Laporan PPOK - Kelompok B3 PDF
Laporan PPOK - Kelompok B3 PDF
Laporan PPOK - Kelompok B3 PDF
SEMESTER GENAP
1. DEFINISI
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai
oleh keterbatasan jalan napas progresif yang disebabkan oleh reaksi peradangan
abnormal. Tercakup di dalamnya penyakit seperti bronkitis kronis dan emfisema
yang sering terjadi dikarenakan merokok. Gejala yang dominan pada PPOK
adalah sesak napas yang seringkali dimulai saat aktivitas. Seringkali terdapat
batuk, yang mungkin produktif menghasilkan sputum dan mengi. Gejala umum
bersifat progresif dengan sesak napas yang semakin berat dan berkurangnya
toleransi olahraga. Terdapat eksaserbasi, seringkali berhubungan dengan infeksi,
di mana terdapat sesak napas yang semakin berat, batuk, mengi, dan produksi
sputum. Biasanya terjadi pada pasien berusia lebih dari 45 tahun. Bronkitis kronis
batuk disertau produksi sputum hampir setiap hari selama 3 bulan atau 2 tahun
berturut-turut. PPOK memiliki pravalensi lebih dari 2% (Gleadle, 2007).
2. EPIDEMIOLOGI
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan
global yang secara umum berkaitan dengan prevalensi merokok dimana
menunjukkan bahwa prevalensi PPOK yang tinggi terletak pada perokok aktif dan
mantan perokok yang berusia diatas 50 tahun. Jarang ditemukan sebelum usia 50
tahun dan menunjukkan pria menjajaki posisi yang lebih tinggi terkena resiko
PPOK dibandingkan wanita. Menyebabkan 40.000 kematian per tahun di Inggris.
Angka tersebut menjadi lebih tinggi di negara maju, perkotaan, kelompok
masyarakat menengah ke bawah, dan pada manula (Grace dan Borley, 2006).
Namun, data terakhir dari prevalensi menunjukkan terjadinya peningkatan
yang progressive pada wanita dewasa karena meningkatnya perokok wanita di
dunia barat. The British Lung Foundation membuat suatu survey 1200 wanita dan
menemukan bahwa hanya 1% dari mereka yang menganggap PPOK sebagai suatu
masalah kesehatan utama (Sharma, 2010).
Survey menunjukkan bahwa perempuan dua kali lebih mungkin
didiagnosis dengan PPOK dibandingkan dengan laki-laki. Di Amerika PPOK
merupakan penyebab utama kematian ketiga. Secara keseluruhan, angka kematian
enam kali lebih tinggi pada pria. Namun, tingkat kematian wanita dua kali lipat
meningkat selama 25 tahun terakhir dan jumlahnya melebihi kematian pria di
setiap tahunnya sejak tahun 2000. Tingkat kematian juga lebih tinggi pada orang
berkulit putih dibandingkan orang berkulit hitam (DiPiro et al., 2016).
Morbiditas yang terkait dengan penyakit ini juga memiliki dampak
signifikan pada pasien, keluarga, dan sistem perawatan kesehatan. Sebuah survey
oleh American Lung Association mengungkapkan bahwa di antara pasien PPOK,
51% melaporkan bahwa kondisi mereka membatasi kemampuannya untuk
bekerja, 70% mengalami keterbatsan dalam aktifitas fisik normal, 56% terbatas
dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, dan 50% melaporkan bahwa mereka
mengalami keadaan kurang nyaman pada saat tidur (DiPiro et al., 2016).
Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia meningkat seiring dengan
berkembangnya industri otomotif. Asap yang dihasilkan dari kendaraan bermotor
merupakan gas berbahaya dimana gas tersebut yang menyebabkan pencemaran
udara dengan tingkat 70% - 80%, sedangkan 20% - 30% nya merupakan
pencemaran udara yang bersumber dari asap industri (Depkes RI, 2004).
Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (RisKesDa) 2013 menunjukkan bahwa
prevalensi PPOK di Indonesia sebanyak 3,7%. Pada tahun 2015 saja, penduduk
berusia 15 tahun keatas yang mengkonsumsi rokok sebesar 22,57% di perkotaan
dan 25, 05% di pedesaan. Rata-rata jumlah batang rokok yang dihabiskan selama
seminggu mencapai 76 batang di perkotaan dan 80 batang di pedesaan. Hal ini
menunjukkan tingginya angka perokok di Indonesia yang merupakan faktor risiko
utama PPOK (Depkes RI, 2013).
3. ETIOLOGI
PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi
genetik dengan lingkungan. Adapun faktor penyebabnya yaitu merokok, polusi
udara, dan pemajanan di tempat kerja (terhadap batu bara, kapas, padi-padian)
merupakan faktor-faktor resiko penting yang menunjang terjadinya penyakit ini.
Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20- 30 tahunan. Penyakit ini juga
mengancam jiwa seseorang jika tidak segera ditangani (Smeltzer dan Bare, 2006).
Faktor risiko PPOK di seluruh dunia yang paling banyak ditemui adalah
merokok tembakau. Selain jenis tembakau, (misalnya pipa, cerutu, dan ganja) juga
merupakan faktor risiko PPOK. PPOK tidak hanya berisiko bagi perokok aktif
saja namun juga bisa berisiko bagi perokok pasif yang terkenan pajanan asap
rokok (GOLD, 2017).
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) menurut Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006) adalah kebiasaan merokok,
polusi udara, paparan debu,asap dan gas-gas kimiawi. Selain itu dapat disebabkan
oleh faktor usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi
paru-paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan. Infeksi sistem
pernafasan akut juga dapat menyebabkan PPOK seperti pneumonia, bronkitis, dan
asma. Kemudian, kurangnya alfa anti tripsin yaitu merupakan kekurangan suatu
enzim yang normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan. Orang
yang kekurangan enzim ini dapat terkena emfisema pada usia yang relatif muda,
walaupun orang tersebut tidak memiliki kebiasaan merokok.
