Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

IJMA

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

IJMA’

Karya ikmiah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah


metodologi Istnbat Hukum Islam

Dosen pengempu : Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin


: Dr. Nofialdi, M.Ag

Disusun oleh : Rahmat Hidayat

Program studi Hukum Keluarga Islam


Fakultas Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Mahmut Yunus Batusangkar
2023 M / 1445 H
I. Pendahuluan

A. Pendahuluan

Pada masa Rasulullah Saw, permasalahan yang timbul selalu bisa


ditangani dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-
Qur`an dan Rasulullah Saw. Dan apa bila ada suatu hukum yang sekiranya
kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan
langsung kepada baginda Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah beliau
Rasulullah Saw wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalam
memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak
ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan
yang muncul semakin kompleks, oleh karena itu muncullah Ijma’ dan
Qiyas.
Ijma’ merupakan sumber hukum setelah al-Quran dan Sunah,

sebagaimana yang telah kita ketahui al-Quran menepati posisi pertama

dalam sumber hukum dan posisi kedua adalah sunah, sedangkan Ijma’

berada dalam urutan ke tiga.

Maksut sumber hukum selain dari al-Quran dan sunnah bukan

bearti yang tertuang dalam al-Quran dan sunnah belum cukup untuk

mengatur setiap kehidupan manusia, justru sudah mencakup segala aspek

namun juga diperlukan sebagai penjelas dan penegasan terhadapa kasus

yang baru namun dalam pengambilan hukumnya tetap berlandasan pada

al-Quran dan sunnah

Akan tetapi al-Quran dan sunnah tidak bisa dipiskan dari Ijma’

oleh karena itu sangat dibutuhkan pemahaman dan pengalaman yang benar

untuk meuraikan yang bersifat universal. Nilai normative dan nilai etik

yang terkandung dalam al-Quran dan sunnah merupakan ide Samawi hal
tersebut butuh interpretasi dan implementasi oleh ummatnya untuk bisa

landing dalam kehidupan.

Kedudukan dalam hukum Islam Ijma’ termasuk kedalam dalil atau

sumber yang pasti atau tidak diragukan lagi, sungguh demikian

impementsi dalam menetapkan suatu hukum tershadap suatu perkara maka

diperlukan hujjah yang kuat dari ulama. Berdasarkan dari uraian di atas

dalam karya ilmia ini aka di uraikan sescara terperinci agar lebih

memahami.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diuraikan rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaiman penjelasan definisi dari Ijma’ ?

2. Bagaimana istinbat hukum dari Ijma’?

3. Bagaiman Urgensi Ijma’ pada masa kontenporer?

C. Tujuan Masalah

Bedasarkan rumusan masalah di atas maka dapat diketahui tujuan

masalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui penjelasan definisi dari Ijma’.

2. Untuk mengetahui istinbat hukum dari Ijma’.

3. Untuk mengetahui urgensi Ijma’ pada masa kontenporer.


II. Pembahasan

A. Definisi Ijma’

Sebelum memahami lebih dalam tentang Ijma’ maka untuk

mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensih terlebih dahulu memami

Ijma’ secara mendasar, mencapai pemaham tersebut dibutuhkan telaah kajian

Ijma’ dari tiga aspek yaitu aspek ontologi aspek epistimologi, dan aspek

aksiologi. Pemahaman dari aspek ontologi hal pertama yang garis bawahi dari

aspek ini yaitu pertanyaan yang pertama kali muncul terkait dengan Ijma’

adalah “apakah Ijma’ itu?”

Pemahamam Ijma’ dari segi ontologi merupakan suatu kajian yang

dalam konfigurasinya rumpun keilmuan (Islamic Studies) merupakan kajian

dari ushul fiqh, yakni ilmu yang membahas tentang metodologi penetapan

hukum Islam.

Secara etimologi, Ijma’ merupakan derivisi dari ajma’a (‫ )اجمع‬yang

dapat diartikan mengumpulkan, menyatukan, menghimpul, berkumpul, besatu,

dan berhimpun, pemahaman sederhananya Ijma’ adalah tekat terhadap suatu

persoaalan atau kesepakatan terhadap suatu masalah .

