Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Makalah Ijma Kel (1) NEW

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 14

KELOMPOK I

MAKALAH
IJMA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fikih

DOSEN PENGAMPU
Dr. Budi Rahmat Hakim, MHI
Disusun Oleh :
Muhammad Firdaus : 230102040009
Aliefiyan Achmad Hidayat : 230102040251

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
BANJARMASIN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah bertema Ijma".

Dalam menyelesaikan makalah ini, saya mendapatkan begitu banyak


bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu saya mengucapkan banyak terimakasih
kepada siapa saja yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat dalam segala


bentuk belajar mengajar. Sehingga dapat mempermudah pencapaian tujuan
pendidikan nasional. Namun makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu
saya mengharap kritik dan sarannya yang akan menjadikan makalah ini lebih baik.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI
LATAR BELAKANG ...................................................................................................... 1
A. PENDAHULUAN
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
BAB II : PEMBAHASAN ................................................................................................ 3
A. Pengertian Ijma ....................................................................................................... 3
B. Kehujjahan Ijma ...................................................................................................... 4
C. Rukun dan Syarat Ijma ............................................................................................ 5
D. Macam Macam Ijma ............................................................................................... 6
E. Kedudukan Ijma Dalam Pembinaan Hukum Islam ................................................. 7

BAB III : PENUTUP ..................................................................................................... 10


A. Kesimpulan .......................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu melakukan kegiatan-kegiatan


yang tidak lepas dari peranan syari'at atau hukum-hukum seperti shalat, puasa,
jual beli dan lain sebagainya. Semua itu membutuhkan hukum agar kita tidak
salah arah dalam landasan agama.

Untuk mengetahui hukum hukum syariat agama, para ulama telah berjihad
untuk mengetahui hukum yang telah dijelaskan didalam Al-Qur'an dan hadist agar
jelas dan tidak subhat. Dalam era sekarang, banyak kita jumpai hal-hal yang pada
zaman rasul tidak terjadi, untuk mengetahui bagaimanya hukumnya hal tersebut,
maka dibutuhkan kesepakatan para ulama (ijma'), maka dalam makalah ini akan
dibahas tentang pengertian ijma', macam-macam ijma', kedudukan ijma' dalam
hukum islam, dan disertai pula contoh ijma'dan Syarat ijma'.

B.Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yaitu sebagai berikut:

1.Apa yang dimaksud dengan ijma'?

2.Bagaimana kehujjahan ijma"?

3. Apa rukun dan syarat ijma' ?

4.Apa saja macam-macam ijma'?

5.Bagaimana kedudukan ijma' dalam pembinaan hukum islam?

6. Apa contoh hukum yang didasari ijma'?

1
C. Tujuan Penulisan Makalah

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tentang ijma

2. Untuk mengetahui kehujjahan ijma'

3. Untuk mengetahui rukun dan syarat ijma

4. Untuk mengetahui macam-macam ijma'

5. Untuk mengetahui kedudukan ijma' dalam pembinaan hukum islam

6. Untuk mengetahui contoh hukum yang didasari ijma' yang didasari ijma'?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma'

Secara etimologi, ijma' berarti " kesepakatan" atau konsensus.pengertian


etimologi kedua dari ijma' adalah ketetapan hati untuk melakukan sesuatu.1

Perbedaan antara pengertian pertama dengan pengertian kedua terletak


pada kuantitas (jumlah) orang yang berketetapan hati. Pengertian pertama
mencakup satu tekad saja, sedangkan untuk pengertian kedua memerlukan tekad
kelompok.

Adapun ijma' dalam pengertian terminologi ialah kesepakatan semua


ulama mujtahid muslim dalam satu masa tertentu, setelah wafatnya Rasulullah
SAW. yang berkaitan dengan hukum syara'.

Ada beberapa rumusan ijma' yang dikemukakan oleh para tokoh-tokoh


fiqih, diantaranya. sebagai berikut:

1. Al-Amadi, sebagaimana dikutip Amir syarifuddin merumuskan ijma' adalah


kesepakatan sejumlah Ahlul Halli wal'Aqd ( para ahli yang berkompeten
mengurusi umat) dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus.

2.Maulana Muhammad Ali yang dikutip oleh sudarsono kata ijma' berasal dari
kata jam', artinya menghimpun mengumpulkan. Ijma' mempunyai dua makna,
yaitu, menyusun dan mengatur suatu hal yang tak teratur, oleh sebab itu berarti
menetapkan dan memutuskan suatu perkara, dan berarti pula istilah ulama fiqih
(fuqaha'), Ijma' berati kesepakatan pendapat diantara para mujtahid, atau
persetujuan pendapat diantara ulama fiqih dari abad tertentu mengenai masalah
hukum.

