Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Skip to main content
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Tulisan ini bertumpu pada kajian tesis doktoral "Perjalanan Panjang" ASEAN dari G.B. Arundhati. Pada studi tersebut Arundhati menerapkan pendekatan indikatif untuk menyatakan telah terjadi transformasi ASEAN menuju rule-basedorganization... more
Tulisan ini bertumpu pada kajian tesis doktoral "Perjalanan Panjang" ASEAN dari G.B. Arundhati. Pada studi tersebut Arundhati menerapkan pendekatan indikatif untuk menyatakan telah terjadi transformasi ASEAN menuju rule-basedorganization yang people oriented. Studi ini menggunakan perspektif Arundhati pada African Union dalam upayanya melakukan demokratisasi kawasan. African Union dipilih karena kesamaan historis sebagai mantan bangsa terjajah yang berisikan banyak pemerintah otoriter. Maka terdapat dua aspek yang ditonjolkan. Pertama, tentang pergeseran atas primasi kedaulatan dimana African Union memperkenalkan prinsip non-indifference. Kedua, tentang representasi yang diperlihatkan lewat parlemen regional dan organisasi yang menghubungkan kelompok sipil pada tubuh African Union. Masing-masing terhubung lewat semangat mewujudkan solidaritas rakyat Afrika. Jadi meskipun terdapat kesamaan latar dengan ASEAN, Afrika menempuh jalan yang berbeda dalam pelembagaan organisasi regionalnya.
The fall of the New Order authoritarian regime in Indonesia was marked by the changing landscape of conflict resolution. In a more democratic setting, "Reformasi" regime has installed democratic institutions including the formation of the... more
The fall of the New Order authoritarian regime in Indonesia was marked by the changing landscape of conflict resolution. In a more democratic setting, "Reformasi" regime has installed democratic institutions including the formation of the Constitutional Court. While the newly established court was celebrated as relatively successful in terms of defending human rights, its role in resolving the abused past is questionable. The new Reformasi regime inherits wounds and scars from the abuse committed by the previous iron fist regime. This paper aims to analyze the Constitutional Court's roles as a conflict-resolution body in dealing with the past gross violation of human rights in the light of Indonesian transitional justice. In that regards, this paper assesses the Court's decisions and how far it could answer the victims' call for justice. This paper found that regardless of the Court's intentions, the court's decisions still require further executive or legislative policies. The nature of the court doesn't bring instant enjoyment for the "winning" party to be benefited from the decisions. In short, the importance for the victims of past abuse of power as stated in the Court's
NB: Tulisan ini senyatanya diterbitkan tahun 2022 tapi dinomori dengan terbitan tahun 2021 oleh Pengelola Jurnal. Bagaimana suatu bangsa menghadapi masa lalu adalah salah satu permasalahan pelik dalam studi keadilan transisional, tak... more
NB: Tulisan ini senyatanya diterbitkan tahun 2022 tapi dinomori dengan terbitan tahun 2021 oleh Pengelola Jurnal.

Bagaimana suatu bangsa menghadapi masa lalu adalah salah satu permasalahan pelik dalam studi keadilan transisional, tak terkecuali di Indonesia. Terdapat dua mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia: yudisial melalui Pengadilan HAM ad hoc dalam UU 26/2000, dan non-yudisial melalui KKR yang diatur dalam UU 27/2004. Namun dibatalkannya UU 27/2004 oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006 membuat wacana rekonsiliasi mengambang dalam status quo. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, tulisan ini membahas tawaran empat model rekonsiliasi dengan berangkat dari kaidah yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi, dinamika pengaturan KKR di Indonesia, dan pengalaman pembanding di Chile dan Afrika Selatan. Dari tiga titik ancang itu, tulisan ini menawarkan empat model rekonsiliasi: kebijakan hukum dengan adanya amnesti, kebijakan hukum tanpa ketentuan amnesti, kebijakan politik, dan model alternatif melalui pembentukan Komisi Kebenaran/Komisi Reparasi. Sebagai simpulan, tulisan ini mengusulkan model Komisi Kebenaran/Komisi Reparasi sebagai tindakan pendahuluan untuk memberikan reparasi kepada korban.
