Bab Ii
Bab Ii
Bab Ii
id
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Definisi Antraks
Antraks adalah infeksi zoonosis yang disebabkan oleh B. anthracis
yang terjadi hewan herbivora dan dapat ditularkan ke manusia, melalui
kontak langsung maupun tidak langsung (Tunkel et al., 2010).
2. Epidemiologi
Kejadian antraks dapat ditemukan hampir di seluruh dunia, tetapi
umumnya kasus antraks terjadi di wilayah dengan geografis yang terbatas.
Daerah endemis umumnya memiliki karakteristik tanah yang berkapur,
alkalin, dengan episodik banjir serta lingkungan yang hangat (Xie, Auth
dan Frucht, 2011). Indonesia merupakan salah satu wilayah yang memiliki
angka kejadian antraks cukup tinggi. Terdapat 14 provinsi yang
dinyatakan sebagai daerah endemis antraks yaitu Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sulawesi
Tenggara, Selatan dan Tengah, Sumatera Barat, Jambi, dan DI
Yogyakarta. Pada tahun 2010-2016 terdapat 172 kasus antraks dan 97% di
antaranya adalah kasus antraks kulit (Kemenkes RI., 2017).
3. Penyebab Antraks
Agen penyebab penyakit antraks adalah bakteri B. anthracis yang
termasuk dalam kingdom phylum firmicutes, genus bacillus dan species
B. anthracis (Martin et al., 2010). Bakteri ini ada di alam mempunyai dua
bentuk, yaitu sebagai sel tumbuh aktif yang disebut bentuk vegetatif dan
spora aktif (Tunkel et al., 2019). Spora sangat kuat dan tahan terhadap
suhu, kelembaban dan sinar ultraviolet yang ekstrem. Spora antraks dapat
hidup dalam waktu hingga 60 tahun di lingkungan tanpa nutrisi atau air.
Pada saat spora memasuki inang mamalia, lingkungan internal inang yang
kaya akan air, gula, dan asam amino akan menginduksi spora untuk
commit to user
1
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5
2) Antigen Somatik
Antigen ini terdiri dari D-galaktosa dan N-asetil
galaktosamin, yang dapat bereaksi silang pada golongan darah A
dan pneumokokus tipe 14 (Liu et al., 2018).
3) Toksin Antigen
Virulensi bakteri ini ditentukan oleh kapsul kuman dan
toksin, yang ditemukan pada tahun 1950-an oleh Smith dan Kepie.
Toksin ini terdiri dari Edema factor (EF), Protective antigen (PA)
dan Lethal factor (LF).
Adanya toksin ini dapat menyebabkan edema, nekrosis
jaringan dan perdarahan. Jika ketiga faktor ini berdiri sendiri, tidak
akan menyebabkan efek toksik. Edema toxin (ET) terbentuk dari
kompleks EF dan PA (Xie, Auth and Frucht, 2011). Adanya PA
menyebabkan masuknya EF dan LF ke dalam sel, dengan cara
membentuk ikatan dengan reseptor seluler (Liu et al., 2018). Ikatan
PA dengan reseptor selulernya memungkinkan EF dan LF masuk
ke dalam sel. Aktivasi EF akan mempercepat perubahan Adenosine
trifosfat (ATP) menjadi Cyclic Adenosine Monophosphate
(cAMP). Kemampuan EF mengubah ATP menjadi cAMP sangat
kuat dibanding dengan toksin pada kuman kolera, sedangkan LF
adalah metaloproteasa yang faktor virulensi utama B. anthracis.
Penyuntikan lethal toxin pada mencit akan menyebabkan kematian
dalam waktu 38 menit. Hal ini menjelaskan jika antibodi terhadap
PA ini bersifat protektif dan ikatan dengan PA yang menyebabkan
EF dan LF tidak dapat masuk ke dalam sel (Moayeri et al., 2015).
e. Pertahanan Hidup
Mekanisme dalam mempertahankan hidup B. anthracis terdiri
dari bentuk kapsul dan spora. Bentuk spora melindungi bakteri
terhadap kondisi ekstrim sehingga bakteri ini dapat bertahan hidup
hingga puluhan tahun. Kapsul merupakan lapisan tipis yang
menyelubungi dindingcommit to user
luar dari bakteri, yang terdiri dari polipeptida
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6
4. Cara Penularan
Penularan pada manusia terjadi setelah ada hewan yang terinfeksi
atau produk hewan yang terkontaminasi, antara lain: daging, kulit, tulang,
darah atau bisa juga melalui udara yang mengandung spora, misalnya,
pada pekerja di pabrik wool atau kulit binatang. Antraks tidak dapat
ditularkan dari manusia ke manusia (Inglesby et al., 2002). Penularan
disebabkan karena kontak langsung dengan spora yang ada di tanah
(Tunkel et al., 2010). Transmisi dari lalat juga dilaporkan dapat sebagai
media penularan, yaitu lalat yang membawa spora dari bangkai ke hewan
lain atau manusia (Moayeri et al., 2015).