4. PATOFISIOLOGI
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK
yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian
proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya
suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya
peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi
folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas
mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil
berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang
meningkat sesuai berat sakit (Anthonisen et al., 1994).
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam
keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi
kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan
kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru (Shapiro,
1999).
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan
menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan
sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya
faktor kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrienB4, tumuor
necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive
oxygen species (ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil
melepaskan protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga
timbul kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel
akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan
seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara
oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofag dan
neutrofil 9 akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion
super oksida dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida
(H2O2) yang toksik akan diubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion
feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah menjadi anion
hipohalida (HOCl) (Anthonisen et al, 1994).
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi
batuk kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan
fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan
struktur berupa destruksi alveol yang menuju ke arah emfisema karena produksi
radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit, polusi dan asap rokok (Reilly et al.,
2011).
5. TERAPI NON-FARMAKOLOGI
Pada pasien penderita PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) dapat
dilakukan terapi non-farmakologi. Pada kasus PPOK dengan dyspneu yang
berulang dapat dilakukan terapi non-farmakologi yaitu berupa strategi untuk
meminimalkan kecemasan, meningkatkan status nutrisi, memposisikan pasien
untuk meningkatkan ventilasi dengan posisi duduk atau condong ke depan,
dilakukan teknik konservasi energi dengan meminimalkan aktivitas harian,
tekhnik relaksasi dengan cara guided imagery dan progressive muscle relaxation,
breathing training dengan cara pursed lips breathing dan diaphragmatic
breathing, teknik konseling seperti terapi mindfullnes, pemberian udara dingin
yang mengalir dengan mempergunakan kipas angin, non-invasif ventilasi,
akupunktur atau akupresur, masase yang bermanfaat bagi relaksasi dan postur
pasien (Maria,2017).
Terapi non – farmakologi pada pasien PPOK dapat dianjurkan untuk
berhenti merokok. Merokok sangat mempengaruhi terhadap perkembangan
PPOK, karena merokok dapat mengganggu fungsi pulmoner. Perilaku merokok
selama memasuki masa usia remaja dapat menghambat fungsi ekspansi paru yang
normal dan FEV1. Perilaku merokok dengan bertambahnya usia mampu
mempengaruhi FEV1 pada usia dewasa (Jimenez-Ruiz et al, 2015). Dengan
anjuran pemberhentian merokok dapat mempengaruhi perlambatan perkembangan
PPOK.
Adapun salah satu terapi non – farmakologi yaitu Rehabilitasi Pulmoner.
Rehabilitasi pulmoner yang umumnya dilaksanakan pada kasus PPOK adalah
breathing control exercise dan respiratory muscle training. Rehabilitasi pulmoner
berbeda pada pendekatan terapeutik. Rehabilitasi pulmoner pada pasien dengan
PPOK mampu mengurangi penurunan kemampuan serta memperbaiki ketahanan
otot akibat disfungsi otot yang disebabkan oleh hiperinflasi paru pasien PPOK
(Borge, 2014).
Pada pasien PPOK biasanya terjadi malnutrisi yaitu penurunan berat badan
yang dapat menyebabkan perburukan fungsi paru, penurunan kapasitas latihan,
serta peningkatan resiko eksaserbasi (Hsieh et al., 2016). Maka terapi non –
farmakologi yang dilakukan adalah memberikan asupan nutrisi yang adekuat bagi
pasien PPOK diharapkan mampu meningkatkan berat badan dan kekuatan otot
serta kualitas hidup bagi pasien PPOK yang mengalami malnutrisi (Rawal &
Yadav, 2015).
6. TERAPI FARMAKOLOGI
Terapi farmakologis dilakukan untuk mengurangi gejala, keparahan dan
frekuensi eksaserbasi, meningkatkan status kesehatan (GOLD, 2017). Pendekatan
bertahap direkomendasikan untuk penggunaan farmakoterapi berdasarkan
keparahan penyakit, yang ditentukan oleh hasil spirometri, sifat gejala, dan tingkat
eksaserbasi. Karena sifat progresif COPD, farmakoterapi cenderung menjadi
kronis dan kumulatif dan pendekatan bertahap pada pasien yang stabil tidak
berhasil, bukti terbaru menunjukkan bahwa praktik ini memerlukan evaluasi lebih
lanjut (DiPiro et al., 2015)
1. Bronkodilator
Bronkodilator sering digunakan untuk PPOK, dapat meningkatkan FEV1.
Digunakan secara teratur untuk mencegah atau mengurangi gejala.
Namun, penggunaan short-acting bronkodilator secara teratur tidak
direkomendasikan (GOLD, 2017).
a) Beta2-agonis
Mekanisme kerja beta2-agonis adalah merelaksasi otot polos saluran
napas dengan cara menstimulai beta2-reseptor adrenergik, yang
meningkatkan CAMP dan menyebabkan bronkodilatasi. Beta2-
reseptor dibagi menjadi dua jenis yaitu short-acting (SABA) dan long-
acting (LABA) beta2-agonis. Contoh dari short-acting beta2-agonis
adalah salbutamol/albuterol. Sedangkan formoterol dan salmeterol
adalah LABA yang dapat meningkatkan FEV1 dan volume paru-paru,
dyspnea, status kesehatan, tetapi tidak memiliki efek pada kematian
atau laju penurunan fungsi paru-paru (GOLD, 2017).
b) Antimuskarinik
Untuk PPOK bekerja dengan cara memblok efek bronkokonstriksi
dari asetilkolin pada reseptor M3 muskarinik pada otot polos saluran
napas. Antimuskarinik dibedakan menjadi dua yaitu short-acting dan
long-acting. Contoh short-acting anti muskarinik adalah ipratropium
dan oksitropium. Sedangkan long-acting antimusikarinik seperti
tiotropium, aclidinium dan glikopronronium bromida. Kombinasi
bronkodilator dengan mekanisme kerja dan durasi aksi yang berbeda
dapat meningkatkan tingkat bronkodilatasi dengan risiko efek
samping yang lebih rendah dibandingkan peningkatan dosis satu jenis
bronkodilator. Short-acting beta2-agonis dikombinasikan dengan
short-acting anti muskarinik menimbulkan efek yang lebih baik dalam
meningkatkan FEV1 dan mengurangi gejala (GOLD, 2017).
