Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Laporan Praktikum 5 Teknologi Formulasi Sediaan Non Steril

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI FORMULASI SEDIAAN NON

STERIL
PRAKTIKUM V (KRIM)

Oleh:
Kelompok V

Ni Made Cendani Dwi Laksmi (171200148)


Ni Putu Pipin Prasetya Sari (171200149)
Ni Putu Pradnyani Dewi (171200150)
Ni Putu Rusi Damayani (171200151)
Ni Putu Sintya Dewi (171200152)
Nyoman Adhi Krisnanda (171200153)

Hari, Tanggal Praktikum : Senin, 7 Oktober 2019

Dosen Pengampu Mata Kuliah


I Gusti Ngurah Agung Windra W.P., S.Farm., M.Sc., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI
2019
PRAKTIKUM V (KRIM)

I. Tujuan
Agar mahasiswa mengetahui formulasi dan cara pembuatan krim beserta cara uji
kualitasnya
II. Dasar Teori
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat
terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah
digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair
diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batasan
tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau
dispersi mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang
dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika.
Krim dapat digunakan untuk pemberian obat melalui vaginal (DepKes RI, 1995). Menurut
Farmakope Indonesia Edisi III, krim adalah bentuk sediaan setengah padat, berupa emulsi
mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar.
Formularium Nasional menyatakan bahwa krim adalah sediaan setengah padat, berupa
emulsi kental mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian
luar. Secara Tradisional istilah krim digunakan untuk sediaan setengah padat yang
mempunyai konsistensi relatif cair di formulasi sebagai emulsi air dalam minyak (a/m)
atau minyak dalam air (m/a) Krim merupakan obat yang digunakan sebagai obat luar yang
dioleskan ke bagian kulit badan. Obat luar adalah obat yang pemakaiannya tidak melalui
mulut, kerongkongan, dan ke arah lambung. Menurut definisi tersebut yang termasuk obat
luar adalah obat luka, obat kulit, obat hidung, obat mata, obat tetes telinga, obat wasir,
injeksi, dan lainnya (Rowe., dkk, 2009).
Istilah krim secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang
mempunyai konsistensi relative cair diformulasikan sebagai emulsi air dalam minyak atau
minyak dalam air. Krim merupakan sediaan yang digunakan secara topical. Tujuan umum
dibentuknya sediaan krim adalah untuk mendapatkan efek emolien atau pelembut (Anief,
1999). Sifat umum sediaan semi padat terutama krim ini adalah mampu melekat pada
permukaan tempat pemakaian dalam waktu yang cukup lama sebelum sediaan ini dicuci
atau dihilangkan. Krim yang digunakan sebagai obat umumnya digunakan untuk
mengatasi penyakit kulit seperti jamur, infeksi ataupun sebagai anti radang yang
disebabkan oleh berbagai jenis penyakit (Anwar, 2012).
Krim merupakan sediaan semisolida yang tersusun atas emulsi minyak dalam air atau
dispersi mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air yang
dapat dicuci dengan air. Ada dua tipe krim, yaitu (Jemmy, dkk., 2015):
a. Tipe a/m, yaitu krim yang tersusun atas campuran air terdispersi dalam minyak
Misalnya : cold cream. Cold cream atau krim dingin merupakan sediaan semisolida
berwarna putih dan bebas dari butiran, digunakan guna memberikan rasa dingin dan
nyaman pada kulit dan sering digunakan sebagai krim pembersih. Krim dingin
mengandung mineral minyak dalam jumlah besar.
b. Tipe m/a, yaitu krim yang tersusun atas campuran minyak terdispersi dalam air
Misalnya : vanishing cream. Vanishing cream merupakan sediaan semisolida yang
biasa digunakan dalam kosmetika sebagai pembersih, pelembab sekaligus alas bedak.
Vanishing cream sebagai pelembab akan meninggalkan lapisan berminyak pada kulit.

Adapun formula utama dalam pembuatan krim yaitu fase minyak dan fase air. Fase
minyak berupa bahan obat terlarut dalam minyak dan umumnya bersifat asam, misalnya
adeps lanae, parafin cair maupun padat, asam stearat, minyak lemak, vaselin, cera,
cetaceum, setil maupun stearil alkohol, dan sebagainya. Sedangkan fase air berupa bahan
obat terlarut dalam air dan umumnya bersifat basa, misalnya Na tetraborat, NaOH, TEA,
Na2CO3, KOH, Gliserin, PEG, Propilenglikol, Na lauril sulfat, Tween, Span. Selain itu
terdapat bahan-bahan penyusun krim antara lain (Lachman dan Lieberman, 1994):