Dalam konteks kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Indonesia, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.... more
Dalam konteks kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Indonesia, Komisi
Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. Masing-masing lembaga tersebut memiliki tugas, fungsi, dan kewenangan tersendiri, di sisi lain terdapat peran saling mengimbangi di antara ketiganya. Tulisan ini hendak memotret pertautan antara etika dan hukum yang terkandung dalam Putusan DKPP. Meskipun pandangan umum biasanya memisahkan antara yang legal dengan yang etis, namun penulis hendak mengajukan pendapat sebaliknya. Bahwa berdasarkan pengalaman desain kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Indonesia, terdapat kaitan yang kuat antara keduanya, yaitu bahwa yang etis mempengaruhi yang legal. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis menggunakan pendekatan hukum doktrinal yaitu dengan melacak Putusan-Putusan DKPP yang memberikan pemaknaan terhadap regulasi yang diterbitkan oleh KPU dan Bawaslu. Hasil koleksi tersebut kemudian dipilah lebih jauh untuk menemukan pola dan kaidah etis terhadap regulasi. Studi ini menemukan bahwa terdapat irisan antara Putusan DKPP (etis) dan regulasi yang diterbitkan oleh KPU dan Bawaslu (hukum) berdasarkan pada dua hal. Pertama, pola yang terdapat dalam Putusan DKPP, baik yang
merekomendasikan perbaikan regulasi, maupun yang merupakan pemaknaan etis terhadap bagaimana regulasi seharusnya diimplementasikan. Kedua, sekaligus masih berhubungan dengan yang pertama, bahwa pertimbanganpertimbangan yang termaktub dalam Putusan DKPP seharusnya turut digunakan sebagai pedoman implementasi regulasi oleh para penyelenggara pemilu.
This paper explores the history and interpretation of Article 28J paragraph 2 UUD 1945. This paper argues that there are loopholes in human rights regulation within the Constitution in regards with the non-existent of "limitation against... more
This paper explores the history and interpretation of Article 28J paragraph 2 UUD 1945. This paper argues that there are loopholes in human rights regulation within the Constitution in regards with the non-existent of "limitation against limitation". In worst scenario, the partial adoption of human rights principles in UUD 1945 could paved a way for the authoritarian turn under the banner of democracy. This paper analyzed the "limitation against limitation" clause in the history of Indonesia Constitutions, the intrepretations of Constitutional Court to the Article 28J paragraph 2 UUD 1945, and comparison of the authoritarian regimes related to legal loophole in Constitution
Tulisan ini membahas mengenai tiga preseden hukum di Ekuador, Selandia Baru, dan India dalam hal penyematan subyek hukum kepada alam. Ekuador memberikan hak-hak tertentu untuk alam yang dicantumkan dalam amandemen konstitusi tahun 2008,... more
Tulisan ini membahas mengenai tiga preseden hukum di Ekuador, Selandia Baru, dan India dalam hal penyematan subyek hukum kepada alam. Ekuador memberikan hak-hak tertentu untuk alam yang dicantumkan dalam amandemen konstitusi tahun 2008, Sungai Whanganui di Selandia Baru menjadi subyek hukum melalui proses legislasi, dan dua putusan di HC Uttarakhand India yang memutuskan Sungai Gangga, Sungai Yamuna, beserta seluruh atributnya dari hulu hingga hilir sebagai subyek hukum. Tiga perkembangan alam sebagai subyek hukum tersebut bisa dibilang merupakan perkembangan penting dalam studi mengenai "legal person" setelah perempuan dan korporasi yang terjadi beberapa dekade belakangan. Tulisan ini berisikan deskripsi atas preseden yang terjadi di tiga negara diatas beserta dengan eksplorasi atas kelemahan-kelemahan yang mungkin timbul dengan menyematkan alam sebagai subyek hukum.
