Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

BAB II Tipus

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH FITOFARMASETIKA

Pembuatan Gel Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa


oleifera)

Disusun Oleh :
1. Dina Melinda (08061381722091)
2. Hibsah (08061181722015)
3. Jessica Amelia (08061281722057)
4. Mutiara Larasati (08061281722065)
5. Prantara Ardi Prasetyo (08061383722099)

Kelompok : 9 (Sembilan)
Dosen Pembimbing : Dina Permata Wijaya, S.Far., M. Si., Apt

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gaya hidup kembali ke alam (back to nature) membuktikan bahwa sesuatu


yang alami bukan berarti kampungan atau ketinggalan zaman. Tidak sedikit orang
yang berkecimpung di dunia kedokteran modern, yang saat ini mempelajari obat-
obat tradisional. Tumbuh-tumbuhan berkhasiat obat dikaji dan dipelajari secara
ilmiah, hasilnya pun mendukung fakta dan bukti bahwa tumbuhan obat memang
memiliki kandungan zat-zat atau senyawa yang secara klinis terbukti bermanfaat
bagi kesehatan (Furnawanthi, 2005).

Penyakit kulit merupakan suatu penyakit yang menyerang pada permukaan


tubuh dan disebabkan oleh berbagai macam penyebab seperti bakteri, virus dan
jamur. Salah satu penyakit kulit y a n g d i s e b a b k a n o l e h j a m u r adalah panu
(Pityriasis versicolor) yaitu penyakit kulit yang disebabkan oleh keberadaan dari
jamur Malassezia furfur. Penyakit yang disebabkan oleh jamur seperti panu lebih
sering ditemukan di daerah yang beriklim panas (Susanto RC et. al., 2013).

Salah satu tumbuhan yang berkhasiat secara tradisional adalah daun Kelor
(Moringa oleifera). Secara tradisional Kelor banyak ditanam sebagai tapal batas
atau pagar di halaman rumah atau lading. Hasil penelitian menunjukkan tumbuhan
ini memiliki potensi untuk diteliti sebagai antibakteri dan antijamur, karena
tanaman Kelor mengandung flavonoid dan saponin yang memiliki potensi sebagai
antibakteri dan antijamur (Kasolo dkk., 2011).

Untuk mendapatkan kenyamanan dan kemudahan penggunaan, maka bahan


baku daun Kelor diformulasikan dalam bentuk sediaan gel (Tristiana, et. al.,
2013). Sediaan gel dipilih karena mudah mengering dan memberikan rasa dingin
dikulit. Keuntungan gel jika dibandingkan dengan sediaan topikal lain adalah daya
lekat tinggi dan tidak menyumbat pori sehingga pernapasan pori tidak terganggu,
mudah dicuci dengan air, pelepasan obatnya baik, kemampuan penyebarannya
pada kulit baik (Panjaitan, et. al., 2012).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik daun Kelor (Moringa oleifera)?
2. Apa yang dimaksud dengan sediaan gel?
3. Bagaimana cara ekstraksi dan penapisan kimia ekstrak daun Kelor
(Moringa oleifera)?
4. Apa saja formulasi sediaan gel ekstrak daun Kelor (Moringa oleifera)
dengan perbedaan konsentrasi basis HPMC?
5. Bagaimana cara pembuatan gel ekstrak daun Kelor (Moringa oleifera)?
6. Bagaimana cara uji aktivitas antijamur daun Kelor (Moringa oleifera)?
7. Bagaimana pengaruh konsentrasi basis HPMC terhadap aktivitas
anttijamur daun Kelor (Moringa oleifera)?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui karakteristik daun Kelor (Moringa oleifera)?
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan sediaan gel?
3. Mengetahui cara ekstraksi dan penapisan kimia ekstrak daun Kelor
(Moringa oleifera)?
4. Mengetahui formulasi sediaan gel ekstrak daun Kelor (Moringa oleifera)
dengan perbedaan konsentrasi basis HPMC?
5. Mengetahui cara pembuatan gel ekstrak daun Kelor (Moringa oleifera)?
6. Mengetahui cara uji aktivitas antijamur daun Kelor (Moringa oleifera)?
7. Mengetahui pengaruh konsentrasi basis HPMC terhadap aktivitas
anttijamur daun Kelor (Moringa oleifera)?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Daun Kelor


Kelor (Moringa oleifera) tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi
sampai di ketinggian ± 1000 dpl. Kelor banyak ditanam sebagai tapal batas atau
pagar di halaman rumah atau ladang. Daun kelor dapat dipanen setelah tanaman
tumbuh 1,5 hingga 2 meter yang biasanya memakan waktu 3 sampai 6 bulan.
Namun dalam budidaya intensif yang bertujuan untuk produksi daunnya, kelor
dipelihara dengan ketinggian tidak lebih dari 1 meter. Pemanenan dilakukan
dengan cara memetik batang daun dari cabang atau dengan memotong cabangnya
dengan jarak 20 sampai 40 cm di atas tanah (Kurniasih, 2014).
Daun kelor di Indonesia dikonsumsi sebagai sayuran dengan rasa yang khas,
yang memiliki rasa langu dan juga digunakan untuk pakan ternak karena dapat
meningkatkan perkembangbiakan ternak khususnya unggas. Selain dikonsumsi
daun kelor juga dijadikan obat-obatan dan penjernih air. Menurut Roloff (2009)
dalam Nugraha (2013), klasifikasi tanaman kelor adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Rhoeadales (Brassicales)
Famili : Moringaceae
Genus : Moringa
Spesies : Moringa oleifera

