1
AKSES TERHADAP KEADILAN
BAGI MASYARAKAT RENTAN
DI MAHKAMAH KONSTITUSI
ND AUTHORITY
ACCESS TO JUSTICE FOR
VULNERABLE GROUPS
IN THE CONSTITUTIONAL COURT
• PAN MOHAMAD FAIZ •
Penelii Mahkamah Konsitusi
faiz@mkri.id
• OLY VIANA AGUSTINE •
Penelii Mahkamah Konsitusi
olyviana@mkri.id
Pusat Peneliian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konsitusi
Jalan Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta 10110
Abstrak
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konsitusi (MK) memiliki
kewenangan untuk menguji konsitusionalitas undang-undang. Pihak yang berhak
mengajukan permohonan dalam perkara pengujian undang-undang tersebut terdiri
dari perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan
hukum publik atau privat, dan lembaga negara. Luasnya cakupan pemohon yang
dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) tersebut sejainya telah membuka
lebar akses keadilan bagi masyarakat rentan untuk melindungi dan memperjuangkan
hak-hak konsitusionalnya. Tulisan ini menganalisis sejauhmana MK memberikan akses
keadilan bagi masyarakat rentan, baik yang bersifat teknis dan prosedural maupun
alasan substanif dalam putusan. Dalam konteks ini, idak sedikit permohonan
pengujian undang-undang yang putusannya bersifat erga omnes diajukan oleh orangperorang tanpa didampingi kuasa hukum atau kelompok warga bersama dengan
lembaga swadaya masyarakat (NGOs). Tulisan ini menyimpulkan bahwa terdapat
putusan-putusan MK yang telah memperkuat dan memulihkan hak konsitusional
bagi masyarakat rentan yang terdiri dari anak-anak, perempuan, penyandang
disabilitas, buruh migran, dan masyarakat hukum adat. Namun demikian, akses
keadilan bagi masyarakat rentan di MK belum dapat opimal tersedia. Sebab, MK
memiliki keterbatasan kewenangan untuk mengadili perkara pengaduan konsitusional
(consituional complaint) yang justru menjadi instrumen terpening bagi MK di banyak
negara guna melindungi hak-hak konsitusional warga negara mereka. Selain itu,
MK perlu memperimbangkan untuk menyediakan semacam pos bantuan hukum
bekerjasama dengan lembaga penyedia bantuan hukum bagi masyarakat rentan yang
memerlukan pendampingan dan nasihat hukum secara pro bono.
Kata Kunci: Akses Keadilan; Mahkamah Konsitusi; Masyarakat Rentan; Pengujian
Undang-Undang.
Abstract
As a judicial insituion exercising judicial power, the Consituional Court has authority
to review the consituionality of laws. The paries enitled to lodge an applicaion in
consituional review case consist of individual Indonesian ciizens, indigenous peoples,
public or private legal eniies, and state insituions. The extensive scope of applicants
who can have legal standing has provided a wide access to jusice for vulnerable groups
for protecing and defending their consituional rights. This paper analyses to what
extent the Consituional Court provides access to jusice for vulnerable groups, both in
technical and procedural maters as well as substanive reasons in the Court’s decisions.
In this context, many consituional review cases, which its decisions are erga omnes, are
submited by individuals without any legal representaions or a group of people having
the same interest represented by non-governmental organisaions (NGOs). This paper
concludes that there are Consituional Court’s decisions deemed to have strengthened
and restored the consituional rights for vulnerable groups consising of children, women,
persons with disabiliies, migrant workers and indigenous people. However, the access to
jusice for vulnerable groups in the Consituional Court has not been opimally fulilled
123
since the Court has limited authoriies to exercise consituional complaint cases that
become the essenial instrument for the consituional courts in many countries to protect
their ciizen’s consituional rights. In addiion, the Consituional Court should consider
providing a legal aid post in cooperaion with legal aid providers for vulnerable groups who
need legal assistance and advice for free.
Keywords: Access to Jusice; Consituional Court; Consituional Review; Vulnerable
Groups.
1. PENDAHULUAN
Mahkota dari suatu pengadilan adalah putusan berkualitas yang mencerminkan rasa
keadilan, kepasian hukum, dan kebermanfaatan. Untuk mewujudkan hal tersebut,
salah satu prasyarat utama yang harus dibangun adalah terbukanya akses bagi para
pencari keadilan, khususnya bagi masyarakat rentan. Meskipun terdapat perbedaan
kriteria atau ruang lingkup mengenai masyarakat rentan dari berbagai sumber, namun
sebagian besar mencantumkan anak-anak, perempuan, penyandang disabilitas, buruh
migran, dan masyarakat hukum adat sebagai kelompok dari masyarakat rentan.
Dalam konteks perlindungan terhadap hak-hak konsitusional masyarakat rentan,
eksplorasi terhadap akses keadilan di Mahkamah Konsitusi (MK) sebagai salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia menjadi hal yang sangat pening.
MK memperoleh kewenangan konsitusional yang salah satunya untuk melakukan
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam kewenangannya
ini, MK membuka akses yang luas kepada siapa saja yang merasa dirugikan hak
atau kewenangan konsitusionalnya dengan diberlakukannya suatu undang-undang.
Undang-Undang MK menentukan bahwa pemohon yang dapat mengajukan
permohonan dalam perkara pengujian undang-undang, yaitu: (1) perorangan warga
negara Indonesia; (2) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang; (3) badan hukum publik atau privat; atau
(4) lembaga negara.1
Apabila dilakukan perbandingan struktur dan sistem MK di negara-negara lain, kategori
pemohon yang dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian
undang-undang di MK Indonesia terbilang sangat luas. Tidak banyak negara di dunia
yang memberikan akses kepada individu perorangan warga negara untuk “menggugat”
konsitusionalitas dari suatu undang-undang yang dibentuk oleh parlemen. Terlebih
lagi, idak ada satu negara pun di dunia yang secara eksplisit memberikan kesempatan
bagi masyarakat hukum adat sebagai salah satu pemohon yang berhak mengajukan
pengujian konsitusionalitas suatu undang-undang.
Oleh karena itu, menjadi hal yang sangat menarik untuk membahas secara spesiik
mengenai akses keadilan di MK dan pemanfaatannya oleh masyarakat rentan. Beranjak
1
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi
124
dari hal tersebut, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana MK membuka
dan memberikan akses keadilan bagi masyarakat rentan, baik yang bersifat teknisprosedural maupun substanif sebagaimana tertuang di dalam putusan-putusannya.