Tulisan ini bertujuan untuk membahas bagaimana jaminan kesetaraan dalam hukum mengacu kepada konsep politik rekognisi dari Axel Honneth. Untuk memenuhi tujuan itu, penulis melakukan studi pustaka terhadap beragam literatur, dengan mengacu... more
Tulisan ini bertujuan untuk membahas bagaimana jaminan kesetaraan dalam hukum mengacu kepada konsep politik rekognisi dari Axel Honneth. Untuk memenuhi tujuan itu, penulis melakukan studi pustaka terhadap beragam literatur, dengan mengacu pada literatur yang mengupas teori rekognisi sebagai pijakan konsep, dan karya tesis sebagai pijakan analisis persoalan yang dibedah. Berdasarkan teori Honneth, politik rekognisi memiliki tiga ranah yang berbeda namun saling berkaitan: cinta, hukum/ hak, dan solidaritas yang masing-masing memiliki konturnya sendiri beserta jenis ancaman yang berbeda pula. Tulisan ini menemukan bahwa jaminan secara hukum saja tidak akan pernah mencukupi karena jaminan tersebut terjalin dengan politik rekognisi pada ranah lain. Temuan inilah yang penulis sebut sebagai misrekognisi. Kesimpulannya, relevansi politik rekognisi Axel Honnet adalah menempatkan dirinya dalam sudut yang berseberangan, yang akhir-akhir ini sering dilebeli dengan kata: asing dan aseng, sesat, menyimpang, haram, kafir, antek, pengkhianat negara, dan lain sebagainya.
Heretofore in Indonesia, cases of gross violation of human rights have faced an indefinite stagnation of justice. Although the Indonesian government has ratified international human rights conventions and enacted its own system of human... more
Heretofore in Indonesia, cases of gross violation of human rights have faced an indefinite stagnation of justice. Although the Indonesian government has ratified international human rights conventions and enacted its own system of human rights law, such laws have proven unable to fulfill the restoration of justice toward these victims in two particular aspects: convictions against the perpetrators and reparations for the victims. This article focuses on fulfilling the rights of women victims of past gross human rights violations. It will be based on normative legal research by which the existing laws are critically analyzed in order to expose the legal gaps which might have contributed to the inability of these laws to restore justice and the victims' well-being. Furthermore, the article stresses an urgency upon the enactment of the Sexual Violence Eradication Bill. It contends that the Sexual Violence Eradication Bill is an essential first step for the fulfillment of women victims' rights, inasmuch as the bill includes an exhaustive mechanism of penal provisions against sexual crimes under various circumstances, including as part of gross human rights violations.
Tahap moralitas Lawrence Kohlberg dan penggunaanya dalam Hukum Progresif sebagaimana diungkapkan oleh Bernard L. Tanya perlu untuk dieksplorasi lebih dalam. Penggunaan tahapan moral tersebut melupakan satu pertanyaan besar bahwa suara... more
Tahap moralitas Lawrence Kohlberg dan penggunaanya dalam Hukum Progresif sebagaimana diungkapkan oleh Bernard L. Tanya perlu untuk dieksplorasi lebih dalam. Penggunaan tahapan moral tersebut melupakan satu pertanyaan besar bahwa suara perempuan dalam tatanan moral Kohlberg akan kesulitan dalam mencapai fase ketiga, yaitu fase awal dalam tingkat kedua moral konvensional. Tatanan moralitas yang hierarkis tersebut dapat digunakan dalam tatanan moralitas hukum beresiko membuat hukum sedari awal telah bersifat hierarkis, yaitu maskulin. Rekonstruksi pola berpikir mengenai tatanan moralitas hukum yang timpang tersebut kemudian mutlak diperlukan. Paper ini mengeksplorasi lebih jauh perdebatan moralitas Kohlberg untuk kemudian mengelaborasikanya dengan kebutuhan empiris suara perempuan dalam penegakan hukum.
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
The book “On Human Rights and Democracy: State, Violation and Social Structure Injustice” is the first book that compiled students’ paper in the topic of human rights and democracy published by the Department of Politics and Government,... more
The book “On Human Rights and Democracy: State, Violation and Social Structure Injustice” is the first book that compiled students’ paper in the topic of human rights and democracy published by the Department of Politics and Government, Faculty of Social and Political Science, Universitas Gadjah Mada (UGM), Indonesia. Since 2010, the Department has been part of the joint collaboration in delivering Master Degree Program on Human Rights and Democracy with the Institute of Human Rights and Peace Studies (IHRP), Mahidol University, Thailand (serve as the main hub since 2016) and some other universities in Asia Pacific (Ateneo University, the Philippine; Kathmandu School of Law, Nepal; and Colombo University, Srilanka). This collaboration has been giving scholarships to human rights and democracy activists in Asia Pacific, as part of the efforts to strengthen human rights protection and democratization in the region.
