenaga listrik (Meat stirrer atau mixer atau silent cutter). Makin
tinggi kecepatan mesin, makin bagus adonan yang terbentuk. Jika alat yang
digunakan berkecepatan rendah, sebaiknya jumlah es yang digunakan sedikit lebih
banyak (Wibowo 1999 dalam Wiraswanti 2008).
3. Pencetakan
Pencetakan dilakukan dengan cara dibentuk bulatan-bulatan dengan ukuran
yang dikehendaki. Bagi mereka yang sudah mahir, maka dalam membuat bola
bakso ini cukup dilakukan dengan mengambil segenggam adonan lalu diremas-
remas dan ditekan kearah ibu jari. Adonan yang keluar dari ibu jari dan telunjuk
membentuk bulatan lalu diambil dengan sendok (Wibowo 1999 dalam Wiraswanti
2008).
4. Pemasakan
Pemanasan menyebabkan molekul protein terdenaturasi dan mengumpul
membentuk suatu jaring-jaring. Kondisi optimum untuk pembentukan gel adalah
pada kadar garam 0,6 M, pH 6 dan suhu 65°C (Pomeranz 1991 dalam Wiraswanti
11
2008). Bakso harus dijendalkan dengan cara direndam dalam air dengan suhu 28-
30 °C selama 1-2 jam atau pada suhu air 40-45 °C selama 20-30 menit untuk
mendapatkan kekuatan gel yang maksimum (Damuringrum 2002 dalam
Wiraswanti 2008).
Pemasakan bakso umumnya dilakukan dengan air yang mendidih (Tarwotjo
et al. 1971 dalam Wiraswanti 2008) dan dapat pula dilakukan dengan cara
“blanching” dengan uap air panas atau air panas pada suhu 85-90 °C. Pengaruh
pemasakan ini terhadap adonan bakso adalah terbentuknya struktur produk yang
kompak. Wibowo (1999 dalam Wiraswanti 2008) menyatakan bahwa bakso yang
sudah mengapung di permukaan air berarti bakso sudah matang dan perebusan
dapat dihentikan. Setelah cukup matang, bakso diangkat dan ditiriskan sambil
didinginkan pada suhu ruang. Setelah dingin, bakso di kemas dalam kantong plastik
dan sebaiknya disimpan dalam ruang dingin yaitu sekitar 5°C (Wibowo 1999 dalam
Wiraswanti 2008).
Bahan utama yang digunakan pada abon ikan adalah daging ikan. Daging
ikan yang digunakan adalah daging ikan nila dan ikan lele. Ikan Nila merupakan
jenis ikan air tawar. Pada mulanya, ikan Nila berasal dari perairan tawar di Afrika.
Di Asia penyebaran ikan Nila pada mulanya berpusat di beberapa negara seperti
Filipina dan Cina. Dalam perkembangan selanjutnya, ikan Nila meluas
dibudidayakan di berbagai negara, antara lain Taiwan, Thailand, Vietnam,
Bangladesh, dan Indonesia. Pengembangan ikan Nila di perairan tawar di Indonesia
dimulai tahun 1969. Jenis atau strain ikan Nila yang pertama kali didatangkan ke
Indonesia adalah Nila hitam asal Taiwan. Tahun 1981 didatangkan lagi jenis atau
strain ikan Nila merah hibrida. Kedua jenis ikan Nila ini telah meluas
dibudidayakan di seluruh wilayah perairan nusantara (Rukmana 1997: 18).
Ikan nila merupakan salah satu sumber protein yang tinggi, mengandung
asam lemak tak jenuh (omega-3, Eicosapentaenoic acid/EPA, Docosahexanoic
acid/DHA) yang berfungsi untuk perkembangan otak. Selain itu masih banyak lagi
kandungan gizi dari ikan mujair ini, antara lain air 80,0 g, protein 16,0 g, energi
86,0 kalori, lemak 2,0 g, kalsium 20,0 mg, besi 2,0 g, vitamin A 150,0.
Ikan Lele adalah sejenis ikan yang hidup di air tawar. Lele mudah dikenali
karena tubuhnya yang licin, agak pipih memanjang, serta memiliki "kumis" yang
panjang, yang mencuat dari sekitar bagian mulutnya (Andrianto 2005). Ikan lele
13
merupakan salah satu bahan makan bergizi yang mudah dihidangkan sebagai lauk.
Kandungan gizi ikan lele sebanding dengan daging ikan lainnya. Beberapa jenis
ikan, termasuk ikan lele mengandung protein lebih tinggi dan lebih baik
dibandingkan dengan daging hewan. Nilai gizi ikan lele meningkat apabila diolah
dengan baik. Kandungan gizi ikan (termasuk ikan lele) dan lele goreng menurut
hasil analisis komposisi bahan makan per 100 gram.
Karyono dan Wachid, (1982) menyatakan, abon ikan adalah produk olahan
hasil perikanan yang dibuat dari daging ikan, melalui kombinasi dari proses
penggilingan, penggorengan, pengeringan dengan cara menggoreng, serta
penambahan bahan pembantu dan bahan penyedap terhadap daging ikan. Seperti
halnya produk abon yang terbuat dari daging ternak, abon ikan cocok dikonsumsi
sebagai pelengkap makan roti ataupunsebagai lauk-pauk.
