Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Trauma Medula Spinalis

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 42

PAPER NEUROLOGI

TRAUMA MEDULA SPINALIS


Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)
Neurologi
Di Rumah Sakit Haji Medan Sumatera Utara

Pembimbing
Dr. Sumarnita Tarigan, Sp.S

Disusun oleh :
Hendric Hariansyah
17360176

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR NEUROLOGI RSU HAJI MEDAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

0
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan paper ini tepat waktu. Paper ini
untuk melengkapi tugas persyaratan kepaniteraan klinik stase (KKS) Neurologi di
RSU Haji Medan, selain itu paper ini juga bertujuan supaya pembaca dapat
mengetahui dan memahami secara jelas mengenai Trauma Medula Spinalis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa paper ini tidak mungkin dapat


terselesaikan dengan baik tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari beberapa
pihak. Ucapan terima kasih kepada:

1. dr. Sumarnita Tarigan, Sp.S selaku pembimbing selama di stase Neurologi


RSU Haji Medan.
2. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan paper ini
Demikian paper ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan pembaca pada umumnya. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan paper ini.

Medan, Maret 2019

Hendric Hariansyah

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................... 1

1
DAFTAR ISI ......................................................................................... 2

BAB I
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 3

BAB II
2.1 Definisi Eklampsia ........................................................................... 5
2.2 Diagnosis dan Gambaran Klinik Eklampsia .................................... 6
2.3 Etiologi dan Patofisiologi Kejang Eklamptik.................................... 8
2.4 Tatalaksana Terapi Eklampsia........................................................... 9
2.5 Tatalaksana Terapi Preeklampsia Berat............................................. 11
2.6 Penanganan Pre eklampsia berat dan eklampsia.............................. 19

BAB III
3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 22

Daftar Pustaka......................................................................................... 24

BAB I

PENDAHULUAN

2
1.1 Latar Belakang

Trauma atau cedera medulla spinalis merupakan salah satu penyebab

gangguan fungsi saraf yang sering menimbulkan kecacatan permanen pada usia

muda. Kelainan yang lebih banyak dijumpai pada usia produktif ini sering kali

mengakibatkan penderita harus terbaring di tempat tidur atau duduk di kursi roda

karena kelumpuhan dari anggota gerak mereka. 1


Data epidemiologik dari berbagai negara menyebutkan bahwa angka

kejadian (insidensi) trauma ini sekitar 11,5 – 53,4 kasus per 100.000

penduduk tiap tahunnya. Trauma spinal meliputi 75% dari seluruh cedera.

Setengah dari kasus ini adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor; jatuh

(20%), luka tembak (25%), olahraga, dan kecelakaan industri. Dari data yang

terdapat pada Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam periode

Januari-Juni 2003 terakhir terdapat 165 kasus trauma spinal.1,2

Dokter dan tim medis yang menolong penderita cedera tulang belakang

harus selalu berhati – hati bahwa manipulasi yang berlebihan serta immobilisasi

yang tidak adekuat akan menambah kerusakan neurologik dan memperburuk

prognosis penderita. Cedera kolumna vertebralis, dengan atau tanpa defisit

neurologis, harus selalu dicari dan disingkirkan pada penderita yang mengalami

cedera multipel. Setiap cedera diatas tulang klavikula harus dicurigai adanya

cedera pada tulang leher sampai terbukti tidak adanya keterlibatan medulla

spinalis setelah trauma. 1


Kurang lebih 5% dari cedera spinal akan timbul gejala neurologis lain atau

memburuknya keadaan setalah penderita mencapai UGD. Hal ini disebabkan

karena iskemia atau edema progresif pada sumsum tulang belakang atau akibat

3
kegagalan mempertahankan immobilisasi yang adekuat. Pergerakan penderita

dengan kolumna vertebralis yang tidak stabil akan memberikan resiko kerusakan

lebih lanjut sumsum tulang belakang.1,2

Oleh karena cedera ini bersifat sangat fatal dan dapat menyebabkan

penurunan kualitas hidup yang menetap, maka para dokter maupun perawat

membutuhkan cara diagnosis yang tepat dan tatalaksana yang baik dalam

menghadapinya.1,2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Medulla Spinalis1,3,4-6

Sumsum tulang belakang (medulla spinalis) adalah suatu kumpulan

jaringan syaraf yang panjang, tipis dan berbentuk tubular, terletak di dalam

4
kolumna vertebra dan membujur mulai dari otak (bagian medulla oblongata).

Medulla spinalis bersamaan dengan otak membentuk susunan syaraf pusat (SSP).

Sumsum tulang belakang mulai menjulur dari tulang oksipital bagian tengkorak,

turun ke bawah sepanjang tulang belakang hingga berada di rongga antara tulang

lumbar 1 dan 2. Panjang medulla spinalis berkisar antara 45 cm pada pria, 43 cm

pada wanita. Lebarnya sangat bervariasi mulai dari setengah inci pada bagian

servikal dan lumbar, dan seperempat inci pada bagian torakal. Struktur tulang

belakang sangat beradaptasi untuk melindungi medulla spinalis yang memiliki

ukuran lebih pendek dan kecil.