Manusia akan terinfeksi apabila endospora masuk ke dalam tubuh
melalui kulit yang terbuka, misalnya lecet atau luka, melalui pernafasan
atau makanan yang telah terkontaminasi dengan B. anthracis yang tidak
dimasak sampai matang (Martin et al., 2010).
5. Patogenesis Infeksi Antraks
Infeksi antraks diawali dengan masuknya endospora yang dihasilkan
oleh B. anthracis ke dalam tubuh manusia, melalui abrasi kulit, tertelan
atau terhirup udara saat bernafas. Virulensi ditentukan oleh dua macam
plasmid yang terdapat pada sitoplasma bakteri. Dua macam plasmid
tersebut adalah pXO1 dan pXO2. (Xie, Auth and Frucht, 2011). Pengaruh
pXO1 sebagai pembawa gen penghasil toksin sedangkan pXO2 sebagai
pembawa gen penghasil kapsul. Plasmid pX02 menghasilkan kapsul yang
mana berfungsi melindungi sel dari fagositosis dan lisis (Porasuphatana,
2010).
Bakteri masuk ke dalam tubuh menjadi bentuk spora, lalu akan
bereaksi dengan sistem kekebalan tubuh. Spora yang aktif mulai
berkembang biak dan menghasilkan tiga molekul protein, yaitu protective
antigen (PA), lethal factor (LF), dan edema factor (EF) (Xie, Auth and
Frucht, 2011). Ketiga molekul ini tidak bersifat toksik, tetapi bila
bergabung membentuk dua macam toksin (Inglesby et al., 2002).
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8
From
terminally
infected
animal or
carcass
Biting after
fly
death
Germination & multiplication
in lymphatic & spleen.
Vegetative forms released in
massive numbers into blood
Pulmonary in final hours of life
(spore-
laden dust)
SPORE Ingested
Gastrointestinal S (grazing,
(infected browsing
meat,contaminate ,drinking
water) ). Inhaled
Sporulate sometime
Cutaneou s?
s on
(via exposure
lesion) to O2
VEGETATIVE FORMS
(shed at death in
haemoraghic exudate
from nose, mouth or
anus or in split blood)
Replication and
Spores Vegetative Innate immune dissemination
encapsulated response disabled
bacteria
Cardiomyocytes
Lethal
Germination Vascular
collapse
Smooth muscle
Edema
Liver
Edema
NLRP1-S
(LT-responsive) Proinflamatory
Myeloid cell cytokine
production
Neutrophil
recruitment
Gambar 2.2 Toksin antraks dari bentuk vegetatif (Martin et al., 2010).
Keterangan : Saat spora masuk kemudian berubah menjadi bentuk vegetatif dan
menghasilkan LT dan ET, yang dapat bermanifestasi ke jantung dan hati.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11
B. anthracis
Edema
Necrosis,
hypoxia
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13
IMMUNE SYSTEM
macrophages Dendritic
Inhibition of cytikone secretion, cells Suppression of cytokine
Lysis and apotosis of macrophage, secretion,
Impaired innate immunity Downregulation of costimulatory
X
molecules
Defective T,B cell priming,
Impaired innate and adaptive
immunity
Bacillus anthracis
Cleaves n-terminal
fragments of MKKs
Impaired MAPK(p38,ERK,JNK)
phosphorylation
X X
CIRCULATORY ENDOCRINE
SYSTEM SYSTEM
Endothelial cell Suppression of
Apoptosis Inflamation
Gambar 2.4 Perusakan jalur MAPK oleh antraks (Heninger et al., 2006).
