Trauma Medula Spinalis
Trauma Medula Spinalis
Trauma Medula Spinalis
Pembimbing
Dr. Sumarnita Tarigan, Sp.S
Disusun oleh :
Hendric Hariansyah
17360176
0
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan paper ini tepat waktu. Paper ini
untuk melengkapi tugas persyaratan kepaniteraan klinik stase (KKS) Neurologi di
RSU Haji Medan, selain itu paper ini juga bertujuan supaya pembaca dapat
mengetahui dan memahami secara jelas mengenai Trauma Medula Spinalis.
Hendric Hariansyah
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................... 1
1
DAFTAR ISI ......................................................................................... 2
BAB I
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 3
BAB II
2.1 Definisi Eklampsia ........................................................................... 5
2.2 Diagnosis dan Gambaran Klinik Eklampsia .................................... 6
2.3 Etiologi dan Patofisiologi Kejang Eklamptik.................................... 8
2.4 Tatalaksana Terapi Eklampsia........................................................... 9
2.5 Tatalaksana Terapi Preeklampsia Berat............................................. 11
2.6 Penanganan Pre eklampsia berat dan eklampsia.............................. 19
BAB III
3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 22
Daftar Pustaka......................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN
2
1.1 Latar Belakang
gangguan fungsi saraf yang sering menimbulkan kecacatan permanen pada usia
muda. Kelainan yang lebih banyak dijumpai pada usia produktif ini sering kali
mengakibatkan penderita harus terbaring di tempat tidur atau duduk di kursi roda
kejadian (insidensi) trauma ini sekitar 11,5 – 53,4 kasus per 100.000
penduduk tiap tahunnya. Trauma spinal meliputi 75% dari seluruh cedera.
Setengah dari kasus ini adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor; jatuh
(20%), luka tembak (25%), olahraga, dan kecelakaan industri. Dari data yang
terdapat pada Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam periode
Dokter dan tim medis yang menolong penderita cedera tulang belakang
harus selalu berhati – hati bahwa manipulasi yang berlebihan serta immobilisasi
neurologis, harus selalu dicari dan disingkirkan pada penderita yang mengalami
cedera multipel. Setiap cedera diatas tulang klavikula harus dicurigai adanya
cedera pada tulang leher sampai terbukti tidak adanya keterlibatan medulla
karena iskemia atau edema progresif pada sumsum tulang belakang atau akibat
3
kegagalan mempertahankan immobilisasi yang adekuat. Pergerakan penderita
dengan kolumna vertebralis yang tidak stabil akan memberikan resiko kerusakan
Oleh karena cedera ini bersifat sangat fatal dan dapat menyebabkan
penurunan kualitas hidup yang menetap, maka para dokter maupun perawat
membutuhkan cara diagnosis yang tepat dan tatalaksana yang baik dalam
menghadapinya.1,2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
jaringan syaraf yang panjang, tipis dan berbentuk tubular, terletak di dalam
4
kolumna vertebra dan membujur mulai dari otak (bagian medulla oblongata).
Medulla spinalis bersamaan dengan otak membentuk susunan syaraf pusat (SSP).
Sumsum tulang belakang mulai menjulur dari tulang oksipital bagian tengkorak,
turun ke bawah sepanjang tulang belakang hingga berada di rongga antara tulang
pada wanita. Lebarnya sangat bervariasi mulai dari setengah inci pada bagian
servikal dan lumbar, dan seperempat inci pada bagian torakal. Struktur tulang
antara otak dan anggota tubuh lainnya. Sinyal ini dapat bersifat motorik maupun
sensorik. Selain itu juga dapat berfungsi sebagai suatu komponen pusat dari
refleks fisiologis.
Bentuk sumsum berupa ovoid, dengan diameter yang lebih lebar di bagian
5
di C3 hingga T2, dimana terdapat pleksus brachialis yang berfungsi
sebagai input dan sensoris dan output motoris dari kedua lengan.
piamater. Duramater tersusun dari serat yang amat tangguh dan berfungsi
ruangan yang disebut ruang epidural. Ruang ini dipenuhi oleh jaringan
6
Gambar 2.1 Potongan Melintang Medulla Spinalis6
Pada potongan melintang, daerah perifer dari medulla spinalis
serebrospinal.