2.1.1. Kandungan Zat Aktif


Daun Kelor mengandung banyak senyawa terpenoid, tannin, saponin, dan
polifenol, senyawa polifenol utama dalam daun kelor adalah flavonoid dan asam
fenolat. Dalam sebuah studi senyawa diatas dapat berperan sebagai antidiabetes
(krishnaiah etal,. 2009). Flavonoid merupakan suatu sub-kelompok senyawa
polifenol yang memiliki struktur benzo-γ-pyrone dimana dalam tanaman mereka
disintesis dalam menanggapi infeksi mikroba (Kumar S et.al.,2013).
Kerangka flavonoid terdiri atas lima belas kerangka karbon yang terdiri dari
dua cincin benzena A dan B yang dihubungkan melalui cincin pyrane heterosiklik
C cincin ini dijadikan dasar pembagian flavonoid ke dalam sub-sub kelompoknya
flavones (misalnya, flavon, apigenin, dan luteolin), flavonol (misalnya, quercetin,
kaempferol, myricetin, dan fisetin), flavanon (Misalnya, flavanon, hesperetin, dan
naringenin), dan lain-lain (Kumar S et.al.,2013). Flavonoid berperan sebagai
antioksidan dengan cara menangkap radikal bebas atau melalui kemampuannya
mengkelat logam (Kumar S et.al.,2013). Studi epidemiologis telah secara
konsisten menunjukkan bahwa asupan tinggi flavonoid memiliki efek protektif
terhadap banyak infeksi (bakteri dan virus penyakit) dan penyakit degeneratif
seperti kardiovaskuler penyakit, kanker, antidiabetes dan penyakit terkait usia
lainnya (Pandey et.al., 2009).
Daun Kelor mengandung flavonoid, diantaranya quercetin-3 glycoside
(Q3G), rutin, kaempferol glycosides dan asam klorogenat. Dari sejumlah polifenol
diatas, Q3G memiliki efek menurunkan kadar gula darah. Q3G mempengaruhi
intake glukosa di mukosa usus halus sehingga waktu penyerapan glukosa ke darah
lebih panjang yang pada akhirnya menurunkan kadar gula dalam darah (Ndong et
al., 2007).

Gambar 2.2 Struktur molekul flavonoid: (a) myricetin, (b) quercetin, (c)
kaemferol, (d) isorhamnetin, (e) rutin (leone et al., 2015).