a. Zat khasiat. Sifat fisika dan kimia dari bahan atau zat berkasiat dapat menentukan cara
pembuatan dan tipe krim yang akan dibuat, apakah tipe krim minyak di dalam air atau
tipe krim air di dalam minyak. Obat yang sering diformulasi dalam krim adalah
antibiotik, fungisida, antiinflamasi, antihistamin, antiseptik, analgetik, adstringen dan
keratolitik.
b. Minyak. Yaitu bahan yang larut dalam minyak dan bersifat asam. Contohnya adalah
asam stearat, adeps lanae, paraffin liquidum, paraffin solidum, minyak lemak, cera,
cetaceum, vaselin, setil alkohol, stearil alkohol dan sebagainya.
c. Air. Yaitu bahan obat yang larut dalam air, bersifat basa. Contohnya adalah Na
tetraborat (borax, Na biboras), Trietanolamin/ TEA, NaOH, KOH, Na CO , Gliserin,
Polietilenglikol/ PEG, Propilenglikol, Surfaktan (Na lauril sulfat, Na setostearil
alkohol, polisorbatum/ Tween, Span)
d. Pengemulsi/ emulgator. Berfungsi untuk menstabilkan emulsi krim,umumnya berupa
surfaktan anion, kation atau nonion.pemilihan surfaktan didasarkan atas jenis dan sifat
krim yang dikehendaki. Untuk krim tipe minyak–air digunakan zat pengemulsi seperti
trietanolaminil stearat dan golongan sorbitan, polisorbat, poliglikol, sabun. Untuk
membuat krim tipe air-minyak digunakan zat pengemulsi seperti lemak bulu domba,
setil alkohol, stearil alkohol, setaseum dan emulgida.

Bahan tambahan yang digunakan untuk sediaan semi krim adalah (Lachman dan
Lieberman, 1994):

a. Zat untuk memperbaiki konsistensi. Konsistensi sediaan topical diatur untuk


mendapatkan bioavabilitas yang maksimal, selain itu juga dimaksudkan untuk
mendapatkan formula yang “estetis” dan “acceptable”. Konsistensi yang disukai
umumnya adalah sediaan yang dioleskan, tidak meninggalkan bekas, tidak terlalu
melekat dan berlemak. Hal yang penting lain adalah mudah dikeluarkan dari tube.
Perbaikan konsistensi dapat dilakukan dengan mengatur komponen sediaan emulsi
diperhatikan ratio perbandingan fasa. Untuk krim adalah jumlah konsentrat campuran
zat pengemulsi.
b. Zat pengawet. Pengawet yang dimaksudkan adalah zat yang ditambahkan dan
dimaksudkan untuk meningkatkan stabilitas sediaan dengan mencegah terjadinya
kontaminasi mikroorganisme. Karena pada sediaan krim mengandung fase air dan
lemak maka pada sediaan ini mudah ditumbuhi bakteri dan jamur. Oleh karena itu
perlu penambahan zat yang dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme tersebut.
Zat pengawet yang digunakan umumnya metil paraben 0.12 % sampai 0,18 % atau
propil paraben 0,02% - 0,05 %.
c. Pendapar. Pendapar dimaksudkan untuk mempertahankan pH sediaan untuk menjaga
stabilitas sediaan. pH dipilih berdasarkan stabilitas bahan aktif. Pemilihan pendapar
harus diperhitungkan ketercampurannya dengan bahan lainnya yang terdapat dalam
sediaan, terutama pH efektif untuk pengawet. Perubahan pH sediaan dapat terjadi
karena: perubahan kimia zat aktif atau zat tambahan dalam sediaan pada penyimpanan
karena mungkin pengaruh pembawa atau lingkungan. Kontaminasi logam pada proses
produksi atau wadah (tube) seringkali merupakan katalisator bagi pertumbuhan kimia
dari bahan sediaan.
d. Pelembab. Pelembab atau humectan ditambahkan dalam sediaan topical dimaksudkan
untuk meningkatkan hidrasi kulit. Hidrasi pada kulit menyebabkan jaringan menjadi
lunak, mengembang dan tidak berkeriput sehingga penetrasi zat akan lebih efektif.
Contoh zat tambahan ini adalah: gliserol, PEG, sorbitol.
e. Pengompleks (sequestering). Pengompleks adalah zat yang ditambahkan dengan
tujuan zat ini dapat membentuk kompleks dengan logam yang mungkin terdapat
dalam sediaan, timbul pada proses pembuatan atau pada penyimpanan karena wadah
yang kurang baik. Contoh : Sitrat, EDTA, dsb.
f. Anti Oksidan. Antioksidan dimaksudkan untuk mencegah tejadinya ketengikan akibat
oksidasi oleh cahaya pada minyak tidak jenuh yang sifatnya autooksidasi, antioksidan
terbagi atas :
1. Anti oksidan sejati (anti oksigen)
Kerjanya: mencegah oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas dan
mencegah reaksi cincin. Contohnya tokoferol, alkil gallat, BHA, BHT.
2. Anti oksidan sebagai agen produksi.
Zat-zat ini mempunyai potensial reduksi lebih tinggi sehingga lebih mudah
teroksidasi dibandingkan zat yang lain kadang–kadang bekerja dengan cara
bereaksi dengan radikal bebas. Contoh; garam Na dan K dari asam sulfit.
3. Anti oksidan sinergis.
Yaitu senyawa yang bersifat membentuk kompleks dengan logam, karena adanya
sedikit logam dapat merupakan katalisator reaksi oksidasi. Contoh: sitrat, tartrat,
EDTA.
g. Peningkat Penetrasi. Zat tambahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah zat
yang terpenetrasi agar dapat digunakan untuk tujuan pengobatan sistemik lewat
dermal (kulit).

