Laporan Ditk
Laporan Ditk
Laporan Ditk
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah adalah bagian kerak bumi yang tersusun dari mineral dan
bahan organik. Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di
bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan
unsur hara dan air sekaligus sebagai penopang akar. Tanah terbentuk dari
beberapa faktor seperti batuan, iklim, jasad hidup, topografi dan waktu.
Adanya berbagai perbedaan dari faktor-faktor tersebut, maka proses
pelapukan dan pembentukan tanah berbeda-beda. Hal ini menyebabkan
adanya perbedaan jenis tanah antara satu daerah dengan daerah lainnya
(Notohadiprawiro, 1998). tanah juga berfungsi sebagai tempat tumbuhnya
tanaman, karena tanaman membutuhkan nutrisi yang terdapat dalam tanah.
Proses pembentukan tanah melibatkan banyak faktor, seperti
pengaruh iklim, topografi, jenis batuan, organisme, dan waktu. Ada empat
proses utama yang terjadi dalam pembentukan tanah, yaitu penambahan
(addition), kehilangan (loss), translokasi, dan transformasi.Proses
penambahan terjadi ketika bahan-bahan organik atau mineral ditambahkan
ke dalam tanah. Contohnya, daun-daun yang gugur akan terdekomposisi
dan menjadi bagian dari tanah. Proses kehilangan terjadi ketika bahan-
bahan dalam tanah hilang. Ini dapat terjadi melalui erosi, degradasi, atau
proses lainnya seperti penguapan atau perkolasi air tanah.Proses
translokasi terjadi ketika bahan-bahan yang ada dalam tanah bergerak dari
satu tempat ke tempat lainnya dalam tanah. Hal ini terjadi melalui proses
pencucian bahan-bahan terlarut dalam tanah dan diangkut ke dalam
kedalaman tanah atau ke permukaan melalui proses kapilaritas. Proses
transformasi terjadi ketika bahan-bahan dalam tanah mengalami perubahan
kimia atau fisika. Contohnya, ketika bahan organik terdekomposisi,
menjadi senyawa yang lebih sederhana dan kemudian dikonversi menjadi
mineral yang dapat diserap oleh tanaman.
Tanah terbentuk dari beberapa faktor seperti batuan, iklim, jasad
hidup, topografi dan waktu. Faktor-faktor tersebut memengaruhi proses
pelapukan dan pembentukan tanah yang berbeda-beda di setiap daerah.
Bahan induk tanah dapat berasal dari batuan atau biomassa. Batuan
tersebut dapat menghasilkan tanah mineral, sedangkan biomassa mati
dapat menghasilkan tanah organic, Komposisi bahan induk mempengaruhi
pembentukan tanah karena menentukan komposisi tanah. Misalnya batuan
yang mengandung besi biasanya menghasilkan tanah yang kaya akan besi
yang memiliki pH lebih tinggi dan warna lebih gelap. Biasanya bahan
induk dikumpulkan melalui angin, air, dan gunung berapi, sehingga terjadi
perbedaan komposisi awal batuan.. Iklim, seperti curah hujan dan suhu
akan memengaruhi kecepatan proses pelapukan batuan fisik dan kimia.
Curah hujan yang tinggi akan mempercepat proses pelapukan dan
pembentukan tanah. Organisme hidup seperti tumbuhan dan hewan dapat
mempengaruhi pembentukan tanah melalui aktivitasnya seperti penguraian
bahan organik dan penggemburan tanah. Relief atau bentuk permukaan
bumi memengaruhi kecepatan erosi dan sedimentasi yang pada akhirnya
mempengaruhi pembentukan tanah dan Pada wilayah dengan kemiringan
lereng tinggi, maka tanah yang terbentuk akan tipis. Selain itu, jenis
batuan dasar juga mempengaruhi ketebalan tanah yang terbentuk. Batuan
dasar yang lunak akan membentuk tanah yang lebih tebal dibandingkan
dengan batuan dasar yang keras. Jenis tanah juga mempengaruhi ketebalan
tanah yang terbentuk. Tanah liat dan lempung cenderung membentuk
lapisan tanah yang lebih tebal dibandingkan dengan pasir dan kerikil.
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya suatu jenis tanah sangat
bervariasi tergantung pada faktor-faktor lainnya seperti iklim dan bahan
induk (Handayanto dkk., 2017).
Tanah terdiri dari beberapa komponen seperti mineral, air, udara,
kehidupan jasad renik dan bahan organic. Mineral pada tanah berfungsi
sebagai penentu tingkat kesuburan dari susunan tanah. Tanah yang subur
tentu akan meningkatkan sumber daya ekonomi suatu wilayah, Secara
umum, mineral-mineral ini dapat menyusun 45 persen dari total massa
tanah. Sementara itu, sisanya terdiri dari bahan organik, air, dan udara.
Komponen terbesar kedua sebagai penyusun tanah yaitu air sebesar 20-30
persen. Komponen penyusun tanah selanjutnya yaitu udara. Udara pada
tanah berfungsi sebagai pengatur suhu dan kelembaban tanah,
komposisinya 20-30 persen. Kehidupan jasad renik pada tanah berfungsi
sebagai pengurai bahan organik dan membantu dalam pembentukan
struktur tanah. Bahan organik pada tanah berasal dari sisa tumbuhan dan
binatang beserta kotorannya, komposisinya 5 persen. Ukuran dari masing-
masing komponen penyusun tanah dapat bervariasi tergantung pada jenis
dan kondisi tanahnya (Sarawati & Sumarno, 2018).
Sifat fisik adalah karakteristik fisik dan mekanik tanah mineral.
Dapat dibedakan yaitu tekstur tanah, struktur tanah dan pororitas. Tekstur
tanah mineral dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu pasir, debu dan liat.
Sifat kimia tanah mineral yaitu komposisi tanah dan interaksi kimia antara
tanah, air, dan nutrisi yang mempengaruhi kesuburan tanah dan
pertumbuhan tanaman. pH tanah dan kandungan hara. pH Tanah mineral
berkaitan dengan tingkat keasaman atau kebasaan pada tanah. Tanaman
membutuhkan pH yang tepat agar dapat tumbuh dengan baik. Kandungan
hara pada tanah mineral sangat penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman (Kurnia dkk., 2006).
Sifat-sifat tanah dapat diketahui melalui pengujian di lapangan
seperti analisis pH tanah dengan alat pH meter dan laboratorium
contohnya analisis tekstur tanah dengan alat Hydrometer atau pipet.
Pengujian dilapangan dapat dilakukan dengan analsis deskripsi profil
tanah. Pengujian di laboratorium contohnya yaitu analisis konsistensi
tanah dan kerapatan butiran tanah.
Kesuburan tanah adalah kemampuan tanah untuk menyediakan
nutrisi untuk tanaman agar mendukung pertumbuhan tanaman yang baik.
Tanah yang subur adalah tanah yang mempunyai profil yang dalam
(kedalaman yang sangat dalam) melebihi 150 cm, strukturnya gembur
remah, memiliki nilai pH 6-6,5, dan mempunyai aktivitas jasad renik yang
tinggi (maksimum). Kandungan unsur haranya yang tersedia bagi tanaman
adalah cukup dan tidak terdapat pembatas-pembatas tanah untuk
pertumbuhan tanaman (Roidah, 2013).
Praktikum dasar ilmu tanah dan kesuburan sangat penting
dilakukan karena melalui praktikum tersebut mahasiswa dapat memahami
dan mengetahui beberapa ciri dan sifat tanah di lapangan dan di
laboratorium dengan jalan menganalisis sifat dan ciri ciri tanah tersebut.
Praktikum kesuburan tanah bertujuan untuk mempelajari cara mengetahui
kesuburan tanah, faktor-faktor yang mempengaruhi kesuburan tanah, cara
meningkatkan kesuburan tanah, jenis-jenis kesuburan tanah, serta manfaat
dari kesuburan tanah. Pengolahan tanah yang benar dan pemilihan
tanaman yang sesuai merupakan kunci untuk meningkatkan produksi
pertanian dan mempertahankan kesuburan.
B. Tujuan
1. Tujuan umum
a. Tujuan praktikum di laboratorium
Membandingkan hasil pengamatan dan perhitungan di
laboratorium sesuai dengan teori yang diberikan atau sebaliknya,
selain itu dapat melatih mahasiswa dalam menggunakan peralatan
di laboratorium
b. Tujuan praktikum di lapangan
Memahami tentang model morfologi tanah dan sebagai sifat tanah
secara langsung memulai dari kondisi lapangan , morfologi tentang
lahan dan profil tanah dilapangan.