2.2. Tinjauan Ekstrak


Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan
(Departemen Kesehatan RI, 1995). Berdasarkan sifatnya ekstrak dapat dibagi
menjadi empat yaitu: ekstrak encer, ektrak kental, ekstrak kering, dan ekstrak cair
(voigt, 1971).
2.2.1. Metode Ekstraksi
Pembuatan ekstrak, pemilihan teknik ekstraksi harus didasari oleh bagian
tanaman yang akan diekstraksi dan bahan aktif yang akan digunakan. Idealnya,
teknik ekstraksi harus mampu mengekstraksi bahan aktif yang diinginkan
sebanyak mungkin, prosesnya cepat, mudah dilakukan, murah, ramah lingkungan
dan hasil yang diperoleh selalu konsisten (Sarker dan Nahar, 2012). Terdapat
beberapa teknik ekstraksi yang dapat digunakan, diantaranya adalah maserasi dan
perkolasi.
Maserasi merupakan metode sederhana yang banyak dilakukan untuk
mengekstrasi senyawa dari tanaman. Terdapat dua tipe maserasi yaitu sederhana,
kinetik atau pengadukan dan ultrasonik. Maserasi sederhana dapat dilakukan
dengan merendam bagian simplisia secara utuh atau yang sudah digiling kasar
dengan pelarut dalam bejana tertutup, yang dilakukan pada suhu kamar selama
sekurang-kurangnya tiga hari dengan pengadukan berulang kali sampai semua
bagian tanaman dapat melarut dalam cairan pelarut.
Proses ekstraksi dihentikan ketika telah tercapai kesetimbangan senyawa
dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman (Mukhairini, 2014).
Selanjutnya campuran di saring dan ampasnya diperas agar diperoleh bagian
cairnya saja. Cairan jernih disaring atau didekantasi dan dibiarkan selama dalam
waktu tertentu (Kumoro, 2015). Maserasi kinetik dilakukan dengan pengadukan
secara terus – menerus (Departemen Kesehatan RI, 2000). Keuntungan dari teknik
ini adalah bagian tanaman yang diekstraksi tidak harus berbentuk serbuk halus,
tidak memerlukan keahlian khusus, serta dapat menghindari rusaknya senyawa
yang bersifat termolabil (Mukhriani, 2014)
2.3. Definisi Gel
Gel didefinisikan sebagai suatu sistem setengah padat yang terdiri dari suatu
disperse yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil atau molekul
organik yang besar dan saling diresapi cairan (Ansel, 1989). Zat-zat pembentuk
gel digunakan sebagai pengikat dalam granulasi, koloid pelindung dalam
suspense, pengental untuk sediaan oral dan sebagai basis supositoria. Sediaan gel
secara luas banyak digunakan pada produk obat-obatan, kosmetik dan makanan
juga pada beberapa proses industri. Kosmetik yaitu sebagai sediaan untuk
perawatan kulit, shampo, sediaan pewangi dan pasta gigi (Herdiana, 2007).
Berdasarkan jumlah fasenya gel dibedakan menjadi fase tunggal dan fase
ganda. Gel fase tunggal dapat dibuat dari bahan pembentuk gel seperti tragakan,
Na-Alginat, galatin, metilselulosa, NA CMC, Karbopol, polifinil, alkohol,
metilhidroksietil selulosa, hidroksietil selulosa dan polioksietilen-
polioksipropilen. Gel fase ganda dibuat dari interaksi garam aluminium yang
larut, seperti suatu klorida atau sulfat, dengan larutan ammonia, Na-karbonat, atau
bikarbonat. Berdasarkan anorganik biasanya berupa gel fase tunggal dan
mengandung polimer sintetik maupun alami sebagai bahan pembentuk gel, seperti
karbopol, tragakan dan Na CMC (Ningrum, 2012).
Makromolekul pada sediaan gel disebarkan keseluruhan cairan sampai tidak
terlihat ada batas diantaranya, disebut dengan gel satu fase. Jika masa gel terdiri
dari kelompok-kelompok partikel kecil yang berbeda, maka gel ini
dikelompokkan dalam sistem dua fase (Ansel, 1989). Polimer-polimer yang biasa
digunakan untuk membuat gel-gel farmasetik meliputi gom alam, tragakan,
pektin, karagen, agar, asam alginate, serta bahan-bahan sintesis ataupun
semisintesis yaitu seperti metil selulosa, hidroksietilselulosa,
karboksimetilselulosa, dan karbopol yang merupakan polimer vinil sintesis
dengan gugus karboksil yang terionisasi. Gel dibuat dengan proses peleburan, atau
diperlukan suatu prosedur khusus berkenaan dengan sifat mengembang dari gel.
2.3.1. Teknologi Pembuatan Gel
Sediaan gel dapat dibuat menggunakan 2 motede umum yaitu:
a. Metode pencampuran (incorporation).
Sediaan gel dengan bahan obat larut dalam air atau minyak, maka
dilarutkan terlebih dahulu kemudian larutan tersebut ditambahkan
kedalam bahan pembawa bagian per bagian sambil diaduk sampai
homogen. Bahan obat tidak larut, maka partikel bahan obat harus
dihaluskan, dan kemudian disuspensikan kedalam bahan pembawa.
Tujuan pengecilan ukuran partikel adalah memudahkan dalam
mendispersi dan untuk menjamin homogenitas dari produk yang
dihasilkan. Penambahan bahan yang berupa cairan harus memperhatikan
sifat-sifat sediannya, sehingga dapat dihasilkan sediaan semipadat
dengan kosentrasi sesuai yang diharapkan (Sulaiman dan Rina, 2008)
b. Metode peleburan (fusion).
Metode peleburan dilakukan dengan meleburkan atau memanaskan
semua atau beberapa komponen dari formula, kemudian basis sambil
didinginkan dan terus diaduk, apabila terdapat komponen yang labil
terhadap panas, maka komponen tersebut ditambahkan pada saat
campuran komponen yang dileburkan sudah mencapai suhu yang cukup
rendah atau suhu kamar. Metode peleburan digunakan bila basis berupa
semipadat, yang untuk pencampurannya harus dilebur terlebih dahulu,
tetapi dalam prakteknya semua bahan dan obat yang tahan pemanasan
dapat dilebur bersama, kemudian ditambahkan komponen lain yang tidak
dilebur dan diaduk sampai homogen dan mencapai suhu kamar. Bahan-
bahan yang mudah menguap dan labil harus ditambahkan dalam kondisi
campuran sudah dingin. Hal ini untuk mencegah penguapan dan
penguraian yang berlebih dari komponen tersebut.
Bahan yang berupa serbuk yang tidak larut, maka dapat
disuspensikan ke dalam campuran, tetapi terlebih dahulu dilakukan
penggerusan atau pengecilan partikel. Sediaan dalam satu formulasi bila
terdapat beberapa bahan padat yang harus dilebur, sementara titik
leburnya berbeda-beda, maka kalau tidak rusak (stabil terhadap panas)
dapat dilebur bersama pada suhu yang relatif tinggi (sesuai dengan bahan
yang memiliki titik lebur yang paling tinggi). Peleburan secara
bersamaan, dapat juga dilakukan dengan menggunakan suhu rendah,
kemudian dinaikkan perlahan sampai semua bahan meleleh, makan
bahan yang memiliki titik lebur tinggi, diikuti bahan yang memiliki titik
lebur terus diaduk dan didinginkan (Sulaiman dan Rina, 2008).
2.3.2. Syarat Gel
Gel yang baik harus memenuhi persyaratan seperti homogen yaitu bahan
obat dan dasar gel yang harus mudah larut dan terdispersi dalam air atau pelarut
yang cocok sehingga pembagian dosis sesuai dengan tujuan terapi yang
diharapkan, memiliki viskositas dan daya lekat tinggi, mudah merata
biladioleskan, mudah tercucikan dengan air dan memberikan rasa lembut saat
digunakan. (Sari, 2017).
2.3.3. Keuntungan Gel
Beberapa keuntungan sediaan gel adalah efek pendingin pada kulit saat
digunakan, penampilan sediaan yang jernih dan elegan, pada pemakaian di kulit
setelah kering meninggalkan film tembus pandang, mudah dicuci dengan air,
pelepasan obatnya baik, kemampuan penyebarannya pada kulit baik (Lachman,
1994).Tingginya kandungan air dalam sediaan gel dapat menyebabkan terjadinya
kontaminasi mikrobial, yang secara efektif dapat diindari dengan penambahan
bahan pengawet, stabilisasi dari segi mikrobial di samping penggunaan bahan-
bahan pengawet seperti dalam balsam, khususnya untuk basis ini sangat cocok
pemakaian metil dan propil paraben yang umumnya disatukan dalam bentuk
larutan pengawet. Upaya lain yang diperlukan adalah perlindungan terhadap
penguapan yaitu untuk menghindari masalah pengeringan sehingga penyimpanan
yang baik menggunakan tube. Pengisian ke dalam botol, meskipun telah tertutup
baik tetap tidak menjamin perlindungan yang memuaskan (Voigt, 1994).
2.3.4. Kelemahan Gel
Beberapa kelemahan dari sediaan gel yaitu harus menggunakan zat aktif
yang larut di dalam air sehingga diperlukan penggunaan peningkat kelarutan
seperti surfaktan agar gel tetap jernih pada berbagai perubahan temperatur, gel
tersebut sangat mudah dicuci atau hilang ketika berkeringat, dan kandungan
surfaktan yang tinggi dapat menyebabkan iritasi dan harga lebih mahal (Lachman,
1994).
2.3.5. Penyimpanan
Sediaan gel disimpan dalam wadah tertutup baik atau dalam tube dan
disimpan ditempat yang sejuk atau dibawah suhu 30oC untuk mencegah
kelembekan (Allen, 1998).
BAB III

ISI

3.1. PROSEDUR PENELITIAN


3.1.1. Pembuatan Ekstrak
Pembuatan ekstrak etanol daun kelor dilakukan dengan metode maserasi
dengan menggunakan pelarut etanol 70%. Metode ini dilakukan dengan cara
merendam serbuk simplisia daun kelor dengan etanol 70% selama 3 hari dengan
penggantian pelarut tiap 24 jam. Maserasi ini dilakukan terhadap simplisia daun
kelor yang berasal dari kebun percobaan Manoko, Bandung. Simplisia daun kelor
ini perlu terlebih dahulu dibuat menjadi serbuk sehingga dihancurkan dengan
menggunakan blender. Serbuk daun kelor sebanyak 100 gram ditambahkan
dengan pelarut etanol 70% sebanyak 1 L dan ditutup dalam wadah toples yang
terlindung dari sinar matahari. Campuran disaring hingga didapatkan maserat.
Ampas ini dimaserasi dengan prosedur yang sama. Maserasi dilakukan hingga
didapatkan maserat yang jernih. Hasil ekstrak ini cair diuapkan dengan
menggunakan rotary evaporator selama 2 jam sehingga diperoleh ekstrak kental.
Ekstrak yang telah dibuat ditimbang dan ditentukan %rendemennya.

