HURRY Cerpen
HURRY Cerpen
HURRY Cerpen
Mengapa ini harus terjadi kepadaku? Aku merasa sepasang mata mengawasiku dari
kejauhan. Semua dimulai setelah hari itu, hari dimana aku melihat tubuh pria dengan
wajah tersenyum namun tidak dengan kondisi tubuhnya.
“Halo ibu, ini sedang jalan pulang.... 5 menit lagi tiba bu...udah dulu ya bu”
Pantas saja ibu menelpon, ternyata sudah pukul 11.27 WIB. Aku langsung saja
mempercepat langkahku, tiba-tiba terdengar jeritan dari sebelah kananku. Tubuhku
mematung, kucoba menghiraukan suara itu, namun entah mengapa rasa penasaran
menguasai tubuhku. Kakiku melangkah menuju sumber suara, aku mulai menyusuri
hutan lebat dengan cahaya minim yang berasal dari handphone-ku.
Aku berlari menjauh, tanpa memandang ke belakang. Sebentar, aku tidak mendengar
langkah kaki selain diriku.
“Maaf bu”
“Lama banget pulangnya nak, jadi takut ibu”
“Lain kali usahakan pulang cepat ya nak, banyak penjahat di luar sana bisa lakukan hal
buruk padamu. Tidur sana, ini sudah larut.”
“Iya nak”
Tok...tok....tok....
Aku yang baru saja duduk langsung berdiri dari kursi belajarku, dan berlari
menghampiri ayah.
“Tadi ada rekan kerja meminta bertemu, malah keterusan mengobrol. Tidak sadar sudah
tengah malam."
“Oh begitu”
Malam itu, aku tidak dapat memejamkan mata. Ingatan tentang tubuh itu terus
berputar di kepalaku. Hingga akhirnya, aku terjaga sampai pagi dengan lampu menyala.
Mataku bengkak dengan lengkungan hitam dibawahnya. Aku menutupinya dengan
foundation, membuat mata pandaku tersamarkan. Aku sarapan dengan cepat dan segera
berangkat.
“Hati-hati nak”
Aku segera mencium tangan ibu, hingga tidak sadar ayah telah memperhatikanku
dengan senyumnya yang tidak biasa.
“Iya nak”
Ting....ting....
Handphone ayah berbunyi, walau aku tidak dapat melihat semua. Ada satu pesan
yang tertangkap olehku.
“Bagaimana kemarin malam, sangat seru bukan?”
Napasku tertahan, pikiranku mencerna pesan itu. Ayah menyadari aku telah
mengintip handphone-nya, dia segera mengambilnya.
“Berangkat sana nak, nanti kamu terlambat. Apa perlu ayah antar kamu?”
“Tidak perlu ayah, aku bisa sendiri, halte bus disini dekat banget dari rumah”
“Iya ayah”
Setibanya di kampus, aku segera memasuki kelasku. Mataku tertuju pada pacarku
yang sedang bercanda ria dengan teman sebangkunya. Aku segera menghampirinya,
tiba-tiba ingatan kejadian kemarin malam terlintas di kepalaku.
Aku segera menggelengkan kepala, sebaiknya kuberitahu setelah ingatan itu tidak
menggangguku lagi. Saat aku hendak melangkah menuju pacarku, bahuku ditepuk oleh
seseorang. Aku segera menoleh kebelakang untuk mencari tahu siapa itu.
“Hai Dita”
“Sorry sengaja”
“Eh jangan dong, dirumahku ada kucing baru, mau lihat tidak?”
“Iyaa”
“Pagi Dion”
“Pagi hun”
“Jadi sweetheart”
Sore ini aku dan Dion berkencan. Menghabiskan hari dengannya sungguh
menyenangkan. Aku dan Dion membeli ice cream cup, aku membeli rasa chocolate,
sedangkan Dion membeli rasa blueberry.
“Mauu”
Dion menyuapiku dengan tangan kirinya, saat aku hendak memberikan pendapatku,
aku melihat ayah dengan seorang wanita disampingnya.
“Kamu sakit ya, muka kamu pucat, yaudah kita pulang aja”
Akhirnya aku paham arti dari pesan itu. Saat itu aku tidak sadar, Dion dari tadi telah
memperhatikan ayah dengan wanita yang terlihat berumur 20 tahun itu.
“Gak apa-apa, lagian ini sudah malam, rumah aku juga jauh banget dari rumah kamu.
Nanti kamu sampai dirumah tengah malam lagi, aku pulang pakai bus saja”
“Maaf ya by, aku pulang dulu. Hati-hati, kalau sudah tiba kabari aku”
Di dalam bus, aku terus saja mengingat kejadian sore tadi. Hingga tidak sadar, bus
sudah berhenti. Aku harus berjalan kaki sekitar 10 menit untuk tiba dirumah. Deja vu,
pikiranku mengingat kejadian kemarin malam. Terdengar suara berisik, tetapi aku terus
saja berjalan lurus menghiraukan suara yang tidak jelas itu.
Suara teriakan pria menggema di kananku, aku bersiaga mengambil ranting pohon
yang jatuh didekatku. Aku berjalan menuju hutan lebat ini, yang kedua kalinya.
“Ayo maju, itu dirimu lagi kan. Aku akan memanggil polisi, sekarang kau akan
tertangkap sialan”
Bodohnya diriku, aku menantang seorang pembunuh dengan kedua tangan kosong.
Tepat didepanku, aku melihat tubuh seseorang yang kukenal, terbaring tidak bernyawa.
Aku sangat berharap itu bukan yang kupikirkan. Aku coba mendekati mayat itu.
Jantungku berdetak kencang sekali, air mataku lolos begitu saja. Aku berteriak sekuat
mungkin, tanganku menepuk pelan wajah ayah, benar itu ayahku.
Seorang pria dengan wajah tersenyum manis keluar dari persembunyian. Kakiku
lemas melihatnya.
“Hai sweetheart”
****
Aku menutup mulutku yang sedang terbuka lebar karena mengantuk. Aku segera
menyimpan ceritaku dan menutup laptop.