Head of the Center for Research and Case Analysis, and Library Management of the Constitutional Court of Indonesia. PhD in Constitutional Law from TC Beirne School of Law, the University of Queensland, Australia. Address: Jakarta, Indonesia
Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues, 2019
This article aims to examine several important decisions related to the dissolution of political ... more This article aims to examine several important decisions related to the dissolution of political parties decided by the international human rights courts. It aims to conclude that there are general guidelines on political party dissolution established by the European Court of Human Rights (ECtHR) and uses sources obtained from relevant case studies to support it. Not only does the research highlight that the ECtHR provides requirements that must be fulfilled by the government to justify dissolution, it also dictates the procedural requirements for the restriction of political parties. These guidelines are necessary in a democratic society, regardless of its limited 'margin of appreciation'. Although Indonesia is not a state party to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, the interpretation and legal considerations made by ECtHR could be applied by the Constitutional Court in deciding the outcome of political party dissolution cases in Indonesia. Thus, ensuring that the Constitutional Court's future jurisprudence complies with the international standards of human rights.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 bertanggal 23 Juli 2018 menjadi salah satu... more Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 bertanggal 23 Juli 2018 menjadi salah satu putusan penting bagi desain lembaga perwakilan di Indonesia. Dalam Putusan tersebut, MK menyatakan bahwa pengurus partai politik dilarang menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Namun, tindak lanjut dari Putusan ini memicu polemik ketatanegaraan. Sebab, terjadi kontradiksi mengenai waktu pemberlakuan larangan tersebut akibat adanya perbedaan pemaknaan terhadap Putusan MK di dalam Putusan MA, PTUN, dan Bawaslu. MK menyatakan bahwa Putusannya berlaku sejak Pemilu 2019. Akan tetapi, Putusan MA, PTUN, dan Bawaslu tersebut menyatakan larangan tersebut berlaku setelah Pemilu 2019. Artikel ini mengkaji kontradiksi Putusan-Putusan tersebut dengan menggunakan tiga pisau analisis, yaitu: (1) finalitas putusan; (2) respons terhadap putusan; dan (3) validitas atau keberlakuan norma. Dengan menggunakan doktrin responsivitas terhadap putusan pengadilan dari Tom Ginsburg, artikel ini menyimpulkan bahwa Keputusan KPU yang tetap kukuh memberlakukan larangan bagi pengurus partai politik sebagai calon anggota DPD sejak Pemilu tahun 2019 sesungguhnya merupakan tindakan formal konstitusional karena telah mengikuti (comply) penafsiran konstitusional yang terkandung dalam Putusan MK. Di lain sisi, tindakan KPU juga merupakan bentuk yang sekaligus mengabaikan (ignore) Putusan MA, PTUN, dan Bawaslu. Meskipun demikian, respons KPU tersebut dapat dibenarkan karena Putusan MK memiliki objek dan dasar pengujian lebih tinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga memiliki validitas hukum lebih tinggi dari Putusan MA, PTUN, dan Bawaslu. Dengan demikian, tindakan KPU yang konsisten mengikuti Putusan MK tersebut merupakan respons konstitusional yang memiliki justifikasi hukum dan konstitusi, sebagaimana juga dikuatkan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), baik secara hukum maupun etik.
Penyempurnaan sistem hukum dan konstitusi merupakan prasyarat untuk membangun negara demokrasi ko... more Penyempurnaan sistem hukum dan konstitusi merupakan prasyarat untuk membangun negara demokrasi konstitusional di Indonesia. Dalam cabang kekuasan kehakiman, salah satu upaya untuk mencapai hal tersebut terkait dengan adanya gagasan pembentukan mekanisme pertanyaan konstitusional (constitusional question). Istilah constitutional question merujuk pada suatu mekanisme pengujian konstitusionalitas di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh seorang hakim di pengadilan umum yang merasa ragu-ragu terhadap konstitusionalitas suatu undang-undang yang digunakan dalam perkara yang sedang ditanganinya. Artikel ini membahas mengenai kemungkinan dibangunnya mekanisme constitutional question di Indonesia dengan alternatif implementasinya. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini berupa yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan bahan kepustakaan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat urgensi untuk menambahkan kewenangan constitutional question kepada Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya mekanisme tersebut, putusan hakim di pengadilan umum yang dinilai bertentangan dengan konstitusi dan dianggap melanggar hak konstitusional warga negara dapat dihindari. Kemudian, objek dan ruang pengujian terhadap peraturan perundangundangan menjadi semakin luas dan pelanggaran hak konstitusional terhadap warga negara dapat dipulihkan. Apabila constitutional question akan diterapkan di Indonesia, maka dasar kewenangan constitutional question sebaiknya diatur melalui perubahan konstitusi. Namun, hal tersebut dapat juga dilakukan dengan merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, penafsiran konstitusi yang dituangkan di dalam putusan Mahkamah Konstitusi, ataupun perluasan legal standing untuk lembaga pengadilan sebagai salah satu pemohon constitutional review. Selain itu, perlu juga diatur mengenai kualifikasi pemohon constitutional question dan pembatasan waktu penanganan perkaranya oleh Mahkamah Konstitusi.
Proses pemakzulan atau pemberhentian Presiden menurut UUD 1945 melibatkan secara aktif tiga lemba... more Proses pemakzulan atau pemberhentian Presiden menurut UUD 1945 melibatkan secara aktif tiga lembaga negara berbeda, yaitu DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR. Proses akhir dari pemberhentian Presiden bukanlah di tangan Mahkamah Konstitusi, namun terletak pada sidang istimewa MPR yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Dengan demikian, anggota MPR yang berasal dari anggota DPD sebenarnya memiliki peran terbatas secara perorangan untuk turut serta menentukan pemberhentian Presiden karena tidak melibatkan DPD secara kelembagaan sebagai kamar kedua parlemen (second chamber). Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk memberikan analisis perbandingan mengenai sejauh mana peran kamar kedua parlemen dan kekuasaan kehakiman dalam proses pemberhentian Presiden di lima belas negara berbeda, baik terhadap negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial, sistem parlementer.
Artikel ini membahas peran Mahkamah Konstitusi dalam memperkuat prinsip-prinsip demokrasi di Indo... more Artikel ini membahas peran Mahkamah Konstitusi dalam memperkuat prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia, khususnya prinsip Pemilu yang teratur, bebas, dan adil (regular, free and fair elections). Analisis dilakukan terhadap putusan-putusan monumental (landmark decisions) dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan penyelenggaraan Pemilu. Penelitian ini didasarkan pada metodologi kualitatif dengan menggunakan studi kepustakaan yang bersumber dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, peraturan perundang-undangan, buku, dan artikel jurnal ilmiah. Artikel ini menyimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah turut membentuk politik hukum terkait dengan sistem Pemilu di Indonesia dan berbagai aturan pelaksanaannya. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga telah memperkuat prinsip Pemilu yang teratur, bebas, dan adil dengan cara melindungi hak pilih warga negara, menjamin persamaan hak warga negara untuk dipilih, menentukan persamaan syarat partai politik sebagai peserta Pemilu, menyelamatkan suara pemilih, menyempurnakan prosedur pemilihan dalam Pemilu, dan menjaga independensi penyelenggara Pemilu.
Saat ini terdapat kecenderungan di berbagai negara yang ingin melindungi lingkungan dengan memasu... more Saat ini terdapat kecenderungan di berbagai negara yang ingin melindungi lingkungan dengan memasukkan prinsip-prinsip umum lingkungan hidup ke dalam konstitusi suatu negara ataupun konstitusi regional. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji sejauhmana perlindungan terhadap lingkungan dapat diberikan melalui pengadopsian norma-norma konstitusi tersebut. Kajian dilakukan menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan normatif dan studi kepustakaan yang bersumber dari putusan-putusan pengadilan, peraturan perundang-undangan, buku, dan artikel jurnal ilmiah. Kajian ini menyimpulkan bahwa UUD 1945 telah memuat norma konstitusi dalam upaya perlindungan terhadap lingkungan. Akan tetapi, norma-norma konstitusi tersebut masih diposisikan sebagai faktor subsidair atau pendukung dalam pemenuhan hak asasi manusia dan perekonomian nasional. Untuk memperkuat perlindungan terhadap lingkungan di dalam UUD 1945 maka diperlukan perumusan ulang norma-norma konstitusi yang menempatkan lingkungan hidup lebih sebagai nilai-nilai dasar dalam penyelenggaraan negara dan kegiatan perekenomian nasional.
***
Nowadays there is a tendency in many countries to protect the environment by incorporating general principles of environment into a state or a regional constitution. This article aims to examine the extent to which environmental protection can be provided through the adoption of those constitutional norms. This study was conducted using a qualitative methodology with a normative approach and library research derived from court decisions, law and regulations, books and journal articles. It concludes that the Indonesian Constitution contains constitutional norms for the environmental protection. However, these constitutional norms are still positioned as a subsidiary or supporting factor in the fulfillment of human rights and the national economy. In order to strengthen the environmental protection by the Indonesian Constitution, it requires a reformulation of related constitutional norms by positioning the environment more as the basic values in the state administration and national economic activities.
Indonesia implements dualism of judicial review system because there are two different judicial i... more Indonesia implements dualism of judicial review system because there are two different judicial institutions that are granted the authority to review laws and regulations, namely the Constitutional Court and the Supreme Court. This research aims to analyse the problems caused by the dualism of judicial review system. It found two main legal problems of the current system. First, there is an inconsistency of decisions concerning judicial review cases for the same legal issues decided by the Constitutional Court and the Supreme Court. Second, there is no mechanism to review the constitutionality of People's Consultative Assembly (MPR) decisions and regulations under the level of law. Based on these findings, this research suggests that the authority to review all laws and regulations should be integrated under the jurisdiction of the Constitutional Court.
The judicial appointment process is one of essential elements for maintaining judicial independen... more The judicial appointment process is one of essential elements for maintaining judicial independence and public confidence of a court. This article analyses the practices of judicial appointment process exercised by three different main state institutions in selecting constitutional justice in Indonesia where the mechanism and process for selecting them have been implemented differently. It also examines the tenure of constitutional justice, which is a five-year term and can be renewed for one term only, that may lead to another problem concerning the reselection process of incumbent constitutional justices for their second term. The article concludes that the judicial appointment process and tenure of constitutional justice in Indonesia have to be improved. It suggests that if the proposing state institutions could not meet the principles of transparency, participation, objective and accountable required by the Constitutional Court Law, the judicial appointment process should be conducted by creating an independent Selection Committee or establishing a cooperation with the Judicial Commission. Additionally, the tenure of constitutional justices should also be revised for a unrenewable term with a longer period of nine or twelve years.
One of important mechanisms considered effective to protect civil and political rights of the cit... more One of important mechanisms considered effective to protect civil and political rights of the citizens in Indonesia is constitutional review. This mechanism was created after the constitutional reform by establishing the new Constitutional Court in 2003 as an independent and separate court from the Supreme Court. This article examines the development of human rights guaranteed in the Indonesian Constitution. It also provides a critical analysis of the Constitutional Court's role in protecting civil and political rights in Indonesia through its landmark decisions on five categories, namely: (1) freedom of assembly and association; (2) freedom of opinion, speech and expression; (3) freedom of religion; (4) right to life; and (5) due process of law. This research was conducted based on qualitative research methodology. It used a non-doctrinal approach by researching the socio-political impacts of the Constitutional Court's decisions. Although there are still inconsistencies in its decisions, the research concludes that the Constitutional Court has taken a step forward for a better protection of civil and political rights in Indonesia that never existed prior to the reform.
Keywords: civil and political rights, constitutional court, human rights, Indonesia
--- Abstrak
Salah satu mekanisme yang dianggap efektif untuk melindungi hak sipil dan politik warga negara di Indonesia adalah pengujian konstitusional. Mekanisme ini dibentuk pasca reformasi konstitusi dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi pada 2003 sebagai peradilan yang independen dan terpisah dari Mahkamah Agung. Artikel ini menganalisa perkembangan hak asasi manusia yang dijamin di dalam UUD 1945. Selain itu, artikel ini juga memberikan analisa kritis terhadap peran Mahkamah Konstitusi dalam perlindungan hak sipil dan politik di Indonesia melalui putusan-putusan pentingnya (landmark decisions) pada lima kategori, yaitu: (1) kebebasan untuk bekumpul dan berserikat; (2) kebebasan berpendapat, berbicara, dan berekspresi; (3) kebebasan beragama; (4) hak untuk hidup; dan (5) proses peradilan yang adil. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada metodologi penelitian kualitatif dan menggunakan pendekatan non-doktrinal dengan meneliti dampak sosio-politik dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Meskipun masih terdapat inkonsistensi di dalam putusannya, penelitian ini menyimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah memberikan kontribusi satu langkah ke depan yang lebih baik terhadap perlindungan hak sipil dan politik di Indonesia yang tidak pernah terjadi sebelum era reformasi.
Kata Kunci: hak asasi manusia, hak sipil dan politik, mahkamah konstitusi, Indonesia
ABSTRAK
Abstrak Perubahan transformatif terhadap Undang-Undang Dasar 1945 telah membentuk suatu ... more ABSTRAK
Abstrak Perubahan transformatif terhadap Undang-Undang Dasar 1945 telah membentuk suatu institusi pengadilan yang dikenal dengan Mahkamah Konstitusi. Lembaga ini dipercaya dalam menjalankan peran yang strategis dalam sistem pluralisme hukum Indonesia, khususnya di ranah pengujian konstitusionalitas undang-undang dan perlindungan hak konstitusional. Namun demikian, performa Mahkamah Konstitusi juga telah terlepas dari kontroversi. Hal tersebut muncul karena Mahkamah Konstitusi dinilai memberikan perhatian pada paradigma sosiologi hukum yang lebih mengedepankan keadilan substantif, namun sedikit memberikan pengakuan terhadap keadilan prosedural. Kritik utama terhadap Mahkamah Konsitusi ditujukan terhadap sifat dasar Mahkamah yang dianggap telah masuk ke dalam praktik judicial activism. Tulisan ini membahas mengenai dimensi judicial activism yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai dasar untuk melindungi hak konstitusional warga negara melalui putusan-putusannya. Selain itu, tulisan ini juga menganalisa mengenai sejauh mana judicial activism dapat memperoleh justifikasi dalam proses pembuatan putusan di Mahkamah Konstitusi.
---
[ENGLISH]
"Dimensions of Judicial Activism in the Constitutional Court Decisions"
Abstract
A transformative amendment of the 1945 Constitution established a separate judicial institution called the Constitutional Court. This institution is believed to serve a strategic role within Indonesia’s plural legal system particularly in the area of constitutional review and constitutional rights protection. However, the performance of the Constitutional Court has attracted controversy. This controversy arises because the Court is concerned with introducing a sociological paradigm of law that embraces substantive justice with a fluid acknowledgment of procedural justice. A key criticism of the Constitutional Court is that the nature of Court decisions has developed into a practice of judicial activism. This article discusses the dimension of judicial activism used by the Constitutional Court on the grounds for protecting constitutional rights of the citizens through its decisions. It also analyses the extent of judicial activism that can be justified in the decision-making process in the Constitutonal Court.
A jurisdiction of the Indonesian Constitutional Court concerning constitutional adjudication is o... more A jurisdiction of the Indonesian Constitutional Court concerning constitutional adjudication is only limited to review the constitutionality of national law. There is no mechanism for challenging any decision or action made by public authorities that violate fundamental rights enshrined in the Indonesian Constitution. This article argues that constitutional complaint and constitutional question might be adopted as new jurisdictions of the Indonesian Constitutional Court in order to strengthen the protection of fundamental rights of its citizen. It also identifies main problems that will be faced by the Constitutional Court in exercising constitutional complaint and constitutional question. For instance, the Court will be burdened with too many cases as experienced by other countries. A clear mechanism for filtering applications lodged to the Constitutional Court and the time limit for deciding cases are important elements that have to be regulated to overcome the problems. In addition, the institutional structure of the Constitutional Court has to be improved, particularly to support its decision-making process.
Artikel ini menguraikan pemasalahan korupsi yang telah menggurita di dalam setiap sektor dan send... more Artikel ini menguraikan pemasalahan korupsi yang telah menggurita di dalam setiap sektor dan sendi kehidupan di Indonesia. Tulisan ini juga menawarkan alternatif solusi untuk mengurangi praktik koruptif dalam skala nasional.