Abon sebagai salah satu produk industri pangan yang memiliki standar mutu
yang telah ditetapkan oleh Departemen Perindustrian. Penetapan standar mutu
merupakan acuan bahwa suatu produk tersebut memiliki kualitas yang baik dan
aman bagi konsumen. Para produsen abon disarankan membuat produk abon
dengan memenuhi Standar Industri Indonesia (SII).
2. 4 Ebi
Udang merupakan salah satu produk pangan perikanan yang sangat mudah
rusak dan menjadi busuk karena kadar airnya yang tinggi dan kandungan gizinya
baik untuk pertumbuhan jasad renik pembusuk. Salah satu bentuk produk
pengolahan udang adalah ebi, yaitu udang kecil yang diawetkan dengan cara
dikeringkan. Karena telah dikeringkan, kandungan air dalam ebi rendah, maka dari
itu ebi dapat disimpan berbulan-bulan. Ebi ini banyak digunakan sebagai bumbu
penyedap rasa tambahan dalam masakan seperti sambal goreng, sayur maupun
masakan seafood lainnya. Menurut Murtidjo (1988), ebi memiliki ketentuan kadar
air 17,9%. Hasil olahan udang berukuran kecil menjadi udang kering yang
kemudian diolah kembali menjadi menjadi bumbu masak, umumnya dikenal dua
macam ebi yang berkulit dan ebi tanpa kulit.
14
perusak. Ebi yang baik terbuat dari udang yang segar. Ciri-ciri ebi yang baik adalah
bersih, tidak hancur, tidak berbau menyengat, berwarna jingga alami dan masih
berbentuk udang berukuran kecil.
2. 5 Petis Udang
2. 5. 1 Pengertian Petis
Petis adalah masakan Indonesia yang dibuat dari produk sampingan dari
perbulan ikan yang dijual matang dalam jumlah besar (biasanya dari ikan pindang,
kupang, atau udang) cairan sisa pe rebusan ikan dipanasi hingga cairan kuah
menjadi kental seperti saus yang lebih padat. Dalam pengolahan selanjutnya, petis
ditambah gula batok. Ini menyebabkan warnanya menjadi cokelat pekat cenderung
hitam dan rasanya manis. Petis udang dikenal sebagi masakan khas Sidoarjo.
Petis dapat juga dikategorikan sebagai makanan semi basah yang memiliki
kadar air sekitar 10-40 persen, nilai aw (aktivitas air) 0,65-0,90, dan mempunyai
tekstur plastis. Beberapa keuntungan pangan semibasah, antara lain tidak
memerlukan fasilitas penyimpanan yang rumit, lebih awet, sudah dalam bentuk siap
dikonsumsi, mudah penanganannya, dan bernilai gizi cukup baik.
2. 5. 2 Jenis Petis
Hingga saat ini dikenal tiga jenis petis, yaitu petis udang (umumnya
berwarna cokelat kehitaman), petis ikan (berwarna hitam), dan petis daging
16
adalah: kalsium 221 miligram, zat besi 3,8 miligram serta fosfor 397 miligram.
Walaupun memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap, sayangnya, sampai saat
ini belum pernah dilakukan penelitian yang secara khusus mengenai khasiat dan
manfaat petis bagi kesehatan tubuh.
Ciri-ciri petis yang baik adalah berwarna cerah (tidak kusam), umumnya
cokelat kehitaman, berbau sedap, kental tetapi sedikit lebih encer daripada
margarin. Petis yang terlalu liat dapat dicurigai terlau banyak mengandung tepung
kanji. Rasa dan bau ikan atau udang pada petis masih dapat dikenali dengan mudah.
Teksturnya halus dan mudah dioleskan. Disarankan untuk membeli petis dengan
kemasan yang bagus, memiliki label lengkap, serta mencantumkan waktu
kedaluwarsa.
Kerusakan pada petis dapat diketahui dengan adanya pertumbuhan
cendawan pada permukaan petis. Hal ini terjadi pada petis yang memiliki kadar air
cukup tinggi. Timbulnya rasa dan bau asam serta alkohol adalah akibat dari
fermentasi glukosa yang berasal dari tepung karena adanya cendawan atau jamur.
Untuk mencegah kerusakan tersebut, perlu dilakukan penurunan kadar air
dan penggunaan bahan pengemas yang baik. Agar dapat disimpan lama, petis yang
kemasannya telah dibuka sebaiknya disimpan di dalam lemari pendingin.
Walaupun kandungan protein petis cukup tinggi (15-20 g/100 g), dalam
praktiknya petis tidak dapat diandalkan sebagai sumber protein karena
pemakaiannya dilakukan dalam jumlah sangat sedikit. Petis hanya dikonsumsi
sebatas sebagai pembangkit cita rasa. Sama halnya seperti terasi, petis umumnya
dipakai sebagai bumbu maupun kondimen untuk menambah rasa makanan.
Komposisi gizi pada petis yang ada di pasaran sangat bervariasi sekali,
tergantung pada bahan baku yang digunakan dan cara pembuatannya. Penambahan
gula dan tepung dalam proses pembuatannya menyebabkan cukup tingginya kadar
karbohidrat pada petis, yaitu sekitar 20-40 g per100 g. Kandungan mineral yang
cukup berarti pada petis adalah kalsium, fosfor, dan zat besi, masing-masing
sebanyak 37,36, dan 3 mg per 100 g.