Kualitas dasar krim, yaitu stabil, selama masih dipakai mengobati. Maka krim harus
bebas dari inkopatibilitas, stabil pada suhu kamar, dan kelembaban yang ada dalam
kamar. Lunak, yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi lunak
dan homogen. Mudah dipakai, umumnya krim tipe emulsi adalah yang paling mudah
dipakai dan dihilangkan dari kulit. Terdistribusi merata, obat harus terdispersi merata
melalui dasar krim padat atau cair pada penggunaan (Anief, 1994).

Pembuatan sediaan krim meliputi proses peleburan dan proses emulsifikasi. Biasanya
komponen yang tidak bercampur dengan air seperti minyak dan lilin dicairkan bersama-
sama di penangas air pada suhu 70-75°C, sementara itu semua larutan berair yang tahan
panas, komponen yang larut dalam air dipanaskan pada suhu yang sama dengan
komponen lemak. Kemudian larutan berair secara perlahan-lahan ditambahkan ke dalam
campuran lemak yang cair dan diaduk secara konstan, temperatur dipertahankan selama 5-
10 menit untuk mencegah kristalisasi dari lilin/lemak. Selanjutnya campuran perlahan-
lahan didinginkan dengan pengadukan yang terus-menerus sampai campuran mengental.
Bila larutan berair tidak sama temperaturnya dengan leburan lemak, maka beberapa lilin
akan menjadi padat, sehingga terjadi pemisahan antara fase lemak dengan fase cair
(Munson, 1991).

Dibawah pengaruh gravitasi, partikel-partikel atau tetesan-tetesan tersuspensi


cenderung meningkat atau mengendap, tergantung pada perbedaan dalam gravitasi
spesifik antar fase tersebut. Jika pembentukan krim berlangsung tanpa agregasi apapun,
emulsi dapat terbentuk kembali dengan pengocokan atau pengadukan. Pembentukan krim
meliputi gerakan sejumlah tetesan heterodispers, dan gerakan tersebut saling mengganggu
satu sama lain dan biasanya menyebabkan rusaknya tetesan (Lachman, dkk., 1994).
Sediaan krim dapat menjadi rusak bila terganggu sistem campurannya terutama
disebabkan oleh perubahan suhu dan perubahan komposisi karena penambahan salah satu
fase secara berlebihan atau pencampuran dua tipe krim jika zat pengemulsinya tidak
tercampurkan satu sama lain. Pengenceran krim hanya dapat dilakukan jika diketahui
pengencer yang cocok. Krim yang sudah diencerkan harus digunakan dalam waktu satu
bulan (Anief, 1994).

Penyimpanan krim biasanya dikemas baik dalam botol atau dalam tube, botol yang
digunakan biasanya berwarna gelap atau buram. Wadah dari gelas buram dan berwarna
berguna untuk krim yang mengandung obat yang peka terhadap cahaya. Tube bias saja
terbuat dari kaleng atau plastik, beberapa diantaranya diberi tambahan kemasan bila krim
akan digunakan untuk penggunaan khusus. Tube dari krim kebanyakan dikemas dalam
tube kaleng dan dapat dilipat yang dapat menampung (sekitar 8.5 g krim). Tube krim
untuk pemakaian topikal lebih sering dari ukuran 5 sampai 15 gram (Ansel, 1989).