2. TINJAUAN TEORITIS
2.1. Teori Keadilan
Keadilan merupakan sesuatu yang abstrak. Ia berada dalam dunia sollen yang tumbuh
secara ilsafai dalam alam khayal manusia. Namun tak dapat dipungkiri bahwa semua
orang mendambakan tercapainya keadilan.2 Konsep keadilan menurut pemikiran
klasik berangkat dari teori yang dibangun oleh Plato dan Aristoteles. Teori keadilan
dari Plato menekankan pada harmoni atau keselarasan, sedangkan teori keadilan
menurut Aristoteles lebih menekankan pada perimbangan atau proporsi.
Kemudian, konsep keadilan menurut pemikiran modern ditandai dengan
berkembangnya pemikiran tentang nilai-nilai kebebasan, antara lain munculnya aliran
liberalisme. Aliran ini mendasarkan pada nilai-nilai dalam ajaran eika dari mazhab Stoa,
khususnya terkait dengan individualisme, sanksi moral, dan penggunaan akal. Salah
satu pemikiran yang cukup dikenal dari aliran pemikiran modern adalah pendapat
Rudolph Heimanson yang mendeinisikan keadilan sebagai “redressing a wrong, inding
a balance between legiimate but conlicing interest.”3 Heimanson menjelaskan bahwa
keadilan melekat pada tujuan hukum itu sendiri. Teori lain yang menyatakan hal serupa
dikemukakan oleh Tourtoulon yang dengan tegas menyatakan “lex injusta non est lex”.
Arinya, hukum yang idak adil bukanlah hukum. 4
Ide keadilan juga menuntut adanya pemberian kepada seiap orang berupa hak
perlindungan dan pembelaan diri. Selain itu, Immanuel Kant mengajarkan bahwa
keadilan itu beriik tolak dari martabat manusia.5 Dengan demikian, pembentukan
hukum haruslah mencerminkan rasa keadilan dan bertujuan untuk melindungi
martabat manusia. Teori lain yang sering menjadi rujukan tentang keadilan adalah teori
yang dikemukakan oleh John Rawls. Dalam salah satu teorinya yang dinamakan prinsip
perbedaan (diference principle), Rawls menyatakan bahwa keidaksamaan sosial dan
ekonomi dapat diatur sedemikian rupa agar diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi
anggota masyarakat yang paling idak diuntungkan. Prinsip ini berangkat dari prinsip
keidaksamaan yang dapat dibenarkan melalui kebijaksanaan terkontrol sepanjang
dapat menguntungkan kelompok masyarakat lemah atau kurang beruntung (the least
2
B.J. Nasuion, 2015, Hukum dan Keadilan, Bandung: Mandar Maju, 174.
R. Heimanson, 1967, Dicionary of Poliical Science and Law, Massachusets: Dobbs Fery Oceana
3
Publicaion, 96.
E. Lask, G. Radbruch & J. Dabin, 1950, The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New York:
4
Harvard University Press, 432. Bandingkan dengan P. Siegart, 1986, The Lawfull Right of Mankind an Introducion
to the Internaional Legal Code of Human Right, New York: Oxford University Press, 22.
5
F.M. Suseno, 2003, Eika Poliik, Jakarta: Gramedia, 334.
125
advantaged). 6
Teori-teori tentang keadilan yang diuraikan di atas relevan untuk menjawab
pertanyaan: mengapa diperlukannya akses keadilan yang memadai di pengadilan?
Apa jusiikasi terhadap konsep pengujian produk hukum berupa undang-undang
yang dianggap menciderai nilai-nilai keadilan? Dan, mengapa masyarakat rentan perlu
memperoleh perhaian dan perlakuan khusus dalam upaya pemenuhan dan pencarian
rasa keadilan? Penggunaan teori keadilan tersebut akan memperkuat basis analisis dan
pembahasan dalam tulisan ini.
2.2. Konsep Akses terhadap Keadilan
Akses untuk memperoleh keadilan merupakan hak seiap warga negara tanpa
membedakan strata sosialnya. Akses terhadap keadilan (access to jusice) dapat
diarikan sebagai kesempatan untuk mendapatkan keadilan yang berlaku bagi semua
kalangan atau sering disebut dengan isilah “keadilan untuk semua” (jusice for all).
Dalam kerangka normaif, negara telah memberikan jaminan dan kesempatan yang
sama bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memperoleh keadilan, sebagaimana
tertuang di dalam Pasal 28D UUD 1945.
Cappellei dan Garth mengemukakan bahwa fokus mengenai konsep akses terhadap
keadilan dari suatu sistem hukum seidaknya memiliki tujuan dasar agar sistem hukum
dapat diakses oleh semua orang dari berbagai kalangan tanpa diskriminasi dan sistem
tersebut dapat menghasilkan ketentuan maupun keputusan yang adil bagi semua
pihak. Gagasan pokok konsep akses terhadap keadilan ini mengutamakan tercapainya
suatu keadilan sosial (social jusice) bagi semua warga negara tanpa pengecualian. 7
Terdapat beberapa pengerian mengenai akses terhadap keadilan, antara lain, diarikan
sebagai kesempatan atau kemampuan seiap warga negara tanpa membedakan
latar belakangnya (ras, agama, keturunan, pendidikan, atau tempat lahirnya) untuk
memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan. 8 Selain itu, konsep akses terhadap
keadilan di Indonesia dideinisikan sebagai keadaan dan proses di mana negara
menjamin terpenuhinya hak-hak dasar berdasarkan UUD 1945 dan prinsip-prinsip
universal hak asasi manusia, serta menjamin akses bagi seiap warga negara agar dapat
memiliki kemampuan untuk mengetahui, memahami, menyadari, dan menggunakan
hak-hak dasar tersebut melalui lembaga-lembaga formal maupun non formal yang
didukung oleh mekanisme keluhan publik (public complaint mechanism) yang baik dan
responsif agar dapat memperolah manfaat yang opimal dan memperbaiki kualitas
6
P.M. Faiz, 2009, Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konsitusi, 6(1), 141.
7
M. Cappellei & B. Garth (Eds.), 1978, Access to Jusice Vol. I: A world survey (Book I), Milan: A. Giufrè, 6-7.
Lihat juga M. Cappellei & B. Garth, 1978, Access to Jusice: The Newest Wave in the Worldwide Movement
to Make Rights Efecive, Bufalo Law Review, 27(2), 181-292.
8
J. Djohansjah, 2010, 3 Juli, Akses Menuju Keadilan (Access to Jusice), makalah disampaikan pada Pelaihan
HAM bagi Jejaring Komisi Yudisial, Bandung.
126
kehidupannya yang bertujuan untuk pencegahan dan penanggulangan kemiskinan.9
2.3. Ruang Lingkup Masyarakat Rentan
Ruang lingkup mengenai masyarakat rentan bervariasi antara satu sumber dengan
sumber lainnya. Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia (UU HAM) menyatakan : “Seiap orang yang termasuk kelompok
masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya.” Pertanyaannya, siapa yang dimaksud dengan
masyarakat rentan dalam konteks ini? Penjelasan dari norma tersebut menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain adalah
orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang disabilitas.
