Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Change 2

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

Change

Teman? Apa itu ‘teman’? Banyak jawaban dari pertanyaan ini. Ada yang menjawab
yang datang saat butuh lalu ninggalin saat ngga butuh. Ada juga yang menjawab yang
kalau dibutuhin ngga ada dan maunya dingertiin. Selain itu, beberapa orang juga
menjawab ‘teman’ adalah semua orang yang kita kenal.

Ada banyak arti kata ‘teman’. Kata ‘teman’ bisa bermakna negatif, bisa juga
bermakna positif. Semua tergantung pada pemikiran masing-masing orang. Coba saja
tanya ke setiap orang, sudah pasti jawabannya berbeda-beda. Semua itu tergantung per
orangan.

Menurutku , teman itu hanyalah teman. Tidak lebih. Tingkatan pertemanan di


bawah sahabat. Sedikit membingungkan, tapi begitulah nyatanya. Jadi, jika aku salah
menganggap seorang teman sebagai sahabat, akulah yang rugi. Kecewa? Jelas, itu sudah
pasti. Coba saja bayangkan, saat kalian sudah sangat percaya dengan seseorang dan
orang itu tiba-tiba meninggalkanmu tanpa alasan. Itu sangat mengecewakan. Sialnya aku
pernah merasakannya. Maka dari itu, aku tidak mau mengulanginya lagi. Inilah cerita
dimana aku sangat kecewa dengan sahabatku sendiri.

Saat itu, aku kelas 8 SMP.

***

“NAYAAAAA!!! Kita satu kelas!!! Akhirnyaaa!!” teriak sahabatku, ah tidak, temanku,


Echa. Ia berlari menghampiriku yang masih di depan gerbang sekolah dan memelukku. Ya,
saat itu kami dekat. Sangat dekat. Mungkin bisa dibilang saat itu adalah saat dimana aku
sangat mempercayainya. Kami dekat bukan karna kami satu kelas saat kelas 7 atau dulu
dari SD yang sama. Rumah kami juga berjauhan. Kami kenal saat kami satu ekskul, paduan
suara. Saat itu, baru kami berdua dari kelas 7 yang mendaftar ekskul padus. Dari sana lah
kami mulai akrab.

“Aduh, Cha, kamu terlalu heboh,” sahutku dengan sedikit cekikikan.

“Biarin. Gapeduli. Bodo amat sekali. Yang penting nanti kita duduk sebangku ya!”
serunya.

“A-a-Baiklah.”

“Oh ya, ada rekomendasi anime lagi ngga? Anime kemarin bagus ternyata. Tapi
kasian juga tokoh utamanya. Dia malah mati dibunuh.”

Kami pun berjalan menuju kelas baru kami sambil ngobrol tentang anime yang baru-
baru ini aku saranin ke dia. Dia memang tidak begitu tertarik dengan anime. Tidak
sepertiku. Terlalu menyukai kartun yang satu ini. Tak heran kalau temanku banyak
menganggapku wibu, orang yang tertarik sama kebudayaan Jepang. Padahal, aku hanya
suka kartunnya.
Sesampainya di kelas, ternyata aku sekelas juga dengan sahabat kecilku, Arkan. Dia
anak Tante Winda, adik bapakku. Selain itu, ada juga temen kelas 7 yang sekarang satu
kelas lagi, Vira, Haya, Rina, dan yang lain. Teman-teman satu ekskul paduan suara juga
banyak di kelasku sekarang. Aku, tentu saja, sangat senang.

Begitulah hari pertamaku di kelas 8. Hari-hari selanjutnya, seperti biasa, Echa begitu
akrab denganku. Tentu saja aku senang. Sampai-sampai, banyak yang bilang kalau kami
ini sudah berteman lama. Padahal dengan teman sekelas yang lain juga dia akrab. Namun,
mungkin terlihat paling akrab denganku. Entahlah. Toh aku senang mempunyai teman
seperti dia.

***

Suatu hari, saat jam istirahat hampir selesai aku melihat dia sedang bercerita Vira
dan Haya. Aku lihat mereka ngobrol dengan serius. Aku yang baru dari perpus, langsung
saja duduk di sebelah Echa.

“Wah, kalian ngobrolin apa sih? Serius banget,” tanyaku basa basi.

“Eh- emm... bukan apa-apa kok. Hanya ngobrol biasa. Iya kan, Vi?” jawab Echa.
Berbohongkah dia? Apa maksudnya ‘eh’? atau mungkin hanya perasaanku saja.

“Pfffttt.... kamu kaya cewe lagi ketahuan selingkuh, Cha. Hahahaha!”

“Iiih, sialan. Untung bestie,” jawabnya. Aku pun tertawa. Ya, tertawa karenanya.
Kalau dipikir-pikir, saat itu memang saat-saat yang paling menyenangkan.

