Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Bab 2 - 201904062

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 36

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini dijelaskan tentang teori yang mendukung penelitian meliputi

: 1) Konsep Hipovolemia, 2) Konsep Lansia, 3) Konsep diare, 4) Konsep asuhan

keperawatan hipovolemia pada lansia yang mengalami diare.

2.1 Konsep Hipovolemia

2.1.1 Definisi

Hipovolemia adalah penurunan volume cairan intavaskular,

interstisial, dan/atau intaseluler (PPNI, 2017). Hipovolemia juga diartikan

sebagai suatu kondisi akibat kekurangan volume cairan ekstraseluler

(CES), dan dapat terjadi karena kehilangan cairan melalui kulit, ginjal,

gastrointestinal, perdarahan (Tarwoto & Wartonah, 2019).

Hipovolemia adalah suatu kondisi akibat kekurangan volume

cairan ekstraseluler. Kekurangan cairan eksterna terjadi karena

penurunan asupan cairan dan kelebihan pengeluaran cairan. Tubuh akan

merespon kekurangan cairan tubuh dengan mengosongkan cairan

vaskuler. Sebagai kompensasi akibat penurunan cairan interstisial, tubuh

akan mengalirkan cairan keluar sel. Pengosongan cairan ini terjadi pada

pasien diare dan muntah (Brunner& Suddarth, 2020).

2.1.2 Etiologi

Penyebab hipovolemia menurut standar diagnosis keperawatan

indonesia (SDKI DPD PPNI, 2017) adalah kehilangan cairan aktif

melalui (kulit, gastrointestinal, dan ginjal), kegagalan mekanisme

regulasi, peningkatan permeabilitas kapiler, kekurangan intake cairan.

21
Hipovolemia ini dapat terjadi disebabkan karena penurunan masukan,

kehilangan cairan yang abnormal melalui kulit, gastrointestinal, ginjal

abnormal, perdarahan.

2.1.3 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala dari hipovolemia menurut (SDKI DPD PPNI, 2017)
ialah :

a. Gejala dan tanda mayor

1) Objektif

(a) Nadi teraba lemah

(b) Tekanan darah menurun

(c) Membran mukosa kering

(d) Turgor kulit menurun

b. Gejala dan tanda minor

1) Subjektif

(a) Merasa lemah

(b) Mengeluh haus

2) Objektif

(a) Pola tidur berubah

(b) Status mental berubah

(c) Suhu tubuh meningkat

(d) Berat badan turun tiba-tiba

22
2.1.4 Luaran Hipovolemia

Luaran hipovolemia yang digunakan pada lansia yang mengalami

diare pada karya tulis ilmiah ini mengacu pada (Tim Pokja SLKI DPP

PPNI, 2019) yaitu status cairan meliputi :

1) Frekuensi nadi membaik

2) Tekanan darah membaik

3) Turgor kulit membaik

4) Perasan lemah menurun

5) Keluhan haus menurun

6) Berat badan membaik

7) Intake cairan membaik

8) Suhu tubuh membaik

9) Status mental membaik

2.1.5 Intervensi Keperawatan

Tindakan keperawatan hipovolemia pada lansia yang

mengalami diare pada karya tulis ilmiah ini mengacu pada (Tim Pokja

SIKI DPP PPNI, 2018) yaitu manajemen hipovolemia, meliputi :

1. Observasi

1) Periksa tanda dan gejala hipovolemia (misalnya tekanan

darah menurun, nadi teraba lemah, turgor kulit menurun,

membran mukosa kering, lemah dan merasa haus).

2) Monitor intake dan output cairan.

2. Terapeutik

1) Hitung kebutuhan cairan

2) Berikan asupan oral

23
3. Edukasi

1) Jelaskan penyebab kekurangan cairan (hipovolemia)

2) Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral

4. Kolaborasi

1) Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (misalnya NaCl,

RL)

2) Kolaborasi pemberian obat-obatan antidiare (seperti

attapulgite, diatabs, loperamide) dan antibiotik (seperti

ciprofloxacin, levofloxacin, cefixime, metronidazole,

cotrimoxazole).

2.1.6 Rumus Hipovolemia

Rumus Balance Cairan = Intake Cairan – Output Cairan

Rumus IWL = 15 x berat badan


24 jam

Rumus IWL kenaikan suhu = [(10% x CM) + jumlah kenaikan suhu] + IWL normal
24 jam
Rumus AM = 5cc x berat badan
24 jam

Hal yang perlu diperhatikan : (Wahyudi, 2019)

1) Intake cairan : 2) Output cairan :

- Cairan infus - Feses


- Obat injeksi/terapi injeksi - Urin
- Makanan dan minuman - Muntah
- Air metabolisme (AM) - IWL (Insensible Water Loss)

24
Contoh : Tn.B berat badan 50 kg, suhu 38°C (suhu normal 37°C), BAB 8x sehari, urin 1000cc/hari

• Intake / cairan masuk :

Infus = 1500 cc

Injeksi = 150 cc

Oral = 350 cc

Air metabolisme = 250 cc (5 cc x 50 kg) +

Jumlah intake = 2250 cc

• Output / cairan keluar :

BAB 8x = 800cc/hari

Urine = 1000cc/hari

IWL = (15cc X 50kg)


24 jam

= 750cc
24 jam

= 31,25 cc/jam

*kalau dalam 24 jam,

31,25 x 24 = 750cc/24 jam

IWL kenaikan suhu = [(10% x CM) + jumlah kenaikan suhu] + IWL normal
24 jam
= [(10% x 2000) + (38°C - 37°C)] + 31,25 cc
24 jam
= (200 x 1) + 31,25 cc
24 jam
= 8,4 + 31,25
= 39,7 cc/jam
*kalau dalam 24 jam,
39,7 x 24 = 960cc/24 jam
Jadi, jumlah output cairan Tn.B 2.760cc/24 jam

25
Jadi, balance cairan pada Tn.B adalah

Intake cairan – output cairan = 2.250cc – 2.760cc

= -510cc

2.2 Konsep Lansia

2.3.1Definisi Lansia

Lansia adalah seseorang yang telah berusia ≥60 tahun dan tidak

berdaya mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

sehari-hari (Yuliastati & Amelia, 2019).

