Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Laporan PPOK - Kelompok B3 PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI

SISTEM PERNAFASAN DAN PENCERNAAN


(DEA62040)

SEMESTER GENAP

DISUSUN OLEH KELOMPOK B3


ANGGOTA:
Putri Novita Rosalia (185070500111038)
Qonitah (175070500111014)
Reni Lutfi Sa’adah (185070500111020)
Riska Auliah Anjarwati (185070501111022)
Ruben Ero Arief Wijaya (185070500111004)
Salsabila Khalidah Zalfa (185070500111034)
Septa Rizqinanti Maufirah (185070500111040)
Seto Putra Ajipratama (185070501111014)
Siti Nur Cahyaningsih (185070501111020)
Siti Nurfaizah Fitriani (185070501111008)
Sylvia Indah Setyowati (185070501111032)
Sylvia Priscilia Kusuma (185070507111012)
Vega Christian Arjasa (185070507111004)
Yolanda Tri Handayani (185070500111030)
Zakiyyatul Fitriyah (185070500111012)

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TA 2019/2020
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

1. DEFINISI
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai
oleh keterbatasan jalan napas progresif yang disebabkan oleh reaksi peradangan
abnormal. Tercakup di dalamnya penyakit seperti bronkitis kronis dan emfisema
yang sering terjadi dikarenakan merokok. Gejala yang dominan pada PPOK
adalah sesak napas yang seringkali dimulai saat aktivitas. Seringkali terdapat
batuk, yang mungkin produktif menghasilkan sputum dan mengi. Gejala umum
bersifat progresif dengan sesak napas yang semakin berat dan berkurangnya
toleransi olahraga. Terdapat eksaserbasi, seringkali berhubungan dengan infeksi,
di mana terdapat sesak napas yang semakin berat, batuk, mengi, dan produksi
sputum. Biasanya terjadi pada pasien berusia lebih dari 45 tahun. Bronkitis kronis
batuk disertau produksi sputum hampir setiap hari selama 3 bulan atau 2 tahun
berturut-turut. PPOK memiliki pravalensi lebih dari 2% (Gleadle, 2007).

2. EPIDEMIOLOGI
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan
global yang secara umum berkaitan dengan prevalensi merokok dimana
menunjukkan bahwa prevalensi PPOK yang tinggi terletak pada perokok aktif dan
mantan perokok yang berusia diatas 50 tahun. Jarang ditemukan sebelum usia 50
tahun dan menunjukkan pria menjajaki posisi yang lebih tinggi terkena resiko
PPOK dibandingkan wanita. Menyebabkan 40.000 kematian per tahun di Inggris.
Angka tersebut menjadi lebih tinggi di negara maju, perkotaan, kelompok
masyarakat menengah ke bawah, dan pada manula (Grace dan Borley, 2006).
Namun, data terakhir dari prevalensi menunjukkan terjadinya peningkatan
yang progressive pada wanita dewasa karena meningkatnya perokok wanita di
dunia barat. The British Lung Foundation membuat suatu survey 1200 wanita dan
menemukan bahwa hanya 1% dari mereka yang menganggap PPOK sebagai suatu
masalah kesehatan utama (Sharma, 2010).
Survey menunjukkan bahwa perempuan dua kali lebih mungkin
didiagnosis dengan PPOK dibandingkan dengan laki-laki. Di Amerika PPOK
merupakan penyebab utama kematian ketiga. Secara keseluruhan, angka kematian
enam kali lebih tinggi pada pria. Namun, tingkat kematian wanita dua kali lipat
meningkat selama 25 tahun terakhir dan jumlahnya melebihi kematian pria di
setiap tahunnya sejak tahun 2000. Tingkat kematian juga lebih tinggi pada orang
berkulit putih dibandingkan orang berkulit hitam (DiPiro et al., 2016).
Morbiditas yang terkait dengan penyakit ini juga memiliki dampak
signifikan pada pasien, keluarga, dan sistem perawatan kesehatan. Sebuah survey
oleh American Lung Association mengungkapkan bahwa di antara pasien PPOK,
51% melaporkan bahwa kondisi mereka membatasi kemampuannya untuk
bekerja, 70% mengalami keterbatsan dalam aktifitas fisik normal, 56% terbatas
dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, dan 50% melaporkan bahwa mereka
mengalami keadaan kurang nyaman pada saat tidur (DiPiro et al., 2016).
Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia meningkat seiring dengan
berkembangnya industri otomotif. Asap yang dihasilkan dari kendaraan bermotor
merupakan gas berbahaya dimana gas tersebut yang menyebabkan pencemaran
udara dengan tingkat 70% - 80%, sedangkan 20% - 30% nya merupakan
pencemaran udara yang bersumber dari asap industri (Depkes RI, 2004).
Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (RisKesDa) 2013 menunjukkan bahwa
prevalensi PPOK di Indonesia sebanyak 3,7%. Pada tahun 2015 saja, penduduk
berusia 15 tahun keatas yang mengkonsumsi rokok sebesar 22,57% di perkotaan
dan 25, 05% di pedesaan. Rata-rata jumlah batang rokok yang dihabiskan selama
seminggu mencapai 76 batang di perkotaan dan 80 batang di pedesaan. Hal ini
menunjukkan tingginya angka perokok di Indonesia yang merupakan faktor risiko
utama PPOK (Depkes RI, 2013).

3. ETIOLOGI
PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi
genetik dengan lingkungan. Adapun faktor penyebabnya yaitu merokok, polusi
udara, dan pemajanan di tempat kerja (terhadap batu bara, kapas, padi-padian)
merupakan faktor-faktor resiko penting yang menunjang terjadinya penyakit ini.
Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20- 30 tahunan. Penyakit ini juga
mengancam jiwa seseorang jika tidak segera ditangani (Smeltzer dan Bare, 2006).
Faktor risiko PPOK di seluruh dunia yang paling banyak ditemui adalah
merokok tembakau. Selain jenis tembakau, (misalnya pipa, cerutu, dan ganja) juga
merupakan faktor risiko PPOK. PPOK tidak hanya berisiko bagi perokok aktif
saja namun juga bisa berisiko bagi perokok pasif yang terkenan pajanan asap
rokok (GOLD, 2017).
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) menurut Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006) adalah kebiasaan merokok,
polusi udara, paparan debu,asap dan gas-gas kimiawi. Selain itu dapat disebabkan
oleh faktor usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi
paru-paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan. Infeksi sistem
pernafasan akut juga dapat menyebabkan PPOK seperti pneumonia, bronkitis, dan
asma. Kemudian, kurangnya alfa anti tripsin yaitu merupakan kekurangan suatu
enzim yang normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan. Orang
yang kekurangan enzim ini dapat terkena emfisema pada usia yang relatif muda,
walaupun orang tersebut tidak memiliki kebiasaan merokok.

4. PATOFISIOLOGI
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK
yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian
proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya
suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya
peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi
folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas
mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil
berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang
meningkat sesuai berat sakit (Anthonisen et al., 1994).
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam
keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi
kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan
kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru (Shapiro,
1999).
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan
menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan
sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya
faktor kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrienB4, tumuor
necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive
oxygen species (ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil
melepaskan protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga
timbul kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel
akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan
seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara
oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofag dan
neutrofil 9 akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion
super oksida dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida
(H2O2) yang toksik akan diubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion
feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah menjadi anion
hipohalida (HOCl) (Anthonisen et al, 1994).
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi
batuk kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan
fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan
struktur berupa destruksi alveol yang menuju ke arah emfisema karena produksi
radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit, polusi dan asap rokok (Reilly et al.,
2011).