2. Tujuan khusus
a. Kadar Lengas Tanah Kering Udara
1) Mengetahui kadar lengas tanah kering udara tanah gumpal
2) Mengetahui kadar lengas tanah kering udara tanah Ø 2,0 mm
3) Mengetahui kadar lengas tanah kering udara tanah Ø 0,5 mm
b. Kerapatan Masa Tanah (BV)
Mengetahui kerapatan massa tanah dengan berbagai jenis tanah
c. Kerapatan Butir Tanah (BJ)
Mengetahui kerapatan butir tanah ₡ 2.0 mm
d. Tekstur tanah
Menentukan kelas tekstur tanah menurut segitiga USDA
e. Konsistensi tanah
1) Menetapkan Batas Cair (BC)
2) Menetapkan Batas Lekat (BL)
3) Menetapkan Gulung (BG)
4) Menetapkan Batas Berubah Warna (BBW)
5) a) Menghitung Jangka Olah (JO)
b) Menghitung Indeks Plastisitas (IP)
c) Menghitung Persediaan Air Maksimum dalam Tanah (PAM)
d) Menghitung Surplus (S)
f. Reaksi Tanah (pH)
1) Menetapkan pH H2O tanah
2) Menetapkan pH KCl tanah
g. Kadar Bahan Organik Tanah
Menetapkan kadar C-Organik dan kadar bahan organik tanah
h. N – Total Tanah
1) Menetapkan kadar Nitrogen (N) Total tanah
2) Menghitung rasio C/N tanah
i. Interpretasi KPK Tanah secara Kualitatif
1) Membuktikan muatan negatif zarah – zarah tanah dengan
menggunakan 2 macam zat warna (Gentian Violet & Eosin Red)
2) Membuktikan pengaruh luas permukaan zarah tanah terhadap
kapasitas pertukaran kation tanah
j. Pengenalan Jenis Pupuk
Mengetahui berbagai jenis pupuk berdasarkan sifat fisik dan kimia
mpupuk
k. Pembuatan Pupuk Campur
Mengetahui pembuatan pupuk campur
l. Deskripsi Profil Tanah
Menentukan profil tanah dan karakteristik setiap lapisan tanah
Kurnia, U., Agus, F., Aimihardja, A., & Dariah, A. (2006). Sifat fisik tanah dan
metode analisisnya.
A. Deskripsi Tanah
Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang terdiri dari bahan
mineral dan organik, serta berfungsi sebagai tempat tumbuhnya tanaman.
Tanah terbentuk melalui proses alami yang panjang dan kompleks
melibatkan berbagai faktor seperti cuaca, geologi, flora, dan fauna. Tanah
memiliki struktur, tekstur, warna, pH, dan kandungan unsur hara yang
berbeda-beda tergantung dari faktor-faktor tersebut (Zakaria, 2009).
Horizon-horizon tanah adalah lapisan-lapisan yang terbentuk
secara alami di dalam tanah. Biasanya terdapat tiga horison utama dalam
profil tanah yaitu horizon A, horizon B dan horizon C. Horizon A adalah
lapisan atas tanah yang paling dekat dengan permukaan. Horizon ini
biasanya memiliki kandungan bahan organik yang tinggi dan merupakan
tempat pertumbuhan akar tanaman. Horizon B adalah lapisan tengah yang
terletak di bawah horizon A. Horizon ini memiliki kandungan mineral
yang lebih tinggi dibandingkan horizon A dan biasanya kurang subur.
Horizon C adalah lapisan terbawah yang merupakan batuan asli yang
menjadi dasar terbentuknya tanah. Lapisan ini terdiri dari material mineral
atau batuan yang belum mengalami perubahan menjadi tanah (Prasetyo &
Suriadikarta, 2006).
Terdapat berbagai jenis tanah yang dapat ditemukan di berbagai
daerah di dunia. Tiga jenis tanah yang sering ditemui dan memiliki
karakteristik yang berbeda-beda adalah yaitu Regosol, Latosol dan
grumosol.
Regosol atau tanah tipis adalah jenis tanah yang terbentuk dari
bahan induk yang relatif baru seperti material vulkanik atau endapan pasir
dan kerikil. Tanah ini memiliki profil tanah yang dangkal dengan lapisan
atas tipis dan lapisan bawah yang keras dan padat. Regosol memiliki
tekstur yang bervariasi, tergantung pada bahan induk yang membentuknya.
Regosol yang terbentuk dari endapan pasir dan kerikil umumnya memiliki
tekstur pasir, sedangkan regosol yang terbentuk dari material vulkanik
dapat memiliki tekstur pasir hingga lempung. Struktur tanah yang lemah
dan tidak stabil karena kurangnya agregat tanah, Kepadatan tanah yang
tinggi dan drainase yang buruk karena kurangnya pori-pori udara dan air,
Kelembaban tanah yang cenderung rendah karena kurangnya kemampuan
menahan air. Regosol cenderung memiliki sifat kimia yang kurang subur
dan asam. Kandungan bahan organik pada regosol umumnya rendah,
sehingga kurang mampu mendukung pertumbuhan tanaman. Selain itu, pH
tanah pada regosol cenderung asam dengan kisaran 4-6 (Fahmi dkk.,
2010).
Latosol atau tanah laterit adalah jenis tanah yang umumnya
ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Tanah ini terbentuk dari batuan
yang mengalami pelapukan dan erosi yang berlangsung selama ribuan
tahun. Bahan induk dari tanah latosol bisa bervariasi, mulai dari granit
hingga basalt. Selain itu, tanah latosol juga terbentuk dari endapan
material lateritik yang terdapat di daerah tropis dan subtropis. Sifat fisik
tanah latosol memiliki tekstur yang beragam, dari pasir hingga lempung.
Secara umum, latosol memiliki struktur yang lepas-lapuk dan kering serta
mudah retak ketika kondisi tanah kering. Sifat kimia tanah latosol
umumnya asam dengan pH berkisar antara 4-6.5. Kandungan bahan
organik pada latosol cenderung rendah, sehingga latosol biasanya kurang
subur. Kesuburan latosol sangat bergantung pada manajemen lahan dan
pupuk yang digunakan. Jika dikelola dengan baik, tanah latosol dapat
menjadi sangat subur dan mendukung pertumbuhan tanaman yang baik.
Pada tanah latosol, lempung kaolinit 1:1 biasanya ditemukan pada lapisan
tanah paling atas atau lapisan tanah paling atas yang telah mengalami
pelapukan yang cukup lama. Kandungan mineral laterit yang tinggi pada
tanah latosol memberikan lingkungan yang ideal untuk terbentuknya
mineral lempung kaolinit 1:1 (Nurtika, 2009).
Grumusol atau tanah hitam terbentuk dari endapan glasial yang
terdiri dari lempung dan partikel organik seperti dedaunan dan akar
tanaman yang mati. Tanah ini memiliki bahan induk yang berasal dari
batuan yang telah melalui proses pelapukan dan abrasi. Sifat fisik tanah
hitam dapat bervariasi, tergantung pada struktur dan tekstur tanah tersebut.
Secara umum, grumusol memiliki tekstur yang sedikit berpasir hingga
lempung berpasir, dengan struktur yang agregat atau gumpalan. Sifat
kimia grumusol juga bervariasi, tergantung pada lokasi dan jenis vegetasi
yang tumbuh di atasnya. Secara umum, tanah hitam memiliki pH netral
hingga sedikit asam, dengan kandungan bahan organik yang sangat tinggi,
dan kandungan hara yang cukup baik. Grumusol dikenal sebagai salah satu
jenis tanah yang sangat subur. Hal ini disebabkan oleh kandungan bahan
organik yang tinggi dan kemampuan tanah untuk menyimpan nutrisi dan
kelembaban yang baik. Karakteristik atau ciri-ciri grumusol antara lain
warnanya yang gelap karena kandungan bahan organik yang tinggi,
kemampuan menahan kelembaban dan nutrisi yang baik. Lempung
montmorillonit adalah salah satu jenis mineral lempung yang umumnya
ditemukan di tanah dan batuan. Struktur kristal dari lempung
montmorillonit terdiri dari tiga lapisan yang membentuk pola 2:1, artinya
dua lapisan silika dan satu lapisan alumina. Secara fisik, lempung
montmorillonit dapat membantu meningkatkan kemampuan tanah untuk
menahan air dan membentuk struktur yang lebih baik (Prasetyowati dkk.,
2019).
Fahmi, A., Utami, S. N. H., & Radjagukguk, B. (2010). Pengaruh interaksi hara
nitrogen dan fosfor terhadap pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays L) pada
tanah regosol dan latosol. Berita Biologi, 10(3), 297-304.
Nurtika, N. (2009). Respons tanaman tomat terhadap penggunaan pupuk majemuk
NPK 15-15-15 pada tanah latosol pada musim kemarau.