Fungsi utama dari medulla spinalis adalah mentransmisikan sinyal neural

antara otak dan anggota tubuh lainnya. Sinyal ini dapat bersifat motorik maupun

sensorik. Selain itu juga dapat berfungsi sebagai suatu komponen pusat dari

refleks fisiologis.

2.1.1 Struktur Medulla Spinalis


Medulla spinalis adalah jaras utama yang menghubungkan otak

dengan neuron perifer. Ukuran medulla spinalis lebih pendek

dibandingkan dengan panjangnya tulang belakang. Hal ini yang membuat

medulla spinalis membujur mulai dari foramen magnum, turun dan

membentuk konus medullaris di dekat tulang vertebra lumbal kedua.


Panjang medulla spinalis dapat mencapai 45 cm pada pria dan 43

cm pada wanita, namun bervariasi seukuran dengan tinggi manusia.

Bentuk sumsum berupa ovoid, dengan diameter yang lebih lebar di bagian

servikal dan lumbar. Pelebaran medulla spinalis di daerah servikal terletak

5
di C3 hingga T2, dimana terdapat pleksus brachialis yang berfungsi

sebagai input dan sensoris dan output motoris dari kedua lengan.

Pelebaran di daerah lumbar berlokasi di L1 hingga L3 dimana terdapat

cabang pleksus lumbosakralis.


Medulla spinalis dilindungi oleh 3 lapisan jaringan yang disebut

selaput spinal (spinal meninges). Lapisan ini menyelubungi kanal dengan

urutan dari luar berturut-turut adalah duramater, araknoidmater, dan

piamater. Duramater tersusun dari serat yang amat tangguh dan berfungsi

sebagai pelindung. Diantara duramater dan tulang belakang terdapat

ruangan yang disebut ruang epidural. Ruang ini dipenuhi oleh jaringan

adiposa dan mengandung banyak pembuluh darah. Lapisan araknoidmater

terletak di tengah dan memiliki gambaran seperti jaring laba-laba. Terdapat

ruang diantara araknoid dengan piamater, ruangan ini disebut ruang

subaraknoid yang mengandung cairan serebrospinal. (cerebrospinal fluid

atau CSF). Piamater adalah lapisan protektif terdalam, bersifat sangat

melekat erat pada permukaan medulla spinalis. Medulla spinalis disokong

oleh jaringan ikat yang disebut ligamen dentikulatum.

6
Gambar 2.1 Potongan Melintang Medulla Spinalis6
Pada potongan melintang, daerah perifer dari medulla spinalis

mengandung banyak serabut saraf sensorik dan motorik sehingga memiliki

warna putih dan disebut sebagai substansia alba. Sedangkan bagian

dalamnya mengandung banyak badan sel saraf sehingga berwarna abu-abu

dan disebut substansia grisea yang berbentuk seperti kupu-kupu. Struktur

ini diselubungi oleh kanal sentral, yang secara anatomis merupakan

perpanjangan dari sistem ventrikel pada otak, sehingga mengandung cairan

serebrospinal.
Bentuk dari medulla spinalis adalah ovoid, dengan bagian dorsal

dan ventralnya memiliki cekungan yang dinamakan posterior median

sulcus di bagian dorsal dan anterior median fissure di bagian ventral.

2.1.2 Segmen-Segmen Medulla Spinalis


Sumsum tulang belakang manusia terbagi atas 31 segmen yang

berbeda. Pada setiap segmennya terdiri dari pasangan neuron sensorik

dan motorik yang berada di bagian kiri dan kanannya. Sekitar enam

hingga delapan akar saraf kecil (radiks) bercabang dari medulla spinalis

dengan urutan yang sangat rapi. Radiks ini kemudian bergabung menjadi

suatu akar saraf. Saraf sensoris selalu berjalan dari bagian dorsal dan

saraf motoris berjalan dari bagian ventral. Kedua akar saraf ini kemudian

bergabung lagi menjadi saraf spinal (ramus) yang mana bagian sensorik

dan motoriknya berjalan bersamaan. Yang disebut susunan syaraf pusat

hanyalah sebatas medulla spinalis. Akar-akar syaraf ini sudah termasuk

sebagai syaraf perifer.

7
Gambar 2.2 Struktur dari Saraf Perifer Sekitar Medulla Spinalis6

Serabut masing-masing radiks terdistribusi ulang menjadi beberapa

saraf perifer setelah keluar dari tulang belakang, dan masing-masing saraf

mengandung serabut dari beberapa segmen radikular yang berdekatan.

Namun, serabut masing-masing segmen radikular kembali tergabung

membentuk kelompokan di bagian perifer untuk mempersarafi area

segmental kulit tertentu yang disebut sebagai dermatom. Masing-masing

dermatom mewakili sebuah segmen radikular, yang dengan demikian

mewakili juga sebuah segmen medula spinalis.

8
Gambar 2.3 Gambaran Dermatom3

Medulla spinalis berakhir sebagai konus medulla di daerah lumbar

1 atau lumbar 2. Disebut konus karena bentuknya yang menguncup

merupai kerucut. Setelah medulla spinalis berakhir, lapisan piamater

mengalami pemanjangan hingga mencapai bagian koksigeus, disebut

sebagai filum terminalis. Serabut syaraf yang terletak di bawah konus

medullaris kemudian membentuk kauda equina (buntut kuda) dan

9
meneruskan jarasnya menuju ke ekstremitas bagian bawah. Kauda equina

terbentuk dari kenyataan bahwa medulla spinalis berhenti bertambah

panjang sejak umur 4 tahun, namun demikian tulang vertebra terus

bertambah panjang hingga usia remaja.

