Sumber Hukum Islam Yang Mukhtalaf
Sumber Hukum Islam Yang Mukhtalaf
Sumber Hukum Islam Yang Mukhtalaf
Disusun Oleh:
Muhammad Husein 12112085
Puji syukur kahadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan karunia, taufiq, dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan
baik.
Shalawat dan salam semoga tetap mengalir deras pada pejuang kita yang
namanya populerj dan berkibar diseluruh dunia yakni Nabi besar Muhammad
Saw. Yang mana dengan perjuangan beliau kita dapat berada dalam cahaya islam dan
iman.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa salam penulisan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan dan banyak kekurangan, sehingga penulis makalah ini sangat
mengharapkan sadan dan kritik yang konstruktif demi kesempurnaan dalam penulisan
makalah selanjutnya.
Akhirnya penulis berdo’a semoga makalah ini akan membawa manfaat pada
penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................1
C. Tujuan Masalah......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................3
A. Pengertian Ijma’.....................................................................................................3
B. Rukun & Syarat Ijma’............................................................................................3
C. Macam-macam Ijma’..............................................................................................5
D. Kemungkinan Terjadinya Ijma’.............................................................................6
E. Kehujjahan ijma’ menurut pandangan ulama.........................................................7
BAB III PENUTUPAN..................................................................................................10
A. Kesimpulan...........................................................................................................10
B. Kritik dan Saran....................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat
kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia
merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan
pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’
Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’
itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits,
mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri
(Al-Qur’an dan Hadits).
“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat
untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka
telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan
hukum yang telah disepakati.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian ijma’
2. Syara-syarat ijma’
3. Macam-macam ijma’
4. Kemungkinan terjadinya ijma’
5. Kehujjaan Ijma menurut pandanga ulama’.
1
C. Tujuan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis bertujuan agar kita para mahasiswa
dapat mengetahui bagaimana cara untuk lebih memahami landasan hukum
islam seperti ijma’ yang telah disepakati oleh para mujtahit yang dijadikan
sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadits
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijma’
Secara bahasa ijma' berarti "kebulatan tekad terhadap suatu persoalan"1
Menurut istilah ahli ushul sebagaimana yang didefinisikan Wahbah
Zuhaili,berikut ini:
إتفاق المجتهدين من أمة محمد صلى هللا عليه وسلم بعد وفاته في عصر من العصور على حكم شرعي
1
Wahbah Zuhaili, Al Wajiz Fi Ushul Fiqh,( Damskus: Dar Al Fikr al Mu’asyir, t.th.) hlm. 46.
2
Muchtar Yahya, Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,( Bandung :PT . Maarif,
1993), hlm.58.
3
mujtahid sama sekali, atau ada tetapi hanya satu saja, tidaklah bisa
dikategorikan sebagai ijma' yang dibenarkan oleh syara’
2. Seluruh mujtahid menyetujul hukum syara' yang telah mereka putuskan
itu dengan tidak memandang negara, kebangsaan dan golongan mereka.
Akan tetapi, peristiwa yang dimusyawarahkan itu hanya disepakati oleh
mujtahid dari satu daerah atau negara saja, misal mujtahid dari Mesir.
atau Arab Saudi, atau Indonesia saja. Hasil kesepakatan itu bukanlah
sebagai ijma'. Ijma' harus merupakan kesepakatan seluruh mujtahid
muslim ketika peristiwa itu terjadi.
3. Mujtahid yang melakukan kesepakatan mestilah terdiri dari berbagai
daerah Islam. Tidak bisa dilakukan ijma' apabila hanya dilakukan oleh
ulama satu daerah tertentu saja seperti ulama Hijaz, atau ulama Mesir
atau ulama Iraq. Atau ulama Syiah tanpa ulama Sunni,
4
telah disepakati itu sebagai objek ijma' yang baru. Oleh sebab itu,
hukumnya sudah tetap atas dasar bahwa ijma' itu telah menjadi hukum
syara yang qat'i, hingga tidak dapat ditukar atail dihapus dengan ijtihad
lain. Hal ini sebagaimana diatur dalam kaidah figh yang umum:
C. Macam-macam Ijma’
Dari segi cara kejadiannya, Ijma’ terbagi menjadi 2 yaitu :
a. Ijma’ Bayani, yaitu ijma’ yang terbentuk melalui proses dialogis.