Yunagardasari, C., Paloloang, A. K., & Monde, A. (2017). Model infiltrasi pada
berbagai penggunaan lahan di desa tulo kecamatan dolo kabupaten
sigi. Agrotekbis: E-Jurnal Ilmu Pertanian, 5(3), 315-323.
Wirawan, A., & Widjajanto, D. (2020). Identifikasi sifat fisik tanah pada kawasan
terkena dampak likuifaksi di desa Jono Oge Lembah Palu. AGROTEKBIS: E-
JURNAL ILMU PERTANIAN, 8(1), 64-70.
Agus, F., Yustika, R. D., & Haryati, U. (2006). Penetapan berat volume
tanah. Sifat Fisika Tanah dan Metode Analisisnya, 25-34.
(
n= i−
BV
BJ )
× 100 %
Hakam, A., & Yuliet, R. (2015). Korelasi Kerapatan Relativ dan Tahanan Ujung
Konus untuk Tanah Pasir Seragam. In 2nd ACE National Conference.
Hakam, A., Yuliet, R., & Donal, R. (2010). Studi pengaruh penambahan tanah
lempung pada tanah pasir pantai terhadap kekuatan geser tanah. Jurnal Rekayasa
Sipil, 6(1), 11-22.
Hesti Kusuma, A., Izzati, M., & Saptiningsih, E. (2013). Pengaruh penambahan
arang dan abu sekam dengan proporsi yang berbeda terhadap permeabilitas dan
porositas tanah liat serta pertumbuhan kacang hijau (Vigna radiata L). Anatomi
Fisiologi, 21(1), 1-9.
D. Tekstur Tanah
Tekstur tanah merujuk pada ukuran partikel dan proporsi partikel
tersebut dalam tanah. Partikel tanah yang umumnya diukur meliputi pasir,
debu, dan lempung. Kombinasi dari tiga partikel ini menentukan tekstur
tanah, yang dapat dikelompokkan menjadi pasir, loam, dan lempung.
Tanah loam merupakan campuran yang seimbang dari pasir, debu, dan
lempung, yang membuatnya ideal untuk pertumbuhan tanaman karena
memiliki drainase yang baik dan dapat menyimpan air dan nutrisi yang
cukup untuk tanaman tumbuh dengan baik (Tangketasik dkk., 2012).
Terdapat beberapa faktor penentu tekstur tanah, antara lain bahan
induk, iklim, relief, vegetasi dan waktu. Macam tekstur tanah antara lain,
tanah berpasir, tanah berdebu, tanah lempung dan tanah loam. Tekstur
tanah dapat mempengaruhi kesuburan tanah, terutama dalam hal
kemampuan tanah untuk menyimpan dan menyediakan air, nutrisi, dan
oksigen untuk pertumbuhan tanaman. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kesuburan tanah dari tekstur tanah adalah kapasitas
penahanan air, sirkulasi udara, ketersediaan nutrisi dan struktur tanah
(Susanto dkk., 2013).
Metode penentuan tekstur tanah dapat dilakukan di lapangan
maupun laboratorium, contoh metode dilapangan yaitu metode palpasi,
Metode ini dilakukan dengan cara meraba tanah yang masih basah antara
jari-jari tangan untuk merasakan ukuran partikelnya. Dari perasaan ini,
tanah dapat diklasifikasikan sebagai pasir, debu, atau lempung. Contoh
metode di laboratorium yaitu Hidrometer, Penetapan tekstur tanah dengan
metode Hidrometer merupakan metode yang sederhana dan cepat untuk
menetapkan kandungan total fraksi pasir (2,0 - 0,05 mm), debu (0,05 –
0,002 mm), dan lempung (>0,002 mm) (Haridjadja dkk., 2013). Penetapan
tekstur tanah menggunakan hidrometer dapat dihitung dengan rumus :
% pasir +% debu+% lempung=100 %
Sodium metaphosphate (NaPO3) digunakan sebagai dispersan
dalam metode hidrometer untuk penetapan tekstur tanah. Fungsinya adalah
untuk membantu partikel tanah agar tersebar secara merata dalam larutan
air, sehingga partikel tersebut tidak saling menggumpal dan membentuk
endapan di bagian bawah tabung pengukur hidrometer. Dalam metode
hidrometer penetapan tekstur tanah, NaOH (natrium hidroksida)
digunakan untuk memecahkan aglomerat tanah yang terdapat pada sampel
tanah yang akan diukur teksturnya. NaOH digunakan sebagai bahan kimia
penghancur, karena mampu mengurai bahan organik yang terkandung
dalam tanah dan merusak ikatan organik yang melekat pada partikel tanah.
Dalam hal ini, NaOH digunakan sebagai bahan kimia penghancur yang
efektif, sehingga partikel tanah dapat terpisah secara merata dan terukur
dalam pengukuran hidrometer (Mustawa dkk., 2017).
Haridjaja, O., Baskoro, D. P. T., & Setianingsih, M. (2013). Perbedaan nilai kadar
air kapasitas lapang berdasarkan metode alhricks, drainase bebas, dan pressure
plate pada berbagai tekstur tanah dan hubungannya dengan pertumbuhan bunga
matahari (Helianthus annuus L.). Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, 15(2), 52-
59.
Mustawa, M., Abdullah, S. H., & Putra, G. M. D. (2017). Analisis efisiensi irigasi
tetes pada berbagai tekstur tanah untuk tanaman sawi (Brassica juncea). Jurnal
Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, 5(2), 408-421.
Susanto, A., Prasetyo, A. E., & Wening, S. (2013). Laju infeksi Ganoderma pada
empat kelas tekstur tanah. Jurnal Fitopatologi Indonesia, 9(2), 39-39.
Tangketasik, A., Wikarniti, N. M., Soniari, N. N., & Narka, I. W. (2012). Kadar
bahan organik tanah pada tanah sawah dan tegalan di Bali serta hubungannya
dengan tekstur tanah. Agrotrop, 2(2), 101-107.
E. Konsistensi Tanah
Konsistensi tanah mengacu pada sifat fisik dan mekanik tanah
yang menentukan perilakunya dalam menahan beban, mempertahankan
bentuk, dan berubah bentuk ketika diberi tekanan. Sifat konsistensi tanah
sangat penting dalam banyak aplikasi teknik sipil, seperti perencanaan
pondasi, perancangan jalan, dan pemodelan kestabilan lereng. Berdasarkan
hasil uji konsistensi, tanah dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
kategori, seperti tanah kasar (sandy), tanah halus (silt), dan tanah lempung
(clay). Tanah juga dapat diklasifikasikan berdasarkan konsistensinya
menjadi lunak, sedang, dan keras. Tanah dengan konsistensi yang lebih
keras cenderung lebih sulit untuk digali atau diproses, tetapi juga lebih
kuat dan stabil untuk mendukung beban yang lebih besar (Candra dkk.,
2018).
Konsistensi tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
adalah kandungan air, jenis tanah, tekstur tanah, stuktur tanah, konsentrasi
garam dan pengaruh cuaca atau iklim. Penetapan konsistensi tanah
berdasarkan 3 kadar air yang umum digunakan adalah dengan uji
konsistensi Atterberg. Uji ini dilakukan dengan cara mengukur 3 kadar air
dalam tanah, yaitu kadar air tanah pada kondisi alami, kadar air tanah
setelah dicampur dan diaduk dengan alat uji konsistensi Atterberg, serta
kadar air tanah setelah dijepit dengan alat uji tersebut. Dari hasil
pengukuran tersebut, dilakukan perhitungan nilai plastisitas, yaitu selisih
antara kadar air tanah setelah diaduk dan setelah dijepit. Selanjutnya,
berdasarkan nilai plastisitas yang didapat, tanah dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa kategori konsistensi, seperti lunak, sedang, atau keras.
Berikut adalah klasifikasi konsistensi tanah berdasarkan nilai plastisitas,
Tanah lunak, Plastisitas kurang dari atau sama dengan 10. Tanah sedang,
Plastisitas antara 11 hingga 30. Tanah keras, Plastisitas lebih dari 30
(Septawendar, 2007).
beberapa istilah dan konsep dalam konsistensi tanah beserta
pengertiannya, cara menghitung, dan apa yang ditandakan, Batas cair (BC)
adalah kadar air pada tanah ketika mulai kehilangan kekakuan atau
keteguhannya, dan menjadi cair. Batas cair dapat dihitung dengan
menggunakan alat uji konsistensi Atterberg dan ditandai dengan simbol
"wL". Kadar air pada batas cair dapat bervariasi antara 10-50% tergantung
jenis tanahnya. Batas plastis (BP) adalah kadar air pada tanah ketika
kekakuan atau keteguhannya mulai berkurang dan menjadi lempung atau
plastis. Batas plastis dapat dihitung dengan menggunakan alat uji
konsistensi Atterberg dan ditandai dengan simbol "wP". Kadar air pada
batas plastis juga dapat bervariasi antara 10-50% tergantung jenis
tanahnya. Batas gumpal (BG) adalah kadar air pada tanah ketika kekakuan
atau keteguhannya mulai menjadi sangat lempung atau sangat plastis
sehingga dapat dibentuk menjadi gumpalan yang mudah pecah. Batas
gumpal dapat dihitung dengan menggunakan alat uji konsistensi Atterberg
dan ditandai dengan simbol "wG". Kadar air pada batas gumpal juga dapat
bervariasi antara 10-50% tergantung jenis tanahnya (Wardani &
Rustamaji, 2014).