Prinsip pembuatan krim adalah berdasarkan proses penyabunan (safonifikasi) dari


suatu asam lemak tinggi dengan suatu basa dan dikerjakan dalam suasana panas yaitu
temperatur 700- 800C. (DepKes RI, 1995). Sedangkan menurut Ansel (1989), prinsip
dasar pembuatan krim dibagi menjadi saponifikasi dan emulsi yang terdiri dari dua fasa.
Dimana saponifikasi merupakan proses penyabunan yang merupakan hasil dari reaksi
antara asam lemah dengan basa kuat yang menghasilkan garamnya dan gliserol. Emulsi
minyak dalam air. Sedangkan emulsi yang terdiri dari dua fasa dimana fasa minyak lebih
sedikit volumenya dari pada fasa air atau bisa juga dikatakan air sebagai zat pembawanya.

Kerugian dari sediaan krim adalah susah dalam pembuatannya, karena dibutuhkan
suhu yang optimal pada saat pembuatan (fase minyak dan fase air) dan mudah pecah,
karena suhu tidak optimal atau saat pencampuran fase minyak dan fase air pengadukannya
tidak tepat. Keuntungan penggunaan krim adalah umumnya mudah menyebar rata pada
permukaan kulit serta mudah dicuci dengan air (Ansel, 2005). Krim dapat digunakan pada
luka yang basah, karena bahan pembawa minyak di dalam air cenderung untuk menyerap
cairan yang dikeluarkan luka tersebut. Basis yang dapat dicuci dengan air akan
membentuk suatu lapisan tipis yang semipermeabel, setelah air menguap pada tempat
yang digunakan. Tetapi emulsi air di dalam minyak dari sediaan semipadat cenderung
membentuk suatu lapisan hidrofobik pada kulit (Lachman, 2008). Evaluasi sediaan krim
dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu (Wade dan Waller, 1994):

a. Evaluasi Fisika
1. Organoleptis. Evalusai organoleptis menggunakan panca indra, mulai dari bau,
warna, tekstur sedian, konsistensi pelaksanaan menggunakan subyek responden
(dengan kriteria tertentu) dengan menetapkan kriterianya pengujianya (macam dan
item), menghitung prosentase masing- masing kriteria yang di peroleh,
pengambilan keputusan dengan analisa statistik.
2. Evaluasi pH. Evaluasi pH menggunakan alat pH meter, dengan cara perbandingan
60 g : 200 ml air yang di gunakan untuk mengencerkan , kemudian aduk hingga
homogen, dan diamkan agar mengendap, dan airnya yang di ukur dengan pH
meter, catat hasil yang tertera pada alat pH meter.
3. Evaluasi daya sebar. Dengan cara sejumlah zat tertentu di letakkan di atas kaca
yang berskala. Kemudian bagian atasnya di beri kaca yang sama, dan di tingkatkan
bebanya, dan di beri rentang waktu 1 – 2 menit. kemudian diameter penyebaran
diukur pada setiap penambahan beban, saat sediaan berhenti menyebar (dengan
waktu tertentu secara teratur).
4. Evaluasi penentuan ukuran droplet. Untuk menentukan ukuran droplet suatu
sediaan krim ataupun sediaan emulgel, dengan cara menggunakan mikroskop
sediaan diletakkan pada objek glass, kemudian diperiksa adanya tetesan – tetesan
fase dalam ukuran dan penyebarannya.
5. Uji aseptabilitas sediaan. Dilakukan pada kulit, dengan berbagai orang yang di
kasih suatu quisioner di buat suatu kriteria, kemudahan dioleskan, kelembutan,
sensasi yang di timbulkan, kemudahan pencucian. Kemudian dari data tersebut di
buat skoring untuk masing- masing kriteria. Misal untuk kelembutan agak lembut,
lembut, sangat lembut.
b. Evaluasi Biologi
1. Uji Mikroba. Dilakukan untuk memperkirakan jumlah mikroba aerob viabel di
dalam semua jenis perbekalan farmasi, mulai dari bahan baku hingga sediaan jadi
dan untuk menyatakan perbekalan farmasi tersebut bebas dari spesimen mikroba
tertentu. Spesimen uji biasanya terdiri dari Staphylococcus aureus, Escherichia
coli, Pseudomonas aeruginosa dan Salmonella. Pengujian -3 dilakukan dengan
menambahkan 1 mL dari tidak kurang pengenceran 10 biakan mikroba berumur
24 jam kepada enceran pertama spesimen uji (dalam dapar fosfat 7,2, Media fluid
Soybean-Casein Digest atau Media Fluid Lactose Medium) dan diuji sesuai
prosedur

III. Alat dan Bahan


3.1 Alat
1. Cawan porselen
2. Spatel logam
3. Penjepit kayu
4. Mortir dan stamper
5. Gelas ukur
6. Waterbath
7. Batang pengaduk
8. Stopwatch
9. Alat evaluasi sediaan