berat ekstrak kental


% Rendemen= x 100 %
ber at serbuk simplisia

3.1.2. Penampisan Fitokimia


Penampisan fitokimia dari ekstrak etanol daun kelor ini meliputi
penampisan pada flavonoid, saponin dan tanin. Penentuan kadar flavonoid
dilakukan dengan cara mencampurkan ekstrak daun kelor dengan 2 tetes H 2SO4
2N dan dikocok dengan kuat. Sampel positif mengandung flavonoid jika terdapat
warna coklat kekuningan yang sangat mencolok. Penentuan kadar saponin
dilakukan dengan cara mencampurkan ekstrak kental 1-2 gram dengan air suling
hingga seluruh bahan terendam dan dididihkan selama 2 menit. Sampel ini
didinginkan dan dikocok dengan kuat hingga terbentuk busa di dalam tabung
reaksi.
Keberadaan saponin ditandai dengan terbentuk buih atau busa yang stabil
setinggi minimal 1,2 cm selama 10 menit atau stabil di dalam tabung reaksi.
Tingginya buih yang terbentuk menyatakan banyak atau tidaknya kandungan
saponin di dalam sampel. Penentuan kadar tanin dilakukan dengan cara
mencampurkan ekstrak kental 1-2 gram dengan 100 mL air dan dididihkan selama
15 menit. Campuran ini didinginkan dan disaring sehingga didapatkan filtrat.
Filtrat ini ditambahkan dengan pereaksi besi (III) klorida atau FeCl 3 1%.
Keberadaan senyawa tanin ditandai dengan terbentuknya warna hijau kehitaman
atau biru tua yang berasal dari ikatan kompleks antara senyawa tanin dan FeCl3.

3.1.3. Pembuataan Sediaan Gel


Ekstrak etanol daun kelor diformulasikan dalam bentuk sediaan gel dengan
menggunakan basis HPMC berkosentrasi 2,3 dan 4%. Formulasi lengkapnya
berdasarkan Tabel 1. dengan cara membuat basis gel dengan mengembangkan
HPMC menggunakan sedikit dan dicampurkan dengan ekstrak, propilen glikol
dan sisa aquadest sesuai dengan resep. Campuran ini diaduk hingga homogen dan
terbentuk sediaan gel. Gel ini disimpan dalam wadah tertutup rapat dan terlindung
dari cahaya.

Formula Gel
Sampel
F1 F2 F3 KN

Ekstrak (g) 9 9 9 -
HPMC (%) 2 3 4 2
Propilen Glikol (g) 6 6 6 6
Aquadest ad (g) 50 50 50 50

Tabel 1. Formulasi Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera L)
Keterangan:
F1 = Formula mengandung ekstrak etanol daun kelor dan basis gel HPMC 2%

F2 = Formula mengandung ekstrak etanol daun kelor dan basis gel HPMC 3%

F3 = Formula mengandung ekstrak etanol daun kelor dan basis gel HPMC 4%

KN = Formula tidak mengandung ekstrak etanol daun kelor tetapi mengandung basis gel
HPMC 2%
KP = gel ketokonazol 2% yang ada dipasaran

3.1.4. Evaluasi Sediaan Gel


Evaluasi sediaan gel terdiri dari uji organoleptik, homogenitas, pH, daya
sebar, daya lekat dan viskositas. Pengujian organoleptik dilakukan dengan
mengamati secara visual dari konsistensi, warna dan bau dari sediaan gel ekstrak
daun kelor dengan basis HPMC yang telah dibuat. Pengujian homogenitas
dilakukan dengan cara mengoleskan sampel sebanyak 0,1 gram pada gelas objek
lalu diamati. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan gel ekstrak daun
kelor harus terdispersi merata dalam sediaan. Uji ini dilakukan untuk melihat
apakah terdapat bagian yang tidak tercampurkan dengan baik sehingga sediaan
dinyatakan baik jika tidak ada butiran kasar dan warnanya homogen atau sama.

Pengujian pH dilakukan dengan cara mencelupkan stik pH universal


kedalam sediaan gel yang telah diencerkan dengan aquadest. Sediaan topikal yang
baik sebaiknya memiliki pH sesuai dengan pH kulit yaitu sebesar 5-6,5. Pengujian
daya sebar dilakukan dengan menggunakan 0,5 gram sediaan gel yang diletakkan
diatas kaca arloji berukuran 20x20 cm. Kaca ini ditutup dengan menggunakan
kaca arloji lainnya dengan ukuran yang sama dan diletakkan pemberat diatasnya
hingga bobot mencapai 125 gram. Diameter yang dihasilkan diukur setelah 1
menit dengan diameter sediaan gel yang baik sekitar 5-7 cm.

Pengujian daya lekat dilakukan dengan menggunakan 1 gram gel yang


diratakan di atas salah satu gelas objek yang telah ditentukan dan ditutup dengan
gelas objek lain hingga kedua plat menyatu. Pasangan gelas objek ini ditekan
dengan beban 1 kg selama 5 menit. Setelah itu, dipasang pada alat uji daya lekat
secara bersamaan dicatat waktu pelepasan dari kedua gelas objek. Pengujian
viskositas bertujuan untuk mengetahui kekentalan dari sediaan gel dengan
alat viskometer. Sampel sediaan gel 500 mL dimasukkan kedalam beaker glass
dan diletakkan dibawah gantungan spindel. Spindel dipasang pada gantungan
spindel, kemudian spindel diturunkan hingga batas tercelup ke dalam sediaan
gel ekstrak etanol daun kelor, kemudian rotor dinyalakan sambil menekan
tombol. Spindel dibiarkan berputar dan diamati jarum merah pada skala,
kemudian dibaca angka yang ditunjukkan oleh jarum tersebut.
3.1.5. Uji Aktivitas Antijamur dari sediaan gel pada Malasezia furfur
Pengujian aktivitas antijamur sediaan gel ekstrak etanol daun kelor ini
dilakukan dengan menggunakan metode difusi padat. Sediaan gel yang telah
dibuat dimasukkan ke dalam cawan petri yang sudah ditambahkan dengan media
SDA (Saboround Dextrose Agar) dan ditambahkan dengan suspense jamur 100
μl. Media agar yang digunakan ditunggu hingga memadat dan diinkubasi pada
suhu 37oC selama 48 jam. Pengamatan dilakukan terhadap zona hambat antijamur
dan dihitung zona hambatnya. Pembuatan suspensi jamur Malassezia furfur
dilakukan dengan mengambil 1 ose koloni jamur ini dari media SDA dan
disuspensikan dalam aquadest steril. Konsentrasi jamur dalam suspensi tersebut
diukur berdasarkan kekeruhan menggunakan spektrofotometer pada transmitten
80% yang setara dengan larutan standar Mc Farland 0,5.