Batas berbutir halus (BBH) atau Batas Atterberg (BA) adalah
kadar air pada tanah ketika kekakuan atau keteguhannya mulai berkurang
dan menjadi konsistensi berbutir halus, seperti tepung atau debu. Batas
berbutir halus atau Batas Atterberg dapat dihitung dengan menggunakan
alat uji konsistensi Atterberg dan ditandai dengan simbol "wA". Kadar air
pada batas berbutir halus atau Batas Atterberg juga dapat bervariasi antara
10-50% tergantung jenis tanahnya. Indeks plastisitas (IP) adalah selisih
antara batas plastis (BP) dan batas cair (BC). IP dapat digunakan untuk
menentukan konsistensi tanah, yaitu lunak, sedang, atau keras. Tanah yang
memiliki IP kecil (kurang dari 10) cenderung memiliki konsistensi yang
keras, sedangkan tanah yang memiliki IP besar (lebih dari 30) cenderung
memiliki konsistensi yang lunak. IP dapat dihitung dengan rumus IP = BP
- BC. Jumlah air optimum (JO) adalah jumlah air pada tanah yang
memberikan kepadatan terbesar pada saat tanah dipadatkan. JO dapat
dihitung dengan menggunakan uji proctor dan ditandai dengan simbol
"wopt". JO sangat penting dalam pembangunan konstruksi karena
menentukan kekuatan tanah dan kepadatan yang diperlukan (Umah dkk.,
2012)
Porositas udara maksimum (PAM) adalah persentase volume udara
pada tanah pada saat tanah mencapai kepadatan terbesar (JO). PAM dapat
dihitung dengan menggunakan uji proctor dan ditandai dengan simbol "e
max". PAM sangat penting dalam pembangunan konstruksi karena
menentukan ketersediaan udara pada tanah yang diperlukan untuk
kestabilan dan drainase. Surplus air (SA) adalah selisih antara kadar air
aktual pada tanah dan jumlah air optimal (JO). SA dapat digunakan untuk
menentukan tingkat kelembaban pada tanah. Jika SA positif, maka tanah
terlalu basah, sedangkan jika SA negatif, maka tanah terlalu kering
(Yuliet, 2010).
Konsistensi tanah memainkan peran penting dalam pertanian,
karena mempengaruhi kemampuan tanah untuk menyediakan air dan
nutrisi bagi tanaman. Tanah yang terlalu padat dan keras akan membatasi
pertumbuhan akar tanaman, dan mempengaruhi aliran air dan nutrisi ke
dalam tanah. Sebaliknya, tanah yang terlalu gembur dan lembek akan
mengalami erosi dan hilangnya nutrisi tanah, serta kehilangan kemampuan
untuk menahan air. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil panen yang
optimal, pertanian membutuhkan tanah dengan konsistensi yang tepat.
Metode Atterberg adalah metode yang digunakan untuk
menentukan batas-batas konsistensi tanah. Metode ini dinamakan
berdasarkan nama ahli tanah Swedia bernama Albert Atterberg yang
menemukan metode ini pada tahun 1911. Metode Atterberg menggunakan
prinsip pengukuran kadar air dan kemampuan tanah untuk berubah bentuk
dalam menentukan batas-batas konsistensi tanah (Widjaja & Sundayo).
Candra, A. I., Anam, S., Mahardana, Z. B., & Cahyono, A. D. (2018). Studi Kasus
Stabilitas Struktur Tanah Lempung Pada Jalan Totok Kerot Kediri Menggunakan
Limbah Kertas. U Karst, 2(2), 88-97.
Septawendar, R. (2007). Sifat fisik lempung Tanjung Morawa dalam transformasi
fasa mineral berdasarkan investigasi difraksi Sinar X. RISET Geologi dan
Pertambangan, 17(1), 11-19.
Umah, S., Prasetyo, A., & Barroroh, H. (2012). Kajian penambahan abu sekam
padi dari berbagai suhu pengabuan terhadap plastisitas kaolin. Alchemy, 1(2), 70-
74.
Wardani, S. P., & Rustamaji, R. M.(2014). Pengaruh Siklus Basah Kering pada
Sampel Tanah terhadap Nilai Atterberg Limit. JeLAST: Jurnal PWK, Laut, Sipil,
Tambang, 4(4).
Widjaja, B., & Sundayo, P. (2016). Alternatif penentuan batas cair dan batas
plastis dengan tiga variasi berat konus menggunakan metode Lee dan Freeman
(2009). Jurnal Teknik Sipil, 14(1), 62-67.
Yuliet, R. (2010). Identifikasi Tanah Lempung Kota Padang Berdasarkan Uji
Klasifikasi Teknik Dan Uji Batas-Batas Konsistensi Atterberg. Jurnal Rekayasa
Sipil, 6(2), 19-30.
F. Reaksi Tanah (pH)
"pH" merupakan singkatan dari "potensi hidrogen". Ini adalah
ukuran tingkat keasaman atau kealkalian dari sebuah larutan, yang diukur
pada skala logaritmik yang berkisar antara 0 hingga 14. pH 7 dianggap
sebagai netral, pH di bawah 7 bersifat asam, dan pH di atas 7 bersifat basa
atau alkali. Skala pH didasarkan pada konsentrasi ion hidrogen (H+)
dalam suatu larutan. Larutan dengan konsentrasi ion H+ yang lebih tinggi
bersifat asam, sedangkan yang dengan konsentrasi ion H+ yang lebih
rendah bersifat basa atau alkali (Karamina dkk., 2017).
Terdapat beberapa jenis ph, antara lain ph air, ph tanah dan ph
darah. pH air adalah ukuran tingkat keasaman atau kealkalian dalam air.
pH air yang sehat berkisar antara 6,5 hingga 8,5. pH air yang terlalu asam
atau terlalu basa dapat membahayakan kehidupan makhluk hidup di
dalamnya.
pH tanah adalah ukuran tingkat keasaman atau kealkalian dalam tanah. pH
tanah yang ideal berkisar antara 6 hingga 7,5. Tanah dengan pH yang
terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan tanaman
dan menyebabkan masalah kesehatan pada tanaman. pH darah adalah
ukuran tingkat keasaman atau kealkalian dalam darah. pH darah manusia
sehat berkisar antara 7,35 hingga 7,45. Gangguan pH darah dapat
menyebabkan masalah kesehatan serius (Basuki & Sari, 2020).
Metode yang digunakan yaitu ph meter atau ph stick. Ketelitian pH
meter umumnya dinyatakan sebagai resolusi dan akurasi. Resolusi pH
meter adalah kemampuan alat untuk membedakan perbedaan kecil dalam
nilai pH, sedangkan akurasi pH meter adalah seberapa dekat nilai pH yang
diukur dengan nilai pH sebenarnya. Alat pH meter berkualitas tinggi
memiliki resolusi hingga 0,01 pH dan akurasi yang dapat mencapai ± 0,01
pH atau lebih baik. Namun, perlu diperhatikan bahwa ketelitian alat pH
meter dapat berkurang seiring penggunaan yang berkelanjutan dan
memerlukan kalibrasi secara berkala untuk memastikan ketelitian yang
optimal (Firmansyah & Sumarni, 2013).
Analisis ph memiliki beberapa manfaat, antara lain Menentukan
tingkat keasaman atau kealkalian suatu larutan, sehingga dapat
diidentifikasi apakah larutan tersebut bersifat asam, basa, atau netral.
Membantu mengoptimalkan kualitas air dalam berbagai penggunaan,
seperti air minum, air kolam renang, dan air limbah. pH yang tepat dapat
memastikan kesehatan dan keamanan air untuk konsumsi manusia dan
lingkungan. Penting untuk keberhasilan proses produksi dalam berbagai
industri, seperti industri makanan, farmasi, dan kimia. pH yang tepat dapat
memastikan produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang diinginkan
dan terhindar dari kerusakan. Membantu mengoptimalkan pertumbuhan
tanaman dengan mengetahui pH tanah yang tepat untuk tanaman tertentu.