Pada lansia akan terjadi proses hilangnya kemampuan jaringan

untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi

normalnya secara perlahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi

dan memperbaiki kerusakan yang terjadi. Oleh karena itu, dalam tubuh

akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural yang

disebut penyakit degeneratif (Nurlaila et al, 2018).

Lansia juga bisa didefinisikan sebagai tahap akhir dari proses

tumbuh dan kembang yang pasti akan dialami setiap individu yang hidup

(Andari et al., 2021)

Jadi lansia atau lanjut usia adalah individu yang berusia lebih dari

60 tahun yang mengalami proses hilangnya kemampuan jaringan untuk

memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya

secara perlahan sebagai tahap akhir dari perkembangan.

26
2.3.2 Batasan Lansia

a) Menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization), lansia

dibagi dalam 4 kategori yaitu :

a. Usia pertengahan (middle age) : 45 - 59 tahun

b. Usia lanjut (elderly) : 60 - 74 tahun

c. Usia Tua (old) : 75 - 89 tahun

d. Usia sangat tua (Veryold) : > 90 tahun

b) Menurut Burnside dalam (Nurlaila et al, 2018), klasifikasi lansia

terbagi menjadi 4 yaitu :

1. Young old (usia 60-69 tahun)

2. Middle age old (usia 70-79 tahun)

3. Old-old (usia 80-89 tahun)

4. Very old-old (usia 90 tahun keatas)

c) Menurut departemen kesehatan RI, lansia terbagi sebagai berikut

(Paramida, 2018):

1) Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa

virilitas

2) Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium

3) Kelompok usia lanjut (kurang dari 65 tahun) senium

27
Jadi, dalam penulisan KTI yang dipakai untuk menentukan

batasan lansia berasal dari Badan Kesehatan Dunia (World Health

Organization), lansia dibagi dalam 4 kategori yaitu :

a. Usia pertengahan (middle age) : 45 - 59 tahun

b. Usia lanjut (elderly) : 60 - 74 tahun

c. Usia Tua (old) : 75 - 89 tahun

d. Usia sangat tua (Veryold) : > 90 tahun

2.3.3 Ciri-Ciri Lansia

Menurut Depkes RI (2016), ciri – ciri lansia adalah sebagai berikut :

1. Lansia merupakan periode kemunduran

Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan

faktor psikologis sehingga motivasi memiliki peran yang penting dalam

kemunduran pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki motivasi yang

rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan mempercepat proses

kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi

yang tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.

2. Lansia memiliki status kelompok minoritas

Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak

menyenangkan terhadap lansia dan di perkuat oleh pendepat yang kurang

baik, misalnya lansia yang lebih senang mempertahankan pendapatnya

maka sikap sosial di masyarakat menjadi negatif, tetapi ada juga lansia

yang mempunyai tanggug rasa kepada orang lain sehingga sikap sosial

masyarakat menjadi positif

28
3. Menua menumbuhkan perubahan peran

Perubahan peran pada lansia sebaiknya di lakukan atas dasar

keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan.

Misalnya lansia menduduki jabatan sosial di masyarakat sebagai ketua

RW, sebaiknya masyarakat tidak menghentikn lansia sebagai ketua RW

karena usianya.

4. Penyusuaian yang buruk pada lansia

Perlakuan yang buruk pada lansia membuat mereka cenderung

mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat memperlihatkan

bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan yang buruk itu

membuat penyesuan diri lansia menjadi buruk pula. Contoh : lansia yang

tinggal bersama kelurga sering tidak di libatkan

2.3.4 Perubahan perubahan yang terjadi pada lansia

2.2.4.1 Perubahan Fisik

Perubahan fisik pada lansia terdiri dari yaitu (Dixit et al., 2018) :

1) Perubahan pada sel :

Jumlah sel menurun atau lebih sdikit, ukuran sel lebih besar,

berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya intraseluler,

menurunya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati, jumlah

sel menurun, terganggunya, mekanisme perbaikan sel, otak menjadi

atrofi beratnya berkurang 5-20% .

2) Perubahan pada sistem indera yaitu :

a) Perubahan pada sistem pendengaran : presbiakusis (gangguan

pendengaran) hilangnya kemampuan atau daya pendengaran pada

telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada- nada yang

tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata- kata.