Bentuk dari medulla spinalis adalah ovoid, dengan bagian dorsal
dan motorik yang berada di bagian kiri dan kanannya. Sekitar enam
hingga delapan akar saraf kecil (radiks) bercabang dari medulla spinalis
dengan urutan yang sangat rapi. Radiks ini kemudian bergabung menjadi
suatu akar saraf. Saraf sensoris selalu berjalan dari bagian dorsal dan
saraf motoris berjalan dari bagian ventral. Kedua akar saraf ini kemudian
bergabung lagi menjadi saraf spinal (ramus) yang mana bagian sensorik
7
Gambar 2.2 Struktur dari Saraf Perifer Sekitar Medulla Spinalis6
saraf perifer setelah keluar dari tulang belakang, dan masing-masing saraf
8
Gambar 2.3 Gambaran Dermatom3
9
meneruskan jarasnya menuju ke ekstremitas bagian bawah. Kauda equina
segmen sakral. Semua serabut syaraf, kecuali syaraf C1 dan C2, keluar
10
dari kolumna spinalis melewati intravertebral foramen di vertebranya.
aksis.
11
Medulla spinalis selain mendapatkan suplai darah dari tiga arteri
besar yang berjalan secara longitudinal dari otak, juga mendapat dari arteri
yang mengalir dari sisi kolumna spinalis. Ketiga arteri besar tersebut
adalah arteri anterior spinalis, arteri posterior spinalis kiri dan kanan.
bagian servikal berasal dari arteri radikular bagian anterior dan posterior.
Kedua arteri ini berjalan berdampingan dengan akar saraf dorsal dan
12
ventral untuk kemudian memperdarahi sumsum tulang belakang. Arteri
arteri anterior radikularis magna. Kelainan aliran darah pada arteri magna
Ketiga jaras sensorik ini memiliki 3 neuron yang berbeda untuk bekerja.
tersier.
13
Gambar 2.7 Ringkasan Traktus Medulla Spinalis6
neuron sekunder pada salah satu dari nuclei kolumna dorsalis; antara
kontralateral terdapat pada titik ini. Setelah itu jaras terus naik ke bagian
tersier. Dari situ neuron tersier naik menuju ke kapsula interna dan
berujung pada korteks sensorik primer. Perlu diingat bahwa jaras ini
14
disebut juga jaras kolumna posterior dan menghantarkan rasa getar,
dan koordinasi kerja otot-otot antagonis dan agonis yang berperan saat
berdiri, berjalan, dan semua gerakan lain. Proses ini berjalan tanpa
disadari.
15
Gambar 2.8 Traktus Kolumna Dorsalis
16
2.1.4.2 Traktus Spinotalamikus
17
Gambar 2.9 Traktus Kolumna Dorsalis dan Spinotalamikus Anterolateral
koordinasi, serebelum. Ada dua traktus pada setiap sisi medulla spinalis,
18
Pada traktus spinoserebelaris posterior, neuron primer
kedua dengan badan sel yang terletak di nukleus ini merupakan asal
anterior, yang berjalan naik di dalam medula spinalis baik di sisi ipsilateral
19
maupun kontralateral dan berakhir di serebelum. Kebalikan dengan traktus
20
traktus ini terlihat sebagai penonjolan kecil yang disebut sebagai piramid.
Piramid medula terdapat satu pada masing-masing sisi. Pada bagian ujung
21
Gambar 2.11 Traktus Motorik Medulla Spinalis4
massa utama traktus ketika melewati otak tengah dan kemudian berjalan
mempersarafi nuklei batang otak ini sebagian menyilang dan sebagian lagi
22
nuklei yang memediasi gerakan volunter otot-otot kranial melalui nervus
kranialis V, nervus kranialis VII, nervus kranialis IX, X, dan XI, serta XII.
Traktus kortikomesensefalikus berjalan bersamaan dengan traktus
2.2.1 Definisi7,8
susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh
tulang vertebra. Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris,
gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan
dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sementara ataupun
permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut
2.2.2 Epidemiologi2,7,8
sebanyak 183.000 sampai 203.000 orang yang hidup dengan cedera medula
yang tinggi. Pada tahun 2004, Christopher & Dana Reeve Foundation bekerja
sama dengan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melakukan
23
penelitian untuk mengetahui epidemiologi penderita cedera medula spinalis dan
Hasilnya yaitu sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar
fungsional yang digunakan dalam survei tersebut. Sekitar 0,4% dari populasi
lalu lintas (35%), menyelam (9%), kekerasan (4%) dan penyebab lain (9%).
