Presbiastasis Yohanes
Presbiastasis Yohanes
Presbiastasis Yohanes
PENATALAKSANAAN PRESBIASTASIS
PENDAHULUAN
Presbiastasis adalah gejala dizziness dan ketidakseimbangan yang
disebabkan oleh proses penuaan pada sistem sensorik, sistem saraf pusat, dan
sistem motorik. Presbiastasis merupakan terminologi medis untuk disekuilibrium
pada usia tua yang penyebab spesifiknya tidak diketahui. Presbiastasis
menurunkan kemampuan berjalan, mengemudi dan melakukan aktifitas sehari-
hari sehingga berakibat pada terbatasnya mobilitas dan rendahnya kualitas hidup
pada usia lanjut.1
World Health Organization (WHO) menggolongkan usia lanjut menjadi
lanjut usia 60-74 tahun, lanjut usia tua 75-90 tahun dan usia sangat tua diatas 90
tahun.2 Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan terjadi peningkatan Umur
Harapan Hidup (UHH), tahun 2010 menjadi 69,43 tahun (persentase populasi
lanjut usia 7,56%) dan tahun 2011 menjadi 69,65 tahun (persentase populasi
lanjut usia 7,58%).3 Sekitar 50% individu pada usia pertengahan sampai 60 tahun
mengalami masalah keseimbangan. Studi lain menunjukkan 50% pasien di klinik
geriatrik mengalami dizziness, tetapi hasil wawancara menunjukan lebih dari 90%
memiliki gejala berupa masalah postural dan merasakan sensasi berputar.4
Penemuan klinis dari 740 pasien di House Ear Institute menunjukkan keluhan
dizziness dan 80% diantaranya tidak memiliki diagnosis vesibular yang spesifik
sehingga diklasifikasikan sebagai presbiastasis.5
Strategi penatalaksanaan presbiastasis harus sesuai keperluan tiap individu
yang bertujuan memperbaiki kemampuan fungsional untuk meningkatkan kualitas
hidup dan mengurangi resiko jatuh. Presbiastasis adalah suatu diagnosis
eksklusi.4,1 Identifikasi dan tatalaksana penyebab non vestibuler dari
disekuilibrium pada orang tua perlu dilakukan karena banyak di antaranya yang
1
2
potensial dapat dikoreksi seperti hipotensi postural terkait penggunaan obat anti
hipertensi, insufisiensi kardiovaskuler, gangguan penglihatan dan lain-lain.5
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menjelaskan diagnosis dan
tatalaksana presbiastasis.
1. Presbiastasis
Presbiastasis merupakan hasil perubahan fisiologis pada tiga sistem yaitu
vestibuler, visual dan proprioseptif yang berkontribusi terhadap keseimbangan.
Jika terjadi gangguan pada dua sistem atau lebih dan tidak dapat dikompensasi
sempurna maka menyebabkan disekuilibrium. Presbiastasis tidak hanya
melibatkan lesi pada sistem vestibuler dan diperlukan evaluasi serta
penatalaksanaan yang holistik.6
Disekuilibrium adalah sensasi ketidakseimbangan atau kurangnya
koordinasi baik pada saat berdiri (disekuilibrium statik) atau berjalan
(disekuilibrium dinamik). Drachman dan Hart (1972) seperti yang dikutip oleh
Mc Pherson dkk disekuilibrium adalah salah satu kategori dari dizziness.