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Di tengah masa sulit pandemi, dunia maya telah bertransformasi menjadi rimba pertemuan virtual. Pada satu sisi, pertemuan virtual itu memudahkan diseminasi informasi. Pada sisi lain, ruang virtual menjadi ruang diskusi yang seringnya... more
Di tengah masa sulit pandemi, dunia maya telah bertransformasi menjadi rimba pertemuan virtual. Pada satu sisi, pertemuan virtual itu memudahkan diseminasi informasi. Pada sisi lain, ruang virtual menjadi ruang diskusi yang seringnya serba serius. Kadang malah kelewat serius. Barangkali, di tengah kejengahan itulah "Simposium One Piece” ini digelar. Niatan awalnya, acara ini dirancang untuk jadi semacam “oase” di tengah belantara kopdar daring yang melulu serius tadi. Sekaligus, tentu saja, untuk mengobati rindu dalam penantian terbitnya tiap chapter petualangan Luffy.
Kumpulan tulisan dari periode pertama diskusi payung.
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Tulisan ini sekedar pengantar cum provokasi untuk melihat bagaimana studi mengenai ingatan dapat dilancarkan dan beberapa contoh penelitian tentangnya.
Apakah betul yang dinamakan sebagai "hukum progresif" itu ada? Bila ada, lantas bagaimana justifikasi sebagai sesuatu yang dikatakan sebagai "progresif" itu dapat dilakukan?
Research Interests:
Peristiwa 1965 adalah sebuah penanda, tentang berakhirnya jargon-jargon revolusi dan dimulainya era pembangunan. Akan tetapi proyek raksasa yang disebut sebagai pembangunan itu terlalu mahal harganya; pencekalan atas kebebasan... more
Peristiwa 1965 adalah sebuah penanda, tentang berakhirnya jargon-jargon revolusi dan dimulainya era pembangunan. Akan tetapi proyek raksasa yang disebut sebagai pembangunan itu terlalu mahal harganya; pencekalan atas kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, teror, pembunuhan, dan yang paling mengerikan adalah legitimasinya atas pembantaian 3.000.000 orang di tahun 1965-68 yang disertai dengan pemenjaraan terhadap 1.500.000 orang lainya. Jumlah tersebut belum termasuk keluarga yang ditinggalkan, perkosaan massal, kerja paksa, dan lain sebagainya, yang merubah seluruh tatanan politik Indonesia pada masa itu. Peristiwa 1965 dengan demikian, adalah titik pijak legitimasi atas berdirinya rezim represif otoritarian selama 32 tahun lamanya.

Tulisan ini hendak memberikan refleksi atas kejadian 1965 dan sumbangsihnya dalam pemikiran hukum. Apakah hukum itu dan untuk siapa dia ada? Satjipto sempat menyatakan bahwa hukum untuk manusia, tapi masalahnya, manusia macam apa? Konsekuensinya, berkaca dari peristiwa 1965, terdapat dua golongan: mereka yang memiliki hak untuk memiliki hak, dan mereka yang tidak memiliki hak untuk memiliki hak. Pada titik inilah tragedi 1965 menjadi tidak mungkin dilewatkan untuk masa depan hukum Indonesia, bahwa tidak mungkin membangun Hukum Indonesia dengan melupakan nyawa jutaan orang yang bisa dan boleh dihilangkan atas nama kebenaran rezim. Apa yang dipertaruhkan bukan hanya tseks yang berisi aturan, melainkan wajah dengan segala kisahnya.
Research Interests:
1965 Indonesia was turning point for Indonesian political life. The event in Lubang Buaya still remain as a mystery and in certain degree, somehow become a detective story, however, another three million people -citing Sarwo Edhie (Kammen... more
1965 Indonesia was turning point for Indonesian political life. The event in Lubang Buaya still remain as a mystery and in certain degree, somehow become a detective story, however, another three million people -citing Sarwo Edhie (Kammen & McGregor, 2012:9)- was successfully killed, and another one million suffered and later on stigmatized as political prisoner, all in one packaged with the discriminatory act toward their families. Even after the post of  Harto regime, the remaining of the ex-political prisoners, and their families still get threatened by the right wing militia or sometime by the state actor itself. This paper will focussing on how the state creating the status of “limbo”  toward their social stigma as “leftist” or communists and how it affecting their forms-of-life. The limbo itself is the situation of uncertainties, the situation which fully dependent on the decision of the what so called “authority”. This situation provide a distinction of one belonging on the community, and to put some emphasize, within this moment of undecidable, the meaning of “life” could be totally different.