negara ke negara lain. Kecelakaan lalu lintas mencakup sebesar 49% penyebab
24
2.2.3 Etiologi
A. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti
spinalis traumatik sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam
defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American Board of
B. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti
atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh
gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup
2.2.4 Patofisiologi7,8
25
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi
akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera
setelah cedera.
korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang
persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah
cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan perubahan
Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan
kaskade yang kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat
traktus yang mana kesemuanya hanya dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa
penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger Ribonucleic Acid) menunjukkan
beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula spinalis dan perubahan ini
sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar
26
saraf pusat yang cedera dan menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat.
rusaknya membran sel. Teori lain yaitu teori kalsium, teori reseptor opiate, dan
lain sebagainya
nekrosis dan apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel yang utama segera
setelah terjadinya cedera primer adalah nekrosis, kematian sel apoptosis yang
terprogram mempunyai efek yang signifikan pada cedera sekunder sub akut.
saraf pusat. Pembentukan jaringan parut glial merupakan proses reaktif yang
abu-abu dari korda sentral dan degenerasi kistik, jaringan parut berkembang dan
meluas sepanjang traktus aksonal. Pola dari pembentukan jaringan parut dan
infiltrasi sel inflamatori dipengaruhi oleh jenis dari lesi medula spinalis.
2.2.5 Klasifikasi
Klasifikasi dari trauma medulla spinalis terbagi atas 2 kategori, yaitu
27
Menurut American Spinal Injury Association, trauma medulla spinalis
sampai S4-S5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik
kekuatan >=3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal
Tabel 2.1 Klasifikasi Cedera Spinal Menurut ASIA
28
Brown-Sequard Trauma 1. Paresis UMN ipsilateral di bawah lesi dan
ipsilateral
HNP normal
4. Disfungsi spinkter
pada T4-
6
Sindroma Hematomielia, 1. Paresis lengan > tungkai
2. Gangguan sensorik bervariasi di ujung
Spinalis Trauma
distal lengan
Sentral spinal 3. Disosiasi sensibilitas
4. Disfungsi miksi, defekasi, dan seksual
Servikal
posterior
29
Sindroma Konus Trauma lower 1. Gangguan motorik ringan, simetris
2. Gangguan sensorik, bilateral, disosiasi
Medullaris sacral
sensibilitas
cord 3. Nyeri jarang, relative ringan, simetris,
bulbocavernosus -, anal –
5. Disfungsi spinkter, ereksi, dan ejakulasi.
30
Gambar 2.13 Potongan Melintang Medulla Spinalis dengan Sindromanya
31
2.2.6 Diagnosis2,9
jalan napas, pernapasan, dan peredaran darah. Setelah ketiga ABC tersebut stabil,
pasien sebelum dan setelah trauma, gejala-gejala penyerta seperti nyeri yang
kemampuan peristaltik usus, spasme otot, perubahan fungsi otonom dan seksual.
Perlu diingat bahwa penyebab trauma pasien juga harus ditelusuri, misalkan
penyebab trauma dan apakah terdapat kelainan tulang dan sebagainya. Pasien
yang diduga mengalami cedera tulang servikal harus diperlakukan sangat hati-
berikut seperti:
- Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)
- Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti
disfagia)
Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan
lainnya seperti cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi
32
saraf spinal yang normal, seperti yang diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut
sebagai level neurologis dari lesi tersebut. Hal ini tidak harus sesuai dengan level
servikal digunakan foto AP, lateral, dan odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal,
ureum dan kreatinin, fungsi hati, dan analisis gas darah kerap dikerjakan guna
mengetahui kondisi metabolik pasien. Pemeriksaan lain seperti EKG juga dapat
dan MRI vertebra. CT-scan dapat lebih jelas memperlihatkan jaringan lunak,
struktur tulang, dan kanalis spinalis dalam potongan aksial. Sedangkan MRI dapat
dapat dianjurkan.