Dizziness adalah suatu gejala umum yang sering digunakan untuk
menggambarkan sensasi subyektif yang sangat bervariasi. Kategori lain dizziness
adalah vertigo (sensasi gerakan dari subyek atau lingkungannya), presinkop
(sensasi akan hilangnya kesadaran atau sensasi akan hilangnya kontak dengan
lingkungan), dan lightheadedness (sensasi ketidak seimbangan / goyah yang
disertai sensasi ringan hilangnya kontak dengan lingkungan tanpa disertai
hilangnya kesadaran).1,6
2. Sistem vestibuler
Sistem keseimbangan pada manusia dibagi menjadi sistem keseimbangan
pusat (serebelum) dan sistem keseimbangan perifer (vestibuler, visual,
proprioseptif). Organ vestibuler perifer terdiri dari tiga buah kanalis semisirkularis
yaitu, kanalis semisirkularis lateral (horizontal), kanalis semisirkularis anterior
(superior) dan kanalis semisirkularis posterior (inferior). Dua organ yang
berfungsi sebagai reseptor disebut organ otolit yaitu utrikulus dan sakulus. Ketiga
kanalis semisirkularis terletak saling tegak lurus satu sama lain membentuk sudut
90°. Pada tiap ujung kanalis semisirkularis yang mengalami dilatasi disebut
3
ampula. (Gambar 1). Ampula yang mengandung sejumlah sel rambut sensoris
yang disebut krista ampularis, kupula, sel penyokong jaringan ikat, pembuluh
darah dan serabut saraf. Sel rambut melekat pada krista ampularis dan ujung
silianya terbenam dalam kupula.7
makula 20%. Penurunan jumlah terutama terjadi pada sel rambut tipe I dibanding
dengan tipe II. (Gambar 4).
3.3 Proprioseptif
Input proprioseptif meliputi informasi dari ekstermitas inferior yang
memberikan peran penting pada keseimbangan saat berdiri. Ketika berjalan,
proprioseptif memberikan informasi yang diperlukan untuk menjalankan setiap
langkah dan memastikan penempatan kaki yang optimal. Peningkatan usia,
kualitas dan kuantitas dari input proprioseptif menurun yang menyebabkan
instabilitas postural. Kelemahan proprioseptif dapat juga bisa akibat adanya
gangguan sensorik yang disebakan oleh penyakit, seperti : neuropati perifer
diabetik. Pengurangan massa otot pada manusia dimulai pada dekade ke enam, hal
ini akan mempengaruhi kekuatan kaki. Kombinasi dari beberapa faktor ini
menyebabkan kesulitan berjalan sehingga meningkatkan risiko jatuh pada usia
lanjut.9,11
4. Diagnosis
4.1 Pemeriksaan fungsi vestibuler
Pemeriksaan fungsi keseimbangan yang baik sangat menentukan apakah
penderita memerlukan terapi berupa rehabilitasi atau menggunakan alat bantu
gerak seperti tongkat, alat bantu jalan dan kursi roda. Pemeriksaan fungsi
kardiovaskular, pengelihatan dan ortopedik secara menyeluruh sangat diperlukan.
7
N N N N N N N 1
N N S F F F F 2
N N N N F F N 3
N N N N N F R 4
N N N N N F N 5
h) Dix Hallpike : Manuver hallpike terdiri dari dua gerakan. Perasat Dix
Hallpike kanan pada bidang kanal anterior kiri dan kanal posterior kanan, dan
perasat Dix Hallpike kiri pada bidang posterior kiri. Untuk melakukan perasat
Dix Hillpike kanan penderita duduk tegak pada meja pemeriksa dengan
kepala menoleh 45º ke kanan. Dengan cepat penderita dibaringkan dengan
kepala tetap miring 45º ke kanan sampai kepala penderita menggantung 20–
30º pada ujung meja pemeriksa, tunggu 40 detik sampai respons abnormal
timbul.7,8 Penilaian respons pada monitor dilakukan selama 1 menit atau
sampai respons menghilang. Setelah tindakan pemeriksaan ini dapat langsung
dilanjutkan dengan Canalith Repositioning Treatment (CRT). Bila tidak
ditemukan respon abnormal atau bila perasat tersebut tidak diikuti dengan
CRT penderita secara perlahan didudukkan kembali, kemudian dilanjutkan
pemeriksaan dengan perasat Dix Hillpike kiri dengan kepala penderita
dihadapkan 45º kekiri, dengan demikian kanal posterior kiri dan kanal
anterior kanan berada dalam bidang sejajar dengan bidang sagital kemudian
secara cepat tubuh direbahkan terlentang sampai kepala menggantung di tepi
meja pemeriksa. Gerakan terlentang membuat kedua kanal vertikal posterior
tidak terangsang, posisi ini di sebut Posisi Head Hanging Left (HHL), tunggu
