Cerpen 2
Cerpen 2
Cerpen 2
Ketika ia masuk, ayahku pun menyapanya dengan ramah, “mau keluar kemana?” .
“Jalan-jalan sebentar ya yah?”, saut mama. Mereka berdua keluar lumayan lama, dari siang hingga sore menjelang magrib.
Ketika mama pulang aku sedikit memandangi mamaku yang terlihat bahagia, mungkin stressnya hilang habis jalan-jalan. Biasa lah ibu
rumah tangga, mungkin juga bosan di rumah trus.
“Kamu kenapa sih kak? Kok enggak seneng gitu?” tanya mamaku.
Meletakkan gadget yang yang ada di tanganku dan mulai mengajak mama berbincang-bincang.
“Udah lah, itu kan dulu. Mungkin sekarang dia sudah berubah. Kasian kan, dia sekarang baik kok keliatannya”, jawab
mamaku dengan nada halus.
Menghela napas, “Ya tapi kan masih keliatannya, mama belum bener-bener tau kan itu ada maksudnya atau enggak?”
Melihatku dengan senyuman manis, “sudah sana tidur, jangan terlalu mikir yang enggak-enggak ah.” Sebelumnya aku
memang tidak pernah suka dengan Mbak Ani. Ia pernah sekali membuat keluargaku hampir hancur karena fitnah-fitnah yang ia
sebarkan ke tetangga tentang hubungan ayahku dan dia. Meskipun semua orang yakin hal tersebut tak benar, aku hanya
menyayangkan apa yang Mbak Ani lakukan. Hingga akhirnya memang terbukti dia bukan wanita baik-baik.
***
Selama beberapa minggu mamaku lebih sering keluar sama Mbak Ani. Sebenarnya sih aku nggak terlalu suka, karena dulu
pernah ada kesalahan yang mungkin orang lain juga susah memaafkan. Hanya saja mamaku yang tidak mau ambil pusing. Yasudalah
pikirku.
Malam itu, kamarku sudah gelap. Jarum jam berhenti di angka 10, waktunya aku tidur memang. Hanya ada sorotan lampu
dari ruang tengah yang masuk ke kamar melalui lubang ventilasi. Mataku mulai terpejam, meski belum hilang sadar seratus persen. Di
tengah keheningan tersebut, terdengar bunyi hp ayah yang membuatku kembali setengah sadar, hingga kemudian aku benar-benar
sadar ketika aku mendengar mamaku berbicara dengan nada tidak seperti biasanya.
“Bawa sini hp-nya!”, suara mamaku dengan nada cukup tinggi. Aku sudah mengira, sepertinya memang lagi bertngkar. Tapi
aku tak berani keluar kamar, ya meskipun aku anaknya, aku berfikir itu urusan orang dewasa.
***
“Sarapan yuk, keburu jam 7.” Suara mamaku yang memanggil aku dan adik laki-lakiku Dani yang sedang bersiap-siap pergi
ke sekolah sambil menyisir rambut dan membubuhkan sedikit pomade di rambutnya.
“Kerja lah”, kata mamaku sambil sibuk menyiapkan nasi untuk aku dan Dani.
Baru kali ini ayah berangkat kerja tidak pamit dan sarapan pagi dengan kami. Padahal dia tidak pernah absen kalau urusan
sarapan.
Hari itu aku pulang sekolah sama Nadia, temanku dari TK sampai SMA. Melepas sepatu dan aku taruh sebelah pintu masuk,
tiba-tiba terdengar suara ayah.
“Taruh belakang sana, bikin nggak enak dilihat aja ditaruh situ”. Tanpa mengiyakan perkataan ayahku, aku sedikit berfikir
kenapa ia ada di rumah padahal tadi pagi mama bilang ayah kerja. Entah kenapa juga, mereka tidak saling sapa.
Hari demi hari aku semakin heran dengan sifat ayahku. Ia mulai sering marah kepada anak-anaknya terutama kepada
mamaku. Ia berubah menjadi ayah yang tidak pernah aku kenal. Sebelumnya aku tidak pernah melihat ayah marah kepadaku, bahkan
berbicara dengan nada tinggi sekalipun. Aku sedikit bingung, perasaan aku nggak bikin salah. Lama kelamaan juga aku semakin
sering melihat mamaku menangis.
“Kalau mama kerja ke luar negeri boleh nggak?.” Hal itu membuatku shock dan langsung terbangun tanpa ada rasa ngantuk
tersisa sedikitpun.
Aku pun kembali merebahkan badanku ke kasur dengan santai, karena aku tahu ayahku adalah orang yang tidak mungkin
mengizinkan istrinya untuk itu.
“Ini ayah yang nyuruh”, timpal mamaku. Aku kembali terbangun dan kali ini tidak hanya duduk melainkan berdiri.
“Silahkan aja ma, kalau mama mau aku jadi anak nggak bener karena ga ada yang ngontrol.”