Research Interests:
Apa yang tersisa dari peneguhan kedaulatan? Dua pertemuan sebelumnya telah membahas mengenai kerangka berpikir konseptual tentang penjaminan hak asasi manusia oleh kedaulatan negara beserta beberapa studi kasusnya. Namun demikian, setelah... more
Apa yang tersisa dari peneguhan kedaulatan? Dua pertemuan sebelumnya telah membahas mengenai kerangka berpikir konseptual tentang penjaminan hak asasi manusia oleh kedaulatan negara beserta beberapa studi kasusnya. Namun demikian, setelah mengetahui bagaimana cara kerja kedaulatan beserta konsekuensi dari penjaminan-perampasan hak tersebut, apa yang kiranya tersisa dari peneguhan kedaulatan? Dari wajah-wajah yang anonim yang tak lagi bernama dan bisu karena hidupnya telah direduksi menjadi tubuh telanjang, jejak apa yang masih tersisa? Apabila atas nama penjagaan hak negara dalam keadaan darurat-yang dapat diaktifkan sewaktu-waktu-, atas nama stabilitas dan ketertiban boleh merampas hak, maka paper ini berusaha menunjukkan, bahwa dihadapan keadaan yang tak-terputuskan tersebut, manusia secara etis dihadapan wajah yang-lain mengembalikan hak. Membalik gambaran deskriptif Agamben tentang kedaulatan menjadi satu teori tentang tindakan.
Research Interests:
Research Interests:
Kenapa… Kenapa kita memerlukan analisa sosial? Apa gunanya repot-repot turun ke lapangan selama beberapa hari atau bahkan bulan untuk kemudian merumuskanya dalam sejumput kertas, lantas melakukan evaluasi dan re-evaluasi atas analisa... more
Kenapa… Kenapa kita memerlukan analisa sosial? Apa gunanya repot-repot turun ke lapangan selama beberapa hari atau bahkan bulan untuk kemudian merumuskanya dalam sejumput kertas, lantas melakukan evaluasi dan re-evaluasi atas analisa tersebut. Belum lagi bila dinilai analisa itu kurang akurat, lantas kemudian harus kembali mengulang melakukan analisa lagi. Sampai disini, lalu bersama-sama merumuskan satu rumusan preskriptif tentang apa yang hendak dilakukan secara kolektif. Kerja tersebut berkesan sangat bertele-tele dan merepotkan, akan tetapi, sesungguhnya melalui kerja semacam itulah, sesungguhnya, yang membedakan antara apa yang disebut sebagai mahasiswa dengan orang-orang yang hanya membawa badan tanpa kepala. Memisahkan antara aksi nyata dengan mitos basi. Analisa sosial menjadi pembeda terutama pada poin aktualisasi nilai akademis dunia kampus pada kehidupan nyata yang kerapkali dipenuhi ketidakadilan, dan terkadang, sangat memilukan. Pertanyaanya justru disini, bagaimana kita mengetahui suatu hal dalam relasi tertentu itu tidak adil? Atau bagaimana kita dapat merasakan bahwa suatu golongan dikatakan menderita karena suatu sebab tertentu? Inilah urgensi dari analisa sosial, untuk menyingkap ketidaktahuan dan sebagai gambaran awal perumusan aksi selanjutnya.
Research Interests:
"I love you because I need you, or I need you because I love you" "I love because I am loved, or I am loved because I love" Aku mencintaimu karena membutuhkanmu, atau aku membutuhkanmu karena mencintaimu. Keduanya adalah frasa kalimat... more
"I love you because I need you, or I need you because I love you" "I love because I am loved, or I am loved because I love" Aku mencintaimu karena membutuhkanmu, atau aku membutuhkanmu karena mencintaimu. Keduanya adalah frasa kalimat yang membedakan mature love dan immature love. Bagaimana kita dapat mengetahui perbedaan antar keduanya ? pertanyaan tersebut akan dijelaskan dari perspektif Erich Fromm, melalui karyanya; The Art of Loving. Fromm adalah seorang psikolog-marxist, bersama Adorno, Horkheimer, Marcuse maupun Benjamin sempat menjadi generasi pertama institut sosial Frankurt, atau yang lebih dikenal sebagai Madzhab Frankurt.