Dalam studi perbandingan hukum konstitusi, salah satu cara yang dipercaya cukup efektif untuk men... more Dalam studi perbandingan hukum konstitusi, salah satu cara yang dipercaya cukup efektif untuk mengawal prinsip-prinsip demokrasi agar tidak menyimpang dari norma-norma konstitusi adalah dengan mekanisme pengujian konstitusionalitas undang-undang. Mekanisme ini lazim disebut sebagai judicial review atau lebih tepatnya lagi adalah constitutional review. Makalah ini mengupas secara tajam mengenai peran Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal demokrasi melalui pelaksanaan salah satu kewenangannya, yaitu pengujian konstitusionalitas undang-undang (constitutional review), yang diwujudkan dalam Putusan-Putusannya.
Tulisan ini merupkan ringkasan atas hasil penelitian berjudul "Pengujian Undang-Undang yang Menge... more Tulisan ini merupkan ringkasan atas hasil penelitian berjudul "Pengujian Undang-Undang yang Mengesahkan Perjanjian Internasional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 di Hadapan Mahkamah Konstitusi" yang dilakukan pada Oktober-Desember 2005 kerjasama antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Tim Peneliti terdiri dari Lita Arijati, Hadi Rahmat Purnama, Junaedi, dan Pan Mohamad Faiz Kusuma Wijaya.
Tulisan ini menganalisis situasi dan kondisi terkini atas capaian ataupun kegagalan agenda reform... more Tulisan ini menganalisis situasi dan kondisi terkini atas capaian ataupun kegagalan agenda reformasi hukum dengan yang terlukiskan dari tingkat kepercayaan masyarakat terhadap simbol-simbol negara yang direpresentasikan oleh lembaga negara, khususnya institusi hukum, dalam menjalankan roda pemerintahan secara luas.
Makalah disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) dengan tema “Memantapkan Sinergitas antar Lembaga Negara untuk Mengimplementasikan Reformasi Hukum guna Mencegah Distrust terhadap Simbol-Simbol Negara dalam rangka Memantapkan Stabilitas Nasional” pada hari Rabu, 24 Februari 2010 di gedung Lemhanas RI, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangs... more Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (selanjutnya disebut UU 24/2009) memuat berbagai ketentuan yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia, salah satunya sebagaimana dimuat dalam Pasal 28 yang menyatakan, “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri”. Sementara itu, Pasal 32 UU 24/2009 menyatakan, “(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia; (2) Bahasa Indonesia dapat digunakan dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri”.
Tulisan ini menganalisis dan memberikan jawaban terhadap beberapa pertanyaan pokok seputar hal tersebut, di antaranya: (1) Siapakah yang dimaksud dengan pejabat negara lainnya dalam UU 24/2009 dan Perpres 16/2010? (2) Sejauhmana Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya diwajibkan untuk menggunakan bahasa Indonesia? dan (3) Adakah pengecualian untuk menggunakan bahasa asing oleh Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara? Tulisan diakhir dengan kesimpulan dan beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan pertimbangan bagi pemegang kebijakan, khususnya para pejabat negara.
I must say that illiteracy and poverty are the biggest crimes on earth. And their eradication is ... more I must say that illiteracy and poverty are the biggest crimes on earth. And their eradication is the most challenging task. Today what we need is political will. The judiciary can awake and strengthen this political will by directing the executive to fulfill the constitutional obligation. It is incumbent on the state and it must be urged to do it. Nothing is more necessary for self-esteem than an educated nation. If we are strong in will, it is not too late to seek a newer world.
* Makalah ini merupakan penyempurnaan dari tulisan yang dimuat di dalam Jurnal Visi 2006
Tulisan mengenai Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang disampaikan sebagai bahan pembekalan bagi Pe... more Tulisan mengenai Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang disampaikan sebagai bahan pembekalan bagi Pengurus Terlantik HMI Komisariat FHUI Periode 2009/2010, sekaligus sebagai bahan Pengantar Utama Diskusi dengan Tema: ”Kebangkitan Dimulai dari Sini, dari Komisariat Kita” pada Sabtu, 7 Februari 2009 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok. Diskusi menghadirkan Pembicara lainnya, yaitu DR. SULASTOMO (Mantan Ketua Umum PB HMI Periode 1963-1967, Pemimpin Umum Harian Pelita) dan ABDUL HARIS M. RUM (Partner Lubis Ganie Surowidjojo Lawfirm). Tulisan ini sekaligus sebagai bagian evaluasi dan refleksi hari lahir HMI ke-62 yang jatuh bertepatan pada tanggal 5 Februari 2009.
Mengatakan bahwa agenda kebangsaan terakbar terletak pada pendidikan, bukanlah sesuatu yang tanpa... more Mengatakan bahwa agenda kebangsaan terakbar terletak pada pendidikan, bukanlah sesuatu yang tanpa alasan atau mengada-ada, melainkan didasarkan pada fakta bahwa seluruh sektor kehidupan bangsa merupakan concern sumber daya manusia (human resource) yang dihasilkan dari output dunia pendidikan. Oleh karenanya, semenjak negara Indonesian berdiri, founding fathers bangsa ini sudah menanamkan semangat dan tekad untuk memperjuangkan keadilan bagi seluruh warga negara, termasuk di dalamnya untuk memperoleh hak pendidikan yang layak dan mumpuni. Cita-cita luhur tersebut kemudian dituangkan ke dalam rumusan mukaddimah UUD 1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (het doel van de staat), yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tulisan ini menganalisa secara kritis komitmen dan kemauan politik dari Pemerintah dalam mengembangkan sektor pendidikan sebagai pilar utama untuk keluar dari krisis multidimensi yang melanda Indoensia.
Tulisan ini membahas mengenai kewenangan constitutional complaint (pengaduan konstitusional) yang... more Tulisan ini membahas mengenai kewenangan constitutional complaint (pengaduan konstitusional) yang tidak dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia, namun di negara lain justru menjadi kewenangan utama dari Mahkamah Konstitusi. Analisa dilakukan terhadap kemungkinan diadopsinya kewenangan constitutional complaint beserta hal-hal yang perlu menjadi perhatian apabila constitutional complaint akan diterapkan di Indonesia.
Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues, 2019
This article aims to examine several important decisions related to the dissolution of political ... more This article aims to examine several important decisions related to the dissolution of political parties decided by the international human rights courts. It aims to conclude that there are general guidelines on political party dissolution established by the European Court of Human Rights (ECtHR) and uses sources obtained from relevant case studies to support it. Not only does the research highlight that the ECtHR provides requirements that must be fulfilled by the government to justify dissolution, it also dictates the procedural requirements for the restriction of political parties. These guidelines are necessary in a democratic society, regardless of its limited 'margin of appreciation'. Although Indonesia is not a state party to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, the interpretation and legal considerations made by ECtHR could be applied by the Constitutional Court in deciding the outcome of political party dissolution cases in Indonesia. Thus, ensuring that the Constitutional Court's future jurisprudence complies with the international standards of human rights.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 bertanggal 23 Juli 2018 menjadi salah satu... more Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 bertanggal 23 Juli 2018 menjadi salah satu putusan penting bagi desain lembaga perwakilan di Indonesia. Dalam Putusan tersebut, MK menyatakan bahwa pengurus partai politik dilarang menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Namun, tindak lanjut dari Putusan ini memicu polemik ketatanegaraan. Sebab, terjadi kontradiksi mengenai waktu pemberlakuan larangan tersebut akibat adanya perbedaan pemaknaan terhadap Putusan MK di dalam Putusan MA, PTUN, dan Bawaslu. MK menyatakan bahwa Putusannya berlaku sejak Pemilu 2019. Akan tetapi, Putusan MA, PTUN, dan Bawaslu tersebut menyatakan larangan tersebut berlaku setelah Pemilu 2019. Artikel ini mengkaji kontradiksi Putusan-Putusan tersebut dengan menggunakan tiga pisau analisis, yaitu: (1) finalitas putusan; (2) respons terhadap putusan; dan (3) validitas atau keberlakuan norma. Dengan menggunakan doktrin responsivitas terhadap putusan pengadilan dari Tom Ginsburg, artikel ini menyimpulkan bahwa Keputusan KPU yang tetap kukuh memberlakukan larangan bagi pengurus partai politik sebagai calon anggota DPD sejak Pemilu tahun 2019 sesungguhnya merupakan tindakan formal konstitusional karena telah mengikuti (comply) penafsiran konstitusional yang terkandung dalam Putusan MK. Di lain sisi, tindakan KPU juga merupakan bentuk yang sekaligus mengabaikan (ignore) Putusan MA, PTUN, dan Bawaslu. Meskipun demikian, respons KPU tersebut dapat dibenarkan karena Putusan MK memiliki objek dan dasar pengujian lebih tinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga memiliki validitas hukum lebih tinggi dari Putusan MA, PTUN, dan Bawaslu. Dengan demikian, tindakan KPU yang konsisten mengikuti Putusan MK tersebut merupakan respons konstitusional yang memiliki justifikasi hukum dan konstitusi, sebagaimana juga dikuatkan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), baik secara hukum maupun etik.
Penyempurnaan sistem hukum dan konstitusi merupakan prasyarat untuk membangun negara demokrasi ko... more Penyempurnaan sistem hukum dan konstitusi merupakan prasyarat untuk membangun negara demokrasi konstitusional di Indonesia. Dalam cabang kekuasan kehakiman, salah satu upaya untuk mencapai hal tersebut terkait dengan adanya gagasan pembentukan mekanisme pertanyaan konstitusional (constitusional question). Istilah constitutional question merujuk pada suatu mekanisme pengujian konstitusionalitas di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh seorang hakim di pengadilan umum yang merasa ragu-ragu terhadap konstitusionalitas suatu undang-undang yang digunakan dalam perkara yang sedang ditanganinya. Artikel ini membahas mengenai kemungkinan dibangunnya mekanisme constitutional question di Indonesia dengan alternatif implementasinya. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini berupa yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan bahan kepustakaan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat urgensi untuk menambahkan kewenangan constitutional question kepada Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya mekanisme tersebut, putusan hakim di pengadilan umum yang dinilai bertentangan dengan konstitusi dan dianggap melanggar hak konstitusional warga negara dapat dihindari. Kemudian, objek dan ruang pengujian terhadap peraturan perundangundangan menjadi semakin luas dan pelanggaran hak konstitusional terhadap warga negara dapat dipulihkan. Apabila constitutional question akan diterapkan di Indonesia, maka dasar kewenangan constitutional question sebaiknya diatur melalui perubahan konstitusi. Namun, hal tersebut dapat juga dilakukan dengan merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, penafsiran konstitusi yang dituangkan di dalam putusan Mahkamah Konstitusi, ataupun perluasan legal standing untuk lembaga pengadilan sebagai salah satu pemohon constitutional review. Selain itu, perlu juga diatur mengenai kualifikasi pemohon constitutional question dan pembatasan waktu penanganan perkaranya oleh Mahkamah Konstitusi.
Proses pemakzulan atau pemberhentian Presiden menurut UUD 1945 melibatkan secara aktif tiga lemba... more Proses pemakzulan atau pemberhentian Presiden menurut UUD 1945 melibatkan secara aktif tiga lembaga negara berbeda, yaitu DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR. Proses akhir dari pemberhentian Presiden bukanlah di tangan Mahkamah Konstitusi, namun terletak pada sidang istimewa MPR yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Dengan demikian, anggota MPR yang berasal dari anggota DPD sebenarnya memiliki peran terbatas secara perorangan untuk turut serta menentukan pemberhentian Presiden karena tidak melibatkan DPD secara kelembagaan sebagai kamar kedua parlemen (second chamber). Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk memberikan analisis perbandingan mengenai sejauh mana peran kamar kedua parlemen dan kekuasaan kehakiman dalam proses pemberhentian Presiden di lima belas negara berbeda, baik terhadap negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial, sistem parlementer.
Artikel ini membahas peran Mahkamah Konstitusi dalam memperkuat prinsip-prinsip demokrasi di Indo... more Artikel ini membahas peran Mahkamah Konstitusi dalam memperkuat prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia, khususnya prinsip Pemilu yang teratur, bebas, dan adil (regular, free and fair elections). Analisis dilakukan terhadap putusan-putusan monumental (landmark decisions) dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan penyelenggaraan Pemilu. Penelitian ini didasarkan pada metodologi kualitatif dengan menggunakan studi kepustakaan yang bersumber dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, peraturan perundang-undangan, buku, dan artikel jurnal ilmiah. Artikel ini menyimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah turut membentuk politik hukum terkait dengan sistem Pemilu di Indonesia dan berbagai aturan pelaksanaannya. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga telah memperkuat prinsip Pemilu yang teratur, bebas, dan adil dengan cara melindungi hak pilih warga negara, menjamin persamaan hak warga negara untuk dipilih, menentukan persamaan syarat partai politik sebagai peserta Pemilu, menyelamatkan suara pemilih, menyempurnakan prosedur pemilihan dalam Pemilu, dan menjaga independensi penyelenggara Pemilu.
Saat ini terdapat kecenderungan di berbagai negara yang ingin melindungi lingkungan dengan memasu... more Saat ini terdapat kecenderungan di berbagai negara yang ingin melindungi lingkungan dengan memasukkan prinsip-prinsip umum lingkungan hidup ke dalam konstitusi suatu negara ataupun konstitusi regional. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji sejauhmana perlindungan terhadap lingkungan dapat diberikan melalui pengadopsian norma-norma konstitusi tersebut. Kajian dilakukan menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan normatif dan studi kepustakaan yang bersumber dari putusan-putusan pengadilan, peraturan perundang-undangan, buku, dan artikel jurnal ilmiah. Kajian ini menyimpulkan bahwa UUD 1945 telah memuat norma konstitusi dalam upaya perlindungan terhadap lingkungan. Akan tetapi, norma-norma konstitusi tersebut masih diposisikan sebagai faktor subsidair atau pendukung dalam pemenuhan hak asasi manusia dan perekonomian nasional. Untuk memperkuat perlindungan terhadap lingkungan di dalam UUD 1945 maka diperlukan perumusan ulang norma-norma konstitusi yang menempatkan lingkungan hidup lebih sebagai nilai-nilai dasar dalam penyelenggaraan negara dan kegiatan perekenomian nasional.
***
Nowadays there is a tendency in many countries to protect the environment by incorporating general principles of environment into a state or a regional constitution. This article aims to examine the extent to which environmental protection can be provided through the adoption of those constitutional norms. This study was conducted using a qualitative methodology with a normative approach and library research derived from court decisions, law and regulations, books and journal articles. It concludes that the Indonesian Constitution contains constitutional norms for the environmental protection. However, these constitutional norms are still positioned as a subsidiary or supporting factor in the fulfillment of human rights and the national economy. In order to strengthen the environmental protection by the Indonesian Constitution, it requires a reformulation of related constitutional norms by positioning the environment more as the basic values in the state administration and national economic activities.
Indonesia implements dualism of judicial review system because there are two different judicial i... more Indonesia implements dualism of judicial review system because there are two different judicial institutions that are granted the authority to review laws and regulations, namely the Constitutional Court and the Supreme Court. This research aims to analyse the problems caused by the dualism of judicial review system. It found two main legal problems of the current system. First, there is an inconsistency of decisions concerning judicial review cases for the same legal issues decided by the Constitutional Court and the Supreme Court. Second, there is no mechanism to review the constitutionality of People's Consultative Assembly (MPR) decisions and regulations under the level of law. Based on these findings, this research suggests that the authority to review all laws and regulations should be integrated under the jurisdiction of the Constitutional Court.
The judicial appointment process is one of essential elements for maintaining judicial independen... more The judicial appointment process is one of essential elements for maintaining judicial independence and public confidence of a court. This article analyses the practices of judicial appointment process exercised by three different main state institutions in selecting constitutional justice in Indonesia where the mechanism and process for selecting them have been implemented differently. It also examines the tenure of constitutional justice, which is a five-year term and can be renewed for one term only, that may lead to another problem concerning the reselection process of incumbent constitutional justices for their second term. The article concludes that the judicial appointment process and tenure of constitutional justice in Indonesia have to be improved. It suggests that if the proposing state institutions could not meet the principles of transparency, participation, objective and accountable required by the Constitutional Court Law, the judicial appointment process should be conducted by creating an independent Selection Committee or establishing a cooperation with the Judicial Commission. Additionally, the tenure of constitutional justices should also be revised for a unrenewable term with a longer period of nine or twelve years.