3.2. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pembuatan gel ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera L) ditujukan
untuk pengobatan jamur Malasezia furfur yang banyak menginfeksi manusia.
Penyakit yang diakibatkan oleh fungi masih sangat sering dijumpai, karena
Indonesia yang mempunyai iklim hujan tropis menyebabkan tingkat kelembapan
udara tinggi dimana bisa diatas 80% dengan suhu rata-rata 28-33oC. Sediaan gel
yang dibuat ini memanfaatkan zat aktif dari tumbuhan alami seperti daun kelor
(Moringa oleifera L) yang memiliki potensi sebagai anti jamur pada kandungan
metabolit sekunder nya. Bentuk sediaan yang dibuat dalam bentuk gel, yang
memiliki keuntungan mempunyai potensi lebih baik sebagai sarana untuk
mengelola obat topikal dibandingkan dengan salep, karena gel tidak lengket, dan
gel tidak memerlukan energy yang besar untuk formulasi seperti konsentrasi
bahan pembentuk gel hanya sedikit, serta dapat membentuk massa gel yang baik,
viskositas gel tidak mengalami perubahan yang berarti pada suhu penyimpanan,
dan gel mempunyai nilai estetika yang bagus.

Daun kelor yang dipilih utuh, segar, dan hijau untuk menghindari rusak
atau berkurangnya kandungan kimianya. Kondisi tanaman saat pengambilan
sebaiknya tanaman sedang tidak berbunga maupun berbuah dan pengambilannya
dilakukan pada tanaman yang sama agar hasil kandungan seragam. Daun kelor
dipilih telah dilakukan determinasi untuk mengetahui kebenaran identitas simplisa
tanaman yang digunakan benar-benar tanaman yang diinginkan. Determinasi
tanaman daun kelor (Moringa oleifera L) dilakukan di Laboratorium Biologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Galuh, Ciamis dengan
membandingkan karakterikstik morfologi tanaman dengan kunci determinasi
diacu dari pustaka. Hasil determinasi menunjukkan bahwa sampel yang digunakan
benar daun kelor dengan nama latin M. oleifera L.

Pembuatan ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera L) melalui


beberapa tahap, yang pertama daun kelor yang dipilih dibuat menjadi serbuk
simplisia kering. Tahapan dalam pembuatan simplisa ini adalah pengambilan
tanaman daun kelor (Moringa oleifera L) yang telah panen untuk dijadikan
simplisia, daun kelor (Moringa oleifera L) yang telah dikumpulkan dibersihkan
dari kotoran-kotoran yang menempel seperti tanah, kerikil, rumpul, gulma dan
bagian tanaman yang tidak diinginkan. Perlakuan ini dilakukan secara manual
untuk didapatkan hasil yang maksimal. Daun kelor (Moringa oleifera L) yang
telah di sortasi, dicuci dengan air mengalir sampai bersih. Tujuannya agar
menghilangkan kotoran-kotoran di permukaan daun dan dilakukan dengan cepat
tidak boleh lama-lama karena ditakutkan akan menghilangkan senyawa –senyawa
pada tanaman yang larut air. Daun kelor (Moringa oleifera L) kemudian ditiriskan
untuk menghilangkan air sisa-sisa pencucian. Daun yang telah bersih dan bebas
air pencucian dikeringkan di dalam oven pada suhu ± 400C. Daun dibersihkan
kembali dari kotoran yang mungkin tidak hilang hingga dipastikan bebas dari
bahan asing. Simplisia kering tersebut selanjutnya digrinder hingga menjadi
simplisia serbuk lalu diayak dengan ayakan Mesh 30, lalu disimpan dalam wadah
yang kering dan bersih.
Tahapan yang kedua yaitu tahapan pembuatan ekstrak dengan metode
maserasi menggunakan etanol 70% sebagai pelarut. Etanol juga dapat berfungsi
sebagai disinfektan, dimana membunuh kontaminan yang ada pada simplisia
seperti jamur atau bakteri. Pembuatan ekstrak ini dilakukan remaserasi karena
kemungkinan masih terdapat senyawa yang diinginkan yang tertinggal pada
ampas karena kesetimbangan antara pelarut dengan yang yang terlarut.
Remaserasi dilakukan hingga maserat menjadi jernih dimana tidak tersisa lagi
senyawa-senyawa kimia didalam serbuk simplisia tersebut. Perlakuan pemekatan
untuk menghilangkan kandungan etanol dalam ektrak. Suhu pemekatan yang
dilakukan dengan rotary evaporator pada rentang 70-800C karena titik didih
etanol sebesar 78,370C. Pembuatan ekstrak etanol daun kelor diperoleh nilai
rendemen ekstrak sebesar 14,4%.
Perlakuan selanjutnya setelah didapatkan ekstrak daun kelor (Moringa
oleifera L) adalah penapisan fitokimia untuk mengetahui golongan senyawa yang
terdapat dalam ekstrak etanol daun kelor. Hasil penapisan fitokimia ektrak dapat
dilihat pada Tabel 2.

