Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Askep Morbus Hansen

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kusta (Morbus hansen) adalah suatu penyakit infeksi menahun


akibat bakteri tahan asam yaitu Mycobacterium leprae yang secara primer
menyerang saraf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ lainnya
(WHO, 2010; Noto & Schreuder, 2010). Seseorang yang terinfeksi kusta dapat
menyebabkan kecacatan pada system saraf motorik, otonom, atau sensorik
(Khafiludin, 2010).
Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara yang sedang
berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam
memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan,
dan kesejahteran sosial ekonomi pada masyarakat. Penyakit ini paling banyak
ditemukan di pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Biasanya menyerang
semua umur, anak-anak lebih rentan dari pada orang dewasa frekuensi
tertinggi pada kelompok dewasa (umur 25 – 35 tahun), sedangkan pada
kelompok anak umur 10 – 12 tahun, Pria memiliki tingkat terkena kusta dua
kali lipat lebih tinggi dari pada wanita, dan biasanya pada keluarga yang sosial
ekonomi rendah dan berpendidikan rendah.
World Health Organization (WHO) menyatakan prevalensi kusta di
115 negara dunia pada tahun 2013 mencapai 0,33 per 10.000 penduduk. Hal
tersebut mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan data prevalensi
pada tahun 2012. Jumlah kasus baru kusta di negara-negara tersebut rata-rata
sebanyak 4 kasus per 100.000 penduduk. Total kasus baru diseluruh dunia
sebanyak 71% terdapat di wilayah Asia Tenggara. Indonesia merupakan
negara ketiga dengan insidensi terbanyak di dunia yaitu sebanyak 18.994.
Mengingat kompleksnya masalah penyakit kusta, maka diperlukan
program penanggualnagn secara terpadu dan menyeluruh dalam hal
pemberantasan, rehabilitasi medis, rehabilitasi social ekonomi dan
pemasyarakatan dari bekas penderita kusta. Dengan kemajuan teknologi di

1
bidang promotif, pencegahan, pengobatan serta pemulihan kesehatan di
bidang penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah dapat diatasi dan
seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi penyakit Morbus Hansen/Kusta?
2. Bagaimanakah Konsep Asuhan Keperawatan pada klien Morbus Hansen?
3. Apa sajakah diagnosa prioritas pada klien Morbus Hansen/Kusta ?

1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mengerti dan memahami definisi penyakit Morbus
Hansen/Kusta.
2. Mahasiswa mengerti dan memahami Konsep Asuhan Keperawatan pada
Klien Morbus Hansen/Kusta.
3. Mahasiswa dapat meyebutkan Diagnosa prioritas pada klien Morbus
Hansen/Kusta.

2
BAB 2
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN KUSTA
(MORBUS HANSEN)

2.1 Pengkajian

1. Identitas
Penyakit ini paling banyak ditemukan di pulau Jawa, Sulawesi,
Maluku, dan Papua. Biasanya menyerang semua umur, anak-anak lebih
rentan dari pada orang dewasa frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa
(umur 25 – 35 tahun), sedangkan pada kelompok anak umur 10 – 12
tahun, Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lipat lebih tinggi dari
pada wanita, dan biasanya pada keluarga yang sosial ekonomi rendah dan
berpendidikan rendah.
2. Keluhan utama
Biasanya klien mengeluh ada bercak bercak merah pada kulit di
tanagan kaki atau diseluruh badan dan wajah kadang disertai dengan
tangan (jari-jari) dan kaki kaku dan bengkak kadang-kadang disertai nyeri
atau mati rasa, kadang juga disertai suhu tubuh meningkat.
3. Riwayat kesehatan
a) Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien mengeluh kaku pada jari-jari tangan dan kaki, nyeri
pada pergelangantangan, tangan dan kaki bengkak disertai dengan
suhu tubuh meningkat. Biasanya apabila kusta dengan ulkus yang
sudah membesar, dalam,baru. Biasanya klien dengan penyakit kusta
tidak dapat mengeluarkan keringat dan mati rasa.
b) Riwayat penyakit terdahulu
Biasanya pada klien kusta sudah menjalankan pengobatan tetapi
berhenti dengan sendirinya maka dari banyak penderita kusta yang
mengalami pengobatan ulang.
c) Riwayat penyakit keluarga