One of important mechanisms considered effective to protect civil and political rights of the cit... more One of important mechanisms considered effective to protect civil and political rights of the citizens in Indonesia is constitutional review. This mechanism was created after the constitutional reform by establishing the new Constitutional Court in 2003 as an independent and separate court from the Supreme Court. This article examines the development of human rights guaranteed in the Indonesian Constitution. It also provides a critical analysis of the Constitutional Court's role in protecting civil and political rights in Indonesia through its landmark decisions on five categories, namely: (1) freedom of assembly and association; (2) freedom of opinion, speech and expression; (3) freedom of religion; (4) right to life; and (5) due process of law. This research was conducted based on qualitative research methodology. It used a non-doctrinal approach by researching the socio-political impacts of the Constitutional Court's decisions. Although there are still inconsistencies in its decisions, the research concludes that the Constitutional Court has taken a step forward for a better protection of civil and political rights in Indonesia that never existed prior to the reform.
Keywords: civil and political rights, constitutional court, human rights, Indonesia
--- Abstrak
Salah satu mekanisme yang dianggap efektif untuk melindungi hak sipil dan politik warga negara di Indonesia adalah pengujian konstitusional. Mekanisme ini dibentuk pasca reformasi konstitusi dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi pada 2003 sebagai peradilan yang independen dan terpisah dari Mahkamah Agung. Artikel ini menganalisa perkembangan hak asasi manusia yang dijamin di dalam UUD 1945. Selain itu, artikel ini juga memberikan analisa kritis terhadap peran Mahkamah Konstitusi dalam perlindungan hak sipil dan politik di Indonesia melalui putusan-putusan pentingnya (landmark decisions) pada lima kategori, yaitu: (1) kebebasan untuk bekumpul dan berserikat; (2) kebebasan berpendapat, berbicara, dan berekspresi; (3) kebebasan beragama; (4) hak untuk hidup; dan (5) proses peradilan yang adil. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada metodologi penelitian kualitatif dan menggunakan pendekatan non-doktrinal dengan meneliti dampak sosio-politik dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Meskipun masih terdapat inkonsistensi di dalam putusannya, penelitian ini menyimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah memberikan kontribusi satu langkah ke depan yang lebih baik terhadap perlindungan hak sipil dan politik di Indonesia yang tidak pernah terjadi sebelum era reformasi.
Kata Kunci: hak asasi manusia, hak sipil dan politik, mahkamah konstitusi, Indonesia
ABSTRAK
Abstrak Perubahan transformatif terhadap Undang-Undang Dasar 1945 telah membentuk suatu ... more ABSTRAK
Abstrak Perubahan transformatif terhadap Undang-Undang Dasar 1945 telah membentuk suatu institusi pengadilan yang dikenal dengan Mahkamah Konstitusi. Lembaga ini dipercaya dalam menjalankan peran yang strategis dalam sistem pluralisme hukum Indonesia, khususnya di ranah pengujian konstitusionalitas undang-undang dan perlindungan hak konstitusional. Namun demikian, performa Mahkamah Konstitusi juga telah terlepas dari kontroversi. Hal tersebut muncul karena Mahkamah Konstitusi dinilai memberikan perhatian pada paradigma sosiologi hukum yang lebih mengedepankan keadilan substantif, namun sedikit memberikan pengakuan terhadap keadilan prosedural. Kritik utama terhadap Mahkamah Konsitusi ditujukan terhadap sifat dasar Mahkamah yang dianggap telah masuk ke dalam praktik judicial activism. Tulisan ini membahas mengenai dimensi judicial activism yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai dasar untuk melindungi hak konstitusional warga negara melalui putusan-putusannya. Selain itu, tulisan ini juga menganalisa mengenai sejauh mana judicial activism dapat memperoleh justifikasi dalam proses pembuatan putusan di Mahkamah Konstitusi.
---
[ENGLISH]
"Dimensions of Judicial Activism in the Constitutional Court Decisions"
Abstract
A transformative amendment of the 1945 Constitution established a separate judicial institution called the Constitutional Court. This institution is believed to serve a strategic role within Indonesia’s plural legal system particularly in the area of constitutional review and constitutional rights protection. However, the performance of the Constitutional Court has attracted controversy. This controversy arises because the Court is concerned with introducing a sociological paradigm of law that embraces substantive justice with a fluid acknowledgment of procedural justice. A key criticism of the Constitutional Court is that the nature of Court decisions has developed into a practice of judicial activism. This article discusses the dimension of judicial activism used by the Constitutional Court on the grounds for protecting constitutional rights of the citizens through its decisions. It also analyses the extent of judicial activism that can be justified in the decision-making process in the Constitutonal Court.
A jurisdiction of the Indonesian Constitutional Court concerning constitutional adjudication is o... more A jurisdiction of the Indonesian Constitutional Court concerning constitutional adjudication is only limited to review the constitutionality of national law. There is no mechanism for challenging any decision or action made by public authorities that violate fundamental rights enshrined in the Indonesian Constitution. This article argues that constitutional complaint and constitutional question might be adopted as new jurisdictions of the Indonesian Constitutional Court in order to strengthen the protection of fundamental rights of its citizen. It also identifies main problems that will be faced by the Constitutional Court in exercising constitutional complaint and constitutional question. For instance, the Court will be burdened with too many cases as experienced by other countries. A clear mechanism for filtering applications lodged to the Constitutional Court and the time limit for deciding cases are important elements that have to be regulated to overcome the problems. In addition, the institutional structure of the Constitutional Court has to be improved, particularly to support its decision-making process.
Artikel ini menguraikan pemasalahan korupsi yang telah menggurita di dalam setiap sektor dan send... more Artikel ini menguraikan pemasalahan korupsi yang telah menggurita di dalam setiap sektor dan sendi kehidupan di Indonesia. Tulisan ini juga menawarkan alternatif solusi untuk mengurangi praktik koruptif dalam skala nasional.
Dalam studi perbandingan hukum konstitusi, salah satu cara yang dipercaya cukup efektif untuk men... more Dalam studi perbandingan hukum konstitusi, salah satu cara yang dipercaya cukup efektif untuk mengawal prinsip-prinsip demokrasi agar tidak menyimpang dari norma-norma konstitusi adalah dengan mekanisme pengujian konstitusionalitas undang-undang. Mekanisme ini lazim disebut sebagai judicial review atau lebih tepatnya lagi adalah constitutional review. Makalah ini mengupas secara tajam mengenai peran Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal demokrasi melalui pelaksanaan salah satu kewenangannya, yaitu pengujian konstitusionalitas undang-undang (constitutional review), yang diwujudkan dalam Putusan-Putusannya.
Tulisan ini merupkan ringkasan atas hasil penelitian berjudul "Pengujian Undang-Undang yang Menge... more Tulisan ini merupkan ringkasan atas hasil penelitian berjudul "Pengujian Undang-Undang yang Mengesahkan Perjanjian Internasional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 di Hadapan Mahkamah Konstitusi" yang dilakukan pada Oktober-Desember 2005 kerjasama antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Tim Peneliti terdiri dari Lita Arijati, Hadi Rahmat Purnama, Junaedi, dan Pan Mohamad Faiz Kusuma Wijaya.
Tulisan ini menganalisis situasi dan kondisi terkini atas capaian ataupun kegagalan agenda reform... more Tulisan ini menganalisis situasi dan kondisi terkini atas capaian ataupun kegagalan agenda reformasi hukum dengan yang terlukiskan dari tingkat kepercayaan masyarakat terhadap simbol-simbol negara yang direpresentasikan oleh lembaga negara, khususnya institusi hukum, dalam menjalankan roda pemerintahan secara luas.
Makalah disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) dengan tema “Memantapkan Sinergitas antar Lembaga Negara untuk Mengimplementasikan Reformasi Hukum guna Mencegah Distrust terhadap Simbol-Simbol Negara dalam rangka Memantapkan Stabilitas Nasional” pada hari Rabu, 24 Februari 2010 di gedung Lemhanas RI, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangs... more Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (selanjutnya disebut UU 24/2009) memuat berbagai ketentuan yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia, salah satunya sebagaimana dimuat dalam Pasal 28 yang menyatakan, “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri”. Sementara itu, Pasal 32 UU 24/2009 menyatakan, “(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia; (2) Bahasa Indonesia dapat digunakan dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri”.
Tulisan ini menganalisis dan memberikan jawaban terhadap beberapa pertanyaan pokok seputar hal tersebut, di antaranya: (1) Siapakah yang dimaksud dengan pejabat negara lainnya dalam UU 24/2009 dan Perpres 16/2010? (2) Sejauhmana Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya diwajibkan untuk menggunakan bahasa Indonesia? dan (3) Adakah pengecualian untuk menggunakan bahasa asing oleh Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara? Tulisan diakhir dengan kesimpulan dan beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan pertimbangan bagi pemegang kebijakan, khususnya para pejabat negara.
I must say that illiteracy and poverty are the biggest crimes on earth. And their eradication is ... more I must say that illiteracy and poverty are the biggest crimes on earth. And their eradication is the most challenging task. Today what we need is political will. The judiciary can awake and strengthen this political will by directing the executive to fulfill the constitutional obligation. It is incumbent on the state and it must be urged to do it. Nothing is more necessary for self-esteem than an educated nation. If we are strong in will, it is not too late to seek a newer world.
* Makalah ini merupakan penyempurnaan dari tulisan yang dimuat di dalam Jurnal Visi 2006
Tulisan mengenai Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang disampaikan sebagai bahan pembekalan bagi Pe... more Tulisan mengenai Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang disampaikan sebagai bahan pembekalan bagi Pengurus Terlantik HMI Komisariat FHUI Periode 2009/2010, sekaligus sebagai bahan Pengantar Utama Diskusi dengan Tema: ”Kebangkitan Dimulai dari Sini, dari Komisariat Kita” pada Sabtu, 7 Februari 2009 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok. Diskusi menghadirkan Pembicara lainnya, yaitu DR. SULASTOMO (Mantan Ketua Umum PB HMI Periode 1963-1967, Pemimpin Umum Harian Pelita) dan ABDUL HARIS M. RUM (Partner Lubis Ganie Surowidjojo Lawfirm). Tulisan ini sekaligus sebagai bagian evaluasi dan refleksi hari lahir HMI ke-62 yang jatuh bertepatan pada tanggal 5 Februari 2009.
Mengatakan bahwa agenda kebangsaan terakbar terletak pada pendidikan, bukanlah sesuatu yang tanpa... more Mengatakan bahwa agenda kebangsaan terakbar terletak pada pendidikan, bukanlah sesuatu yang tanpa alasan atau mengada-ada, melainkan didasarkan pada fakta bahwa seluruh sektor kehidupan bangsa merupakan concern sumber daya manusia (human resource) yang dihasilkan dari output dunia pendidikan. Oleh karenanya, semenjak negara Indonesian berdiri, founding fathers bangsa ini sudah menanamkan semangat dan tekad untuk memperjuangkan keadilan bagi seluruh warga negara, termasuk di dalamnya untuk memperoleh hak pendidikan yang layak dan mumpuni. Cita-cita luhur tersebut kemudian dituangkan ke dalam rumusan mukaddimah UUD 1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (het doel van de staat), yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tulisan ini menganalisa secara kritis komitmen dan kemauan politik dari Pemerintah dalam mengembangkan sektor pendidikan sebagai pilar utama untuk keluar dari krisis multidimensi yang melanda Indoensia.
Tulisan ini membahas mengenai kewenangan constitutional complaint (pengaduan konstitusional) yang... more Tulisan ini membahas mengenai kewenangan constitutional complaint (pengaduan konstitusional) yang tidak dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia, namun di negara lain justru menjadi kewenangan utama dari Mahkamah Konstitusi. Analisa dilakukan terhadap kemungkinan diadopsinya kewenangan constitutional complaint beserta hal-hal yang perlu menjadi perhatian apabila constitutional complaint akan diterapkan di Indonesia.
Tulisan ini membahas mengenai pergeseran model putusan MK dalam sengketa hasil Pilkada yang tidak... more Tulisan ini membahas mengenai pergeseran model putusan MK dalam sengketa hasil Pilkada yang tidak lagi menggunakan model putusan sela. Selain itu, tulisan ini juga membahas implikasi dan proses pemeriksaan sengketa hasil Pilkada pasca pemungutan atau penghitungan suara ulang (PSU)
Tulisan ini membahas mengenai pelaksanaan Pemilu dan Pilkada di Papua dengan menggunakan sistem n... more Tulisan ini membahas mengenai pelaksanaan Pemilu dan Pilkada di Papua dengan menggunakan sistem noken. Dalam perkembangannya, sistem noken semakin dibatasi penggunaannya di Papua berdasarkan Keputusan KPU Provinsi Papua. Kasus-kasus yang masuk ke Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pilkada 2020 menjadi salah satu fakta bahwa sistem noken atau ikat kini hanya bisa dilakukan di Kabupaten Yakuhimo saja
Artikel membahas putusan ultra petita secara lebih jernih dalam konteks peradilan konstitusi yang... more Artikel membahas putusan ultra petita secara lebih jernih dalam konteks peradilan konstitusi yang sering kali disalahpahami oleh sebagian akademisi, baik secara teoritis ataupun praktis
Artikel ini membahas mengenai perkembangan gagasan mengenai pengaduan konstitusional (constitutio... more Artikel ini membahas mengenai perkembangan gagasan mengenai pengaduan konstitusional (constitutional complaint), baik proyeksinya ke depan maupun tantangan yang akan ditemui apabila diterapkan ke dalam sistem hukum Indonesia
Doktrin bernegara yang diterima oleh banyak pihak, konstitusi harus ditaati dan dijalankan dengan... more Doktrin bernegara yang diterima oleh banyak pihak, konstitusi harus ditaati dan dijalankan dengan sungguh-sungguh, terlepas dari adanya kelemahan dan kekurangan terhadap isinya. Hal yang sama juga berlaku terhadap apapun hasil dari amendemen konstitusi. Lembaga-lembaga negara, khususnya lembaga peradilan, sejatinya turut mengawal dan menjaga konstitusi hasil amendemen tersebut. Pertanyaannya, bagaimana jika amendemen konstitusi tersebut justru menjauhkan identitas konstitusi (constitutional identity) atau meruntuhkan struktur dasar (basic structure) dari suatu negara? Apakah terbuka peluang untuk membatalkan amendemen konstitusi tersebut melalui jalur pengadilan? Artikel ini akan menganalisis praktik pengujian konstitusionalitas amendemen konstitusi di negara lain dengan menggunakan studi perbandingan konstitusi.
Pada 13 Agustus 2020, Mahkamah Konstitusi (MK) genap memasuki usia 17 tahun. Di usianya yang meng... more Pada 13 Agustus 2020, Mahkamah Konstitusi (MK) genap memasuki usia 17 tahun. Di usianya yang menginjak "dewasa" ini, MK harus mempersiapkan diri untuk memikul beban tanggung jawab yang bisa jadi akan jauh lebih berat dari sebelumnya. Untuk itu, diperlukan penguatan kelembagaan yang tepat sasaran dan benar-benar sesuai dengan kebutuhannya. Artikel ini akan membahas penguatan kelembagaan yang dibagi ke dalam dua kategori, yaitu institusional dan fungsional.
Keterlibatan Indonesia di dalam Asosiasi Mahkamah Konstitusi se-Asia (AACC) tidak saja terbatas p... more Keterlibatan Indonesia di dalam Asosiasi Mahkamah Konstitusi se-Asia (AACC) tidak saja terbatas pada persiapan pembentukan ataupun pendeklarasiannya. Tetapi, Mahkamah Konstitusi Indonesia pernah menjadi Presiden AACC periode 2014-2017. Selain itu, Indonesia juga diamanahkan sebagai Sekretariat Tetap AACC untuk Perencanaan dan Koordinasi. Apabila Indonesia telah banyak memberikan kontribusi bagi eksistensi AACC maka pertanyaan sebaliknya yaitu sejauh mana AACC telah memberikan manfaat bagi Indonesia dalam satu dekade terakhir ini? Artikel ini membahas mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh MK Indonesia agar bisa memperoleh manfaat lebih optimal dari keterlibatannya di AACC.