29
b) Perubahan pada sistem penglihatan: spingter pupil timbul skeloris

dan hilangnya respon terhadap sinar, karena lebih terbentuk sfesis

(bola), terjadi perubahan pada sekitar mata , tumbuhnya kerut-kerut

halus di lensa) menjadi katarak, jelas menyebabkan gangguan penglihatan,

lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap, hilangnya daya

akumodasi, menurunnya lapang pandang, berkurangnya luas pandangan,

menurunnya daya membedakan warna biru/hijau.

c) Perubahan pada pengecap : empat rasa dasar yaitu manis, asam,

manis, dan pahit. Di antara semuanya, rasa manis yang paling tumpul

pada lansia. Maka jelas bagi kita mengapa mereka senang

membubuhkan gula secara berlebihan.

d) Perubahan pada sistem integumen : kulit mengerut atau keriput

akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit kasar dan

bersisik (karena kehilangan proses karatinasi serta perubahan ukuran

dan bentuk sel epidermis), timbul bercak pigmentasi akibat proses

melanogenesis yang tidak merata pada permukaan kulit sehingga

tampak bintik-bintik atau noda berwarna cokelat.

e) Perubahan pada sistem muskuloskoletal : Tulang kehilangan

densitas (cairan) dan semakn rapuh dan osteoporosis, kifosis,

gerakan pinggang, lutut dan jari-jari pergelangan terbatas, gangguan

gaya berjalan, persendian membesar dan menjadi kaku, otot kram

dan menjadi tremor, otot-otot polos tidak berpengaruh.

30
2.3 Konsep Dasar Diare

2.3.1 Definisi

Diare merupakan peningkatan isi air, volume, atau frekuensi

defekasi dan bisa bersifat akut atau kronik. Diare biasanya didefnisikan

sebagai defekasi tiga kali atau lebih dengan fases cair atau lembek dalam

24 jam (Sue & Kathryn, 2019). Menurut Gale & Wilson (2019) Diare

didefinisikan sebagai peningkatan frekuensi tinja, hingga 3 kali atau lebih

per hari atau lebih dari 200g tinja per hari yang berlangsung kurang dari 14

hari.

Definisi lain dari diare adalah bertambahnya frekuensi defekasi

lebih dari biasanya (>3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja

(menjadi cair) dengan/tanpa darah dan/atau lendir (Dewi, 2018). Dalam

jurnal karya Kotloff (2019) mendefinisikan diare sebagai keluarnya tiga

kali atau lebih feses/kotoran encer atau cair per hari (atau lebih sering

keluar dari biasanya untuk individu).

Dari beberapa sumber diatas penulis menyimpulkan diare

merupakan peningkatan frekuensi buang air besar (BAB) dalam bentuk

cairan lebih dari tiga kali dalam satu hari, dan biasanya berlangsung selama

dua hari atau lebih.

2.3.2 Klasifikasi Diare

Secara klinik, diare dibedakan menjadi empat macam sindrom antara lain :

1. Diare Akut

Diare akut ialah diare yang terjadi secara mendadak pada orang

yang sebelumnya sehat. Diare berlangsung kurang dari 14 hari (bahkan


31
kebanyakan kurang dari 7 hari) dengan disertai pengeluaran fases

lunak atau cair, sering tanpa darah, mungkin disertai muntah dan

panas. Penyebab diare akut adalah rotavirus, Escherichi coli

enterotoksigenik, Shigella, Campylobacter jejuni dan Crytosporidium

(Sodikin, 2019). Menurut Gale & Wilson (2018) diare akut

didefinisikan sebagai frekuensi tinja yang meningkat, hingga 3 kali

atau lebih per hari atau lebih dari 200g tinja per hari yang berlangsung

kurang dari 14 hari.

2. Diare Kronik

Diare kronik didefinisikan sebagai diare yang berlangsung

lebih dari 2 minggu. Diare kronik mungkin berkaitan dengan

malabsorpsi nutrien, mungkin juga tidak (Bernstain & Shelow, 2019).

Penyebab diare kronik pada usia lansia adalah enteritis virus,

giardiasis, tumor (diare sekretori), kolitis ulseratif, penyakit seliak

(Terri & Susan, 2019), defisiensi laktosa sekunder pascainfeksi,

irritable bowel syndrome, intoleransi laktosa, enteropati AIDS, defek

imun didapat (Richard & Robert, 2020).

3. Disentri

Menurut Anigilaje (2018) Disentri didefinisikan dengan diare

yang disertai darah dalam fases, menyebabkan anoreksia, penurunan

berat badan cepat, dan kerusakan mukosa usus karena bakteri invasif.

4. Diare Persisten

Diare persisten adalah diare yang pada mulanya yang bersifat

akut tetapi berlangsung lebih dari 14 hari, kejadian dapat dimulai

sebagai diare cair atau disentri.

32
2.3.3 Etiologi Diare

1) Faktor Infeksi

Infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama

diare disebabkan oleh organisme patogen sebagai berikut :

a) Infeksi virus : Rotavirus, Calicivirus, Astrovirus, Adenovirus enterik,

Norwalk like virus.

b) Infeksi bakteri : Campylobacter jejuni, Clostridium difficile,

Escherichia coli, Salmonella, Shigella, Vibrio cholerae, Vibrio

parahaemolyticus, Yersinia enterocolitica.

c) Infeksi parasit : Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, protozoa

pembentuk spora di usus (Criptosporidium parvum, Isospora belli,

Cyclospora cayetanensis, Mikrosporidia) (Karen dkk, 2018).

2) Faktor Malabsorbsi

Bila diare menetap, disertai penurunan berat badan dan defisiensi

nutrisi global atau spesifik, telah terjadi sindrom malabsorpsi.

Menifestasi awal yang biasa terjadi adalah sering buang air besar, tinja

besar dan berminyak, tinja berbau busuk (steatorrhea), penurunan berat

badan dan nafsu makan berlebihan. Menifestasi akhir adalah kegagalan

penambahan berat badan atau penurunan berat badan, gagal tumbuh,

penyusutan otot, perut buncit, defisiensi imun sekunder dan gangguan

nutrisi. Dapat terjadi malabsorsi nutrien tertentu (misalnya, vitamin D

yang mengakibatkan rakitis, vitamin K yang mengakibatkan perdarahan,

vitamin B12, folat dan besi yang mengakibatkan anemia, dan kalsium

yang menyebabkan tetani hipokalsemia, osteopenia, atau fraktur).