Dimana seluruh peserta ijma’ berkumpul disuatu tempat dan
menyampaikan pendapatnya, baik secara lisan maupun perbuatan.
b. Ijma’ Sukuti , yaitu Ijma’ yang terbentuk melalui proses dimana
seorang mujtahid menyampaikan pendapatnya dan pendapat itu tersebar
luas, tetapi mereka diam, tidak menyampaikan penolakan secara tegas,
padahal tidak terdapat suatu penolakan.
Dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat dibagi menjadi
2:
a. Ijma’ Qath’i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’I
diyakini benar terjadinya. Tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum
dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil
ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
b. Ijma’ Dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu dhanni, asih ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil
ijma’ yang dilakukan pada waktu lain.14
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa :
3
H.A.Djazuli, Kaidah-kaidah fikih ; Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam menyelesaikan Masalah-
Masalah yang praktis ,( Jakarta : Kencana, 2017),Cet.Ke 7, hlm.224.
5
a. Ijma’ tidak dibutuhkan pada masa Nabi Muhammad saw.
b. Ijma’ mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar
bin Khaththab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman.
c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai
saat ini tidak ungkin terjadi ijma’ sesuai dengan rukun-rukun yang telah
ditetapkan diatas,mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu
serta luasnya daerah yang berpenduduk islam.
Jadi, ijma' itu kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar,
Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama
Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih
satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin sendiri,
disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para
sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
4
Boedi Abdullah, ilmu ushul fiqh, (Bandung : CV pustaka setia, 2008). Hal. 165
6
dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan
Mu'awiyah dan sebagainya.
5
DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997). Hlm.54
7
pemberi fatwa) dan dunia (pemimpin masyarakat, negara, dan perangkatnya).
Ibn ‘Abbas menafsirkan uli al-amr ini dengan para ulama.
صلِ ِه َج َهنَّ َم َ سو َل ِمن بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ا ْل ُهدَى َويَتَّبِ ْع َغ ْي َر
ْ ُسبِي ِل ا ْل ُمْؤ ِمنِينَ نُ َولِّ ِه َما تَ َولَّى َون ُ ق ال َّر
ِ َِو َمن يُشَاق
صي ًرا
ِ ساءتْ َم
َ َو
2. Alasan Jumhur Ulama dari hadits adalah sabda Rasulullah saw.:
6
https://habyb-mudzakir-08.blogspot.com/2013/09/makalah-ijma-dan-kehujjahannya.html
8
Hendaklah kalian berjamaah dan jangan bercerai berai, karena syetan bersama
yang sendiri dan dengan dua orang lebih jauh. (HR At-Tirmidzi)7
7
Abd.Al-HavyAl-Farmawi, Al-Bidaya’yah At Tafsir Al-Mawdhu’i, (Beirut: Dar Al-fikr 1996.) Hal. 123
9
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Dari keterangan diatas dapat di fahami bahwa ijma harus menyandar
kepada dalil yang ada yaitu kitab, sunah, atau yang mempunyai kaitan
kepadanya baik langsung maupun tidak dan tidak mungkin terlepas sama sekali
dari kaitan tersebut. Dan alasan ijma harus mempunyai sandaran adalah:
10
DAFTAR PUSTAKA
Zuhaili Wahbah, Al Wajiz Fi Ushul Fiqh, Damskus: Dar Al Fikr al Mu’asyir, t.th.
https://habyb-mudzakir-08.blogspot.com/2013/09/makalah-ijma-dan-kehujjahannya.html
11