5. TERAPI NON-FARMAKOLOGI
Pada pasien penderita PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) dapat
dilakukan terapi non-farmakologi. Pada kasus PPOK dengan dyspneu yang
berulang dapat dilakukan terapi non-farmakologi yaitu berupa strategi untuk
meminimalkan kecemasan, meningkatkan status nutrisi, memposisikan pasien
untuk meningkatkan ventilasi dengan posisi duduk atau condong ke depan,
dilakukan teknik konservasi energi dengan meminimalkan aktivitas harian,
tekhnik relaksasi dengan cara guided imagery dan progressive muscle relaxation,
breathing training dengan cara pursed lips breathing dan diaphragmatic
breathing, teknik konseling seperti terapi mindfullnes, pemberian udara dingin
yang mengalir dengan mempergunakan kipas angin, non-invasif ventilasi,
akupunktur atau akupresur, masase yang bermanfaat bagi relaksasi dan postur
pasien (Maria,2017).
Terapi non – farmakologi pada pasien PPOK dapat dianjurkan untuk
berhenti merokok. Merokok sangat mempengaruhi terhadap perkembangan
PPOK, karena merokok dapat mengganggu fungsi pulmoner. Perilaku merokok
selama memasuki masa usia remaja dapat menghambat fungsi ekspansi paru yang
normal dan FEV1. Perilaku merokok dengan bertambahnya usia mampu
mempengaruhi FEV1 pada usia dewasa (Jimenez-Ruiz et al, 2015). Dengan
anjuran pemberhentian merokok dapat mempengaruhi perlambatan perkembangan
PPOK.
Adapun salah satu terapi non – farmakologi yaitu Rehabilitasi Pulmoner.
Rehabilitasi pulmoner yang umumnya dilaksanakan pada kasus PPOK adalah
breathing control exercise dan respiratory muscle training. Rehabilitasi pulmoner
berbeda pada pendekatan terapeutik. Rehabilitasi pulmoner pada pasien dengan
PPOK mampu mengurangi penurunan kemampuan serta memperbaiki ketahanan
otot akibat disfungsi otot yang disebabkan oleh hiperinflasi paru pasien PPOK
(Borge, 2014).
Pada pasien PPOK biasanya terjadi malnutrisi yaitu penurunan berat badan
yang dapat menyebabkan perburukan fungsi paru, penurunan kapasitas latihan,
serta peningkatan resiko eksaserbasi (Hsieh et al., 2016). Maka terapi non –
farmakologi yang dilakukan adalah memberikan asupan nutrisi yang adekuat bagi
pasien PPOK diharapkan mampu meningkatkan berat badan dan kekuatan otot
serta kualitas hidup bagi pasien PPOK yang mengalami malnutrisi (Rawal &
Yadav, 2015).

6. TERAPI FARMAKOLOGI
Terapi farmakologis dilakukan untuk mengurangi gejala, keparahan dan
frekuensi eksaserbasi, meningkatkan status kesehatan (GOLD, 2017). Pendekatan
bertahap direkomendasikan untuk penggunaan farmakoterapi berdasarkan
keparahan penyakit, yang ditentukan oleh hasil spirometri, sifat gejala, dan tingkat
eksaserbasi. Karena sifat progresif COPD, farmakoterapi cenderung menjadi
kronis dan kumulatif dan pendekatan bertahap pada pasien yang stabil tidak
berhasil, bukti terbaru menunjukkan bahwa praktik ini memerlukan evaluasi lebih
lanjut (DiPiro et al., 2015)
1. Bronkodilator
Bronkodilator sering digunakan untuk PPOK, dapat meningkatkan FEV1.
Digunakan secara teratur untuk mencegah atau mengurangi gejala.
Namun, penggunaan short-acting bronkodilator secara teratur tidak
direkomendasikan (GOLD, 2017).
a) Beta2-agonis
Mekanisme kerja beta2-agonis adalah merelaksasi otot polos saluran
napas dengan cara menstimulai beta2-reseptor adrenergik, yang
meningkatkan CAMP dan menyebabkan bronkodilatasi. Beta2-
reseptor dibagi menjadi dua jenis yaitu short-acting (SABA) dan long-
acting (LABA) beta2-agonis. Contoh dari short-acting beta2-agonis
adalah salbutamol/albuterol. Sedangkan formoterol dan salmeterol
adalah LABA yang dapat meningkatkan FEV1 dan volume paru-paru,
dyspnea, status kesehatan, tetapi tidak memiliki efek pada kematian
atau laju penurunan fungsi paru-paru (GOLD, 2017).
b) Antimuskarinik
Untuk PPOK bekerja dengan cara memblok efek bronkokonstriksi
dari asetilkolin pada reseptor M3 muskarinik pada otot polos saluran
napas. Antimuskarinik dibedakan menjadi dua yaitu short-acting dan
long-acting. Contoh short-acting anti muskarinik adalah ipratropium
dan oksitropium. Sedangkan long-acting antimusikarinik seperti
tiotropium, aclidinium dan glikopronronium bromida. Kombinasi
bronkodilator dengan mekanisme kerja dan durasi aksi yang berbeda
dapat meningkatkan tingkat bronkodilatasi dengan risiko efek
samping yang lebih rendah dibandingkan peningkatan dosis satu jenis
bronkodilator. Short-acting beta2-agonis dikombinasikan dengan
short-acting anti muskarinik menimbulkan efek yang lebih baik dalam
meningkatkan FEV1 dan mengurangi gejala (GOLD, 2017).
Tn. D diberikan combivent yang mengandung albuterol dan
ipratropium yang dimaksudkan untuk mengurangi sesak yang dialami.
c) Metilxantin
Memberikan efek bronkodilatasi, dengan cara menginhibisi
fosfodiesterase yang dapat meningkatkan kadar CAMP, inhibisi
influks ion kalsium ke dalam otot polos, antagonis prostaglandin,
stimulasi katekolamin endogen, antagonis reseptor adenosin, dan
inhibisi pelepasan mediator dari sel mast dan leukosit. Contoh dari
metilxantin adalah teofilin dan aminofilin (Sukandar dkk, 2008). Tn. D
diberikan aminofilin sebagai bronkodilator. Aminofilin merupakan
garam etilenadiamin dari teofilin dengan kelarutan yang lebih tinggi
pada pH netral. Efek aminofilin akan meningkat bila digunakan
dengan bronkodilator nebulisasi dosis tinggi dan kortikosteroid oral
pada pasien dengan nonasidosis PPOK ekstraserbasi (Cazzola dkk,
2012).
Dengan ketersediaan LABA dan antikolinergik inhalasi, peran
terapi methylxanthine sangat terbatas. Terapi bronkodilator inhalasi
lebih disukai untuk COPD. Karena risiko untuk interaksi obat dan
variabilitas intrapatient dan interpatient yang signifikan dalam
persyaratan dosis, terapi theophilin umumnya dipertimbangkan untuk
pasien yang tidak toleran atau tidak dapat menggunakan bronkodilator
inhalasi (DiPiro et al., 2015)
2. Kortikosteroid
Mekanisme antiinflamasi memberikan efek menguntungkan pada pasien
PPOK. Diantaranya, mengurangi permeabilitas kapiler untuk mengurangi
mukus, menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit dan
menghambat prostaglandin. Penggunaan kortikosteroid pada pasien
PPOK meliputi penggunaan short-term sistemik untuk eksaserbasi akut
dan terapi inhalasi yang digunakan untuk PPOK kronik stabil.
Kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi gejala, memperbaiki fungsi
paru, dan kualitas hidup pasien PPOK. Contoh obat yang dapat digunakan
antara lain, beclomethason, budesonida, flunisonida, fluticason,
mometason dan triamsinolon (DiPiro et al., 2015). Pada kasus PPOK ini,
Tn. D diberikan budesonid secara inhalasi oral.
Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan LABA lebih efektif
daripada salah satu antara kortikosteroid dan bronkodilator dalam
peningkatan fungsi paru dan mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan
PPOK sedang sampai sangat berat. Pengobatan jangka panjang dengan
kortikosteroid oral tidak direkomendasikan (GOLD, 2017).
Untuk pasien dengan lebih banyak gejala dan risiko eksaserbasi
yang tinggi (kategori D), terapi tiga jenis (LABA-LAMA-IC) dapat
dipertimbangkan sebagai pilihan pertama atau kedua. Regimen tiga obat
meningkatkan fungsi paru-paru, kualitas hidup, dan mengurangi rawat
inap dibandingkan dengan tiotropium saja, sedangkan terapi dua obat
tidak menawarkan manfaat dalam peningkatan fungsi paru-paru atau
tingkat rawat inap dibandingkan dengan agen tunggal (DiPiro et al.,
2015)
Phosphodiesterase-4 inhibitor, roflumilast ini mengurangi
eksaserbasi pada pasien yang di terapi dengan kortikosteroid oral dengan
riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronis (GOLD, 2017).
3. Antibiotik
Penggunaan antibiotik pada pasien PPOK diberikan apabila terdapat hal
yang mengindikasi terjadinya infeksi, terutama pada pasien PPOK
komplikasi. Pasien PPOK komplikasi dapat diberikan antibiotik
amoksisilin atau klavulanat dan fluorokuinolon yang memiliki spektrum
luas terhadap kemungkinan patogen. Penggunaan antibiotik dapat
mengurangi eksaserbasi sederhana yang dialami pasien. Pada kasus Tn. D
diberikan 2 jenis antibiotik yaitu ceftriaxone dan ciprofloxacine yang
mana keduanya merupakan antibiotik golongan sefalosporin yang
memiliki spektrum luas. Pemberian 2 antibiotik ini bertujuan untuk
mengurangi eksaserbasi sederhana sekaligus mencegah terjadinya
resistensi bakteri (Wilson dkk, 2013).
4. Mukolitik
Mukolitik dan agen antioksidan pada pasien PPOK yang tidak menerima
kortikosteroid inhalasi, pada perawatan rutin dapat mengurangi
eksaserbasi dan dapat memperbaiki status kesehatan. Contohnya adalah
carbosysteine dan N-asetilsistein (GOLD, 2017). Mukolitik membantu
mengeluarkan sputum dengan cara menghancurkan benang-benang
mukoprotein dan mukopolisakarida pada dahak. Obat mukolitik yang
digunakan Tn. D yaitu N-asetil sistein, sebagai terapi tambahan untuk
membantu sekresi sputum karena Tn. D mengalami batuk berdahak.
5. Ekspektoran
Ekspektoran adalah obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak.
Mekanisme kerja ekspektoran yaitu menstimulasi mukosa lambung dan
secara refleks merangsang sekresi kelenjar saluran pernapasan lewat
nervus vagus, sehingga menurunkan viskositas dahak sehingga mudah
dikeluarkan. Contoh obat yang termasuk ekspektoran adalah ammonium
klorida dan gliseril guaiakolat. Tn. D mengalami batuk berdahak,
sehingga diberikan gliseril guaiakolat untuk membantu memudahkan
pengeluaran dahak.
6. Ranitidin
Ranitidin merupakan obat antihistamin golongan Antagonis H2 yang
bekerja mengurangi sekresi asam yang dirangsang oleh histamin, gastrin
atau bahan kolinomimetik melalui dua mekanisme. Pertama, histamin
yang dibebaskan dari sel ECL oleh gastrin atau rangsangan vagus
dihambat untuk mengikat reseptor H2 di sel parietal. Kedua, blokade
reseptor H2 menyebabkan efek stimulasi langsung sel parietal oleh gastrin
atau asetilkolin pada sekresi asam berkurang (Katzung dkk, 2012).
Pemberian ranitidin pada Tn. D dimaksudkan untuk mencegah
peningkatan asam lambung yang diakibatkan stress dari pasien.
Gambar 1.1 Rekomendasi Terapi Farmakologi untuk PPOK Stabil (DiPiro et al.,
2015).
7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI

DOKUMEN ASUHAN KEFARMASIAN

Inisial Pasien : Tn. D Berat Badan : - Ginjal : -


Umur : 66 tahun Tinggi Badan : - Hepar : -

Keluhan Utama :
Sesak sejak subuh, batuk berdahak, dan demam
Diagnosis :
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Riwayat Penyakit :
Sesak napas dan PKJ-IMA (infark myocard akut)
Riwayat Pengobatan :
Obat paru
Aminofilin 1-0-0
Salbutamol 2x1
Gliseril guaiakolat 2x1
Spiriva® (kandungan ipratropium) 1-0-0
Bricasma® (terbutalin sulfat) 1-0-0
Pulmicort® (kandungan budesonide) 1-0-0

Alergi : -
Kepatuhan Obat Tradisional -
Merokok - OTC -
Alkohol - Lain-lain -
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN

Tanggal Problem / Kejadian / Tindakan Klinisi


18/05/18  Pasien masuk IGD dengan keluhan sesak napas sejak subuh. Kondisi umum pasien
lemah, TD sebesar 167/92 mmHg, dan nadi 114 kali/menit. Pasien juga mengalami
batuk berdahak dan demam (suhu tubuh 38oC). Hasil pemeriksaan laboratorium
terhadap leukosit sebesar 13,3 x 103/µL.
 Diagnosis masuk adalah SOB (Short of Breath) dan sekunder infeksi.
 Tindakan klinisi memberikan masker O2 dan nebulizer Combivent® untuk
mengatasi sesak.
19/05/18 Pasien masih batuk berdahak. TD 140/80 mmHg, suhu tubuh 36,4oC, dan nadi
masih 104 kali/menit.
20/05/18 Pasien masih batuk berdahak. TD 150/90 mmHg, suhu tubuh 36,2oC, dan nadi 104
kali/menit.
21/05/18 Pasien masih batuk berdahak. TD 120/90 mmHg, suhu tubuh 37,4oC, dan nadi 108
kali/menit.
22/05/18 Pasien kembali mengeluh sesak dan masih batuk berdahak. TD 130/80 mmHg dan
nadi 96 kali/menit. Dari hasil pemeriksaan leukosit yaitu 9,4 x 103/µL dan suhu
tubuh 36,8oC.
23/05/18 Pasien sudah tidak mengeluh sesak juga tidak batuk berdahak. TD 130/80 mmHg,
suhu tubuh 36,4oC, dan nadi 88 kali/menit.
24/05/18 Pasien sudah tidak mengeluh sesak juga tidak batuk berdahak. TD 140/90 mmHg,
suhu tubuh 36,4oC, dan nadi 82 kali/menit.
25/05/18 Pasien kembali mengeluh sesak dan batuk berdahak. TD 130/80 mmHg, suhu tubuh
36,2oC, dan nadi 84 kali/menit.
26/05/18 Pasien sudah tidak sesak tapi masih batuk berdahak. TD 130/80 mmHg, suhu tubuh
36,4oC, dan nadi 88 kali/menit.
27/05/18 Pasien sudah tidak sesak dan tidak batuk berdahak. Pasien KRS dengan diagnosis
akhir adalah PPOK era akut. Pemeriksaan fisik saat akan KRS antara lain TD =
167/92 mmHg, Rh = +/+, dan Wh = +/+.
Obat untuk KRS :
Puyer 3x1 (berisi : prednison, aminofilin, salbutamol, gliseril guaiakolat, dan
dekstrometorfan)
DOKUMEN ASUHAN KEFARMASIAN
Apoteker: .............................

No. DMK : 00-00-72-xx Keluhan Utama : Sesak napas sejak subuh, batuk berdahak, Alergi : -
MRS / KRS : 18 Mei 2018 / 27 Mei 2018 dan panas Merokok / Alkohol : - / -
Inisial Pasien : Tn. D Diagnosis : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Obat Tradisional : -
Umur / BB / TB : 66 tahun Riwayat Penyakit : Sesak napas OTC : -
Alamat : Malang Riwayat Pengobatan : Obat paru
Asuransi : BPJS Kepatuhan : Tidak diketahui
PROFIL PENGOBATAN PADA SAAT MRS
Tanggal (Mei)
Obat Rute Dosis Frekuensi
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Normal salin iv infus life line - √ //
Ceftriaxone iv bolus 1g 2 dd 1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Levofloxacine iv infus 750 mg 1 dd 1 √ √ //
Ciprofloxacine iv infus 400 mg 2 dd 1 √ √ √ √ //
Gliseril guaiakolat Po 200 mg 3 dd 1 √ √ // √ √ √ √ √ √
Combivent® Inhaler oral 10 mL 3 dd 1 √ √ // √ √ √ √ √ √
Budesonide Inhaler oral 200 mcg 3 dd 1 √ √ √ √ √ √
N-asetil sistein Po 200 mg 3 dd 1 √ √ √ √ √ √ √ √ √
Aminofilin Pump 25 mg/mnt - √ // √ //
Ranitidin iv bolus 50 mg 2 dd 1 √ √ √ √ √ √ √ // √ //
Metoklopramid iv bolus 10 mg 2 dd 1 √ √ √ √