Tn. D diberikan combivent yang mengandung albuterol dan
ipratropium yang dimaksudkan untuk mengurangi sesak yang dialami.
c) Metilxantin
Memberikan efek bronkodilatasi, dengan cara menginhibisi
fosfodiesterase yang dapat meningkatkan kadar CAMP, inhibisi
influks ion kalsium ke dalam otot polos, antagonis prostaglandin,
stimulasi katekolamin endogen, antagonis reseptor adenosin, dan
inhibisi pelepasan mediator dari sel mast dan leukosit. Contoh dari
metilxantin adalah teofilin dan aminofilin (Sukandar dkk, 2008). Tn. D
diberikan aminofilin sebagai bronkodilator. Aminofilin merupakan
garam etilenadiamin dari teofilin dengan kelarutan yang lebih tinggi
pada pH netral. Efek aminofilin akan meningkat bila digunakan
dengan bronkodilator nebulisasi dosis tinggi dan kortikosteroid oral
pada pasien dengan nonasidosis PPOK ekstraserbasi (Cazzola dkk,
2012).
Dengan ketersediaan LABA dan antikolinergik inhalasi, peran
terapi methylxanthine sangat terbatas. Terapi bronkodilator inhalasi
lebih disukai untuk COPD. Karena risiko untuk interaksi obat dan
variabilitas intrapatient dan interpatient yang signifikan dalam
persyaratan dosis, terapi theophilin umumnya dipertimbangkan untuk
pasien yang tidak toleran atau tidak dapat menggunakan bronkodilator
inhalasi (DiPiro et al., 2015)
2. Kortikosteroid
Mekanisme antiinflamasi memberikan efek menguntungkan pada pasien
PPOK. Diantaranya, mengurangi permeabilitas kapiler untuk mengurangi
mukus, menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit dan
menghambat prostaglandin. Penggunaan kortikosteroid pada pasien
PPOK meliputi penggunaan short-term sistemik untuk eksaserbasi akut
dan terapi inhalasi yang digunakan untuk PPOK kronik stabil.
Kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi gejala, memperbaiki fungsi
paru, dan kualitas hidup pasien PPOK. Contoh obat yang dapat digunakan
antara lain, beclomethason, budesonida, flunisonida, fluticason,
mometason dan triamsinolon (DiPiro et al., 2015). Pada kasus PPOK ini,
Tn. D diberikan budesonid secara inhalasi oral.
Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan LABA lebih efektif
daripada salah satu antara kortikosteroid dan bronkodilator dalam
peningkatan fungsi paru dan mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan
PPOK sedang sampai sangat berat. Pengobatan jangka panjang dengan
kortikosteroid oral tidak direkomendasikan (GOLD, 2017).
Untuk pasien dengan lebih banyak gejala dan risiko eksaserbasi
yang tinggi (kategori D), terapi tiga jenis (LABA-LAMA-IC) dapat
dipertimbangkan sebagai pilihan pertama atau kedua. Regimen tiga obat
meningkatkan fungsi paru-paru, kualitas hidup, dan mengurangi rawat
inap dibandingkan dengan tiotropium saja, sedangkan terapi dua obat
tidak menawarkan manfaat dalam peningkatan fungsi paru-paru atau
tingkat rawat inap dibandingkan dengan agen tunggal (DiPiro et al.,
2015)
Phosphodiesterase-4 inhibitor, roflumilast ini mengurangi
eksaserbasi pada pasien yang di terapi dengan kortikosteroid oral dengan
riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronis (GOLD, 2017).
3. Antibiotik
Penggunaan antibiotik pada pasien PPOK diberikan apabila terdapat hal
yang mengindikasi terjadinya infeksi, terutama pada pasien PPOK
komplikasi. Pasien PPOK komplikasi dapat diberikan antibiotik
amoksisilin atau klavulanat dan fluorokuinolon yang memiliki spektrum
luas terhadap kemungkinan patogen. Penggunaan antibiotik dapat
mengurangi eksaserbasi sederhana yang dialami pasien. Pada kasus Tn. D
diberikan 2 jenis antibiotik yaitu ceftriaxone dan ciprofloxacine yang
mana keduanya merupakan antibiotik golongan sefalosporin yang
memiliki spektrum luas. Pemberian 2 antibiotik ini bertujuan untuk
mengurangi eksaserbasi sederhana sekaligus mencegah terjadinya
resistensi bakteri (Wilson dkk, 2013).
4. Mukolitik
Mukolitik dan agen antioksidan pada pasien PPOK yang tidak menerima
kortikosteroid inhalasi, pada perawatan rutin dapat mengurangi
eksaserbasi dan dapat memperbaiki status kesehatan. Contohnya adalah
carbosysteine dan N-asetilsistein (GOLD, 2017). Mukolitik membantu
mengeluarkan sputum dengan cara menghancurkan benang-benang
mukoprotein dan mukopolisakarida pada dahak. Obat mukolitik yang
digunakan Tn. D yaitu N-asetil sistein, sebagai terapi tambahan untuk
membantu sekresi sputum karena Tn. D mengalami batuk berdahak.
5. Ekspektoran
Ekspektoran adalah obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak.
Mekanisme kerja ekspektoran yaitu menstimulasi mukosa lambung dan
secara refleks merangsang sekresi kelenjar saluran pernapasan lewat
nervus vagus, sehingga menurunkan viskositas dahak sehingga mudah
dikeluarkan. Contoh obat yang termasuk ekspektoran adalah ammonium
klorida dan gliseril guaiakolat. Tn. D mengalami batuk berdahak,
sehingga diberikan gliseril guaiakolat untuk membantu memudahkan
pengeluaran dahak.