Keterangan: Spora B. anthracis mengeluakan LT yang memicu efek sistem imun,
sirkulasi dan endokrin. MAPK : mitogen activated protein kinase; ERK : extracelluler
signal-regulated kinase; JNK : c-June N-terminal kinase
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15
Gambar 2.5 Jalur infeksi antraks di kulit, intestinal dan paru (Decker, 2003).
Keterangan: Spora B. anthracis dapat masuk melalui kulit, saluran cerna dan saluran
nafas kemudian ditangkap makrofag dan masuk kelenjar limfe regional yang dapat
bermanifestasi pada berbagai macam organ hingga terjadi kematian.
B. anthracis dapat tumbuh dan berkembang tanpa ditelan oleh sel fagosit.
Sel fagosit kemudian mengeluarkan sinyal kimia yang disebut cytokines
untuk menarik sel fagosit lain ke lokasi infeksi, kumpulan dari sitokin
tersebut akan menginduksi kebocoran pada pembuluh darah di dekatnya,
sehingga sel fagosit yang melewati pembuluh darah dapat meninggalkan
sirkulasi dan bergerak ke arah situs infeksi untuk membantu menghadapi
bakteri, komplemen juga ikut ke tempat terjadinya infeksi, yang bertugas
menempel pada bakteri dan membuat sel fagosit lebih mudah untuk
menelan bakteri (Moayeri et al., 2015).
Pada cutaneous anthrax, sel-sel fagosit dan cairan yang bocor ke
dalam kulit menghasilkan benjolan dan pembengkakan kulit pada lokasi
situs infeksi. Limfonodi di sekitar tempat terjadinya infeksi, seperti di
ketiak atau leher, dapat ikut mengalami pembengkakan akibat dari
pertumbuhan B. anthracis dan akibat meningkatnya jumlah sel darah putih
yang mencoba melenyapkan bakteri tersebut (Liu et al., 2018). Pada
antraks kulit, sebagian besar bakteri masih berada pada tempat masuknya
infeksi, sel fagosit mungkin masih bisa menelan dan membunuh semua
bakteri dan Infeksi dapat dihilangkan tanpa pengobatan. Area hitam pada
kulit, disebabkan oleh kumpulan dari sel-sel fagosit yang mati dan sel-sel
kulit di sekitarnya, lesi tersebut akan menghilang karena sel-sel kulit baru
menggantikan sel yang telah mati (Moayeri et al., 2015).
a. Peran TNF-α pada Infeksi Antraks
Tumor necrosis factor-α (TNF-α) dikloning lebih dari 2 dekade
yang lalu dan identifikasi menjadi awal penemuan super family of
tumor necrosis factors (TNFs) dan reseptornya. Sinyal TNF-α melalui
dua reseptor transmembran, TNFR1 dan TNFR2, dan mengatur
sejumlah fungsi sel yang penting termasuk proliferasi sel,
kelangsungan hidup, diferensiasi, dan apoptosis. Makrofag adalah
produsen utama TNF-α dan juga sangat responsif terhadap TNF-α.
Produksi TNF-α yang terganggu dan pensinyalan reseptor TNF telah
commit beberapa
dikaitkan dengan patogenesis to user penyakit, termasuk rheumatoid
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21
sel monosit, tipe sel leukosit lain: neutrofil, eosinofil, sel Natural
Killer, sel mast, fibroblast dan sel endotelial, yang diinduksi oleh
berbagai stimulus, IL-1β, TNF-α, agen infeksi, iskemia, sel
neoplasma, trauma atau gangguan homeostasis jaringan (Li et
al.,2013).
Interleukin-8 telah lama dikenal memiliki aktivitas anti-
inflamasi, yang telah terbukti pada berbagai model infeksi,
peradangan, dan kanker. Beberapa jenis sel mengekspresikan reseptor
untuk IL-8 dan berperan dalam menghasilkan molekul yang aktif baik
secara lokal maupun sistemik. Peningkatan ekspresi IL-8 dan / atau
reseptornya telah ditandai pada banyak kondisi inflamasi kronis,
termasuk psoriasis, ARDS, COPD, dan RA serta banyak kanker, dan
peningkatan regulasi sering berkorelasi dengan aktivitas penyakit.
Interleukin-8 merupakan kelas kemokin CXC yang ampuh dan
aktivator neutrofil dan sel imun lainnya (Qazi et al., 2011).