1
Nasrun Harun.Ushul Fiqh 1.Cet III.Jakarta:PT Logos Wacana Ilmu.2001.Hlm51

3
B. Kehujjahan Ijma'
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma' adalah merupakan hujjah yang
wajib diamalkan, karena ijma' merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-
Qur'an dan hadist. Dalil-dalil yang mendukung pendapat jumhur ulama adalah:

1) Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa' ayat 115 yang artinya "Dan barang
siapa yang menentang Rasul SAW sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam
Jahannam". Hal ini berarti wajib mengikuti jalan-jalan orang yang beriman, yaitu
para mujtahid yang menyepakati suatu hukum syara'.

2) Hadist-hadist Nabawi yang menunjukan kemaksuman umat Islam dari


kesalahan dan kesesatan, yaitu hadist yang saling menguatkan satu dengan
lainnya, yang telah diterima umat, mutawatir dan dapat dipakai sebagai hujjah.
Diantara hadist-hadist itu adalah:

‫ةلتض ىلع يتتا عمتجت ال‬

Artinya: "Umatku tidak akan berkumpul (ijma') untuk suatu kesalahan.

‫ْمم ََ يت َم َجم َىض ََقَ َْم ْ ن‬

Arinya: "Barang siapa memisahkan diri dari dari jamaah, lalu mati, maka matinya
itu didalam keadaan jahiliyah.
3) Bahwa kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat, meskipun akal dan
pengetahuan mereka berbeda-beda, menujukan bahwa pendapat ini jelas
kebenarannya. Sebab seandainya ada dalil yang menyangkal tentang pendapat
mereka maka terjadilah perselisihan di antara mereka.

4
C. Rukun dan Syarat Ijma'
Dalam definisi itu dikatakan, bahwa sepakat semua mujtahid muslim
pada suatu masa terhadap hukum syar'i. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa
Rukun ijma' itu ada 4 yaitu2:

1) Adanya sejumlah para mujtahid pada saat terjadi suatu peristiwa. Karena
sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat tergambar kecuali pada sejumlah
pendapat, dimana masing-masing pendapat sesuaian dengan pendapat lainnya.

2) Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dikalangan umat islam terhadap hukum


syara' mengenai suatu kasus atau peristiwa pada waktu terjadinya tanpa
memandang negeri mereka, kebangsaan mereka atau kelompok mereka.

3) Kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat dari masing-


masing orang dari para mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai
suatu peristiwa.

4) Kesepakatan dari seluruh mujtahid atas suatu hukum itu terealisir. Kalau
sekiranya kebanyakan yang sepakat, maka kesepakatan yang terbanyak itu tidak
terjadi ijma. kendatipun sangat sedikit mujtahid yang menentang.

Jumhur Ulama ushul fiqh, mengemukakan pula syarat-syarat ijma', yaitu:

1) Yang melakukan ijma' tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan


ijtihad.

2) Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian
kuat terhadap agamanya).

3) Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari
ucapan atau perbuatan bid'ah.

2
Khallaf.Abdul Wahab Ilmu Ushul Fikh Jakarta:PT Rineka Cipta. 1995

5
Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh. Ada juga
syarat lain, tetapi tidak disepakati para ulama, diantaranya:

1) Para mujtahid itu adalah sahabat.

2) Mujtahid itu kerabat Rasulullah, apabila memenuhi dua syarat ini, para ulama
ushul figh menyebutnya dengan ijma' shahabat.

3) Mujtahid itu adalah ulama Madinah.


4) Hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya
seluruh mujtahid yang menyepakatinya..
Tidak terdapat hukum ijma' sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang
sama.3

D. Macam-Macam Ijma'
1) Ijma' qauli atau ijma' sharih. Yaitu ijma' yang dikeluarkan oleh para mujtahid
secara lisan maupun tulisan yang terdapat persetujuan dari mujtahid pada
zamannya. Ijma' ini disebut juga ijma' bayani atau ijma' qothi.

2) Ijma' sukuti atau ijma' ghair sharih. Yaitu ijma' yang dikeluarkan oleh para
mujtahid dengan cara diam tidak mengeluarkan pendapat. Ijma' sukuti akan
dikatakan sah apabila memenuhi beberapa syarat di antaranya:

a) Diamnya para mujtahid betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau


penolakan.

b) Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk
memikirkan permasalahan.

c) Permasalahan yang difatwakan oleh para mujtahid tersebut adalah maslah


ijtihad yang bersumber dari dalil-dalil yang bersifat zhanni.

3
Nasrun Haroen. Ushul Fiqh. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997). Hlm.53-54

6
Menurut Imam Syafi'i dan kalangan Malikiyyah ijma' sukuti tidak dapat
dijadikan landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama
mujtahid belum tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau
sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat karena dianggap
senior.

Hanafiyah menyatakan ijma' sukuti sah jika digunakan sebagai landasan


hukum, karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika
mereka tidak setuju dan memandangnya keliru merka harus tegas menentangnya.
Jika tidak menentang dengan tegas, artinya setuju.