***

Hari-hari berlalu seperti biasa. Hingga tibalah waktu perekrutan anggota OSIS. Echa
ikut seleksi menjadi anggota OSIS dan dia diterima.

“Cha, selamat, ya. Jadilah anggota yang patuh. Jangan cuma buat nyari terkenal
doang,” candaku.

“Hahaha! Sial. Niat busukku terkuak. Haha!” jawabnya.

“Hahaha! Gimana sih kamu.”

“Hadeeh udah lah, Nay. Sakit pipiku ketawa terus. Makasih ya, Nay, buat
ucapannya. Doakan biar aku bisa jadi anggota yang patuh. Hahaha!”

“Aaamiiin...” jawabku.

Namun, tak lama setelah itu aku merasa Echa berubah. Dia jarang bersamaku lagi
dan lebih sering dengan teman sesama OSIS-nya. Awalnya kupikir mungkin bahas
masalah OSIS, jadi dia sibuk bersama teman-teman OSIS-nya. Namun, setelah beberapa
bulan mejadi pengurus OSIS, aku merasa dia seakan menjauh dariku. Echa juga jadi akrab
dengan Vira dan gengnya. Mereka sering bercerita tentang masalah yang paling aku
benci, masalah pacaran dan doi. Sejujurnya aku kurang suka dengan Vira. Dia terkenal
dengan kecentilannya yang selalu terlihat caper ke anak laki-laki.

Memang Echa anak yang supel, akrab dengan siapapun, tapi akrab kali ini beda.
Echa seakan mencoba menjauhiku. Saat aku mengajaknya ngobrol juga selalu akhirnya
dihubungkan dengan anak laki-laki. Gaya bahasa chat-nya pun juga berbeda. Dia juga jadi
sering mampir ke ruang band. Saat di kelas dia membicarakan anak-anak band. Dan aku
kurang suka Echa yang sekarang.

***

Meski aku kurang suka sikapnya yang sekarang, aku mencoba sebisa mungkin untuk
bersikap seperti biasa. Suatu hari, aku mengajak Echa pergi ke perpustakaan daerah.
Kami mengerjakan tugas IPS bersama. Selesai mengerjakan tugas, aku meminjam HP
Echa.

“Cha, pinjem HP dong.”

“Hmmm... ok.”

Aku pun main game di HP Echa. Echa masih mengerjakan tugas. Mungkin sekarang
sudah ganti mengerjakan tugas OSIS.

“Nay, aku ke toilet dulu, ya. Tolong jaga lepiku dan jangan buka lepiku. Dokumen
rahasia.”

“Aye aye, Sir!”

“Jangan ketawa, Cha. Jangan ketawa. Temenmu emang rada-rada. Hahahaha!” kata
Echa.

“Sialan,” kataku sambil menahan tawa.

Echa pun pergi. Aku semakin bosan main game yang ada di HP Echa. Aku mencoba
chat dengan Arkan. Namun, niat itu kuurungkan saat aku melihat pesan-pesan di aplikasi
chat Echa. Setahun lalu, aku buka aplikasi itu buat chat bapakku karena HP-ku mati dan
waktu itu ekskul paduan suara pulang sore. Dan isi chat-nya jarang banget sama laki-laki.
Sekarang kubuka aplikasi chat-nya, chat atas kebanyakan dari anak laki-laki.

‘Hadeh, Cha. Kamu jadi bucin, ya?’ pikirku saat pertama kali membuka aplikasi chat-
nya. Aku pun iseng baca isinya.

‘Maaf, Cha!! Aku kepo!’ bisikku.

Setlah kubaca, aku jadi paham, kenapa dia jadi dekat dengan Vira dan gengnya.

‘Ooo.. Jadi, sekarang ini Echa sedang menyukai seseorang dan dia juga disukai oleh
orang, tapi Echa tidak suka dengan orang yang menyukianya dan orang yang Echa suka itu
ngga peka. Hmmm... rumit,’ pikirku.
‘.....’

‘Aaaarrgghh!! Kenapa aku jadi mikirin itu sih? Itu sebabnya aku ngga suka masalah
romance ginian. Terlalu rumit! Mending nge-game lagi,’ kataku dalam hati.

Akhirnya, aku lanjut main lagi. Echa sudah di depan laptopnya lagi. Aku
menunggunya sampai dia selesai. Kami pun pulang bareng.

***

Esoknya, aku berangkat pagi seperti biasa. Tak lama kemudian, Salsa datang. Dia
minta aku duduk dengannya. Karena memang tidak ada peraturan untuk tempat duduk,
aku iya-in aja. Echa tak bilang apa-apa. Dia duduk dengan Vira hari itu. Namun, sejak saat
itu Echa jadi seperti menjauh. Makin hari, aku merasa Echa makin menjauh. Diajak bicara
pun susah. Sejujurnya aku sangat tidak nyaman dengan situasi seperti ini. Ini sunguh
seperti pada lagu ‘Kepompong’.

