CERPEN
CERPEN
CERPEN
“Nduk, masuk.. sudah sore, hampir gelap, nanti kamu sakit..” Suara Bapak
membangunkan lamunanku. Entah kemana pikirku mengawang-awang. Kulirik jam
dinding, sudah pukul 6 sore. Suara adzan maghrib terdengar dari kejauhan. Aku bergegas
masuk dan menutup jendela. Kuikuti Langkah bapak ke meja dapur, sudah tersedia
masakan sederhana. Ikan asin, sambal cabe, dan daun ubi tumbuk kesukaanku, dan
sepanci nasi putih hangat.
Bapak makan dengan lahap, aku menatap wajah Bapak sejenak. Guratan letih terpancar
di wajahnya, urat tangan Bapak membekas keluar. Warna kulit sudah berubah hitam,
bukan lagi sawo matang.
“Nduk, kamu mau kuliah kemana?” Bapak Kembali memecah keheningan. Aku
mengangkat kepala. Mataku beradu dengan mata sendu milik Bapak.
“Ning ga usah kuliah dulu, Pak.. ndak apa-apa…”
“Loh, kenapa engga kuliah toh nduk? Bapak masih sanggup biayain kamu kuliah..”
“Ning ga bisa jauh-jauh dari Bapak..” Aku tersenyum manis ke arah Bapak.
“Halah, kamu bisa aja, Nduk…” Bapak tertawa kecil.
Aku dan Bapak meneruskan makan. Sekalipun letih, wajah Bapak tetap berseri-seri.
Tentang kuliah yang baru saja Bapak bicarakan, aku bukannya tidak ingin kuliah seperti
teman-temanku, hanya aku terlalu kasihan dengan Bapak, biarlah kukubur dulu semua
cita-cita dan mimpiku itu. Kuberi Bapak waktu istrahat sebentar. Sejak aku lahir, Bapak
selalu siap sedia untukku. Betapa hebatnya…
Ningsih Putri Rengganis. Nama yang disematkan Bapak padaku 18 tahun silam, tepat di
tanggal 2 Agustus, aku, si bayi perempuan cantik ini lahir, dirayakan dengan airmata
sedih dan Bahagia oleh Bapak dan seluruh keluarga besar. Dua hari setelah tanggal itu,
Bapak menimang aku disamping pusara Ibu, yang bahkan wajahnya tak sempat kukenali.
Ibu mengenalkan aku pada dunia. Sayang sekali, Ibu tak turut mendampingiku berjuang
menghadapi dunia. Sejak itu, aku hanya punya Bapak. Ning dan Bapak.., berdua saja.
“Pak,… kuliahnya ke Jakarta, Pak…” Bapak melepas pelukannya. Nampak terkejut dan
sedih diwaktu bersamaan. Aku sudah menduganya, bahkan aku pun begitu sedih sekali…
bagaimana aku harus meninggalkan Bapak disini? Sendirian?
“Ya ndak apa-apa toh nduk, bagus itu. Kamu nanti kuliah di Ibukota, kamu pasti jadi
orang sukses, nduk…” Bapak menyembunyikan sedihnya secepatnya. Mataku mulai
berkaca-kaca.
“Ndak apa-apa nduk, Bapak ndak apa-apa disini. Kamu harus kuliah ya Nduk, Doakan
Bapak tetap kuat dan sehat, biar bisa sama kamu terus sampe kamu nanti punya suami
dan punya anak… ya nduk ya?” Pecah sudah tangisku. Aku memeluk Bapak dengan erat.
Aku terisak-isak. Bapak menepuk pundakku pelan. Aku tahu Bapak menyembunyikan
sedihnya juga, namun Bahagiaku selalu jadi alasan nomor satu untuk Bapak.
Pernah sekali aku bertanya, “Bapak kenapa ga nikah lagi aja toh? Ning ndak papa kalau
punya ibu tiri, Pak.. yang penting ada yang jagain Bapak kalau Ning udah gede nanti…”
“Ndak usah nduk, Bapak bisa sendiri kok. Kan Bapak punya kamu, nduk…” Lalu aku
dan Bapak akan pergi ke pasar, belanja keperluan rumah, aku beberes rumah, dan Bapak
mencuci baju.
“Lihat, nduk.. Bapak sama kamu bisa ngerjain semua kerjaan ini loh…” Medoknya Bapak
selalu khas di telingaku, dan akan selalu aku rindukan kelak.
Kembali aku memeluk Bapak dengan erat di Pelabuhan sore itu. Aku menangis dengan
keras. Hatiku sedih sekali.
“Nduk, hati-hati ya, ingat pesan bapak, tetap baik dan rajin ibadah. Rajin nelpon Bapak
ya nduk,.. Bapak selalu berdoa buat kamu, nduk…” Bapak mengelus lembut kepalaku.
Airmataku membasahi jaket hitam Bapak.
“Udah, nduk… jangan sedih. Kamu kuliah yang bener, biar cepet pulang dan nemenin
Bapak lagi disini…” Aku belum bisa menjawab Bapak. Suaraku yang keluar hanya
hanyalah suara tangisan. Untuk sejenak, kilasan-kilasan tempat dan kegiatan yang
kulakukan berdua dengan Bapak berebutan masuk ke otak kecilku. Memaksaku
memejamkan mata dan menangis lagi dengan hebat. Kepalaku mulai sakit. Aku menarik
napas.