6. Ranitidin
Ranitidin merupakan obat antihistamin golongan Antagonis H2 yang
bekerja mengurangi sekresi asam yang dirangsang oleh histamin, gastrin
atau bahan kolinomimetik melalui dua mekanisme. Pertama, histamin
yang dibebaskan dari sel ECL oleh gastrin atau rangsangan vagus
dihambat untuk mengikat reseptor H2 di sel parietal. Kedua, blokade
reseptor H2 menyebabkan efek stimulasi langsung sel parietal oleh gastrin
atau asetilkolin pada sekresi asam berkurang (Katzung dkk, 2012).
Pemberian ranitidin pada Tn. D dimaksudkan untuk mencegah
peningkatan asam lambung yang diakibatkan stress dari pasien.
Gambar 1.1 Rekomendasi Terapi Farmakologi untuk PPOK Stabil (DiPiro et al.,
2015).
7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI
Keluhan Utama :
Sesak sejak subuh, batuk berdahak, dan demam
Diagnosis :
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Riwayat Penyakit :
Sesak napas dan PKJ-IMA (infark myocard akut)
Riwayat Pengobatan :
Obat paru
Aminofilin 1-0-0
Salbutamol 2x1
Gliseril guaiakolat 2x1
Spiriva® (kandungan ipratropium) 1-0-0
Bricasma® (terbutalin sulfat) 1-0-0
Pulmicort® (kandungan budesonide) 1-0-0
Alergi : -
Kepatuhan Obat Tradisional -
Merokok - OTC -
Alkohol - Lain-lain -
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN
No. DMK : 00-00-72-xx Keluhan Utama : Sesak napas sejak subuh, batuk berdahak, Alergi : -
MRS / KRS : 18 Mei 2018 / 27 Mei 2018 dan panas Merokok / Alkohol : - / -
Inisial Pasien : Tn. D Diagnosis : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Obat Tradisional : -
Umur / BB / TB : 66 tahun Riwayat Penyakit : Sesak napas OTC : -
Alamat : Malang Riwayat Pengobatan : Obat paru
Asuransi : BPJS Kepatuhan : Tidak diketahui
PROFIL PENGOBATAN PADA SAAT MRS
Tanggal (Mei)
Obat Rute Dosis Frekuensi
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Normal salin iv infus life line - √ //
Ceftriaxone iv bolus 1g 2 dd 1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Levofloxacine iv infus 750 mg 1 dd 1 √ √ //
Ciprofloxacine iv infus 400 mg 2 dd 1 √ √ √ √ //
Gliseril guaiakolat Po 200 mg 3 dd 1 √ √ // √ √ √ √ √ √
Combivent® Inhaler oral 10 mL 3 dd 1 √ √ // √ √ √ √ √ √
Budesonide Inhaler oral 200 mcg 3 dd 1 √ √ √ √ √ √
N-asetil sistein Po 200 mg 3 dd 1 √ √ √ √ √ √ √ √ √
Aminofilin Pump 25 mg/mnt - √ // √ //
Ranitidin iv bolus 50 mg 2 dd 1 √ √ √ √ √ √ √ // √ //
Metoklopramid iv bolus 10 mg 2 dd 1 √ √ √ √
DATA KLINIK
Tanggal (Mei)
Data Klinik Nilai Normal
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
KU Lem
ah
Suhu 36,4 36,4 36,2 37,4 36,8 36,4 36,4 36,2 36,4
TD 110/ 140/ 150/ 120/ 130/ 130/ 140/ 130/ 130/ 130/
60 80 90 90 80 80 90 80 80 70
Nadi 80 104 104 108 96 88 82 84 88
Rh ±׀± ±׀± +׀+ -׀- -׀- +׀+
Wh ±׀± -׀- +׀+ -׀- -׀± +׀+
Sesak + + +
Batuk berdahak + + + + + + +
DATA LABORATORIUM
Tanggal (Mei)
Data Laboratorium Nilai Normal
18 19 21 22
Leukosit 4-10 x 103/µL 13,3 9,4
Hemoglobin 11,5-16,0 g/dL 13,1
Hematokrit 35-45% 39,2
Eritrosit 4,3-6,0 x 106/µL 4,75
Platelet 150-400 x 103/µL 157
GDA ≤ 200 mg/dL 125
GDP 76-110 mg/dL 107
GD2PP 80-125 mg/dL 110
pH 7,35-7,45 7,38
pCO2 35-45 mmHg 34,7
pO2 80-107 mmHg 225
HCO3- 21-25 mmol/L 20,5
BE -3,5 s.d +2,0 mmol/L -4,1
SGOT 0-35 U/I 25
SGPT 0-37 U/I 12
Hasil Tes Spirometri (195/2018):
FEV1 = 54%
FEV1/FVC = 66%
8. PEMBAHASAN KASUS
8.1. SUBJEKTIF
No DATA KLINIK Tanggal
. 18/05/1
19/05/18 20/05/18 21/05/18 22/05/18 23/05/18 24/05/18 25/05/18 26/05/18 27/05/18
8
1. Sesak nafas + - - - + - - + - -
2. Batuk berdahak + + + + + - - + + -
3. Keadaan lemah + - - - - - - - - -
4. Nama Tn. D
5. Umur 66 tahun
6. Riwayat penyakit Sesak nafas dan PJK-IMA
7. Riwayat obat Obat paru
Aminofilin 1-0-0
Salbutamol 2x1
Gliseril guaiakolat 2x1
Spiriva® (kandungan ipratropium) 1-0-0
Bricasma® (terbutalin sulfat) 1-0-0
Pulmicort® (kandungan budesonide) 1-0-0
Komentar dan alasan:
1. Sesak nafas :
Pasien yang mengalami eksaserbasi PPOK mungkin mengalami dyspnea (sesak nafas) yang memburuk, meningkatkan volume dahak, atau
peningkatan purulensi dahak. Fitur lain dari eksaserbasi termasuk sesak nafas (DiPiro et al., 2015)
Sesak nafas merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap dan
mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas residual fungsional yang terlihat
sebagai sesak napas. Sesak nafas yang terjadi pada pasien dengan penyakit PPOK merupakan gejala eksaserbasi. Eksaserbasi merupakan
Eksaserbasi merupakan peningkatan lebih lanjut respons inflamasi dalam saluran napas pasien PPOK. Keadaan ini dapat dipicu oleh
infeksi bakteri atau virus atau polusi lingkungan. Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan eksaserbasi PPOK masih banyak yang belum
diketahui. Pada eksaserbasi ringan dan sedang terdapat peningkatan netrofil, beberapa studi lainnya juga menemukan eosinofil dalam
sputum dan dinding saluran napas. Hal ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi mediator tertentu, termasuk TNF-α, LTB4 dan IL-8,
serta peningkatan biomarker stress oksidatif. Pada eksaserbasi berat masih banyak hal yang belum jelas, meskipun salah satu penelitian
menunjukkan peningkatan neutrofil pada dinding saluran napas dan peningkatan ekspresi kemokin. Selama eksaserbasi terlihat
peningkatan hiperinflasi dan terperangkapnya udara, dengan pengurangan aliran ekspirasi, sehingga terjadi peningkatan sesak napas.