Gambar 2.4 Potongan Sagittal Vertebra dan Medulla Spinalis6

Terdapat 33 segmen dari medulla spinalis manusia, kesemuanya

memiliki nama sesuai dengan tulang vertebranya. Pembagian segmennya

yaitu 8 segmen servikal, 12 segmen torakal, 5 segmen lumbar, dan 5

segmen sakral. Semua serabut syaraf, kecuali syaraf C1 dan C2, keluar

10
dari kolumna spinalis melewati intravertebral foramen di vertebranya.

Tulang belakang C1 disebut sebagai tulang atlas, dan C2 disebut tulang

aksis.

Gambar 2.5 Segmen-Segmen Vertebra4

2.1.3 Vaskularisasi Medulla Spinalis

11
Medulla spinalis selain mendapatkan suplai darah dari tiga arteri

besar yang berjalan secara longitudinal dari otak, juga mendapat dari arteri

yang mengalir dari sisi kolumna spinalis. Ketiga arteri besar tersebut

adalah arteri anterior spinalis, arteri posterior spinalis kiri dan kanan.

Arteri-arteri ini berjalan di dalam ruang sub-araknoid dan bercabang

masuk ke dalam medulla spinalis.

Gambar 2.6 Vaskularisasi Medulla Spinalis6

Kontribusi utama dari suplai darah pada medulla spinalis di bawah

bagian servikal berasal dari arteri radikular bagian anterior dan posterior.

Kedua arteri ini berjalan berdampingan dengan akar saraf dorsal dan

12
ventral untuk kemudian memperdarahi sumsum tulang belakang. Arteri

radikular merupakan suatu perpanjangan cabang dari aorta dan tidak

berhubungan secara langsung dengan ketiga arteri longitudinal. Arteri

radikular terbesar pada manusia terletak di L1 dan L2, disebut sebagai

arteri anterior radikularis magna. Kelainan aliran darah pada arteri magna

ini, terutama dalam proses pembedahan aneurisma aorta, dapat

menyebabkan infark pada medulla spinalis dan mengakibatkan paraplegia.

2.1.4 Traktus Somatosensorik Medulla Spinalis

Struktur somatosensori medulla spinalis dibagi menjadi 3, yaitu

jaras lemniscus bagian dorsal columna-medial (pengaturan

sentuhan/proprioseptif/getaran), jaras spinoserebelaris anterior posterior,

dan sistem spinotalamikkus anterolateral (pengaturan nyeri/temperatur).

Ketiga jaras sensorik ini memiliki 3 neuron yang berbeda untuk bekerja.

Neuron-neuron ini terbagi menjadi neuron sensorik primer, sekunder, dan

tersier.

2.1.4.1 Traktus Lemniskus Dorsal Columna Medial

Pada jaras lemniscus bagian dorsal columna medial, akson neuron

primernya memasuki medulla spinalis dan menuju ke bagian dorsal dari

kolumna. Akson-akson pada medulla spinalis dibawah T6 akan memasuki

jaras fasciculus grasilis, sebaliknya bila akson terdapat setinggi T6 atau

diatasnya, maka akan memasuki jaras fasciculus cuneatus yang terletak di

bagian lateral fasciculus grasilis.

13
Gambar 2.7 Ringkasan Traktus Medulla Spinalis6

Setelah mencapai jaras masing-masing, akson primer menaiki

medulla spinalis hingga mencapai bagian bawah dari medulla oblongata,

setelah itu mencapai meninggalkan fasciculus dan bersinaps dengan

neuron sekunder pada salah satu dari nuclei kolumna dorsalis; antara

nukleus gracilis atau nukleus cuneatus.

Akson akan berjalan menuju anterior dan kemudian ke bagian

medial setelah meninggalkan nukleusnya, kumpulan akson yang serupa ini

disebut sebagai fiber internal arkuata. Persilangan jaras ke bagian

kontralateral terdapat pada titik ini. Setelah itu jaras terus naik ke bagian

medial lemniskus kontralateral hingga pada akhirnya berhenti di nukleus

ventral posterolateral di bagian thalamus dan bersinaps dengan neuron

tersier. Dari situ neuron tersier naik menuju ke kapsula interna dan

berujung pada korteks sensorik primer. Perlu diingat bahwa jaras ini

14
disebut juga jaras kolumna posterior dan menghantarkan rasa getar,

perubahan posisi, raba dan diskriminasi.

Serebelum menerima input proprioseptif aferen dari semua regio

tubuh; kemudian, output eferen polisinaptiknya mempengaruhi tonus otot

dan koordinasi kerja otot-otot antagonis dan agonis yang berperan saat

berdiri, berjalan, dan semua gerakan lain. Proses ini berjalan tanpa

disadari.