3.2 Bahan
1. Kloramfenikol 400 mg
2. Nipagin 20 mg
3. Parfum 20 mg
4. Asam stearate 3 mg
5. Trietanolamin 300 mg
6. Lemak bulu domba 600 mg
7. Paraffin cair 5 gram
8. Aquadest 11 gram
IV. Pemerian Bahan
1. Kloramfenikol (FI III, Hal 143)
Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang, putih sampai
putih kelabu atau putih kekuningan, tidak berbau, rasa sangat pahit. Dalam larutan
asam lemah, mantap.
Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 400 bagian air, dalam 2,5 bagian air, dalam 2,5
bagian etanol (95%) P dan dalam 7 bagian propilenglikol P, sukar larut dalam
kloroform P dan dalam eter P.
Jarak lebur : Antara 149 dan 153
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
Khasian dan Penggunaan : Antibiotikum
2. Nipagin / Metil Paraben (FI III, Hal 378)
Pemerian : Serbuk hablur halus, putih, hampir tidak berbau, tidak mempunyai rasa,
kemudian agak membakar diikuti rasa tebal.
Kelarutan : Larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih, dalam 3,5
bagian etanol (95%) P dan dalam 3 bagian aseton P, mudah larut dalam eter P dan
dalam larutan alkali hidroksida, larut dalam 60 bagian gliserol P panas dan dalam 40
bagian minyak lemak nabati panas, jika didinginkan larutan tetap jernih.
Suhu lebur : 125 sampai 128
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Khasiat dan Penggunaan : Zat tambahan, zat pengawet
3. Asam Stearate (FI III, Hal 57)
Pemerian : Zat padat keras mengkilat menunjukkan susunan hablur, putih atau kuning
pucat, mirip lemak lilin
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam 20 bagian etanol (95%) P, dalam
2 bagian kloroform P dan dalam 3 bagian eter P
Suhu lebur : Tidak kurang dari 54
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Khasiat dan Penggunaan : Zat tambahan
4. Trietanolamin (FI III, Hal 612)
Pemerian : cairan kental, tidak berwarna hingga kuning pucat, bau lemah mirip
amoniak, higroskopik
Kelarutan : Mudah larut dalam air dan dalam etanol (95%) P, larut dalam kloroform P
Bobot Jenis : 1,120 sampai 1,128
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat,terlindung dari cahaya
Khasiat dan Penggunaan : Zat tambahan
5. Lemak bulu domba / Lanolin / Adeps Lanae (FI III, Hal 61)
Pemerian : Zar serupa lemak, liat, lekat, kuning muda atau kuning pucat, agak tembus
cahaya, bau lemah dank has.
Kelarutan : Praktis tidal larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol (95%) P, mudah
larut dalam kloroform P dan dalam eter P
Jarak lebur : 36 sampai 42
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya di tempat sejuk
Khasiat dan Penggunaan : Zat tambahan
6. Paraffin Cair / Paraffin Liquidum (FI III, Hal 474)
Pemerian : Cairan kental, transparan, tidak berfluoresensi, tidak berwarna, hampir
tidak berbau, hampir tidak mempunyai rasa
Kelarutan : Praktis tidal larut dalam air dan dalam etanol (95%) P, larut dalam
kloroform P dan dalam eter P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
Khasiat dan Penggunaan : Laksativum
7. Aquadest (FI III, Hal 96)
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

V. Cara Kerja
Siapkan alat dan bahan. Timbang bahan sesuai dengan perhitungan.

Masukkan kloramfenikol kedalam mortar, tambahkan nipagin aduk sampai


homogen

Tambahkan sebagian aquadest aduk sampai homogen ( campuran I )

Buat basis krim : asam stearate, trietanolamin, adeps lanae, paraffin cair dan
sebagian aquadest dalam cawan porselen dilebur diatas watterbath hingga melebur
sempurna (campuran II)
Campurkan campuran I dan campuran II dalam mortar yang panas, aduk cepat

Tambahkan parfum, aduk ad homogen. Masukkan dalam pot.