Terjadi juga perburukan yang mengakibatkan hipoksemia berat. Eksaserbasi ini adalah kejadian kompleks dengan peningkatan inflamasi
saluran pernafasan, peningkatan produksi mucus, dan terperangkapnya udara dalam saluran pernafasan sehingga menyebabkan sesak nafas
(Putra dkk, 2013)
2. Keadaan Lemah :
Keadaan lemah terjadi karena fungsi tubuh yang melambat akibat kurangnya pasokan oksigen yang cukup bagi darah dan otot ketika
mengalami kesulitan bernapas. Selain itu, kelelahan dapat terjadi karena paru-paru yang bekerja lebih keras untuk memasok oksigen dan
membuang karbondioksida. Akibatnya, pasien akan kehabisan energi (Ringel, 2009).
3. Batuk Berdahak :
Penyebab umum batuk berdahak adalah infeksi oleh virus atau bakteri. Ketika saluran pernapasan terinfeksi, misalnya saat sedang flu,
tubuh akan memproduksi lebih banyak lendir. Fungsinya adalah untuk menjebak dan mengeluarkan organisme penyebab infeksi. Batuk
bertujuan untuk mengeluarkan lendir tersebut sebagai reaksi tubuh terhadap benda asing yang masuk ke dalam sistem pernapasan. Saat
debu, polusi, atau alergen (zat pemicu alergi) memasuki sistem pernapasan, otak akan mengirim sinyal melalui saraf tulang belakang ke
otot-otot di dada dan perut. Ketika otot-otot tersebut berkontraksi, udara menyembur melalui sistem pernapasan untuk mendorong keluar
benda asing. Hal inilah yang dinamakan batuk. Pada batuk berdahak, batuk juga bertujuan mendorong lendir dari sistem pernapasan agar
dapat bernapas lebih mudah. Dahak pada batuk menunjukkan adanya infeksi dan peradangan saluran pernapasan (Guytron dan Hall, 1997).
8.2. OBJEKTIF
No DATA KLINIK Tanggal
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
1. Leukosit (4-10 x
13,3 9,4
103/µL)
2. Hemoglobin
13,1
(11,5-16,0 g/dL)
3. Hematokrit ( 35-
39,2
45%)
4. Eritrosit (4,3-6,0
4,75
x 106/µL)
5. Platelet (150-400
157
x 103/µL)
6. GDA (≤ 200
125
mg/dL)
7. GDP (76-110
107
mg/dL)
8. GD2PP (80-125
110
mg/dL)
9. pH (7,35-7,45) 7,38
10. pCO2 (35-45
34,7
mmHg)
11. pO2 (80-107
225
mmHg)
-
12. HCO3 (21-25
20,5
mmol/L)
13. BE (-3,5 s.d +2,0
-4,1
mmol/L)
14. SGOT (0-35 U/I) 25
15. SGPT (0-37 U/I) 12
16. Suhu (37°C ±
36,4 36,4 36,2 37,4 36,8 36,4 36,4 36,2 36,4
0,5°C)
17. Tekanan Darah 110/ 140/ 150/ 120/ 130/ 130/ 140/ 130/ 130/ 130/
(120/80 mmHg) 60 80 90 90 80 80 90 80 80 70
18. Nadi (50-90 x /
80 104 104 108 96 88 82 84 88
menit)
19. Wheezing ±׀± ±׀± +׀+ -׀- -׀- +׀+
20. Rhonchi ±׀± -׀- +׀+ -׀- -׀± +׀+
21. Hasil Tes
FEV1 = 54%
Spirometri
FEV1/FVC = 66%
(19/5/2018) :
Komentar dan - Berdasarkan pemeriksaan lab terhadap kadar leukosit pasien pada tanggal 18, hasil tersebut
alasan: bernilai di atas batas normal (4-10 x 103/µL), yaitu 13,3 x 103/µL, hal ini menandakan adanya
infeksi berupa bakteri sehingga leukosit yang bertindak sebagai antibodi tubuh akan meningkat.
Hal ini juga dapat mengindikasikan bahwa kekambuhan PPOK pada pasien disebabkan karena
infeksi bakteri, namun belum dapat dipastikan apabila pasien belum memenuhi minimal 2 tanda
SIRS, sehingga perlu ditinjiau hasil lab lainnya. Namun, tetap diperlukan pemberian antibiotik
sebagai terapi pengobatan.
- Suhu pasien tinggi (demam) pada tanggal 18, yaitu sebesar 36,40C serta mengalami kenaikan pada
tanggal 21 menjadi sebesar 37,40C, hal ini menandakan respon tubuh terhadap adanya infeksi.
Pasien sudah dapat dikatakan SIRS, dikarenakan sudah memenuhi minimal 2 syarat SIRS.