Secara terminologi Ijma’ kesepakatan para mujtahid dari kalangan

umat Islam tentang hukum syara’ pada suatu masa setelah Rasulullah wafat.

Pemaham yang didasari pada etemilogo dan terminologi masih secara umum

selanjut untuk mendapatkan pemahaman lebih mmnedalam penulis akan

mengutip dari beberapa pendapat ulama. Seperti Abu Luwais Ma,luf, Ijma’

memiliki arti kehendak dan kesepakatan, adapun perbedaanya kehendak dapat


terlahir dari satu orang. Sedangkan kesepakatan memerlukan keterlibatan dua

orang atau lebih.

Contoh penggunaan Ijma’ denganr pengertian kesepakatan dapat

ditemukan dalam ungkapan bahasa Arab ‫ اجمع القوم على كذا‬, jika kaum itu telah

menyepakati atas yang demikian. Adapun contoh Ijma’ dalam artian kehendak

terdapat dalam Q.S. Yunus ayat 71

‫فأحمعوا أمركم‬

Artinya : …. Maka bulatkanlah kehendakmu (dalam

menyelesaikan urusanmu. (Q.S. Yunus : 71)

Sedangkan menurut al-Kamal bin al-Hummam Ijma’ adalah

kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa dari kalangan umat

Muhammad terhadap perkara syara’.

Imam al-Syaukani menyebutkan adanya tiga unsur dalam ijma’,

antara lain: (1) Kesepakatan tersebut dilakukan oleh para ulama mujtahid

dari kalangan umat Islam dari seluruh penjuru dunia, tidak boleh ada yang

tertinggal satu orang pun. (2) Kesepakatan terjadi setelah Nabi saw wafat.

(3) Kesepakatan yang dimaksud adalah kesepakatan dalam masalah

hukum keagamaan

Lalu siapakah yang tergolong kepada mujtahid apakah semua umat

Islam bisa dikategorikan kedalam mujtahid? Asmawi mempunyai

pandangan bahwa yang orang yang dikategorikan mujtahid adalah orang

yang mampu dan kuasa untuk berijtihad dalam memutuskan hukum suatu

perkara.
B. Paradigm Ijma’

Ijma’ tidak dapat dipandang sah kecuali apabila ada sandaran sebab

ijma’ bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Fatwa dalam urusan

agama tanpa sandaran adalah salah. Sandaran tersebut adakalanya berupa

dalil qath’i yaitu Al-Qur’an dan hadits, dan adakalanya berupa dalil zhanni

yaitu ahad dan qiyas. Apabila sandaran ijma’ itu hadits ahad maka hadits

ini bertambah kekuatannya atau nilainya

Para ulama Ushul Fiqih baik yang klasik maupun kontemporer membagi

ijma’ menjadi dua macam yaitu:

1. Al-ijma’ al-Sarih, yaitu suatu ijma’ dimana para ahli ijtihad

mengeluarkan pendapatnya baik dalam lisan maupun tulisan yang

menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain

dimasanya. Ijma’ ini juga disebut ijma’ bayani atau ijma’ qath’i.26

Imam Hafizuddin al-Nasafi menyebut ijma’ sarih ini dengan ijma’

Qauli. Sedangkan Abdul Wahab Khalaf kadang menyebutnya

dengan ijma’ Hakiki.

Ijma’ Sarih, Qauli, maupun Hakiki mengandung pengertian yang

sama yaitu kesepakatan dari para mujtahid dimana kesepakatan itu

betul-betul jelas dan nyata, yang dapat dibuktikan dari ucapan

masing-masing mujtahid tersebut. Dengan kata lain, ijma’ sarih itu

merupakan kesepakatan yang secara nyata lahir dari ucapan para

mujtahid itu sendiri terhadap suatu masalah yang berhubungan

dengan hukum syara’ dan kesepakatan seperti inilah yang disebut

dengan ijma’ hakiki.


2. Al-Ijma’ al-Sukuti yaitu Ijma’ dimana para ahli ijtihad diam, tidak

mengatakan pendapatnya dan diam disini dianggap menyetujui.