DATA KLINIK
Tanggal (Mei)
Data Klinik Nilai Normal
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
KU Lem
ah
Suhu 36,4 36,4 36,2 37,4 36,8 36,4 36,4 36,2 36,4
TD 110/ 140/ 150/ 120/ 130/ 130/ 140/ 130/ 130/ 130/
60 80 90 90 80 80 90 80 80 70
Nadi 80 104 104 108 96 88 82 84 88
Rh ±‫׀‬± ±‫׀‬± +‫׀‬+ -‫׀‬- -‫׀‬- +‫׀‬+
Wh ±‫׀‬± -‫׀‬- +‫׀‬+ -‫׀‬- -‫׀‬± +‫׀‬+
Sesak + + +
Batuk berdahak + + + + + + +
DATA LABORATORIUM
Tanggal (Mei)
Data Laboratorium Nilai Normal
18 19 21 22
Leukosit 4-10 x 103/µL 13,3 9,4
Hemoglobin 11,5-16,0 g/dL 13,1
Hematokrit 35-45% 39,2
Eritrosit 4,3-6,0 x 106/µL 4,75
Platelet 150-400 x 103/µL 157
GDA ≤ 200 mg/dL 125
GDP 76-110 mg/dL 107
GD2PP 80-125 mg/dL 110
pH 7,35-7,45 7,38
pCO2 35-45 mmHg 34,7
pO2 80-107 mmHg 225
HCO3- 21-25 mmol/L 20,5
BE -3,5 s.d +2,0 mmol/L -4,1
SGOT 0-35 U/I 25
SGPT 0-37 U/I 12
Hasil Tes Spirometri (195/2018):
FEV1 = 54%
FEV1/FVC = 66%
8. PEMBAHASAN KASUS
8.1. SUBJEKTIF
No DATA KLINIK Tanggal
. 18/05/1
19/05/18 20/05/18 21/05/18 22/05/18 23/05/18 24/05/18 25/05/18 26/05/18 27/05/18
8
1. Sesak nafas + - - - + - - + - -
2. Batuk berdahak + + + + + - - + + -
3. Keadaan lemah + - - - - - - - - -
4. Nama Tn. D
5. Umur 66 tahun
6. Riwayat penyakit Sesak nafas dan PJK-IMA
7. Riwayat obat Obat paru
Aminofilin 1-0-0
Salbutamol 2x1
Gliseril guaiakolat 2x1
Spiriva® (kandungan ipratropium) 1-0-0
Bricasma® (terbutalin sulfat) 1-0-0
Pulmicort® (kandungan budesonide) 1-0-0
Komentar dan alasan:
1. Sesak nafas :
Pasien yang mengalami eksaserbasi PPOK mungkin mengalami dyspnea (sesak nafas) yang memburuk, meningkatkan volume dahak, atau
peningkatan purulensi dahak. Fitur lain dari eksaserbasi termasuk sesak nafas (DiPiro et al., 2015)
Sesak nafas merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap dan
mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas residual fungsional yang terlihat
sebagai sesak napas. Sesak nafas yang terjadi pada pasien dengan penyakit PPOK merupakan gejala eksaserbasi. Eksaserbasi merupakan
Eksaserbasi merupakan peningkatan lebih lanjut respons inflamasi dalam saluran napas pasien PPOK. Keadaan ini dapat dipicu oleh
infeksi bakteri atau virus atau polusi lingkungan. Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan eksaserbasi PPOK masih banyak yang belum
diketahui. Pada eksaserbasi ringan dan sedang terdapat peningkatan netrofil, beberapa studi lainnya juga menemukan eosinofil dalam
sputum dan dinding saluran napas. Hal ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi mediator tertentu, termasuk TNF-α, LTB4 dan IL-8,
serta peningkatan biomarker stress oksidatif. Pada eksaserbasi berat masih banyak hal yang belum jelas, meskipun salah satu penelitian
menunjukkan peningkatan neutrofil pada dinding saluran napas dan peningkatan ekspresi kemokin. Selama eksaserbasi terlihat
peningkatan hiperinflasi dan terperangkapnya udara, dengan pengurangan aliran ekspirasi, sehingga terjadi peningkatan sesak napas.
Terjadi juga perburukan yang mengakibatkan hipoksemia berat. Eksaserbasi ini adalah kejadian kompleks dengan peningkatan inflamasi
saluran pernafasan, peningkatan produksi mucus, dan terperangkapnya udara dalam saluran pernafasan sehingga menyebabkan sesak nafas
(Putra dkk, 2013)
2. Keadaan Lemah :
Keadaan lemah terjadi karena fungsi tubuh yang melambat akibat kurangnya pasokan oksigen yang cukup bagi darah dan otot ketika
mengalami kesulitan bernapas. Selain itu, kelelahan dapat terjadi karena paru-paru yang bekerja lebih keras untuk memasok oksigen dan
membuang karbondioksida. Akibatnya, pasien akan kehabisan energi (Ringel, 2009).
3. Batuk Berdahak :
Penyebab umum batuk berdahak adalah infeksi oleh virus atau bakteri. Ketika saluran pernapasan terinfeksi, misalnya saat sedang flu,
tubuh akan memproduksi lebih banyak lendir. Fungsinya adalah untuk menjebak dan mengeluarkan organisme penyebab infeksi. Batuk
bertujuan untuk mengeluarkan lendir tersebut sebagai reaksi tubuh terhadap benda asing yang masuk ke dalam sistem pernapasan. Saat
debu, polusi, atau alergen (zat pemicu alergi) memasuki sistem pernapasan, otak akan mengirim sinyal melalui saraf tulang belakang ke
otot-otot di dada dan perut. Ketika otot-otot tersebut berkontraksi, udara menyembur melalui sistem pernapasan untuk mendorong keluar
benda asing. Hal inilah yang dinamakan batuk. Pada batuk berdahak, batuk juga bertujuan mendorong lendir dari sistem pernapasan agar
dapat bernapas lebih mudah. Dahak pada batuk menunjukkan adanya infeksi dan peradangan saluran pernapasan (Guytron dan Hall, 1997).