Tanpa menghiraukan mamaku, aku beranjak dari kasur dan pergi untuk mandi. Fikirku dengan mandi aku bisa sedikit tenang
dengan merenungi kejadian akhir-akhir ini di keluargaku. Baru keluar dari kamar mandi, tiba-tiba mamaku berkata dengan lirih dan
mendekat.
“Kemana?”, tanyaku.
“Ke pakdhemu.”
Sesampainya di rumah pakdhe, ibuku langsung duduk dengan muka sangat khawatir. Aku sungguh tidak tau sebenarnya ini
ada apa dan kenapa mama nggak pernah cerita padaku.
“Pantes saja seperti itu, dia pake 3 dukun sekaligus loh”, tiba-tiba pakdheku nyeletuk.
“Hah dukun apa?”, tanyaku keheranan, karena aku adalah orang yang paling tidak percaya dengan hal-hal seperti itu, sama
sekali tidak percaya. “Pakdhe jangan ngaco deh, dukun apa?”
Mamaku menghela napas dengan pandangan kosong ke bawah. Melihatku yang sangat emosi, pakdhe berusaha menjelaskan
seuatu yang selama ini hanya berkutat di fikiranku dan membuatku bertanya-tanya.
“Ah pelet apa? Aku nggak percaya. Kayak gitu itu nggak ada loh pakdhe, cuma tahayul.”
Pakdheku berfikir, percuma bicara dengan orang yang tidak percaya dengan hal seperti ini. Ia hanya menyuruh mamaku
untuk mendoakan ayahku dan melarang mamaku untuk melawan ketika ayahku marah. Apa-apaan ini fikirku.
Hingga suatu malam, ketika aku memasuki kamar mamaku, tiba-tiba kamarnya berbau anyir seperti ketumpahan telur busuk
dimana-mana. Padahal menurut mamaku di kamarnya tidak ada apa-apa. Tapi anehnya kenapa hanya ada di kamar mamaku, kamarku
pun tidak.
“Dia lagi ngirim sesuatu”, dengan tiba-tiba pakdheku masuk dari pintu samping.
Ah apa lagi ini. Aku risih dengan hal-hal semacam ini. Ayahku yang tidak pulang-pulang sedari kemarin dan mamaku yang
tiap hari menangis membuatku ingin beranjak dari rumah. Dengan pelan mama menarik tanganku dan menyuruhku duduk.
“Ternyata firasatmu selama ini benar. Mbak Ani deketin mama karena ada maunya.”
“Mbak Ani ternyata suka dengan Ayahmu. Dia menggunakan cara tidak baik supaya bisa mendapatkan ayahmu.”
Ya Allah, sebelumnya aku hanya mendengar cerita seperti ini di sinetron, tapi sekarang ada dalam keluargaku.
“Kata pakdhemu, Mbak Ani pake dukun kak”, satu hal ini yang sedikit janggal bagiku dan membuatku menyangkal
mamamku. “Tapi kan dukun-dukunan itu nggak ada mama.”
“Kamu boleh nggak percaya, tapi ini benar. Ayahmu tiap hari marah sama mama. Menurutmu apakah uang lima puluh ribu
cukup untuk belanja sehari? Tidak kan? Tapi ayahmu marah, mengatai mama boros dengan uang lima puluh ribu sehari.”
“Ayahmu juga berfikir lebih baik mama kerja ninggalin rumah biar bisa seperti Mbak Ani katanya.”
Ayahku yang tidak pernah suka dengan Mbak Ani sedari dulu, kenapa tiba-tiba selalu memujinya di depan mamaku. Disini
aku mulai berfikir, apa pelet itu benar-benar ada. Mamaku yang tadinya tidak percaya pun mulai percaya.
Pakdheku sedikit terdiam melihat perbincanganku dengan mama. “Kamu masih ada baju mantenmu dulu?” Aku tidak tahu
lagi apa yang akan pakdheku lakukan, intinya aku ingin ayahku cepat kembali seperti ayahku sebelumnya.
***
Dengan muka sedikit temenung, ketika akan berangkat sekolah kupakai sepatuku dengan posisi aku duduk di tengah pintu.
Gerimis di pagi itu masih membuatku malas unuk pergi sekolah, ditambah air gerimis yang jatuh menghantam genteng rumah
membuat suasana pagi sedikit berisik. Tiba-tiba suara ayahku kembali terdengar.
Kaget, shocl, dan tidak percaya ayahku tiba-tiba kembali ke rumah dengan wajah yang lebih segar, tidak seperti kemarin-
kemarin dan lebih menyenangkan. Gerimis yang tadinya terasa berisik, seakan berubah seperti salju yang turun dengan lembut dan
menyejukkan seisi kepala dan perasaanku. Aku pun kembali teringat, tadinya aku yang sempat berfikir pelet itu ada, aku juga
memikirkan apa yang dilakukan pakdheku kemarin benar-benar ada hasilnya. Meskipun sekarang ayahku sudah kembali seperti
semula, tetap ada teori dalam fikiranku tentang apakah dunia ilmu hitam itu nyata atau hanya semu yang ada karena kebetulan.
***