19
2. 6 Kecimpring
Salah satu olahan tradisional yang dianggap memiliki kandungan gizi yang
kurang seimbang yaitu kecimpring. Kecimpring adalah makanan kudapan berupa
keripik yang sangat tipis dan dibuat dari singkong (Tjahjadi 1989). Kandungan gizi
kecimpring dianggap kurang seimbang karena bahan utama pembuatannya yaitu
singkong, sehingga nilai gizi yang mendominasi pada kecimpring yaitu karbohidrat.
Penambahan daging ikan diharapkan dapat menambah nilai gizi kecimpring yang
dihasilkan. Fermentasi dapat mengubah senyawa-senyawa kompleks menjadi
senyawasenyawa yang lebih sederhana. Marined biasa dilakukan untuk menambah
flavor dan keempukan. Berdasarkan hal tersebut, penting adanya penelitian
mengenai fortifikasi ikan pada kecimpring karena dengan adanya fortifikasi nilai
gizi suatu produk dapat meningkat dalam hal ini protein serta kandungan lain yang
terdapat pada ikan sehingga kandungan kecimpring tidak terbatas pada karbohidrat.
Gambar 6. Kecimpring
20
21
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1 Hasil Praktikum
4. 1. 1 Hasil Bekasam
Aroma khas
ikan terlihat tidak tekstur ikan
bekasam, aroma
9 utuh, warna terlalu ikan terlalu asin 5
ikan sedikit
kecoklatan lembek
terasa
Aroma khas tekstur ikan
ikan agak utuh,
bekasam, aroma cukup Rasa asam pas,
10 warna coklat 7
ikan sedikit lembut dan ikan terlalu asin
keemasan
terasa renyah
4. 1. 4 Hasil Ebi
a. Perhitungan Susut Bobot Kelompok 8
𝑤𝑜 − 𝑤𝑛 250 − 23
SB = × 100% = × 100% = 90,8%
𝑤𝑜 250
Keterangan:
SB: susut bobot
wo: berat udang asal
wn: berat ebi setelah dijemur
b. Hasil Pengamatan
Tabel 4. Tabel Hasil Pengamatan Kelompok
4. 1. 6 Hasil Kecimpring
Setelah melakukan proses pembuatan kecimpring, didapatkan hasil dari
kelompok dan kelas perikanan B.
4. 2 Pembahasan
4. 2. 1 Pembahasan Bekasam
Bekasam merupakan produk olahan ikan dengan cara difermentasi
melibatkan bakteri asam laktat dan garam (Murtini 1992). Adawiyah (2007)
menyatakan bahwa ikan yang dapat digunakan sebagai bekasam merupakan jenis
ikan air tawar seperti lele, ikan mas, ikan tawes, ikan gabus, ikan nila, dan mujair.
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam proses pengolahan bekasam yaitu
baskom sebagai wadah ikan, pisau untuk membersihkan ikan, toples wadah sebagai
tempat untuk proses fermentasi dalam pengolahan bekasam, ikan mujair segar
bahan baku pembuatan bekasam, garam untuk menghambat pertumbuhan bakteri
patogen dan memberikan cita rasa pada produk bekasam yang dihasilkan dan beras
sangrai sebagai sumber karbohidrat.
32
(a) (b)
Gambar 8. Pelumuran Beras Sangrai (a); Pemotongan Ikan (b)
Ikan yang telah digarami dan dilumuri beras sangrai selanjutnya di masukan
ke dalam toples dan ditutup dengan rapat (karena fermentasi anaerob) dan dibiarkan
selama tujuh hari difermentasi. Setelah dibiarkan selama tujuh hari kemudian ikan
diambil dan dibersihkan dari beras sangrai yang masih menempel lalu kemudian
digoreng.
b. Parameter Aroma
Menurut Faris, bekasam yang dibuat oleh kelompok 8 tercium aroma khas
fermentasi bekasam dan tercium sedikit bau khas ikan. Sedangkan menurut Fiqro,
tercium bau yang menyengat dari bekasam produk kelompok 8. Amalia
memaparkan bahwa bekasam hasil kelompok 8 tidak tercium bau yang tidak enak.
Kemudian menurut Prabasworo aroma bekasam tercium aroma yang enak dan tidak
berbau amis.
Rahayu (1992), menyatakan bahwa selama fermentasi protein ikan akan
terhidrolisis menjadi peptida-peptida dan asam amino. Kemudian asam amino
berubah menjadi senyawa yang lebih sederhana dan menghasilkan sejumlah
senyawa volatil yang berpengaruh terhadap cita rasa dan aroma dari produk
fermentasi.
c. Parameter Tekstur
Menurut Faris, tekstur bekasam ini cukup lembut, lumayan renyah dan tidak
lembek. Sedangkan menurut Fiqro, tekstur bekasam buatan kelompok 8 ini lembek
dan tidak renyah, namun menurut Amalia, tekstur bekasam ini memiliki bagian
yang renyah di beberapa bagian. Kemudian Prabasworo memaparkan bahwa
bekasam kelompok 8 ini cukup renyah.
Hal tersebut disebabkan karena perlakuan penambahan garam sebanyak
12% dari bobot ikan dan berkurangnya kadar air. Menurut Rieboy (2007), selain
35
mempengaruhi citarasa produk, asam laktat yang dihasilkan dari proses fermentasi
juga dapat meningkatkan kekompakan tekstur.
d. Parameter Rasa
Menurut Faris, rasa yang dihasilkan dari produk bekasam buatan kelompok
8 ini enak dengan campuran rasa khas ikan, asin, dan asam khas fermentasi. Tetapi
menurut Fiqro, bekasam yang dibuat oleh kelompok 8 ini terasa asam dan tidak
menyukainya. Sedangkan menurut Amalia, rasa yang dihasilkan lumayan enak.