Terdapat 2 (dua) pendapat besar mengenai perlu atau tidaknya pembatasan waktu pengujian konstitus... more Terdapat 2 (dua) pendapat besar mengenai perlu atau tidaknya pembatasan waktu pengujian konstitusionalitas Perpu di MK. Artikel ini akan menguraikan dua sisi pandangan yang berbeda mengenai pembatasan waktu tersebut.
Di tengah merebaknya pandemi virus corona, sering kali kita mendengar istilah Salus populi suprem... more Di tengah merebaknya pandemi virus corona, sering kali kita mendengar istilah Salus populi suprema lex. Ada juga yang menyebutnya Salus populi suprema lex esto atau Salus populi suprema est yang bermakna keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi. Bagaimana memaknai adagium latin tersebut di tengah pandemi? Artikel ini membahas penerapannya dalam konteks konstitusionalisme Indonesia
Pembatasan dalam kegiatan keagamaan tersebut memunculkan polemik. Sebab, kebebasan untuk menjalan... more Pembatasan dalam kegiatan keagamaan tersebut memunculkan polemik. Sebab, kebebasan untuk menjalankan ibadah merupakan hak setiap orang yang dijamin oleh UUD 1945. Apakah adanya pembatasan untuk beribadah tersebut melanggar hak asasi manusia? Artikel ini akan menganalisis pembatasan kebebasan beragama (freedom of religion) berdasarkan instrumen internasional maupun konstitusi Indonesia
Penyebaran virus corona ini dapat dikatakan telah melumpuhkan berbagai sektor kehidupan sehari-ha... more Penyebaran virus corona ini dapat dikatakan telah melumpuhkan berbagai sektor kehidupan sehari-hari, tidak terkecuali di sektor hukum dan peradilan. Artikel ini akan membahas bagaimana pengadilan di berbagai negara menggelar proses persidangannya, termasuk di Indonesia, di tengah terjadinya pandemi corona.
Artikel ini membahas mengenai metode penafsiran konstitusi yang bersumber dari pendekatan origina... more Artikel ini membahas mengenai metode penafsiran konstitusi yang bersumber dari pendekatan originalism atau interpretivism, termasuk kelemahannya dari perspektif Hermeneutika. Selain itu, artikel ini memberikan contoh Putusan Mahkamah Konstitusi yang diputus oleh para Hakim Konstitusi dengan menggunakan metode original intent
Belum lama ini, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna secara resmi telah melepaskan jubah kebesara... more Belum lama ini, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna secara resmi telah melepaskan jubah kebesarannya. Hakim Palguna mengakhiri masa jabatannya untuk periode kedua (2015-2020) pada 7 Januari 2020. Selama menjadi Hakim Konstitusi, dirinya dikenal sebagai sosok pemikir yang tajam dan kritis, baik dalam mengemukan pendapat maupun menyampaikan pertanyaan di dalam proses persidangan. Artikel ini mengulas mengenai kontribusi dan karakter kenegarawanan I Dewa Gede Palguna selama menjadi Hakim Konstitusi
Artikel ini membahas pentingnya untuk mulai menginternasionalisasikan Putusan MK yang masuk dalam... more Artikel ini membahas pentingnya untuk mulai menginternasionalisasikan Putusan MK yang masuk dalam ketegori putusan-putusan monumental (landmark decisions) dikarenakan lembaga peradilan di negara-negara lain dan para akademisi internasional kerap menggunakan Putusan MK dalam bahasa Inggris dari berbagai negara sebagai rujukan untuk memutus perkara sejenis ataupun bahan kajian ilmiah
Artikel ini membahas mengenai pengalaman Mahkamah Konstitusi (MK) di Korea Selatan dan Jerman ter... more Artikel ini membahas mengenai pengalaman Mahkamah Konstitusi (MK) di Korea Selatan dan Jerman terkait dengan rencana pemindahan ibu kota dan pembagian beban pemerintahan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif
Artikel ini menguraikan mengenai pokok pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam menjatuhkan P... more Artikel ini menguraikan mengenai pokok pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam menjatuhkan Putusannya terhadap sengketa hasil Pilpres 2019. Selain itu, catatan terhadap berlangsungnya proses persidangan juga dianalisis sebagai salah satu bentuk evaluasi bersama
Mantra pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif atau biasa disingkat TSM seringkali di... more Mantra pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif atau biasa disingkat TSM seringkali digunakan sebagai dalil dalam perkara sengketa hasil Pemilu dan Pilkada di Mahkamah Konstitusi. Sebenarnya, bagaimana doktrin TSM ini muncul dan berkembang saat ini? Apa maksud dan kriteria dari TSM itu sendiri? Artikel ini membahas mengenai latar belakang, makna, dan perkembangan TSM dalam proses penyelesaian sengketa hasil Pemilu di MK.
Pemilu Presiden yang dibarengi dengan Pemilu Legislatif 2019 telah digelar. Namun demikian, publi... more Pemilu Presiden yang dibarengi dengan Pemilu Legislatif 2019 telah digelar. Namun demikian, publik mengungkap terjadinya kesalahan hitung oleh petugas KPPS dan juga terjadinya kesalahan input data ke dalam Situng, baik akibat human error karena faktor kelelahan ataupun dugaan adanya human design. Karenanya, banyak pihak yang mengusulkan agar Pilpres dan Pileg selanjutnya diterapkan dengan sistem e-voting atau pemungutan suara secara elektronik. Pertanyaannya, benarkah penggunaan e-voting ini akan mampu mengatasi dua persoalan tersebut? Artikel ini akan membahas mengenai realibitas penggunaan e-voting untuk Pemilu Presiden, sekaligus Pemilu Legislatif.
Artikel ini membahas mengenai posisi dan kedudukan Pemberi Keterangan dalam perkara pengujian und... more Artikel ini membahas mengenai posisi dan kedudukan Pemberi Keterangan dalam perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Selain itu, artikel ini juga menganalisis adanya pergeseran tingkat kehadiran dan substansi dari keterangan yang diberikan oleh DPR dan Pemerintah. Oleh karena itu, pihak Pemberi Keterangan harus dikembalikan pada khitahnya semula.
Penerapan asas ne bis in idem dalam hukum pidana dan perdata mensyaratkan adanya putusan yang ber... more Penerapan asas ne bis in idem dalam hukum pidana dan perdata mensyaratkan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap terlebih dahulu. Kemudian, harus terdapat tuntutan yang sama terhadap pihak yang sama, oleh pihak yag sama, dan waktu (tempus) serta tempat kejadian (locus) yang sama. Bagaimana dengan sistem hukum tata negara di Indonesia, apakah juga terdapat asas ne bis in idem dalam pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi? Artikel ini akan meluruskan kesalahan mengenai ne bis in idem di Mahkamah Konstitusi yang selama ini dipahami.
Putusan Mahkamah Konstitusi dirumuskan dan diputuskan secara kolegial oleh seluruh Hakim Konstitu... more Putusan Mahkamah Konstitusi dirumuskan dan diputuskan secara kolegial oleh seluruh Hakim Konstitusi yang berjumlah sembilan orang. Namun dalam berbagai putusan tersebut, tidak jarang ditemukan adanya perbedaan pendapat akhir dari satu atau lebih Hakim Konstitusi yang dituangkan di dalam putusannya. Pendapat berbeda ini lebih dikenal dengan istilah dissenting opinions. Pertanyaannya, mengapa di antara Hakim Konstitusi dapat muncul perbedaan pendapat akhir? Bukankah proses persidangan yang sama juga diikuti oleh seluruh Hakim Konstitusi?
Kenyataannya, fakta yang sama dari suatu perkara tidak serta-merta menghasilkan pendapat yang sama di kalangan hakim. Hal ini dapat disebabkan setidaknya karena adanya perbedaan penggunaan penafsiran hukum dan konstitusi yang juga dipengaruhi oleh perbedaan pengalaman, latar belakang, dan perspektif keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing Hakim Konstitusi. Terlepas dari adanya perbedaan dissenting opinions di berbagai sistem peradilan dunia, pencantuman dissenting opinions di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi ini telah meningkatkan prinsip akuntabilitas peradilan (judicial accountability).
Buku ini berisi kodifikasi pendapat berbeda (dissenting opinions) yang disampaikan oleh Hakim Palguna selama menjadi Hakim Konstitusi dalam dua periode (2003-2008 dan 2015-2020). Selain sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan intelektualnya sebagai seorang Hakim Konstitusi, buku ini mampu memotret sebagian jejak dan jalan pemikiran Hakim Palguna dalam memutus isu-isu konstitusional yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karenanya, buku ini penting dibaca oleh para akademisi, peneliti, dan masyarakat umum yang menaruh minat pada dunia peradilan dan profesi hakim, khususnya di Mahkamah Konstitusi.
Editor: Pan Mohamad Faiz dan Achmad Edi Subiyanto Penerbit: Rajawali Pers ISBN: 978-623-231-274-6 Halaman: 261 Ukuran: 15 x 23 cm Tahun Terbit: 2020
Negarawan Paripurna. Gelar yang layak disematkan kepada I D.G. Palguna. Bukan semata karena menya... more Negarawan Paripurna. Gelar yang layak disematkan kepada I D.G. Palguna. Bukan semata karena menyandang amanah sebagai Hakim Konstitusi untuk dua periode, 2003-2008 dan 2-15-2020, namun juga karena dedikasi, integritas, dan keteladanan beliau.
Berbagai pandangan dan kisah dari mereka yang berinteraksi langsung setiap harinya dengan Hakim Palguna, baik pada saat menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai Hakim Konstitusi maupun dalam menjalani kehidupan sehari-hari, menjadi kesaksian atas wujud pengabdian Hakim Palguna. Implementasi atas jiwa yang terbentuk dari lingkungan religius dan berseni budaya di Pulau Dewata telah terpancarkan dalam tiap langkahnya.
Buku ini sangat menarik dibaca untuk memahami pribadi Sang Negarawan I D.G. Palguna, menelusuri jejak kiprah dan pemikirannya selama menjadi Hakim Konstitusi, juga sisi lain beliau yang jarang diketahui publik. Kisah dan kesaksian dalam buku ini sungguh sarat akan inspirasi.
Editor: Pan Mohamad Faiz, Anna Triningsih, Achmad Edi Subiyanto Penerbit: Murai Kencana ISBN: 978-602-1288-57-3 Halaman: 274 Ukuran: 15 x 23 cm Tahun Terbit: 2020
Dalam rangka ulang tahun Mahkamah Konstitusi (MK) yang ke-16, di tengah kesibukan penanganan ra... more Dalam rangka ulang tahun Mahkamah Konstitusi (MK) yang ke-16, di tengah kesibukan penanganan ratusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum, sejumlah pegawai MK menuangkan pemikiran dan gagasannya dalam kumpulan artikel yang kemudian dibukukan sebagai persembahan di hari lahir MK. Sejumlah 14 artikel terkumpul dan berisi beragam pemikiran yang tersaji di dalam buku ini.
Artikel-artikel ini telah dikelompokkan ke dalam empat bagian terpisah, yaitu: (1) Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang; (2) Mahkamah Konstitusi dan Hak Asasi Manusia; (3) Mahkamah Konstitusi dan Konstitusionalisme; serta (4) Mahkamah Konstitusi dan Sistem Peradilan. Pembagian ini akan memudahkan bagi pembaca untuk memilih berda- sarkan tema maupun topik yang dibahas. Ada benang merah yang dapat ditarik dari berbagai artikel tersebut, yakni hampir semuanya bermuara pada putusan Mahkamah Konstitusi. Sebagai suatu lembaga peradilan, putusan-putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi merupakan “Mahkota” pengadilan sehingga senantiasa harus terjaga muruahnya.
Editor: Pan Mohamad Faiz, Anna Triningsih, Achmad Edi Subiyanto Penerbit: Rajawali Pers ISBN: 978-623-231-141-1 Halaman: 350 Ukuran: 15 x 23 cm Tahun Terbit: 2019
Konstitusi merupakan aturan mendasar yang mengatur fungsi dan kewenangan organ-organ negara sert... more Konstitusi merupakan aturan mendasar yang mengatur fungsi dan kewenangan organ-organ negara serta hubungan antara negara dan rakyatnya. Sebagaimana layaknya pohon yang hidup (living tree), konstitusi harus dapat terus tumbuh dan berkembang dengan mengikuti dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Karenanya, seluruh konstitusi yang terkodifikasi di dunia dapat dikatakan memiliki klausa amendemen yang mengatur mekanisme untuk mengamendemen konstitusi melalui jalur formal (verfassungsänderung). Buku ini membahas secara mendalam mengenai amendemen konstitusi dari perspektif studi perbandingan di beberapa negara pilihan yang mewakili bentuk negara kesatuan dan federal.
Pembahasan dalam buku ini begitu mengalir, tajam, dan padat informasi sebab buku ini bukan sekadar menguraikan perihal teori atau doktrin hukum semata, namun juga pengalaman nyata yang terjadi di negara-negara lain maupun yang dialami oleh Indonesia sendiri. Terlebih lagi, tidak banyak buku hukum dan konstitusi di Indonesia yang secara gamblang menganalisis perkembangan pemikiran terkait dengan basic structure doctrine dan unamendable constitutional provision.
Diperkaya bukan hanya dari text books, jurnal, atau undang-undang dasar dari negara-negara lain, buku ini juga dilengkapi dengan sejumlah putusan pengadilan yang penting dan monumental (landmark decisions). Penggunaan sumber yang sangat memadai tersebut membuat analisis dalam buku ini menjadi lebih komprehensif. Oleh karenanya, buku ini penting untuk dibaca tidak saja oleh para dosen dan mahasiswa, namun juga para praktisi dan pemerhati di bidang hukum tata negara, politik, dan pemerintahan.
Penulis: Pan Mohamad Faiz ISBN: 978-623-231-092-6 Penerbit: Rajawali Pers Halaman: 210 Ukuran: 15 x 23 cm Tahun Terbit: 2019
Tulisan ini mengurai perjalanan dan dinamika Kepengurusan Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia ... more Tulisan ini mengurai perjalanan dan dinamika Kepengurusan Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia (PPI Dunia) Periode 2013-2014 yang dimuat di dalam buku "PPI Dunia Untukku Bangsaku!" (2019)
Selama menjadi hakim konstitusi, Hakim Maria telah mengeluarkan setidaknya 20 (dua puluh) alasan ... more Selama menjadi hakim konstitusi, Hakim Maria telah mengeluarkan setidaknya 20 (dua puluh) alasan dan pendapat berbeda di dalam Putusan-Putusan MK. Tulisan ini menguraikan jejak pemikiran Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati berdasarkan alasan dan pendapat berbeda tersebut ke dalam enam kategori, yaitu: (1) Anak dan Perempuan; (2) Asas Pembentukan Peraturan perundang-Undangan; (3) Ketatanegaraan dan Pemerintahan; (4) Pemilihan Umum; (5) Negara dan Agama; dan (6) Tindak Pidana Pencucian Uang dan Korupsi.
Genap sudah sepuluh tahun Profesor Maria Farida Indrati mengemban amanah dan mengabdi sebagai Hak... more Genap sudah sepuluh tahun Profesor Maria Farida Indrati mengemban amanah dan mengabdi sebagai Hakim Konstitusi (2008-2018). Melalui lembaga peradilan yang bernama Mahkamah Konstitusi (MK), Hakim Maria telah memberikan kontribusi besar dan nyata bagi penegakan hukum dan konstitusi di Indonesia. Sebagai Hakim Konstitusi perempuan pertama dan satu-satunya, ada sentuhan yang berbeda dari Profesor Maria, baik ketika memutus perkara-perkara konstitusi maupun saat berinteraksi dengan orang-orang sekitar di lingkungan kerjanya. Untuk memberikan rasa penghargaan atas pengabdiannya tersebut, saya dan beberapa rekan kerja di MK berinisiatif untuk menyusun buku ini sebagai bentuk persembahan dan rasa terima kasih bagi Hakim Maria di penghujung masa purnabaktinya.