3
Kusta merupakan penyakit menular maka dari itu kemungkinan
ada anggota keluarga yang mengalami penyakit yang sama dengan
penderita.
4. Pola – Pola Kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Biasa klien personal hygienenya kurang dengan tata laksana hidup
yang tidak sehat karena keadaan ekonomi yag sosial rendah. Biasanya
klien yang menjalankan pengobatan yang tidak teratur maka penderita
akan kambuh lagi.
b) Pola nutirsi dan metabolisme
Biasanya klien dengan kusta (MH) tidak mengalami gangguan
kebutuhan nutrisi dan metabolism.
c) Pola eliminasi
Biasanya klien tidak mengalami perubahan eliminasi urin dan alvi.
d) Pola Istirahat dan tidur
Biasanya klien dengan kusta (MH) biasanya tidak mengalami
gangguan dalam istirahat dan idur namun terkadang terdapat rasa
nyeri dan kaku pada jari-jari tangan dan kaki. Pada sore atau malam
hari terkadang klien demam sampai menggigil serta istirahat dan
tidurnya terganggu.
e) Pola aktivitas dan latihan
Biasanya klien dengan kusta megalami perubahan pada pola altivitas
dan latihan karena klien mengalami kaku dan bengkak pada kaki dan
tangannya. Kadang-kadang ada klien sampai terjadi ulkus dan
metilasi.
f) Pola persepsi diri
Biasanya klien dengan kusta mengalami kecemasan, menyangkal,
perasaan tidak berdaya dan tidak punya harapan sehingga terjadi
perubahan mekanisme dap perubahan dini yang terpenting.
g) Pola persepsi dan pengetahuan

4
Biasanya klien kusta dengan pendidikan yang rendah dapat terjadi
kurang pengetahuan tentang penyakit yang diderita oleh klien, klien
tidak tahu tentang cara hidup dan pengetahuan perawatan dini.
h) Pola penanggulangan stress
Biasanya klien kusta terdapat adanya ketidakefektifan dalam
mengatasi masalah individu dan keluarga serta memiliki tingkat stress
yang tinggi (cemas).
i) Pola reproduksi seksual
Pada umumnya klien dengan kusta terjadi penurunan disfungsi seksual
atau terkadang tidak terjadi gangguan pada pola lain.
j) Pola hubungan dan peran
Biasanya klien kusta terjadi gangguan yang sangat menganggu
hubungan interpersonal karena kusta (MH) di kenal sebagai penyakit
yang menular atau ada juga yang menyebut dengan penyakit kutukan.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Biasanya klien kusta terjadi distress spiritual namun kadang-kadang
ada penderita yang lebih tekun dalam beribadah setelah mendapatkan
penyakit kusta.
5. Pemeriksaan Fisik
a) Head To Toe
1. Kepala/leher : biasanya keadaan kepala klien simetris, bersih,
namun jika ada tanda kusta maka terdapat lesi atau plak eritematosa
pada pipi, kemerahan pada mata
2. Thorax : biasanya pada klien kusta yang tidak ada kelainan thorax
makan suara nafas sonor vesikuler tidak ada suara tambahan,
gerakan dada simetris
3. Abdomen : inspeksi bentuknya simetris, tidak tampak hernia, tidak
tampak peristaltik
Palpasi : turgor kulit normal kembali < 2 detik, tidak terdapat nyeri
tekan