15
Gambar 2.8 Traktus Kolumna Dorsalis

16
2.1.4.2 Traktus Spinotalamikus

Jaras sensorik selanjutnya adalah jaras spinotalamikus yang

merupakan jalur untuk penghantaran beberapa jenis impuls lainnya.

Stimulus nyeri dan suhu akan melewati jaras spinotalamikus lateral,

sedangkan sisanya (persepsi raba kasar dan tekan) melewati jaras

spinotalamikus anterior. Jaras ini juga memiliki 3 neuron. Urutan

perjalanannya dimulai dari reseptor perifer bersinaps dengan neuron

sensorik pertama yang melewati dorsal ganglion dan menuju medulla

spinalis. Setelah mencapai medulla spinalis, jaras bersinaps dengan neuron

kedua dan kemudian bersilang ke sisi sebelahnya dan memasuki traktur

spinothalamikus bagian anterior atau lateral. Jaras menaiki medulla

spinalis hingga mencapai thalamus dan kemudian bersinaps dengan neuron

ketiga dan kemudian menuju korteks sensorik.

17
Gambar 2.9 Traktus Kolumna Dorsalis dan Spinotalamikus Anterolateral

2.1.4.3 Traktus Spinoserebelaris

Traktus yang ketiga yang mengatur sistem somatosensorik adalah

traktus spinoserebelaris posterior dan anterior. Beberapa impuls aferen

yang timbul di organ sistem muskuloskeletal (otot, tendon dan sendi)

berjalan melalui traktus spinoserebelaris ke organ keseimbangan dan

koordinasi, serebelum. Ada dua traktus pada setiap sisi medulla spinalis,

satu di bagian anterior dan satu lagi di bagian posterior.

18
Pada traktus spinoserebelaris posterior, neuron primer

menghantarkan impuls dari spindel otot dan organ tendon. Setelah

memasuki medulla spinalis, beberapa serabut kolateral ini langsung

membuat sinaps dengan neuron motorik yang besar di kornu anterius

medulla spinalis. Serabut kolateral lain yang muncul setingkat vertebra

torakal, lumbal, dan sakral berakhir di nukleus berbentuk tabung yang

terdapat di dasar kornu posterius setinggi vertebra C8-L2, dan memiliki

nama yang bervariasi, antara lain kolumna sel intermediolateralis, nukleus

torasikus, kolumna Clarke, dan nukleus Stilling. Neuron pasca-sinaps

kedua dengan badan sel yang terletak di nukleus ini merupakan asal

traktus spinoserebelaris posterior. Traktus spinoserebelaris posterior

berjalan ke atas di dalam medulla spinalis sisi ipsilateral di bagian

posterior funikulus laterlis dan kemudian berjalan melalui pedunkulus

serebelaris inferior ke vermis cereberi. Serabut aferen yang muncul

setingkat servikal berjalan di dalam fasikulus kuneatus untuk membuat

sinaps dengan neuron kedua yang sesuai di nukleus kuneatus dan

kemudian berjalan naik ke serebelum.

Traktus spinoserebelaris anterior memiliki serabut aferen primer

yang memasuki medula spinalis membentuk sinaps dengan neuron

funikularis di kornu posterius dan di bagian sentral substansia grisea

medula spinalis. Neuron kedua ini, yang ditemukan setingkat segmen

vertebra lumbalis bawah, merupakan sel asal traktus spinosereblaris

anterior, yang berjalan naik di dalam medula spinalis baik di sisi ipsilateral

19
maupun kontralateral dan berakhir di serebelum. Kebalikan dengan traktus

spinoserebelaris posterior, traktus ini menyilang di dasar ventrikel ke

empat ke otak tengah dan kemudian berbelok ke arah posterior untuk

mencapai vermis cerebeli.

Gambar 2.10 Traktus Spinoserebelaris4

2.1.5 Traktus Motorik Medulla Spinalis

2.1.5.1 Traktus Kortikospinalis (traktus piramidalis)

Traktus ini berasal dari korteks motorik dan berjalan melalui

substansia alba serebri (korona radiata), krus posterius kapsula interna,

bagian sentral pedunkulus serebri, ponsm dan basal medula. Tempat

20
traktus ini terlihat sebagai penonjolan kecil yang disebut sebagai piramid.

Piramid medula terdapat satu pada masing-masing sisi. Pada bagian ujung

bawah medulla, 80-85% serabut piramidal menyilang ke sisi lain di

dekusasio piramidum. Traktus yang menyilang ini disebut sebagai traktus

kortikospinalis lateralis. Serabut yang tidak menyilang disini berjalan

menuruni medula spinalis di funikulus anterior ipsilateral sebagai traktus

kortikospinalis anterior; serabut ini menyilang lebih di bawah melalui

komisura anterior medula spinalis. Pada tingkat servikal dan torakal,

kemungkinan juga terdapat beberapa serabut yang tetap tidak menyilang

dan mempersarafi neuron motorik ipsilateral di kornu anterius, sehingga

otot-otot leher dan badan mendapatkan persarafan kortikal bilateral. Pada

akhir jaras, serabut traktus piramidalis bersinaps dengan interneuron,

kemudian menghantarkan impuls ke saraf perifer.