Sementara itu, Kementerian Sosial RI mendeinisikan masyarakat rentan sebagai
masyarakat yang dalam berbagai hal kurang mendapat kesempatan untuk
mengembangkan potensi akibat keterbatasan isik dan non isiknya. 10 Adapun
menurut human rights reference yang tergolong ke dalam masyarakat rentan adalah
refugees, internally displaced persons (IDPs), naional minoriies, migrant workers,
indigenous peoples, children, dan women. 11
Kelompok masyarakat rentan berdasarkan sumber-sumber di atas memiliki perbedaan
dalam hal keluasan ruang lingkupnya. Dalam human rights reference, ruang lingkup
masyarakat rentan yang dimaksud hanya spesiik pada kelompok yang disebutkan,
sedangkan di dalam UU HAM menyebut kata “di antaranya”. Arinya, masyarakat
rentan yang dimaksud dalam UU HAM tersebut idak terbatas pada kelompok yang
tercantum. Dalam tulisan ini, ruang lingkup pembahasan terhadap masyarakat rentan
akan dibatasi pada kelompok anak-anak, perempuan, penyandang disabilitas, buruh
migran, dan masyarakat hukum adat.
3. PENYAJIAN DATA
Untuk mengetahui seberapa banyak para pemohon yang dikategorikan masyarakat
rentan dalam berperkara di MK, penulis melakukan penelusuran terhadap 625 perkara
pengujian undang-undang yang diputus MK dalam 5 (lima) tahun terakhir (2013-2017).
Pemilihan sampel ini didasarkan pada semakin terbukanya akses informasi mengenai
keberadaan MK dan prosedur pengajuan permohonan serta semakin banyaknya
layanan pendampingan hukum yang diberikan pihak keiga untuk berperkara di MK.
Berdasarkan hasil pengolahan data, terdapat 155 perkara yang diajukan oleh
9
Kelompok Kerja Akses Terhadap keadilan, 2009, Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan, BAPPENAS
Derektorat Hukum dan HAM, Jakarta, 5-6.
10 Lihat Glossary mengenai “masyarakat rentan”, htps://www.kemsos.go.id/content/masyarakat-rentan,
diakses 26 Desember 2017.
W.J.M. van Genugten (Ed.), 1994, Human Rights Reference, The Hague: Netherlands Ministry of Foreign
11
Afairs, 73.
127
masyarakat rentan. Dari 155 perkara tersebut, hampir seluruh kelompok masyarakat
rentan pernah menjadi pemohon dalam pengujian undang-undang, yaitu kelompok
perempuan, penyandang disabilitas, buruh migran, dan masyarakat hukum adat.
Hanya kelompok anak-anak yang idak pernah mengajukan permohonan pengujian
undang-undang, karena secara prosedural dan persyaratan usia, mereka idak dapat
secara langsung menjadi pemohon di MK. Akan tetapi, permohonan yang terkait
dengan perlindungan terhadap anak-anak, umumnya diajukan dan diperjuangkan
oleh para orang dewasa atau organisasi yang memiliki perhaian khusus terhadap
kepeningan anak-anak.
Dari data yang diperoleh, pemohon kelompok perempuan merupakan kelompok
masyarakat rentan yang paling banyak mengajukan permohonan ke MK, yaitu
sebanyak 61 (enam puluh satu) permohonan pengujian undang-undang. Sementara
itu, sejumlah iga perkara dimohonkan oleh masyarakat hukum adat, dua perkara
dimohonkan oleh buruh migran, dan satu perkara dimohonkan oleh penyandang
disabilitas.
Temuan menarik lainnya, ada 82 permohonan pengujian undang-undang di MK yang
diajukan oleh perorangan atau kelompok perorangan yang memiliki kepeningan sama,
namun tanpa didampingi oleh kuasa hukum, dan enam di antaranya dikabulkan oleh
MK. Data ini seidaknya memberikan indikasi mengenai kemudahan untuk mengajukan
permohonan dan beracara di MK dalam perkara pengujian undang-undang.
Kemudian, hasil analisis penulis menunjukan, ada dua alasan permohonan pengujian
undang-undang diajukan tanpa pendampingan dari kuasa hukum. Pertama, pemohon
sudah memahami mengenai proses pengajuan permohonan hingga proses beracara
di persidangan MK. Kedua, pemohon idak memiliki akses, informasi, ataupun biaya
untuk memiliki kuasa hukum atau pendamping dalam mengajukan permohonan atau
beracara di persidangan MK. Sementara itu, terdapat 15 permohonan yang diajukan
dengan didampingi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGOs), 8 di antaranya
dikabulkan oleh MK, baik dikabulkan sebagian ataupun seluruhnya. 12
4. PEMBAHASAN
Bagian ini akan membahas mengenai isu-isu utama terkait dengan akses keadilan di
MK, baik yang bersifat teknis dan prosedural maupun substanif di dalam putusan,
data mengenai putusan MK terkait dengan masyarakat rentan, serta beberapa hal
yang perlu disempurnakan sebagai upaya untuk memperkuat akses keadilan bagi
masyarakat rentan di MK.
4.1. Akses Keadilan di MK
Mahkamah Konsitusi (MK) lahir dari rahim reformasi berdasarkan hasil perubahan
12 Seluruh data dan staisik secara umum terhadap perkara yang diterima dan telah diputus oleh MK,
termasuk jenis putusannya, dapat dilihat melalui laman MK pada bagian “Perkara - Rekapitulasi Perkara”.
128
keiga UUD 1945. Berdasarkan perspekif ketatanegaraan, keberadaan MK sebagai
pengadilan khusus merupakan konsekuensi dari dianutnya prinsip supremasi
konsitusi demi menjaga dan menjamin kesesuaian aturan hukum yang lebih rendah
dengan aturan hukum di atasnya. Dalam hal ini, Hans Kelsen menyatakan: 13
"The applicaion of the consituional rules concerning legislaion can
be efecively guaranted only if an organ other than the legislaive body is
entrusted with the task of tesing whether a law is consituional, and of
annulling it if – according to the opinion of this organ – it is “unconsituional”.
There may be a special organ established for this purpose, for instance, a
special court, a so-called “consituional court.”
Pandangan tersebut merupakan konsekuensi dari teori hierarki norma hukum yang
berpuncak kepada konsitusi sebagai the supreme law of the land. Hierarki tersebut
sekaligus menempatkan landasan validitas suatu norma hukum secara berjenjang dari
ingkat teringgi hingga terendah.