5
4. Ekstremitas :tidak terdapat odem, terdapat plak eritematosa dengan
berbagai ukuran sekitar 3x2 cm atau lebih, tampak adanya jaringan
nekrosis, terdapat tanda infeksi

b) Pemeriksaan integument
Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas, lesi kulit
dapat tinggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-
kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga, lesi dapat bervariasi
tetapi umumnya berupa makula, papul atau nodul.
Dicari adanya gangguan sensibilitas terhadap suhu, nyeri dan rasa
raba pada lesi yang dicurigai :
1) Pemeriksaan sensibilitas suhu (terpenting) dilakukan dengan cara
tes panas dingin
2) Pemeriksaan terhadap nyeri digunakan jarum pentul
3) Terhadap rasa raba digunakan kapas
4) Gangguan autonomik pada kelenjar keringat dilakukan guratan tes
(lesi digores dengan tinta) penderita exercise, bila tinta masih jelas
berarti tes (+) (Gunawan test)

Pada pemeriksaan inspeksi dilihat kulit yang keriput, penebalan


kulit, dan kehilangan rambut tubuh, terjadi mati rasa pada Kx, kadang-
kadang terjadi ulkus dan biasanya Kx datang sudah terjadi mutilasi
tetapi ada juga yang belum terjadi mutilasi.
Dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan syaraf tepi yang berjalan
didekat permukaan kulit didapat (biasanya) terjadi gangguan pada N.
Ausikularis Magnus, N. Ulnaris, N. Pareneus lateralis hamunis dan N.
Tibialis posterior.
c) Pemeriksaan mati rasa
Pemeriksaan anestesi (mati rasa) atau uji sensitivitas dengan
menggunakan :
1) Kapas dan pasien diminta untuk menunjukkan arah gerakan kapas
tersebut.

6
2) Tusukan ringan jarum steril untuk menentukan rasa sakit yang
dialami pasien.
3) Tabung reaksi panas dan dingin untuk menentukan respon terhadap
suhu.
4) Bandingkan antara satu lesi dengan lesi lainnya.
Uji sensitivitas dilakukan berganti-ganti pada daerah kulit yang
normal dan pada lesi kulit. Pastikan pasien tidak melihat daerah yang
disentuh atau ditusuk.
Uji sensitivitas digunakan untuk menilai seberapa besar kerusakan
saraf yang terjadi pada pasien. Sedangkan uji pembesaran saraf untuk
menilai berapa banyak serabut saraf perifer yang terlibat dan rusak
pada penyakit tersebut. Kedua uji ini sering dilakukan pada pasien
tersangka penyakit kusta. Ballpoin atau terali sepeda, dapat dipakai
untuk menilai gangguan saraf tepi berdasarkan daerah persarafannya.

d) Pemeriksaan pembesaran saraf tepi


Pemeriksaan saraf tepi harus dilakukan sistematis dan dilakukan
pada ekstremitas kanan dan kiri. Meraba atau palpasi saraf harus
dilakukan sedemikian rupa, sehingga tidak menya-kiti pasien atau
menimbulkan kesan tidak baik pada pasien. Kuku jari pemeriksa
sebaiknya tidak boleh panjang.
Pada pemeriksaan ini penderita harus dalam keadaan tenang
dengan otot yang dilemaskan. Tentukanlah tempat saraf tepi yang
akan diperiksa. Kemudian raba dan rasakanlah adanya pembesaran
saraf tepi dimaksud.
Periksalah sebanyak mungkin saraf tepi yang sering terlibat pada
lepra. Buatlah gambarannya pada kertas yang telah disediakan.
1. Pemeriksaan N. Auricularis magnus
Di samping melalui perabaan, pada sebagian besar kasus,
pembesaran N. Auricularis magnus bisa ditemukan dengan
inspeksi.