33
Gambar 2.14 (Kiri) : CT Scan pada Medulla Spinalis (Kanan) : MRI pada Medulla Spinalis
2.2.7 Tatalaksana2
pemasangan alat bantu nafas lainnya supaya oksigenasi adekuat. Perlu dinilai juga
apabila pasien memiliki kemungkinan fraktur servikal, maka kerah fiksasi leher
34
Bila mendapatkan tanda-tanda hipotensi, harus segera dibedakan antara
syok hipovolemik dan syok neurogenik. Pada syok hipovolemik didapati tanda
Laktat), bila perlu diberikan koloid. Pada syok neurogenik, pemberian cairan tidak
akan menaikkan tensi, maka harus diberikan obat vasopressor seperti dopamine,
Selanjutnya dapat dipasang foley kateter untuk memonitor hasil urin dan
dengan tujuan untuk dekompresi lambung pada distensi dan demi kepentingan
kelainan tulang servikal, pasang collar neck. Korset torakolumbal atau lumbal
juga dapat dipasang pada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis bagian torakal
Bila diagnosis ditegakkan kurang dari 3 jam pasca trauma, dapat diberikan
baru ditegakkan dalam 3-8 jam, maka cukup diberikan metilprednisolon dalam
35
infuse untuk 48 jam. Bila diagnosis baru diketahui setelah 8 jam, maka pemberian
dengan terus menjaga terapi ABC. Perawatan umum lain seperti penjagaan suhu
spastisitas otot dapat diberikan sesuai keadaan klinis. Pasien yang mengeluh
pasca trauma. Tindakan operatif awal (kurang dari 24 jam) lebih bermakna
tahun pasca trauma. Terapi bedah bertujuan untuk mengeluarkan fragmen tulang,
benda asing, reparasi hernia diskus, dan menstabilisasi vertebra guna mencegah
nyeri kronis.
Indikasi untuk operasi adalah adanya fraktur, pecahan tulang yang menekan
medulla spinalis.
36
2.2.8 Neurorestorasi dan Neurorehabilitasi
Rehabilitasi dan pemulihan fungsi gerak tubuh sangat penting setelah masa
akut dari cedera lewat. Rehabilitasi adalah suatu proses progresif, dinamis, dalam
mengalami gangguan secara optimal dalam bidang mental, fisik, kognitif, dan
sosial. Tindakan yang dapat dilakukan berupa fisioterapi, terapi okupasi, latihan
miksi dan defekasi secara rutin, serta tidak lupa untuk aspek psikologis penderita.
adanya kelainan komorbiditi seperti kontraktur, dekubitus, infeksi paru, dan lain
yang baru.
professional yang bersifat multi-disiplin, yang dimulai sejak fase akut, secara
terus menerus dan ekstensif, lalu melakukan pelayanan khusus selama fase sub-
akut yang meliputi perawatan, terapi fisik, terapi kerja, menjaga pernafasan dan
37
2.2.9 Prognosis9
untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam,
maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik
masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali
sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera medulla spinalis dapat sembuh
dan mandiri.
38
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
10.000 kasus per tahunnya. Cedera ini juga dapat merupakan cedera traumatik
(primer) ataupun akibat penyakit lain (sekunder) seperti infeksi atau tumor.
Mekanisme dari cedera ini dapat terbagi menjadi 2 fase yaitu fase primer
dan fase sekunder. Kedua fase ini belum sepenuhnya dimengerti, namun satu hal
yang pasti adalah cedera ini memiliki window periode hanya sekitar 6 – 24 jam.
Oleh karena itu diagnosis dan tatalaksana yang tangkas sangat diperlukan dalam
diberikan sesuai dengan indikasi pasien. Operasi dapat dianjurkan bila terdapat
indikasi.
39
Pasien dengan cedera medulla spinalis dapat membaik kondisinya
sehingga dapat kembali seperti semula, namun ada pasien yang memiliki
kerusakan parah dan tidak dapat berjalan lagi. Kesemua pasien ini perlu
40
Daftar Pustaka
1. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, et al. The Human Nervous System
Structure and Function. 6th Edition. New Jersey : Humana Press Inc. 2005.
2. Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal. Jakarta : Perdossi ; 2006.
3. Lumbangtobing S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta ; Badan Penerbit FKUI ; 2013.
4. Baehr M, Frotscher M. DUUS Diagnosis Topik Neurologi Edisi 4. Jakarta :
EGC ; 2012.
5. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Germany : Thieme Flexibook ; 2004.
6. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.
Jakarta : EGC; 1997.
7. Ropper H.A, Brown R H. Adam’s and Victor Principles of Neurology. USA ;
McGrawHill : 2005.
8. Mumenthaler M, Mattle H. Neurology 4th edition. Germany : Thieme
Flexibook ; 2004.
9. Jacob A, Weinshenker B. An Approach to the Diagnosis of Acute Transverse
Myelitis. Semin Neurol 2008;28:105-120.
10. Dewanto G, dkk. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf.
Jakarta : EGC ; 2013.
41