21
Gambar 2.11 Traktus Motorik Medulla Spinalis4

2.1.5.2 Traktus Kortikonuklearis (Traktus Kortikobulbaris)

Beberapa serabut traktus piramidalis membentuk cabang dari

massa utama traktus ketika melewati otak tengah dan kemudian berjalan

lebih ke dorsal menuju nuklei nervi kranialis motorik. Serabut yang

mempersarafi nuklei batang otak ini sebagian menyilang dan sebagian lagi

tidak menyilang. Nuklei yang menerima input traktus piramidalis adalah

22
nuklei yang memediasi gerakan volunter otot-otot kranial melalui nervus

kranialis V, nervus kranialis VII, nervus kranialis IX, X, dan XI, serta XII.
Traktus kortikomesensefalikus berjalan bersamaan dengan traktus

kortikonuklearis. Traktus ini memediasi gerakan mata konjugat yang

terdiri dari nervus kranialis III, IV, dan VI.

2.2 Cedera Medulla Spinalis

2.2.1 Definisi7,8

Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke

susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh

tulang vertebra. Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris,

gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan

dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sementara ataupun

permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut

sebagai cedera medula spinalis.

2.2.2 Epidemiologi2,7,8

Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu

mengalami cedera medula spinalis. Sampai tahun 1999, diperkirakan ada

sebanyak 183.000 sampai 203.000 orang yang hidup dengan cedera medula

spinalis di negara tersebut.

Cedera medula spinalis dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi, ketidak

berdayaan, rehabilitasi dan perawatan yang berkepanjangan, dan beban ekonomi

yang tinggi. Pada tahun 2004, Christopher & Dana Reeve Foundation bekerja

sama dengan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melakukan

23
penelitian untuk mengetahui epidemiologi penderita cedera medula spinalis dan

yang mengalami paralisis di Amerika Serikat.

Gambar 2.12 Diagram Penyebab Kelumpuhan dan Trauma Spinal

Hasilnya yaitu sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar

5.596.000 orang melaporkan beberapa bentuk paralisis berdasarkan definisi

fungsional yang digunakan dalam survei tersebut. Sekitar 0,4% dari populasi

Amerika Serikat atau sekitar 1.275.000 orang dilaporkan mengalami paralisis

dikarenakan oleh cedera medula spinalis.

Menurut Dahlberg dkk. (2005), penyebab cedera medula spinalis yang

terbanyak di Helsinki, Finlandia adalah jatuh (43%) , diikuti dengan kecelakaan

lalu lintas (35%), menyelam (9%), kekerasan (4%) dan penyebab lain (9%).

Penyebab cedera medula spinalis di negara berkembang bervariasi dari satu

negara ke negara lain. Kecelakaan lalu lintas mencakup sebesar 49% penyebab

cedera medula spinalis di Nigeria, 48,8% di Turki dan 30% di Taiwan.

24
2.2.3 Etiologi

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis7,8:

A. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti

yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan,

merusak medula spinalis. Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula

spinalis traumatik sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam

defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American Board of

Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord

Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi

dan kontusio dari kolum vertebra.

B. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti

penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis,

atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh

gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup

penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan

inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan

metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.

2.2.4 Patofisiologi7,8

25
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi

akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera

berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu,

intervensi terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan kasus, window

period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam

setelah cedera.

Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke

korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang

persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah

cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan perubahan

metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan.

Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan

berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan

kaskade yang kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat

traktus yang mana kesemuanya hanya dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa

peningkatan produksi radikal bebas dan opioid endogen, pelepasan yang

berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi inflamasi sangat berperan

penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger Ribonucleic Acid) menunjukkan

beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula spinalis dan perubahan ini

ditujukan sebagai target terapeutik.

Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera

sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar

anti-oksidan yang cepat, oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem

26
saraf pusat yang cedera dan menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat.

Hal ini berakibat pada dihasilkannya lipid peroxidase yang menyebabkan

rusaknya membran sel. Teori lain yaitu teori kalsium, teori reseptor opiate, dan

lain sebagainya

Menyusul cedera medula spinalis, penyebab utama kematian sel adalah

nekrosis dan apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel yang utama segera

setelah terjadinya cedera primer adalah nekrosis, kematian sel apoptosis yang

terprogram mempunyai efek yang signifikan pada cedera sekunder sub akut.

Kematian sel oligodendrosit yang diinduksi oleh apoptosis berakibat demyelinasi

dan degenerasi aksonal pada lesi dan sekitarnya.

Proses cedera sekunder berujung pada pembentukan jaringan parut glial,

yang diperkirakan sebagai penghalang utama regenerasi aksonal di dalam sistem

saraf pusat. Pembentukan jaringan parut glial merupakan proses reaktif yang

melibatkan peningkatan jumlah astrosit. Menyusul terjadinya nekrosis dari materi

abu-abu dari korda sentral dan degenerasi kistik, jaringan parut berkembang dan

meluas sepanjang traktus aksonal. Pola dari pembentukan jaringan parut dan

infiltrasi sel inflamatori dipengaruhi oleh jenis dari lesi medula spinalis.

