Laporan Praktikum 5 Teknologi Formulasi Sediaan Non Steril
Laporan Praktikum 5 Teknologi Formulasi Sediaan Non Steril
Laporan Praktikum 5 Teknologi Formulasi Sediaan Non Steril
STERIL
PRAKTIKUM V (KRIM)
Oleh:
Kelompok V
I. Tujuan
Agar mahasiswa mengetahui formulasi dan cara pembuatan krim beserta cara uji
kualitasnya
II. Dasar Teori
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat
terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah
digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair
diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batasan
tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau
dispersi mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang
dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika.
Krim dapat digunakan untuk pemberian obat melalui vaginal (DepKes RI, 1995). Menurut
Farmakope Indonesia Edisi III, krim adalah bentuk sediaan setengah padat, berupa emulsi
mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar.
Formularium Nasional menyatakan bahwa krim adalah sediaan setengah padat, berupa
emulsi kental mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian
luar. Secara Tradisional istilah krim digunakan untuk sediaan setengah padat yang
mempunyai konsistensi relatif cair di formulasi sebagai emulsi air dalam minyak (a/m)
atau minyak dalam air (m/a) Krim merupakan obat yang digunakan sebagai obat luar yang
dioleskan ke bagian kulit badan. Obat luar adalah obat yang pemakaiannya tidak melalui
mulut, kerongkongan, dan ke arah lambung. Menurut definisi tersebut yang termasuk obat
luar adalah obat luka, obat kulit, obat hidung, obat mata, obat tetes telinga, obat wasir,
injeksi, dan lainnya (Rowe., dkk, 2009).
Istilah krim secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang
mempunyai konsistensi relative cair diformulasikan sebagai emulsi air dalam minyak atau
minyak dalam air. Krim merupakan sediaan yang digunakan secara topical. Tujuan umum
dibentuknya sediaan krim adalah untuk mendapatkan efek emolien atau pelembut (Anief,
1999). Sifat umum sediaan semi padat terutama krim ini adalah mampu melekat pada
permukaan tempat pemakaian dalam waktu yang cukup lama sebelum sediaan ini dicuci
atau dihilangkan. Krim yang digunakan sebagai obat umumnya digunakan untuk
mengatasi penyakit kulit seperti jamur, infeksi ataupun sebagai anti radang yang
disebabkan oleh berbagai jenis penyakit (Anwar, 2012).
Krim merupakan sediaan semisolida yang tersusun atas emulsi minyak dalam air atau
dispersi mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air yang
dapat dicuci dengan air. Ada dua tipe krim, yaitu (Jemmy, dkk., 2015):
a. Tipe a/m, yaitu krim yang tersusun atas campuran air terdispersi dalam minyak
Misalnya : cold cream. Cold cream atau krim dingin merupakan sediaan semisolida
berwarna putih dan bebas dari butiran, digunakan guna memberikan rasa dingin dan
nyaman pada kulit dan sering digunakan sebagai krim pembersih. Krim dingin
mengandung mineral minyak dalam jumlah besar.
b. Tipe m/a, yaitu krim yang tersusun atas campuran minyak terdispersi dalam air
Misalnya : vanishing cream. Vanishing cream merupakan sediaan semisolida yang
biasa digunakan dalam kosmetika sebagai pembersih, pelembab sekaligus alas bedak.
Vanishing cream sebagai pelembab akan meninggalkan lapisan berminyak pada kulit.
Adapun formula utama dalam pembuatan krim yaitu fase minyak dan fase air. Fase
minyak berupa bahan obat terlarut dalam minyak dan umumnya bersifat asam, misalnya
adeps lanae, parafin cair maupun padat, asam stearat, minyak lemak, vaselin, cera,
cetaceum, setil maupun stearil alkohol, dan sebagainya. Sedangkan fase air berupa bahan
obat terlarut dalam air dan umumnya bersifat basa, misalnya Na tetraborat, NaOH, TEA,
Na2CO3, KOH, Gliserin, PEG, Propilenglikol, Na lauril sulfat, Tween, Span. Selain itu
terdapat bahan-bahan penyusun krim antara lain (Lachman dan Lieberman, 1994):
a. Zat khasiat. Sifat fisika dan kimia dari bahan atau zat berkasiat dapat menentukan cara
pembuatan dan tipe krim yang akan dibuat, apakah tipe krim minyak di dalam air atau
tipe krim air di dalam minyak. Obat yang sering diformulasi dalam krim adalah
antibiotik, fungisida, antiinflamasi, antihistamin, antiseptik, analgetik, adstringen dan
keratolitik.
