Askep Morbus Hansen
Askep Morbus Hansen
Askep Morbus Hansen
PENDAHULUAN
1
bidang promotif, pencegahan, pengobatan serta pemulihan kesehatan di
bidang penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah dapat diatasi dan
seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mengerti dan memahami definisi penyakit Morbus
Hansen/Kusta.
2. Mahasiswa mengerti dan memahami Konsep Asuhan Keperawatan pada
Klien Morbus Hansen/Kusta.
3. Mahasiswa dapat meyebutkan Diagnosa prioritas pada klien Morbus
Hansen/Kusta.
2
BAB 2
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN KUSTA
(MORBUS HANSEN)
2.1 Pengkajian
1. Identitas
Penyakit ini paling banyak ditemukan di pulau Jawa, Sulawesi,
Maluku, dan Papua. Biasanya menyerang semua umur, anak-anak lebih
rentan dari pada orang dewasa frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa
(umur 25 – 35 tahun), sedangkan pada kelompok anak umur 10 – 12
tahun, Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lipat lebih tinggi dari
pada wanita, dan biasanya pada keluarga yang sosial ekonomi rendah dan
berpendidikan rendah.
2. Keluhan utama
Biasanya klien mengeluh ada bercak bercak merah pada kulit di
tanagan kaki atau diseluruh badan dan wajah kadang disertai dengan
tangan (jari-jari) dan kaki kaku dan bengkak kadang-kadang disertai nyeri
atau mati rasa, kadang juga disertai suhu tubuh meningkat.
3. Riwayat kesehatan
a) Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien mengeluh kaku pada jari-jari tangan dan kaki, nyeri
pada pergelangantangan, tangan dan kaki bengkak disertai dengan
suhu tubuh meningkat. Biasanya apabila kusta dengan ulkus yang
sudah membesar, dalam,baru. Biasanya klien dengan penyakit kusta
tidak dapat mengeluarkan keringat dan mati rasa.
b) Riwayat penyakit terdahulu
Biasanya pada klien kusta sudah menjalankan pengobatan tetapi
berhenti dengan sendirinya maka dari banyak penderita kusta yang
mengalami pengobatan ulang.
c) Riwayat penyakit keluarga
3
Kusta merupakan penyakit menular maka dari itu kemungkinan
ada anggota keluarga yang mengalami penyakit yang sama dengan
penderita.
4. Pola – Pola Kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Biasa klien personal hygienenya kurang dengan tata laksana hidup
yang tidak sehat karena keadaan ekonomi yag sosial rendah. Biasanya
klien yang menjalankan pengobatan yang tidak teratur maka penderita
akan kambuh lagi.
b) Pola nutirsi dan metabolisme
Biasanya klien dengan kusta (MH) tidak mengalami gangguan
kebutuhan nutrisi dan metabolism.
c) Pola eliminasi
Biasanya klien tidak mengalami perubahan eliminasi urin dan alvi.
d) Pola Istirahat dan tidur
Biasanya klien dengan kusta (MH) biasanya tidak mengalami
gangguan dalam istirahat dan idur namun terkadang terdapat rasa
nyeri dan kaku pada jari-jari tangan dan kaki. Pada sore atau malam
hari terkadang klien demam sampai menggigil serta istirahat dan
tidurnya terganggu.
e) Pola aktivitas dan latihan
Biasanya klien dengan kusta megalami perubahan pada pola altivitas
dan latihan karena klien mengalami kaku dan bengkak pada kaki dan
tangannya. Kadang-kadang ada klien sampai terjadi ulkus dan
metilasi.
f) Pola persepsi diri
Biasanya klien dengan kusta mengalami kecemasan, menyangkal,
perasaan tidak berdaya dan tidak punya harapan sehingga terjadi
perubahan mekanisme dap perubahan dini yang terpenting.