2.2.5 Klasifikasi
Klasifikasi dari trauma medulla spinalis terbagi atas 2 kategori, yaitu

berdasarkan skala impairment scale, dan berdasarkan tipe/ lokasi trauma

2.2.5.1 Klasifikasi Impairment Scale2

27
Menurut American Spinal Injury Association, trauma medulla spinalis

dikategorikan dalam 5 tingkatan yaitu tingkat A, B, C, D, dan E. Pembagiannya

adalah sebagai berikut :

Grade Tipe Gangguan Medulla Spinalis


A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik

sampai S4-S5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik

terganggu sampai segmen S4-S5


C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level,

tapi otot-otot motorik utama masih

memiliki kekuatan <3


D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level,

otot-otot motorik utama memiliki

kekuatan >=3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal
Tabel 2.1 Klasifikasi Cedera Spinal Menurut ASIA

2.2.5.2 Klasifikasi Tipe dan Lokasi Trauma2

Terdapat beberapa pembagian untuk klasifikasi ini, diantaranya sebagai berikut :

i) Complete spinal cord injury (Grade A)


a. Unilevel
b. Multilevel
ii) Incomplete spinal cord injury (Grade B, C, D)

Sindroma Kausa Utama Gejala Klinis

28
Brown-Sequard Trauma 1. Paresis UMN ipsilateral di bawah lesi dan

Syndrome tembus, LMN setinggi lesi


2. Gangguan eksteroseptif (nyeri dan suhu)
Kompres
kontralateral
i 3. Gangguan proprioseptif (raba dan tekan)

ipsilateral

Sindroma Cedera yang 1. Paresis LMN setinggi lesi, UMN dibawah

Spinalis menyeba lesi


2. Dapat disertai disosiasi sensibilitas
Anterior bkan 3. Gangguan eksteroseptif, proprioseptif

HNP normal
4. Disfungsi spinkter
pada T4-

6
Sindroma Hematomielia, 1. Paresis lengan > tungkai
2. Gangguan sensorik bervariasi di ujung
Spinalis Trauma
distal lengan
Sentral spinal 3. Disosiasi sensibilitas
4. Disfungsi miksi, defekasi, dan seksual
Servikal

Sindroma Trauma, infark 1. Paresis ringan


2. Gangguan eksteroseptif punggung, leher,
Spinalis arteri
dan bokong
Posterior spinalis 3. Gangguan propioseptif bilateral

posterior

29
Sindroma Konus Trauma lower 1. Gangguan motorik ringan, simetris
2. Gangguan sensorik, bilateral, disosiasi
Medullaris sacral
sensibilitas
cord 3. Nyeri jarang, relative ringan, simetris,

bilateral pada perineum dan paha


4. Refleks Achilles -, patella +,

bulbocavernosus -, anal –
5. Disfungsi spinkter, ereksi, dan ejakulasi.

Sindroma Kauda Cedera akar 1. Gangguan motorik sedang sampai berat,

Equina saraf asimetris


2. Gangguan sensibilitas, asimetris, tidak
lumbosak
ada disosiasi sensibilitas
ral 3. Nyeri sangat hebat, asimetris
4. Gangguan reflex bervariasi
5. Gangguan spinkter timbul lambat, ringan,

jarang terdapat disfungsi seksual

Tabel 2.2 Klasifikasi Menurut Tipe dan Lokasi Trauma2

30
Gambar 2.13 Potongan Melintang Medulla Spinalis dengan Sindromanya

31
2.2.6 Diagnosis2,9

Diagnosis trauma medulla spinalis tentu dimulai dengan penilaian kondisi

jalan napas, pernapasan, dan peredaran darah. Setelah ketiga ABC tersebut stabil,

barulah dilakukan anamnesis mengenai kejadian trauma, tipe trauma, keadaan

pasien sebelum dan setelah trauma, gejala-gejala penyerta seperti nyeri yang

menjalar, kelumpuhan/hilangnya pergerakan, hilangnya sensasi rasa, hilangnya

kemampuan peristaltik usus, spasme otot, perubahan fungsi otonom dan seksual.

Perlu diingat bahwa penyebab trauma pasien juga harus ditelusuri, misalkan

pasien mengalami kelemahan terlebih dahulu baru kemudian terjatuh.

Setelah anamnesis, dilakukan penilaian generalis guna mengetahui

penyebab trauma dan apakah terdapat kelainan tulang dan sebagainya. Pasien

yang diduga mengalami cedera tulang servikal harus diperlakukan sangat hati-

hati. Pemeriksaan neurologis pada cedera medula spinalis meliputi penilaian

berikut seperti:

- Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)

- Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)

- Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)

- Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)

- Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti

disfagia)

Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan

completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis

lainnya seperti cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi

32
saraf spinal yang normal, seperti yang diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut

sebagai level neurologis dari lesi tersebut. Hal ini tidak harus sesuai dengan level

fraktur, karena itu diagnosa neurologis dan fraktur harus dicatat.

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan foto polos vertebra yang

merupakan langkah awal untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang melibatkan

medulla spinalis, kolumna vertebralis, dan jaringan di sekitarnya. Pada trauma

servikal digunakan foto AP, lateral, dan odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal,

digunakan foto AP dan Lateral.

Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, urin lengkap, gula darah,

ureum dan kreatinin, fungsi hati, dan analisis gas darah kerap dikerjakan guna

mengetahui kondisi metabolik pasien. Pemeriksaan lain seperti EKG juga dapat

dilakukan dalam kondisi tertentu.