Mekanisme malabsorsi meliputi gangguan pencernaan, penurunan

33
absorsi, pengurangan luar permukaan, obstruksi limfatik, obat - obat,

infeksi, penyakit kolagen vaskuler, dan kelaianan endokrin (Kyle &

Carman, 2019).

3) Faktor Makanan

Makanan yang menyebabkan diare adalah makanan yang

tercemar, basi beracun, terlalu banyak lemak, mentah (sayuran dan buah

buahan), dan makanan yang kurang matang. Perilaku yang dapat

mengurangi risiko terjadinya diare adalah mencuci sayur dan buah

sebelum dikonsumsi, karena salah satu penyebaran diare adalah melalui

penyajian makanan yang tidak matang atau mentah.

4) Faktor Lingkungan

Diare dapat terjadi karena seseorang tidak memerhatikan

kebersihan lingkungan dan menganggap bahwa masalah kebersihan

adalah masalah sepele. Kebersihan lingkungan merupakan kondisi

lingkungan yang optimum sehingga dapat memberikan pengaruh positif

terhadap status kesehatan yang baik. Ruang lingkup kebersihan

lingkungan diantaranya adalah perumahan, pembuangan kotoran

manusia, penyediaan air bersih, pembuangan sampah, dan pembuangan

air kotor (limbah). Faktor lingkungan yang dominan dalam penyebaran

penyakit diare pada lansia yaitu pembuangan tinja dan sumber air minum.

34
5) Faktor Perilaku

Kebiasaan mencuci tangan merupakan faktor perilaku yang

berpengaruh dalam penyebaran kuman enterik dan menurunkan risiko

terjadinya diare. Kebiasaan tidak mencuci tangan dengan sabun setelah

buang air besar merupakan kebiasaan yang membahayakan.

6) Faktor sosiodemografi

Faktor sosiodemografi yang berpengaruh terhadap kejadian diare pada

lansia yaitu pendidikan dan pendapatan. Pendidikan seseorang yang

tinggi memudahkan orang tersebut dalam penerimaan informasi, baik

dari orang lain maupun media massa. Banyaknya informasi yang masuk

akan membuat pengetahuan tentang penyakit diare semakin bertambah.

Pendapatan, status sosial, pendidikan, status sosial ekonomi, risiko

cedera, atau masalah kesehatan dalam suatu kelompok populasi dapat

mencerminkan karakteristik pekerjaan seseorang. Kejadian diare lebih

sering muncul pada lansia yang status ekonomi keluarganya rendah.

Tingkat pendapatan yang baik memungkinkan fasilitas kesehatan yang

dimiliki mereka akan baik pula, seperti penyediaan air bersih yang

terjamin, penyediaan jamban sendiri, dan jika mempunyai ternak akan

diberikan kandang yang baik dan terjaga kebersihannya. Faktor

sosiodemografi lain yang dapat memengaruhi kejadian diare adalah

umur. Semakin tua usia pada lansia, maka semakin tinggi kecenderungan

terserang diare. Daya tahan tubuh yang rendah membuat tingginya angka

kejadian diare (Utami & Luthfiana, 2020).

35
2.3.4 Patofisiologi Diare

Diare adalah masuknya virus (Rotavirus, Adenovirus enteritis),

bakteri atau toksin (Salmonella, E. Colli), dan parasit (Biardia, Lambia).

Beberapa mikroorganisme pathogen ini meyebabkan infeksi pada sel-sel,

atau melekat pada dinding usus pada penderita diare. Penelusuran diare

bisa melaluli fekal oral dari satu pasien ke pasien lainnya. Beberapa kasus

ditemui penyebaran pathogen dikarenakan makanan dan minuman yang

terkontaminasi.

Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan

osmotik (makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan

osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan

elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga

timbul diare). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di

dinding usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian

terjadi diare. Gangguan montilitas usus yang mengakibatkan

hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah

kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan

asam basa (asidosis metabolik hypokalemia), gangguan gizi (intake

kurang, output berlebih), hipoglikemia, dan gangguan sirkulasi (Nurarif

& Kusuma, 2019).

Utami & Luthfiana (2019) menyatakan bahwa diare juga dapat

terjadi karena seseorang tidak memerhatikan kebersihan lingkungan.

Faktor lingkungan yang dominan dalam penyebaran penyakit diare pada

anak yaitu pembuangan tinja dan sumber air minum. Kebiasaan mencuci

tangan berpengaruh dalam penyebaran kuman enterik dan menurunkan

36
risiko terjadinya diare.

Faktor sosiodemografi yang berpengaruh terhadap kejadian diare

pada lansia yaitu pendidikan dan pendapatan. Pendidikan seseorang yang

tinggi memudahkan orang tersebut dalam penerimaan informasi. Tingkat

pendapatan yang baik memungkinkan fasilitas kesehatan yang dimiliki

mereka akan baik pula. Semakin tua usia pada lansia, maka semakin

tinggi kecenderungan terserang diare. Daya tahan tubuh yang rendah

membuat tingginya angka kejadian diare.

Sebagai akibat diare baik akut maupun kronis akan terjadi

kehilangan cairan dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan

terjadinya gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik

hypokalemia), gangguan gizi sebagai akibat asupan masukan makanan

yang kurang, tetapi pengeluaran berlebih, hipoglikemia, gangguan

sirkulasi darah, defisit pengetahuan (kurang informasi mengenai edukasi

lingkungan yang bersih dan sehat, pendapatan ekonomi yang rendah,

pendidikan yang rendah, serta kurangnya pengetahuan tentang

kebersihan.