Kemudian menurut Prabasworo rasa bekasam kelompok 8 ini lumayan enak tetapi
sedikit kurang asin.
Dalam proses pengolahan bekasam ditambahkan sumber karbohidrat seperti
kerak atau beras sangrai dengan tujuan merangsang pertumbuhan bakteri asam
laktat. Bakteri asam laktat akan menguraikan pati menjadi senyawa senyawa
sederhana yaitu asam laktat, asam asetat, asam propionat, dan etil alkohol.
Senyawa-senyawa ini berguna sebagai pengawet dan pemberi rasa asam pada
produk bekasam (Rahayu 1992).
B. Simon Dicky
Warna bakso yang dihasilkan putih cerah. Permukaannya halus. Untuk
keseragaman bentuknya didapatkan bentuk yang seragam. Pada parameter aroma
bau khas ika kurang tercium. Teksturnya kenyal. Sedangkan rasa yang dihasilkan
enak, tidak amis karena bumbunya pas.
E. Rida Himyati
Pada parameter keseragaman bentuk, hasil yang didapatkan bentuknya
bagus seragam. Di parameter warna yaitu berwarna putih keabuan. Teksturnya
yaitu lembek. Rasa yang didapatkan kurang sedap karena bumbunya kurang terasa.
Sedangkan untuk aromanya kurang tercium aroma ikannya.
F. Adan Prabhasworo
Pada parameter kenampakan didapatkan hasilnya bakso berwarna cerah,
permukaannya compact, dan bentuknya seragam. Di parameter aroma hasilnya
tercium bau khas ikan sedikit. Teksturnya kenyal. Sedangkan untuk rasanya pas
tidak bau amis karena pemberian bumbunya pas.
G. Abdurrahman Faris
37
spesifik ikan dan rasanya asin. Elastisitas dari bakso ikan pada hasil kelas, sebagian
besar yaitu kenyal atau elastis, hanya ada satu kelompok yaitu keompok lima yang
tidak kenyal. Penyebabnya sama yaitu kurangnya air dingin dalam pembuatan
adonan. Dalam peringkat kesukaan, sebagian besar kelompok mendapatkan nilai 7,
hanya sedikit yang mendapatkan nila 5 yaitu kelompok empat dan lima, dan ada stu
kelompok yang mendapatkan nilai 9 yaitu kelompok tujuh. Kategori dari peringkat
kesukaan yaitu, 9 adalah sangat suka, 7 adalah suka, 5 tidak suka, dan 3 sangat tidak
suka.
satu bahan atau bumbu dalam pembuatan abondan kandungan karbohidrat yang
tinggi sehingga menyebabkan warna abon menjadi coklat karena terjadi reaksi
millard. Reaksi millard adalah reaksi pencoklatan non enzimatis yang merupakan
reaksi antara protein dengan gula-gula preduksi (Tato 2014).
Uji organoleptik selanjutnya adalah aroma. Hasil dari pengujian aroma
didapatkan hasil yang sama yaitu khas abon ikan. Menurut pendapat individu
anggota kelompok 8 yaitu menurut Adan, Basma, Raudatu, dan Abdurrahman
aroma abon ikan lele yang dibuat memiliki aroma yang menggugah selera dan
beraroma khas abon dan sudah tidak tercium bau amis ikan. Sedangkan menurut
Naila, Simon, dan Rida aroma abon ikan lele yang dibuat beraroma seperti abon
pada umumnya namun masih tercium sedikit bau ikan. Aroma produk abon berasal
dari sejumlah bahan yang ada dalam lemak dan bersifat menguap ketika
dipanaskan. Bumbu yang digunakan dalam produk abon dapat memberikan aroma
yang khas. Bawang merah memiliki cita rasa yang khas yang ditimbulkan oleh
senyawa yang mudah menguap. Sedangkan ketumbar dapat memberikan aroma
yang diinginkan dan menghilangkan bau amis pada ikan.
Setelah aroma selanjutnya uji organoleptic tekstur. Menurut penilaian
organoleptik anggota kelompok 8 tekstur abon disukai. Menurut Adan tekstur abon
ikan memiliki tekstur yang renyak dan sedikit kering, menurut Simon tekstur abon
ikan memiliki tekstur yang sedikit kering, menurut Naila tekstur abon ikan memiliki
tekstur yang kering, menurut Raudatu tekstur abon ikan yang dibuat adalah renyah
dan gurih, menurut Basma tekstur abon ikan yang dibuat memiliki tekstur yang
tidak berminyak, menurut Abdurrahman tekstur abon ikan yang dibuat terlalu
kering, dan menurut Rida tekstur abon ikan yang dibuat terlalu kasar dan kering.
Tekstur merupakan faktor yang berpengaruh terhadap penilaian, karena
tekstur suatu makanan akan terasa saat konsumen memakannya. Abon ikan pada
umumnya memiliki tekstur yang lembut, bumbu-bumbu yang menempel pada
daging akan menybabkan tekstur abon menjadi kasar. Tekstur tidak renyah
diakibatkan oleh penggorengan yang kurang matang dan tekstur yang kering serta
renyah dipengaruhi oleh penggorengan yang pas dan pada saat pengepresan minyak
berhasi terbuang.