Untuk menegakkan diagnosis pasti dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan

dan MRI vertebra. CT-scan dapat lebih jelas memperlihatkan jaringan lunak,

struktur tulang, dan kanalis spinalis dalam potongan aksial. Sedangkan MRI dapat

memperlihatkan keseluruhan struktur internal medulla spinalis dalam sekali

pemeriksaan. Selain imaging, pemeriksaan neurofisiologi klinik seperti SSEP juga

dapat dianjurkan.

33
Gambar 2.14 (Kiri) : CT Scan pada Medulla Spinalis (Kanan) : MRI pada Medulla Spinalis

2.2.7 Tatalaksana2

2.2.7.1 Tatalaksana Pre Hospital

Untuk mendukung tujuan penyembuhan yang optimal, maka perlu

diperhatikan tatalaksana di saat sebelum masuk rumah sakit seperti halnya

melakukan stabilisasi secara manual, membatasi gerakan fleksi dan lainnya,

menenangkan pasien dan memberikan penanganan mobilitasi vertebra dengan

kolar leher atau brace vertebral.

2.2.7.2 Tatalaksana di Unit Gawat Darurat

Saat pasien sampai di UGD, wajib diperiksa ABC (airway, breathing,

circulation), bila pernafasan terganggu dapat dipasang intubasi endotrakeal atau

pemasangan alat bantu nafas lainnya supaya oksigenasi adekuat. Perlu dinilai juga

apabila pasien memiliki kemungkinan fraktur servikal, maka kerah fiksasi leher

harus terpasang terlebih dahulu.

34
Bila mendapatkan tanda-tanda hipotensi, harus segera dibedakan antara

syok hipovolemik dan syok neurogenik. Pada syok hipovolemik didapati tanda

hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin. Sedangkan pada syok neurogenik

didapati tanda hipotensi, bradikardia, ekstremitas hangat. Pada syok hipovolemik

harus dipertimbangkan untuk pemberian cairan kristaloid (NaCl 0,9% / Ringer

Laktat), bila perlu diberikan koloid. Pada syok neurogenik, pemberian cairan tidak

akan menaikkan tensi, maka harus diberikan obat vasopressor seperti dopamine,

adrenalin 0,2 mg subkutis, dan boleh diulangi setiap 1 jam.

Selanjutnya dapat dipasang foley kateter untuk memonitor hasil urin dan

mencegah retensi urin. Pemasangan pipa naso-gastrik juga dapat dilakukan

dengan tujuan untuk dekompresi lambung pada distensi dan demi kepentingan

nutrisi secara enteral.

Segera lakukan pemeriksaan status generalis dan neurologis guna

membuat diagnosis dan menentukan tatalaksana selanjutnya. Bila terdapat

kelainan tulang servikal, pasang collar neck. Korset torakolumbal atau lumbal

juga dapat dipasang pada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis bagian torakal

dan lumbal. Pemeriksaan penunjang dapat segera dilakukan setelah keseluruhan

hal tersebut diatas telah dilakukan.

Bila diagnosis ditegakkan kurang dari 3 jam pasca trauma, dapat diberikan

kortikosteroid metilprednisolon 30 mg/KgBB intravena bolus selama 15 menit,

ditunggu selama 45 menit, kemudian diberikan infuse terus menerus

metilprednisolon selama 24 jam dengan dosis 5.4 mg/KgBB/jam. Bila diagnosis

baru ditegakkan dalam 3-8 jam, maka cukup diberikan metilprednisolon dalam

35
infuse untuk 48 jam. Bila diagnosis baru diketahui setelah 8 jam, maka pemberian

metilprednisolon tidak dianjurkan.

2.2.7.3 Tatalaksana di Ruang Rawat

Prinsip utama dalam perawatan pasien dengan trauma servikal adalah

dengan terus menjaga terapi ABC. Perawatan umum lain seperti penjagaan suhu

tubuh dan mengenai miksi juga perlu diperhatikan.

Untuk terapi medikamentosa, metilprednisolon dapat terus diberikan guna

mencegah proses kerusakan sekunder. Obat-obatan penunjang lain seperti anti

spastisitas otot dapat diberikan sesuai keadaan klinis. Pasien yang mengeluh

kesakitan dapat juga diberi obat analgetik. Pemberian antikoagulan dapat

diberikan untuk mencegah adanya thrombosis vena dalam. Untuk kasus-kasus

dengan infeksi, antibiotik perlu dipertimbangkan. Antioksidan dapat diberikan

pada setiap pasien trauma spinalis.

Tindakan operasi dapat dilakukan dalam 24 jam sampai dengan 3 minggu

pasca trauma. Tindakan operatif awal (kurang dari 24 jam) lebih bermakna

menurunkan perburukan neurologis, komplikasi, dan keluaran skor motorik satu

tahun pasca trauma. Terapi bedah bertujuan untuk mengeluarkan fragmen tulang,

benda asing, reparasi hernia diskus, dan menstabilisasi vertebra guna mencegah

nyeri kronis.

