Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Arwah Ke 10

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 5

Arwah

Ada ceu Lilis yang bareng nak dari terminal, ia tampak cantik dengan balutan
cardigan dan jeans warna abu-abu. Awalnya ia duduk berdua dengan seseorang yang
aku tak kenal. Saat bus mulai melaju ia menghampiriku dan duduk bersamaku.
“Rafli mau pulang juga?” tanya ceu Lilis.
“Iya ceu.”
“Berapa lama gak pulang?” tanya ceu Lilis lagi
“Sudah 2 bulan ceu.”
“Lumayan lama yah.”
“Iya Ceu.”
“Ceuceu boleh duduk disini kan?” pintanya
“Boleh ceu.”
Seingatku hanya itu percakapan dengan ceu Lilis. Entah aku tertidur atau
menikmati perjalanan. Tiba-tiba pas aku ingat bus sudah berhenti tepat di depan gang
menuju rumah.
Ckiiiiiiit. Suara rem bus yang aku tumpangi, menjerit lumayan kencang, entah
karena heningnya malam atau memang kanvas remnya yang sudah tidak bagus.
Perjalanan dari Bandung ka Kawali malam ini tidak terasa tak baisa, ditambah ada
beberapa keanehan yang memang bisa dikatakan janggal. Dari mulai naik sampai turun,
semua penumpang tidak ada yang memperdulikan aku,selain ceu Lilis kemudian Bus
tidak berhenti untuk sekedar makan atau buang hajat. Padahal biasanya, dari Bandung
ke Ciamis, selalu rehat sejenak di Rumah Makan Garut.
Ceu Lilis sepertinya sudah turun duluan, aku sedikit heran, kenapa ia tidak
membangunkan aku. Ku tengok semua penumpang menatap kosong kedepan, kondektur
menerima ongkos, sejurus kemudian ia memberikan uang kembalian, 2 lembar uang
10.000 an. Kuraih kemudian ku masukan ke dalam tas jaket. Bus kembali meluncur
menembus kabut yang mulai turun. Ku tengok warung kang Miran sudah tutup, saat
kulihat jam ditangan sudah menunjukan angka 2 tepat. Dirihari yang hening, angin
semilir menerpa wajah sejurus kemudian menusuk wangi kemenyan entah dari arah
mana. Bulukuduk berdiri tanpa di komando, aku kemudian bergegas meraih ransel
kemudian berjalan menyusuri gang sempit menuju rumah.
Saat kulewati pos kamling RT 02, wangi kemenanya kemudian berubah
menjadi wangi bunga melati. Perasaanku semakin tak menentu. Orang tua dulu sering
mengingatkanku kalau ada wangi kemenyan disekitar kampung, tandanya ada yang
membuntuti atau memang ada mahluk astral yang kebetulan lewat.
Setengah berlari kususri jalan pematang yang memang satu-satunya akses
menuju rumah. Hati berdetak kencang, rasa takut menyelimuti sejak tadi turun dari bus.
Aneh, padahal ini bukan kali pertama aku pulang tengah bahkan larut malam. Bahkan
pernah setelah selesai seminar di Yogya, aku pulang tepat jam 12 malam, tapi tidak ada
rasa takut sedikitpun. Entah kenapa malam ini begitu berbeda, nyaliku menciut setelah
kucium wewangian yang memang kata orang tua dulu sebagai petanda adanya makhluk
halus.
“Assalamualaikum, Ma, Pa.”
“Waalaikumsalam.” Jawab suara perempuan dari dalam rumah
“Ma, Rafli pulang. “ ujarku
“Iya, sebentar.
Suara derap langkah kaki terdengat sedikit lambat, dari sela-sela tirai terlihat
seorang perempuan yang berjalan keluar dari kamar menuju pintu depan. Terdengar
suara kunci pintu dibuka, kemudian muncul perempuan agak tua masih mengenakan
mukena. Aku raih tangannya, aku cium tangannya kemudian aku rangkul.
“Kamu kenapa?”
“Aku takut ma.” Jawabku
“Kaya baru pertama pulang jam segini.”
“Iyah ma.”
Kusimpan ransel di samping meja, kemudian ku buka jaket. Emak tampak
kebelakang tak lama ia bawa segelas air teh panas dan sepiring wajit cilili. Aku
menghela nafas. Emak duduk disampingku masih dengan mukenanya dan tasbih yang
selalu menemaninya. Jam segitu emak biasa terbangun untuk sholat tahajud, itu adalah
rutinias yang ia lakukan sejak aku kecil. Kutengok ayah masih tertidur, sepertinya ia
kelelahan karena kerja akhir pekan biasanya sampai larut malam. Sementara Liza
adikku masih di podok, ia biasa pulang 3 bulan sekali. Jadi sehari-hari ema dan bapak
yang ada di rumah yang jauh dari tetangga itu.
“Ada apa dijalan, Rafli?” tanya ema
“Ada wangi kemenyan dan melati Ma.” Jawabku
“Yah, kan sudah bisa.”
“Tapi ma, malam ini beda ma.” Jelasku
Emak menghela nafas, terlihat keningnya berkerut. Ia menatapku penuh
dengan tanya, emak memejamkan mata beberapa saat seakan ada hal yang ia simpan
rapat-rapat. Aku tak berani menegunya. Aku biarkan emak melakukan yang ia mau.