VI. Uji Kualitas


1. Uji Organoleptis
menggunakan panca indra, mulai dari bau, warna, tekstur sedian, konsistensi
pelaksanaan menggunakan subyek responden (dengan kriteria tertentu) dengan
menetapkan kriterianya pengujianya (macam dan item), menghitung prosentase
masing- masing kriteria yang di peroleh, pengambilan keputusan dengan analisa
statistik.
2. Uji daya lekat
Uji daya melekat. Ditimbang krim 0,23 gram diletakkan di atas gelas obyek yang telah
ditentukan luasnya. Diletakkan gelas objek yang lain di atas krim tersebut. Ditekan dengan
beban 1 kg selama 5 menit. Dipasang gelas objek pada alat test. Dilepas beban seberat 80
gram. Dicatat waktunya hingga kedua objek gelas tersebut terlepas.
3. Uji daya sebar
Uji daya menyebar. Ditimbang 0,5 gram krim diletakkan di tengah cawan petri yang berada
dalam posisi terbalik. Diletakkan cawan petri yang lain di atas krim. Dibiarkan selam 1 menit.
Diukur diameter krim yang menyebar. Ditambahkan 50 gram beban tambahan. Didiamkan 1
menit dan diukur diameter setelah beban mencapai 500 gram.

VII. Data Pengamatan


Uji Organoleptis
a. Sediaan krim
- Bau : tengik
- Warna : kuning bening
- Tekstur : kental agak cair
b. Sediaan miconazole
- Bau : berbau lemah
- Warna : putih susu
- Tekstur : lembut tidak cair
- Kontaminasi : tidak ditemukan benda asing
Uji Daya Sebar
a. Sediaan krim
Uji daya sebar tidak bisa dilakukan pada hasil yang di dapat karena sediaan krim
gagal akibat telalu encer karena kesalahan formulasi yang tidak pas/sesuai
b. Sediaan miconazole
Beban Diameter
tanpa beban 3,5 cm
50 g 4 cm
100 g 4,5 cm
150 g 5 cm
200 g 5,5 cm
250 g 6 cm
300 g 6,5 cm
350 g 7 cm
400 g 7,5 cm
450 g 8 cm
500 g 8,5 cm
VIII. Pembahasan
Pada praktikum teknologi formulasion non steril, senin 7 oktober 2019 kami
kelompok V melakukan praktikum dengan materi “KRIM” dimana tujuan dari praktikum
kali ini adalah Agar mahasiswa mengetahui formulasi dan cara pembuatan krim beserta
cara uji kualitasnya. Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau
lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara
tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi
relatif cair diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang
ini batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam
air atau dispersi mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air,
yang dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan
estetika. Krim dapat digunakan untuk pemberian obat melalui vaginal (DepKes RI, 1995).
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, krim adalah bentuk sediaan setengah padat,
berupa emulsi mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian
luar.
Pada praktikum kali ini, praktikan akan membuat 1 buah sediaan farmasi dalam
bentuk krim untuk diuji dengan sediaan krim miconazole yang dapat di beli bebas di
apotek. Bahan yang digunakan dalam formulasi krim ini adalah kloramfenikol, nipagin,
parfum, asam stearate, trietanolamin, lemak bulu domba, paraffin cair, aquadest.
Kloramfenikol tidak larut dalam air sehingga cocok dibuat dalam bentuk sediaan krim,
dimana formulasi ini krim yang akan dibuat diindikasikan sebagai antibacteri dimana
fungsi kloramfenikol ini sendiri sebagai bahan tambahan berupa zat aktif yang
mengandung antibiotik. Penggunaan nipagin atau metal paraben sebagai pengawet yang
berfungsi untuk mencegah tumbuhnya mikroba atau bakteri dalam sediaan Krim serta
meningkatkan stabilitas sedian yang di buat (Rowe, et al., 2009). Parfum berfungsi
sebagai bahan tambahan untuk pemberi aroma. Asam stearate, adaps lanae, trietanolamin
berfungsi sebagai emulgator atau zat pengemulsi. Paraffin cair berfungsi sebagai fase
minyak dan aquadest seabagai pelarut.
Pada praktikum pembuatan cream kali ini kita membuat cream type minyak air ( m/a
), atau fase minyak dalam fase air. Dalam formula cream chloramphenicol dengan
menggunakan basis vanishing cream, juga terdapat 2 fase, yaitu fase air dan fase minyak.
Fase minyak nya yaitu asam stearate, adeps lanae, dan paraffin cair . Dan fase air nya
adalah trietanolamin, dan aquadest. Tahap pertama pada paraktikum ini adalah siapkan
alat dan bahan kemudian lakukan penimbangan bahan, kloramfenikol 1,2 gr, nipagin 60
mg, asam stearate 6 mg, trietanolamin 900 mg, lemak bulu domba 3,6 gr, paraffin cair 5
gr, aquadest 11 gr. Kemudian masukan kloramfenikol ke dalam mortar, tambahkan
nipagin di aduk sampai homogen kemudian di tambahkan sebagian aquadest ad homogen
(campuran 1). Tahapan kedua membuat basis krim: masukan asam stearate, rietanolamin,
adeps lanae, paraffin cair dan sebagaian aquadest ke dalam cawan porselen yang
kemudian di lebur di atas water bath yang sudah disiapkan dengan suhu 70°C hingga
melebur sempurna (campuran 2). Mengapa harus digunakan suhu 70°C, tidak boleh
dibawah suhu tersebut, karena umumnya cream dengan tipe minyak dalam air , itu dibuat
pada suhu tinggi, karena pada suhu tersebut sediaan akan berbentuk cair dan kemudian
didinginkan pada suhu kamar, dan menjadi padat akibat terjadinya solidifikasi fase