maksimal 40 detik sampai respon abnormal hilang. Setelah gejala vertigo
hilang penderita diminta duduk kembali dan diobservasi nistagmus yang
timbul. (Gambar 7)
i) Roll maneuver : Posisi penderita dalam keadaan duduk dengan kepala fleksi
30 sehingga kanal horizontal sejajar dengan bidang horizontal, kemudian
kepala diputar searah jarum jam, mata penderita melihat kedepan dan
perhatikan nistagmus yang terjadi biarkan 40 detik, berikutnya kepala diputar
melawanan arah jarum jam, dan bandingkan intensitas nistagmusnya. Bila
pada putaran kepala searah jarum jam nistagmusnya lebih keras, maka debris
bergerak mendekati kupula kanal horizontal kiri, pada reposisi kanal
horizontal kepala harus diputar berlawanan supaya debris didorong kearah
utrikulus. Bila nistagmus yang kuat terjadi pada arah sebaliknya maka debris
berada pada kanal horizontal kanan.11,12
j) Dynamic visual acuity : Tes lain yang dapat digunakan untuk menilai
vestibulookular adalah dengan menggunakan Snellen chart dan menilai
ketepatan visual. Pemeriksaan dilakukan dengan menggelengkan kepala
penderita ke kanan kiri saat membaca papan. Penurunan satu baris dianggap
normal, sedangkan penurunan tiga baris atau lebih mengindikasikan adanya
gangguan refleks vestibulookular (hipofungsi vestibuler bilateral). Penilaian
ketepatan visual ditentukan berdasarkan karakter pada baris terakhir yang
dapat dibaca dengan benar sebanyak 50% karakter.11,12
k) Hipotensi ortostatik : Merupakan penurunan tekanan darah sistolik
+20mmHg atau diastolik +10mmHg dalam waktu 3 menit dengan posisi
berdiri. Tes ini merupakan gejala klinis dan bukan penyakit. Pemeriksaan
lain, dilakukan dengan penderita tidur posisi terlentang, kepala diangkat 60°
dan dihitung perbedaan tekanan darah selama 3 menit. Tes ini harus
memperhatikan variabel yang dapat mempengaruhi diagnosis seperti fungsi
pencernaan, waktu pemeriksaan, status hidrasi, temperatur lingkungan,
kondisi postural, hipertensi, riwayat penggunaan obat-obatan, jenis kelamin
dan usia. Hipotensi ortostatik dapat dengan gejala atau tanpa gejala. Gejala
yang timbul pada hipotensi ortostatik dipengaruhi posisi berdiri, saat
mengangkat kepala dan posisi menunduk atau menengadah. Gejala berupa
kepala terasa melayang, mual, muntah, pusing, pandangan kabur dan nyeri
pada leher. Pengukuran tekanan darah ulang harus dilakukan bila penderita
dengan kecurigaan gejala tapi tidak ditemukan hipotensi ortostatik. Beberapa
13
Pemeriksaan ini dilakukan baik dengan mata terbuka maupun tertutup. Pasien
dengan gangguan serebelum atau lobus frontalis maka gerakan pasien akan
melambat atau menjadi kikuk.12
e) Heel to knee to toe test : Pemeriksaan ini lebih mudah dilakukan bila pasien
dalam keadaan terbaring. Pasien diminta untuk menggerakkan tumit kakinya
kearah lutut kontralateral, kemudian tumit digerakkan atau didorong kearah
jari kaki kontralateral.12
f) Rebound test : Pasien diminta mengaduksikan bahu, fleksi pada siku dan
supinasi lengan bawah, siku diletakkan pada meja periksa/alas lain, kemudian
pemeriksa menarik lengan bawah tersebut dan pasien diminta untuk
menahannya, kemudian dengan mendadak pemeriksa melepaskan tarikan
tersebut. Perlu diingat, pemeriksa juga harus meletakkan tangan lain di depan
wajah pasien supaya bila pasien memang memiliki lesi di serebelum, wajah
atau badan pasien tidak terpukul oleh lengan pasien sendiri.12
5. Tatalaksana
Terapi rehabilitasi vestibuler (TRV) merupakan modalitas terapi primer
pada gangguan keseimbangan dengan karakteristik multifaktor seperti yang
dijumpai pada orang tua. Penelitian menunjukan bahwa TRV secara signifikan
dapat mengurangi keluhan dan gejala serta meningkatkan kemandirian dalam
melakukan aktivitas pada pasien dengan presbiastasis. Penelitian juga menyatakan
bahwa TRV secara signifikan mengurangi risiko jatuh pada orang tua.12
15
Penyseuaian lingkungan dan bantuan dari orang terdekat juga merupakan salah
satu kunci keberhasilan terapi pada pasien presbiastasis.