“Pak, Ning berangkat yaa…” Kucium pipi Bapak dan melangkah masuk ke dalam kapal.
Kulambaikan tangan melalui jendela kecil disebelah kiriku. Kulihat wajah Bapak dengan
baik, Bapak membalas lambaianku dan tersenyum. Teduh sekali.
Desember. Bulan terakhir di penghujung Tahun. Dihiasi banyak bintang dan pernak-
pernik, Desember selalu menjadi bulan kesukaanku. Ini Desember ketigaku di Ibukota.
Sejak lambaian tanganku sore itu, aku belum pernah sekalipun pulang dan berkunjung
untuk menemui Bapak. Bukan sombong atau tak sempat, keadaan ekonomi yang
mengharuskanku begini. Kemarin aku masih bertelepon dengan Bapak. Wajah Bapak
semakin menua dengan guratan keletihan yang selalu berusaha Bapak sembunyikan
dariku.
“Pak, Ning ndak pulang ya Pak,…” ucapku pelan pada Bapak di Ujung telpon.
“Ia nduk, ndak apa-apa…” Kemudian Bapak bercerita tentang bunga mawar putihnya
yang mulai bermekaran, juga tentang padi yang mulai menguning dan siap dipanen, tidak
lupa tentang Shadow, anjing peliharaan Bapak sejak aku berangkat sore itu. Cerita Bapak
selalu berhasil membuatku rindu pulang. Rindu masakan Bapak, rindu medoknya Bapak,
rindu memanjat pohon kuini disamping rumah dan berakhir dengan diomeli Bapak.
Ahhhh, rindu sekali rasanya.
Kemudian aku tak pernah lupa, hari terakhir di bulan itu, bulan Desember yang begitu
kucintai, akhir tahun yang menyenangkan bagi banyak orang, yang dipenuhi kembang api
dan pohon Natal, dengan segala tawa dan senyum manusia didalamnya, tepat di hari itu,
ya, tanggal tigapuluh satu, benar-benar di penghujung tahun, aku mendapat kabar buruk
yang membuat Desemberku hancur tak bersisa.
“Ning, kamu lekas pulang ya, Bapakmu di IGD, Ning,..” Satu pesan singkat dari Teh Rina,
tetangga sebelah rumahku, yang memberiku ber ton-ton tenaga lebih dari yang biasanya.
Aku bergegas secepatnya, menyusun bajuku seadanya di tas koper kecilku, meminjam
uang pada teman satu kontrakanku, dan berlari-lari mengejar bus menuju Pelabuhan.
Tidak bisa ke Bandara, kampungku terlalu kecil untuk tempat parkir pesawat yang mirip
burung raksasa itu.
“Ning…” Kedatanganku disambut isak tangis dan huru-hara. Tak sempat kukenali semua
orang yang menyambutku. Hanya, disana ada Teh Rina, yang langsung memelukku erat.
“Bapak mana, Teh?” Teh Rina tak menjawabku. Tangisnya semakin menjadi. Perasaanku
berubah kusut, tak enak. Aku melepaskan pelukan Teh Rina dan berjalan pelan menuju
kamar tempat Bapak dirawat.
“Pak, Ning datang…” Bapak diam, tak bergerak, tak bernafas. Tunggu, apa yang baru
saja kukatakan? Bapak tak bernafas? Ndak mungkin.
“Pak, Ning datang…” Aku menyapa untuk kali yang kedua. Sama. Bapak tak bereaksi
apa-apa. Kutangkup wajah Bapak dengan kedua tangan kecilku. Bapak masih diam, tak
bergerak. Aku mulai mengerti apa yang terjadi, sedetik…, dua detik…, tiga detik…
Airmataku jatuh tanpa bisa kutahan. Badanku berguncang sehebat-hebatnya, kuteriakkan
nama Bapak sekuatku, kuguncangkan tubuh Bapak semampuku. Tetap, Bapak diam tak
meresponku.
Penghujung tahunku sendu. Bersama kepergian Bapak hari itu, setengah jiwaku juga
lenyap.
Desember. Bulan yang tak pernah ingin kuulang setiap tahunnya. Bulan yang memberiku
hadiah perpisahan sesakitnya. Bahkan kini, di Desember ke empat kalinya setelah
kepergian Bapak, Desember belum bisa memberiku kabar Bahagia. Desemberku masih
kelabu, masih abu-abu, masih sepenuhnya hujan. Dan bodohnya aku, aku masih setia
berdiri dibawah hujannya, tanpa berpayung, tanpa berteduh, membiarkan diriku basah,
membiarkan dinginnya membekukan, membiarkan setengah kakiku tenggelam. Dipusaran
hujan Desemberku yang tak berhenti, aku berdarah tanpa ampun, aku sakit, aku mengigil,
hingga kudapati aku mati. Sempurna.
Desemberku selesai.
Cerpen Karangan: Tanty Angelina