C. Sebab Terjadinya Ijma’

Pada masa Rasulullah Saw masih hidup, beliau merupakan sumber

hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari

hukumnya pada Al-Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah

disabdakan oleh Rasulullah Saw. Jika mereka tidak menemukannya dalam

kedua sumber itu, maka mereka langsung menanyakannya kepada

Rasulullah. Setelah Rasulullah Saw meninggal dunia, kaum muslimin

kehilangan tempat bertanya, akan tetapi mereka telah memiliki pegangan

yang lengkap, yaitu Al-Qur'an dan al-Hadits.

Jadi, ijma' itu kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar,

Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama

Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin

masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum

muslimin sendiri, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih

mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai

mujtahid.

Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman,

mulailah nampak gejala-gejala perpecahan dikalangan kaum muslimin.

Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan dikalangan kaum muslimin

semakin terjadi, seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan

Mu'awiyah bin Abu Sufyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan
‘Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij,

golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya.

Dari keterangan di atas dapat kita ambil kesimpulan sebagai

berikut:

1. Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad Saw

2. Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah

Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman, dan

setelah enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai

saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun

yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim

yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.

Terhadap substansial ijma’, terdapat tiga persoalan yang menjadi

perbedaan dikalangan mazhab ushul yaitu:

1. Tentang ukuran dan batasan

Para ulama ushul berbeda pendapat tentang ukuran atas

besar jumlah yang disebut dengan ijma’. Di antara para ulama ada

yang mengatakan bahwa ijma’ itu tidak perlu adanya kesepakatan

seluruh mujtahid, tetapi sudah dipandang cukup jika jumlah

mereka sudah mencapai sebanyak tingkat mutawatir. Akan tetapi,

sebaliknya diantara ulama ushul berpendapat bahwa ijma’ itu

hendaklah kesepakatan seluruh mujtahid. Jika kesepakatan itu

hanya sebagian besar saja dari mujtahid maka itu tidak disebut

ijma’.
Memperhatikan perbedaan di atas ternyata, perbedaanya

berakar pada penilaian ulam tentang batasan atau ukuran jumlah

mujtahid yang memberikan kesepakatan terhadap suatu masalah

yang terjadi. Perbedaan penilaian tentang batasan atau ukuran

jumlah ini melahirkan tiga pendapat yang berbeda, pendapat yang

pertama menekankan ijma’ itu sudah dipandang cukup jika

sebagian besar saja mujtahid yang sepakat yang lainnya menolak.

Kemudian pandangan yang kedua menjelaskan bahwa

persoalannya adalah jika kesepakatan seluruh mujtahid tanpa

terkecuali, dengan kata lain tidak dipandang ijma’ jika sebagian

besar saja mujtahid yang sepakat yang lainnya menolak.

Kemudiam pendapat ketiga menjelaskan bahwa persoalannya

adalah jika kesepakatan sebagian besar mujtahid walaupun tidak

digolongkan ijma’ tetapi yang penting ia dapat dijadikan sebagai

hujjah.

2. Kemungkinan terjadinya Ijma’

Dari kemungkinan terjadinya ijma’ terdapat dua golongan

pendapat berbeda tentang hal itu. Pendapat pertama mangatakan

bahwa ijma’ itu mungkin saja terjadi dan pendapat ini

dikemukakan oleh jumhur ulama, menurut kalangan jumhur ini

tidak sulit membuktikan bahwa ijma’ itu memang telah ada.

Contohya adalah: bahwa persoalan yang sampai pada kita

merupakan hasil kesepakatan mujtahid, missal kesepakatan tentang

bagian waris nenek sebesar seperenam bagian dari harta dan


kesepakatan mereka tentang peniadaan pembagian harta rampasan

dan wilayah-wilayah yang ditaklukkan kepada para pasukan yang

berperang.

