Researcher in Social Sciences and Humanities focusing on Quranic Studies, Religious and Political Studies, and Gender Studies Phone: +628562764926 Address: Jl. Merdeka Selatan 03 Soka, Salatiga, 50714 Jawa Tengah, Indonesia
Tulisan ini bertujuan untuk merefleksi dan mengelaborasi gerakan moderasi Islam di Indonesia yang... more Tulisan ini bertujuan untuk merefleksi dan mengelaborasi gerakan moderasi Islam di Indonesia yang dapat diperankan oleh organisasi Muhammadiyah. Perspektif ini menekankan pada konteks pendidikan sebagai model gerakan moderasi Islam yang cukup penting dalam menyukseskan agenda moderasi. Pendidikan diklaim sebagai wadah paling strategis dalam membentuk watak dan kepribadian masyarakat sebagaimana dimaksudkan dalam gerakan moderasi. Lebih dari itu, gerakan moderasi juga lebih dekat dengan gerakan preventifadvokatif-edukatif, ketimbang gerakan yang bersifat kuratif-pasif-reaktif. Oleh karena itu, tulisan ini ingin kembali menegaskan bahwa gerakan moderasi Islam melalui pendidikan merupakan jalur stategis dalam rangka mewujudkan masyarakat moderat dan berkemajuan. Peran pendidikan dalam rangka moderasi Islam tidak dapat diabaikan karena, tidak hanya akan menyebabkan dunia pendidikan dikuasai oleh gerakan ekstremis-radikalis, tetapi juga akan menyebabkan upaya moderasi Islam mengalami stagnasi dan status quo. Muhammadiyah sebagai organisasi yang memiliki lembaga pendidikan cukup banyak di Indonesia diharapkan mampu memainkan peranannya dalam rangka menggerakkan moderasi Islam di jalur pendidikan.
This paper aims to examine Ahmad Syafii Maarif's inclusive thought and reveal the epistemological... more This paper aims to examine Ahmad Syafii Maarif's inclusive thought and reveal the epistemological basis of interpreting the Qur'an. It further explores to what extent Maarif's thought has contributed to the development of contemporary Quranic studies. Although Maarif is not an expert of Quranic commentator (mufassir) and does not author works related to the Qur'an, he is well-known as an inclusive-pluralist Muslim scholar who is concerned with promoting the moral-ethical values of the Qur'an. In formulating the ideas of the Quranic epistemology, Maarif consistently embarks from an in-depth exploration of historical knowledge and then refers to the Qur'an to examine a contemporary reality. This approach was connected by forming the world-view of the Qur'an in order to propose the spirit of moral ethics and the principle of justice as a theological lens which he then use to generate creative-alternative solutions dealing with the nation's problems through a process of contextualization. Maarif's Quranic epistemology affirms his project to achieve an idealistic Islam, namely the realization of a Muslim community that is consistently guided by the spirit of the moral ethics of the Qur'an.
This paper aims to provide a perspective of sociology of the Qur’an in the development of religio... more This paper aims to provide a perspective of sociology of the Qur’an in the development of religious harmony. This thought was motivated by a phenomenon in which Islam appears with a hardened face. The syndrome of Islamic populism shows an Islamic conservative turn and tend to prioritize formal and normative values in practise. This model is wholly vulnerable causing conflicts both intra and interreligions. Its exclusive, binary, and aggressive style makes Islam inhospitable to the plurality of groups, religions and cultures. This model of Islam needs to be returned to its face which is inclusive, ecumenical and accommodating to diversity based on the values of the Qur'an. So this agenda requires reformulation of Islamic doctrines that have been considered established. In conclusion, this study argues that although the Qur'an supports the agenda of mission activities, it compulsively requires a dialogic-communicative process. Thus, the Qur'an's greatest contribution in the development of harmonization of diverse people lies in its inclusive and accommodating character to diversity. The principles developed by the Qur’an can be covered through various approaches, both sociological and theological. Sociologically, the Qur'an encourages humanity to jointly declare universal values in every religious activity. These values become the basis of the necessity of each religious community to be willing and able to create a space of togetherness and dialogue to formulate humanitarian agendas. Theologically, the Qur’an does not erase pre-Islamic religions implying that the Qur’an supports diversity and commands humans to always compete in the framework of goodness (religion).