3) Ijma' sahabat. Yaitu ijma yang dikeluarkan oleh para sahabat.

4) Ijma' ahlul bait. Yaitu semua orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan
Nabi Muhammad SAW. Yang dimaksud ahli bait oleh mereka adalah: Fatimah.
Ali, Hasan dan Husain.

5) Ijma' ulama Madinah. Menurut Malik bahwa yang telah yang telah dijma i oleh
ulama Madinah. wajiblah kita turuti. Tegasnya ijma' mereka dijadikan hujjah,
wajib diamalkan.4

E. Kedudukan Ijma' dalam Pembinaan Hukum Islam

Jumhur ulama' berpendapat bahwa kedudukan ijma' menempati salah


satu sumber atau dalil hukum sesudah Al-Qur'an dam sunnah. Ini berarti ijma'
dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak
ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an maupun sunnah.

Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ijma' dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan suatu hukum dan menjadi sumber hukum islam yang qathi. Jika
sudah terjadi ijma ( kesepakatan) diantara para mujtahid terhadap ketetapan

4
Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
1997

7
hukum suatu masalah atau peristiwa, maka umat islam wajib menaati dan
mengamalkannya.

Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma' merupakan hujjah yang qathi'sebagai
sumber hukum Islam adalah sebagai berikut :

a. Firman Allah SWT:

Artinya :" wahai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul
(Muhammad) dan Ulil amri (Pemegang kejuasaan) diantara kamu." (Q.S. an-Nisa'
59) Maksud Ulil Amri itu ada dua penafsiran yaitu Ulil Amri Fiddunnya adalah
penguasa dan Ulil Amri fiddin adalah mujtahid atau para ulama', sehingga dari
ayat ini berarti juga memerintahkan untuk taat kepada para ulama mengenai suatu
keputusan hukum yang disepakati mereka.

b. Hadist RasulullahSAW

Artinya: " apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut
pandangan Allah juga baik.

Dalam hadist ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai


umat yang sama - sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti
ijma' itu terpelihara dari kesalahan, sehingga putusannya merupakan hukum yang
mengikat umat islam. Pandangan ulama' mengenai Ijma' sukuti :

Imam Syafi'i dan kalangan Malikiyyah ijma' sukuti tidak dapat dijadikan
landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid
belum tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan
menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat karena dianggap senior.

Hanafiyah dan Hanabilah Ijma' sukuti syah jika digunakan sebagai


landasan hukum, karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena
jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas
menentangnya. Jika tidak menentang dengan tegas, berarti mereka setuju.

8
Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan jika diamnya sebagian ulama'
mujtahid tidak dapat dikatakan telah terjadi ijma. Dan pendapat ini dianggap lebih
kuat daripada pendapat perorangan.5

F. Contoh-Contoh Hukum yang Didasari Ijma'

1. Pengangkatan Abu Bakar As- Shiddiq sebagai khalifah menggantikan


Rasulullah SAW.

2. Pembukuan Al-Qur'an yang dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar r.a.

3. Menentukan awal bulan ramdhan dan bulan syawal.. Ijma' merupakan sumber
rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur'an dan demikian pula
sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah
disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita
mengambilnya dan beramal.

Bukti komplit diatas bahwa contoh hukum Ijma' yaitu didalam


pengangkatan Abu Bakar as yaitu mengantikan Rasulullah SAW, menjadi Khalifa
untuk menetapkan dasar-dasar hukum sesudah Nabi Muhammad.

5
Satria M. Zein. Ushul fiqh. (Jakart: Fajar Interpratama Offset, 2005), Hlm, 56

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Ijma' dalam pengertian terminologi ialah kesepakatan semua ulama


mujtahid muslim dalam satu masa tertentu, setelah wafatnya Rasulullah SAW,
yang berkaitan dengan hukum syara'.

Jumbur ulama' berpendapat bahwa kedudukan ijma' menempati salah


satu sumber atau dalil hukum sesudah Al-Qur'an dan sunnah. Ini berarti ijma'
dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak
ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an maupun sunnah.

Ijma' merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan


didalam Al Qur'an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita
melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila
sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal.

Bukti komplit diatas bahwa contoh hukum Ijma' yaitu didalam


pengangkatan Abu Bakar as yaitu mengantikan Rasulullah SAW, menjadi Khalifa
untuk menetapkan dasar-dasar hukum sesudah Nabi Muhammad.

10
DAFTAR PUSTAKA

Nasrun Harun. Ushul Fiqh 1.Cet III.Jakarta:PT Logos Wacana Ilmu.2001.Hlm5I

Khallaf.Abdul Wahab Ilmu Ushul Fikh Jakarta:PT Rineka Cipta, 1995

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997). Hlm.53-54

Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT


Pustaka Rizki Putra, 1997.

Satria M. Zein, Ushul figh. (Jakart: Fajar Interpratama Offset, 2005), Hlm, 56

11

Anda mungkin juga menyukai