Kandungan Fitokimia Hasil

Flavonoid +
Saponin +
Tanin +
Tabel 2. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera L)
Keterangan:
+ = ekstrak mengandung senyawa
- = ekstrak tidak mengandung senyawa

Hasil penapisan fitokimia ekstrak etanol daun kelor menunjukkan hasil


positif pada uji flavonoid yang ditandai dengan terbentuk warna coklat
kekuningan, uji saponin dengan terbentuknya busa setinggi 1,2 cm selama 10
menit dan tanin dengan terbentuknya warna hijau kehitaman. Kandungan
flavonoid, saponin dan tanin pada ekstrak daun kelor ini yang mempunyai potensi
sebagai anti bakteri dan anti jamur.
Formulasi gel yang mengandung ekstrak etanol daun kelor dilakukan
menggunakan basis gel HPMC, dimana dibuat 3 formulasi berbeda pada
konsentrasi dari basis gel HPMC. Basis gel HPMC merupakan gelling agent yang
sering digunakan dalam produksi kosmetik dan obat, karena dapat menghasilkan
gel yang bening, mudah larut dalam air, dan mempunyai ketoksikan yang rendah.
Selain itu, HPMC bersifat netral, mempunyai pH yang stabil antara 3-11, tahan
terhadap asam basa, serangan mikroba, dan panas. Basis gel HPMC memiliki
kemampuan daya sebar yang lebih baik dari karbopol, metilselulosa, dan sodium
alginat, sehingga mudah diaplikasikan ke kulit. Gel yang baik mempunyai waktu
penyebaran yang singkat.
Evaluasi gel ekstrak daun kelor (Moringa oleifera L) meliputi evaluasi
organoleptik, homogenitas, pH, daya sebar, daya lekat, viskositas. Evaluasi
sediaan gel daun kelor (Moringa oleifera L) dilakukan terhadap ketiga formulasi
dengan perbedaan konsentrasi dari basis HPMC serta digunakan kontrol negatif
sediaan gel tanpa menggunakan ekstrak etanol daun kelor dan digunakan kontrol
positif nya adalah gel ketokonazol 2% yang ada di pasaran sebagai perbandingan
dalam penelitian ini.

Karakteristik

Warna Bau Konsistensi

KN Bening Tidak Berbau Kental


F1 Kecoklatan Khas daun kelor Agak kental
F2 Kecoklatan Khas daun kelor Kental
F3 Kecoklatan Khas daun kelor Sangat kental

Tabel 3. Hasil pengamatan organoleptik gel ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera L)

Uji organoleptis dilakukan dengan pengamatan secara visual terhadap bau,


warna, dan konsistensi dari sediaan. Uji ini bertujuan untuk mengukur sifat
organoleptis dari produk saat penyimpanan sama seperti produk pada awal
pembuatan. Hasil pengamatan organoleptik gel dapat dilihat pada Tabel 3, dimana
perbedaan konsentrasi dari basis HPMC tidak berpengaruh terhadap warna dan
bau dari sediaan gel tetapi berpengaruh pada konsistensi sediaan gel, semakin
tinggi konsentrasi HPMC konsistensi gelnya semakin kental.

Daya sebar Daya lekat Viskositas


Gel Homogenitas pH
(cm) (detik) gel (mPa.s)

KN Homogen 5 5,8 1.17 3406


Tidak
KP Homogen 6 5,05 1,05
dilakukan
F1 Homogen 5 5,6 1,35 4380
F2 Homogen 5 4,6 2,12 6453
F3 Homogen 5 3,7 3,07 9800

Tabel 4. Hasil evaluasi gel ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera L)