37
2.3.5 Pathway

Menurut (PPNI, 2018)

Infeksi Makanan Psikologi

Berkembang di usus Toksik tidak Ansietas


dapat diserap

Hipersekresi air dan Malabsorbsi KH


elektrolit hiperperistaltik lemak, protein

Isi usus Penyerapan makanan Meningkatkan


di usus menurun tekanan osmotik

Pergeseran air dan elektrolit ke


rongga usus usus

Isi rongga usus


meningkat

Diare

Frekuensi BAB
meningkat

Peningkatan Kehilangan
cairan dan elektrolit
secara berlebihan

Hipovolemia

Gambar 2.1 Pathway GEA berhubungan dengan risiko kekurangan volume cairan
(PPNI, 2018)

38
2.3.5 Gejala dan Tanda Diare

Beberapa gejala dan tanda diare antara lain menurut :

1) Gejala Umum

a) Penderita mengalami berak cair atau lembek dan sering adalah gejala

khas diare.

b) Muntah, biasanya menyertai diare pada gastroenteritis akut

c) Demam, dapat mendahului atau tidak mendahului gejala diare.

d) Gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, ketegangan kulit menurun,

lemah, bahkan gelisah (Widoyono, 2018).

e) Nafsu makan berkurang atau tidak ada.

f) Mulut serta kulit menjadi kering.

g) Berat badan turun.

h) Tonus otot dan turgor kulit berkurang (Sodikin, 2019).

2) Gejala Spesifik

a) Vibro cholera diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan

berbau amis.

b) Disenteriform : tinja belendir dan berdarah (Widoyono, 2019).

2.3.6 Komplikasi Diare

Diare yang berkepanjangan dapat menyebabkan :

1) Dehidrasi (kekurangan cairan).

Tergantung dari persentasi cairan tubuh yang hilang, dehidrasi dapat

terjadi ringan, sedang, atau berat.

39
2) Gangguan sirkulasi.

Pada diare akut, kehilang cairan dapat terjadi dalam waktu yang

singkat. Bila kehilangan cairan lebih dari 10% berat badan, pasien dapat

mengalami syok atau presyok yang disebabkan oleh berkurangnya volume

darah (hipovolemia).

3) Gangguan asam basah (asidosis).

Hal ini terjadi akibat kehilangan cairan elekrolot (bikarbonat)

dari dalam tubuh. Sebagai kompensasinya tubuh akan bernafas cepat untuk

membantu meningkatkan pH arteri.

4) Hipoglikemia ( kadar gula darah rendah).

Hipoglikemiadapat menyebabkan koma. Penyebab yang pasti

belum diketahui, kemungkinan karena cairan ekstrakulikuler menjadi

hipotonik dan air masuk ke dalam cairan intraseluler sehingga terjadi

edema otak yang mengakibatkan koma.

5) Gangguan gizi.

Gangguan gizi terjadi karena asupan makanan yang kurang dari

output yang berlebih. Hal ini akan bertambah berat bila pemberian

makanan dihentikan, serta sebelumnya penderita sudah mengalami

kekurangan gizi (malnutrisi) (Widoyono, 2011).

40
2.3.7 Penatalaksanaan Diare

Pengobatan diare berdasarkan derajat dehidrasinya menurut

(Widoyono, 2019) adalah :

1) Tanpa dehidrasi (dengan terapi A)

Pada keadaan ini, buang air besar terjadi 3-4 kali sehari atau

disebut mulai mencret. Pasien yang mengalami kondisi ini masih mau

makan dan minum seperti biasa pengobatan dapat dilakukan di rumah

yaitu dengan memberikan makanan dan minuman yang ada di rumah

seperti air kelapa, larutan gula garam (LGG), air tajin, air teh maupun

oralit.

Ada tiga cara pemberian cairan yang dapat dilakukan di rumah :

a) Memberikan lebih banyak cairan

b) Memberikan makanan terus-menerus

c) Membawa ke petugas kesehatan bila pasien tidak membaik dalam tiga hari

2) Dehidrasi ringan atau sedang (dengan terapi B)

Diare dengan dehidrasi ringan ditandai dengan hilangnya

cairan sampai 5% dari berat badan, sedangkan pada diare sedang

terjadi kehilangan cairan 6 – 10% dari berat badan. Untuk mengobati

penyakit diare pada derajat dehidrasi ringan atau sedang digunakan

terapi tipe B, yaitu dengan larutan oralit(Widoyono, 2011).

3) Dehidrasi berat (dengan terapi C)

Diare dengan dehidrasi berat ditandai dengan mencret terus-

menerus, biasanya lebih dari10 kali disertai muntah, kehilangan

cairan lebih dari 10% berat badan. Diare ini diatasi dengan terapi C,

yaitu perawatan di pukesmas atau rumah sakit untuk diinfus Ringer


41
laktat (RL).