Tulisan ini membahas mengenai perubahan politik hukum penggujian peraturan daerah di Indonesia se... more Tulisan ini membahas mengenai perubahan politik hukum penggujian peraturan daerah di Indonesia setelah dijatuhkannya Putusan Mahkamah Konstitusi beserta implikasinya. Mahkamah Konstitusi menjatuhkan dua Putusan yang mencabut wewenang Mendagri dan Gubernur untuk membatalkan Peraturan Daerah di tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi, yakni Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016. Kedua Putusan MK ini menghentikan polemik terhadap dualisme mekanisme pengujian Peraturan Daerah yang awalnya dapat dibatalkan oleh pemerintah berdasarkan UU Pemerintahan Daerah dan juga dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung berdasarkan UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman.
Setiap penerbit memiliki alasan dan pertimbangan sebelum memutuskan untuk menerbitkan suatu buku.... more Setiap penerbit memiliki alasan dan pertimbangan sebelum memutuskan untuk menerbitkan suatu buku. Pertimbangan itu, biasanya, tidak jauh dari tiga hal, yaitu faktor penulis, isu yang diangkat, dan kemungkinan pasar. Kalau mau ditambahkan, seberapa besar kemungkinan andilnya terhadap proses perubahan. Penulis adalah faktor penting, demikian juga isu yang dijadikan tema pembahasan. Kelompok sasaran pembaca yang luas menjadi daya tarik tersendiri sebagai faktor pasar yang menggairahkan.
Meskipun untuk pertama kali kami menerbitkan buku karya Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L., pertimbangan di atas akan membuktikan di hadapan para pembaca, di mana sebenarnya posisi penulis dalam peta pemikiran kontemporer Indonesia. Dari dialog panjang dengan realitas dan keprihatinannya yang mendalam serta refleksi yang dilakukan, penulis tergerak untuk melakukan sesuatu yang dapat menegakkan kembali mental bangsa yang runtuh akibar deraan berbagai kesulitan. Dan “sesuatu” yang dimaksud itu, antara lain, tercermin dari gagasan yang termuat dalam buku ini.
Salah satu point yang dapat disimpulkan dari gagasannya adalah ide Triumvirat Asia dengan memproyeksikan lahirnya Cindonesia (Cina, India dan Indonesia) sebagai adidaya ekonomi baru. Bagaimana Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dari Cina dan India yang telah berhasil lebih dahulu mengelola trend global dan sukses mengunduh hasil panen globalisasi. Di dalam negeri, penulis mengajak kita memikirkan kembali banyak hal dengan tetap mempertahankan kearifan budaya dan nilai-nilai kemuliaan dalam praktik kehidupan sosial yang bermartabat. Antara lain mengajak untuk melihat ulang keberadaan kita sebagai bangsa, memikirkan kembali masa depan, soal krisis kepemimpinan, juga meminta kita untuk meninjau kembali berbagai prinsip dan hakikat persaingan. Semua itu demi Indonesia yang damai, sejahtera dan demokratis sebagaimana cita-cita awal berdirinya negara bangsa Indonesia.
Sebagaimana dikatakan sendiri oleh penulisnya, buku ini merupakan bentuk partisipasi kaum muda untuk turut serta bertanggung jawab terhadap kondisi bangsa yang kian memperihatinkan. Semakin termarginalkannya posisi Indonesia dalam percaturan dunia, lemahnya komitmen pembangunan pendidikan, hilangnya rasa kebersamaan dan pemahaman antar anak bangsa, carut-marutnya dunia peradilan dan penegakkan hukum, absennya proses regenerasi kepemimpinan, terjadinya pembajakan nilai demokrasi dengan mengatasnamakan rakyat, merupakan masalah utama bangsa Indonesia yang menjadi topik bahasan dalam buku ini.
Semoga buku ini bisa menjadi saksi hadirnya wacana baru yang dinamis, komprehensif dan mencerahkan dalam gerobak perubahan yang melambat dan dapat membantu memikirkan kembali masa depan bangsa sebelum masa depan itu menentukan wujud bangsa kita. Akhirnya, jika buku ini meretas jalan lapang untuk masa depan Indonesia yang lebih baik, barangkali itulah harapan yang sempat terselip dalam niat awal penerbitan buku ini. Selamat membaca.
One of the national goals of the establishment of the Indonesian state is to improve the people's... more One of the national goals of the establishment of the Indonesian state is to improve the people's welfare. To support this achievement, the law comes to bring its functions as a social engineer. It means the law plays a role in influencing the occurrence of a social change in a planned manner to achieve prosperity. The Constitutional Court decision is one of the sources of law that is expected to improve people's welfare. This article aims to analyze the Constitutional Court decisions that have significant implications for maintaining and improving the people's welfare in Indonesia. The methodology used in this research is a normative juridical with library research and case study approaches on decisions declared by the Constitutional Court in the last five years (2013-2018). This study found that there are socioeconomic rights of citizens that have been protected and restored by the Constitutional Court. These erga omnes decisions indirectly contributed to the improvement of the people's welfare, in particular regarding the rights of a pension fund, a minimum wage and severance pay. This article concludes that an effort to maintain and improve the people's welfare in Indonesia can also be enforced effectively through a social engineering based on the Constitutional Court decisions.
Prosiding Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-5, 2019
Artikel ini bertujuan untuk merumuskan kriteria pengecualian terhadap penerapan ambang batas peng... more Artikel ini bertujuan untuk merumuskan kriteria pengecualian terhadap penerapan ambang batas pengajuan permohonan sengketa hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi. Kajian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan menitikberatkan pada pendekatan studi kasus terhadap enam Putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa hasil Pilkada yang terjadi di Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Kepulauan Yapen, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Paniai. Artikel ini menyimpulkan bahwa pengecualian terhadap penerapan ambang batas dapat dilakukan oleh MK secara kasuistis dengan cara menyampingkan atau menunda keberlakukan penerapan ambang batas. Kriteria pengecualian ambang batas tersebut didasarkan pada kondisi-kondisi khusus, antara lain, yaitu: (1) Penetapan rekapitulasi perolehan hasil suara oleh KPU daerah didasarkan pada rekapitulasi yang belum selesai dilakukan; (2) Rekomendasi dari Panwaslu untuk mengadakan penghitungan atau pemungutan suara tidak ditindaklanjuti oleh KPU daerah tanpa pertimbangan yang memadai; (3) KPU daerah melakukan tindakan subordinasi dengan menolak rekomendasi yang dikeluarkan oleh KPU RI dan KPU Provinsi atau Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi; dan (4) Adanya permasalahan yang mendasar dan krusial yang perlu dibuktikan lebih lanjut karena dapat mengakibatkan ambang batas perolehan suara berpotensi menjadi tidak mungkin dihitung atau dinilai.
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan untuk menguji ko... more Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Pihak yang berhak mengajukan permohonan dalam perkara pengujian undang-undang tersebut terdiri dari perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara. Luasnya cakupan pemohon yang dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) tersebut sejatinya telah membuka lebar akses keadilan bagi masyarakat rentan untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. Tulisan ini menganalisis sejauhmana MK memberikan akses keadilan bagi masyarakat rentan, baik yang bersifat teknis dan prosedural maupun alasan substantif dalam putusan. Dalam konteks ini, tidak sedikit permohonan pengujian undang-undang yang putusannya bersifat erga omnes diajukan oleh orang-perorang tanpa didampingi kuasa hukum atau kelompok warga bersama dengan lembaga swadaya masyarakat (NGOs). Tulisan ini menyimpulkan bahwa terdapat putusan-putusan MK yang telah memperkuat dan memulihkan hak konstitusional bagi masyarakat rentan yang terdiri dari anak-anak, perempuan, penyandang disabilitas, buruh migran, dan masyarakat hukum adat. Namun demikian, akses keadilan bagi masyarakat rentan di MK belum dapat optimal tersedia. Sebab, MK memiliki keterbatasan kewenangan untuk mengadili perkara pengaduan konstitusional (constitutional complaint) yang justru menjadi instrumen terpenting bagi MK di banyak negara guna melindungi hak-hak konstitusional warga negara mereka. Selain itu, MK perlu mempertimbangkan untuk menyediakan semacam pos bantuan hukum bekerjasama dengan lembaga penyedia bantuan hukum bagi masyarakat rentan yang memerlukan pendampingan dan nasihat hukum secara pro bono.
Many people strongly believe that rising the challenge of sustainable development can help the co... more Many people strongly believe that rising the challenge of sustainable development can help the country go forward in a better direction. One of the best approaches for promoting the sustainable development of Indonesia can be viewed from the perspective of human rights protection of the people. Basically, sustainable development encompasses three pillars based on environmental, economic, and social values that are interdependent and that mutually reinforce human rights. Moreover between sustainable development and human rights there is an inseparable relationship and a respect for human rights that has been recognized as a prerequisite for development. In this context, the current paper seeks to present an integrated conception and the relationship between these two formations. The paper also presents the measures of human rights protection, particularly constitutional review mechanism before the Court as the newest instrument established after the amendment of 1945 Constitution.
Negara China dan India (Cindia) kini telah diakui oleh banyak pihak sebagai pemain kunci dalam er... more Negara China dan India (Cindia) kini telah diakui oleh banyak pihak sebagai pemain kunci dalam era globalisasi yang secara tidak langsung telah pula merubah wajah baru Asia. Kedua negara tersebut diprediksi akan mengambil alih posisi utama sebagai dua negara dengan perekonomian terkuat di masa mendatang. Bangkitnya Cindia merupakan suatu hal yang fenomenal, menggembirakan, namun juga mencemaskan bagi negara-negara dunia. Dalam waktu yang bersamaan, keberhasilan mereka dalam mengelola kebijakan negara dengan karakternya masing-masing, telah terbukti mengangkat ratusan juta rakyatnya dari garis kemiskinan. Meskipun masih diselimuti berbagai persoalan mendasar di dalam negerinya, Cindia tetap mampu menari elok di panggung internasional. Untuk menjadi macan Asia berikutnya, Indonesia harus memetik pelajaran berharga dan mengambil energi positif dari setiap langkah keberhasilan mereka.
Konferensi Internasional Pelajar Indonesia (KIPI) 2007, Sep 7, 2009
Makalah ini berusaha mengidentifikasi fenomena 'brain drain' yang umumnya terjadi pada negara-neg... more Makalah ini berusaha mengidentifikasi fenomena 'brain drain' yang umumnya terjadi pada negara-negara berkembang. Secara khusus, karya ini akan menguraikan problematika dan tantangan Indonesia dalam pengembangan SDM terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disebabkan oleh 'brain drain'. Pada akhir makalah, Penulis menyuguhkan pola pengembangan SDM guna mencegah dan mengatasi efek negatif dari 'brain drain' dengan melakukan studi analisa terhadap keberhasilan India dalam mewujudkan 'reversed brain drain', khususnya di sektor Information and Technology (IT).
It is a complete proceeding of the 7th Conference of Asian Constitutional Court Judges on General... more It is a complete proceeding of the 7th Conference of Asian Constitutional Court Judges on General Election Law held by the Indonesian Constitutional Court in Jakarta, on 12-15 July 2010. This proceeding is a very valuable resources for anyone who is interested with comparative constitutional laws, particularly on constitutional courts or other equivalent institutions in dealing with general elections. I contributed as an editor in the proceeding.
It is a complete proceeding of the International Symposium on Constitutional Democratic State hel... more It is a complete proceeding of the International Symposium on Constitutional Democratic State held by the Indonesian Constitutional Court in Jakarta, on 10-14 July 2011. This proceeding is a very valuable resources for anyone who is interested with comparative constitutional laws, particularly on constitutional courts. I contributed as an editor in the proceeding.
Tulisan ini menguraikan pokok-pokok bahasan dan temuan yang dihasilkan dari penelitian Chien-Chih... more Tulisan ini menguraikan pokok-pokok bahasan dan temuan yang dihasilkan dari penelitian Chien-Chih Lin terkait dengan fenomena yudisialisasi politik yang terjadi di Mahkamah Konstitusi Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Korea.
Studi terhadap mahkamah konstitusi selama ini umumnya berfokus pada tiga hal, yakni: (1) desain i... more Studi terhadap mahkamah konstitusi selama ini umumnya berfokus pada tiga hal, yakni: (1) desain institusional dan kewenangannya; (2) relasi kelembagaan; dan (3) putusan-putusan yang dikeluarkannya. Namun demikian, obyek studi terkait dengan mahkamah konstitusi nyatanya jauh lebih luas dari ketiga hal tersebut. Misalnya, studi yang dilakukan oleh Maartje de Visser dalam artikelnya berjudul “We All Stand Together: The Role of the Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions in Promoting Constitutionalism” yang dimuat dalam Asian Journal of Law and Society (2016).
Dalam artikelnya, Visser mengkaji alasan mengapa para hakim di Asia membentuk suatu aliansi berdasarkan wilayah dan bagaimana mereka bekerjasama untuk merealisasikan tujuan bersamanya. Secara kritis, artikel tersebut juga mengevaluasi pengaruh dan kontribusi the Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions (AACC) atau Asosiasi MK se-Asia terhadap isu-isu konstitusionalisme di Asia. Catatannya terhadap kekurangan AACC diuraikan secara gamblang yang diakhiri dengan beberapa saran untuk mengoptimalkan peran AACC.
Artikel Visser ini menjadi penting untuk diulas, setidaknya karena tiga hal. Pertama, para akademisi dan peneliti hingga saat ini belum ada yang menyentuh kajian terhadap hubungan dan interaksi antara mahkamah konstitusi di Asia, sehingga studi Visser mengenai AACC menjadi artikel pertama yang dipublikasikan dalam jurnal internasional. Kedua, berdirinya AACC tidak terlepas dari peran MK Indonesia sebagai salah satu pendirinya berdasarkan the Jakarta Declaration pada 2010. Ketiga, saat ini MK Indonesia merupakan Presiden AACC periode 2014-2016 yang akan menggelar Kongres AACC ke-3 pada 11-12 Agustus 2016 mendatang.
Tulisan ini secara sistematis akan mengulas temuan-temuan yang diperoleh Visser dalam studinya ke dalam lima bagian, yaitu: pembentukan dan komposisi MK se-Asia, alasan aliansi transnasional, evaluasi aktivitas, optimalisasi peran, dan kesimpulan.
Tulisan ini mengulas artikel yang ditulis oleh Nadirsyah Hosen, Dosen Senior di Faculty of Law, M... more Tulisan ini mengulas artikel yang ditulis oleh Nadirsyah Hosen, Dosen Senior di Faculty of Law, Monash University (Australia) berjudul “The Constitutional Court and ‘Islamic’ Judges in Indonesia” yang dimuat dalam Australian Journal of Asian Law (2016).
Pertanyaan mendasar yang ingin dijawab dalam artikel tersebut adalah sejauh mana latar belakang dan koneksi keislaman seorang Hakim Konstitusi dapat memengaruhi putusannya? Apakah benar para Hakim Konstitusi yang memiliki keterkaitan dengan Islam dapat bertindak untuk membela hukum Islam dan tidak menjadi penjaga konstitusi? Artikel yang ditulis oleh Nadirsyah ini menawarkan pengamatan secara kritis mengenai pengaruh Hakim “Islam” di Mahkamah Konstitusi dalam konteks hubungan antara hukum Islam dan konstitusi di Indonesia. Artikel ini juga terbilang cukup “berani” untuk dipaparkan secara terbuka, sebab di sebagian kalangan di Indonesia, isu ini masih dianggap sebagai isu yang sensitif. Tulisan ini menguraikan analisis dari artikel tersebut.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi di Indonesia yang terlahir dari rahim reformasi telah menarik perha... more Kehadiran Mahkamah Konstitusi di Indonesia yang terlahir dari rahim reformasi telah menarik perhatian banyak kalangan akademisi. Perannya yang dinilai strategis sebagai salah satu pemain kunci di dalam politik nasional menjadi daya tarik sendiri untuk dikaji. Satu dekade sejak pendiriannya, MK dipimpin oleh empat Ketua MK yang berbeda. Di setiap masa kepemimpinan yang berbeda tersebut, MK mengalami pasang surut kekuatan di tengah sistem ketatanegaraan Indonesia.
Tulisan ini merupakan tinjauan terhadap artikel yang ditulis oleh Theunis Roux dan Fritz Siregar berjudul “Trajectories of Curial Power: The Rise, Fall and Partial Rehabilitation of the Indonesian Constitutional Court” yang dimuat dalam Melbourne University Asian Law Journal (2015) terkait dengan fluktuasi kekuatan MK sebagai veto player di Indonesia.
Dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), beberapa kali terlontar wacana dari ahli yang memberi... more Dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), beberapa kali terlontar wacana dari ahli yang memberikan keterangan agar MK Indonesia bisa membuat keputusan meniru MK Thailand. Publik yang mendengar, baik yang berada di dalam ataupun di luar ruang persidangan, menjadi bertanya-tanya seperti apakah sebenarnya peran dan keputusan yang dikeluarkan oleh MK Thailand. Perlukah MK Indonesia meniru MK Thailand? Sayangnya, referensi tentang MK Thailand di Indonesia saat ini masih sangat terbatas.
Salah satu studi yang mengkaji perbandingan langsung antara MK Thailand dan MK Indonesia dapat ditemukan di dalam buku JCL Studies in Comparative Law No. 1 (2009) dengan tema Constitutional Courts: A Comparative Studies. Penulisnya adalah Andrew Harding, Profesor Hukum Asia-Pasifik dari University of Victoria (Kanada) dan Peter Leyland, Profesor Hukum Publik dari London Metropolitan University (Inggris), dengan judul artikel “The Constitutional Courts of Thailand and Indonesia: Two Case Studies from South East Asia”. Artikel berikut ini akan menguraikan kajian dan hasil perbandingan dari kedua penulis tersebut.
Pembahasan mengenai konstitusionalitas hukuman mati di Indonesia akhir-akhir ini kembali marak di... more Pembahasan mengenai konstitusionalitas hukuman mati di Indonesia akhir-akhir ini kembali marak didiskusikan. Pasalnya, di awal masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia kembali mengeksekusi terpidana mati, baik terhadap warga negara Indonesia maupun warga negara asing. Pada 2007 silam, Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah menjatuhkan putusan terkait konstitusionalitas hukuman mati dalam perkara Pengujian Undang-Undang Narkotika dengan menyatakan jenis hukuman tersebut adalah konstitusional. Putusan MK itu disambut baik oleh sebagian besar penggiat anti-narkotika. Namun, bagi para penggiat hak asasi manusia, putusan tersebut dinilai konservatif. Berbagai analisa pro dan kontra terhadap Putusan tersebut juga tersebar di berbagai tulisan. Salah satu analisa akademis terhadap Putusan MK terkait hukuman mati ditulis oleh Natalie Zerial di dalam Australian International Law Journal yang berjudul “Decision No. 2-3/PUU-VI/2007 [2007] (Indonesian Constitutional Court”. Saat membuat tulisan tersebut, Natalie merupakan mahasiswi di Harvard Law School dan saat ini sebagai Barrister di Australia.
Berbeda dengan perspektif para penulis lainnya, Natalie lebih memfokuskan analisa terhadap Putusan MK yang dinilainya merefleksikan perspektif budaya dan kawasan terkait dengan hukum internasional hak asasi manusia, termasuk mengenai perdebatan “nilai-nilai Asia” dalam hak asasi manusia. Analisanya juga mendiskusikan mengenai penggunaan dan penafsiran hukum internasional oleh MK yang menurutnya tidak hanya terbatas konteks nasional, namun juga Konstitusi Indonesia secara global. Tulisan berikut ini akan menguraikan argumentasi dan temuan yang dianalisa oleh Natalie Zerial.
Ruang perdebatan terhadap Pasal 33 UUD 1945 kembali menghangat pasca didirikannya Mahkamah Konsti... more Ruang perdebatan terhadap Pasal 33 UUD 1945 kembali menghangat pasca didirikannya Mahkamah Konstitusi (MK). Berbagai undang-undang yang terkait erat dengan perekonomian nasional diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji konstitusionalitasnya. Bagaimana MK menafsirkan Pasal 33 dalam konteks sistem perekonomian Indonesia saat ini yang mulai mengurangi monopoli penguasaan dari Pemerintah dan menambah investasi privat di berbagai sektor penting?
Simon Butt dan Tim Linsdey, pakar hukum Indonesia dari Australia, mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan analisa beberapa Putusan MK dalam tulisannya yang berjudul “Economic Reform When The Constitution Matters: Indonesia’s Constitutional Court and Article 33” yang dimuat dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies (2008). Dalam tulisannya, Simon dan Tim juga menganalisa masalah yang timbul dari adanya intervensi pengadilan (judicial intervention) di dalam penyusunan kebijakan ekonomi. Selain itu, dipaparkan juga strategi Pemerintah dalam menyiasati pelaksanaan Putusan-Putusan MK di ranah ekonomi. Artikel ini akan menguraikan analisa dari Simon dan Tim terkait penafsiran MK terhadap Pasal-Pasal Konstitusi Ekonomi.
Kajian akademis yang dilakukan oleh peneliti asing mengenai peran pengadilan di Indonesia terhada... more Kajian akademis yang dilakukan oleh peneliti asing mengenai peran pengadilan di Indonesia terhadap akses keadilan seringkali menekankan pada aktivisme yudisial dan insentif bagi para hakim dalam membuat putusan terkait dengan hak warga negara. Namun, tidak banyak peneliti yang mengkaji peran mobilisasi hukum (legal mobilisation) dalam upaya mempertahankan dan memenuhi hak-hak warga negara yang tercantum dalam UUD 1945 dan Undang-Undang. Dengan menggunakan teori support structures for legal mobilisation (SSLM), Andrew Rosser dan Jayne Curnow dalam tulisannya “Legal Mobilisation and Justice: Insight from the Constitutional Court Case on International Standard Schools in Indonesia” yang diterbitkan oleh Asia Pacific Journal of Anthropology (2014), menguraikan bagaimana SSLM dapat membentuk kemampuan para pencari keadilan dalam menerjemahkan kebutuhannya terhadap keadilan dan perlindungan hak warga negara. SSLM ini kemudian melahirkan tindakan-tindakan yang dapat ditempuh untuk memberikan tambahan kekuatan dan kekuasaan bagi para pencari keadilan dalam pemenuhan kebutuhannya tersebut. Tulisan ini menjelaskan lebih lanjut hasil kajian dari Rosser dan Curnow.
Indonesia memiliki warga negara Muslim terbesar di dunia, yaitu sekitar 210 juta orang atau 88% d... more Indonesia memiliki warga negara Muslim terbesar di dunia, yaitu sekitar 210 juta orang atau 88% dari jumlah penduduk Indonesia. Namun demikian, berbeda dengan negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim lainnya, Indonesia bukanlah negara Islam. Sebagaimana tata kehidupan masyarakatnya yang majemuk, Islam di Indonesia mengakomodasi berbagai praktik dan kepercayaan sehingga menjadikannya lebih dinamis dan beragam.
Dalam konteks ini, hal yang menarik bagi Simon Butt, Associate Professor dari Sydney Law School yang kerap meneliti tentang hukum Indonesia, adalah sejauh mana hukum Islam di Indonesia diakui, diterapkan, dan ditegakkan oleh institusi negara. Dalam tulisannya berjudul “Islam, the State and the Constitutional Court in Indonesia” (2010) yang dimuat dalam Pacific Rim Law & Policy Journal Association, Simon mengkaji seberapa besar negara menyediakan mekanisme dan pembatasan dalam menjalankan kebebasan beragama (freedom of religion) bagi umat Islam di Indonesia. Simon juga mengidentifikasi “pemain baru” dalam kontestasi antara peran negara dan Islam, yaitu Mahkamah Konstitusi.
Berdirinya Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari studi komparasi yang... more Berdirinya Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari studi komparasi yang dilakukan oleh para anggota MPR ke 21 negara berbeda pada 2000 untuk melakukan perubahan UUD 1945. Dari berbagai studi komparasi tersebut, pembentukan MK saat ini ternyata cenderung mengikuti model Mahkamah Konstitusi di Korea Selatan. Mengapa Indonesia lebih memilih karakter institusi MK Korea Selatan di bandingkan dengan negara lainnya? Pertanyaan inilah yang coba dijelaskan oleh Hendrianto, pengajar di Santa Clara University, Amerika Serikat, dalam tulisannya yang berjudul “Institusional Choice and the new Indonesian Constitutional Court” yang dimuat pada bab tersendiri dalam “New Courts in Asia” (2010) hasil suntingan Andrew Harding dan Penelope Nicholson.
Putusan-putusan MK tidak saja selalu menarik untuk dianalisa oleh para akademisi di dalam negeri,... more Putusan-putusan MK tidak saja selalu menarik untuk dianalisa oleh para akademisi di dalam negeri, namun juga oleh para akademisi dan peneliti dari luar negeri. Putusan MK yang sering mendapatkan perhatian dari komunitas internasional umumnya adalah kasus-kasus yang terkait dengan perlindungan hak asasi manusia dan sistem perekonomian Indonesia. Tulisan berikut ini akan menguraikan analisa terhadap salah satu Putusan MK yang mengundang kontroversi pada saat dan pasca persidangan, yaitu Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 yang dikeluarkan pada 2009 atau lebih dikenal dengan sebutan ‘Putusan Pengujian UU Penodaan Agama’ dengan merujuk pada analisa dan hasil kajian dari Dr. Melissa Crouch, seorang Research Fellow di Melbourne Law School, Australia dalam tulisannya, “Law and Religion in Indonesia: The Constitutional Court and the Blasphemy Law” yang dimuat pada Asian Journal of Comparative Law (2012).
Dalam banyak literatur, pembentukan Mahkamah Konstitusi dipercayai dapat membantu keberlangsungan... more Dalam banyak literatur, pembentukan Mahkamah Konstitusi dipercayai dapat membantu keberlangsungan proses transisi dari rezim otoriter menuju rezim demokrasi konstitusional. Namun demikian, tidak banyak penulis yang menjadikan Indonesia sebagai studi kasusnya dalam konteks pembentukan MK dalam proses transisi dan konsolidasi demokrasi. Kajian pertama mengenai hal ini ditulis oleh Marcus Mietzner, Associate Professor dari Australian National University (ANU), Australia, yang memiliki ketertarikan penelitian terhadap partai politik dan demokrasi di Indonesia. Mietzner memasukan elemen keberadaan dan peran MK sebagai salah satu faktor signifikan yang ikut berkontribusi di dalam perkembangan demokrasi di Indonesia, khususnya terhadap resolusi konflik politik dan konsolidasi demokrasi. Tulisan ini akan menguraikan kajian dan hasil analisa dari Mietzner terkait dengan peran Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan konflik politik dan konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Sudi dan penelitian tentang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian undang-undang seringkali m... more Sudi dan penelitian tentang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian undang-undang seringkali menjadikan aktor atau obyek internal sebagai fokus di dalam kajiannya, misalnya tentang kewenangan atau putusan-putusan MK. Padahal, menurut para sarjana sosiologi hukum, untuk mengetahui apakah proses pengujian undang-undang telah berjalan secara efektif di tengah-tengah masyarakat, perlu juga dikaji mengenai faktor eksternalnya, yaitu para individu dan organisasi yang sering berinteraksi dengan MK dalam proses berperkara di persidangan. Atas dasar itulah, Arjuna Dibley kemudian melakukan penelitian mengenai pengujian undang-undang di MK dengan titik analisa pada peran suatu kelompok masyarakat yang cukup penting dan aktif dalam berperkara di MK, yaitu public interest litigants (PIL). Tulisan ini menguraikan mengenai hasil temuan yang dikaji oleh Dibley terkait peran advokat pembela kepentingan publik di Mahkamah Konstitusi.
Penyelesaian sengketa Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) di Mahkamah Konstitusi belakangan ini ker... more Penyelesaian sengketa Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) di Mahkamah Konstitusi belakangan ini kerap menjadi tema hangat dalam berbagai penelitian di Indonesia. Mulai dari hukum acara pemeriksaannya yang khusus, perkembangan variasi dan model putusan, hingga implikasi putusan Pemilukada, telah menjadi isu sentral dalam kajian ketatanegaraan kontemporer. Perihal Pemilukada rupanya tidak saja menarik bagi para akademisi Indonesia, namun juga para pemerhati hukum dari negara lain. Salah satu dari sekian banyak peneliti hukum berkewarganegaraan asing (Indonesianist) yang menaruh perhatiannya secara khusus terhadap MK adalah Simon Butt, Associate Professor dari Sydney Law School, Australia. Tulisan ini akan meguraikan kajian dan hasil temuan dari studi yang dilakukan oleh Simon Butt mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa hasil Pemilukada.
Dalam suatu kuliah umum di Australia, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menyampa... more Dalam suatu kuliah umum di Australia, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menyampaikan bahwa untuk memahami Konstitusi Indonesia, para Hakim Konstitusi juga merujuk pada sumber hukum dari negara-negara lain. Sumber hukum asing tersebut termasuk instrumen internasional dan praktik ketatanegaraan di negara lain. Alasannya, sebagian besar negara memiliki ide-ide bersama yang serupa di dalam pembentukan dan pelaksanaan nilai-nilai konstitusi. Tulisan ini akan menguraikan hasil penelitian yang dilakukan oleh Diane Zhang terhadap seberapa jauh penggunaan sumber hukum asing dalam Putusan Mahkamah Konstitusi di Indonesia.
Bagaimana Mahkamah Konstitusi sebagai suatu pengadilan dapat mendorong terjadinya pemenuhan atas ... more Bagaimana Mahkamah Konstitusi sebagai suatu pengadilan dapat mendorong terjadinya pemenuhan atas hak-hak Ekosob bagi warga negara Indonesia? Pertanyaan ini berusaha dijawab oleh Philippa Venning dalam “Determination of Economic, Social and Cultural Rights by the Indonesian Constitutional Court” (2008) yang dimuat pada Australian Journal of Asian Law. Tulisan ini akan menguraikan hasil evaluasi yang dilakukan Philippa terhadap tiga pendekatan mengenai pertimbangan yudisial atas hak-hak Ekosob di negara berkembang. Selanjutnya, pendekatan tersebut akan digunakan sebagai kategori kemungkinan pendekatan yang ditempuh oleh MK Republik Indonesia melalui studi kasus Pengujian Undang-Undang Ketenagalistrikan dan Sumber Daya Air (SDA).
Penyempurnaan sistem hukum dan konstitusi merupakan prasyarat untuk membangun negara demokrasi ko... more Penyempurnaan sistem hukum dan konstitusi merupakan prasyarat untuk membangun negara demokrasi konstitusional di Indonesia. Dalam cabang kekuasan kehakiman, salah satu upaya untuk mencapai hal tersebut terkait dengan adanya gagasan pembentukan mekanisme pertanyaan konstitusional (constitusional question). Istilah constitutional question merujuk pada suatu mekanisme pengujian konstitusionalitas di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh seorang hakim di pengadilan umum yang merasa ragu-ragu terhadap konstitusionalitas suatu undang-undang yang digunakan dalam perkara yang sedang ditanganinya. Artikel ini membahas mengenai kemungkinan dibangunnya mekanisme constitutional question di Indonesia dengan alternatif implementasinya. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini berupa yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan bahan kepustakaan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat urgensi untuk menambahkan kewenangan constitutional question kepada Mahkamah...
Abstrak: Makalah ini berusaha mengidentifikasi fenomena brain drain yang umumnya terjadi pada neg... more Abstrak: Makalah ini berusaha mengidentifikasi fenomena brain drain yang umumnya terjadi pada negara-negara berkembang. Secara khusus, karya ini akan menguraikan problematika dan tantangan Indonesia dalam pengembangan SDM terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disebabkan oleh brain drain. Pada akhir makalah, penulis menyuguhkan pola pengembangan SDM guna mencegah dan mengatasi efek negatif dari brain drain dengan melakukan studi analisa terhadap keberhasilan India dalam mewujudkan reversed brain drain khususnya di sektor Information Technology (IT).