Dalam perkembangannya, MK secara kelembagaan menginisiasi untuk membangun
suatu peradilan yang modern dan terpercaya. Untuk mewujudkan hal tersebut,
terdapat berbagai aturan internal dan hukum acara pengujian undang-undang serta
teknis prosedural beracara di MK yang didesain agar membuka lebih luas ruang dan
akses keadilan bagi masyarakat, khususnya masyarakat rentan. Kemudahan akses bagi
para pihak yang berperkara di MK ini didukung dengan adanya komitmen inggi dalam
menerapkan e-Court dengan berbasis informasi, komunikasi, dan teknologi (ICT) yang
selalu diperbaharui dari waktu ke waktu.
4.1.1. Bebas Biaya dan Tanpa Kuasa Hukum
Proses dan teknis berperkara di MK hampir sama dengan proses berperkara di
pengadilan umum. Hal yang membedakan terletak pada biaya yang dikeluarkan oleh
pihak yang mengajukan permohonan. Para pihak yang berperkara sama sekali idak
dibebani biaya apapun oleh MK, termasuk dalam hal proses pengajuan permohonan.
Dalam proses pembahasan UU MK, pada awalnya terdapat ketentuan tentang biaya
perkara.14 Namun, ketentuan tersebut dihilangkan sehingga dapat dimaknai bahwa
pembentuk undang-undang memang menginginkan dihapuskannya biaya perkara
dalam proses peradilan MK.
Dengan demikian, salah satu prinsip yang ditekankan dalam beracara di MK adalah
bebas biaya. Prinsip ini dimaksudkan agar proses peradilan dapat diakses oleh seluruh
lapisan masyarakat. Apabila proses peradilan berjalan dengan rumit, kompleks,
berbelit-belit, dan membutuhkan biaya mahal, maka dikhawairkan hanya sekelompok
orang-orang tertentu saja yang dapat memiliki kemampuan untuk berperkara di MK.
Dengan kata lain, hanya sebagian orang-orang inilah yang pada akhirnya memperoleh
13
H. Kelsen, 1961, General Theory of Law and State, New York: Russell & Russell, 157.
14 J. Asshiddiqie, 2005, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MKRI, 403.
129
kesempatan untuk mencari keadilan. 15
Dengan idak adanya biaya perkara maka pembiayaan terhadap seluruh proses
penanganan perkara di MK sepenuhnya dibebankan kepada anggaran negara.
Pembebanan ini dinilai rasional karena perkara-perkara di MK menyangkut masalah
dan isu-isu konsitusional yang di dalamnya lebih banyak terkait dengan kepeningan
umum dibandingkan dengan kepeningan individual atau orang-perorangan. 16
Kemudian, dalam berperkara di MK juga idak ada kewajiban atau keharusan
bagi pemohon untuk menggunakan kuasa hukum. Pemohon cukup mengajukan
permohonan secara tertulis dengan disertai alat buki. Meskipun putusan pengujian
undang-undang memiliki sifat erga omnes, di mana putusannya memiliki dampak bagi
seluruh masyarakat, lembaga, dan pejabat negara, namun permohonan tetap dapat
diajukan oleh satu orang saja. Dalam prakiknya, terdapat beberapa permohonan
yang diajukan oleh perorangan tanpa didampingi satu pun kuasa hukum yang
permohonannya dikabulkan oleh MK, sehingga membatalkan atau menyatakan idak
berlakunya suatu ketentuan di dalam undang-undang, baik itu berupa ayat, pasal,
dan/atau penjelasannya. 17
4.1.2. Permohonan Online dan Video Conference
Permohonan yang diajukan ke MK juga telah dapat dilakukan secara online.18 Dengan
demikian, pemohon idak perlu datang langsung ke gedung MK untuk menyerahkan
atau mengajukan berkas permohonannya. Keberadaan permohonan secara online ini
menjadi sangat membantu dalam penanganan perkara-perkara yang membutuhkan
pemeriksaan cepat, misalnya perkara sengketa hasil pemilu. Sebab, pemohon dari
seluruh penjuru Indonesia hanya dibatasi waktu 3 (iga) hari kerja pasca dikeluarkannya
Keputusan KPU untuk mengajukan permohonan sengketa hasil pemilu ke MK. Prakik
yang berjalan selama ini, banyak pihak yang memanfaatkan teknologi permohonan
online agar idak melewai tenggang waktu pengajuan permohonan.
Selain itu, seiap proses persidangan di MK juga dapat dilakukan melalui persidangan
jarak jauh menggunakan fasilitas video conference,19 baik dari daerah lain di dalam
negeri maupun di luar negeri. Pengembangan teknologi persidangan ini didasarkan
pada lokasi MK yang hanya berada di Jakarta, sedangkan kebutuhan untuk
menyediakan akses keadilan diperuntukkan bagi masyarakat dari seluruh Indonesia.
15 Tim Penulis, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konsitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
MKRI, 21.
16
Ibid., 22.
17 Berkaitan dengan pendampingan hukum, dalam Putusan MK Nomor 006/PUU-II/2004 bertanggal 13
Desember 2004, MK membatalkan Pasal 31 UU Advokat yang memberikan ancaman pidana dan denda kepada
pengurus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di kampus yang bukan advokat apabila melakukan pendampingan
hukum. Menurut MK, ketentuan tersebut telah membatasi masyarakat untuk mendapatkan informasi hukum.
Putusan ini kemudian membawa implikasi posiif karena semakin membuka akses informasi hukum yang lebih
luas kepada masyarakat yang diberikan oleh LBH yang berasal dari kampus dalam melakukan pendampingan
hukum bagi masyarakat rentan atau masyarakat idak mampu.
18
Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan
Elektronik (electronic iling) dan Pemeriksanaan Persidangan Jarak Jauh (video conference).
19
130
Ibid.
Dalam pelaksanaan persidangan jarak jauh, MK telah menempatkan sarana video
conference-nya yang tersebar pada 42 perguruan inggi di 34 provinsi di seluruh
Indonesia. Dengan adanya fasilitas video conference ini, maka proses pemeriksaan
persidangan dapat dilakukan oleh para pihak tanpa harus datang langsung ke gedung
MK, namun cukup datang ke perguruan inggi terdekat yang telah menyediakan
video conference. Sarana video conference dapat dimanfaatkan oleh para pihak yang
berperkara di MK secara grais, termasuk untuk mendengarkan keterangan para ahli
dari luar negeri.
4.1.3. Transparansi dan Akuntabilitas Perkara serta Putusan
Untuk meningkatkan efekivitas sekaligus mewujudkan prinsip transparansi dan
akuntabilitas proses persidangan, MK mengeluarkan kebijakan baru untuk langsung
mengunggah (upload) seiap berkas permohonan yang diajukan ke dalam laman (website)
MK.20 Sehingga, publik dan seiap orang yang berkepeningan dengan permohonan
tersebut dapat mengetahui dan memperoleh salinan berkas permohonan dimaksud
tanpa harus datang atau meminta langsung kepada Kepaniteraan MK. Hal yang sama
juga akan diterapkan terhadap seluruh berkas dan dokumen dari seluruh pihak yang
disampaikan ke MK selama proses pemeriksaan persidangan, sehingga masing-masing
pihak akan mengetahui dan memiliki seluruh dokumen yang sama dalam sistem daring
(online).