b. Minyak. Yaitu bahan yang larut dalam minyak dan bersifat asam. Contohnya adalah
asam stearat, adeps lanae, paraffin liquidum, paraffin solidum, minyak lemak, cera,
cetaceum, vaselin, setil alkohol, stearil alkohol dan sebagainya.
c. Air. Yaitu bahan obat yang larut dalam air, bersifat basa. Contohnya adalah Na
tetraborat (borax, Na biboras), Trietanolamin/ TEA, NaOH, KOH, Na CO , Gliserin,
Polietilenglikol/ PEG, Propilenglikol, Surfaktan (Na lauril sulfat, Na setostearil
alkohol, polisorbatum/ Tween, Span)
d. Pengemulsi/ emulgator. Berfungsi untuk menstabilkan emulsi krim,umumnya berupa
surfaktan anion, kation atau nonion.pemilihan surfaktan didasarkan atas jenis dan sifat
krim yang dikehendaki. Untuk krim tipe minyak–air digunakan zat pengemulsi seperti
trietanolaminil stearat dan golongan sorbitan, polisorbat, poliglikol, sabun. Untuk
membuat krim tipe air-minyak digunakan zat pengemulsi seperti lemak bulu domba,
setil alkohol, stearil alkohol, setaseum dan emulgida.
Bahan tambahan yang digunakan untuk sediaan semi krim adalah (Lachman dan
Lieberman, 1994):
Kualitas dasar krim, yaitu stabil, selama masih dipakai mengobati. Maka krim harus
bebas dari inkopatibilitas, stabil pada suhu kamar, dan kelembaban yang ada dalam
kamar. Lunak, yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi lunak
dan homogen. Mudah dipakai, umumnya krim tipe emulsi adalah yang paling mudah
dipakai dan dihilangkan dari kulit. Terdistribusi merata, obat harus terdispersi merata
melalui dasar krim padat atau cair pada penggunaan (Anief, 1994).
Pembuatan sediaan krim meliputi proses peleburan dan proses emulsifikasi. Biasanya
komponen yang tidak bercampur dengan air seperti minyak dan lilin dicairkan bersama-
sama di penangas air pada suhu 70-75°C, sementara itu semua larutan berair yang tahan
panas, komponen yang larut dalam air dipanaskan pada suhu yang sama dengan
komponen lemak. Kemudian larutan berair secara perlahan-lahan ditambahkan ke dalam
campuran lemak yang cair dan diaduk secara konstan, temperatur dipertahankan selama 5-
10 menit untuk mencegah kristalisasi dari lilin/lemak. Selanjutnya campuran perlahan-
lahan didinginkan dengan pengadukan yang terus-menerus sampai campuran mengental.
Bila larutan berair tidak sama temperaturnya dengan leburan lemak, maka beberapa lilin
akan menjadi padat, sehingga terjadi pemisahan antara fase lemak dengan fase cair
(Munson, 1991).
Penyimpanan krim biasanya dikemas baik dalam botol atau dalam tube, botol yang
digunakan biasanya berwarna gelap atau buram. Wadah dari gelas buram dan berwarna
berguna untuk krim yang mengandung obat yang peka terhadap cahaya. Tube bias saja
terbuat dari kaleng atau plastik, beberapa diantaranya diberi tambahan kemasan bila krim
akan digunakan untuk penggunaan khusus. Tube dari krim kebanyakan dikemas dalam
tube kaleng dan dapat dilipat yang dapat menampung (sekitar 8.5 g krim). Tube krim
untuk pemakaian topikal lebih sering dari ukuran 5 sampai 15 gram (Ansel, 1989).
Kerugian dari sediaan krim adalah susah dalam pembuatannya, karena dibutuhkan
suhu yang optimal pada saat pembuatan (fase minyak dan fase air) dan mudah pecah,
karena suhu tidak optimal atau saat pencampuran fase minyak dan fase air pengadukannya
tidak tepat. Keuntungan penggunaan krim adalah umumnya mudah menyebar rata pada
permukaan kulit serta mudah dicuci dengan air (Ansel, 2005). Krim dapat digunakan pada
luka yang basah, karena bahan pembawa minyak di dalam air cenderung untuk menyerap
cairan yang dikeluarkan luka tersebut. Basis yang dapat dicuci dengan air akan
membentuk suatu lapisan tipis yang semipermeabel, setelah air menguap pada tempat
yang digunakan. Tetapi emulsi air di dalam minyak dari sediaan semipadat cenderung
membentuk suatu lapisan hidrofobik pada kulit (Lachman, 2008). Evaluasi sediaan krim
dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu (Wade dan Waller, 1994):
a. Evaluasi Fisika
1. Organoleptis. Evalusai organoleptis menggunakan panca indra, mulai dari bau,
warna, tekstur sedian, konsistensi pelaksanaan menggunakan subyek responden
(dengan kriteria tertentu) dengan menetapkan kriterianya pengujianya (macam dan
item), menghitung prosentase masing- masing kriteria yang di peroleh,
pengambilan keputusan dengan analisa statistik.