Konstitusi merupakan aturan mendasar yang mengatur fungsi dan kewenangan organ-organ negara serta... more Konstitusi merupakan aturan mendasar yang mengatur fungsi dan kewenangan organ-organ negara serta hubungan antara negara dan rakyatnya. Sebagaimana layaknya pohon yang hidup (living tree), konstitusi harus dapat terus tumbuh dan berkembang dengan mengikuti dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Karenanya, seluruh konstitusi yang terkodifikasi di dunia dapat dikatakan memiliki klausa amendemen yang mengatur mekanisme untuk mengamendemen konstitusi melalui jalur formal (verfassungsänderung). Buku ini membahas secara mendalam mengenai amendemen konstitusi dari perspektif studi perbandingan di beberapa negara pilihan yang mewakili bentuk negara kesatuan dan federal. Pembahasan dalam buku ini begitu mengalir, tajam, dan padat informasi sebab buku ini bukan sekadar menguraikan perihal teori atau doktrin hukum semata, namun juga pengalaman nyata yang terjadi di negara-negara lain maupun yang dialami oleh Indonesia sendiri. Terlebih lagi, tidak banyak buku hukum dan konstitusi di Indonesia yang secara gamblang menganalisis perkembangan pemikiran terkait dengan basic structure doctrine dan unamendable constitutional provision. Diperkaya bukan hanya dari text books, jurnal, atau undang-undang dasar dari negara-negara lain, buku ini juga dilengkapi dengan sejumlah putusan pengadilan yang penting dan monumental (landmark decisions). Penggunaan sumber yang sangat memadai tersebut membuat analisis dalam buku ini menjadi lebih komprehensif. Oleh karenanya, buku ini penting untuk dibaca tidak saja oleh para dosen dan mahasiswa, namun juga para praktisi dan pemerhati di bidang hukum tata negara, politik, dan pemerintahan. Penulis: Pan Mohamad Faiz ISBN: 978-623-231-092-6 Penerbit: Rajawali Pers Halaman: 210 Ukuran: 15 x 23 cm Tahun Terbit: 2019 Pemesanan: Website: http://www.rajagrafindo.co.id Email: rajagrafindo@gmail.com WhatsApp: 0812-8247-4885
ABSTRAK Undang-Undang Partai Politik telah mengatur kewajiban mekanisme penyelesaian perselisihan... more ABSTRAK Undang-Undang Partai Politik telah mengatur kewajiban mekanisme penyelesaian perselisihan di internal partai politik melalui mahkamah partai politik. Apabila mahkamah partai politik tidak mengeluarkan putusan atau salah satu pihak tidak menerimanya, maka dapat ditempuh upaya hukum melalui gugatan ke pengadilan negeri setempat. Dalam konteks tersebut, artikel ini bertujuan untuk menganalisis perselisihan internal partai politik di tubuh Partai Golkar yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang justru menggunakan dalil gugatan perdata perbuatan melawan hukum, dan bukan gugatan khusus perselisihan internal partai politik yang telah diatur dalam Undang-Undang Partai Politik. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif empiris, dengan pendekatan studi kasus terhadap Putusan Nomor 91/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 96 K/Pdt/2016. Berdasarkan hasil analisis, artikel ini menyimpulkan bahwa gugatan perdata perbuatan melawan hukum dala...
One of the national goals of the establishment of the Indonesian state is to improve the people’s... more One of the national goals of the establishment of the Indonesian state is to improve the people’s welfare. To support this achievement, the law comes to bring its functions as a social engineer. It means the law plays a role in influencing the occurrence of a social change in a planned manner to achieve prosperity. The Constitutional Court decision is one of the sources of law that is expected to improve people’s welfare. This article aims to analyze the Constitutional Court decisions that have significant implications for maintaining and improving the people’s welfare in Indonesia. The methodology used in this research is a normative juridical with library research and case study approaches on decisions declared by the Constitutional Court in the last five years (2013-2018). This study found that there are socio-economic rights of citizens that have been protected and restored by the Constitutional Court. These erga omnes decisions indirectly contributed to the improvement of the p...
Proses pemakzulan atau pemberhentian Presiden menurut UUD 1945 melibatkan secara aktif tiga lemba... more Proses pemakzulan atau pemberhentian Presiden menurut UUD 1945 melibatkan secara aktif tiga lembaga negara berbeda, yaitu DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR. Proses akhir dari pemberhentian Presiden bukanlah di tangan Mahkamah Konstitusi, namun terletak pada sidang istimewa MPR yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Dengan demikian, anggota MPR yang berasal dari anggota DPD sebenarnya memiliki peran terbatas secara perorangan untuk turut serta menentukan pemberhentian Presiden karena tidak melibatkan DPD secara kelembagaan sebagai kamar kedua parlemen (second chamber). Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk memberikan analisis perbandingan mengenai sejauh mana peran kamar kedua parlemen dan kekuasaan kehakiman dalam proses pemberhentian Presiden di lima belas negara berbeda, baik terhadap negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial, sistem parlementer, ataupun sistem campuran. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan perbandingan ko...
A jurisdiction of the Indonesian Constitutional Court concerning constitutional adjudication is o... more A jurisdiction of the Indonesian Constitutional Court concerning constitutional adjudication is only limited to review the constitutionality of national law. There is no mechanism for challenging any decision or action made by public authorities that violate fundamental rights enshrined in the Indonesian Constitution. This article argues that constitutional complaint and constitutional question might be adopted as new jurisdictions of the Indonesian Constitutional Court in order to strengthen the protection of fundamental rights of its citizen. It also identifies main problems that will be faced by the Constitutional Court in exercising constitutional complaint and constitutional question. For instance, the Court will be burdened with too many cases as experienced by other countries. A clear mechanism for filtering applications lodged to the Constitutional Court and the time limit for deciding cases are important elements that have to be regulated to overcome the problems. In addit...
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 bertanggal 23 Juli 2018 menjadi salah satu... more Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 bertanggal 23 Juli 2018 menjadi salah satu putusan penting bagi desain lembaga perwakilan di Indonesia. Dalam Putusan tersebut, MK menyatakan bahwa pengurus partai politik dilarang menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Namun, tindak lanjut dari Putusan ini memicu polemik ketatanegaraan. Sebab, terjadi kontradiksi mengenai waktu pemberlakuan larangan tersebut akibat adanya perbedaan pemaknaan terhadap Putusan MK di dalam Putusan MA Nomor 64/P/HUM/2018, Putusan PTUN Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-JKT, dan Putusan Bawaslu Nomor 008/LP/PL/ADM/RI/00/XII/2018. MK secara eksplisit menyatakan bahwa Putusannya berlaku sejak Pemilu 2019. Akan tetapi, Putusan MA, Putusan PTUN, dan Putusan Bawaslu menyatakan larangan tersebut berlaku setelah Pemilu 2019. Artikel ini mengkaji kontradiksi Putusan-Putusan tersebut dengan menggunakan tiga pisau analisis, yaitu: (1) finalitas putusan; (2) respons terhadap putusan; dan (3) validitas atau keb...
Uploads
Journal Articles by Pan Mohamad Faiz
***
Nowadays there is a tendency in many countries to protect the environment by incorporating general principles of environment into a state or a regional constitution. This article aims to examine the extent to which environmental protection can be provided through the adoption of those constitutional norms. This study was conducted using a qualitative methodology with a normative approach and library research derived from court decisions, law and regulations, books and journal articles. It concludes that the Indonesian Constitution contains constitutional norms for the environmental protection. However, these constitutional norms are still positioned as a subsidiary or supporting factor in the fulfillment of human rights and the national economy. In order to strengthen the environmental protection by the Indonesian Constitution, it requires a reformulation of related constitutional norms by positioning the environment more as the basic values in the state administration and national economic activities.
Keywords: civil and political rights, constitutional court, human rights, Indonesia
---
Abstrak
Salah satu mekanisme yang dianggap efektif untuk melindungi hak sipil dan politik warga negara di Indonesia adalah pengujian konstitusional. Mekanisme ini dibentuk pasca reformasi konstitusi dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi pada 2003 sebagai peradilan yang independen dan terpisah dari Mahkamah Agung. Artikel ini menganalisa perkembangan hak asasi manusia yang dijamin di dalam UUD 1945. Selain itu, artikel ini juga memberikan analisa kritis terhadap peran Mahkamah Konstitusi dalam perlindungan hak sipil dan politik di Indonesia melalui putusan-putusan pentingnya (landmark decisions) pada lima kategori, yaitu: (1) kebebasan untuk bekumpul dan berserikat; (2) kebebasan berpendapat, berbicara, dan berekspresi; (3) kebebasan beragama; (4) hak untuk hidup; dan (5) proses peradilan yang adil. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada metodologi penelitian kualitatif dan menggunakan pendekatan non-doktrinal dengan meneliti dampak sosio-politik dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Meskipun masih terdapat inkonsistensi di dalam putusannya, penelitian ini menyimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah memberikan kontribusi satu langkah ke depan yang lebih baik terhadap perlindungan hak sipil dan politik di Indonesia yang tidak pernah terjadi sebelum era reformasi.
Kata Kunci: hak asasi manusia, hak sipil dan politik, mahkamah konstitusi, Indonesia
Abstrak Perubahan transformatif terhadap Undang-Undang Dasar 1945 telah membentuk suatu institusi pengadilan yang dikenal dengan Mahkamah Konstitusi. Lembaga ini dipercaya dalam menjalankan peran yang strategis dalam sistem pluralisme hukum Indonesia, khususnya di ranah pengujian konstitusionalitas undang-undang dan perlindungan hak konstitusional. Namun demikian, performa Mahkamah Konstitusi juga telah terlepas dari kontroversi. Hal tersebut muncul karena Mahkamah Konstitusi dinilai memberikan perhatian pada paradigma sosiologi hukum yang lebih mengedepankan keadilan substantif, namun sedikit memberikan pengakuan terhadap keadilan prosedural. Kritik utama terhadap Mahkamah Konsitusi ditujukan terhadap sifat dasar Mahkamah yang dianggap telah masuk ke dalam praktik judicial activism. Tulisan ini membahas mengenai dimensi judicial activism yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai dasar untuk melindungi hak konstitusional warga negara melalui putusan-putusannya. Selain itu, tulisan ini juga menganalisa mengenai sejauh mana judicial activism dapat memperoleh justifikasi dalam proses pembuatan putusan di Mahkamah Konstitusi.
---
[ENGLISH]
"Dimensions of Judicial Activism in the Constitutional Court Decisions"
Abstract
A transformative amendment of the 1945 Constitution established a separate judicial institution called the Constitutional Court. This institution is believed to serve a strategic role within Indonesia’s plural legal system particularly in the area of constitutional review and constitutional rights protection. However, the performance of the Constitutional Court has attracted controversy. This controversy arises because the Court is concerned with introducing a sociological paradigm of law that embraces substantive justice with a fluid acknowledgment of procedural justice. A key criticism of the Constitutional Court is that the nature of Court decisions has developed into a practice of judicial activism. This article discusses the dimension of judicial activism used by the Constitutional Court on the grounds for protecting constitutional rights of the citizens through its decisions. It also analyses the extent of judicial activism that can be justified in the decision-making process in the Constitutonal Court.
Makalah disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) dengan tema “Memantapkan Sinergitas antar Lembaga Negara untuk Mengimplementasikan Reformasi Hukum guna Mencegah Distrust terhadap Simbol-Simbol Negara dalam rangka Memantapkan Stabilitas Nasional” pada hari Rabu, 24 Februari 2010 di gedung Lemhanas RI, Jakarta.
Tulisan ini menganalisis dan memberikan jawaban terhadap beberapa pertanyaan pokok seputar hal tersebut, di antaranya: (1) Siapakah yang dimaksud dengan pejabat negara lainnya dalam UU 24/2009 dan Perpres 16/2010? (2) Sejauhmana Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya diwajibkan untuk menggunakan bahasa Indonesia? dan (3) Adakah pengecualian untuk menggunakan bahasa asing oleh Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara? Tulisan diakhir dengan kesimpulan dan beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan pertimbangan bagi pemegang kebijakan, khususnya para pejabat negara.
strengthen this political will by directing the executive to fulfill the constitutional obligation. It is incumbent on the state and it must be urged to do it. Nothing is more necessary for self-esteem than an educated nation. If we are strong in will, it is not too late to seek a newer world.
* Makalah ini merupakan penyempurnaan dari tulisan yang dimuat di dalam Jurnal Visi 2006
***
Nowadays there is a tendency in many countries to protect the environment by incorporating general principles of environment into a state or a regional constitution. This article aims to examine the extent to which environmental protection can be provided through the adoption of those constitutional norms. This study was conducted using a qualitative methodology with a normative approach and library research derived from court decisions, law and regulations, books and journal articles. It concludes that the Indonesian Constitution contains constitutional norms for the environmental protection. However, these constitutional norms are still positioned as a subsidiary or supporting factor in the fulfillment of human rights and the national economy. In order to strengthen the environmental protection by the Indonesian Constitution, it requires a reformulation of related constitutional norms by positioning the environment more as the basic values in the state administration and national economic activities.
Keywords: civil and political rights, constitutional court, human rights, Indonesia
---
Abstrak
Salah satu mekanisme yang dianggap efektif untuk melindungi hak sipil dan politik warga negara di Indonesia adalah pengujian konstitusional. Mekanisme ini dibentuk pasca reformasi konstitusi dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi pada 2003 sebagai peradilan yang independen dan terpisah dari Mahkamah Agung. Artikel ini menganalisa perkembangan hak asasi manusia yang dijamin di dalam UUD 1945. Selain itu, artikel ini juga memberikan analisa kritis terhadap peran Mahkamah Konstitusi dalam perlindungan hak sipil dan politik di Indonesia melalui putusan-putusan pentingnya (landmark decisions) pada lima kategori, yaitu: (1) kebebasan untuk bekumpul dan berserikat; (2) kebebasan berpendapat, berbicara, dan berekspresi; (3) kebebasan beragama; (4) hak untuk hidup; dan (5) proses peradilan yang adil. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada metodologi penelitian kualitatif dan menggunakan pendekatan non-doktrinal dengan meneliti dampak sosio-politik dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Meskipun masih terdapat inkonsistensi di dalam putusannya, penelitian ini menyimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah memberikan kontribusi satu langkah ke depan yang lebih baik terhadap perlindungan hak sipil dan politik di Indonesia yang tidak pernah terjadi sebelum era reformasi.
Kata Kunci: hak asasi manusia, hak sipil dan politik, mahkamah konstitusi, Indonesia
Abstrak Perubahan transformatif terhadap Undang-Undang Dasar 1945 telah membentuk suatu institusi pengadilan yang dikenal dengan Mahkamah Konstitusi. Lembaga ini dipercaya dalam menjalankan peran yang strategis dalam sistem pluralisme hukum Indonesia, khususnya di ranah pengujian konstitusionalitas undang-undang dan perlindungan hak konstitusional. Namun demikian, performa Mahkamah Konstitusi juga telah terlepas dari kontroversi. Hal tersebut muncul karena Mahkamah Konstitusi dinilai memberikan perhatian pada paradigma sosiologi hukum yang lebih mengedepankan keadilan substantif, namun sedikit memberikan pengakuan terhadap keadilan prosedural. Kritik utama terhadap Mahkamah Konsitusi ditujukan terhadap sifat dasar Mahkamah yang dianggap telah masuk ke dalam praktik judicial activism. Tulisan ini membahas mengenai dimensi judicial activism yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai dasar untuk melindungi hak konstitusional warga negara melalui putusan-putusannya. Selain itu, tulisan ini juga menganalisa mengenai sejauh mana judicial activism dapat memperoleh justifikasi dalam proses pembuatan putusan di Mahkamah Konstitusi.
---
[ENGLISH]
"Dimensions of Judicial Activism in the Constitutional Court Decisions"
Abstract
A transformative amendment of the 1945 Constitution established a separate judicial institution called the Constitutional Court. This institution is believed to serve a strategic role within Indonesia’s plural legal system particularly in the area of constitutional review and constitutional rights protection. However, the performance of the Constitutional Court has attracted controversy. This controversy arises because the Court is concerned with introducing a sociological paradigm of law that embraces substantive justice with a fluid acknowledgment of procedural justice. A key criticism of the Constitutional Court is that the nature of Court decisions has developed into a practice of judicial activism. This article discusses the dimension of judicial activism used by the Constitutional Court on the grounds for protecting constitutional rights of the citizens through its decisions. It also analyses the extent of judicial activism that can be justified in the decision-making process in the Constitutonal Court.
Makalah disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) dengan tema “Memantapkan Sinergitas antar Lembaga Negara untuk Mengimplementasikan Reformasi Hukum guna Mencegah Distrust terhadap Simbol-Simbol Negara dalam rangka Memantapkan Stabilitas Nasional” pada hari Rabu, 24 Februari 2010 di gedung Lemhanas RI, Jakarta.