7
2. Pemeriksaan N. Radialis
Merupakan saraf yang paling sulit diraba karena letaknya tidak
superfisial seperti saraf lainnya yang sering terlibat pada penyakit
lepra. Untuk merabanya telusuri bagian lateral sepertiga lengan
atas kira-kira antara daerah pertemuan m. Tricep brachii caput
longum dan lateral.
3. Pemeriksaan N. Ulnaris
Saraf ini sukar diraba dari luar, karena itu diperlukan kemahiran
dari pemeriksa untuk bisa merabanya.
4. Pemeriksaan N. Medianus
Saraf ini agak sukar dipalpasi karena berada diantara dan di bagian
profunda dua tendo (m. Palmaris longus dan m. Flexor carpi
radialis longus).
Untuk dapat membedakan dengan mudah adanya
penebalan/pembesaran syaraf diperlukan pengalaman palpasi saraf
yang normal pada orang yang sehat.

2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier
kulit
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan reaksi ENL
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak
baik.
4. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan kerusakan pada kulit,
pertahanan tubuh menurun.
5. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik

2.2 Intervensi Keperawatan


1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 2 x 24 jam diharapkan
integritas kulit dan jaringan meningkat.

8
Kriteria hasil :
1. Kerusakan jaringan menurun
2. Kerusakan lapisan kulit
3. Kemerahan menurun
Intervensi:
a. Identifikasi penyebab gangguan intergritas kulit. Catat warna, turgor,
sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan amati perubahan.
Rasional : Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat
dibandikan dan lakukan intervensi yang tepat.
b. Pertahankan/intruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh
kemudian mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase
dengan menggunakan losion atau krim.
Rasional : Masase meningkatkan sirkulasi kulit dan meningkatkan
kenyamanan.
c. Ubah posisi tirah baring setiap 2 jam
Rasional: Agar mengurangi infeksi lebih luas
d. Gunakan/berikan obat topical atau sistemik sesuai indikasi.
Rasional: Digunakan pada perawatan lesi kulit.
e. Lindungi lesi dengan salep antibiotic sesuai petunjuk.
Rasional: Melindungi area lesi dari kontaminasi bakteri dan meningkatkan
penyembuhan.

2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan reaksi ENL


Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan 2 x 24 jam diharapkan
tingkat nyeri mennurun.
Kriteria Hasil :
1. Klien mengatakan keluhan nyeri menurun
2. Meringis menurun
3. Klien mengatakan kegelisahan menurun
4. Kesulitan tidur menurun
Intervensi:
b. Kaji skala nyeri.

9
Rasional: Sebagai indikator dalam melakukan intervensi selanjutnya dan
untuk mengetahui sejauh mana nyeri dipersepsikan
c. Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital.
Rasional: Tanda-tanda vital berubah sesuai tingkat perkembangan penyakit
dan menjadi indikator untuk melakukan intervensi selanjutnya
d. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam.
Rasional: Tehnik nafas dalam dapat merelaksasi otot-otot sehingga
mengurangi nyeri
e. Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik dan analgetik.
Rasional: Pemberian antibiotik menghambat pertumbuhan dan proses
infeksi dari bakteri sedangkan obat analgetik akan menekan atau
mengurangi rasa nyeri

3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak


baik.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 2 x 24 jam diharapkan citra
tubuh meningkat.
Kriteria hasil :
1. Respon nonverbal pada perubahan tubuh membaik
2. Hubungan sosial membaik
3. Verbalisasi perasaan negative tentang perubahan tubuh menurun
Intervensi :
a. Kaji adanya gangguan pada citra diri pasien (menghindari kontak mata,
ucapan yang merendahkan diri sendiri, ekspresi perasaan muak terhadap
kondisi kulitnya.
Rasional: Gangguan citra diri akan menyertai setiap penyakit atau keadaan
yang tampak nyata bagi pasien. Kesan seseorang terhadap dirinya sendiri
akan berpengaruh pada konsep diri.
b. Identifikasi stadium psikososial tahap perkembangan.
Rasional : Terdapat hubungan antara stadium perkenmbangan, citra diri
dan reaksi serta pemahaman pasien terhadap kondisi kulitnya.