- Tekanan darah pasien dari hari ke hari pemeriksaan mengalami kenaikan di atas batas normal
(120/80 mmHg) hal ini merupakan akibat dari adanya PPOK. Karena terjadinya penurunan fungsi
paru-paru terhadap pengikatan O2.
- Pasien juga mengalami wheezing dan rhonchi berdasarkan hasil pemeriksaan. Kedua suara
pernafasan tersebut muncul pada pemeriksaan pada tanggal 18,19,22,24,25, dan 27. Dimana kedua
peristiwa terjadi secara tidak teratur dan bersamaan, terkadang muncul wheeze namun tidak
rhonchi. Adanya suara pernafasan berupa wheeze dan rhonchi tersebut menandakan adanya
penyempitan saluran nafas dan penumpukan sekret/dahak di saluran nafas, karena penyebab
munculnya wheeze dan rhonchi yang berbeda. Wheeze disebabkan oleh adanya hambatan di
saluran nafas yang dapat disebabkan oleh sekresi, luka, maupun penyempitan jalan nafas,
sedangkan rhonchi bersifat kontinu, dan hampir sama dengan wheeze, hanya saja saluran nafas
lebih besar. (Maulidin,2018)
- Berdasarkan hasil tes spirometer dapat diketahui bahwa pasien mengalami PPOK moderate.
Karena nilai FEV1/FVC terdapat pada antara 50 %≤ FEV1<80, yaitu 54% dan 66%.
- pCO2 merupakan tekanan yang dihasilkan oleh CO2 yang terlarut dalam plasma, digunakan untuk
menentukan efektifitas ventilasi alveolar dan keadaan asam-basa dalam darah. Berdasarkan
literatur yang ada, penurunan nilai pCO2 dapat terjadi pada hipoksia, ansietas, dan emboli paru.
Nilai kurang dari 20 mmHg perlu mendapat perhatian khusus (Kemenkes, 2011). Pasien
mengalami metabolik asidosis terkompensasi yang mana pCO2 = alkalosis, HCO3-= asidosis, pH
normal. Namun hasil data klinik lab pCO2 pada pasien ini tidak terlalu signifikan dari batas
normal.
- Nilai pO2 menunjukkan kemampuan paru-paru dalam menyediakan oksigen bagi darah.
Peningkatan nilai pO2 dapat terjadi pada peningkatan penghantaran O2 oleh alat bantu,
hiperventilasi (bernafas cepat), dan polisitemia (peningkatan sel darah merah dan daya angkut
oksigen) (Kemenkes, 2011). Tekanan parsial oksigen pasien bernilai di atas batas normal (80-107
mmHg) yaitu sebesar 225 mmHg, hal tersebut berarti pasien memiliki pola pernafasan yang cepat.
PPOK tahap lanjut mengalami obstruksi jalan napas perifer yang mengurangi kapasitas paru untuk
pertukaran gas sehingga menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Mekanisme kompensasi tubuh
terkait adanya kondisi tersebut adalah terjadinya hiperventilasi, yaitu yang menimbulkan
hiperinflasi, mengurangi kapasitas inspirasi, dan menyebabkan sesak napas (Yatun, dkk, 2016).
8.3. ASSESSMENT
8.3.1 FORM PROFIL PENGOBATAN
OBAT Pemantauan
Komentar dan Alasan
Kefarmasian
Indikasi Terapi (mekanisme kerja, alasan
No Jenis Obat Rute Dosis (METO dan
pada Pasien pemilihan terapi)
MESO)
1. Normal salin iv infus life line Tubuh pasien lemah METO: Mekanisme kerja :
Pasien menjadi Normal saline adalah termasuk
bugar cairan kristaloid yang memiliki
elektrolit (Na dan Cl) dan
MESO : molekul hidrofilik dan juga
Dapat terjadi merupakan cairan isotonis
kelebihan cairan (natrium klorida, kalsium klorida,
dan edema natrium laktat) dimana
osmolaritasnya mendekati serum
sehingga cairan elektrolit tubuh
yang kurang dapat terpenuhi
Alasan :
Kekurangan cairan tubuh yang
dapat menyebabkan kelemahan
otot (lemas) karena otot
membutuhkan kalsium, natrium,
dan potassium.
2. Ceftriaxone iv bolus 1g Pasien mengalami METO : Mekanisme kerja `:
infeksi saluran Demam turun Ceftriaxone generasi ke tiga yang
pernapasan bawah dengan cepat dan dapat mengikat lebih dari satu
dan leukositosis leukosit menurun penicillin-binding proteins (PBP)
(kembali normal) sehingga dapat menghambat
Denyut nadi turun transpeptidasi dari sintesis
peptidoglikan pada dinding sel
MESO : bakteri. Dengan penghambatan
1. Eosinophilia tersebut, maka mencegah
2. Trombositosis biosintesis dan pembentukan
dinding sel sehingga
mengakibatkan matinya sel
bakteri.
Alasan :
Antibiotik dengan spektum luas
sehingga dapat membunuh gram
positif ataupun negatif karena
belum diketahui bakteri apa yang
menginfeksi.
3. Levofloxacine iv infus 750 mg Terapi infeksi saluran MESO: Mekanisme Kerja:
pernafasan 1. Mual,Muntah Gol Fluorokuinolon
2. Sakit Menghentikan sintesis DNA
kepala,pusing bakteri dengan menghambat DNA
3. Diare girase, sehingga mencegah
relaksasi DNA superkoil yang
METO: dibutuhkan untuk transkripsi dan
Infeksi sembuh duplikasi
dapat dipantau dari Alasan:
produksi sputum, Memiliki aktivitas antibakteri
sesak nafas spektrum luas hingga mencapai
kadar bakteridal dalam darah dan
jaringan
Masalah aktual & Pasien mengalami batuk berdahak namun Klinisi: disarankan untuk diberikan obat
potensial terkait belum diberikan obat pengeluar dahak. golongan mukolitik dan/atau ekspektoran.
obat
Pemilihan obat
Penghentian obat Obat ceftriaxone dihentikan, karena Klinisi: disarankan untuk menggunakan
Pemilihan Obat antibiotik cephalosporine seperti antibiotik golongan fluoroquinolon karena
ceftriaxone tidak sesuai untuk eksaserbasi sesuai untuk eksaserbasi kompleks.
kompleks.