Tulisan ini menganalisis dan memberikan jawaban terhadap beberapa pertanyaan pokok seputar hal tersebut, di antaranya: (1) Siapakah yang dimaksud dengan pejabat negara lainnya dalam UU 24/2009 dan Perpres 16/2010? (2) Sejauhmana Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya diwajibkan untuk menggunakan bahasa Indonesia? dan (3) Adakah pengecualian untuk menggunakan bahasa asing oleh Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara? Tulisan diakhir dengan kesimpulan dan beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan pertimbangan bagi pemegang kebijakan, khususnya para pejabat negara.
strengthen this political will by directing the executive to fulfill the constitutional obligation. It is incumbent on the state and it must be urged to do it. Nothing is more necessary for self-esteem than an educated nation. If we are strong in will, it is not too late to seek a newer world.
* Makalah ini merupakan penyempurnaan dari tulisan yang dimuat di dalam Jurnal Visi 2006
Kenyataannya, fakta yang sama dari suatu perkara tidak serta-merta menghasilkan pendapat yang sama di kalangan hakim. Hal ini dapat disebabkan setidaknya karena adanya perbedaan penggunaan penafsiran hukum dan konstitusi yang juga dipengaruhi oleh perbedaan pengalaman, latar belakang, dan perspektif keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing Hakim Konstitusi. Terlepas dari adanya perbedaan dissenting opinions di berbagai sistem peradilan dunia, pencantuman dissenting opinions di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi ini telah meningkatkan prinsip akuntabilitas peradilan (judicial accountability).
Buku ini berisi kodifikasi pendapat berbeda (dissenting opinions) yang disampaikan oleh Hakim Palguna selama menjadi Hakim Konstitusi dalam dua periode (2003-2008 dan 2015-2020). Selain sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan intelektualnya sebagai seorang Hakim Konstitusi, buku ini mampu memotret sebagian jejak dan jalan pemikiran Hakim Palguna dalam memutus isu-isu konstitusional yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karenanya, buku ini penting dibaca oleh para akademisi, peneliti, dan masyarakat umum yang menaruh minat pada dunia peradilan dan profesi hakim, khususnya di Mahkamah Konstitusi.
Editor: Pan Mohamad Faiz dan Achmad Edi Subiyanto
Penerbit: Rajawali Pers
ISBN: 978-623-231-274-6
Halaman: 261
Ukuran: 15 x 23 cm
Tahun Terbit: 2020
Pemesanan:
Website: http://www.rajagrafindo.co.id
Email: rajagrafindo@gmail.com
WhatsApp: 0812-8247-4885
Berbagai pandangan dan kisah dari mereka yang berinteraksi langsung setiap harinya dengan Hakim Palguna, baik pada saat menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai Hakim Konstitusi maupun dalam menjalani kehidupan sehari-hari, menjadi kesaksian atas wujud pengabdian Hakim Palguna. Implementasi atas jiwa yang terbentuk dari lingkungan religius dan berseni budaya di Pulau Dewata telah terpancarkan dalam tiap langkahnya.
Buku ini sangat menarik dibaca untuk memahami pribadi Sang Negarawan I D.G. Palguna, menelusuri jejak kiprah dan pemikirannya selama menjadi Hakim Konstitusi, juga sisi lain beliau yang jarang diketahui publik. Kisah dan kesaksian dalam buku ini sungguh sarat akan inspirasi.
Editor: Pan Mohamad Faiz, Anna Triningsih, Achmad Edi Subiyanto
Penerbit: Murai Kencana
ISBN: 978-602-1288-57-3
Halaman: 274
Ukuran: 15 x 23 cm
Tahun Terbit: 2020
Pemesanan:
Website: http://www.rajagrafindo.co.id
Email: rajagrafindo@gmail.com
WhatsApp: 0812-8247-4885
Artikel-artikel ini telah dikelompokkan ke dalam empat bagian terpisah, yaitu: (1) Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang; (2) Mahkamah Konstitusi dan Hak Asasi Manusia; (3) Mahkamah Konstitusi dan Konstitusionalisme; serta (4) Mahkamah Konstitusi dan Sistem Peradilan. Pembagian ini akan memudahkan bagi pembaca untuk memilih berda- sarkan tema maupun topik yang dibahas. Ada benang merah yang dapat ditarik dari berbagai artikel tersebut, yakni hampir semuanya bermuara pada putusan Mahkamah Konstitusi. Sebagai suatu lembaga peradilan, putusan-putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi merupakan “Mahkota” pengadilan sehingga senantiasa harus terjaga muruahnya.
Editor: Pan Mohamad Faiz, Anna Triningsih, Achmad Edi Subiyanto
Penerbit: Rajawali Pers
ISBN: 978-623-231-141-1
Halaman: 350
Ukuran: 15 x 23 cm
Tahun Terbit: 2019
Pemesanan:
Website: http://www.rajagrafindo.co.id
Email: rajagrafindo@gmail.com
WhatsApp: 0812-8247-4885
Pembahasan dalam buku ini begitu mengalir, tajam, dan padat informasi sebab buku ini bukan sekadar menguraikan perihal teori atau doktrin hukum semata, namun juga pengalaman nyata yang terjadi di negara-negara lain maupun yang dialami oleh Indonesia sendiri. Terlebih lagi, tidak banyak buku hukum dan konstitusi di Indonesia yang secara gamblang menganalisis perkembangan pemikiran terkait dengan basic structure doctrine dan unamendable constitutional provision.
Diperkaya bukan hanya dari text books, jurnal, atau undang-undang dasar dari negara-negara lain, buku ini juga dilengkapi dengan sejumlah putusan pengadilan yang penting dan monumental (landmark decisions). Penggunaan sumber yang sangat memadai tersebut membuat analisis dalam buku ini menjadi lebih komprehensif. Oleh karenanya, buku ini penting untuk dibaca tidak saja oleh para dosen dan mahasiswa, namun juga para praktisi dan pemerhati di bidang hukum tata negara, politik, dan pemerintahan.
Penulis: Pan Mohamad Faiz
ISBN: 978-623-231-092-6
Penerbit: Rajawali Pers
Halaman: 210
Ukuran: 15 x 23 cm
Tahun Terbit: 2019
Pemesanan:
Website: http://www.rajagrafindo.co.id
Email: rajagrafindo@gmail.com
WhatsApp: 0812-8247-4885
Meskipun untuk pertama kali kami menerbitkan buku karya Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L., pertimbangan di atas akan membuktikan di hadapan para pembaca, di mana sebenarnya posisi penulis dalam peta pemikiran kontemporer Indonesia. Dari dialog panjang dengan realitas dan keprihatinannya yang mendalam serta refleksi yang dilakukan, penulis tergerak untuk melakukan sesuatu yang dapat menegakkan kembali mental bangsa yang runtuh akibar deraan berbagai kesulitan. Dan “sesuatu” yang dimaksud itu, antara lain, tercermin dari gagasan yang termuat dalam buku ini.
Salah satu point yang dapat disimpulkan dari gagasannya adalah ide Triumvirat Asia dengan memproyeksikan lahirnya Cindonesia (Cina, India dan Indonesia) sebagai adidaya ekonomi baru. Bagaimana Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dari Cina dan India yang telah berhasil lebih dahulu mengelola trend global dan sukses mengunduh hasil panen globalisasi. Di dalam negeri, penulis mengajak kita memikirkan kembali banyak hal dengan tetap mempertahankan kearifan budaya dan nilai-nilai kemuliaan dalam praktik kehidupan sosial yang bermartabat. Antara lain mengajak untuk melihat ulang keberadaan kita sebagai bangsa, memikirkan kembali masa depan, soal krisis kepemimpinan, juga meminta kita untuk meninjau kembali berbagai prinsip dan hakikat persaingan. Semua itu demi Indonesia yang damai, sejahtera dan demokratis sebagaimana cita-cita awal berdirinya negara bangsa Indonesia.
Sebagaimana dikatakan sendiri oleh penulisnya, buku ini merupakan bentuk partisipasi kaum muda untuk turut serta bertanggung jawab terhadap kondisi bangsa yang kian memperihatinkan. Semakin termarginalkannya posisi Indonesia dalam percaturan dunia, lemahnya komitmen pembangunan pendidikan, hilangnya rasa kebersamaan dan pemahaman antar anak bangsa, carut-marutnya dunia peradilan dan penegakkan hukum, absennya proses regenerasi kepemimpinan, terjadinya pembajakan nilai demokrasi dengan mengatasnamakan rakyat, merupakan masalah utama bangsa Indonesia yang menjadi topik bahasan dalam buku ini.
Semoga buku ini bisa menjadi saksi hadirnya wacana baru yang dinamis, komprehensif dan mencerahkan dalam gerobak perubahan yang melambat dan dapat membantu memikirkan kembali masa depan bangsa sebelum masa depan itu menentukan wujud bangsa kita. Akhirnya, jika buku ini meretas jalan lapang untuk masa depan Indonesia yang lebih baik, barangkali itulah harapan yang sempat terselip dalam niat awal penerbitan buku ini. Selamat membaca.
Jakarta
Konstitusi Press dan Pustaka Indonesia Satu
lanjut karena dapat mengakibatkan ambang batas perolehan suara berpotensi menjadi tidak mungkin dihitung atau dinilai.
keadilan bagi masyarakat rentan di MK belum dapat optimal tersedia. Sebab, MK memiliki keterbatasan kewenangan untuk mengadili perkara pengaduan konstitusional (constitutional complaint) yang justru menjadi instrumen terpenting bagi MK di banyak negara guna melindungi hak-hak konstitusional warga negara mereka. Selain itu, MK perlu mempertimbangkan untuk menyediakan semacam pos bantuan hukum bekerjasama dengan lembaga penyedia bantuan hukum bagi masyarakat rentan yang memerlukan pendampingan dan nasihat hukum secara pro bono.
dengan karakternya masing-masing, telah terbukti mengangkat ratusan juta rakyatnya dari garis kemiskinan. Meskipun masih diselimuti berbagai persoalan mendasar di dalam negerinya, Cindia tetap mampu menari elok di panggung internasional. Untuk menjadi macan Asia berikutnya, Indonesia harus memetik pelajaran berharga dan mengambil energi positif
dari setiap langkah keberhasilan mereka.
Dalam artikelnya, Visser mengkaji alasan mengapa para hakim di Asia membentuk suatu aliansi berdasarkan wilayah dan bagaimana mereka bekerjasama untuk merealisasikan tujuan bersamanya. Secara kritis, artikel tersebut juga mengevaluasi pengaruh dan kontribusi the Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions (AACC) atau Asosiasi MK se-Asia terhadap isu-isu konstitusionalisme di Asia. Catatannya terhadap kekurangan AACC diuraikan secara gamblang yang diakhiri dengan beberapa saran untuk mengoptimalkan peran AACC.
Artikel Visser ini menjadi penting untuk diulas, setidaknya karena tiga hal. Pertama, para akademisi dan peneliti hingga saat ini belum ada yang menyentuh kajian terhadap hubungan dan interaksi antara mahkamah konstitusi di Asia, sehingga studi Visser mengenai AACC menjadi artikel pertama yang dipublikasikan dalam jurnal internasional. Kedua, berdirinya AACC tidak terlepas dari peran MK Indonesia sebagai salah satu pendirinya berdasarkan the Jakarta Declaration pada 2010. Ketiga, saat ini MK Indonesia merupakan Presiden AACC periode 2014-2016 yang akan menggelar Kongres AACC ke-3 pada 11-12 Agustus 2016 mendatang.
Tulisan ini secara sistematis akan mengulas temuan-temuan yang diperoleh Visser dalam studinya ke dalam lima bagian, yaitu: pembentukan dan komposisi MK se-Asia, alasan aliansi transnasional, evaluasi aktivitas, optimalisasi peran, dan kesimpulan.
Pertanyaan mendasar yang ingin dijawab dalam artikel tersebut adalah sejauh mana latar belakang dan koneksi keislaman seorang Hakim Konstitusi dapat memengaruhi putusannya? Apakah benar para Hakim Konstitusi yang memiliki keterkaitan dengan Islam dapat bertindak untuk membela hukum Islam dan tidak menjadi penjaga konstitusi? Artikel yang ditulis oleh Nadirsyah ini menawarkan pengamatan secara kritis mengenai pengaruh Hakim “Islam” di Mahkamah Konstitusi dalam konteks hubungan antara hukum Islam dan konstitusi di Indonesia. Artikel ini juga terbilang cukup “berani” untuk dipaparkan secara terbuka, sebab di sebagian kalangan di Indonesia, isu ini masih dianggap sebagai isu yang sensitif. Tulisan ini menguraikan analisis dari artikel tersebut.
Tulisan ini merupakan tinjauan terhadap artikel yang ditulis oleh Theunis Roux dan Fritz Siregar berjudul “Trajectories of Curial Power: The Rise, Fall and Partial Rehabilitation of the Indonesian Constitutional Court” yang dimuat dalam Melbourne University Asian Law Journal (2015) terkait dengan fluktuasi kekuatan MK sebagai veto player di Indonesia.
Salah satu studi yang mengkaji perbandingan langsung antara MK Thailand dan MK Indonesia dapat ditemukan di dalam buku JCL Studies in Comparative Law No. 1 (2009) dengan tema Constitutional Courts: A Comparative Studies. Penulisnya adalah Andrew Harding, Profesor Hukum Asia-Pasifik dari University of Victoria (Kanada) dan Peter Leyland, Profesor Hukum Publik dari London Metropolitan University (Inggris), dengan judul artikel “The Constitutional Courts of Thailand and Indonesia: Two Case Studies from South East Asia”. Artikel berikut ini akan menguraikan kajian dan hasil perbandingan dari kedua penulis tersebut.
Berbeda dengan perspektif para penulis lainnya, Natalie lebih memfokuskan analisa terhadap Putusan MK yang dinilainya merefleksikan perspektif budaya dan kawasan terkait dengan hukum internasional hak asasi manusia, termasuk mengenai perdebatan “nilai-nilai Asia” dalam hak asasi manusia. Analisanya juga mendiskusikan mengenai penggunaan dan penafsiran hukum internasional oleh MK yang menurutnya tidak hanya terbatas konteks nasional, namun juga Konstitusi Indonesia secara global. Tulisan berikut ini akan menguraikan argumentasi dan temuan yang dianalisa oleh Natalie Zerial.
Simon Butt dan Tim Linsdey, pakar hukum Indonesia dari Australia, mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan analisa beberapa Putusan MK dalam tulisannya yang berjudul “Economic Reform When The Constitution Matters: Indonesia’s Constitutional Court and Article 33” yang dimuat dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies (2008). Dalam tulisannya, Simon dan Tim juga menganalisa masalah yang timbul dari adanya intervensi pengadilan (judicial intervention) di dalam penyusunan kebijakan ekonomi. Selain itu, dipaparkan juga strategi Pemerintah dalam menyiasati pelaksanaan Putusan-Putusan MK di ranah ekonomi. Artikel ini akan menguraikan analisa dari Simon dan Tim terkait penafsiran MK terhadap Pasal-Pasal Konstitusi Ekonomi.
Dengan menggunakan teori support structures for legal mobilisation (SSLM), Andrew Rosser dan Jayne Curnow dalam tulisannya “Legal Mobilisation and Justice: Insight from the Constitutional Court Case on International Standard Schools in Indonesia” yang diterbitkan oleh Asia Pacific Journal of Anthropology (2014), menguraikan bagaimana SSLM dapat membentuk kemampuan para pencari keadilan dalam menerjemahkan kebutuhannya terhadap keadilan dan perlindungan hak warga negara. SSLM ini kemudian melahirkan tindakan-tindakan yang dapat ditempuh untuk memberikan tambahan kekuatan dan kekuasaan bagi para pencari keadilan dalam pemenuhan kebutuhannya tersebut. Tulisan ini menjelaskan lebih lanjut hasil kajian dari Rosser dan Curnow.
Dalam konteks ini, hal yang menarik bagi Simon Butt, Associate Professor dari Sydney Law School yang kerap meneliti tentang hukum Indonesia, adalah sejauh mana hukum Islam di Indonesia diakui, diterapkan, dan ditegakkan oleh institusi negara. Dalam tulisannya berjudul “Islam, the State and the Constitutional Court in Indonesia” (2010) yang dimuat dalam Pacific Rim Law & Policy Journal Association, Simon mengkaji seberapa besar negara menyediakan mekanisme dan pembatasan dalam menjalankan kebebasan beragama (freedom of religion) bagi umat Islam di Indonesia.
Simon juga mengidentifikasi “pemain baru” dalam kontestasi antara peran negara dan Islam, yaitu Mahkamah Konstitusi.