g) Pola persepsi dan pengetahuan
4
Biasanya klien kusta dengan pendidikan yang rendah dapat terjadi
kurang pengetahuan tentang penyakit yang diderita oleh klien, klien
tidak tahu tentang cara hidup dan pengetahuan perawatan dini.
h) Pola penanggulangan stress
Biasanya klien kusta terdapat adanya ketidakefektifan dalam
mengatasi masalah individu dan keluarga serta memiliki tingkat stress
yang tinggi (cemas).
i) Pola reproduksi seksual
Pada umumnya klien dengan kusta terjadi penurunan disfungsi seksual
atau terkadang tidak terjadi gangguan pada pola lain.
j) Pola hubungan dan peran
Biasanya klien kusta terjadi gangguan yang sangat menganggu
hubungan interpersonal karena kusta (MH) di kenal sebagai penyakit
yang menular atau ada juga yang menyebut dengan penyakit kutukan.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Biasanya klien kusta terjadi distress spiritual namun kadang-kadang
ada penderita yang lebih tekun dalam beribadah setelah mendapatkan
penyakit kusta.
5. Pemeriksaan Fisik
a) Head To Toe
1. Kepala/leher : biasanya keadaan kepala klien simetris, bersih,
namun jika ada tanda kusta maka terdapat lesi atau plak eritematosa
pada pipi, kemerahan pada mata
2. Thorax : biasanya pada klien kusta yang tidak ada kelainan thorax
makan suara nafas sonor vesikuler tidak ada suara tambahan,
gerakan dada simetris
3. Abdomen : inspeksi bentuknya simetris, tidak tampak hernia, tidak
tampak peristaltik
Palpasi : turgor kulit normal kembali < 2 detik, tidak terdapat nyeri
tekan
5
4. Ekstremitas :tidak terdapat odem, terdapat plak eritematosa dengan
berbagai ukuran sekitar 3x2 cm atau lebih, tampak adanya jaringan
nekrosis, terdapat tanda infeksi
b) Pemeriksaan integument
Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas, lesi kulit
dapat tinggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-
kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga, lesi dapat bervariasi
tetapi umumnya berupa makula, papul atau nodul.
Dicari adanya gangguan sensibilitas terhadap suhu, nyeri dan rasa
raba pada lesi yang dicurigai :
1) Pemeriksaan sensibilitas suhu (terpenting) dilakukan dengan cara
tes panas dingin
2) Pemeriksaan terhadap nyeri digunakan jarum pentul
3) Terhadap rasa raba digunakan kapas
4) Gangguan autonomik pada kelenjar keringat dilakukan guratan tes
(lesi digores dengan tinta) penderita exercise, bila tinta masih jelas
berarti tes (+) (Gunawan test)
6
2) Tusukan ringan jarum steril untuk menentukan rasa sakit yang
dialami pasien.
3) Tabung reaksi panas dan dingin untuk menentukan respon terhadap
suhu.
4) Bandingkan antara satu lesi dengan lesi lainnya.
Uji sensitivitas dilakukan berganti-ganti pada daerah kulit yang
normal dan pada lesi kulit. Pastikan pasien tidak melihat daerah yang
disentuh atau ditusuk.
Uji sensitivitas digunakan untuk menilai seberapa besar kerusakan
saraf yang terjadi pada pasien. Sedangkan uji pembesaran saraf untuk
menilai berapa banyak serabut saraf perifer yang terlibat dan rusak
pada penyakit tersebut. Kedua uji ini sering dilakukan pada pasien
tersangka penyakit kusta. Ballpoin atau terali sepeda, dapat dipakai
untuk menilai gangguan saraf tepi berdasarkan daerah persarafannya.
7
2. Pemeriksaan N. Radialis
Merupakan saraf yang paling sulit diraba karena letaknya tidak
superfisial seperti saraf lainnya yang sering terlibat pada penyakit
lepra. Untuk merabanya telusuri bagian lateral sepertiga lengan
atas kira-kira antara daerah pertemuan m. Tricep brachii caput
longum dan lateral.
3. Pemeriksaan N. Ulnaris
Saraf ini sukar diraba dari luar, karena itu diperlukan kemahiran
dari pemeriksa untuk bisa merabanya.
4. Pemeriksaan N. Medianus
Saraf ini agak sukar dipalpasi karena berada diantara dan di bagian
profunda dua tendo (m. Palmaris longus dan m. Flexor carpi
radialis longus).
Untuk dapat membedakan dengan mudah adanya
penebalan/pembesaran syaraf diperlukan pengalaman palpasi saraf
yang normal pada orang yang sehat.
8
Kriteria hasil :
1. Kerusakan jaringan menurun
2. Kerusakan lapisan kulit
3. Kemerahan menurun
Intervensi:
a. Identifikasi penyebab gangguan intergritas kulit. Catat warna, turgor,
sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan amati perubahan.
Rasional : Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat
dibandikan dan lakukan intervensi yang tepat.
b. Pertahankan/intruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh
kemudian mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase
dengan menggunakan losion atau krim.
Rasional : Masase meningkatkan sirkulasi kulit dan meningkatkan
kenyamanan.
c. Ubah posisi tirah baring setiap 2 jam
Rasional: Agar mengurangi infeksi lebih luas
d. Gunakan/berikan obat topical atau sistemik sesuai indikasi.
Rasional: Digunakan pada perawatan lesi kulit.
e. Lindungi lesi dengan salep antibiotic sesuai petunjuk.
Rasional: Melindungi area lesi dari kontaminasi bakteri dan meningkatkan
penyembuhan.
9
Rasional: Sebagai indikator dalam melakukan intervensi selanjutnya dan
untuk mengetahui sejauh mana nyeri dipersepsikan
c. Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital.
Rasional: Tanda-tanda vital berubah sesuai tingkat perkembangan penyakit
dan menjadi indikator untuk melakukan intervensi selanjutnya
d. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam.
Rasional: Tehnik nafas dalam dapat merelaksasi otot-otot sehingga
mengurangi nyeri
e. Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik dan analgetik.
Rasional: Pemberian antibiotik menghambat pertumbuhan dan proses
infeksi dari bakteri sedangkan obat analgetik akan menekan atau
mengurangi rasa nyeri
10
c. Diskusikan kondisi strees yang mempengarungi citra tubuh, misalnya:
luka, penyakit, dan pembedahan
Rasional : Cara awal meminimalkan gangguan citra tubuh
d. Anjurkan interaksi keluarga dan dengan tim rehabilitasi.
Rasional : Mempertahankan pola komunikasi dan memberikan dukungan
terus menerus pada pasien dan keluarga.
11
Rasional: Membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme
penyebab infeksi.
Intervensi :
2.4 Implementasi
Tahapan ini dimulai setelah rencana tindakan disusun untuk membatu
klien mencapai tujuan sesuai harapan yang mencakup peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit dan manifestasinya
2.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan tindakan intelektual untuk menghadapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana
tindakan, penatalaksaanan sudah berhasil dicapai. Hasil dari evaluasi dibagi
menjadi 3 yaitu, masalah teratasi, masalah teratasi sebagian dan masalah
belum teratasi.
12
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit kusta (Morbus hansen) adalah suatu penyakit infeksi menahun
akibat bakteri tahan asam yaitu Mycobacterium leprae yang secara primer
menyerang saraf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ lainnya.
Penyakit ini paling banyak ditemukan di pulau Jawa, Sulawesi, Maluku,
dan Papua. Biasanya menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan dari
pada orang dewasa frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa (umur 25 – 35
tahun), sedangkan pada kelompok anak umur 10 – 12 tahun, Pria memiliki
tingkat terkena kusta dua kali lipat lebih tinggi dari pada wanita, dan biasanya
pada keluarga yang sosial ekonomi rendah dan berpendidikan rendah.
3.2
13
DAFTAR PUSTAKA
14