Selanjutnya, akses terhadap informasi persidangan juga dilakukan dengan
menyediakan layanan video streaming dari laman MK untuk seiap proses persidangan
yang berlangsung. 21 Publik yang ingin mengetahui jalannya proses persidangan dapat
mengikui dan mengawasi secara langsung melalui laman MK dengan menggunakan
akses internet. Selain itu, seiap persidangan selalu diikui dengan adanya transkrip
risalah persidangan secara tertulis dan rekaman persidangan, baik yang berbentuk
audio maupun visual.22 Keterbukaan dan kecepatan akses informasi juga diterapkan
terhadap putusan MK. Para pihak yang berperkara akan menerima langsung putusan
MK di dalam ruang persidangan sesaat setelah putusan selesai dibacakan. Kemudian
dalam waktu idak lebih dari 15 (lima belas) menit, salinan tersebut akan diunggah di
laman MK agar dapat diakses oleh publik secara luas. 23
Kesemua layanan informasi yang dapat diperoleh secara grais melalui laman MK
tersebut merupakan bagian untuk memberikan kemudahan akses terhadap keadilan
bagi seluruh pihak. Dukungan sistem persidangan elektronik yang terintegrasi
(integrated e-Court system) di MK tersebut akan terus dikembangkan seiap waktu
sebagai wujud penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas lembaga peradilan.
20
Untuk mengetahui dan mengunduh permohonan dalam perkara pengujian undang-undang yang telah
diregistrasi, lihat laman MK dalam bagian “Perkara - Perkara Registrasi PUU”.
21
Untuk mengikui proses dan jalannya persidangan secara online, lihat laman MK dalam bagian “Live
Streaming dan Video Conference”.
22 Seluruh transkrip dan risalah persidangan, baik secara tertulis maupun audio, dapat diunduh melalui laman
MK dalam bagian “Perkara - Risalah”.
23
Seluruh Putusan MK sejak MK didirikan sampai dengan saat ini dapat diunduh melalui laman MK dalam
bagian “Putusan”.
131
4.1.4. Peningkatan Pemahaman Hak Konsitusional
Salah satu peran MK yang idak terkait langsung dengan proses penanganan perkara
adalah meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai hak-hak konsitusional
warga negara. Garoupa dan Ginsburg mengisilahkannya dengan fungsi non-yudisial
(non-judicial funcions) sebagai akivitas yang dilakukan oleh pengadilan di luar ruang
persidangan. 24 Hal demikian mungkin terdengar asing karena seyogianya suatu
pengadilan hanya menjalankan fungsi yudisialnya saja. Akan tetapi, peran demikian
nyatanya juga banyak dilakukan oleh MK di berbagai negara dunia.
Sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengawal konsitusi
(the guardian of the consituion), MK berupaya memberikan pemahaman kepada
masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai hak-hak konsitusionalnya,
termasuk bagi masyarakat rentan. Kegiatan tersebut umumnya berupa pendidikan
dan pelaihan yang dikonsentrasikan di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konsitusi MK.
Dengan demikian, masyarakat yang idak tersentuh oleh pendidikan formal dapat
mengetahui hak-hak konsitusional apa saja yang mereka miliki dan dijamin oleh
konsitusi. Dengan adanya peningkatan pemahaman tersebut, maka diharapkan dapat
diminimalisir terjadinya pelanggaran atau kerugian konsitusional terhadap warga
negara. Pendidikan dan pelaihan yang diberikan oleh MK tersebut dilakukan secara
cuma-cuma dengan melibatkan juga kelompok masyarakat rentan, antara lain anakanak, perempuan, masyarakat hukum adat, dan berbagai organisasi kemasyarakatan
lainnya.
4.2. Putusan MK terkait Masyarakat Rentan
Pada bagian ini akan diuraikan beberapa contoh putusan pening (landmark decisions)
yang dikeluarkan oleh MK terkait dengan perlindungan hak-hak konsitusional bagi
masyarakat rentan yang terdiri dari kelompok anak-anak, perempuan, penyandang
disabilitas, buruh migran, dan masyarakat hukum adat.
4.2.1. Perlindungan Hak-Hak Anak
Pada tahun 2012, konsitusionalitas ketentuan dalam UU Perkawinan yang menyatakan
anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibu dan keluarga ibunya, diuji oleh pemohon bernama Aisyah Mochtar atau
lebih dikenal dengan nama Machica Mochtar. Dalam permohonannya, Machica
mendalilkan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan harus dinyatakan inkonsitusional
sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata antara anak dengan laki-laki
yang dapat dibukikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
buki lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Menjawab permasalahan tersebut, MK dalam Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010
menyatakan ketentuan a quo menjadi condiionally unconsituional.25 Arinya,
24
N. Garoupa & T. Ginsburg, 2013, Judicial Roles in Nonjudicial Funcions, Washington University Global
Studies Law Review, 12(4), 758.
25
132
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak idak semata-mata karena
adanya ikatan perkawinan, namun dapat juga didasarkan pada pembukian adanya
hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Terlepas dari
soal prosedur atau administrasi perkawinannya, MK menegaskan bahwa anak yang
dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Tujuan dari putusan a quo adalah
untuk menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak mendapatkan perlindungan
hukum. Menurut perimbangan MK, hukum harus memberi perlindungan dan
kepasian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hakhak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan
perkawinannya masih disengketakan.
4.2.2. Perlindungan Hak-Hak Perempuan
Pada awalnya, perjanjian perkawinan hanya dapat dilakukan sebelum perkawinan
dilaksanakan. Dalam perjalanannya, ketentuan tersebut ternyata menimbulkan
permasalahan, sebab bagi mereka yang idak memiliki perjanjian perkawinan
sebelumnya maka idak dapat membuat perjanjian tersebut di tengah perkawinan
berlangsung. Terlebih lagi apabila perkawinan tersebut dilakukan antara perempuan
WNI dan laki-laki WNA, sehingga menyebabkan perempuan WNI idak dapat memiliki
hak atas tanah dan bangunan.
Melalui Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015, 26 MK mengeluarkan solusi konsitusional
dengan memberikan perlindungan kepada perempuan yang bermaksud untuk
melakukan perjanjian perkawinan di tengah perkawinan berlangsung. Di dalam
perimbangan hukumnya, MK memberikan penafsiran konsitusional terhadap Pasal
29 UU Perkawinan bahwa perjanjian perkawinan harus dimaknai termasuk pula selama
dalam ikatan perkawinan. Putusan ini disambut baik oleh kelompok perempuan,
khususnya mereka yang memiliki status perkawinan campur dengan suami WNA.