“Kamu pulang sendiri dari Bandung?” tanya emak.
“Iya mak, yang lain mau pulang minggu depan”.
“Jam berapa dari Bandung?” tanya emak lagi
“Jam 11 Ma, Bus terakhir jawabku.
“Pantas jam segini baru sampe rumah.” Ujar emak
“Aku tadi bareng sam ceu Lilis, Ma.”
“Apa, Ceu Lilis.”
Emak kaget setengah mati, ia menarik nafas lebih panjang dari tadi, kemudian
ia menggelengkan kepalanya, tangannya agak gemetar memgang tasbih. Emak seakan
tak yakin dengan yang aku katakn. Emak terlihat menelan ludah beberapa kali.
“Apa kamu tak tahu, Rafli?” ujar emak agak gemetar
“Emang ada apa ma?” ujarku penuh tanya
“Ceu lilis itu sudah 40 hari meninggal,”
“Apa Ma?”
“Baru tadi magrib 40 hariannya.” Jelas Emak
“Jadi, tadi saya bareng sama arwah ceu Lilis.”
Lulutku gemetar, keringan dingin keluar di barengi buluk kuduk yang berdiri
serta membuatku secara refleks memgang kepala lalu menarik nafas panjang. Memang
dari awal tidak ada yang memberi tahu kalau di kampung ceu lilis meninggal, teman-
teman di kontrakan juga tidak ada yang cerita. Hanya terakhir aku dengan memang ceu
lilis lagi mengandung anak pertamanya setelah hampir 6 tahun berumah tangga.
“Ceu Lilis meningga, setelah melahirkan.” Jelas Emak
“Aku memang merasa aneh ma, di mobil itu gak seperti baisanya.”
Aku kemudian bercerita mulai dari naik mobil sampai turun di depan gang, aku
ceitakan tanpa ada yang terlewat. Emak hanya mengangguk dan sesekali menarik nafas
panjang. Aku terus nyerocos bercerita tentang kejadian yang menimpaku. Sambil
sesekali minum, dan meraih beberapa wajit cililin.
“Dikampung juga sedang resah.” Ujar emak.
“Resah kenapa ma?” tanyaku penuh keheranan
“Ceu lilis sering menampakkan diri mencari-cari anaknya.”
“Emang anaknya masih hidup?
“Masih, di rawat sama mertuanya.”
“Ceu lilis sering muncul apalagi malam Selasa dan Sabtu.”
“Inikan malam sabtu ma.”
Emak hanya tersenyum, emak sendiri katanya tidak pernah ketemu ceu lilis,
atau arwah ceu lilis itu. Hanya kata orang-orang ceu lilis meninggal dan jadi arwah
penasaran. Ia ingin membawa anaknya bersamanya. Tapi keluarga dari suaminya sudah
menyuruh orang pintar untuk berjaga-jaga jika arwah ceu lilis datang.
Sampai subuh aku dan emak ngobrol membahas kejadian yang menimpaku.
Emak pada dasarnya percaya apa yang aku alami, memang seperti tidak masuk akal
karena bisa bareng satu mobil dengan orang yang sudah meninggal. Aku diminta emak
supaya tidak cerita ke siapa-siapa, termasuk ke tetangga dan kerabat dekat. Emak tidak
mau keluarga Ceu Lilis sedih dan menganggap aku telah membuat cerita halusinasi
belaka.
Karena percakapan mulai mengaltur dan banyak ketawa ketiwi alkhirnya
ayahku terbangun. ia menatapku seolah aku orang asing, beberapa saat ayahku hanya
berdiri di depan pintu. Kain sarungnya masih menempel di pingga, ia raih kacamata di
atas meja samping pintu kamar.
“Eeekh ternyata Rafli” ujar ayah
“Iya yah.” Jawabku sambil berdiri dan meraih tangan ayah
“Kira tamu dari mana, pagi buta begini.”
“Aku makasa pulang setelah selesai kerja yah.”
Ayahku kemudian duduk di ruang tengah, setelah menyuruh emak
membuatkan teh panas, ayahku kemudian bercerita tentang kematian Ceul Lilis dan
kejanggalan pasca kejadian meninggalnya Ceu Lilis. Kemudian aku juga menceritakan
pengalaman yang baru saja aku alami. Ayah sampai menganguk angguk dan sesekali
menarik nafas panjang.
Kopi yang dinanti ayah akhirnnya datang juga, bersama keripik tempe oleh-
oleh dari Bandung sepertinya. Obrolan terhenti saat adzan subuh berkumandang di
munara masjid. Aku langusng pamit ke kamar menyimpan ransel, sejurus kemudian
mandi. Aku kangen air pancuran di belakang rumah, yang airnya langsung dari gunung
sawal. Dingin, tapi sensinya beda. Membuat badan segar kemali dan otot tidak kaku.
“Kejadian tadi malam, jangan sampai ada yang tau.” Ujar Ayah
“Iya ayah, tadi juga ibu berpesan begitu.”
Tidak ada percakapan lain yang keluar dari mulut kami, sepanjang jalan dari
mesjid ke rumah kami hanya sura derap langkah yang terdengar. Aku dan ayah serta ibu
akhirnya sepakat untuk tidak menceritakan pengalaman yang telah aku alami tadi
malam.
Aku anggap kejadian itu hanya pengalaman milikku dan tidak boleh ada orang
yang tau.

Anda mungkin juga menyukai