40
4. 2. 4 Pembahasan Ebi
Ebi merupakan udang kecil yang diawetkan dengan cara dikeringkan.
Proses pembuatan ebi pada awalnya dilakukan secara manual dengan tenaga
manusia. Namun saat ini, cara pengeringan telah menggunakan mesin salai, dan
proses pengelupasan kulitnya menggunakan mesin giling (Heriyanto 2012). Proses
produksi dengan bantuan mesin sangat bermanfaat karena dapat mempersingkat
waktu pembuatan dan mencegah ebi dari kontaminasi bakteri.
41
Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan ebi adalah panci dan kompor,
sebagai alat yang digunakan untuk merebus udang, sedangkan bahan yang
digunakan adalah udang segar, air, dan garam. Proses pembuatan ebi dimulai
dengan mempersiapkan udang segar lalu ditimbang. Setelah udang ditimbang,
udang tersebut dikupas kulitnya dan dibersihkan dari kotoran. Setelah itu masukkan
air ke dalam panci dan ditambahkan garam, lalu kompor dinyalakan. Saat air sudah
mendidih, udang dimasukkan ke dalam panci dan direbus selama 10 menit. Udang
yang telah direbus tadi ditiriskan dan dijemur hingga kering untuk mengurangi
kadar airnya. Setelah udang dijemur hingga kering, udang ditimbang kembali untuk
mengetahui berapa perubahan berat yang terjadi.
Dari perubahan yang terjadi, terdapat perbedaan bobot setelah perlakuan
antara sebelum dioloah dan setelah diolah. Perubahan yang terjadi tersebut adalah
susut bobot, yaitu penurunan bobot bahan baku setelah mengalami proses
perebusan dan pengeringan. Dari tabel hasil data kelas di atas, berdasarkan
perhitungan susut bobot, kelompok 9 memiliki nilai susut bobot ebi yang paling
tinggi yaitu sebesar 95,6%, sedangkan untuk nilai susut bobot ebi terrendah dimiliki
oleh kelompok 6 yaitu sebesar 76,8%. Kelompok kami memiliki nilai susut bobot
sebesar 90,8%. Pada tabel pengamatan diatas, dapat terlihat kelompok 7 tidak ada
data susut bobot, hal ini dikarenakan pada saat proses penjemuran, ebi kelompok 7
dimakan oleh kucing.
Susut bobot terjadi karena adanya proses penguapan pada saat penjemuran
dan osmosis pada saat penggaraman. Susut bobot ikan saat penjemuran ditandai
dengan semakin menurunnya berat ikan seperti yang ditampilkan pada tabel hasil
pengamatan diatas. Pada proses penguapan maupun osmosis terjadi pembebasan air
dari dalam bahan pangan, sehingga mengakibatkan turunnya kadar air dan berat
dari bahan pangan (Hawa et al. 2009). Perbedaan perlakuan dalam lamanya waktu
perebusan memiliki laju penurunan kadar air yang berbeda, perebusan dengan
waktu yang lebih lama mengakibatkan jumlah air yang diuapkan lebih banyak dan
lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan dengan waktu perebusan lebih singkat
yang memiliki laju lebih lambat (Fasirun 2003). Pada pembuatan ebi juga
42
perhitungan nilai susut bobot sangat dipengaruhi oleh lama penjemuran. Semakin
lama ebi dijemur maka nilai susut bobotnya akan semakin tinggi.
Menurut Heriyanto (2012), kualitas ebi ditentukan oleh kadar air atau
tingkat kekeringan ebi, dimana semakin kering mutu ebi semakin baik. Ebi yang
kurang kering menyebabkan ebi tidak tahan lama disimpan karena lembab yang
akan menimbulkan tumbuhnya jasad renik perusak.
buatan kelas Perikanan B dihasilkan aroma yang baik (peringkat 7), namun dua
kelompok memilki aroma petis udang yang sangat baik yaitu pada kelompok 3 dan
kelompok 6 memberikan peringkat 9 terhadap hasil buatan petis udangnya. Rasa
petis udang yang dihasilkan cukup bervariasi, ada yang asin, manis, asin-manis, dan
rasa udang. Terdapat tiga kelompok yang memiliki rasa yang kurang baik yaitu
memilki peringkat 5 pada tiap kelompoknya, yaitu pada kelompok 3,4 dan 7 sisanya
memiliki rasa yang cukup baik yaitu pada peringkat 7. Tekstur petis udang yang
dihasilkan juga bermacam-macam, ada yang sedikit kental, kental, kental dan
lengket, serta encer. Tetapi pada kelompok 8 memiliki tekstur yang kurang baik
yaitu peringkat 5, sedangkan kelompok lainnya yang bukan kelompok 2 dan 6
memilki tekstur yang cukup baik yaitu peringkat 7, sedangkan kelompok 2 dan 6
memilki peringkat 9 ditandai dengan peringkat 9. Hampir seluruh petis udang
buatan kelas Perikanan B adalah elastis, hanya saja pada kelompok 4, 8 dan 9
kurang elastis (peringkat 5), dan pada kelompok 3 dan 10 cukup elastis ditandai
dengan perin gkat 7. Sebagian besar kelompok menyukai petis udang buatannya
(peringkat 7), kecuali kelompok 9 yang menganggap rasa petis udang buatannya
biasa (peringkat 5).