Sebab, paska Putusan tersebut, mereka dapat membuat atau memperbaharui
perjanjian perkawinan untuk melindungi hak-hak konsitusionalnya, termasuk hak atas
properinya.
4.2.3. Perlindungan Hak-Hak Penyandang Disabilitas
Sebelum ada Putusan MK Nomor 135/PUU-XII/2015,27 ketentuan dalam Pasal 57 ayat
(3) huruf a UU Pemilu Kepala Daerah menimbulkan tafsir yang dapat menghilangkan
hak para penyandang disabilitas untuk didatar dalam datar pemilih, sehingga
secara idak langsung akan menghilangkan hak mereka untuk memilih (right to vote).
Namun dalam Putusan a quo, MK memberikan penafsiran bahwa orang yang sedang
mengalami gangguan jiwa/ingatan, masih memiliki hak untuk didatar dalam datar
pemilih sebagai caloh pemilih dalam pemilihan umum, sepanjang gangguan jiwa dan/
tentang Perkawinan bertanggal 17 Februari 2012.
26
Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
bertanggal 27 Oktober 2016.
27
Putusan MK Nomor 135/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Penggani Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupai, dan Walikota Menjadi
Undang-Undang, bertanggal 13 Oktober 2016.
133
atau gangguan ingatan tersebut idak permanen yang menurut profesional bidang
kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam
pemilihan umum.
MK berpendapat bahwa seiap jenis gangguan jiwa atau ingatan begitu beragam. Oleh
karena itu, penggunaan tanda garis miring (/) dalam frasa “gangguan jiwa/ingatan” yang
tercantum pada Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pemilihan Kepala Daerah merupakan
suatu kekeliruan, sebab akan menimbulkan akibat hukum yang sama terhadap suatu
kondisi yang berbeda. Selain itu, ketentuan tersebut mengatur pembatasan terhadap
seseorang untuk melakukan sesuatu berdasarkan suatu kondisi, yaitu gangguan jiwa
atau ingatan. Dengan demikian, seharusnya pasal a quo dilengkapi ketentuan yang
mengatur perihal mekanisme dalam menentukan apakah seseorang sedang atau idak
sedang terganggu jiwa atau ingatannya. Menurut MK, untuk menentukan hal tersebut
dibutuhkan suatu profesi khusus, yaitu spesialis kedokteran jiwa. Dengan keiadaan
mekanisme penentuan oleh profesi khusus tersebut, maka potensi untuk terjadinya
keidakadilan atau diskriminasi terhadap kelompok tertentu akan sangat besar.
4.2.4. Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran
Melalui Putusan Nomor 50/PUU-XI/2013,28 MK menyatakan ketentuan Pasal 59
UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri telah
menghalangi hak para buruh migran/TKI selaku pemohon untuk diperlakukan sama di
hadapan hukum serta melanggar hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, MK memutuskan bahwa ketentuan bagi
buruh migran/TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan yang telah berakhir
perjanjian kerjanya dan akan memperpanjang perjanjian kerja, namun mengharuskan
buruh migran/TKI tersebut pulang terlebih dahulu ke Indonesia, dinyatakan
inkonsitusional dan idak berlaku lagi.
Pemohon dalam pengujian norma a quo adalah iga buruh migran, yakni Arni Aryani
Suherlan Odo, Sii Masitoh, dan Ai Lasmini yang tergabung dalam Yayasan PRO TKI
yang merasa dirugikan dengan adanya ketentuan tersebut. Di dalam perimbangannya,
MK berpendapat bahwa ketentuan yang mengharuskan buruh migran/TKI pulang
terlebih dahulu ke Indonesia adalah ketentuan yang kontradikif. Hal ini dikarenakan
akan mempersulit buruh migran/TKI yang akan kembali bekerja pada majikan yang
sama atau seidaknya memperoleh kembali pekerjaan dengan kualitas yang sama.
Lebih lanjut, MK menjelaskan bahwa idak terdapat argumentasi yang kuat yang
menjadi dasar mengapa buruh migran/TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan
harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia saat perpanjangan perjanjian kerja tersebut
akan dilakukan.
4.2.5. Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat
MK mengabulkan untuk sebagian permohonan uji materiil Undang-Undang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) dan Undang-Undang Kehutanan
(UU Kehutanan) yang diajukan oleh sejumlah petani, perwakilan masyarakat adat, dan
organisasi lingkungan. Para Pemohon menguji beberapa ketentuan dalam UU P3H
28
Putusan MK Nomor 50/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri bertanggal 16 Oktober 2014.
134
dan UU Kehutanan yang dianggap merugikan hak konsitusionalnya.
Dalam Putusan Nomor 95/PUU-XII/2014,29 MK berpendapat bahwa masyarakat
yang hidup secara turun temurun di dalam hutan yang membutuhkan sandang,
pangan, dan papan untuk kebutuhan sehari-hari dengan menebang pohon dan dapat
dibukikan idak disalahgunakan untuk kepeningan pihak lain (komersial), idaklah
termasuk dalam larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e
UU Kehutanan, sehingga idak dapat dijatuhkan sanksi pidana terhadapnya. Sebab,
menurut MK, akan terjadi paradoks apabila di satu pihak diakui masyarakat yang
hidup secara turun temurun di dalam hutan dan membutuhkan hasil hutan, namun di
lain pihak masyarakat tersebut diancam dengan hukuman.
Sebaliknya, MK menegaskan, negara justru harus hadir memberikan perlindungan
terhadap masyarakat yang demikian. Berdasarkan perimbangan hukum tersebut, MK
menyatakan Pasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf i UU Kehutanan bertentangan dengan
UUD 1945 dan idak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang idak dimaknai
“dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan
dan idak ditujukan untuk kepeningan komersial.” Dengan kata lain, Pasal 50 ayat
(3) huruf e dan huruf i UU Kehutanan berlaku inkonsitusional bersyarat. Putusan
ini sangat disambut baik oleh berbagai kalangan, menyusul serangkaian Putusan MK
yang telah mengembalikan hak konsitusional masyarakat hukum adat.
4.3. Penguatan Akses terhadap Keadilan di MK
Meskipun kedudukan hukum (legal standing) yang diberikan kepada warga negara
sebagai pemohon di MK terbilang cukup luas, dan telah terdapat pula dukungan ICT
dalam penerapan e-Court guna mempercepat layanan dan keterbukaan informasi
peradilan, namun bukan berari akses terhadap keadilan di MK telah opimal.
Seidaknya terdapat dua hal yang menurut penulis dapat diperimbangkan agar akses
terhadap keadilan di MK menjadi semakin baik, yaitu penambahan kewenangan
consituional complaint dan penyediaan bantuan hukum secara probono.