Menurut Amina & Suzan (Amina & Suzan, 2019) pemberian

cairan pada dehidrasi berat yaitu :

a) Terapi intravena pada dehidrasi berat (syok/prasyok)

b) NS 20 mL/kg bolus IV; bila perlu, ulangi bolus

c) Kemudian berikan cairan rehidrasi oral 100 mL/kg selama 4 jam atau

D5W 0,45 NS IV pada 2 kali rumatan

4) Teruskan pemberian makanan (Amina & Suzan, 2019)

a) Pemberian makanan disesuaikan dengan kebutuhan. Makanan

tambahan diperlukan pada masa penyembuhan

5) Terapi obat antiemetik atau antidiare (Irwan, 2017)

Peran antiemetik atau antidiare pada terapi diare masih

terbatas/ diperdebatkan :

a) Obat antimotilitas dan sekresi usus : Laperamid, ditenoksilat, kodein

fosfat

b) Aktreotid (sadratatin)

c) Obat anti diare yang mengeraskan tinja dan absorpsi zat toksin yaitu

Arang, campura kaolin dan mortin.

d) Antiemetik (metoklopromid, proklorprazin, domperidon).

e) Vitamin dan mineral, tergantung kebutuhan, yaitu: Vitamin Bie,

asam, vitamin A, vitamin K, preparat besi, zinc,dan lain-lain.

42
6) Antibiotik bila perlu

Sebagian besar penyebab diare adalah Rotavirus yang tidak

memerlukan antibiotik dalam penatalaksanaan kasus diare karena

tidak bermanfaat dan efek sampingnya bahkan merugikan penderita.

Kecuali telah jelas ada infeksi bakteri yang memerlukan terapi.

2.3.8 Pemeriksaan Penunjang Diare

Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi sebagai berikut :

1) Pemeriksaan elektrolit, kadar urea darah / BUN (blood urea nitrogen),

keratin dan berat jenis urin dipakai sebagai indikator hidrasi dan untuk

mengetahui faal ginjal.

2) Pemeriksaan tinja

a) Adanya lendir, darah ataupun leukosit dalam tinja dapat

mengindikasi adanya kolitis sebagai respon terhadap invasi

bakteri yang luas pada mukosa kolon seperti infeksi kuman

Shigella, Salmonella, C. Jejuni dan

E. Coli invasif. Pasien yang terinfeksi oleh E. Coli penghasil

Shiga-toksin dan E. Histolytica umumnya memiliki leukosit pada

tinja yang minim. Rotavirus pada tinja dapat diketahui dengan

‘Rapid diagnotic test’.

b) Makroskopi dan mikroskopi

c) Biakan dan resistensi fases (colok dubur)

3) Pemeriksaan kultur fases dianjurkan pada diare yang persisten, klinik

toksik, atau diduga penderita Haemolytic Uraemic Syndrom (HUS).

43
4) Pemeriksaan serologis berguna untuk menegakkan diagnosis

amoebiasai ekstraintestinal, termsuk abses hati amoeba.

5) Pemeriksaan kultur darah (Karen, dkk, 2018)

6) Analisa gas darah apabila didapatkan tanda-tanda gangguan

keseimbangan asam basa (pernafasan kusmaul)

7) Pemeriksaan elektrolit terutama kadar na, K, Kalsium dan Posfot

(Nurarif & Kusuma, 2015)

8) pH fases/mengurangi zat, untuk melihat apakah diare disebabkan oleh

intoleransi karbohidrat.

9) Radiografi abdomen Kidney, Ureter, and Bledder (KUB) adanya fases

di usus dapat mengindikasi konstipasi atau impaksi fases (massa fases

yang imobil dan mengeras) tingkat cairan-udara dapat

mengindikasikan obstruksi usus (Utami, dkk, 2013).

2.3.9 Pencegahan Diare

(Karen, dkk, 2018) upaya pencegahan diare yang benar dan efektif yang

dapat dilakukan adalah :

1) Penyediaan air bersih, tidak terkontaminasi

2) Menjaga kebersihan lingkungan

3) Memakai alas kaki, terutama ditempat yang becek atau terdapat genangan

air hujan agar kuman tidak masuk melalui kulit

4) Ingatkan untuk mencuci tangan sebelum makan, sesudah makan, dan

sesudah buang air besar (BAB) dengan sabun dan air.

44
5) Menjaga hieginitas makanan dengan cara cuci buah dan sayur yang akan

dikonsumsi, masak makanan hingga matang, terutama daging dan ayam, hingga

70oC

6) Menggunakan jamban yang sehat

7) Memperkuat daya tahan tubuh penjamu

45
2. 4 Konsep Asuhan Keperawatan Diare

2. 4. 1 Pengkajian

1) Identitas Pasien

Identitas klien meliputi nama, umur, jenis, alamat, agama dan tanggal

pengkajian. Tidak hanya pada balita saja yang terkena diare, biasanya orang

yang mengalami diare ialah terjadi pada lansia usia 60-65 tahun.

2) Identitas Keluarga

Identitas keluarga meliputi nama, hubungan dengan klien, pekerjaan,

alamat, dan telepon.

3) Riwayat penyakit sekarang

a) Keluhan utama

Pasien mengeluh lemas dan haus, buang air besar (BAB) lebih dari

tiga kali sehari. BAB < 4 kali dengan konsistensi cair (diare tanpa

dehidrasi). BAB 4 – 10 kali dengan konsistensi cair (dehidrasi

sedang/ringan). BAB > 10 kali (dehidrasi berat). Bila diare berlangsung

< 14 hari adalah diare akut. Bila diare berlangsung 14 hari atau lebih

adalah diare persisten.

Keluhan lain yang biasanya muncul adalah :

a. Pasien menjadi gelisah, suhu badan mungkin meningkat,

nafsu makan menurun atau bahkan tidak ada, timbul diare.

b. Tinja makin cair, mungkin disertai lendir atau lendir dan

darah. Warna tinja berubah menjadi kehijauan karena

banyak bercampur empedu.