8.2. OBJEKTIF
No DATA KLINIK Tanggal
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
1. Leukosit (4-10 x
13,3 9,4
103/µL)
2. Hemoglobin
13,1
(11,5-16,0 g/dL)
3. Hematokrit ( 35-
39,2
45%)
4. Eritrosit (4,3-6,0
4,75
x 106/µL)
5. Platelet (150-400
157
x 103/µL)
6. GDA (≤ 200
125
mg/dL)
7. GDP (76-110
107
mg/dL)
8. GD2PP (80-125
110
mg/dL)
9. pH (7,35-7,45) 7,38
10. pCO2 (35-45
34,7
mmHg)
11. pO2 (80-107
225
mmHg)
-
12. HCO3 (21-25
20,5
mmol/L)
13. BE (-3,5 s.d +2,0
-4,1
mmol/L)
14. SGOT (0-35 U/I) 25
15. SGPT (0-37 U/I) 12
16. Suhu (37°C ±
36,4 36,4 36,2 37,4 36,8 36,4 36,4 36,2 36,4
0,5°C)
17. Tekanan Darah 110/ 140/ 150/ 120/ 130/ 130/ 140/ 130/ 130/ 130/
(120/80 mmHg) 60 80 90 90 80 80 90 80 80 70
18. Nadi (50-90 x /
80 104 104 108 96 88 82 84 88
menit)
19. Wheezing ±‫׀‬± ±‫׀‬± +‫׀‬+ -‫׀‬- -‫׀‬- +‫׀‬+
20. Rhonchi ±‫׀‬± -‫׀‬- +‫׀‬+ -‫׀‬- -‫׀‬± +‫׀‬+
21. Hasil Tes
FEV1 = 54%
Spirometri
FEV1/FVC = 66%
(19/5/2018) :
Komentar dan - Berdasarkan pemeriksaan lab terhadap kadar leukosit pasien pada tanggal 18, hasil tersebut
alasan: bernilai di atas batas normal (4-10 x 103/µL), yaitu 13,3 x 103/µL, hal ini menandakan adanya
infeksi berupa bakteri sehingga leukosit yang bertindak sebagai antibodi tubuh akan meningkat.
Hal ini juga dapat mengindikasikan bahwa kekambuhan PPOK pada pasien disebabkan karena
infeksi bakteri, namun belum dapat dipastikan apabila pasien belum memenuhi minimal 2 tanda
SIRS, sehingga perlu ditinjiau hasil lab lainnya. Namun, tetap diperlukan pemberian antibiotik
sebagai terapi pengobatan.
- Suhu pasien tinggi (demam) pada tanggal 18, yaitu sebesar 36,40C serta mengalami kenaikan pada
tanggal 21 menjadi sebesar 37,40C, hal ini menandakan respon tubuh terhadap adanya infeksi.
Pasien sudah dapat dikatakan SIRS, dikarenakan sudah memenuhi minimal 2 syarat SIRS.
- Tekanan darah pasien dari hari ke hari pemeriksaan mengalami kenaikan di atas batas normal
(120/80 mmHg) hal ini merupakan akibat dari adanya PPOK. Karena terjadinya penurunan fungsi
paru-paru terhadap pengikatan O2.
- Pasien juga mengalami wheezing dan rhonchi berdasarkan hasil pemeriksaan. Kedua suara
pernafasan tersebut muncul pada pemeriksaan pada tanggal 18,19,22,24,25, dan 27. Dimana kedua
peristiwa terjadi secara tidak teratur dan bersamaan, terkadang muncul wheeze namun tidak
rhonchi. Adanya suara pernafasan berupa wheeze dan rhonchi tersebut menandakan adanya
penyempitan saluran nafas dan penumpukan sekret/dahak di saluran nafas, karena penyebab
munculnya wheeze dan rhonchi yang berbeda. Wheeze disebabkan oleh adanya hambatan di
saluran nafas yang dapat disebabkan oleh sekresi, luka, maupun penyempitan jalan nafas,
sedangkan rhonchi bersifat kontinu, dan hampir sama dengan wheeze, hanya saja saluran nafas
lebih besar. (Maulidin,2018)
- Berdasarkan hasil tes spirometer dapat diketahui bahwa pasien mengalami PPOK moderate.
Karena nilai FEV1/FVC terdapat pada antara 50 %≤ FEV1<80, yaitu 54% dan 66%.
- pCO2 merupakan tekanan yang dihasilkan oleh CO2 yang terlarut dalam plasma, digunakan untuk
menentukan efektifitas ventilasi alveolar dan keadaan asam-basa dalam darah. Berdasarkan
literatur yang ada, penurunan nilai pCO2 dapat terjadi pada hipoksia, ansietas, dan emboli paru.
Nilai kurang dari 20 mmHg perlu mendapat perhatian khusus (Kemenkes, 2011). Pasien
mengalami metabolik asidosis terkompensasi yang mana pCO2 = alkalosis, HCO3-= asidosis, pH
normal. Namun hasil data klinik lab pCO2 pada pasien ini tidak terlalu signifikan dari batas
normal.
- Nilai pO2 menunjukkan kemampuan paru-paru dalam menyediakan oksigen bagi darah.
Peningkatan nilai pO2 dapat terjadi pada peningkatan penghantaran O2 oleh alat bantu,
hiperventilasi (bernafas cepat), dan polisitemia (peningkatan sel darah merah dan daya angkut
oksigen) (Kemenkes, 2011). Tekanan parsial oksigen pasien bernilai di atas batas normal (80-107
mmHg) yaitu sebesar 225 mmHg, hal tersebut berarti pasien memiliki pola pernafasan yang cepat.
PPOK tahap lanjut mengalami obstruksi jalan napas perifer yang mengurangi kapasitas paru untuk
pertukaran gas sehingga menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Mekanisme kompensasi tubuh
terkait adanya kondisi tersebut adalah terjadinya hiperventilasi, yaitu yang menimbulkan
hiperinflasi, mengurangi kapasitas inspirasi, dan menyebabkan sesak napas (Yatun, dkk, 2016).

8.3. ASSESSMENT
8.3.1 FORM PROFIL PENGOBATAN
OBAT Pemantauan
Komentar dan Alasan
Kefarmasian
Indikasi Terapi (mekanisme kerja, alasan
No Jenis Obat Rute Dosis (METO dan
pada Pasien pemilihan terapi)
MESO)
1. Normal salin iv infus life line Tubuh pasien lemah METO: Mekanisme kerja :
Pasien menjadi Normal saline adalah termasuk
bugar cairan kristaloid yang memiliki
elektrolit (Na dan Cl) dan
MESO : molekul hidrofilik dan juga
Dapat terjadi merupakan cairan isotonis
kelebihan cairan (natrium klorida, kalsium klorida,
dan edema natrium laktat) dimana
osmolaritasnya mendekati serum
sehingga cairan elektrolit tubuh
yang kurang dapat terpenuhi
Alasan :
Kekurangan cairan tubuh yang
dapat menyebabkan kelemahan
otot (lemas) karena otot
membutuhkan kalsium, natrium,
dan potassium.
2. Ceftriaxone iv bolus 1g Pasien mengalami METO : Mekanisme kerja `:
infeksi saluran Demam turun Ceftriaxone generasi ke tiga yang
pernapasan bawah dengan cepat dan dapat mengikat lebih dari satu
dan leukositosis leukosit menurun penicillin-binding proteins (PBP)
(kembali normal) sehingga dapat menghambat
Denyut nadi turun transpeptidasi dari sintesis
peptidoglikan pada dinding sel
MESO : bakteri. Dengan penghambatan
1. Eosinophilia tersebut, maka mencegah
2. Trombositosis biosintesis dan pembentukan
dinding sel sehingga
mengakibatkan matinya sel
bakteri.
Alasan :
Antibiotik dengan spektum luas
sehingga dapat membunuh gram
positif ataupun negatif karena
belum diketahui bakteri apa yang
menginfeksi.
3. Levofloxacine iv infus 750 mg Terapi infeksi saluran MESO: Mekanisme Kerja:
pernafasan 1. Mual,Muntah Gol Fluorokuinolon
2. Sakit Menghentikan sintesis DNA
kepala,pusing bakteri dengan menghambat DNA
3. Diare girase, sehingga mencegah
relaksasi DNA superkoil yang
METO: dibutuhkan untuk transkripsi dan
Infeksi sembuh duplikasi
dapat dipantau dari Alasan:
produksi sputum, Memiliki aktivitas antibakteri
sesak nafas spektrum luas hingga mencapai
kadar bakteridal dalam darah dan
jaringan