4.3.1. Keiadaan Consituional Complaint
Consituional complaint atau “pengaduan konsitusional” adalah sarana pengaduan
kepada Mahkamah Konsitusi yang diajukan oleh warga negara yang merasa
hak fundamental atau hak konsitusionalnya dilanggar akibat adanya perlakuan
pemerintah, indakan dan keputusan organ negara, serta putusan pengadilan.30
Melalui mekanisme consituional complaint ini, hak-hak konsitusional warga negara
diharapkan dapat terlindungi secara maksimal akibat adanya abuse of power atau
kelalaian yang dilakukan oleh pejabat publik, baik eksekuif, legislaif maupun yudikaif.
Oleh karenanya, consituional complaint merupakan kewenangan yang sangat esensial
29
Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, bertanggal 10 Desember 2015.
30
V.F. Comella, 2004, The Consequences of Centralizing Consituional Review in a Special Court: Some
Thoughts on Judicial Acivism, Texas Law Review, 82(7), 1710.
135
bagi mahkamah konsitusi di berbagai negara dunia. Namun demikian, MK Indonesia
idak memiliki kewenangan consituional complaint tersebut.
MK Federal Jerman merupakan salah satu negara yang memiliki kewenangan
consituional complaint yang disebut dengan verfassungsbeschwerde. Dengan adanya
verfassungsbeschwerde ini, seiap orang yang menganggap hak-hak fundamentalnya
dilanggar oleh pejabat publik dapat mengajukan pengaduan ke MK Federal Jerman.
31
Berdasarkan Konsitusi Jeman, pengaduan konsitusional dapat diajukan oleh
siapapun yang merasa hak-hak dasarnya telah dilanggar oleh otoritas pejabat publik.
Konsep consituional complaint memiliki kaitan erat dengan prinsip konsitusionalisme,
karena merupakan salah satu jalan bagi individu warga negara untuk melindungi hakhak konsitusionalnya yang dilanggar oleh pemerintah atau organ negara lainnya.
Bentuk pelanggaran tersebut idak terbatas pada norma yang dirumuskan dalam
undang-undang seperi pada kewenangan pengujian undang-undang, namun lebih
luas hingga pada tahapan kebijakan, indakan, atau keputusan dari organ negara.
Prinsipnya, segala bentuk kerugian atau pelanggaran atas hak-hak konsitusional
warga negara dapat dilakukan proses ajudikasi melalui MK untuk memulihkan kerugian
hak konsitusional tersebut. Selain itu, consituional complaint juga dapat menjadi
sarana yang efekif dalam melakukan kontrol terhadap kekuasaan pejabat publik.
Tidak adanya kewenangan consituional complaint di MK Indonesia menjadi salah satu
hambatan untuk memberikan perlindungan hak-hak konsitusional bagi masyarakat.
Sebab, apabila ada pelanggaran hak konsitusional yang dilakukan oleh pejabat
publik, saat ini belum terdapat mekanisme yang efekif untuk menyelesaikannya.
Padahal diyakini terdapat banyak kasus yang dialami oleh warga negara, khususnya
masyarakat rentan, baik di ingkat pusat maupun daerah, akibat pejabat publik yang
lalai atau sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, sehingga berakibat pada
terlanggarnya hak-hak konsitusional masyarakat rentan.
Dengan adanya kewenangan consituional complaint ini, MK juga dapat memerintahkan
pejabat publik yang lalai atau sewenang-wenang tersebut untuk melakukan perbaikan
atau pemulihan terhadap hak konsitusional masyarakat yang terlanggar. Dengan
demikian, hak-hak konsitusional warga negara akan dapat lebih opimal terpenuhi
dan terlindungi.32
4.3.2. Penyediaan Bantuan Hukum secara Probono
Program bantuan hukum merupakan komponen dan strategi utama untuk
meningkatkan akses terhadap keadilan. Hal ini dapat dipahami dalam dua hal apabila
dikaitkan dengan keberadaan MK. Pertama, sifat putusan dalam pengujian undangundang yang dikabulkan di MK akan berlaku erga omnes. Arinya, daya ikat putusan idak
31
Lihat Aricle 93(1)(4b) of the Basic Law for the Federal Republic of Germany.
32
Pembahasan lebih lanjut mengenai pengaduan konsitusional (consituional complaint), lihat I.D.G.
Palguna, 2013, Pengaduan Konsitusional (Consituional Complaint): Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak
Konsitusional Warga Negara, Jakarta: Sinar Graika; P.M. Faiz, 2016, A Prospect and Challenges for Adoping
Consituional Complaint and Consituional Quesion in the Indonesian Consituional Court, Consituional
Review, 2(1), 103-128.
136
saja ditujukan kepada pemohon, namun juga seluruh warga negara, pejabat negara,
dan lembaga negara. Oleh karena implikasi dari putusan tersebut sangat luas, maka
perkara-perkara yang diajukan juga idak dapat dianggap sepele. Keseriusan dalam
penyusunan permohonan menjadi hal yang teramat pening, sehingga kebutuhan
adanya pendampingan atau konsultasi hukum dalam hal ini sangat diperlukan.
Kedua, idak semua orang paham mengenai prosedur beracara di MK yang memiliki
karakterisik berbeda dengan hukum acara pada peradilan umum. Selain itu, pemohon
juga perlu memahami mengenai syarat-syarat formal dan materiil dalam mengajukan
permohonan pengujian undang-undang di MK. Misalnya, apabila pemohon idak
dapat menguraikan secara jelas mengenai kedudukan hukumnya atau idak dapat
mengelaborasi kerugian konsitusional yang diderita, maka hal tersebut dapat
menyebabkan permohonan idak diterima atau ditolak.
Berdasarkan dua hal tersebut di atas, maka menjadi sebuah kebutuhan yang sebaiknya
dipenuhi dalam penyediaan layanan semacam pos bantuan hukum (posbakum)
di MK guna memberikan layanan hukum berupa informasi, konsultasi, dan nasihat
hukum, serta penyusunan dokumen-dokumen hukum yang diperlukan. Hal ini telah
dilakukan oleh Mahkamah Agung untuk mempermudah akses terhadap keadilan bagi
masyarakat.33 Penyediaan bantuan hukum ini sebenarnya secara tersirat juga telah
diamanahkan oleh UUD 1945. Dalam Putusan MK dikatakan bahwa bantuan hukum
merupakan salah satu hak konsitusional warga negara yang idak disebutkan secara
langsung di dalam konsitusi (implied rights).34 Selain itu, UU Bantuan Hukum juga
telah menyatakan bahwa negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan
hukum bagi masyarakat idak mampu sebagai perwujudan akses terhadap keadilan.35
Dengan demikian, posbakum di MK merupakan salah satu implementasi prinsip
negara hukum yang menjamin kebutuhan akses terhadap keadilan (access to jusice)
dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) bagi seluruh warga negara,
khususnya masyarakat rentan yang idak mampu. Namun demikian, pemberian
bantuan hukum ini perlu dipertegas terkait dengan hal-hal apa saja yang dapat dan
idak dapat diberikan oleh MK. Hal-hal seperi nasihat hukum secara substanif,
misalnya dalam hal penyusunan argumentasi permohonan, idak dapat diberikan oleh
MK. Untuk itu, perlu adanya kerjasama dengan pemberi layanan posbakum di luar
MK yang telah memenuhi kriteria dan syarat yang ketat. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya conlict of interest antara pihak yang berperkara dengan MK.