Evaluasi homogenitas gel dilakukan dengan cara mengoleskan pada


sekeping kaca, kemudian diamati adanya butiran kasar dan persamaan warnanya.
Uji homogenitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui aspek homogenitas
sediaan gel yang telah dibuat. Sediaan yang homogen akan menghasilkan kualitas
yang baik karena menunjukkan bahan obat terdispersi dalam bahan dasar secara
merata, sehingga dalam setiap bagian sediaan mengandung obat yang jumlahnya
sama. Hasil pengamatan hasil evaluasi homogenitas dapat dilihat pada Tabel 4.
Hasil dari uji yang dilakukan pada semua formula baik formula uji maupun
kontrol negatif menunjukkan bahwa terdapat persamaan warna dan tidak terdapat
partikel atau butiran kasar pada sediaan gel, sehingga sediaan gel dapat dikatakan
homogen.
Pengukuran pH gel ekstrak daun kelor (Moringa oleifera L) dilakukan
dengan cara mencelupkan stik pH universal kedalam sediaan gel yang telah
diencerkan dengan aquadest. Tujuan dilakukan uji pH sediaan gel ini untuk
mengetahui apakah gel yang telah dibuat telah memenuhi syarat pH untuk sediaan
topikal yaitu antara 5 - 6,5 (Astuti, 2012). Sediaan topikal dengan nilai pH yang
terlalu asam dapat mengiritasi kulit sedangkan bila nilai pH terlalu basa dapat
membuat kulit kering dan bersisik. Hasil pengamatan hasil pengukuran pH dapat
dilihat pada Tabel 4. Variasi kosentrasi basis gel HPMC tidak menyebabkan
perubahan pH gel pada semua formula uji yaitu pH nya 5, namun pada formula
kontrol negatif pH nya berbeda yaitu pH nya 6, perbedaan ini kemungkinaan
karena adanya penambahan ekstrak etanol daun kelor.
Pengujian daya sebar gel ekstrak etanol daun kelor dengan meletakan
sampel sediaan di atas objek glass dan diberi beban yang sama. Tujuan evaluasi
daya sebar yaitu untuk mengetahui kemampuan penyebaran gel pada kulit telah
memenuhi persyaratan untuk daya sebar gel bila daya sebar sebesar 5 - 7 cm
(Novaritasari, 2015). Daya sebar baik akan mempermudah saat diaplikasikan pada
kulit. Faktor yang mempengaruhi diameter daya sebar suatu sediaan adalah
jumlah ekstrak yang digunakan setiap masing-masing formula. Hasil pengamatan
hasil pengujian daya sebar dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil pengujiannya yaitu
gel ekstrak etanol daun kelor konsentrasi basis HPMC 2 % mempunyai daya sebar
yang sesuai dengan persyaratan daya sebar untuk sediaan topikal yaitu sekitar 5-7
cm, sedangkan gel konsentrasi 3% dan 4% hasil daya sebarnya tidak memenuhi
persyaratan karena kurang dari 5-7 cm daya sebarnya. Penurunan daya sebar dari
tiap formula disebabkan karena makin tinggi konsentrasi basis HPMC yang
digunakan maka makin rendah daya sebar sediaan gel. Daya sebar berbanding
terbalik dengan viskositas, makin besar viskositas suatu sediaan, makin kental
konsistensinya, maka makin kecil daya sebar yang dihasilkan (Hidayah, 2013).
Pengujian daya lekat gel dilakukan terhadap semua formula uji gel ekstrak
etanol daun kelor, kontrol negatif serta kontrol positif. Hasil pengujian yang
sesuai persyaratan, uji memiliki daya lekatnya lebih dari 1 detik (Miranti, 2009).
Hasil pengujian daya lekat gel dapat dilihat pada Tabel 4. Dari pengujian semua
formula uji gel ekstrak etanol daun kelor, kontrol negatif serta kontrol positif
hasilnya memenuhi persyaratan karena daya lekatnya lebih dari 1 detik. Dan dari
hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa semakin besar konsentrasi
basis HPMC yang digunakan, semakin lama pula daya melekat gelnya. Karena
Basis HPMC dapat mengembang dan membentuk koloid bila dilarutkan dalam air
dan air panas .Makin tinggi konsentrasi HPMC, makin banyak koloid yang
terbentuk, sehingga makin tinggi pula daya lekatnya (Rogers, 2009).
Pengujian viskositas gel ekstrak etanol daun kelor bertujuan untuk
mengetahui sediaan yang telah dibuat mudah dituang atau tidak sehingga
memudahkan dalam pemakaiannya. Hasil uji viskositas gel ekstrak etanol daun
kelor pada Tabel 4, bahwa semakin tinggi konsentrasi basis HPMC pada tiap
formula viskositasnya semakin meningkat hal ini disebabkan karena gel semakin
kental sehingga viskositasnya semakin tinggi. Viskositas sediaan berbanding
terbalik dengan difusinya sehingga makin tinggi konsentrasi basis, makin besar
viskositas sediaan maka makin kecil kecepatan pelepasan zat aktifnya (Fulviana,
2013).
Berdasarkan evaluasi gel, diperoleh bahwa peningkatan konsentrasi basis
HPMC 2, 3, dan 4% dalam sediaan gel ekstrak etanol daun kelor dapat
meningkatkan viskositas gel, daya lekat gel, menyebabkan penurunan daya sebar
gel, dan mempengaruhi peningkatan konsistensi sediaan gel pada uji organoleptik
tanpa mempengaruhi uji pH gel dan homogenitas gel. Formula yang memiliki
sifat fisik gel yang yang baik jika dilihat dari hasil uji sifat fisik gel yang meliputi
uji organoleptik,homogenitas, pH, daya sebar daya lekat dan viskositas yaitu
formula gel ekstrak etanol daun kelor dengan konsentrasi basis HPMC 2 % karena
hampir dari semua uji memenuhi persyaratan literatur.
Pengujian yang terutama dalam melihat efektivitas dari kandungan daun
kelor pada sediaan gel ini dilakukan uji aktivitas anti jamur gel ekstrak etanol
daun kelor (Moringa oleifera L). Pengujian aktivitas anti jamur pada sediaan gel
ini dilakukan menggunakan metode difusi padat. Uji ini dimaksudkan untuk
mengetahui besarnya pelepasan zat aktif dengan mengukur diameter zona hambat
pertumbuhan jamur. Hasil uji aktivitas anti jamur gel ekstrak etanol daun kelor
dapat dilihat pada Tabel 5.

Zona hambat (mm) Daya aktivitas

KN - -
KP 28,3 Sangat kuat
F1 24,3 Sangat kuat
F2 18,7 Kuat
F3 15,3 Kuat

Tabel 5. Hasil Uji Aktivitas Anti jamur Gel Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera L)

Berdasarkan Tabel 5, diperoleh hasil penelitian bahwa gel ekstrak etanol


daun kelor dengan konsentrasi basis HPMC memiliki aktivitas sebagai anti jamur
terhadap M. furfur yang ditandai dengan terbentuknya zona hambat. Hasil uji
aktivitas anti jamur diperoleh bahwa gel HPMC konsentrasi 2% dapat
menghambat jamur paling besar,diikuti gel HPMC 3 dan 4%. Perbedaan daya
hambat tersebut dipengaruhi oleh adanya basis HPMC yang mempengaruhi
pelepasan ekstrak untuk menghambat jamur. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
besar konsentrasi basis HPMC, maka semakin kecil daya hambat yang dihasilkan.
Hal ini dapat dikorelasikan dengan semakin besar konsentrasi HPMC, maka
semakin besar viskositasnya, semakin besar tahanan yang ada (Sinko, 2011),
semakin kecil pula daya sebar, sehingga semakin sulit zat aktif untuk berdifusi
atau melepaskan zak aktifnya (Suardi et al., 2008), yang menyebabkan semakin
kecil daya hambat terhadap jamur M. furfur yang dihasilkan. Gel kontrol positif
mempunyai daya hambat lebih besar daripada formula uji,sedangkan gel kontrol
negatif tidak mempunyai aktivitas anti jamur karena tidak mengandung zat aktif
(ekstrak etanolik daun kelor).
Kemudian data uji aktivitas anti jamur yang didapat dilakukan uji
statistik. Karena data hasil uji akttivitas anti jamur yang didapat tidak homogen
dan tidak terdistribusi normal maka dilakukan uji non parametric yaitu uji
Kruskall Wallis dan dilanjutkan dengan uji Mann Whitney. Hasil uji statistik
Kruskall Wallis didapatkan hasil yaitu nilai signifikasi p=0,013 (p<0,05), maka
dapat disimpukan bahwa adanya perbedaan bermakna antara setiap kontrol
perlakuan terhadap zona hambat yang ditimbulkan terhadap jamur M. furfur. Uji
Mann Whitney ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang
signifikan atau bermakna antara kelompok kontrol positif dengan kelompok
formula uij. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan perbandingan antara kelompok
perlakuan dan kontrol positif, untuk gel konsentrasi HPMC 2% didapat yaitu
hasilnya tidak ada perbedaan yang bermakna karna kontrol positif dan gel
konsentrasi HPMC 2% memiliki diameter zona hambat terhadap jamur M. furfur
yang hampir sama dalam menghambat pertumbuhan jamur M. furfur hal ini karna
adanya kandungan flavonoid,saponin dan tanin. Kelompok kontrol positif dan gel
konsentrasi HPMC 3 dan 4% mempunyai perbedaan bermakna karena diameter
zona hambat terhadap jamur M. furfur lebih kecil dari kontrol positif.
Berdasarkan data uji aktivitas anti jamur diperoleh hasil bahwa semakin
tinggi konsentrasi basis HPMC yang digunakan dalam sediaan gel ekstrak etanol
daun kelor maka semakin sulit untuk melepskan zat aktif sehingga zona hambat
yang dihasilkan semakin kecil, atau makin kecil aktivitas anti jamur pada M.
furfur.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Kelor (Moringa oleifera) tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi
sampai di ketinggian ± 1000 dpl, dipanen setelah tanaman tumbuh 1,5
hingga 2 meter yang biasanya memakan waktu 3 sampai 6 bulan,
mengandung banyak senyawa terpenoid, tannin, saponin, dan polifenol.
2. Gel didefinisikan sebagai suatu sistem setengah padat yang terdiri dari
suatu disperse yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil atau
molekul organik yang besar dan saling diresapi cairan
3. Pembuatan ekstrak etanol daun kelor dilakukan dengan metode maserasi
dengan menggunakan pelarut etanol 70%. Penampisan fitokimia dari
ekstrak etanol daun kelor ini meliputi penampisan pada flavonoid, saponin
dan tanin.
4. Komposisi dari formulasi sediaan gel ekstrak daun Kelor terdiri dari
ekstrak daun kelor, HPMC, Propilen glikol dan aquadest, perbedaan
konsentrasi basis HPMC sebesar 2%, 3% dan 4%.
5. Cara membuat sediaan yaitu dengan membuat basis gel dengan
mengembangkan HPMC menggunakan sedikit dan dicampurkan dengan
ekstrak, propilen glikol dan sisa aquadest sesuai dengan resep. Campuran
ini diaduk hingga homogen dan terbentuk sediaan gel.
6. Pengujian aktivitas antijamur sediaan gel ekstrak etanol daun kelor ini
dilakukan dengan menggunakan metode difusi padat.
7. Gel ekstrak daun Kelor memiliki aktivitas antijamur M.furfur dan gel yang
mengandung HPMC 2% memiliki sifat fisik gel dan aktivitas antijamur
lebih baik jika dibanding dengan gel konsentrasi HPMC 3% dan 4%.