2. 19/05/18 Penghentian obat Pemberian normal saline yang berlebihan Klinisi: disarankan untuk dilakukan
pada pasien dengan edema dapat pemberhentian pemberian normal saline pada
memperburuk edema. pasien sesaat kondisi pasien sudah normal.
Interaksi Obat Combivent yang mangandung albuterol Klinisi: disarankan untuk penghentian terapi
dapat berinteraksi dengan levofloxacin atau pemberian combivent bila perlu.
dan dapat meningkatkan resiko aritmia, Perawat: memonitor kondisi pasien terkait ES
sedangkan pasien mempunyai riwayat seperti pusing, pingsan, palpitasi, aritmia,
PJK. Selain itu, penggunaan keduanya shortness of breath, dan syncope.
bersama-sama yang memperpanjang Pasien: disarankan untuk memberitahu perawat
interval QT dapat menimbulkan efek apabila terjadi gejala pusing, pingsan,
aditif dan meningkatkan resiko aritmia palpitasi, aritmia, shortness of breath.
ventrikular.
Efek samping obat Combivent yang terdiri dari teofilin dan Perawat: memantau kadar kalium dan tekanan
albuterol dapat meningkatkan efek darah.
samping kardiovaskuler seperti palpitasi Klinisi: disarankan untuk diberhentikan atau
jantung, tekanan darah naik, diberikan bila perlu.
meningkatkan denyut jantung, dan
meningkatkan resiko hipokalemia,
sedangkan pasien mempunyai riwayat
PJK.
Pemantauan efek Pasien mengalami batuk berdahak dan Perawat: memonitor kondisi pasien terkait
terapi obat diberikan gliseril guaiakolat sebagai produksi sputum dan frekuansi batuk.
ekspektoran.
3. 20/05/18 Penghentian obat Pemberian levofloxacin dan ceftriaxone Klinisi: pemberhentian obat levofloxacine
Pemilihan obat mempunyai efek yang sama yaitu pada kurang tepat karena antibiotic golongan
bakteri gram positif dan gram negatif fluoroquinnnolo lebih cocok untuk pasien
yang dapat menimbulkan resistensi. PPOK dengan eksaserbasi kompleks.
Disarankan untuk menghentikan terapi dari
ceftriaxone dan melanjutkan terapi dengan
levofloxacin.
4. 21/05/18 Penghentian obat Gliseril guaiakolat sudah diberhentikan, Klinisi: disarankan untuk meninjau kembali
sedangkan pasien masih mengalami batuk pemberhentian obat dan memberi terapi
berdahak. ekpektoran/mukolitik kepada pasien.
Efek samping obat KSR mempunyai efek samping Perawat: memonitor kadar kalium dan fungsi
hiperkalemia, mual, muntah, nyeri perut, ginjal secara ketat dan rutin.
dan diare. Pasien: disarankan memberitahu perawat
apabila muncul gejala hiperkalemia seperti
lemah, bingung, lesu, dan aritmia.
5. 22/05/18 Interaksi obat Ciprofloxacin meningkatkan kadar Klinisi: disarankan untuk meresepkan obat
aminofilin dalam darah. Hal ini dapat golongan fluoroquinolon seperti levofloxacin.
menyebabkan resiko serius dan Jika meresepkan dibutuhkan penyesuaian dosis
menimbulkan efek samping yang (dosis aminofilin dikurangi) dan monitoring
mengancam nyawa pasien. rutin untuk medikasi.
Pasien: disarankan memberitahu perawat
Penggunaan combivent bersama dengan apabila muncul gejala kelebihan aminofilin
aminofilin dapat meningkatkan resiko seperti mual, muntah, diare, nafsu makan
hipokalemia dan efek samping hilang, sakit kepala, tremor, kebingungan,
kardiovaskuler seperti palpitasi, insomnia, dan aritmia.
takikardia, dan tekanan darah tinggi. Perawat: memonitor kadar aminofilin dan
gejala kelebihan aminofilin seperti mual,
Penggunaan aminofilin dan budesonide muntah, diare, nafsu makan hilang, sakit
dapat meningkatkan resiko hipokalemia kepala, tremor, kebingungan, insomnia, dan
dan meningkatkan/menurunkan aritmia.
konsentrasi aminofilin Perawat: memonitor kadar serum kalium,
tekanan darah, dan denyut jantung selama
Ciprofloxacin dapat meningkatkan pemberian obat.
bioavailabilitas sistemik budesonide. Pasien: disarankan untuk memberitahu perawat
jika mengalami gangguan pernapasan atau
gejala hipokalemia seperti lelah, lemah,
myalgia, kram, nyeri perut, konstipasi,
palpitasi, dan aritmia.
Perawat: memonitor kadar aminofilin dan
serum kalium secara rutin.
Pasien: disarankan untuk memberitahu perawat
apabila mengalami gejala hipokalemia (lemah,
kram otot), gangguan pernapasan, atau gejala
toksisitas aminofilin (mual, muuntah, diare,
sakit kepala, insomnia, dan aritmia).
Klinisi: disarankan untuk meresepkan
budesonide dengan dosis terapi terendah.
Perawat: memonitor kondisi pasien terkait
gejala hiperkortisism seperti jerawat, moon
face, edema, nafsu makan meningkat,
hipertensi, dan depresi.
Pasien: disarankan untuk memberitahu perawat
apabila muncul gejala hiperkortisism seperti
jerawat, moon face, edema, nafsu makan
meningkat, hipertensi, dan depresi.
6. 23/05/18 Penghentian obat Penggunaan aminofilin bersama Klinisi: penghentian pemberian aminofilin
Efek samping obat budesonide dan combivent dapat sudah tepat karena dapat menurunkan kadar
Interaksi obat meningkatkan resiko hipokalemia. kalium.