RINGKASAN
Presbiastasis merupakan gangguan keseimbangan yang lebih sering
ditemukan pada usia lanjut disebabkan oleh adanya perubahan fisiologis pada tiga
sistem, yaitu : vestibuler, visual dan proprioseptif, hal ini dapat disebabkan oleh
proses degenerative. Pemeriksaan fungsi keseimbangan dan fungsi pendengaran
secara khusus dibidang telinga, hidung, tenggorok bedah kepala dan leher (THT-
KL) sangat diperlukan.
Terapi rehabilitasi vestibuler (TRV) terbukti efektif dalam mengurangi
keluhan dan gejala, memperbaiki kualitas hidup serta mengurangi resiko jatuh
pada pasien presbiastasis. Untuk mendapatkan hasil yang optimal dari TRV
diperlukan peran serta keluarga, penyesuaian kondisi lingkungan dan tempat
tinggal pasien serta latihan pemeliharaan jangka panjang.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. McPherson DL, Whitaker SR, Wrobel BB. Disequilibrium of aging. In :
Goebel JA, ed. Practical management of the dizzy patent. 2nd ed.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2008. p.297-340.
2. Suzman R, Beard J. Humanity’s aging. In: Suzman R, Beard J, eds. Global
health and aging. World Health Organization. New York: US Departement of
Health and Human Services; 2011. p. 4-5.
3. Statistik BP. Sensus penduduk indonesia. Badan Pusat Statistik 2010.
Available from:http://sp2010.bps.go.id/index.php Accessed Februari 01,
2020.
4. Rogers C. Presbiastasis: a multifactorial cause of balance problems in the
elderly. South African Family Practice 2010; 52(5):431-4.
5. Kasima ML, Goodwin WJ, Balkany T, Caesiano RR. Special consideration in
managing geriatric patients. In : Cummings CW, Flint PW, Haughley BH,
eds. Otolaryngology head and neck surgery. 4th ed. Vol 1. Philadelpia:
Mosby Inc; 2005.p.351-66.
6. Jung JY, Kim JS, Chung PS, Woo SH, Rhee CK. Effect of vestibuler
rehabilitation on dizziness in the elderly. American Journal of
Otolaryngology Head and Neck Medicine and Surgery 2009;30:295-9.
7. Hain TC. Anatomy and physiology of the normal vestibuler sistem. Clin
Otolaryngology 2011;1:2–18.
8. Five C, Organs R. The vestibuler sistem. American Journal of
Otolaryngology 2014;10:2-10.
9. Ross M. Internal ear. In: Ross M, eds. Histology a text and atlas. 6 th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. p.25-32.
10. Lalwani AK. The aging inner ear. In : Lalwani AK, ed. Current diagnosis &
treatment in otolaryngology-head and neck surgery. 2nd ed. New York: Mc
Graw Hill Co Inc; 2008.p.689-96.
11. Hamid M, Sismanis A. Pheripheral and auditory vestibuler disorder. In:
Hamid M, Sismanis A, eds. Medical otology and neurotology: a clinical guide
to auditory and vestibuler disorders. New York: Thieme ;2006.p.64-81.
12. Macias JD, Massingale S, Gerkin RD. Efficacy of vestibuler rehabilitation
therapy in reducing falls. Otolaryngology-Head and Neck Surgery
2005;133:323-5.
13. Han BI, Song HS, Kimc JS. Vestibuler rehabilitation therapy: review of
indications, mechanisms, and key exercises. J Clin Neurol 2011;7:184-96.
14. Gans RE. Vestibuler rehabilitation protocols and programs. Ear and Hearing
1997;18(3):260-3.
15. Girardi M, Konrad HR. Imbalance and falls in the elderly. In : Cummings
CW, Flint PW, Haughley BH, eds. Otolaryngology head and neck surgery.
4th ed. Vol 4. Philadelpia: Mosby Inc; 2005.p.3199-208.
20