Gambar 2.6 Interleukin 8 pada respon inflamasi (McChuaig dan Martin, 2013).
commit
Keterangan : Adanya infeksi bakteritomenyebabkan
user TLR4 mengaktifkan IL-8, dan
peningkatan kadar TNF-α menyebabkan aktivasi pada IL-8.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27
Gambar 2.7. Jalur Toll like receptor (Yang dan Seki., 2012).
Keterangan: IL-6: interleukin -6; TNF: Tumor Necrosis Factor Alpha; IRAK;
interleukin-1 receptor-associated kinase; TLR4: Toll like receptor 4; Th2: T helper 2
2000).
Pengukuran E-selectin menggunakan metode pemeriksaan
imunohistokimia dengan antibodi monoklonal terhadap E-selectin.
Cara penilaiannya secara kuantitatif visual dengan mikroskop cahaya
pembesaran 400x pada sel yang mengekspresikan E-selectin, yang
dihitung dari jumlah sel-sel tersebut yang imunoreaktif berwana coklat
perak pada membran sel, dan jumlah semua sel imunoreaktif yang
ditemukan kemudian dilakukan skoring.
Selectin ini adalah lektin tipe C yang diekspresikan pada
permukaan leukosit, trombosit dan sel endotel yang teraktivasi, dengan
memicu penarikan leukosit dan trombosit pada endotel vaskular dan
hal ini penting bagi limfosit yang menuju ke organ limfoid sekunder
dan untuk perekrutan leukosit ke lokasi peradangan (McEver, 2002;
Cummings dan McEver, 2009). Selectin ini terbagi menjadi tiga, yaitu:
L-selectin, yang diekspresikan pada semua leukosit kecuali sel-T yang
diaktifkan, E-selectin yang diekspresikan oleh endotel yang diaktivasi
oleh sitokin dan P-selectin, yang diekspresikan oleh trombosit dan
endotel yang teraktivasi. E-selectin diekspresikan dalam sel endotel
yang distimulasi sitokin dengan mengenali sejumlah glikoprotein pada
leukosit (Ivetic dan Ridley, 2004; Cummings dan McEver, 2009).
Aktivasi endotel terhadap respon inflamasi sistemik pada infeksi
bakteri, yang di awali dengan pelepasan penanda endotel yang larut ke
dalam sirkulasi, ditandai dengan peningkatan kadar CAMs dalam
plasma (Golias et al., 2007). Infeksi antraks akan menghasilkan toksin,
yaitu lethal toxin, yang merupakan faktor virulensi utama dari
B anthracis, dimana akan meningkatkan ekspresi vascular cell
adhesion molecule 1 (VCAM-1) pada sel endotel manusia sebagai
respon imun dan menyebabkan timbulnya vaskulitis (Warfel dan
D’Agnillo, 2008).
commit
e. Peran Malondialdehyde padatoinfeksi
user antraks
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32
g. Lesi kulit dapat soliter atau multipel. Jika lesi multipel biasanya
commit
ditemukan di bagian tubuhto usersama.
yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35
pelapukan dan invasi oleh predator, yang menjadi lunak dan lengket saat
dipanaskan, serta memiliki bau yang khas (Pasupuleti et al., 2017).
Caffeic Acid Phenethyl Ester merupakan antioksidan fenolik, yang
memperlihatkan aktivitas anti-inflamasi (Armutcu et al., 2015), antiviral
dan anti-tumor (Ulasli et al., 2013) dan , merupakan penghambat yang
poten dan spesifik terhadap aktivasi NF-κB (Fitzpatrick et al., 2001).
Adanya peningkatan ROS atau NF-κB dapat diminimalkan dengan
pemberian CAPE (Murtaza et al., 2014), yang juga dapat menghalangi
produksi ROS pada neutrofil manusia dan dalam sistem xanthine oxidase
pada konsentrasi 10 mol/L (Irmak et al., 2003). Zat aktif lainnya adalah
quersetin, yang dapat mengurangi produksi nitric oxide (NO) yang di
induksi lipopolisakarida, ekspresi inducible nitric oxide synthase (iNOS),
dan pelepasan TNF-α serta IL-6, sehingga dapat mengurangi aktivasi
MAPK dan NF-κB, yang merupakan kompleks faktor transkripsi yang
sangat berpengaruh dalam ekspresi gen-gen pro-inflamasi (Lee et al.,
2010).