internal. Dan bila sediaan dilebur pada suhu kurang dari 70°C, bisa mengakibatkan kurang
homogennya sediaan cream dan kelarutan bahan belum sempurna. Kemudian campurkan,
campuran1 dan campuran 2 pada mortar, mortar sebelumnya sudah dipanaskan ( mortar
diisi dengan air panas, kemudian air panasnya dibuang, hanya memanaskan mortarnya
dan stampernya saja ) pertama campuran 2 di masukan ke dalam mortar kemudian digerus
kuat sampai membentuk massa cream, tujuannya agar ketika nanti ditambahkan zat
aktifnya yaitu chloramfenikol, cream tersebut dapat menyatu atau homogen dan tidak
mengakibatkan granul-granul atau butir-butir halus pada cream, karena syarat vanishing
cream yang baik adalah halus dan homogeny, jadi mudah diserap oleh kulit. Pada
pengerjaan tahap ini harus cepat dan teliti, karena jika pada saat penggerusan itu tidak
cepat dan mortar kurang panas maka massa cream tidak akan terbentuk, tetapi sediaan
akan menggumpal, sehingga pembuatan cream pun gagal. Biasanya pembentukan emulsi,
pemanasan bahan, dan penggerusan pada lumpang sering menjadi masalah dalam
pembentukan cream ini, sehingga harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati. Kemudian
dimasukkan campuran 1 yang sudah digerus halus ke dalam mortar sedikit demi sedikit,
kemudian digerus ad homogen dan dimasukkan kedalam pot salep. Tujuan dari mengapa
chlorampheicol dimasukkan terakhir yaitu setelah basis vanishing cream tadi jadi adalah
agar zat aktif dari chloramphenicol tadi tidak hilang pada saat pembuatan basis, sehingga
ditambahkan ketika basis sudah jadi agar chloramphenicol tadi lebih menyatu dan
homogen dengan basis, dan diperoleh sediaan yang bagus. Cream yang nyaman
digunakan ( tidak lengket dan mudah meresap dikulit ) adalah cream yang mengandung
fase air besar daripada fase minyak ( M/A ) atau dikenal dengan basis vanishing cream.
Namun pada saat praktikan melakukan praktikum pengadukan pada campuran 2 yaitu
proses pembuatan basis krim gagal, pada pengerjaan tahap ini harus cepat dan teliti,
karena jika pada saat penggerusan itu tidak cepat dan mortir kurang panas maka massa
cream tidak akan terbentuk, tetapi sediaan akan pecah, sehingga pembuatan cream pun
gagal.
Hal ini juga dapat terjadi karena beberpa factor lain seperti:
 Mudah pecah disebabkan karena formula yang tidak pas
 Suhu panas pada mortar telah berkurang sehingga mempengaruhi proses pembuatan
 Adanya perubahan suhu dan perubahan komposisi disebabkan penambahan salah satu
fase secara berlebihan.
Selanjutnya dilakukan evaluasi sediaan krim dengan membandingkan dengan sediaan
krim di pasaran (miconazole). Evaluasi yang dilakukan adalah uji organoleptis, uji daya
sebar, uji daya lekat. Uji daya lekad pada sediaan krim tidak dilakukan karena keterbatasan
waktu praktikum. Uji organoleptis menunjukkan bahwa krim yang praktikum buat
memiliki organoleptis seperti berikut berwarna kuning bening, tekstur kental agak cair (ini
disebabkan karena ketidak homogenan pada proses pengadukan yang kurang konstan) dan
baunya sedikit tengik (bau tengik ini disebabkan karena kurang homogen saat
pengadukan). Sedangkan pada sedian krim miconazole hasil uji organoleptis menunjukan
berwarna putih, tekstur lembut, bau nya khas dan tidak ada kontaminasi atau partikel benda
asing pada sadiaan.
Selanjutnya dilakukan uji daya sebar. Pada uji daya sebar ini praktikan hanya menguji
data dari krim miconazole, ini di akibatkan karena sediaan krim yang praktikan buat di lab
tidak berhasil menjadi krim yang stabil karena sedian krim pecah. Ini terjadi karena ada
factor-faktor yang mempengaruhi kegagalan proses pembuatan krim salah satu yang
praktikan alami di lab adalah karena formulasi yang kurang pas dan adanya perubahan
komposisi sehingga terjadi penambahan bahan secara berlebihan.
Uji daya sebar ini dilakukan dengan meletakkan 0,5 gram krim miconazole diletakkan
di tengah cawan petri yang berada dalam posisi terbalik. Diletakkan cawan petri yang lain
di atas krim. Dibiarkan selam 1 menit. Diukur diameter krim yang menyebar. Ditambahkan
50 gram beban tambahan. Didiamkan 1 menit dan diukur diameter setelah beban mencapai
500 gram. Dari hasil uji dapat dilihat penambahan diameter sebar, dimana pada percobaan
pertama tanpa menggunakan beban di dapat diameter sebar yaitu 3,5 cm, selanjutnya
dengan penambahan beban 50 g adalah 4 cm, penambhan beban 100 gr adalah 4,5 cm,
penambahan beban 150 gr adalah 5 cm, penambahan beban 200 gr adalah 5,5 cm,
penambahan beban 250 gr adalah 6 cm, penambahan beban 300 gr adalah 6,5 cm,
penambahan beban 350 gr adalah 7 cm, penambahan beban 400 gr adalah 7,5 cm,
penambahan beban 500 gr adalah 8 cm dan terakhir penambahan beban 500 gr adalah 8,5
cm. Pengukuran diameter dilakukan secara manual dengan menggunakan penggaris,
sehingga diperlukan ketelitian untuk memperoleh hasil yang baik. Secara umum semakin
bertambahnya beban maka diameter sebarnya akan semakin besar. Pada uji daya sebar ini
diketahui bahwa cawan petri diberikan beban dengan kelipatan 50 gr dan menghasilkan
perbandingan yang konstan. Hal ini dilihat dari kelipatan bertambahnya diameter sebar
yang terjadi.