46
c. Anus dan daerah disekitarnya timbul lecet karena sering

defekasi dan sifatnya makin lama makin asam.

d. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare.

e. Bila pasien telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit,

gejala dehidrasi mulai nampak.

b) Pengetahuan dan usaha mengatasi keluhan

Kaji apakah lansia dan keluarga sudah memiliki pengetahuan yang

cukup terhadap penyakit dan usaha apa yang telah dilakukan.

c) Obat yang digunakan

Kaji apakah lansia mengkonsumsi obat tertentu untuk mengatasi

penyakit yang dideritanya. Pada penderita diare biasanya

mengkonsumsi obat Loperamide (imodium), Bismuth subsalicylate

(peptobismol), Attapulgite, dan Oralit. Penderita juga akan diberikan

obat antibiotik untuk diare seperti Cotrimoxazole, Cefixime,

Metronidazole, Azythromycin, Ciprofloxacin, Levofloxacin.

4) Fungsi Fisiologis :

1) Tanda-tanda vital

Kaji tanda-tanda vital yang meliputi tekanan darah, suhu,


pernafasan dan nadi. Pada penderita diare terjadi penurunan kekuatan
nadi yang berkisar dibawah 60×/menit. Terjadi penurunan tekanan
darah yang berkisar dibawah 120/80 mmHg, Terjadi peningkatan suhu
pada ambang normal yakni 36,1-37,2°C.

47
2) Keadaan umum

Keadaan umum individu yang mengalami diare ialah terjadi


kelelahan, penurunan berat badan, perubahan pola makan, perubahan
nafsu makan, perubahan pola tidur dan adanya bantuan terhadap
kemampuan ADL.

3) Kepala

Penderita diare biasanya mengalami sakit kepala/pusing


dikarenakan tekanan darah dan tekanan nadi menurun.

4) Gastrointestinal

Pemeriksaan sistem gastrointestinal yang didapatkan


berhubungan dengan berbagai faktor, seperti penyebab onset, kondisi
hidrasi, dan tingkah toleransi individu (usia, malnutrisi, penyakit
kronis, dan penurunan imunitas). Secara lazim pada pemeriksaan
gastrointestinal akan didapatkan :

(1) Inspeksi : pada pasien dehidrasi berat akan terlihat lemas, sering BAB,

pada pasien diare akut mungkin didapatkan kembung, distensi

abdomen.

(2) Auskultasi : didapatkan peningkatan bising usus lebih dari 25x/menit

yang berhubungan dengan peningkatan motilitas usus dari peradangan

pada saluran gastrointestinal

(3) Perkusi : didapat suara timpani abdomen yang mengalami kembung

48
(4) Palpasi : apakah didapat supel (elastisitas dinding abdomen optimal)

dan apakah didapatlkan adanya nyeri tekan (tendermess) pada area

abdomen (Kyle & Carman, 2020)

Pemeriksaan anus dan sekitarnya lecet karena sering BAB dan

fases menjadi lebih aman akibat banyaknya asam laktat. Pada

pemerikaaan fases, didapatkan fases :

(1) Konsistensi cair berhubungan dengan kondisi lazim gastrointestinal

(2) Fases bercampur lendir dan darah yang berhubungan dengan ulserasi

kolon

(3) Fases seperti air tajin (air beras) pada pasien kolera

(4) Fases berwarna menjadi gelap dan kehijau-hijauan berhubungan

dengan kondisi malabsorsi atau bercampu garam empedu.

a) Fungsi psikososial
Pada penderita diare fungsi psikososial yang timbul ialah lansia
takut akan mengalami cidera, gelisah akan kesehatannya, bersikap
protektif, berfokus pada diri sendiri, waspada dan fokus menyempit
(SDKI DPD PPNI, 2017).

b) Fungsi spiritual
Kaji aktivitas ibadah pada lansia dan hambatan pada saat beribadah.
Biasanya lansia dengan diare akan mengalami hambatan yakni tidak bisa
menuntaskan aktivitasnya sehingga ibadah akan terhambat.

49
c) Lingkungan
Kaji lingkungan sekitar lansia, termasuk bagaimana kamar seta
kamar mandi yang digunakan oleh lansia.

2. 4. 2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan ialah penilaian terhadap masalah kesehatan


atau proses kehidupan yang dialami baik secara aktual maupun potensial
yang bertujuan untuk mengidentifikasi respon individu, keluarga, maupun
komunitas terkait dengan kesehatan (SDKI DPD PPNI, 2017)

Diagnosis keperawatan yang muncul pada penderita diare yakni:

a) D.0023 Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif ditandai


dengan nadi menurun dan teraba lemah, turgor kulit menurun, membran
mukosa kering, pasien merasa lemah dan haus serta suhu tubuh meningkat.

2. 4. 3 Rencana Keperawatan

Intervensi keperawatan ialah treatment yang dikerjakan oleh


perawat untuk mencapai luaran (outcome) yang diharapkan yang didasarkan
pada pengetahuan dan penilaian klinis (SIKI DPD PPNI, 2018)

a. D.0023 Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif ditandai

dengan nadi menurun dan teraba lemah, turgor kulit menurun, membran

mukosa kering, pasien merasa lemah dan haus serta suhu tubuh meningkat.