Tanah yang memiliki pH yang tepat dapat meningkatkan produktivitas dan
kualitas hasil panen (Rukmana dkk., 2020).
Pengaruh pH yang terlalu masam atau terlalu basa dapat
mempengaruhi kesuburan tanah dengan cara mengganggu ketersediaan
nutrisi bagi tanaman. pH yang terlalu masam, yaitu pH kurang dari 6,
dapat menghambat pertumbuhan tanaman karena dapat mengurangi
ketersediaan nutrisi makro seperti nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K)
serta nutrisi mikro seperti besi (Fe), mangan (Mn), dan tembaga (Cu).
Selain itu, pH tanah yang terlalu masam juga dapat meningkatkan
toksisitas ion aluminium (Al) dan mangan (Mn) pada tanaman, sehingga
menghambat pertumbuhan akar dan daun. pH yang terlalu basa, yaitu pH
lebih dari 8, dapat menghambat ketersediaan nutrisi bagi tanaman seperti
fosfat dan besi, sehingga mengurangi pertumbuhan tanaman. Selain itu,
pH tanah yang terlalu basa juga dapat menghambat aktivitas mikroba
tanah yang berperan penting dalam mendekomposisi bahan organik dan
membantu mengubah nutrisi dalam tanah menjadi bentuk yang dapat
digunakan oleh tanaman (Yuniarti dkk., 2020).
Ph suatu larutan dipengaruhi beberapa faktor, antara lain
konsentrasi ion H+ dan OH, kehadiran asam atau basa, ion-ion dalam
larutan, suhu, tekanan, jenis senyawa dalam larutan dan pengenceran. pH
larutan ditentukan oleh konsentrasi ion hidrogen (H+) dan ion hidroksida
(OH-) dalam larutan. kehadiran asam atau basa dalam larutan dapat
mempengaruhi pH-nya. Asam dapat menurunkan pH, sedangkan basa
dapat meningkatkan pH. ion-ion dalam larutan dapat mempengaruhi pH
larutan. Misalnya, ion klorida (Cl-) atau ion natrium (Na+) dapat
meningkatkan pH dalam larutan yang sudah basa. suhu larutan dapat
mempengaruhi pH. Peningkatan suhu dapat menyebabkan peningkatan
konsentrasi ion H+ dan menurunkan pH larutan. tekanan dalam larutan
juga dapat mempengaruhi pH larutan. Namun, pengaruh tekanan terhadap
pH umumnya lebih kecil dibandingkan dengan faktor-faktor lain. senyawa
dalam larutan dapat mempengaruhi pH-nya. Misalnya, senyawa yang
mengandung ion karbonat (CO32-) dapat meningkatkan pH larutan.
pengenceran suatu larutan dapat mempengaruhi pH-nya karena
mengurangi konsentrasi ion H+ dan OH- dalam larutan (Banjarnahor dkk.,
2018).
Tangketasik, A., Wikarniti, N. M., Soniari, N. N., & Narka, I. W. (2012). Kadar
bahan organik tanah pada tanah sawah dan tegalan di Bali serta hubungannya
dengan tekstur tanah. Agrotrop, 2(2), 101-107.
Dwiastuti, S., MARIDI, M., Suwarno, S., & Puspitasari, D. (2016). Bahan
Organik Tanah di Lahan Marjinal dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya.
In Proceeding Biology Education Conference: Biology, Science, Enviromental,
and Learning (Vol. 13, No. 1, pp. 748-751).
Hasibuan, A. S. Z. (2015). Pemanfaatan bahan organik dalam perbaikan beberapa
sifat tanah pasir pantai selatan Kulon Progo. PLANTA TROPIKA: Jurnal
Agrosains (Journal of Agro Science), 3(1), 31-40.
Roidah, I. S. (2013). Manfaat penggunaan pupuk organik untuk kesuburan
tanah. Jurnal Bonorowo, 1(1), 30-43.
Tarigan, B., Sinarta, E., Guchi, H., & Marbun, P. (2015). Evaluasi status bahan
organik dan sifat fisik tanah (bulk density, tekstur, suhu tanah) pada lahan
tanaman kopi (coffea sp.) di beberapa kecamatan kabupaten Dairi. Jurnal
Agroekoteknologi Universitas Sumatera Utara, 3(1), 103124.
Surya, J. A., Nuraini, Y., & Widianto, W. (2017). Kajian porositas tanah pada
pemberian beberapa jenis bahan organik di perkebunan kopi robusta. Jurnal
Tanah dan Sumberdaya Lahan, 4(1), 463-471.
H. N- Total Tanah
menentukan kadar N total tanah adalah proses pengukuran jumlah
total nitrogen yang terdapat di dalam tanah. Nitrogen adalah salah satu
unsur hara utama yang dibutuhkan oleh tanaman untuk tumbuh dan
berkembang dengan baik. Pengukuran kadar N total tanah dapat
membantu petani dan ahli agronomi untuk mengetahui ketersediaan
nitrogen yang tersedia untuk tanaman di dalam suatu lahan tertentu. Untuk
menentukan kadar N total tanah, umumnya dilakukan dengan cara
mengambil sampel tanah dari lokasi yang diinginkan, kemudian dilakukan
analisis kimia pada sampel tersebut untuk mengukur jumlah total nitrogen
yang terkandung di dalamnya (Firmansyah & Sumarni, 2013).
Sumber nitrogen yang terdapat di dalam tanah bisa berasal dari
beberapa sumber, antara lain nitrogen atmosfer, pupuk nitorgen, bahan
organik, air hujan dan pemupukan hijau. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi nilai nitrogen dalam tanah, antara lain kondisi tanah,
sumber nitrogen, suhu, ketersediaan air, kehadiran mirkroba tanah dan
aktivitas tanaman. pH tanah, kandungan air, tekstur tanah, dan kondisi
drainase dapat mempengaruhi ketersediaan nitrogen dalam tanah. nitrogen
dari pupuk atau dari bahan organik, dapat memiliki tingkat ketersediaan
nitrogen yang berbeda di dalam tanah. Suhu tanah dapat mempengaruhi
ketersediaan nitrogen. Suhu yang rendah dapat memperlambat aktivitas
mikroba yang bertanggung jawab untuk menguraikan bahan organik
menjadi senyawa nitrogen. Air yang cukup di dalam tanah penting untuk
menjaga aktivitas mikroba yang membantu menguraikan bahan organik
menjadi nitrogen yang dapat digunakan oleh tanaman. Mikroba tanah
seperti bakteri dan fungi dapat membantu dalam proses penguraian bahan
organik dan fiksasi nitrogen. Tanaman juga dapat mempengaruhi
ketersediaan nitrogen dalam tanah melalui proses penyerapan dan
penggunaan nitrogen (Dewi & Setiawati, 2018).
Penetapan N total tanah dapat dilakukan menggunakan metode
Kjeldahl. Metode Kjeldahl adalah suatu metode standar untuk menentukan
kadar nitrogen dalam sampel, termasuk dalam sampel tanah. Metode ini
dinamakan dari nama ahli kimia Denmark bernama Johan Kjeldahl yang
pertama kali mengembangkan metode ini pada tahun 1883. Proses metode
Kjeldahl melibatkan tiga tahap utama, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.
Destruksi, Sampel tanah dicampur dengan asam sulfat pekat dan pemanas
hingga terjadi pencernaan atau penguraian total nitrogen organik dalam
sampel menjadi bentuk amonium sulfat. Destilasi, Pada tahap ini, asam
sulfat yang tersisa dinetralkan dengan penambahan basa seperti natrium
hidroksida. Titrasi, Sampel yang telah dicerna dan dinetralkan kemudian
dititrasi dengan asam standar untuk menentukan jumlah nitrogen yang
terkandung dalam sampel tersebut (Putra dkk., 2015).
Analisis N total tanah dapat memberikan informasi penting tentang
ketersediaan nitrogen yang dapat diserap oleh tanaman untuk pertumbuhan
dan produksi yang optimal. Ketersediaan nitrogen dalam tanah sangat
penting untuk memastikan kesuburan tanah, karena nitrogen adalah nutrisi
yang sangat penting bagi pertumbuhan dan produksi tanaman. Dengan
mengetahui kadar N total tanah, petani atau ahli agronomi dapat
menentukan jenis pupuk atau bahan organik mana yang harus digunakan
untuk menambahkan nitrogen ke dalam tanah dan memperbaiki kesuburan
tanah (Fahmi & Radjagukguk, 2013).