4. Ciprofloxacine iv infus 400 mg Terapi infeksi saluran MESO : Mekanisme kerja:


pernafasan 1. Mual,Muntah Gol Fluorokuinolon
2. Diare Menghentikan sintesis DNA
bakteri dengan menghambat DNA
girase, sehingga mencegah
relaksasi DNA superkoil yang
dibutuhkan untuk transkripsi dan
METO : duplikasi
Infeksi sembuh Alasan:
dapat dipantau dari Memiliki aktivitas antibakteri
produksi sputum, spektrum luas hingga mencapai
sesak nafas kadar bakteridal dalam darah dan
jaringan
5. Gliseril po 200 mg Pasien mengalami MESO : Mekanisme kerja :
guaiakolat batuk berdahak 1. Mual Mengurangi viskositas sekresi
2. Muntah dengan meningkatkan jumlah
METO : cairan saluran pernapasan
dipantau melalui Alasan :
frekuensi batuk dan Pasien mengalami Batuk
sputum berdahak sehingga produksi
sputum meningkat
6. Combivent® Inhaler 10 mL Pasien mengalami MESO : Mekanisme kerja :
oral sesak nafas karena 1. Sakit kepala Ipratropium bromide : Obat
bronkopasme 2. Radang golongan Antikolinergik yang
tenggorokan bekerja dengan mencegah
3. Batuk peningkatan konsentrasi
intraseluler yang disebabkan oleh
METO : interaksi asetilkolin dengan
Berkurangnya reseptor muskarinik pada otot
frekuensi sesak polos bronkus.
napas Albuterol sulfat : beta 2 reseptor
adrenergik
Alasan :
Pasien mengalami sesak nafas
7 Budesonide Inhaler 200 mcg Asthma (sesak nafas) METO: Mekanisme Kerja:
oral / inflamasi Dapat Merupakan obat golongan
menyebabkan kortikosteroid yang termasuk
palpitasi sehingga golongan glukokortikoid yang
harus dipantau kuat, dengan mekanisme
tekanan darah, mengurangi sekresi lendir hidung
glukosa serum, dam sehingga memiliki efek anti
elektrolit (kalium inflamasi pada saluran hidung.
dan natrium) Obat ini mengurangi inflamasi
dengan mekanisme mengontrol
MESO: laju sintesis protein, menghambat
1. Peningkatan migrasi leukosit dan fibroblas
batuk polimorfonuklear,mengembalikan
2. Badan terasa permeabilitas kapiler.
sakit Alasan:
3. Sakit kepala Penggunaan karena pasien
mengalami sesak nafas
8 N-asetil sistein Per oral 200 mg Mukolitik (muko METO: Mekanisme:
lisis) pada bronkial Meningkatkan Mengurangi kekentalan/viskositas
akut dan kronik dan Produksi dahak dan sekret dengan memecah ikatan
paru dengan mukus Frekuensi batuk disulfida pada mukoprotein dan
yang tebal MESO: memfasilitasi pengeluaran sekret
1. Ruam melalui batuk.
2. Urtikaria Alasan:
3. Pruritus Penggunaannya adalah sebagai
terapi tambahan untuk penyakit
bronkopulmoner kronik.
9. Aminofilin pump 25 mg/menit Pasien mengalami METO : Mekanisme kerja :
Sesak nafas melemaskan otot- Dapat meningkatkan konsentrasi
otot halus saluran jaringan siklik adenin monofosfat
pernafasan dan (cAMP) dengan menghambat 2
menekan respons isoenzim (PDE III dan pada
saluran udara tingkat lebih rendah PDE IV)
terhadap yang pada akhirnya menginduksi
rangsangan pelepasan epinefrin dari sel-sel
sehingga dapat medula adrenal
mengurangi sesak Alasan:
nafas Karena pasien mengeluh sesak
MESO : nafas
1. Mual &
Muntah
2. Sakit kepala
3. Insomnia
10. Ranitidin iv bolus 50 mg Jika pasien METO : Mekanisme kerja :
mengalami keluhan Mengurangi sekresi Antagonis reseptor H2: bekerja
pada lambung seperti lambung dengan memblok reseptor H2 sel
gastritis atau ulkus parietal lambung sehingga dapat
peptikum, pada MESO : mengurangi sekresi asam
catatan 1. konstipasi lambung
perkembangan pasien 2. diare Alasan :
tidak disebutkan 3. mual & pasien mengalami keluhan pada
mengalami keluhan muntah lambung seperti gastritis atau
tersebut namun obat ulkus peptikum
ranitidin digunakan
dari tanggal 18-24
dan 26 Mei, berhenti
pada tanggal 25 dan
27 Mei
11. Metoklopramid iv bolus 10 mg Antiemetik METO: Mekanisme kerja :
Menghasilkan efek Menghambat reseptor dopamine
prokinetik dan efek (pada dosis tinggi) dan reseptor
antiemetik melalui serotonin yang terdapat dalam
inhibisi dari zona pemicu kemoreseptor
reseptor dopamine. (chemoreseptor trigger zone)
MESO: sistem saraf pusat, meningkatkan
Memonitor efek motilitas GIT bagian atas tetapi
samping yang tidak mensekresi, meningkatkan
mungkin terjadi, tonus sfingter esofagus bawah
seperti : Alasan :
1. Sedasi/meng Ada beberapa obat yang
antuk diresepkan memiliki efek
2. Diare samping mual dan muntah
3. Kepanikan
Keterangan:
METO: monitoring efek terapi obat
MESO: monitoring efek samping obat
8.3.2 FORM ASSESMENT

ASUHAN KEFARMASIAN (PHARMACIST’S CARE PLAN)


Termasuk :
1. Masalah aktual & potensial terkait obat 4. Ada indikasi tidak ada terapi 7. Pemilihan obat
2. Masalah obat jangka panjang 5. Pemantauan efek obat 8. Penghentian obat
3. Tidak ada indikasi ada terapi 6. Kepatuhan pasien 9. Efek samping obat
10. IInteraksi obat

KRITERIA DRP TINDAKAN


NO. TANGGAL (Drug Related URAIAN MASALAH (USULAN PADA KLINIS, PERAWAT,
Problems) ATAU PASIEN)
1. 18/05/18 Efek samping obat Pasien lemah; dilakukan pemberian Perawat: dilakukan pemantauan terhadap
normal saline untuk menggantikan cairan gejala edema dan tekanan darah.
tubuh yang hilang sehingga keadaan Pasien: mengurangi konsumsi cairan dari luar
pasien kembali normal; ESO: edema dan tubuh (air mineral, makanan berkuah).
hipertensi. Klinisi: diberhentikan sesaat setelah kondisi
pasien kembali normal.

Masalah aktual & Pasien mengalami batuk berdahak namun Klinisi: disarankan untuk diberikan obat
potensial terkait belum diberikan obat pengeluar dahak. golongan mukolitik dan/atau ekspektoran.
obat
Pemilihan obat
Penghentian obat Obat ceftriaxone dihentikan, karena Klinisi: disarankan untuk menggunakan
Pemilihan Obat antibiotik cephalosporine seperti antibiotik golongan fluoroquinolon karena
ceftriaxone tidak sesuai untuk eksaserbasi sesuai untuk eksaserbasi kompleks.
kompleks.
2. 19/05/18 Penghentian obat Pemberian normal saline yang berlebihan Klinisi: disarankan untuk dilakukan
pada pasien dengan edema dapat pemberhentian pemberian normal saline pada
memperburuk edema. pasien sesaat kondisi pasien sudah normal.
Interaksi Obat Combivent yang mangandung albuterol Klinisi: disarankan untuk penghentian terapi
dapat berinteraksi dengan levofloxacin atau pemberian combivent bila perlu.
dan dapat meningkatkan resiko aritmia, Perawat: memonitor kondisi pasien terkait ES
sedangkan pasien mempunyai riwayat seperti pusing, pingsan, palpitasi, aritmia,
PJK. Selain itu, penggunaan keduanya shortness of breath, dan syncope.
bersama-sama yang memperpanjang Pasien: disarankan untuk memberitahu perawat
interval QT dapat menimbulkan efek apabila terjadi gejala pusing, pingsan,
aditif dan meningkatkan resiko aritmia palpitasi, aritmia, shortness of breath.
ventrikular.
Efek samping obat Combivent yang terdiri dari teofilin dan Perawat: memantau kadar kalium dan tekanan
albuterol dapat meningkatkan efek darah.
samping kardiovaskuler seperti palpitasi Klinisi: disarankan untuk diberhentikan atau
jantung, tekanan darah naik, diberikan bila perlu.
meningkatkan denyut jantung, dan
meningkatkan resiko hipokalemia,
sedangkan pasien mempunyai riwayat
PJK.
Pemantauan efek Pasien mengalami batuk berdahak dan Perawat: memonitor kondisi pasien terkait
terapi obat diberikan gliseril guaiakolat sebagai produksi sputum dan frekuansi batuk.
ekspektoran.
3. 20/05/18 Penghentian obat Pemberian levofloxacin dan ceftriaxone Klinisi: pemberhentian obat levofloxacine
Pemilihan obat mempunyai efek yang sama yaitu pada kurang tepat karena antibiotic golongan
bakteri gram positif dan gram negatif fluoroquinnnolo lebih cocok untuk pasien
yang dapat menimbulkan resistensi. PPOK dengan eksaserbasi kompleks.
Disarankan untuk menghentikan terapi dari
ceftriaxone dan melanjutkan terapi dengan
levofloxacin.
4. 21/05/18 Penghentian obat Gliseril guaiakolat sudah diberhentikan, Klinisi: disarankan untuk meninjau kembali
sedangkan pasien masih mengalami batuk pemberhentian obat dan memberi terapi
berdahak. ekpektoran/mukolitik kepada pasien.
Efek samping obat KSR mempunyai efek samping Perawat: memonitor kadar kalium dan fungsi
hiperkalemia, mual, muntah, nyeri perut, ginjal secara ketat dan rutin.
dan diare. Pasien: disarankan memberitahu perawat
apabila muncul gejala hiperkalemia seperti
lemah, bingung, lesu, dan aritmia.
5. 22/05/18 Interaksi obat Ciprofloxacin meningkatkan kadar Klinisi: disarankan untuk meresepkan obat
aminofilin dalam darah. Hal ini dapat golongan fluoroquinolon seperti levofloxacin.
menyebabkan resiko serius dan Jika meresepkan dibutuhkan penyesuaian dosis
menimbulkan efek samping yang (dosis aminofilin dikurangi) dan monitoring
mengancam nyawa pasien. rutin untuk medikasi.
Pasien: disarankan memberitahu perawat
Penggunaan combivent bersama dengan apabila muncul gejala kelebihan aminofilin
aminofilin dapat meningkatkan resiko seperti mual, muntah, diare, nafsu makan
hipokalemia dan efek samping hilang, sakit kepala, tremor, kebingungan,
kardiovaskuler seperti palpitasi, insomnia, dan aritmia.
takikardia, dan tekanan darah tinggi. Perawat: memonitor kadar aminofilin dan
gejala kelebihan aminofilin seperti mual,
Penggunaan aminofilin dan budesonide muntah, diare, nafsu makan hilang, sakit
dapat meningkatkan resiko hipokalemia kepala, tremor, kebingungan, insomnia, dan
dan meningkatkan/menurunkan aritmia.
konsentrasi aminofilin Perawat: memonitor kadar serum kalium,
tekanan darah, dan denyut jantung selama
Ciprofloxacin dapat meningkatkan pemberian obat.
bioavailabilitas sistemik budesonide. Pasien: disarankan untuk memberitahu perawat
jika mengalami gangguan pernapasan atau
gejala hipokalemia seperti lelah, lemah,
myalgia, kram, nyeri perut, konstipasi,
palpitasi, dan aritmia.
Perawat: memonitor kadar aminofilin dan
serum kalium secara rutin.
Pasien: disarankan untuk memberitahu perawat
apabila mengalami gejala hipokalemia (lemah,
kram otot), gangguan pernapasan, atau gejala
toksisitas aminofilin (mual, muuntah, diare,
sakit kepala, insomnia, dan aritmia).
Klinisi: disarankan untuk meresepkan
budesonide dengan dosis terapi terendah.
Perawat: memonitor kondisi pasien terkait
gejala hiperkortisism seperti jerawat, moon
face, edema, nafsu makan meningkat,
hipertensi, dan depresi.
Pasien: disarankan untuk memberitahu perawat
apabila muncul gejala hiperkortisism seperti
jerawat, moon face, edema, nafsu makan
meningkat, hipertensi, dan depresi.
6. 23/05/18 Penghentian obat Penggunaan aminofilin bersama Klinisi: penghentian pemberian aminofilin
Efek samping obat budesonide dan combivent dapat sudah tepat karena dapat menurunkan kadar
Interaksi obat meningkatkan resiko hipokalemia. kalium.
Masalah obat Pemberian KSR dapat menyebabkan Klinisi: pengurangan dosis terapi KSR sudah
jangka panjang hiperkalemia dan efek samping lainnya tepat.
Efek samping obat yaitu mual, muntah, nyeri perut, dan Perawat: memonitor kadar kalium dan fungsi
diare. ginjal secara ketat dan rutin.
Pasien: disarankan memberitahu perawat
apabila muncul gejala hiperkalemia seperti
lemah, bingung, lesu, dan aritmia.
7. 24/05/18 Interaksi Obat Penggunaan aminofilin dan budesonide Klinisi: disarankan untuk meresepkan obat
Efek samping obat dapat meningkatkan resiko hipokalemia golongan fluoroquinolon seperti levofloxacin.
dan meningkatkan/menurunkan Jika meresepkan dibutuhkan penyesuaian dosis
konsentrasi aminofilin (dosis aminofilin dikurangi) dan monitoring
rutin untuk medikasi.
Ciprofloxacin dapat meningkatkan Pasien: disarankan memberitahu perawat
bioavailabilitas sistemik budesonide. apabila muncul gejala kelebihan aminofilin
seperti mual, muntah, diare, nafsu makan
Penggunaan metoklopramid yang hilang, sakit kepala, tremor, kebingungan,
berlebihan dapat mengakibatkan tardive insomnia, dan aritmia.
dyskinesia dan bisa mempengaruhi Perawat: memonitor kadar aminofilin dan
interval QT pada pasien gagal jantung gejala kelebihan aminofilin seperti mual,
muntah, diare, nafsu makan hilang, sakit
kepala, tremor, kebingungan, insomnia, dan
aritmia.
Perawat: memonitor kadar serum kalium,
tekanan darah, dan denyut jantung selama
pemberian obat.
Pasien: disarankan untuk memberitahu perawat
jika mengalami gangguan pernapasan atau
gejala hipokalemia seperti lelah, lemah,
myalgia, kram, nyeri perut, konstipasi,
palpitasi, dan aritmia.
Perawat: memonitor kondisi pasien terkait ES
seperti pusing, pingsan, palpitasi, aritmia,
shortness of breath, dan syncope.