Dulu kita sahabat

dengan begitu hangat

mengalahkan sinar mentari

Dulu kita sahabat

berteman bagai ulat

berharap jadi kupu-kupu

Kini kita berjalan berjauh-jauhan

kau jauhi diriku karena sesuatu

mungkin ku terlalu bertingkah kejauhan

namun itu karena ku sayang..

Eh, aku jadi nyanyi...

***

Pulang sekolah, aku mampir ke rumah Arkan. Aku hanya ingin menghibur diriku
setelah seharian ini dijauhi Echa. Kami main game PS 5 di rumahnya. Lelah main, Tante
Winda menyuguhiku agar-agar coklat. Selagi makan, Arkan tiba-tiba bercerita padaku.

“Ya, aku mau cerita. Tapi kamu jangan tersinggung, ya. Ini menyangkut temenmu,”

Deg.

“Echa? Ada apa dengannya?” tebakku.


“Iya, Echa. Dia sekarang.... jadi... agak cabe ngga sih?” kata Arkan.

Deg. ‘Arkan ngerasa juga,’ batinku.

“Emm... Maaf ya, Ya. Aku bicara gini.”

“Ahaha... ngga papa kok. Lanjut aja, ada apa dengannya,” potongku.

“Hmmm... Jadi gini, Ya. Kamu tahu Arya? Ketua ekskul band. Tahu kan?”

“Iya iya iya iya iya aku tahu. Lanjut.”

“Nah, si Echa itu sering banget caper sama dia sekarang. Kadang waktu ekskul juga
dia nyamperin Arya. Sok pinjem kaset lah, pinjem buku lah, ini lah, itu lah. Si Vira juga
sekarang jadi agak caper ke aku. Tapi, apa aku yang ke-PD-an ya? Ah, bodo amat lah, aku
ngerasanya gitu,” kata Arkan. Dia memang ikut ekskul band. Dia pegang drum. Arya
memang lumayan tampan. Apalagi dia gitaris sekaligus vokalis di ekskul band. Tak heran
jika dia populer di SMP.

“Oooo.. gitu. Pffttt.. kamu ditaksir Vira? Hahahaha!! Kok aku ngakak ya? Hahahaha!”
candaku.

“Hei! Kamu ngejek ya? Gini-gini aku termasuknya populer lho. Apalagi aku jadi grup
inti di ekskul band. Dan aku juga tampan kan? Iya kan? Iya kan?”

“Heleh, b aja menurutku. Lebih tampan Yuiciro. Uuuuhhh dia tuh yang dinamakan
lelaki tampan!” jawabku.

“Hiih, dasar wibu! Dia 2D, bego! Gimana si!”

“Biarin, yang penting tampan, wlee... Kamu juga wibu, kan? Siapa waifumu? Picho
kah? Astaga Arkan, nontonnya gitu ya?”

“Heh!! Ngga lah! Kamu tuh yang nonton jeruk!”

“Hilih, ngga lah ya!”

Begitulah, kami suka cek-cok kalau di rumah. Kalau di sekolah, kami sengaja jarang
berbicara. Sudah puas cek-cok, aku mulai cerita ke Arkan.

“Ar, omong-omong tentang Echa, dia memang sedikit aneh akhir-akhir ini. Dia kaya
jauhi aku gitu. Dia juga lebih deket sama Vira dan gengnya,”

“Wah, kamu cemburu ya? Ngga dipeduliin sama kembaran sendiri, ekhm,” potong
Arkan.

“’Kembaran’?”

“Iya, teman-teman satu kelas menyebutnya gitu,” jawab Arkan.

“Haduh, kok malah jadi tambah jleb si?”


“Memang kenapa?” tanya Arkan. Aku langsung menceritakan apa yang aku rasakan
dari awal bertemu Echa, sampai sekarang. Arkan menyimak dengan baik. Tidak ada
potongan seperti tadi.

“Jadi gitu.. aku sedih dia berubah jadi gitu. Aku ngga suka Echa yang seperti itu,”
kataku.

“Ooo... gitu... coba kamu tanya baik-baik ke Echa, kenapa dia jauhi kamu terus?”

“Aku takut. Aku takut kalau aku tanya, nanti dia malah tambah jauh. Lebih baik aku
diam saja. Apa aku bersikap seperti biasa saja ya?”