Research Interests:
Paper simposium tentang "Fanatisme" di UKWM Surabaya
Research Interests:
Tan Malaka dan kemerdekaan.
Research Interests:
Perdebatan mengenai perihal keagamaan telah lama menjadi masalah yang lebih tua usianya dibandingkan republik ini sendiri. Penentuan dasar negara dalam rapat BPUPKI, awal mula Pancasila, diwarnai dengan perdebatan mengenai ketentuan 7... more
Perdebatan mengenai perihal keagamaan telah lama menjadi masalah yang lebih tua usianya dibandingkan republik ini sendiri. Penentuan dasar negara dalam rapat BPUPKI, awal mula Pancasila, diwarnai dengan perdebatan mengenai ketentuan 7 kata, antara Soekarno, Hatta, dkk dengan perwakilan Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo maupun Wahid Hasyim, yang berakhir dengan dihapuskanya ketentuan 7 kata melalui lobi Hatta kepada Hadikusumo. Kemudian pada saat jatuhnya rezim otoritarian Soeharto, amandemen konstitusi dilakukan dengan berhati-hati, yang bertujuan agar tidak membawa serta isu agama masuk dalam perubahan amandemen. Dikhawatirkan, apabila isu agama masuk, maka akan mengulang perdebatan awal pada tahun 1945. 2 Apa yang diungkapkan disini mempengaruhi bagaimana pengaturan hukum positif tentangnya, yang akan dibahas dalam bagian lain tulisan ini. Pengaturan Agama Oleh Negara Sebelum melangkah lebih jauh, pertama-tama yang harus dijelaskan lebih dahulu adalah; apakah hak beragama/berkeyakinan itu perlu untuk diatur secara khusus dalam konstitusi? Bukankah hak religiusitas itu sesungguhnya telah termaktub dalam hak berekspresi yang sifatnya lebih luas? Jawabanya bisa bersifat pragmatis dibandingkan dengan pertimbangan filosofis. Betul bahwa hak ekspresi individual adalah satu hal, namun pada kenyataanya, dalam hal religiusitas, seseorang dapat menempatkanya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hak yang lain. Hal ini berkaitan pula dengan dua wajah dari agama. Pada satu sisi agama diyakini mempromosikan perdamaian dan cinta kasih, namun sebagai sesuatu yang paling benar bagi para penganutnya, agama sekaligus pula membawa pula misi pencerahan pada yang lain, untuk menyelamatkan jiwa dari yang oleh para penganutnya dianggap sesat dan dirundungi gelap. 3 Darisini dapat dilihat, bahwa dalam pola umum yang terjadi, agama juga memiliki potensi kekerasan, sebagaimana pula ideologi maupun negara itu sendiri, dalam konteks mempertahankan kebenaran bagi penganutnya. Konflik yang muncul, menurut Cross, pertama-tama adalah antara satu keyakinan yang dominan terhadap yang lain, dan pola lain, dimana non-religius otokrats terhadap golongan religius. 4 Selain itu, pengaturan mengenai kebebasan atas religiositas dapat pula dipahami sebagai perlindungan kepada golongan non-agama dari ekspansi tuntutan agama yang dominan. 5 Pencantuman atas hak
Research Interests:
Bagaimana hukum sebagai sistem yang tertutup sekaligus terbuka, dimana harapan normatif berhadapan dengan realitas.
Research Interests:
Pembacaan yang berbeda dari Attamini maupun Jimly mengenai posisi Pancasila sebagai nilai dasar, juga menunjukkan bagaimana  teori Kelsen tidak memadai dalam Tata Hukum Indonesia.
Research Interests:
Timbul-Tenggelam Perspektif Perempuan dalam Ilmu Hukum dan Pendidikan Tinggi Ilmu Hukum, Serta Beberapa Pengalamanya di Indonesia Khususnya Kota Semarang.
Research Interests:
Bahwa nasionalisme-radikalisme pada dasarnya memiliki kesamaan lebih banyak dari yang diduga.
Research Interests:
Kedaulatan negara dan Jaminan atas Hak Asasi Manusia
Research Interests:
Kewajiban negara memberikan Jaminan Hak dan merampas hak atas nama penjaminan hak tersebut.