Berdasarkan anggota kelompok 8 warna, rasa, aroma dan tekstur dari petis
udang cukup bervariatif. Menurut saya, kenampakannya dari segi warna cukup
menarik, aroma tercium bau gula merah khas petis, tetapi memilki rasa yang kurang
baik dan tidak terasa udangnya serta memilki tekstur yang sedikit kental. Warna
coklat yang menarik, aroma seperti saat dipanaskan seperti khas caramel dari gula
merah, dan rasanya sedikit aneh, serta bertekstur kurang kental, menurut
abdurahman. Sedangkan menurut Raudatu, memilki warna yang cukup menarik,
aroma seperti kamaramel, tidak terasa udangnya dan bertekstur kurang kental juga.
Menurut Naila, warna yang dimiliki coklat yang menarik, aromanya tercium bau
gula yang menyengat, rasanya aneh dan memilki tekstur kurang kental/kenyal.
Menurut Adan yaitu warna yang dihasilkan berwarna coklat cerah, beraroma seperti
caramel, tekstur kurang kental dan rasanya kurang bumbu jadi kurang enak.
Menurut Simon, berwarna cukup menarik, tidak terciumnya aroma khas udang,
teksturnya kurang menarik atau kurang kental dan memilki rasa yang kurang baik.
44
Dan terakhir menurut Rida bahwa petis udang buatan kelompok 8 memilki rasa
yang tidak baik atau kurang berbumbu, berwarna cukup menarik, beraroma khas
gula merah dan bertekstur kurang kenyal, serta seluruh anggota pada kelompok
kami menyimpulkan bahwa keelastisan pada petis udang kelompok 8 kurang elastis
ditandai dengan peringkat 5.
Menurut Sari dan Kusnadi (2015), petis berasal dari cairan tubuh ikan atau
udang yang telah terbentuk selama proses penggaraman kemudian diuapkan
melalui proses perebusan lebih lanjut sehingga menjadi lebih padat seperti pasta.
Ciri - ciri petis yang baik adalah berwarna cerah (tidak kusam), umumnya cokelat
kehitaman karena ada penambahan gula merah, pewarna buatan, ataupun cairan
tinta cumi, berbau sedap, kental tetapi sedikit lebih encer dari margarin (Suprapti
2001 dalam Sari dan Kusnadi 2015). Warna petis udang yang dihasilkan oleh
sebagian besar kelompok sudah sesuai, yaitu cokelat kehitaman, cokelat tua, cokelat
pekat, ataupun cokelat gelap karena adanya penambahan gula merah. Warna
cokelat muda dan cokelat yang dihasilkan oleh kelompok 5 dan 10 kemungkinan
disebabkan oleh jumlah gula merah yang kurang dari kadar seharusnya (kurang dari
10%).
Petis yang terlalu liat dapat dicurigai terlalu banyak mengandung tepung.
Selain itu rasa dan bau ikan atau udang pada petis masih dapat dikenali dengan
mudah serta teksturnya halus dan mudah dioleskan (Astawan 2002 dalam Sari dan
Kusnadi 2015). Kekentalan petis udang buatan sebagian besar kelompok adalah
kental, yang menunjukkan bahwa komposisi tepung tapioka yang digunakan sudah
sesuai dengan kadar yang seharusnya (2%). Kekentalan petis udang buatan
kelompok 8 yang sedikit kental mungkin disebabkan oleh penggunaan tepung
tapioka yang kurang dari 2%. Rasa dan aroma petis udang yang dihasilkan sebagian
besar kelompok sudah benar, yakni rasa udang dan aroma udang. Rasa asin yang
dihasilkan oleh sebagian besar kelompok sebenarnya merupakan rasa khas udang,
namun demikian rasa petis udang kelompok 3, 4 dan 7 kurang terasa atau tidak
terasa. Hal ini mungkin disebabkan oleh jumlah limbah pengolahan ebi yang
digunakan kurang dari 250 ml. Sebaliknya, rasa petis udang sangat asin atau sangat
45
terasa mungkin disebabkan oleh penggunaan limbah cair pengolahan ebi yang
terlalu banyak (lebih dari 250 ml).
Menurut Elert (2005) dalam Hartanto (2015), viskositas (kekentalan) adalah
suatu kuantitas yang menjelaskan kemampuan suatu fluida untuk mengalir.
Kecenderungan data viskositas pada fluida petis udang menunjukkan bahwa
semakin tinggi temperatur yang dikenakan pada fluida petis, maka viskositasnya
akan semakin menurun, sedangkan semakin kecil konsentrasi petis udang maka
viskositas fluida petis semakin menurun (Hartanto 2015). Hal ini dapat menjelaskan
tingkat kekentalan petis udang buatan kelompok 8 yang sedikit kental (kurang
kental apabila dibandingkan dengan petis udang buatan kelompok lain),
kemungkinan karena suhu pemanasan yang digunakan terlalu tinggi dan
konsentrasi petis yang digunakan kurang (terlalu banyak air).
Hipotesis ini dapat menjelaskan bahwa kurang kentalnya petis udang yang
dihasilkan disebabkan oleh konsentrasi petis yang kurang. Bobot udang yang
digunakan sedikit (70,78 gr) sehingga perlu penambahan air yang agak banyak dan
menyebabkan kekentalan petis menjadi berkurang. Suhu pemanasan mungkin
terlalu tinggi sehingga semakin mengurangi kekentalan petis. Bobot udang yang
digunakan oleh kelompok 8 sebenarnya cukup banyak, sehingga seharusnya
kekentalan petis yang dihasilkan cukup. Kemungkinan penambahan air yang
dilakukan terlalu banyak dan suhu pemanasan terlalu tinggi, sehingga
menyebabkan kekentalan petis udang yang dihasilkan berkurang. Secara garis
besar, kekentalan petis udang buatan masing-masing kelompok sudah cukup baik
sehingga menghasilkan petis udang yang elastis.