Masalah obat Pemberian KSR dapat menyebabkan Klinisi: pengurangan dosis terapi KSR sudah
jangka panjang hiperkalemia dan efek samping lainnya tepat.
Efek samping obat yaitu mual, muntah, nyeri perut, dan Perawat: memonitor kadar kalium dan fungsi
diare. ginjal secara ketat dan rutin.
Pasien: disarankan memberitahu perawat
apabila muncul gejala hiperkalemia seperti
lemah, bingung, lesu, dan aritmia.
7. 24/05/18 Interaksi Obat Penggunaan aminofilin dan budesonide Klinisi: disarankan untuk meresepkan obat
Efek samping obat dapat meningkatkan resiko hipokalemia golongan fluoroquinolon seperti levofloxacin.
dan meningkatkan/menurunkan Jika meresepkan dibutuhkan penyesuaian dosis
konsentrasi aminofilin (dosis aminofilin dikurangi) dan monitoring
rutin untuk medikasi.
Ciprofloxacin dapat meningkatkan Pasien: disarankan memberitahu perawat
bioavailabilitas sistemik budesonide. apabila muncul gejala kelebihan aminofilin
seperti mual, muntah, diare, nafsu makan
Penggunaan metoklopramid yang hilang, sakit kepala, tremor, kebingungan,
berlebihan dapat mengakibatkan tardive insomnia, dan aritmia.
dyskinesia dan bisa mempengaruhi Perawat: memonitor kadar aminofilin dan
interval QT pada pasien gagal jantung gejala kelebihan aminofilin seperti mual,
muntah, diare, nafsu makan hilang, sakit
kepala, tremor, kebingungan, insomnia, dan
aritmia.
Perawat: memonitor kadar serum kalium,
tekanan darah, dan denyut jantung selama
pemberian obat.
Pasien: disarankan untuk memberitahu perawat
jika mengalami gangguan pernapasan atau
gejala hipokalemia seperti lelah, lemah,
myalgia, kram, nyeri perut, konstipasi,
palpitasi, dan aritmia.
Perawat: memonitor kondisi pasien terkait ES
seperti pusing, pingsan, palpitasi, aritmia,
shortness of breath, dan syncope.
8.4. PLAN
8.4.1 MONITORING
NO. PARAMETER TUJUAN MONITORING
1. Sesak nafas Mencegah gejala PPOK semakin parah
2. Batuk berdahak Mengetahui keefektifan obat ekspektoran dan mukolitik
3. Suhu tubuh Memonitor kemungkinan demam atau infeksi kembali
4. Tekanan darah Mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut
5. Mual dan muntah Memonitor efek samping yang mungkin ditimbulkan dari obat yang diresepkan
4. Dokter Obat yang diberikan dapat Berdiskusi mengenai terapi farmakologi yang diberikan
dikombinasikan atau diganti antar satu
sama lain
Obat yang diberikan beberapa kurang
tepat penggunaannya
8.5 KASUS DAN SOAL TAMBAHAN
1. Wheezing dan ronkhi
Gejala pada pasien pengidap PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) adalah sesak napas/dipsnea, batuk
berdahak, sianosis (kulit dan selaput bibir berwarna kebiruan), wheezing, mudah terjangkit infeksi paru, dan
merasa lemah . Produksi sputum yang berlebih mengakibatkan proses pembersihan silia tidak berjalan
dengan lancar sehingga dahak menumpuk dan menyebabkan ketidakefektifan bersihan jalan napas. Jika hal
tersebut tidak segera diatasi maka pada tahap selanjutnya pasien akan mengalami penyempitan jalan napas
dan menyebabkan obstruksi atau sumbatan jalan napas yang salah satunya menimbulkan munculnya suara
napas tambahan yang dibedakan menjadi :
1. Stridor yaitu suara yang terdengar kontinue (tidak terputus-putus), bernada tinggi yang terjadi baik pada
saat inspirasi maupun pada saat ekspirasi
2. Ronkhi kering / krekels yaitu terdengar diskontinue (terputus-putus), ditimbulkan karena adanya cairan
di dalam saluran napas
3. Ronkhi basah yaitu suara yang terdengar kontinue. Ronkhi adalah suara napas tambahan bernada rendah
sehingga bersifat sonor
4. Bising gesek pleura (pleural friction rubs) dihasilkan oleh bunyi gesekan permukaan antara pleura
perietalis dan pleura viseralis, dan
5. Mengi (wheezing) adalah bunyi berirama kontinue yang durasinya lebih lama dibanding krekels. Bunyi
ini dapat terdengar selama inspirasi, ekspirasi, atau pada keduanya (Setijaningsih dkk, 2019).
2. Stress ulcer (Stres Ulkus)
Stres ulkus adalah gastritis yang diinduksi stres atau gastropati di mana penghalang mukosa
lambung dan kadang-kadang esofagus atau duodenum terganggu akibat penyakit akut parah. Ini dapat
hadir dalam bentuk gastritis erosif mulai dari lesi superfisial asimptomatik, dan okultisme gastrointestinal
(GI) berdarah hingga jelas perdarahan GI signifikan secara klinis. Stres ulkus sekunder akibat luka bakar
sistemik dikenal sebagai ulkus keriting, ulkus stres pada pasien dengan cedera otak traumatis akut dikenal
sebagai ulkus Cushing. Tubuh lambung dan fundus adalah lokasi umum untuk ulserasi stres tetapi juga
dapat dilihat pada antrum (bagian terbawah lambung) dan duodenum. Gejala yang paling umum dari ulkus
stres adalah timbulnya perdarahan GI akut atas seperti hematemesis atau melena pada pasien dengan
penyakit kritis akut. Beberapa pasien mungkin tidak memiliki ketidakstabilan hemodinamik dengan
adanya perdarahan, dan sebagian besar dari pasien ini memiliki penurunan konsentrasi hemoglobin yang
memerlukan transfusi darah (Siddiqui dan Siddiqui. 2019).
DAFTAR PUSTAKA