2. Evaluasi pH. Evaluasi pH menggunakan alat pH meter, dengan cara perbandingan
60 g : 200 ml air yang di gunakan untuk mengencerkan , kemudian aduk hingga
homogen, dan diamkan agar mengendap, dan airnya yang di ukur dengan pH
meter, catat hasil yang tertera pada alat pH meter.
3. Evaluasi daya sebar. Dengan cara sejumlah zat tertentu di letakkan di atas kaca
yang berskala. Kemudian bagian atasnya di beri kaca yang sama, dan di tingkatkan
bebanya, dan di beri rentang waktu 1 – 2 menit. kemudian diameter penyebaran
diukur pada setiap penambahan beban, saat sediaan berhenti menyebar (dengan
waktu tertentu secara teratur).
4. Evaluasi penentuan ukuran droplet. Untuk menentukan ukuran droplet suatu
sediaan krim ataupun sediaan emulgel, dengan cara menggunakan mikroskop
sediaan diletakkan pada objek glass, kemudian diperiksa adanya tetesan – tetesan
fase dalam ukuran dan penyebarannya.
5. Uji aseptabilitas sediaan. Dilakukan pada kulit, dengan berbagai orang yang di
kasih suatu quisioner di buat suatu kriteria, kemudahan dioleskan, kelembutan,
sensasi yang di timbulkan, kemudahan pencucian. Kemudian dari data tersebut di
buat skoring untuk masing- masing kriteria. Misal untuk kelembutan agak lembut,
lembut, sangat lembut.
b. Evaluasi Biologi
1. Uji Mikroba. Dilakukan untuk memperkirakan jumlah mikroba aerob viabel di
dalam semua jenis perbekalan farmasi, mulai dari bahan baku hingga sediaan jadi
dan untuk menyatakan perbekalan farmasi tersebut bebas dari spesimen mikroba
tertentu. Spesimen uji biasanya terdiri dari Staphylococcus aureus, Escherichia
coli, Pseudomonas aeruginosa dan Salmonella. Pengujian -3 dilakukan dengan
menambahkan 1 mL dari tidak kurang pengenceran 10 biakan mikroba berumur
24 jam kepada enceran pertama spesimen uji (dalam dapar fosfat 7,2, Media fluid
Soybean-Casein Digest atau Media Fluid Lactose Medium) dan diuji sesuai
prosedur
3.2 Bahan
1. Kloramfenikol 400 mg
2. Nipagin 20 mg
3. Parfum 20 mg
4. Asam stearate 3 mg
5. Trietanolamin 300 mg
6. Lemak bulu domba 600 mg
7. Paraffin cair 5 gram
8. Aquadest 11 gram
IV. Pemerian Bahan
1. Kloramfenikol (FI III, Hal 143)
Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang, putih sampai
putih kelabu atau putih kekuningan, tidak berbau, rasa sangat pahit. Dalam larutan
asam lemah, mantap.
Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 400 bagian air, dalam 2,5 bagian air, dalam 2,5
bagian etanol (95%) P dan dalam 7 bagian propilenglikol P, sukar larut dalam
kloroform P dan dalam eter P.
Jarak lebur : Antara 149 dan 153
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
Khasian dan Penggunaan : Antibiotikum
2. Nipagin / Metil Paraben (FI III, Hal 378)
Pemerian : Serbuk hablur halus, putih, hampir tidak berbau, tidak mempunyai rasa,
kemudian agak membakar diikuti rasa tebal.
Kelarutan : Larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih, dalam 3,5
bagian etanol (95%) P dan dalam 3 bagian aseton P, mudah larut dalam eter P dan
dalam larutan alkali hidroksida, larut dalam 60 bagian gliserol P panas dan dalam 40
bagian minyak lemak nabati panas, jika didinginkan larutan tetap jernih.