4. 2. 6 Pembahasan Kecimpring
Pengujian perlakuan yang berbeda tiap kelompok menghasilkan produk
kecimpring yang beragam. Kelompok 8 menggunakan perlakuan dengan
penambahan daging ikan sebanyak 10%. Bobot kecimpring setelah dikukus sebesar
464 gram, setelah dijemur bobot berkurang menjadi 450 gram, begitupun setelah
dilakukan proses penggorengan bobot kecimpring berkurang menjadi 212 gram.
46
Hal ini dapat disebabkan oleh kadar air yang menguap selama proses penjemuran
dan penggorengan.
Kelompok 8 mendapat peringkat dengan nilai 7 yang artinya cukup disukai.
Hal ini sesuai dengan karakteristik yang diperoleh dari produk akhir kecimpring.
Kenampakan warna yang dihasilkan adalah kuning kecoklatan namun sedikit gelap
dibandingkan dengan kecimpring kelompok lain. Hal ini dikarenakan proses
penggorengan yang terlalu lama sehingga produk mengalami perubahan warna
yang berlebih. Menurut Fauzi dkk (2017), perbedaan tingkat warna di tiap perlakuan
disebabkan karena kandungan protein pada daging ikan yang terkena suhu tinggi
pada proses penggorengan dan lama penggorengan. Aroma khas ikan sudah tidak
tercium lagi pada kecimpring. Kadar penambahan daging ikan yang hanya 10%
tidak mempengaruhi aroma dari produk ini. Pada karakteristik rasa, produk
kecimpring ini terlalu asin. Hal ini disebabkan oleh kadar garam yang tidak sesuai.
Tingkat kerenyahan kecimpring ini mendapat nilai 3 yang berarti tidak renyah dan
keras. Hal ini dikarenakan proses penjemuran yang kurang maksimal sehingga saat
proses penggorengan kecimpring tidak mengembang. Proses pencetakan yang
terlalu tebal juga menjadi faktor dari tingkat kerenyahan kecimpring. Berdasarkan
hasil pengamatan kelas Perikanan B 2015, kelompok 6 dan 9 mendapat hasil paling
rendah dengan nilai 5 yaitu kurang disukai. Hal ini disebabkan tingkat kerenyahan
yang kurang disukai yaitu terlalu keras. Sedangkan peringkat tertinggi ada pada
kelompok 1 dan 3 dengan nilai 9 yaitu sangat disukai. Perlakuan dari kedua
kelompok tersebut sangat disukai dikarenakan rasa yang dihasilkan tidak terlalu
asin dan tekstur dari kecimpringnya renyah dan tidak keras.
BAB IV
PENUTUP
5. 1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum, maka dapat diambil kesimpulan yaitu sebagai
berikut:
1. Hasil uji organoleptik bekasam ikan nila pada kelompok 8 yaitu
mendapatkan warna bekasam kuning kecoklatan serta tubuh yang utuh dan
tidak berjamur, memiliki bau khas fermentasi bekasam dan sedikit tercium
bau khas ikan, memiliki tekstur yang cukup lembut, lumayan renyah dan
tidak lembek. Rasa bekasam sesudah di goreng terasa campuran khas ikan,
asin, dan asam khas fermentasi.
2. Hasil pembuatan bakso ikan pada parameter warna yaitu berwarna putih
cerah keabu-abuan, hasil ini dipengaruhi dari warna daging ikan tersebut.
Untuk parameter permukaannya yaitu halus. Di parameter keseragaman
bentuk, bentuknya seragam, karena saat mencetak diinginkan bentuk yang
seragam agar terlihat menarik. Aroma yang didapatkan yaitu aroma ikannya
kurang tercium. Teksturnya yaitu kenyal, artinya komposisi bahannya sudah
tepat. Rasa yang didapatkan yaitu sesuai bumbunya pas sehingga terasa
sedap. Elastisitas yang didapatkan yaitucukup elastis. Nilai dari peringkat
kesukaan yaitu bernilai 7, yang artinya suka.
3. Hasil tingkat kesukaan panelis terhadap produk abon ikan yaitu sangat suka
diberikan panelis kepada kelompok 2, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 penilaian suka
diberikan pada kelompok 3 dan 4 sedangkan penilaian tidak suka diberikan
pada kelompok 1.
4. Kelompok 9 memiliki nilai susut bobot ebi yang paling tinggi yaitu sebesar
95,6%, sedangkan untuk nilai susut bobot ebi terendah dimiliki oleh
kelompok 6 yaitu sebesar 76,8%. Perbedaan nilai susut bobot dipengaruhi
oleh perbedaan perlakuan pada lamanya waktu dalam proses perebusan dan
penjemuran.
47
48
5. Bobot petis udang buatan kelompok 8 yaitu70,78 gr. Rata-rata warna petis
udang yang dihasilkan adalah cokelat yang tidak bervariasi ditandai dengan
hanya satu kelompok saja yaitu kelompok 9 yang memiliki warna coklat
kurang menarik. Aroma petis udang yang dihasilkan adalah aroma udang.