8.4. PLAN
8.4.1 MONITORING
NO. PARAMETER TUJUAN MONITORING
1. Sesak nafas Mencegah gejala PPOK semakin parah
2. Batuk berdahak Mengetahui keefektifan obat ekspektoran dan mukolitik
3. Suhu tubuh Memonitor kemungkinan demam atau infeksi kembali
4. Tekanan darah Mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut
5. Mual dan muntah Memonitor efek samping yang mungkin ditimbulkan dari obat yang diresepkan

8.4.2 LEMBAR KONSELING


No Sasaran Uraian Rekomendasi/Saran
. Konselin
g
1. Pasien  Menghindari faktor-faktor yang dapat  Faktor penyebab dapat berupa paparan asap rokok, gas-gas berbahaya
menyebabkan terjadinya PPOK lainnya sehingga perlu dihindari agar tidak mengakibatkan PPOK
 Obat yang diberikan memiliki efek misalnya dengan menggunakan masker saat keluar rumah, menghindar
samping dari perokok aktif, dan berhenti merokok
 Informasi penggunaan inhaler dan  Pasien tidak perlu khawatir dikarenakan efek samping obat tidak selalu
antibiotik terjadi
 Tenaga kesehatan memberikan edukasi mengenai penggunaan inhaler
yang baik dan benar sehingga dapat diperoleh efek terapi. Memberikan
edukasi mengenai penggunaan antibiotik dimana antibiotik ini harus
dihabiskan agar tidak terjadi resistensi
2. Keluarga  Membantu pasien berada di lingkungan  Membantu dan menjaga pasien agar terhindar dari paparan atau polusi
pasien yang sehat udara seperti asap rokok yang dapat memicu kekambuhan dari PPOK
 Mengurangi aktivitas berat atau  Pasien diharapkan untuk tidak melakukan pekerjaan berat yang dapat
berlebihan yang dapat menimbulkan mengakibatkan kekambuhan. Dalam hal ini keluarga pasien dapat
kekambuhan membantu dalam beraktivitas sehingga meminimalisir terjadinya
kekambuhan
3. Perawat  Melakukan kontrol kesehatan pasien  Perawat memonitor pasien mengenai efek terapi dan efek samping dari
pemberian obat tertentu yang dapat memperburuk kondisi pasien,
memonitor apakah ada perkembangan penyakit PPOK atau tidak

4. Dokter  Obat yang diberikan dapat  Berdiskusi mengenai terapi farmakologi yang diberikan
dikombinasikan atau diganti antar satu
sama lain
 Obat yang diberikan beberapa kurang
tepat penggunaannya
8.5 KASUS DAN SOAL TAMBAHAN
1. Wheezing dan ronkhi
Gejala pada pasien pengidap PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) adalah sesak napas/dipsnea, batuk
berdahak, sianosis (kulit dan selaput bibir berwarna kebiruan), wheezing, mudah terjangkit infeksi paru, dan
merasa lemah . Produksi sputum yang berlebih mengakibatkan proses pembersihan silia tidak berjalan
dengan lancar sehingga dahak menumpuk dan menyebabkan ketidakefektifan bersihan jalan napas. Jika hal
tersebut tidak segera diatasi maka pada tahap selanjutnya pasien akan mengalami penyempitan jalan napas
dan menyebabkan obstruksi atau sumbatan jalan napas yang salah satunya menimbulkan munculnya suara
napas tambahan yang dibedakan menjadi :
1. Stridor yaitu suara yang terdengar kontinue (tidak terputus-putus), bernada tinggi yang terjadi baik pada
saat inspirasi maupun pada saat ekspirasi
2. Ronkhi kering / krekels yaitu terdengar diskontinue (terputus-putus), ditimbulkan karena adanya cairan
di dalam saluran napas
3. Ronkhi basah yaitu suara yang terdengar kontinue. Ronkhi adalah suara napas tambahan bernada rendah
sehingga bersifat sonor
4. Bising gesek pleura (pleural friction rubs) dihasilkan oleh bunyi gesekan permukaan antara pleura
perietalis dan pleura viseralis, dan
5. Mengi (wheezing) adalah bunyi berirama kontinue yang durasinya lebih lama dibanding krekels. Bunyi
ini dapat terdengar selama inspirasi, ekspirasi, atau pada keduanya (Setijaningsih dkk, 2019).
2. Stress ulcer (Stres Ulkus)
Stres ulkus adalah gastritis yang diinduksi stres atau gastropati di mana penghalang mukosa
lambung dan kadang-kadang esofagus atau duodenum terganggu akibat penyakit akut parah. Ini dapat
hadir dalam bentuk gastritis erosif mulai dari lesi superfisial asimptomatik, dan okultisme gastrointestinal
(GI) berdarah hingga jelas perdarahan GI signifikan secara klinis. Stres ulkus sekunder akibat luka bakar
sistemik dikenal sebagai ulkus keriting, ulkus stres pada pasien dengan cedera otak traumatis akut dikenal
sebagai ulkus Cushing. Tubuh lambung dan fundus adalah lokasi umum untuk ulserasi stres tetapi juga
dapat dilihat pada antrum (bagian terbawah lambung) dan duodenum. Gejala yang paling umum dari ulkus
stres adalah timbulnya perdarahan GI akut atas seperti hematemesis atau melena pada pasien dengan
penyakit kritis akut. Beberapa pasien mungkin tidak memiliki ketidakstabilan hemodinamik dengan
adanya perdarahan, dan sebagian besar dari pasien ini memiliki penurunan konsentrasi hemoglobin yang
memerlukan transfusi darah (Siddiqui dan Siddiqui. 2019).
DAFTAR PUSTAKA