Indikasi untuk operasi adalah adanya fraktur, pecahan tulang yang menekan

medulla spinalis, gambaran neurologis yang progresif memburuk, fraktur atau

dislokasi yang labil, terjadinya herniasi diskus intervertebralis yang menekan

medulla spinalis.

36
2.2.8 Neurorestorasi dan Neurorehabilitasi

Rehabilitasi dan pemulihan fungsi gerak tubuh sangat penting setelah masa

akut dari cedera lewat. Rehabilitasi adalah suatu proses progresif, dinamis, dalam

waktu yang terbatas bertujuan untuk meningkatkan kualitas individu yang

mengalami gangguan secara optimal dalam bidang mental, fisik, kognitif, dan

sosial. Tindakan yang dapat dilakukan berupa fisioterapi, terapi okupasi, latihan

miksi dan defekasi secara rutin, serta tidak lupa untuk aspek psikologis penderita.

Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk memberikan penerangan dan

pendidikan kepada pasien dan keluarga mengenai trauma medulla spinalis,

memaksimalkan kemampuan mobilisasi dan latihan mandiri, serta mencegah

adanya kelainan komorbiditi seperti kontraktur, dekubitus, infeksi paru, dan lain

sebagainya. Rehabilitasi ditargetkan agar pasien dapat kembali kedalam

lingkungan komunitasnya dan dapat berperan sesuai dengan keadaan fisiknya

yang baru.

Rehabilitasi cedera medulla spinalis merupakan suatu pelayanan kesehatan

professional yang bersifat multi-disiplin, yang dimulai sejak fase akut, secara

terus menerus dan ekstensif, lalu melakukan pelayanan khusus selama fase sub-

akut yang meliputi perawatan, terapi fisik, terapi kerja, menjaga pernafasan dan

obat-obatan, istirahat dan rekreasi, psikologi, pelayanan nutrisi, latihan wicara,

pekerjaan sosial, sampai dengan konseling kesehatan seksual.

37
2.2.9 Prognosis9

Pasien dengan cedera medulla spinalis komplit hanya mempunyai harapan

untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam,

maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik

masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali

sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera medulla spinalis dapat sembuh

dan mandiri.

38
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Cedera medulla spinalis merupakan suatu kejadian yang umum dijumpai di

masyarakat, dengan penyebab utamanya merupakan suatu kejadian kecelakaan. Di

Indonesia didapati insidens trauma medulla spinalis diperkirakan mencapai 8.000-

10.000 kasus per tahunnya. Cedera ini juga dapat merupakan cedera traumatik

(primer) ataupun akibat penyakit lain (sekunder) seperti infeksi atau tumor.

Mekanisme dari cedera ini dapat terbagi menjadi 2 fase yaitu fase primer

dan fase sekunder. Kedua fase ini belum sepenuhnya dimengerti, namun satu hal

yang pasti adalah cedera ini memiliki window periode hanya sekitar 6 – 24 jam.

Oleh karena itu diagnosis dan tatalaksana yang tangkas sangat diperlukan dalam

menangani kasus cedera medulla spinalis guna mencegah perburukan kualitas

hidup pasien dan mortalitas.

Diagnosis pada umumnya meliputi anamnesa yang baik dan pemeriksaan

neurologik untuk mengetahui perkiraan lokasi lesi, klasifikasi cedera, dan

menentukan tatalaksana selanjutnya. Pemeriksaan penunjang seperti imaging

sangat membantu dalam mendiagnosis secara akurat.

Prinsip utama tatalaksana yaitu dengan menjaga saluran pernapasan,

pernapasan, dan sirkulasi yang adekuat. Pemberian obat kortikosteroid telah

terbukti memperbaiki kondisi pasien pasca trauma. Medikamentosa lain dapat

diberikan sesuai dengan indikasi pasien. Operasi dapat dianjurkan bila terdapat

indikasi.

39
Pasien dengan cedera medulla spinalis dapat membaik kondisinya

sehingga dapat kembali seperti semula, namun ada pasien yang memiliki

kerusakan parah dan tidak dapat berjalan lagi. Kesemua pasien ini perlu

mendapatkan terapi neurorehabilitasi guna meningkatkan kualitas hidup pasien

setelah keluar dari rumah sakit

40
Daftar Pustaka

1. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, et al. The Human Nervous System
Structure and Function. 6th Edition. New Jersey : Humana Press Inc. 2005.
2. Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal. Jakarta : Perdossi ; 2006.
3. Lumbangtobing S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta ; Badan Penerbit FKUI ; 2013.
4. Baehr M, Frotscher M. DUUS Diagnosis Topik Neurologi Edisi 4. Jakarta :
EGC ; 2012.
5. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Germany : Thieme Flexibook ; 2004.
6. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.
Jakarta : EGC; 1997.
7. Ropper H.A, Brown R H. Adam’s and Victor Principles of Neurology. USA ;
McGrawHill : 2005.
8. Mumenthaler M, Mattle H. Neurology 4th edition. Germany : Thieme
Flexibook ; 2004.
9. Jacob A, Weinshenker B. An Approach to the Diagnosis of Acute Transverse
Myelitis. Semin Neurol 2008;28:105-120.
10. Dewanto G, dkk. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf.
Jakarta : EGC ; 2013.

41

Anda mungkin juga menyukai