Total kandungan yang terdapat pada EEP Gunung Lawu adalah
CAPE sebanyak 30,24 ± 3,53 x 10-6 g dan quersetin sebanyak 4,42 ± 0,50
x 10-6 g (Sarsono et al., 2012). Efek anti-inflamasi ditunjukkan pada hasil
penelitian yang menyatakan pemberian propolis Gunung Lawu dapat
menurunkan HMGB-1 pada mencit model infertilitas jantan. Efek EEP
sebagai antioksidan telah terbukti pada dosis 200 mg/kgBB/hari yang
diberikan selama 30 hari, dapat menurunkan kadar MDA serum, serta
memperbaiki luka pada mencit Balb/C model kaki diabetik (Diding et al.,
2013).
Propolis ini tidak dapat langsung digunakan, namun harus dilakukan
pemurnian melalui ekstraksi menggunakan pelarut (Pietta et al. 2002).
Penelitian Cunha dalam Sforcin dan Bankova (2011) menyatakan bahwa
pelarut berbeda akan menghasilkan komponen yang berbeda serta
berpengaruh terhadap aktivitasnya. Saat ini propolis dapat diekstrak
dengan menggunakan aircommit to user
dan etanol pada berbagai konsentrasi sebagai
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38
dua kali tiap hari (Trusheva et al., 2007). Tahap selanjutnya dilakukan
penyaringan dengan corong buchner dan kertas saring untuk memisahkan
filtrat dari ampas ke dalam tabung erlemeyer sehingga diperoleh filtrat.
Hasil filtrasi (penyaringan) yang didapat dievaporasi dengan rotary
evaporator pada suhu 45oC dengan tekanan vakum (<1 atm) selama
kurang lebih 4 jam sehingga diperoleh ekstrak propolis yang
konsentrasinya kental (± 100 g). Selanjutnya ekstrak propolis diuapkan
selama 24 jam di dalam gelas beaker sehingga kandungan etanolnya
menguap (Fu et al., 2005).
Pemberian propolis pada infeksi antraks belum pernah dilakukan,
analisis pada respon inflamasi dan stress oksidatif merupakan fokus utama
penelitian ini. Propolis telah digunakan sejak dahulu kala antara lain untuk
pengobatan, produk makanan dan kosmetik. Faktanya, berbagai sifat
biologis propolis telah dibuktikan sebagai antibakteri, antijamur,
antiprotozoa, antioksidan, antitumor, anti-inflamasi, anestesi,
penyembuhan luka, imunomodulator, antiproliferative dan antikariogenik
(Toreti et al., 2013; Vijay, 2013; Mohamad et al., 2015; Jose, 2016).
Komposisi kimia propolis sangat dipengaruhi oleh jenis vegetasi yang
dikunjungi lebah dan musim. Propolis umumnya terdiri 50-60% resin dan
balsam, 30-40% lilin, 5-10% minyak esensial dan aromatik, 5% serbuk
sari, dan 5% senyawa lain (Jose, 2016). Studi menunjukkan bahwa
propolis berfungsi sebagai anti-inflamasi yang ampuh untuk peradangan
akut dan kronis (Vincenzo et al., 2017). Zat terkandung dalam propolis
yang dapat menghambat siklooksigenase karena prostaglandin (Vijay,
2013; Washio et al., 2015). Pengujian berbasis antibodi ini biasanya
divalidasi terhadap pengukuran MDA dengan high-performance liquid
chromatography (HPLC) dan menunjukkan kinerja yang baik dengan
peningkatan spesifisitas (Kandar and Stramova, 2015, Washio et al.,
2015).
Propolis mentah mengandung zat pengotor seperti kayu, lilin, serbuk
sari bahkan lebah yang commit
mati, to user perlu dilakukan pengamatan
sehingga
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
41
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43
B. Kerangka
Teori
IL-1β
IL-18
Keterangan:
ET : Edema Toxin
Ig : Immunoglobulin
IKB : Inhibitor Nuclear Factor NF-κB
IL-8 : Interlukin 8
IL-1ß : Interlukin 1 beta
LT : Lethal Toxin
PMN : Neutrofil Polimorfonuklear
ROS : Reactive Oxygen Species
TLR4 : Toll Like Reseptor 4
TNF α : Tumor Necrosis Factor alpha
NFKß : Nuclear Factor NF-κB
MDA : Malondialdehyde
MMP : Matrix Metalloproteinase
: Variabel yang diteliti
: Variabel bebas
: Menghambat
: Memicu
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45
commit to user
46