Dewi, A. K., & Setiawati, M. R. (2018). Pengaruh pupuk hayati endofitik dengan
Azolla pinnata terhadap serapan N, N-total tanah, dan bobot kering tanaman padi
(Oryza sativa L.) pada tanah salin. Agrologia, 6(2).
Fahmi, A., & Radjagukguk, B. (2013). Peran gambut terhadap nitrogen total tanah
di lahan rawa. Berita Biologi, 12(2), 223-230.
Firmansyah, I., & Sumarni, N. (2013). Pengaruh dosis pupuk N dan varietas
terhadap pH tanah, N-total tanah, serapan N, dan hasil umbi bawang merah
(Allium ascalonicum L.) pada tanah entisols-Brebes Jawa Tengah. Indonesian
Agency for Agricultural Research and Development.
Putra, A. D., Damanik, M. M. B., & Hanum, H. (2015). Aplikasi pupuk area dan
pupuk kandang kambing untuk meningkatkan N total tanah pada inceptisol Kwala
Bekala dan kaitannya trhadap pertumbuhan jagung (Zea mays L.). Jurnal
Agroekoteknologi Universitas Sumatera Utara, 3(1), 102726.
Rosariastuti, R., Hartati, S., Widijanto, H., & Utomo, E. W. (2012). Evaluasi
Kesuburan Kimia Tanah di Lahan Kering Sub Daerah Aliran Sungai Samin
Kabupaten Karanganyar. Sains Tanah-Journal of Soil Science and
Agroclimatology, 9(1), 39-50.
Santika, I. G. N. (2020). Menelisik Akar Kegaduhan Bangsa Indonesia Pasca
Disetujuinya Hasil Revisi UU KPK Dalam Perspektif Pancasila. Jurnal Ilmiah
Ilmu Sosial, 6(1), 26-36.
Supriyadi, S., Hartati, S., & Yunianto, E. (2013). Status Unsur Hara Ca, Mg dan S
sebagai Dasar Pemupukan Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merril) di
Kecamatan Punung Kabupaten Pacitan. Sains Tanah-Journal of Soil Science and
Agroclimatology, 8(1), 39-49.
Utami, S. W., Sunarminto, B. H., & Hanudin, E. (2018). Pengaruh limbah biogas
sapi terhadap ketersediaan hara makro-mikro inceptisol. Jurnal Tanah dan Air
(Soil and Water Journal), 14(2), 50-59.
J. Pengenalan Jenis Pupuk
Pupuk adalah materi yang mengandung nutrisi atau unsur hara
yang diperlukan oleh tanaman untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangannya. Pupuk sangat penting untuk menjaga kesuburan tanah
karena mengandung unsur yang dapat menggantikan nutrisi yang telah
diserap oleh tanaman (Lingga dkk., 2007). Ada beberapa jenis pupuk yang
tersedia di pasaran, sehingga perlu dilakukan pengelompokan (Khairunisa,
2015).
Secara garis besar, pupuk dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu
pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik berasal dari bahan-
bahan organik seperti kotoran hewan, tumbuhan mati, kompos, dan pupuk
hijau yang telah melalui proses rekayasa. Pupuk organik ini dapat
berbentuk padat atau cair, diperkaya dengan bahan mineral, dan
mengandung mikroba yang bermanfaat untuk meningkatkan kandungan
hara dan kualitas tanah. Sementara itu, kandungan hara pada pupuk
organik sangat tergantung pada sumber asal bahan dasarnya. Di sisi lain,
pupuk anorganik dapat berasal dari kegiatan pertanian dan non-pertanian
seperti sisa panen, kotoran ternak, limbah industri, dan sampah organik
kota. Jenis pupuk anorganik yang tersedia di pasaran sangat beragam,
seperti urea, TSP, SP-36, KCL, ZA, gandasil B, dan gandasil D (Lingga
dkk., 2007; Tan, 1993; Permentan No. 70/Permentan/SR.140/10/2011).
Pupuk anorganik memiliki beragam jenis yang dapat digunakan
sebagai sumber unsur hara untuk tanaman, dan diklasifikasikan
berdasarkan beberapa kriteria. Bentuk pupuk anorganik dapat berupa padat
atau cair, seperti tepung, kristal, granul, supergranule, briket, pupuk
amonia cair, kosarin, dan sebagainya. Pupuk anorganik dapat berasal dari
bahan baku alami maupun buatan, dan dibedakan menjadi pupuk makro,
mikro, atau campuran makro dan mikro. Pupuk makro dibutuhkan dalam
jumlah besar seperti N, P, K, Mg, Ca, dan S, sedangkan pupuk mikro
dibutuhkan dalam jumlah kecil seperti B, Cu, Fe, Mn, Zn, dan Mo. Pupuk
anorganik juga dibedakan berdasarkan jumlah haranya, yaitu pupuk
majemuk yang mengandung beberapa unsur hara tertentu seperti N-P, N-
K, dan sebagainya, serta pupuk tunggal yang hanya mengandung satu
unsur hara tertentu seperti urea yang mengandung nitrogen. Pupuk
anorganik juga dapat dibedakan berdasarkan ketersediaan haranya, yaitu
pupuk yang cepat tersedia dan pupuk yang lambat tersedia (Husnain et al,
2016).
Selain berdasarkan sumbernya, pupuk juga dapat dikelompokkan
menurut beberapa kriteria lain, seperti menurut metode pemberian dan
menurut zat hara yang terkandung. Menurut metode pemberiannya, pupuk
dapat dibedakan menjadi pupuk akar dan pupuk daun. Sesuai dengan
namanya, pupuk akar adalah pupuk yang diberikan melalui akar,
contohnya TSP, ZA, KCL, kompos, pupuk kandang, dan dekaform,
sedangkan pupuk daun adalah pupuk yang disemprotkan melalui daun,
saat ini diperkirakan ada banyak jenis pupuk daun yang tersedia di
pasaran. Dan menurut zat hara yang terkandungnya, pupuk dapat dibagi
menjadi pupuk tunggal yang hanya memiliki satu zat seperti urea dan
pupuk majemuk yang memiliki lebih dari satu zat seperti NPK, beberapa
jenis pupuk daun, dan kompos. Selain itu, ada pupuk lengkap yang
memiliki zat secara keseluruhan atau lengkap baik zat makro maupun zat
mikro (Lingga, dkk., 2007).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
D. Tekstur Tanah
1. Metode
Hidrometer
2. Alat dan Bahan
a. Alat
1) Hidrometer
2) Tabung sedimentasi
3) Erlenmeyer
4) Pengaduk
b. Bahan
Tanah Ø 2,0 mm
3. Cara Kerja
a. Timbang sampel tanah sebanyak 50 g (kering mutlak) untuk
tanah lempungan dan 100 g untuk tanah pasiran, masukkan ke
dalam erlenmeyer.
b. Tambahkan aquades sampai 2/3 erlenmeyer dan 10 mL bahan
kimia pendispersi, kemudian aduk dengan pengaduk dan ukur
pH 10 – 11 (seandainya pH belum tercapai tambahkan bahan
kimia pendispersi dengan menggunakan pipet).
c. Gojok selama 15 menit dengan menggunakan mesin
penggojok, kemudian pindahkan suspensi tanah tersebut
kedalam tabung sedimentasi sampai bersih dengan
menggunakan botol semprot.
d. Tambahkan aquades menjadi volume 1130 mL (jika yang
digunakan 50 g tanah) atau menjadi volume 1205 mL (jika
yang digunakan 100 g tanah).
e. Tutup mulut tabung dan gojok dengan cara membalik-balikkan
tabung (sebanyak 15 kali). Catat waktunya saat pengojokkan
dihentikan.
f. Masukkan secara hati-hati hidrometer dan baca hidrometer
setelah 40 detik penggojokkan dihentikan serta catat suhu
suspensi. Lakukan 2 kali ulangan dan hasil rata-ratanya untuk
menentukan (Lempung + Debu) gram.
g. Ulangi langkah 5 dan 6 tetapi pembacaan hidrometer dilakukan
setelah 120 menit dan catat suhu suspensi. Lakukan 2 kali
ulangan dan hasil rata-ratanya untuk menentukan (Lempung)
gram.
h. Cuci dan bersihkan semua alat yang digunakan.