Dengan tersedianya posbakum ini, maka akses terhadap keadilan di MK bagi warga
negara, khususnya masyarakat rentan, akan dapat lebih terpenuhi. Terlebih lagi,
data mengenai pemohon yang berasal dari masyarakat rentan dan pemohon yang
mengajukan permohonan tanpa kuasa hukum di MK, sebagaimana diuraikan dalam
bagian sebelumnya, terbilang cukup banyak.
33
Lihat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum
bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.
34
Putusan MK Nomor 006/PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat bertanggal 13 Desember 2004.
35
Lihat Bagian Menimbang dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
137
5. KESIMPULAN
Untuk memberikan kemudahan akses terhadap keadilan, khususnya bagi masyarakat
rentan, MK menerapkan penyelenggaraan sistem peradilan elektronik yang terintegrasi
(intergrated e-Court system), termasuk menyediakan layanan informasi perkembangan
perkara dan putusan yang dapat diakses dengan mudah secara online oleh para pihak
dan masyarakat umum. Luasnya cakupan para pihak yang dapat menjadi pemohon
dalam pengujian undang-undang juga menjadi salah satu faktor utama dalam
membuka akses terhadap keadilan di MK. Pengajuan permohonan yang bebas biaya
dan idak adanya kewajiban bagi pemohon untuk didampingi kuasa hukum, menjadi
elemen pening dalam proses berperkara di MK yang telah dimanfaatkan secara baik
oleh para pencari keadilan.
Namun demikian, akses keadilan bagi masyarakat rentan dapat dikatakan belum
opimal karena MK idak memiliki kewenangan pengaduan konsitusional (consituional
complaint). Padahal, kewenangan ini justru menjadi hal yang sangat pening bagi MK
di negara lain dalam hal perlindungan hak-hak konsitusional warga negara. Sebab,
berbagai indakan, kebijakan, dan keputusan pejabat publik yang dinilai telah melanggar
hak-hak konsitusional warga negara, dapat diajukan untuk diperiksa dan diadili oleh
MK. Kemudian, tulisan ini juga telah memperlihatkan betapa banyaknya kelompok
masyarakat rentan yang mengajukan permohonan pengujian undang-undang di MK
dalam lima tahun terakhir, baik yang didampingi maupun idak didampingi oleh kuasa
hukum. Oleh karena itu, MK perlu memperimbangkan untuk mulai menyediakan
semacam pos bantuan hukum (posbakum) bagi masyarakat rentan dan idak mampu
yang memerlukan pendampingan serta nasihat hukum secara probono. Penyediaan
bantuan hukum ini dapat bekerjasama dengan lembaga penyedia bantuan hukum di
luar MK, sehingga dapat dihindari terjadinya conlict of interest antara para pihak yang
berpekara dengan MK.
138
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal, dan Arikel
Asshiddiqie, J. (2005). Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MKRI.
Cappellei, M. & Garth, B. (Eds.). (1978). Access to Jusice Vol. I: A world survey (Book
I). Milan: Giufrè-Sijthof.
_______. (1978). Access to Jusice: The Newest Wave in the Worldwide Movement to
Make Rights Efecive. Bufalo Law Review, 27(2), 181-292.
Comella, V.F. (2004). The Consequences of Centralizing Consituional Review in a
Special Court: Some Thoughts on Judicial Acivism. Texas Law Review, 82(7), 17031736.
Djohansjah, J. (2010, 3 Juli). Akses Menuju Keadilan (Access to Jusice), makalah
disampaikan pada Pelaihan HAM bagi Jejaring Komisi Yudisial, Bandung.
Faiz, P.M. (2016). A Prospect and Challenges for Adoping Consituional Complaint
and Consituional Quesion in the Indonesian Consituional Court. Consituional
Review Journal, 2(1), 103-128.
_______. (2009). Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konsitusi, 6(1), 135-149.
Garoupa, N. & Ginsburg, T. (2013). Judicial Roles in Nonjudicial Funcions. Washington
University Global Studies Law Review, 12(4), 755-782.
Genugten, W.J.M. van (Ed.). (1994). Human Rights Reference. The Hague: Netherlands
Ministry of Foreign Afairs.
Heimanson, R. (1967). Dicionary of Poliical Science and Law. Massachusets: Dobbs
Fery Oceana Publicaion.
Kelompok Kerja Akses Terhadap keadilan. (2009). Strategi Nasional Akses Terhadap
Keadilan. Jakarta: BAPPENAS Derektorat Hukum dan HAM.
Kelsen, H. (1961). General Theory of Law and State. New York: Russell & Russell.
Lask, E., Radbruch, G. & Dabin, J. (1950). The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and
Dabin. New York: Harvard University Press.
Nasuion, B.J. (2015). Hukum dan Keadilan. Bandung: Mandar Maju.
Palguna, I.D.G. (2013). Pengaduan Konsitusional (Consituional Complaint): Upaya
Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konsitusional Warga Negara. Jakarta: Sinar
Graika.
Siegart, P. (1986). The Lawfull Right of Mankind an Introducion to the Internaional Legal
Code of Human Right. New York: Oxford University Press.
Suseno, F.M. (2003). Eika Poliik. Jakarta: Gramedia.
Tim Penulis. (2010). Hukum Acara Mahkamah Konsitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal
139
dan Kepaniteraan MKRI.
Peraturan Perundang-Undangan
Basic Law for the Federal Republic of Germany.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan
Permohonan Elektronik (electronic iling) dan Pemeriksanaan Persidangan Jarak Jauh
(video conference).
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian
Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.
Putusan Pengadilan
Putusan MK Nomor 006/PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat bertanggal 13 Desember 2004.
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan bertanggal 17 Februari 2012.
Putusan MK Nomor 50/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri bertanggal 16 Oktober 2014.
Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bertanggal 10 Desember 2015.
Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertanggal 27 Oktober 2016.
Putusan MK Nomor 135/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penggani Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupai, dan Walikota Menjadi UndangUndang, bertanggal 13 Oktober 2016.
140