10
c. Diskusikan kondisi strees yang mempengarungi citra tubuh, misalnya:
luka, penyakit, dan pembedahan
Rasional : Cara awal meminimalkan gangguan citra tubuh
d. Anjurkan interaksi keluarga dan dengan tim rehabilitasi.
Rasional : Mempertahankan pola komunikasi dan memberikan dukungan
terus menerus pada pasien dan keluarga.

4. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan kerusakan pada kulit, pertahanan


tubuh menurun.
Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan 2 x 24 jam diharapkan resiko
infeksi menurun.
Kriteria Hasil :
1. Demam menurun
2. Kemerahan menurun
3. Nyeri menurun
4. Bengkak menurun
Intervensi:
b. Monitor keadaan umum tanda-tanda vital termasuk suhu.
Rasional: Memberikan imformasi data dasar, peningkatan suhu secara
berulang-ulang dari demam yang terjadi untuk menujukkan bahwa tubuh
bereaksi pada proses infeksi yang baru, dimana obat tidak lagi secara
efektive mengontrol infeksi yang tidak dapat disembuhkan.
c. Ajarkan pentingnya tekhnik cuci tangan yang baik untuk semua individu
yang dating kontak dengan pasien.
Rasional: Mengcegah kontaminasi silang; menurungkan resiko infeksi.
d. Ciptakan lingkungan yang bersih dan berventilasi yang baik. Periksa
pengunjung atau staf terhadap tanda infeksi dan pertahankan
kewaspadaan sesuai indikasi.
Rasional: Mengurangi patogen pada system integument dan mengrangi
kemungkinan pasien mengalami infeksi nosokomial.
e. Berikan preparat antibiotic yang diresepkan dokter.

11
Rasional: Membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme
penyebab infeksi.

5. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam diharapkan
toleransi aktivitas meningkat.
Kriteria Hasil :
1. Keluhan lelah menurun
2. Frekuensi nadi meningkat

Intervensi :

a. Monitor Tanda-tanda vital klien


Rasional : untuk mengetahui keadaan vital klien
b. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
Rasional : agar klien pada hari berikutnya bisa melakukan aktivitas secara
maksimal
c. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode
istirahat
Rasional : tingkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas
d. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan.
Rasional : untuk mencukupi kebutuhan nutrisi klien

2.4 Implementasi
Tahapan ini dimulai setelah rencana tindakan disusun untuk membatu
klien mencapai tujuan sesuai harapan yang mencakup peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit dan manifestasinya

2.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan tindakan intelektual untuk menghadapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana
tindakan, penatalaksaanan sudah berhasil dicapai. Hasil dari evaluasi dibagi
menjadi 3 yaitu, masalah teratasi, masalah teratasi sebagian dan masalah
belum teratasi.
12
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit kusta (Morbus hansen) adalah suatu penyakit infeksi menahun
akibat bakteri tahan asam yaitu Mycobacterium leprae yang secara primer
menyerang saraf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ lainnya.
Penyakit ini paling banyak ditemukan di pulau Jawa, Sulawesi, Maluku,
dan Papua. Biasanya menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan dari
pada orang dewasa frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa (umur 25 – 35
tahun), sedangkan pada kelompok anak umur 10 – 12 tahun, Pria memiliki
tingkat terkena kusta dua kali lipat lebih tinggi dari pada wanita, dan biasanya
pada keluarga yang sosial ekonomi rendah dan berpendidikan rendah.

3.2

13
DAFTAR PUSTAKA

(WHO, 2010; Noto & Schreuder, 2010)


Mufidah, Agustina dan Rahmah. Morbus Hansen. [penyunt.] Benny Abdullah.
Dermatologi Pengetahuan Dasar dan Kasus di Rumah Sakit. Surabaya: Pusat penerbitan
dan percetakan Universitas Airlangga, 2009

14

Anda mungkin juga menyukai