E. Konsistensi Tanah
1. Metode
Atterberg
2. Alat dan Bahan
a. Alat
1) Casagrande
2) Cawan penguap Ø 12 cm
3) Colet
4) Botol pemancar air
5) Botol timbang
6) Oven
7) Timbangan
8) Exicator
9) Kertas grafik semilog
b. Bahan
Tanah Ø 0,5 mm
3. Cara Kerja
a. Siapkan casagrande dengan buah sekrup pengatur dan dengan
bagian ekor colet yang tinggi jatuh cawan = 1 cm
b. Ambil tanah 100 gram dalam cawan penguap. Dengan
menggunakan colet tanah dicampur dengan air yang
dirtambahkan sedikit demi sedikit dengan botol pemancar air
sehingga diperoleh suatu pasta yang homogeny.
c. Letakkan sebagian pasta tanah diatas cawan alat casagrande
dan permukaannya diratakan dengan colet sampai tebal pasta
kira-kira 1 cm. Kemudian dengan colet pasta tanah dibelah
sepanjang sumbu diametric cawan. Waktu membelah pasta,
colet dipegang sedemikian rupa sehiungga pada setiap
kedudukannya selalu tegak lurus pada permukaan cawan.
Didasar alur pembelahan harus terlihat [ermukaan cawan yang
bersih dari tanah selebar ujung colet 2 mm.
d. Alat casagrande diputar pada pemutarannya sehingga cawan
terketuk-ketuk sebanyak dua kali setiap detik. Banyak ketukan
untuk menutup kembali sebagian alur sepanjang 1 cm dihitung.
Kemudian diulangi langkah ke-3. Cawan diketuk-ketukkan lagi
dan bnayak ketukan untuk menutup alurnya kembali dihitung
seperti tadi. Pekerjaan ini diulangi sampai setiap kali diperoleh
banyaknya ketukan yang tetap
e. Setelah diperoleh banyak ketukan yang tetap antara 10-40
ambillah sejumlah pasta tanah disekitar bagian alur yang
menutup sebanyak kira-kira 10 gram dan ditetapkan kadar
f. Kerjakan langkah ke-3 sampai ke-5 sehingga seluruhnya
diperoleh 4 pengamatan dengan banyak ketukan berbeda-beda
yaitu dua buah pengamatan berketukan dibawah 25 dan dua
buah di atas 25.
F. Reaksi Tanah
1. Metode
Ph meter atau stick
2. Alat dan Bahan
a. Alat
1) Ph meter atau stick
2) Dua buah cepuk ph
b. Bahan
Tanah kering udara halus Ø 2,0 mm
3. Cara Kerja
a. Timbang contoh tanah sebanyak 5 gram (buat 2 ulangan) dan
masukkan kedalam cepuk pH, kemudian tambahkan air
sebanyak 12,5 ml.
b. aduk secara merata dan diamkan selama 30 menit. Kemudian
ukur pH dengan pH meter/stick.
c. Ulangi langkah tersebut dengan menggunakan pelarut K.
H. N- Total Tanah
1. Metode
Kjeldahl
2. Alat dan Bahan
a. Alat
1) Alat destruksi
2) Alat destilasi
3) Gelas arloji 8 cm
4) Labu kjeldahl 250 ml
5) Buret 50 ml
6) Erlenmeyer 150 ml
7) Gelas ukur 100 ml
b. Bahan
1) Tanah kering udara Ø 0,5 mm
2) H2SO4 pekat
3) H2SO4 0,1 N
4) campuran katalisator ( serbuk K2SO4 dan CuSO4 dengan
perbandingan berat 20:1)
5) indikator-methyl red
3. Cara Kerja
a. Destruksi
1) Timbang contoh tanah kering udara sekitar 1 g dengan alas
gelas arloji bersih. Masukan ke dalam labu kjeldahl dan
tambahkan 6 ml H2SO4 pekat. Tambahkan campuran
katalisator serbuk K2SO4 dalam CuSO4 sebanyak1-2
sendok kecil.
2) Gojog sampai merata dan panaskan dengan hati-hati
sampai asapnya hilang dan warna larutan berubah menjadi
putih kehijauan/tak bewarna (pemanasan dilakukan di
dalam lemari asam), kemudian dinginkan.
b. Destilasi
1) Setelah larutan dingin, tambahkan air 25-50 ml air,
kemudian tuang ke dalam labu destilasi. Masukan dengan
cara dituangkan berulang-ulang dab dibantu dengan air
(usahakan agar butir tanah tidak ikut masuk).
2) Ambil erlenmeyer 150 ml dan isi dengan 10 ml H2SO4 0,1
N. Beri dua tetes indikator methyl red hingga warana
menjadi merah.
3) Tempatkan erlenmeyer tersebut kebawah alat pendingin
destilasi hingga ujung pendingin alat tersebut tercelup
dibwah permukaan asam.\
4) Tambahkan secara hati-hati 20 ml NaOH pekat ( dengan
gelas ukur ) melalui dinding labu destilasi. Langkah ini
harus dijalankan sesaat sebelum destilasi dimulai.
5) Mulailah destilasi dan jaga agar larutan didalam erlenmeyer
tetap bewarna merah. Jika warna larutan berubah/hilang
segera tambahkan H2SO4 0,1 N dengan jumlah yang
diketahui. Destilasi berlangsung sekitar 30 menit (dilihat
mulai larutan itu mendidih)
6) Setelah destilasi selesai, erlenmeyer diambil (api baru boleh
dipadamkan jika erlenmeyer sudah diambil).
7) Bilas dengan air suling ujung atas bawah alat pendingin (air
juga dimasukan kedalam erlenmeyer)
c. Titrasi
1) Larutan dalam gelas piala ditritasi dengan NaOH 0,1 N
sampai warna hampir hilang.
2) Lakukan prosedur yang sama untuk analisis blanko, yaitu
analisis dilakukan tanpa memakai tanah.
c. Kosistensi tanah
Penetapan konsistensi tanah berdasarkan 3 kadar air yang
umum digunakan adalah dengan uji konsistensi Atterberg. Uji ini
dilakukan dengan cara mengukur 3 kadar air dalam tanah, yaitu
kadar air tanah pada kondisi alami, kadar air tanah setelah
dicampur dan diaduk dengan alat uji konsistensi Atterberg, serta
kadar air tanah setelah dijepit dengan alat uji tersebut.
Berdasarkan praktikum yang dilakukan, tanah grumusol
memiliki batas cair paling tinggi, yaitu sebesar 77,99% dengan
harkat sangat tinggi. Tanah latosol kedua tertinggi, yaitu sebesar
53,78% dengan harkat tinggi. Tanah regosol paling kecil, yaitu
sebesar 33,23% dengan harkat tinggi. tanah grumusol memiliki
batas cair paling tinggi karena tanah ini berasal dari tuffa vulkanik
dan batuan induk kapur, bersifat basa, dan tidak memiliki aktivitas
organik di dalamnya. Tanah regosol memiliki batas cair paling
kecil karena tanah ini berasal dari endapan aluvial atau koluvial
yang belum mengalami pelapukan.
Tanah grumusol memiliki nilai batas lekat paling tinggi,
yaitu sebesar 55,53% dengan harkat terlalu tinggi. Tanah latosol
terbesar kedua, yaitu sebesar 43,5% dengan harkat sangat tinggi.
Tanah regosol paling rendah, yaitu sebesar 32,856% dengan harkat
sangat tinggi. tanah grumusol umumnya memiliki kandungan
lempung yang tinggi. Lempung memiliki daya serap yang baik
terhadap air dan nutrisi, sehingga menjadikan tanah ini memiliki
nilai batas lekat yang tinggi. tanah regosol cenderung memiliki
struktur yang lebih longgar dan kurang memiliki agregat yang
stabil. Hal ini menyebabkan tanah ini memiliki kemampuan
menahan air dan nutrisi yang lebih rendah.
Tanah latosol memiliki nilai batas gulung paling besar,
yaitu sebesar 38,905% dengan harkat sangat tinggi. Tanah
grumusol terbesar kedua, yaitu sebesar 26,59% dengan harkat
tinggi. Tanah regosol paling rendah, yaitu sebesar 26,002%
dengan harkat tinggi. Salah satu karakteristik penting dari tanah
latosol adalah keberadaan argilik, yaitu fraksi tanah yang kaya
akan partikel lempung. Partikel lempung pada tanah ini memiliki
kemampuan menahan air dan nutrisi yang baik. Proses
pembentukan yang cepat dan erosi yang signifikan dalam tanah
regosol menyebabkan struktur tanah ini kurang stabil dan kurang
memiliki agregat-agregat yang besar. Akibatnya, kemampuan
tanah ini dalam menahan air dan kelembaban menjadi rendah.