Suhu lebur : 125 sampai 128
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Khasiat dan Penggunaan : Zat tambahan, zat pengawet
3. Asam Stearate (FI III, Hal 57)
Pemerian : Zat padat keras mengkilat menunjukkan susunan hablur, putih atau kuning
pucat, mirip lemak lilin
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam 20 bagian etanol (95%) P, dalam
2 bagian kloroform P dan dalam 3 bagian eter P
Suhu lebur : Tidak kurang dari 54
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Khasiat dan Penggunaan : Zat tambahan
4. Trietanolamin (FI III, Hal 612)
Pemerian : cairan kental, tidak berwarna hingga kuning pucat, bau lemah mirip
amoniak, higroskopik
Kelarutan : Mudah larut dalam air dan dalam etanol (95%) P, larut dalam kloroform P
Bobot Jenis : 1,120 sampai 1,128
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat,terlindung dari cahaya
Khasiat dan Penggunaan : Zat tambahan
5. Lemak bulu domba / Lanolin / Adeps Lanae (FI III, Hal 61)
Pemerian : Zar serupa lemak, liat, lekat, kuning muda atau kuning pucat, agak tembus
cahaya, bau lemah dank has.
Kelarutan : Praktis tidal larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol (95%) P, mudah
larut dalam kloroform P dan dalam eter P
Jarak lebur : 36 sampai 42
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya di tempat sejuk
Khasiat dan Penggunaan : Zat tambahan
6. Paraffin Cair / Paraffin Liquidum (FI III, Hal 474)
Pemerian : Cairan kental, transparan, tidak berfluoresensi, tidak berwarna, hampir
tidak berbau, hampir tidak mempunyai rasa
Kelarutan : Praktis tidal larut dalam air dan dalam etanol (95%) P, larut dalam
kloroform P dan dalam eter P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
Khasiat dan Penggunaan : Laksativum
7. Aquadest (FI III, Hal 96)
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
V. Cara Kerja
Siapkan alat dan bahan. Timbang bahan sesuai dengan perhitungan.
Buat basis krim : asam stearate, trietanolamin, adeps lanae, paraffin cair dan
sebagian aquadest dalam cawan porselen dilebur diatas watterbath hingga melebur
sempurna (campuran II)
Campurkan campuran I dan campuran II dalam mortar yang panas, aduk cepat
IX. Kesimpula
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, krim adalah bentuk sediaan setengah padat,
berupa emulsi mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian
luar. Pada pengamatan uji organoleptis menunjukkan bahwa krim yang praktikum buat
memiliki organoleptis seperti berikut berwarna kuning bening, tekstur kental agak cair dan
baunya sedikit tengik. Dari hasil uji daya sebar, hanya menguji krim miconazole karena
krim yang praktikum buat gagal. Sehingga hanya menguji krim miconazole dengan hasil
yang stabil, dimana pada percobaan pertama tanpa menggunakan beban di dapat diameter
sebar yaitu 3,5 cm, selanjutnya dengan penambahan beban 50 g adalah 4 cm, penambhan
beban 100 gr adalah 4,5 cm, penambahan beban 150 gr adalah 5 cm, penambahan beban
200 gr adalah 5,5 cm, penambahan beban 250 gr adalah 6 cm, penambahan beban 300 gr
adalah 6,5 cm, penambahan beban 350 gr adalah 7 cm, penambahan beban 400 gr adalah
7,5 cm, penambahan beban 500 gr adalah 8 cm dan terakhir penambahan beban 500 gr
adalah 8,5 cm.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. 1994. Ilmu Meracik Obat Cetakan 6. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Anief, M. 1999. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ansel, H. C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Ibrahim, F.,
Edisi IV, 391-397, 607-617, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Ansel, H.C., 2005, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat, Penerjemah: Farida
Ibrahim, Penerbit UI Press, Jakarta.
Anwar, 2012, Eksipien Dalam Sediaan Farmasi Karakterisasi dan Aplikasi, Penerbit Dian
Rakyat, Jakarta.
DepKes RI. 1978. Formularium Nasional Edisi Kedua. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
DepKes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
DepKes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Jemmy, dkk. 2015. Formulasi Dan Teknologi Sediaan Non Steril. Jimbaran : Universitas
Udayana.
Lachman, L., & Lieberman, H. A., 1994, Teori dan Praktek Farmasi Industri, Edisi Kedua,
1091-1098, UI Press, Jakarta.
Lachman L., Herbert, A. L. & Joseph, L. K., 2008, Teori dan Praktek Industri Farmasi Edisi
III, 1119-1120, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Munson, J. W., 1991, Analisis Farmasi Metode Modern, Airlangga University Press,
Surabaya.
Rowe, R., Sheskey, P., & Quinn, M., 2009, Handbook of Pharmaceutical Excipients, 6th,
155-156, Pharmaceutical Press and American Pharmacists Association, USA.
Wade, A. dan Waller, P. J., 1994, Handbook of Pharmaceutical Excipients, Second Edition,
231, 310-313, The Pharmaceutical Press, London.