4.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh
perbedaan konsentrasi propilenglikol terhadap stabilitas fisik sediaan Gel
Ekstrak daun Kelor ini.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, D. D. (2012). Formulasi Sediaan Gel Ekstrak Etanolik Buah Mahkota


Dewa (Phaleria Macrocarpa (Scheff Boerl.)Dengan Basis Hpmc.
BPOM. 2010. Acuan Sediaan Herbal Volume 5 Edisi 1. Jakarta : Badan Pengawas
Obat Republik Indonesia. Hal : 3-7
Budi Raharjo, A. R. (2012). Antifungal And Bioautography Activity Ethanol
Extract of Moringa (Moringa oleifera Lamk.) Leaves Toward
Malassezia furfur. semarang: Stikes. Ngudi Waluyo semarang.
fulviana, M. (2013). Formulasi Sediaan Gel Antibakteri Ekstrak etanol Herba
Patikan Kebo (Euphorbia Hirta L.) Dan uji Aktivitas Secara In Vitro
Terhadap Pseudomonas Aeruginosa. surakarta: Fakultas Farmasi
universitas Muhammadiyah Surakarta.
Handayani, S. A. (2012). Pelepasan Na- Diklofenak Sistem Niosom Span 20-
Kolesterol Dalam Basis Gel Hpmc. PharmaScientia, 1 (2), 35.
Hidayah, U. N. (2013). Formulasi Sediaan Gel Ekstrak Herba Pegagan(Centella
Asiatica L. Urban) Dengan Hpmc Sh 60sebagai Gelling Agent Dan
Uji Penyembuhan Luka Bakar Pada Kulit Punggung Kelinci Jantan.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Kasolo J.M., Bimenya G.S., Ojok L., J Wogwal O. (2011). Phythochemicals and
Acute Toxicity ofMoringa Oleifera Roots in Mice. Journal of
pharmacognosy and Phytotherapy
Madan, J., & Singh, R., 2010, Formulation and Evaluation of Aloevera Topical
Gels, Int.J.Ph.Sci., 2 (2), 551-555.
Miranti, L. 2009. Pengaruh Konsentrasi Minyak Atsiri Kencur (Kaempferia
galangan)dengan Basis Salep larut Air terhadap Sifat Fisik Salep dan
Daya Hambat Bakteri Staphylococus aureus secara In Vitro (skripsi).
Surakarta:Fakultas Farmasi Universitas Muhamadiyah.

Novaritasari, Inkanesia. (2015). Uji Efektifitas Formulasi Gel Perasan Umbi


Kentang (Solanum Tuberosum L.) Terhadap Lama Kesembuhan Luka
Bakar Pada Kelinci (Oryctolagus Cuniculus) Putih Jantan. Farmasi
Stikes Ngudi Waluyo Ungaran Radiono, S., Pitiriasis Versicolor.
Dalam: Budimulja U., Kuswadji, Bramono K., dkk, editor
Dermatomikosis Superfisialis, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2011: 17-
20.

Rogers, T. L., 2009, Hypromellose, in : Rowe, R. C., Sheckey, P. J., & Quinn, M.
E. (eds.), Handbook of Pharmaceutical Excipients, Sixth Edition, 326-
328, London,Pharmaceutical Press and American Pharmacists
Association.

Suardi, M., Armenia, & Maryawati, A., 2008, Formulasi dan Uji Klinik Gel
Antijerawat Benzoil Peroksida-HPMC, Laporan Penelitian: Fakultas
Farmasi Universitas Andalas, Sumatra Barat

Yusuf, A.L., Nurawaliah E, Harun N. 2017, Uji efektivitas gel ekstrak etanol daun
kelor (Moringa oleifera L.) sebagai antijamur Malassezia furfur,
Prodi D3 Farmasi. STIKes Muhammadiyah Ciamis, Jurnal Ilmiah
Farmasi, Des 2017, 5(2), 62-67.

Anda mungkin juga menyukai