Research Interests:
Bagaimana Kartini menawar patriarki jawa, yang sekaligus menawar peran gender/seks yang seolah terberi
Research Interests:
Senyap, Joshua Oppenheimer, Hannah Arendt, Tindakan Otentik, Adi Rukun, PKI 1965
Research Interests:
Dansa Anwar Congo sembari melilitkan kawat kematian di leher korbanya seolah mengejutkan sisi kemanusiaan kita. Namun Paper ini justru menggunakan cara berpikir sebaliknya, yaitu menggunakan Anwar Congo sebagai cermin untuk melihat... more
Dansa Anwar Congo sembari melilitkan kawat kematian di leher korbanya seolah mengejutkan sisi kemanusiaan kita. Namun Paper ini justru menggunakan cara berpikir sebaliknya, yaitu menggunakan Anwar Congo sebagai cermin untuk melihat kemanusiaan yang tersisa dari diri kita sendiri.
Research Interests:
Perempuan dan Teori Hukum Feminis
Research Interests:
Undang-Undang Pornografi hadir dengan masalah baru. Rumusan pornografi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo adalah ambigu. Terhadap problem pornografi ini status teorisasi Hukum Progresif berhadapan dengan titik uji.
Research Interests:
dominasi tidak melulu berlangsung secara kasat mata (fisik) namun dominasi berlangsung pula pada ranah-ranah simbolik (posisi seks, mitos, ritual, dll). DIsini melalui Dominasi Maskulin karya Bourdieu dominasi yang sedemikian halus akan... more
dominasi tidak melulu berlangsung secara kasat mata (fisik) namun dominasi berlangsung pula pada ranah-ranah simbolik (posisi seks, mitos, ritual, dll). DIsini melalui Dominasi Maskulin karya Bourdieu dominasi yang sedemikian halus akan dicoba untuk mulai dipertanyakan sekaligus dipersoalkan.
Research Interests:
Bagaimana kedudukan universitas sebagai satu tempat pencarian ilmu dalam perspektif eksistensialis? Karl jaspers disini menerangkan bahwa universitas adalah tempat dimana eksistenz paling berpotensi untuk menemukan dirinya, melalui... more
Bagaimana kedudukan universitas sebagai satu tempat pencarian ilmu dalam perspektif eksistensialis? Karl jaspers disini menerangkan bahwa universitas adalah tempat dimana eksistenz paling berpotensi untuk menemukan dirinya, melalui pencarian atas kebenaran....dan juga refleksi atasnya
Research Interests:
Book Review, "Buku Menggugat Manusia dalam Konstitusi, Kajian Filsafat atas UUD 1945 Pasca-Amandemen" Penulis Daniel Zuchron.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan hidup pada mantan tahanan politik 1965. Pada masa itu, terjadi kekacauan politik antar fraksi militer yang berujung pada jatuhnya Presiden Soekarno, pembunuhan setidaknya ratusan ribu... more
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan hidup pada mantan tahanan politik 1965. Pada masa itu, terjadi kekacauan politik antar fraksi militer yang berujung pada jatuhnya Presiden Soekarno, pembunuhan setidaknya ratusan ribu orang, dan penahanan paksa terhadap lebih dari satu juta lainya. Setelah itu, selama Orde Baru di bawah Soeharto, melalui tuduhan sebagai seorang pemberontak, memberlakukan diskriminasi terhadap mantan tahanan politik maupun keluarganya.

Makna Hidup, adalah alasan, suatu kenapa dalam menjalani hidup yang penuh. Makna Hidup berkaitan dengan kebebasan, dimana dalam suatu pemaknaan, kebebasan sudah diandaikan berada bersamanya. Suatu
pemaknaan juga mengandung intensi, atau keterarahan akan makna, yaitu bagaimana suatu makna tersebut diarahkan, yang dalam hal ini menunjukan keterikatan antara diri dengan yang-lain. Metode dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, melalui wawancara mendalam yang dilakukan kepada tiga subyek laki-laki berusia diatas 75 tahun yang pernah ditahan dengan tuduhan keterlibatan politik tahun 1965. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa bahkan setelah melalui ketidakadilan pada masa lalunya, pemaknaan hidup dari kontemplasi perjalanan hidup para subyek sebagai suatu yang bersifat personal
dan mengarah pada yang-lain, tetaplah mungkin, tentu dengan corak yang unik pada masing-masing subyek.
Research Interests: