Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
63 tayangan10 halaman

Hujan Kala Itu

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 10

Hujan Kala Itu

Dentang detik terus berlalu, sudah setengah


jam sejak hujan mengguyur kota Bandung. Di antara
suara rintik air itu, aku masih fokus dengan lukisan
yang berada tepat di depan wajahku. Jemari
tanganku terus mengayunkan kuas pada kanvas,
membentuk sebuah gambar. Mungkin terlihat
membosankan, tapi itu adalah hobiku. Aku terlahir
untuk memegang kuas dan terkena noda-noda cat.
Bagiku, lukisan adalah suatu ungkapan yang tidak
bisa kita ucapkan. Dan juga, aku hanya merasa
bahagia saat melukis, hanya melukis.
Setelah beberapa jam berlangsung, lukisan ku
akhirnya selesai. Begitupula dengan hujan di luar.
Aku memutuskan untuk pulang ke rumah,
membayar pesananku, dan mengambil payung yang
berada di sebelah kanan pintu masuk. Saat tanganku
menarik gagang pintu, tiba-tiba saja ada lelaki yang

1
menerobos masuk sambil berlari. Tentu saja aku
terkejut, karena aku juga dibuat hampir jatuh
karenanya.
“Eh, maaf-maaf. Kamu gapapa?” Tanya
lelaki itu.
“Gapapa, lain kali hati-hati.” Singkatku, tidak
ingin berpanjang lebar. Aku langsung pergi dari
hadapan lelaki tersebut.
“Ben- yah, ini bukunya ketinggalan.” Lelaki
itu menjadi penasaran dengan buku kecil itu. “Buka
sedikit, gapapa kan ya?” Bisiknya. Kemudian
jemarinya membuka helai kertas tersebut. “Eh? Ini
lukisan..? Dia..” Lelaki itu terlihat mulai khawatir.
Disisi lain, aku sampai di depan pintu rumah,
aku merasa ragu untuk membuka pintu. Takut. Ia
takut dengan orang-orang yang berada di dalamnya.
Bagi semua orang, rumah adalah tempat pulang
ternyaman. Namun tidak denganku, bagiku rumah
adalah tempat mendapatkan luka pertama.
“Zabrina Asnamira.”

2
Deg!
“Suara itu…” Lirihku dalam hati. Aku
terpatung. Ia merasa detak jantungnya berhenti. Itu
adalah papaku, Antonio Mahatma. Antonio masuk
penjara sejak Zabrina masih kecil dikarenakan kasus
penculikan anak dan pelecehan. Sejak kecil, aku
juga seringkali mendapatkan kekerasan dari papaku.
Namun, ada seseorang yang lebih aku benci dan
takuti daripada papa. Yaitu sang ibu tiri, Dewi
Marcella. Saat aku mendapatkan kekerasan dari
papa, mama tiriku hanya diam, tidak berkutik
apapun sama sekali, bahkan menegur saja tidak.
Padahal, harapanku saat bertemu dengannya adalah
aku akan mendapatkan perlindungan dari dirinya.
“Sudah besar ya anak papa? Papa lihat kamu
makin tinggi saja. Coba balik badannya, papa
pengen tahu bagaimana keadaan bekas luka itu.”
Zabrina menelan air ludahnya. Tangannya
gemetar, bibirnya membisu sejenak, takut untuk
membalikkan badannya. “Kenapa pa? Kenapa

3
harus diingetin lagi?” Tanya Zabrina di dalam hati.
Ia mencoba menguatkan dirinya untuk berbalik
badan. Dulu, Zabrina pernah mendapat bekas luka
dari sang papa, Antonio menggoreskan pisau di pipi
Zabrina saat ia berumur 8 tahun. Luka itu berbekas
hingga Zabrina berumur 15 tahun, dengan diakali
make up lukanya pun tertutup.
“Pa.. cukup. Zabrina mohon, cukup. Apa
semua kekerasan yang telah papa lakuin itu belum
cukup? Zabrina punya salah apa pah? Selama ini
Zabrina selalu menuruti kemauan papa.”
“Jangan kira semua yang kamu lakukan itu
cukup untuk menggantikan nyawa Gracia.”
“Pa.. bahkan walaupun Brina disuruh milih
antara ngga lahir dan biarkan mama ada atau lahir
dan buat papa kehilangan mama, Brina lebih milih
ngga lahir pa.” Bibirku bergetar saat
mengatakannya. “Maaf pa, Zabrina capek,”
kemudian aku pergi dari hadapan Antonio.

4
Sedangkan Antonio hanya diam, kepalanya memutar
kenangan masa lalu.
Di tengah perjalanan, aku menangis, diriku
rapuh. Kenapa lelaki itu datang kembali? Aku lelah
dengan kehidupanku yang berantakan. Bahkan
sekarang, entah kemana lagi tujuanku. Aku hanya
ingin merasa tenang, dan bahagia. Hanya itu,
sungguh.
Brak!
Tiba-tiba saja ada yang menabrakku dari arah
belakang, permisi? Kenapa hari ini banyak sekali
masalah? Apakah aku melakukan kesalahan?
“Kalau jalan itu ha-”
Eh? Itu adalah lelaki yang juga hampir
menabrakku saat di Cafe. Sekarang hanya ada satu
pertanyaan yang terlintas di otakku. Apakah kami
ini ditakdirkan? Bukan apa-apa, hanya saja, aku
merasa ada yang janggal saat bertemu dengannya.
“Maaf! Kamu gapapa? Kakimu ada yang
sakit? Ada yang luka?” Tanya lelaki itu khawatir.

5
Aku hanya diam, lalu berkata “kamu yang tadi
hampir nabrak aku di cafe, kan?”
“Eh? Lukisan?”
“APA MAKSUDNYA LUKISAN?” Teriakku
di dalam hati. Mulutku sampai bengong dibuatnya,
hei! Aku punya nama.
“M-maksudnya, sebentar. Jangan marah!
Sebentar.” Tangannya meraih sesuatu yang berada
di dalam sakunya. Ia mengambil buku berwarna
merah muda yang sudah berlumuran bekas cat.
Setelah beberapa detik aku baru sadar, itu kan buku
ku! Segera aku mengecek tas. Ternyata benar, itu
adalah buku ku. Buku yang berisi lukisan-lukisan
yang telah kubuat.
“Ini.. punyamu bukan?” Tanya lelaki itu
dengan perlahan, sepertinya takut dengan amarahku.
Dengan hati-hati ia mengarahkan buku itu kepadaku.
“Hm, ya benar. Kenapa bisa ada di kamu?”
Tanyaku, seraya ingin mengambil buku tersebut,

6
namun lelaki itu menariknya kembali.
Menyebalkan!
“Eits! Kenalan dulu. Aku Langit, kamu?”
“Zabrina. Udah kan? Sekarang sini bukunya.”
Tanganku kembali ingin mengambil buku itu,
namun lagi-lagi lelaki- maksudku Langit menarik
buku itu kembali. Bagaimana aku tidak sebal?
“Apa lagi?” Ketusku.
“Bagaimana dengan kopi di taman?”
“Maksudnya sekarang, dia ingin
mengajakku?” Tanyaku di dalam hati.
“Bukan, aku hanya menawarkan.” Ucapnya
tiba-tiba.
“Dia ini cenayang atau apa sih?
Menyebalkan.”
“Aku bukan cenayang, udah ayooo.”
Tangannya memegang tanganku, dan menarikku.
Tidak sopan bukan? Memang semua lelaki di dunia
ini tidak jelas!

7
Setelah berjalan lama, kami akhirnya sampai
di suatu taman. Hanya satu kata yang dapat
kuucapkan. Indah. Hanya itu. Aku sampai bengong
dibuatnya. Taman itu dihiasi oleh sungai yang
memiliki air jernih, ikan-ikan yang cantik,
“Kenapa? Indah ya?”
“Ya, ya.. Indah.”
“Biasanya, saat aku sedang merasa sedih, aku
akan kesini.”
“Kenapa gitu?”
“Karena disini tenang. Aku adalah orang
yang ketika sedih selalu mencari tempat yang
tenang, karena suatu tempat juga dapat merubah
suasana hati.” Langit menghadap kepadaku dengan
tersenyum seraya mengatakan, “kamu harus
mencoba itu sesekali saat sedang sedih.” Kenapa..
Aku merasa lelaki ini sedang berusaha
menenangkan hatiku saat ini.
“Hm, makasih sarannya.”

8
“Ah iya, nih.” Langit akhirnya memberikan
buku itu kepadaku. Dia tersenyum.
“Manis banget.. EH? APASIH ZABRINAAA!
Bisa-bisanya bilang lelaki menyebalkan ini manis.”
“Hey? Ini buku ngga mau diambil? Kok
bengong?”
“E-eh,” aku tersadar, duh malu sekali.
Tanganku segera mengambil buku itu. Namun, tiba-
tiba ada setetes air yang jatuh di buku itu.
“Gerimis! Ayo meneduh.” Langit menarik
tanganku, kita berdua berlari di bawah hujan. Itu
adalah pertama kalinya, pertama kalinya dalam
hidupku. Pertama kalinya berlari di bawah hujan,
pertama kalinya berlari dengan seorang lelaki yang
bahkan aku baru mengenalnya, dan pertama
kalinya.. Merasa sebahagia ini.
“Ayo, neduh disitu!” Ucap Langit.
“Langit.” Aku memanggilnya.
“Ya?”
“Makasih ya.”

9
“Untuk?”
“Semuanya, kamu ngajarin aku gimana cara
mengesampingkan rasa sedih, dan membuatku
merasakan apa itu bahagia.”
Langit tersenyum, ia tampak manis walaupun
hujan sudah mengguyur wajahnya. “Sebenarnya,
aku tidak sengaja penasaran dengan isi buku mu itu.
Saat aku buka, aku melihat lukisan-lukisan yang
kebetulan aku paham maksudnya apa. Karena itu,
aku pikir kamu membutuhkan seseorang yang dapat
mengajarkan cara agar tenang dan dapat bahagia
walaupun sesederhana apapun itu.”

10

Anda mungkin juga menyukai