“Ya, aku saranin ya, menurutku kamu itu sekarang punya dua pilihan. Pilihan
pertama, kamu tanya baik-baik sama Echa, bicarain berdua masalah kalian, terus selesein
bareng. Tapi, kamu harus berani ajak Echa duluan buat ngomongin masalah kalian. Yang
kedua, kamu diam aja. Bersikap seperti biasanya. Jangan terlalu memperlihatkan kalau
kamu lagi kecewa dengannya. Biarkan waktu yang menjawab sampai dia sadar. Tapi,
kalau menunggu waktu itu akan lama. Bahkan, bisa saja hubungan kalian malah makin
meregang.,” jelas Arkan pangjang lebar.

“Hm.. Susah.”

“Memang semua pilihan ada risikonya sendiri, Ya. Kamu harus pilih salah satu. Dan
pilihan itu terserah kamu sendiri. Aku hanya kasih saran itu,” kata Arkan.

“Hm.. Baiklah, akan kupikirkan,”

Begitulah saran dari Arkan. Setelah kucerita begitu, aku dipanggil ibuku. Aku pun
pulang. Di rumah, aku kembali memikirkan apa yang disarankan Arkan. Kalau dipikir-pikir,
dia dewasa juga, ya?

***

Keesokan harinya, aku mencoba berbicara dengan Echa, tapi hasilnya, dia terus
menghindar dengan alasan ‘rapat OSIS’. Di chat pun dia balesnya satu hari kemudian.
Beberapa hari aku terus mencoba berbicara padanya, tapi gagal lagi. Aku pun bercerita
lagi pada Arkan.

“Ar, sepertinya aku harus melepaskannya. Aku muak ngejar dia terus.”

“Ya, kok kamu ceritanya kaya cowo lagi gagal PDKT-in cewe si? Hahaha!!” ledeknya.

“Ih kamu mah gitu. Serius dong. Aku sedih nih,” rajukku.

“Oke oke, serius. Hmm... Kalau misal mau lepasin, yaudah, ikhlaskan saja. Tapi, apa
kamu ngga papa? Kalian udah deket banget lho, kan sayang kalau hubungan kalian
berakhir gini,” kata Arkan.
“Sebenarnya, jleb juga si. Tapi, mau gimana lagi. Dianya udah bosen sama aku. Toh
kata pepatah ‘Mati satu, tumbuh seribu’, jadi ya sudah, aku ikhlaskan saja. Lagipula, aku
masih bisa pura-pura biasa aja di depannya.”

“Yaah, ngga ada lagi deh pasangan terheboh di kelas.”

“Waah, Arkan terhibur ya ternyata. Nanti aku heboh lagi deh, tapi bukan sama dia,“
kataku.

“Yaaah, Naya udah punya teman lagi. Jadi ngga bisa liat Naya sedih deh,” ledek
Arkan.

“Ck, yayaya terserah kamu, Ar,” jawabku sebel.

“Eh, Ya. Omong-omong, aku punya lagu buatmu. Dengerin , ya! Ekhm ekhm...
‘Sayonara no mae ni let go de mo kokoro no meiro no naka demo you, sutereo kara mono
e wakaremichi wa sō tsuzukudarō...’(sebelum kita mengucapkan selamat tinggal,
lepaskan, tapi aku tersesat dalam labirin hatiku dari stereo ke mono, begitulah jalan
memisahkan, terus berlanjut)”

“Eh! Apaan!! Stop stop!!” kataku. Namun, arkan tetap melanjutkan nyanyina.

“’Ima-kimi no te o hanaseru yō ni I gotta let you know that I need to let you go hard
to say goodbye demo nigenai. I’m ready to let go.....’(Untuk melepaskan tanganmu
sekarang. Aku harus memberitahumu, jika aku harus membiarkanmu pergi. Harus
membiarkanmu pergi. Sulit untuk mengucapkan selamat tinggal, tetapi aku tidak bisa lari.
Aku siap untuk melepaskannya)”

***

Begitulah akhirnya aku melepasnya. Hmm... lebih menganggapnya seperti teman


biasa. Setelah bercerita, aku dan Arkan belajar bareng mengerjakan tugas sekolah. Dan
sejak saat itu, aku tak acuh dengan hubungan pertemanan. Aku memang dekat dengan
teman-temanku, tapi aku tidak terlalu merasa bahwa dia spesial, aku sahabat
terdekatnya, atau apalah itu. Aku hanya akan menganggap jika orang tersebut
menganggapku sebagai teman dekatnya. Dan yang sudah pasti aku anggap spesial adalah
keluargaku.
BIODATA PENULIS

Nama Lengkap : Isnanda Amatul Huda

Panggilan : (Serah mau panggil apa)

Ttl : PUrBalinGga, 17 (shigatsu) 2002

Alamat : Tamansari, Karangmoncol, Purbalingga.

Hobi : Nonton anime, film, dan sejenisnya; ganggu adek; nyanyi-nyanyi gaje.

Anda mungkin juga menyukai