Anoosh ZG, Hassam Z. 2020. Aminophilline. Diakses melalui


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK545175/
Anthonisen NR, Connett JE, Kiley JP, Altose MD, Bailey WC, Buist AS, et al.
Effects of smoking intervention and the use of an inhaled anticholinergic
bronchodilator on the rate of decline of FEV1 . The Lung Health Study.
JAMA 1994;272:1497-505.
Boehringer I. Combivent. (online). Diakses melalui
https://www.mims.com/indonesia/drug/info/combivent?lang=id pada
tanggal 2 Februari 2019
Borge, Raheim C, Hagen KB, Mengshoel AM, Omenaas E, Moum T, Wahl AT.
2014. Effect of controlled breathing and respiratory muscle training in
people with chronic obstructive pulmonary disease: result from evaluating
the quality of evidence in systematic review. BMC Pulmonary Medicine.
diunduh di: http://www. biomed-central.com/1471-2466/14/ 184
Cazzola, Mario, Page CP, Calzetta L, Matera MG. 2012. Pharmacology and
Therapeutics of Bronchodilators. Pharmacological Review, Vol. 64, No.3.
Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Depkes RI. 2004. Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Jakarta : Badan Penelitian
dan pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
DiPiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG. 2016.
PHARMACOTHERAPY A Pathophysiologic Approach, Tenth Editition.
New York : The McGraw-Hill Companies.
Dipiro JT, Talbert RL, Yee, GC, Matzke GR, Wells BG & Posey LM. 2015.
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. 9th Ed. The McGraw-
Hill Companies, Inc. New York
Fatima, Tirta PW. 2011. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Penyakit Paru
Obstruksi Kronik Eksaserbasi Akut di RSUD Dr Sardjito Yogyakarta.
Karya Tulis Ilmiah. Kota: Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Gleadle, Jonathan. 2007. At a Glance : Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik.
Erlangga, Jakarta
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)., 2017, Global
strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic
obstructive pulmonary disease, American Journal of COPD.
GOLD. 2017. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, And Prevention
Grace, Pierce, Borley NR. 2006. At a Glance ILMU BEDAH, Edisi Ketiga. Jakarta
: Penerbit Erlangga
Guyton dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Alih Bahasa oleh
Irawati. Jakarta: EGC..
Hsieh, Meng J, Yang TM, Tsai YH. 2015. Nutritional supplementation in patient
with chronic obstructive pulmonary disease. Journal of the Formosan
Medical Association. diunduh di:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jfma.2015.10.008
Joseph T. DiPiro, Barbara G. Wells, Terry L. Schwinghammer, Cecily v. DiPiro.
2015. Pharmacotherapy Handbook. Ninth Edition. New York. Mc Graw
Hill Education, Medical.
Katzung, Bertram G, Susan B. Masters, Anthony JT. 2012. Farmakologi Dasar
dan Klinik, Edisi 12. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Katie A. Morgan, Rajni A. 2019. Ranitidine.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532989/#article-28232.s4
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Iinterpretasi Data
Klinik. Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta.
Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. EGC, Jakarta.
Maria TAL. Manajemen Non farmakoterapi Bagi Pasien PPOK
(Nonpharmacotherapy Management For Patient With Copd). Jurnal Ners
LENTERA, 2017, Vol. 5, No. 2.
Maulidi LM, Hasbi. 2018. Analisis Spektral Suara Pernapasan Abnormal Pada
Anak-Anak Penderita Pneumonia. Tugas Akhir. Tidak Diterbitkan.
Fakultas Teknologi Industri. Universitas Islam Indonesia : Yogyakarta.
McEvoy, G.K. 2005. American Hospital Formulary Service-
Drug Information 2005.American Society of HealthSystem Pharmacists, I
nc. (Plus Supplement)P : 3564
New Zealand Consumer Medicine Information. 2010. Guaifenesin, New Zealand.
https://www.medsafe.govt.nz/Consumers/cmi/CoughandCold/Guaifenesin
1.pdf
Putra TR, Suega K, Artana B.2013.Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit
Dalam. Denpasar: SMF Penyakit Dalam FK Unud.
Podder, Vivek , Nazia M.S. 2019. Lefofloxacin.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK545180/
Paul T., Anand D.L. 2019. Normal Sline.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK545210/.
Rawal, Gautam., Sankalp Y. (2015). Nutrition in chronic obstructive pulmonary
disease: a Review. Journal of Translational Internal-Medicine. diunduh di
DOI: 1Q.1515/jtim-2015-0021
Reilly J, Silverman EK, Shapiro SD.Chronic obstructive pulmonary disease. In:
Longo D, Fauci AS, Kasper D, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison's
principles of internal medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 2011.
pp. 2151–2159.
Ringel E. 2009. Pendekatan terhadap Pasien dengan Penyakit Paru. Jakarta: PT
Indeks
Ruiz J.,Carlos A., Stefan A., Keir A.L., Phillip A.T., C.P V.S., Peter H. dkk. 2015.
Statement on smoking cessation in COPD and other pulmonary diseases
and in smokers with comorbidities who find it difficult to quit. European
Respira-tory Journal. diunduh di DOI: 10.1183/ 09031936.00092614
Rusli. 2018. Bahan Ajar Farmasi Klinik. Jakarta : Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia
Sasank I., Adams N. 2020. Metoclopramide.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519517/#article-25088.s4
Setijaningsih, Triana, Fazira, Irda G., Sepdianto, Cahyo T. 2019. PERUBAHAN
SUARA NAPAS DAN FREKUENSI PERNAPASAN PADA KLIEN
YANG MENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK
(PPOK) DENGAN FISIOTERAPI DADA DI RSUD MARDI WALUYO
KOTA BLITAR. Balimedikajurnal. Vol 6 No 2, hal: 155-162
Siddiqui, Abdul H ; Siddiqui, Faraz. 2019. Curling Ulcer (Stress-induced
Gastric). https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482347/
Shapiro SD. The macrophage in chronic obstructive pulmonary disease. Am J
Respir Crit Care Med 1999;160:S29-32.
Sharma, Anita. 2010. COPD in Primary Care. Abington : Radcliffe Publishing
Sukandar, Elin Y., Retnosari A., Joseph I.S., Adnyana I.K, Setiadi A.A.P.,
Kusnandar. 2008. ISO Farmakoterapi Buku 1. Jakarta: PT. ISFI
Penerbitan
Thai, Tony, Patrick M.Z . 2019. Ciprofloxacin.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535454/
WHO. 2008. Second Meeting of the Subcommittee of the Expert Committee on the
Selection and Use of Essential Medicines
https://www.who.int/selection_medicines/committees/subcommittee/2/Cef
triaxone.pdf
Wilson, Robert, Sanjay S., Antonio A., Marc M. 2013. Antibiotics for Treatment
and Prevention of Exacerbations of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Journal of Infection: hal 1-19.
Yatun R.U., Widayati N., Purwandari R. Hubungan Nilai Aliran Puncak Ekspirasi
(APE) dengan Kualitas Tidur pada Pasien PPOK di Poli Spesialis Paru B
Rumah Sakit Paru Jember. E-Jurnal Pustaka Kesehatan, 2016, 4 (1): 86-
94.

Anda mungkin juga menyukai