50
Diagnosa Tujuan dan Rencana Keperawatan Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil

Hipovolemia Setelah dilakukan Manajemen hipovolemia a. Observasi


berhubungan intervensi,
a. Observasi 1) Untuk
dengan kehilangan diharapkan status
mengetahui
cairan aktif cairan membaik 1) Periksa tanda dan gejala
tanda dan gejala
ditandai dengan dengan kriteria hipovolemia (misalnya
hipovolemia
mengeluh merasa hasil: frekuensi nadi meningkat,
lemah dan haus nadi teraba lemah, tekanan 2) Untuk
1. Frekuensi nadi
darah menurun, perasaan mengetahui
membaik
lemah meningkat, turgor intake dan
2. Tekanan darah kulit menurun, keluhan output cairan
membaik haus meningkat, berat pada pasien
badan menurun)
3. Perasaan lemah
menurun 2) Monitor intake dan b. Terapeutik
output cairan
4. Keluhan haus 1) Untuk
menurun b. Terapeutik mengetahui
kebutuhan
5. Turgor kulit 1) Hitung kebutuhan
cairan pada
membaik cairan
tubuh pasien.
6. Mukosa bibir 2) Berikan asupan cairan
2) Untuk mengatasi
lembab oral
kebutuhan
7. Intake cairan c. Edukasi cairan pada
membaik pasien.
1) Anjurkan
8. Berat badan memperbanyak asupan c. Edukasi
meningkat cairan oral
1) Untuk
9. Suhu tubuh 2) Anjurkan untuk hidup menambah
membaik sehat pengetahuan
agar tidak
(SLKI DPP, e. Kolaborasi
sampai dehidrasi
PPNI 2019)
1) Kolaborasi pemberian berat.
cairan IV isotonis (RL)
d. Kolaborasi
2) Kolaborasi pemberian
1) Untuk
obat antidiare dan
menambah
antibiotik.
cairan yang
dibutuhkan oleh
pasien agar tidak
dehidrasi.

51
2. 4. 4 Implementasi

Merupakan pengelolaan dari perwujudan intervensi meliputi

kegiatan yaitu validasi, perencanaan keperawatan, mendokumentasikan

rencana, memberikan asuhan keperawatan dalam pengumpulan data (Andra

& Putri, 2021). Tahap pelaksanaan dilakukan setelah rencana tindakan di

susun dan di tunjukkan kepada nursing order untuk membantu pasien

mencapai tujuan dan kriteria hasil yang dibuat sesuai dengan masalah yang

pasien hadapi.

Tahap pelaksaanaan terdiri atas tindakan mandiri dan kolaborasi

yang mencangkup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan

kesehatan, dan memfasilitasi koping. Agar kondisi pasien cepat membaik

diharapkan bekerjasama dengan keluarga pasien dalam melakukan

pelaksanaan agar tercapainya tujuan dan kriteria hasil yang sudah di buat

dalam intervensi (Rohmah & Walid, 2018). Adapun implementasi yang

dapat dilakukan sesuai dengan perencanaan yaitu :

1) Memantau tanda dan gejala hipovolemia

2) Memberikan cairan IV isotonis (NaCl, RL)

3) Memonitor intake dan output cairan

4) Menghitung kebutuhan cairan pasien

5) Menghitung output pasien

6) Memonitor frekuensi BAB

7) Memberikan asupan cairan dan makanan secara oral

8) Menimbang berat badan secara berkala

9) Mengkolaborasikan pemberian obat – obatan

52
10) Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit, penyebab, dan akibat

diare pada pasien

11) Memberikan kompres hangat, jika terjadi demam.

53
2. 4. 5 Evaluasi

Evaluasi dapat berupa evaluasi struktur, proses dan hasil evaluasi

terdiri dari evaluasi formatif yaitu menghasilkan umpan balik selama

program berlangsung. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan setelah

program selesai dan mendapatkan informasi efektifitas pengambilan

keputusan. Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk

SOAP (subjektif, objektif, assesment, planing). Komponen SOAP yaitu S

(Subjektif) dimana perawat menemui keluhan pasien yang masih dirasakan

setelah diakukan tindakan keperawatan, O (Objektif) adalah data yang

berdasarkan hasil pengukuran atau observasi perawat secara langsung pada

pasien dan yang dirasakan pasien setelah tindakan keperawatan, A

(Assesment) adalah interprestsi dari data subjektif dan objektif, P (Planing)

adalah perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan,

dimodifikasi, atau ditambah dari rencana tindakan keperawatan yang telah

ditentukan sebelumnya. Evaluasi yang diharapkan sesuai dengan masalah

yang pasien hadapi yang telah di buat pada perencanaan tujuan dan kriteria

hasil (Rohmah & Walid, 2019).

54
2. 7 Tabel evaluasi keperawatan pada pasien diare dengan masalah hipovolemia

Diagnosa Evaluasi

Keperawatan

Hipovolemia pada S (Subjektif)

Lansia Diare Data yang diperoleh dari respon pasien secara verbal

a. Pasien mengatakan BAB sudah normal ± 2 kali

dan konsistensi lembek

O (Objektif)

Data yang diperoleh dari respon pasien secara non verbal

atau melalui pengamatan perawat

a. Tanda – tanda dehidrasi menurun (turgor kulit

elastis, membra mukosa membaik (lembab),

keluaran urin terkontrol, mata tidak cowong)

b. Tanda – tanda vital normal

c. Keseimbangan cairan dan elektrolit dapat

dipertahankan secara optimal

A (anlisis)

Tindak lanjut dan penentuan apakah implementasi akan

dilanjutkan atau sudah terlaksana dengan baik.

a. Tujuan tercapai apabila respon pasien sesuai

dengan tujuan dan kriteria hasil

b. Tujuan belum tercapai apabila respon tidak sesuai

dengan tujuan yang telah ditentukan

55
P (Planning)

a. Pertahankan kondisi pasien apabila tujuan tercapai

b. Lanjutkan intervensi apabila terdapat tujuan yang

belum mampu dicapai oleh pasien

Sumber : (Rohmah & Walid, 2019)

56

Anda mungkin juga menyukai