Kemudian pendapat kedua, mengatakan bahwa ijma’ itu

tidak mungkin terjadi dalam kenyataan. Pendapat ini dikemukakan

oleh al-Nazam dari pengikut kaum mu’tazilah dan sebagian

pengikut syi’ah, menurut golongan ini jika ijma’ itu merupakan

kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa maka hal itu tidak

mungkin terjadi karena para mujtahid itu berada dan tersebar

diberbagai kawasan atau daerah yang jaraknya berjauhan serta

tidak mudah bagi mereka untuk berkumpul pada satu tempat untuk

menyatakan kesepakatan. Lebih-lebih pada masa Tabi’in umumnya

para mujtahid telah terpencar di berbagai daerah dan kesepakatan

itu sulit untuk didapatkan.

3. Kehujjahan Ijma’ sebagai Dalil

Berbagai pandangan muncul dikalangan ulama ushul baik

klasik maupun kontemporer bahwa ijma’ merupakan suatu dalil.

Akan tetapi, sungguh pun demikian di kalangan ulama ushul

timbul pula perbedaan pendapat tentang hakikat dan kekuatan

kehujjahan ijma’ sebagai dalil syar’i maupun sukuti. Terhadap

ijma’ Sarih para jumhur ulama sepakat bahwa ia merupakan hujjah

Qat’i yang wajib diamalkan, Zaky al-Din Sya’ban menjelaskan

bahwa haram hukumnya menyalahi dan menolak ijma’ Sarih

karena apabila telah terbukti bahwa adanya ijma’ atas sesuatu


persoalan dan telah menjadi kesepakatan para mujtahid secara pasti

maka tidak dibenarkan menyalahinya

D. Peran Mujtahid

Dalam sejarah pembentukan hukum Islam, tidak banyak orang

yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok mujtahid ini, mengingat

persyaratan menjadi seorang mujtahid sangatlah berat dan tidak mudah

dipenuhi. Di antara persyaratan bahwa seseorang dapat disebut sebagai

mujtahid di antaranya adalah ia harus menguasai dan memahami dengan

baik ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam al- Qur’an, menguasai hadis-

hadis yentang hukum beserta transmisi periwayatannya, menguasai dengan

baik ilmu ushul fiqh seperti metode ijma’, qiyas, istihsan, istishab,

maslahah mursalah, sad dzara’i, ‘urf, dan sebagainya, juga menguasai

ilmu-ilmu al-Qur’an seperti nasakh-mansukh dan sebagainya, menguasai

ilmu maqashid al-syariah dan bagian-bagiannya, serta menguasai ilmu

bahasa Arab beserta tata bahasanya secara baik.

Apabila dilihat dari tingkatannya, terdapat beberapa tingkatan

mujtahid, yaitu: (1) Mujtahid mutlak, ialah orang yang telah memenuhi

persyaratanpersyaratan untuk melakukan ijtihad dan memberikan fatwa

dalam segala permasalahan hukum Islam tanpa terikat oleh karakteristik

ijtihad suatu mazhab tertentu. tingkatan ini adalah tingkatan yang paling

tinggi dan hanya para ulama pendiri mazhab saja yang berada pada posisi

tersebut. (2) Mujtahid muntasib, yaitu orang yang telah memenuhi seluruh

persyaratan sebagai mujtahid, tetapi ia cenderung berafiliasi dengan suatu


mazhab tertetu dan mengikuti karakteristik ijtihad mazhab tersebut dengan

berpedoman pada metode ijtihad yang ditetapkan oleh imam mazhabnya.

(3) Mujtahid muqayyad, adalah orang yang memiliki kemampuan

memahami dalil-dalil syar’i, tetapi tidak mau keluar dari nalar pemikiran

hukum yang dikembangkan oleh mazhab yang ia anut, mujtahid dalam

tingkatan ini sebenarnya tidak pernah menggali hukum terhadap

permasalahan yang baru, tetapi hanya mengambil hukum yang telah

dirumuskan oleh mazhab yang ia ikuti untuk menjawab permasalahan

hukum yang muncul.


Daftar Pustaka

Abdul Wahab Al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semaramg: Dina Utama).


Ahmad Abdullah Madjid, Mata Kuliah Ushul Fiqih, (Pasuruan: Garoeda Buana
Indah)
As-Shiddiqi, Hasbie. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999),
Cet. Ke-1.

Anda mungkin juga menyukai