Tanah grumusol memiliki nilai batas berubah warna paling
besar, yaitu sebesar 38,66% dengan harkat sangat tinggi. Tanah
latosol terbesar kedua, yaitu sebesar 35,5% dengan harkat sangat
tinggi. Tanah regosol paling rendah, yaitu sebesar 27,028%
dengan harkat tinggi. Grumusol adalah tanah yang terbentuk dari
tuffa vulkanik dan batuan kapur. Tanah ini memiliki agregat besar
yang stabil dan struktur yang baik. Tanah ini dapat berubah warna
sesuai dengan lingkungan. Regosol terbentuk melalui proses erosi
yang intens, yang dapat mengakibatkan hilangnya sebagian besar
fraksi tanah yang lebih halus, seperti partikel lempung. Akibatnya,
tanah regosol umumnya memiliki tekstur yang lebih kasar dan
lebih sedikit kandungan mineral yang dapat memberikan
perubahan warna yang signifikan.
Tanah grumusol memiliki nilai jangka olah terbesar, yaitu
sebesar 28,94% dengan harkat sangat tinggi. Tanah regosol
terbesar kedua, yaitu sebesar 6,849% dengan harkat rendah. Tanah
latosol paling rendah, yaitu sebesar 4,60% dengan harkat rendah.
Latosol umumnya memiliki tekstur yang kasar dan kandungan
bahan organik yang relatif rendah. Hal ini mengurangi
kemampuan tanah untuk menahan nutrisi dan mempertahankan
kesuburan.
Tanah grumusol memiliki indeks plastisitas terbesar, yaitu
sebesar 51,4% dengan harkat terlalu tinggi. Tanah latosol terbesar
kedua, yaitu sebesar 12,97% dengan harkat rendah. Tanah regosol
paling rendah, yaitu sebesar 7,228% dengan harkat rendah.
Regosol, yang terbentuk melalui proses erosi dan pengendapan
material, umumnya memiliki tekstur yang kasar dan kurang
memiliki kandungan bahan liat yang signifikan. Karena itu, tanah
ini memiliki indeks plastisitas yang rendah.
Tanah grumusol memiliki nilai persediaan air maksimum
terbesar, yaitu 39,23% dengan harkat sedang. Tanah latosol
terbesar kedua, yaitu sebesar 18,28% dengan harkat sangat rendah.
Tanah regosol paling rendah, yaitu sebesar 6,202% dengan harkat
sangat rendah. Grumusol cenderung memiliki struktur agregat
yang baik dan kandungan bahan organik yang tinggi. Struktur ini
menciptakan porositas dalam tanah, memungkinkan penyerapan
dan penyimpanan air yang baik.
Tanah regosol memiliki nilai suplus terbesar, yaitu -0,374%
dengan harkat lebih dari sedang. Tanah latosol terbesar kedua,
yaitu sebesar -10,28% dengan harkat sedang. Tanah grumusol
paling rendah, yaitu sebesar -22,46% dengan harkat buruk.
Regosol umumnya memiliki tekstur kasar dan struktur yang
kurang berkembang. Hal ini menyebabkan tanah memiliki tingkat
drainase yang cepat, sehingga air lebih mudah mengalir melalui
tanah dan tidak banyak disimpan.
B. Sifat kimia tanah
1. Hasil pengamatan
2. Pembahasan
a. Reaksi tanah (Ph)
PH adalah suatu ukuran. Yang menguraikan derajat tingkat
kadar keasaman atau kadar alkali dari suatu zat. Ph tanah memiliki
skala 0 – 14. PH tanah dapat diukur dengan metode stik yaitu
mencocokkan warna yang didapatkan pada stik berdasarkan tabel
warna yang terdapat pada bungkus plastik. Wah dalam praktikum
digunakan 2 jenis larutan yaitu h2o dan kcl. Larutan h20
mempengaruhi PH aktual dan larutan kcl mempengaruhi potensial.
Tanah regosol memiliki ph aktual 6 dengan harkat masam
lemah, dan ph potensial 5 dengan harkat masam lemah. Tanah
regosol berasal dari letusan gunung berapi sehingga memiliki
kandungan unsur hara tinggi. Kandungan seperti Fe, dan Al
menyebabkan tanah menjadi masam. Kandungan hara yang tinggi
menunjukkan kejenuhan basa pada tanah regosol tinggi dan berarti
tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian. Hal ini
menyebabkan ph pada tanah regosol tinggi karena semakin tinggi
kejenuhan basa maka tanah tersebut memiliki ph yang tinggi pula.
Yang berarti hubungan antara kejenuhan basa dan ph berbanding
lurus.
Tanah latosol memiliki ph aktual 6 dengan harkat masam
lemah dan ph potensial 5 dengan harkat masam lemah. Tanah
latosol terbentuk dari pelapukan batuan induk yang mengandung
mineral-mineral basa seperti kalsium, magnesium, dan kalium.
Mineral-mineral ini dapat menetralkan keasaman tanah dan
meningkatkan pH potensialnya.
Tanah grumusol memiliki ph aktual 6 dengan harkat masam
lemah dan ph potensial 6 engan harkat masam lemah. Tanah
grumusol terbentuk dari pelapukan batuan kapur dan tuffa
vulkanik. Karena terdiri dari hasil pelapukan batuan kapur, tanah
grumusol memiliki ph aktual sedikit masam. Hal tersebut terjadi
karena pelapukan hanya mengubah bentuk fisik dan tekstur unsur
seperti Ca dan Mg yang sebelumnya rapat menjadi lebih longgar.
Ph potensial tanah grumusol adalah 6 dengan harkat masam lemah.
Hal tersebut mungkin terjadi karena tanah sudah tercampur dengan
abu vulkanik yang memiliki kandungan hara yang bersifat masam.
Tanah regosol, latosol dan grumusol memiliki ph aktual
yang sama, yaitu 6 dengan harkat masam lemah. Tanah latosol
memiliki ph potensial tertinggi yaitu 5 dengan harkat asam lemah.
Tanah regosol memiliki ph potensial terendah yaitu 5 dengan
harkat masam lemah. Tanah grumusol memiliki nilai ph potensial
kedua tertinggi, yaitu 6 dengan harkat masam lemah.
c. N- Total tanah
N total tanah adalah proses pengukuran jumlah total
nitrogen yang terdapat di dalam tanah. Nitrogen adalah salah satu
unsur hara utama yang dibutuhkan oleh tanaman untuk tumbuh dan
berkembang dengan baik. Penetapan N total tanah dapat dilakukan
menggunakan metode Kjeldahl. Proses metode Kjeldahl
melibatkan tiga tahap utama, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.
Dalam praktikum yang telah dilakukan diperoleh data
bahwa tanah grumusol memiliki kandungan N-total paling tinggi
jika dibandingkan tanah regosol dan latosol. Kandungan N-total
tanah grumusol sebesar 0,374% dengan harkat tinggi. Hal ini
disebabkan karena unsur hara yang terkandung pada tanah
grumusol tinggi sehingga bahan organik pada tanah grumusol pada
tanah grumusol tinggi. Secara teori semakin tinggi bahan organik
maka kandungan N-total nya juga semakin tinggi.
Tanah regosol memiliki N-total lebih rendah dari tanah
grumusol, tetapi lebih tinggi dari tanah latosol. Kandungan N-total
regosol sebesar 0,329% dengan harkat tinggi. Karena Tanah
regosol berasal dari bahan induk yang tidak terkonsolidasi, seperti
abu vulkanik, mergel, atau pasir pantai. Bahan induk ini dapat
mengandung bahan organik yang terbawa oleh air atau angin dari
tempat lain, sehingga memiliki unsur hara dan bahan organik yang
tinggi. N-total regosol lebih rendah dari tanah grumusol karena
tekstur pasir pada tanah regosol memiliki kemampuan menahan air
yang rendah sehingga bahan organiknya ikut tercuci dan lolos ke
bawah.
Tanah latosol memiliki N-total paling rendah dari tanah
grumusol dan regosol. Kandungan N-total tanah latosol sebesar
0,017% dengan harkat sangat rendah. Karena Tanah latosol
memiliki sifat liat berpasir yang membuatnya mudah tererosi oleh
air hujan. Air hujan dapat membawa bahan organik yang terdapat
di permukaan tanah ke lapisan bawah atau ke sungai. Hal ini dapat
mengurangi kandungan bahan organik di tanah latosol.
Berdasarkan data yang diperoleh, tanah latosol memiliki
nisbah c/n paling tinggi, yaitu sebesar 42,94 dengan harkat sangat
tinggi. Tanah grumusol memiliki nilai nisbah c/n paling tinggi
kedua setelah latosol sebesar 10,213 dengan harkat sedang. Tanah
regosol memiliki nisbah c/n paling kecil, yaitu sebesar 3,768
dengan harkat sedang. Secara teori apabila nisbah kurang dari 20
menunjukkan terjadinya mineralisasi N dan apabila nisbah lebih
dari 30 berarti terjadi imobilisasi N. nilai nisbah c/n tanah regosol
paling kecil karena tanah regosol memiliki kandungan bahan
organik yang rendah.