IX. Kesimpula
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, krim adalah bentuk sediaan setengah padat,
berupa emulsi mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian
luar. Pada pengamatan uji organoleptis menunjukkan bahwa krim yang praktikum buat
memiliki organoleptis seperti berikut berwarna kuning bening, tekstur kental agak cair dan
baunya sedikit tengik. Dari hasil uji daya sebar, hanya menguji krim miconazole karena
krim yang praktikum buat gagal. Sehingga hanya menguji krim miconazole dengan hasil
yang stabil, dimana pada percobaan pertama tanpa menggunakan beban di dapat diameter
sebar yaitu 3,5 cm, selanjutnya dengan penambahan beban 50 g adalah 4 cm, penambhan
beban 100 gr adalah 4,5 cm, penambahan beban 150 gr adalah 5 cm, penambahan beban
200 gr adalah 5,5 cm, penambahan beban 250 gr adalah 6 cm, penambahan beban 300 gr
adalah 6,5 cm, penambahan beban 350 gr adalah 7 cm, penambahan beban 400 gr adalah
7,5 cm, penambahan beban 500 gr adalah 8 cm dan terakhir penambahan beban 500 gr
adalah 8,5 cm.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. 1994. Ilmu Meracik Obat Cetakan 6. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Anief, M. 1999. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ansel, H. C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Ibrahim, F.,
Edisi IV, 391-397, 607-617, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Ansel, H.C., 2005, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat, Penerjemah: Farida
Ibrahim, Penerbit UI Press, Jakarta.

Anwar, 2012, Eksipien Dalam Sediaan Farmasi Karakterisasi dan Aplikasi, Penerbit Dian
Rakyat, Jakarta.

DepKes RI. 1978. Formularium Nasional Edisi Kedua. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

DepKes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.

DepKes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.

Jemmy, dkk. 2015. Formulasi Dan Teknologi Sediaan Non Steril. Jimbaran : Universitas
Udayana.

Lachman, L., & Lieberman, H. A., 1994, Teori dan Praktek Farmasi Industri, Edisi Kedua,
1091-1098, UI Press, Jakarta.

Lachman L., Herbert, A. L. & Joseph, L. K., 2008, Teori dan Praktek Industri Farmasi Edisi
III, 1119-1120, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Munson, J. W., 1991, Analisis Farmasi Metode Modern, Airlangga University Press,
Surabaya.

Rowe, R., Sheskey, P., & Quinn, M., 2009, Handbook of Pharmaceutical Excipients, 6th,
155-156, Pharmaceutical Press and American Pharmacists Association, USA.

Wade, A. dan Waller, P. J., 1994, Handbook of Pharmaceutical Excipients, Second Edition,
231, 310-313, The Pharmaceutical Press, London.

Anda mungkin juga menyukai