Rasa petis udang yang dihasilkan cukup bervariasi, ditandai dengan cukup
berbedabeda peringkat yang diberikan tiap kelompok. Tekstur petis udang
yang dihasilkan juga bermacam-macam, ada yang sedikit kental, kental,
kental dan lengket, serta encer yang ditandai dengan peringkat yang
berbedabeda yaitu peringkat 5, 7 dan 9. Hampir seluruh petis udang buatan
kelas Perikanan B adalah elastis. Seluruh kelompok menyukai petis udang
buatannya (peringkat 7) kecuali pada kelompok 9 yang hanya memberikan
peringkat 5.
6. Berdasarkan hasil pengamatan kelas Perikanan B 2015, kelompok 6 dan 9
mendapat hasil paling rendah dengan nilai 5 yaitu kurang disukai. Hal ini
disebabkan tingkat kerenyahan yang kurang disukai yaitu terlalu keras.
Sedangkan peringkat tertinggi ada pada kelompok 1 dan 3 dengan nilai 9
yaitu sangat disukai. Perlakuan dari kedua kelompok tersebut sangat disukai
dikarenakan rasa yang dihasilkan tidak terlalu asin dan tekstur dari
kecimpringnya renyah dan tidak keras.
4. 2 Saran
Saran yang dapat diberikan yaitu sebaiknya praktikan mengikuti prosedur
praktikum yang telah diberikan dan harus memperhatikan ketelitian kerja dan
kebersihan alat dan tempat yang digunakan, serta harus memahami pengujian hasil
olahan dengan cara organoleptik yang baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Berlian, Zainal, dkk. 2016. Pengaruh Kuantitas Garam Terhadap Kualitas Bekasam.
Jurnal Biota vol 2 No. 2 Edisi Agustus 2016
BSN, 1991. SNI No. 01-3819-1991. Syarat MutuBakso Ikan. DSN, Jakarta.
Fauzi M.I., Junianto, Kurniawati Nia. 2017. Fortifikasi Daging Ikan Nila Terhadap
Karakteristik Organoleptik dan Kandungan Gizi Kecimpring. Jurnal
Perikanan dan Kelautan Vol VIII No. 2 Desember 2017.
Hawa, La Choviya, Sumardi H.S., dan Elfira Puspita Sari. 2009. Penentuan
Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Ikan Kembung (Rastreligger sp.).
Jurnal Teknologi Pangan 10(3):153-161
Hartanto, Y. 2015. Karakteristik Rheologi Petis Berbasis Kepala dan Kulit Udang.
Penelitian. Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
49
50
Novianty, H. 2006. Fortifikasi Daging Ikan Patin Terhadap Mutu Kecimpring Ikan.
Skripsi. Universitas Padjadjaran.
Rahayu, P.W. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. PAU Pangan dan
Gizi IPB. Bogor
Sari, V. R. dan J. Kusnadi. 2015. Pembuatan Petis Instan (Kajian Jenis dan
Proporsi Bahan Pengisi). Jurnal Pangan dan Agroindustri Volume 3
Nomor 2 p. 381-389.
Suzuki, T. 1981. Fish and Krill Protein: Processing Technology. Applied Science
Publishers Ltd, London.
Tato Agustinus., dkk. 2014. Studi Penerimaan Konsumen Terhadap Abon Nila
(Oreochromis Niloticus) Dengan Penambahan Jamur Tiram Putih
(Pleurotus Ostreatus). Jurnal Perikanan dan Kelautan. ISSN 0853-760.
Winarno, F. G., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
1. Prosedur Pembuatan
A. Bekasam
Ikan digarami dengan melumuri semua tubuh ikan sebanyak 14%, didiamkan
20 jam
B. Bakso Ikan
51
52
C. Abon Ikan
53
D. Ebi
Udang direbus dengan air garam selama 10 menit lalu dijemur hingga kering
E. Petis Udang
F. Kecimpring
Singkong dikupas dan dicuci dalam air yang mengalir, kemudian diparut
Singkong dicampur dengan lumatan daging ikan sesuai perlakuan dan bumbu halus
(garam, gula, bawang putih, ketumbar)
Adonan mentah dibentuk sesuai keinginan, diletakan pada loyang yang sudah
dilapisi minyak dan pipihkan (gunakan garpu) dengan ketebalan yang sama
Adonan yang sudah dicetak pada loyang diuapkan/dikukus dengan posisi loyang
menghadap kebawah
Dokumentasi Praktikum
1. Bekasam
A. Alat dan Bahan Praktikum
Garam Minyak
Pisau Spatula
56
Baskom Talenan
B. Prosedur Kegiatan
2. Bakso Ikan
A. Alat dan Bahan
Pisau Styrofoam
Talenan Panci
60
B. Prosedur Kegiatan
3. Abon Ikan
A. Alat dan Bahan Praktikum
Sendok Garpu
Pisau Mika
Saringan Wajan
Timbangan Spatula
Baki Baskom
Ketumbar Garam
Santan Lengkuas
Ikan lele
66
B. Prosedur Kegiatan
Timbangan Baskom
Baskom Panci
B. Prosedur Kegiatan
5. Kecimpring
A. Alat dan Bahan Praktikum
Pisau Tampah
Styrofoam Baki
72
Singkong Garpu
B. Prosedur Kegiatan
Penggorengan kecimpring