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, 2018
Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk memberikan wacana dan perspektif baru dalam meretas mata rant... more Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk memberikan wacana dan perspektif baru dalam meretas mata rantai absolutisme penafsiran melalui tradisi kritik tafsir yang mengedepankan nilai-nilai obyektivitas, komprehensivitas, ilmiah dan sistematis. Karena pada kenyataannya absolutisme penafsiran masih menjadi mainstream di kalangan masyarakat umum bahkan generasi mufasir. Absolutisme penafsiran menjadi salah satu ancaman berbahaya yang dapat menyebabkan stagnasi ilmu pengetahuan dan penghambat laju peradaban. Padahal penafsiran tidak lebih hanya sebagai produk zaman dan proses berkelanjutan dalam menggali makna-makna al-Qur'an. Sehingga tidak ada kata final dalam sebuah penafsiran. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan filsafat ilmu sebagai perangkat analisisnya. Kesimpulannya, bahwa setidaknya terdapat empat langkah operasional dalam melaksanakan kerja kritik tafsir yang bermuara pada wilayah ontologis, epistemologis, dan aksiologis yaitu; Pertama, kritikus harus terlebih dahulu memahami hakikat tafsir yakni tafsir sebagai proses dan tafsir sebagai produk. Kedua, memahami konstruksi kritik tafsir, yaitu historisitas kritik, landasan kritik, tujuan kritik, serta prinsip dan parameter kritik. Ketiga, memulai kerja kritik tafsir dengan dua wilayah
Indonesia as a pluralism nation-state has established Pancasila as the state ideology. Pancasila ... more Indonesia as a pluralism nation-state has established Pancasila as the state ideology. Pancasila is the result of the conceptualization and history of the struggle of the Indonesian. It contains the noble values and keeps the spirit of the nation's struggle. Due to the failures of the government in developing the country, radical groups appeared for replacing Pancasila ideology into Islamic Shari'a. They claims that Pancasila along with three other pillars as the ideology of " taghut ". This paper aims to construct meaning and understanding of the relationship between Islam and Pancasila in the framework of national philosophy. It further offerssome alternatives concept and interpretation of the theological-philosophical basis of the process in the integration of Islam and Pancasila. Pancasila is not only the state ideology but it also represents a theological-philosophical construction encompassing Islamic principles. It signifies vision of Islam, which provides the understanding that the formulation of Pancasila idea is in fact inspired by Islamic concepts and values. It comprises the vision of Islam in its treatise. However, both concepts existentially have autonomous rights. It imply that Islam is a religion and Pancasila is ideology. Pancasila will not be a religion and religion will not be an ideology.
Qur'anic exegesis occupies a central position in the development of the intellectual traditions o... more Qur'anic exegesis occupies a central position in the development of the intellectual traditions of Muslims. As a primary source, the Qur'an for centuries have been explored and understood using a variety of approaches and methods to satisfy every need of the times. The dominance model of textual interpretation in the tradition of interpretation of the Qur'an throughout the history of Islam, has been moving Abdullah Saeed a Professor of Islamic Studies University of Melbourne, to offer an alternative model of " contextual interpretation " as a model approach in interpreting the Qur'an that more sensitive to context. Because textual interpretation models tend to ignore the socio-historical context period of revelation as well as the context of the interpretation of the period. This paper specifically focused to analyze methodological aspects of thought's Abdullah Saeed in conducting the contextualize interpretation of the Qur'an. In General, Saeed offers four contextual interpretation of operational steps, that is: 1) identify initial considerations by understanding the interpreter subjectivity, language and construct meaning, and the world of the Qur'an (encounter with the world of the text); 2) start the task of interpretation by means of identifying the meaning of the original text and convinced of the authenticity and reliability of the text (critical analysis of texts independently); 3) identify the meaning of the text by exploring each context (meaning for the first recipient); 4) hooking the interpretation of the text with the current context (process of contextualize, meaning for the present). Tafsir al-Qur'an menempati posisi sentral dalam perkembangan tradisi intelektual umat Islam. Sebagai sumber utama, al-Qur'an selama berabad-abad telah dieksplorasi dan dipahami menggunakan berbagai macam pendekatan dan metode untuk memenuhi setiap kebutuhan zaman. Dominasi model penafsiran tekstual dalam tradisi penafsiran al-Qur'an sepanjang sejarah Islam, telah menggerakkan Abdullah Saeed, seorang guru besar Islamic Studies Universitas Melbourne, untuk menawarkan alternatif model penafsiran " kontekstual " yaitu sebuah model pendekatan dalam menafsirkan al-Qur'an yang lebih peka konteks. Karena model penafsiran tekstual Millatī
This paper aims to discuss the methodology of interpretation criticism in the qur'anic studies di... more This paper aims to discuss the methodology of interpretation criticism in the qur'anic studies discourse. As new plots in the Qur'an studies, the interpretation criticism has not been much sought after by Qur'anic scholars. As a consequence, in methodological discourse has not yet found a definite method can be used to criticize an interpretation. As for the thought-provoking critique of the interpretation for this still are sporadic and likely are political-ideological. For that, it needs special attention in developing area studies the Quran towards the study criticism of interpretation. Finally, this paper gives the conclusion that, in the discourse of criticism the methodological framework needed interpretation, as a step towards the operational interpretation of criticism. So, the criticism was done not nuanced political-ideological, but able to uphold the values of objectivity, comprehensiveness, scientific and systematic. There are at least four operational steps in carrying out work interpretation of criticism of the region of ontology, epistemology, and axiology i.e; Firstly, the critic must understand the substance of exegesis are an interpretation as process and interpretation as a product. Secondly, understand the construction of criticism interpretation, namely the construction of the historicity of the critique, the base of criticism, the purpose of criticism, as well as the principles and parameters of criticism. Thirdly, start working with two regions exegesis critique work i.e; intrinsic and extrinsic criticism. Fourthly, give the evaluation and assessment of the object of study of criticism that is good and decent, or perverted and unworthy of being used. Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan metodologi kritik tafsir dalam diskursus wacana Qur'anic Studies. Sebagai wilayah garapan baru dalam studi al-Qur'an, kritik tafsir belum banyak diminati oleh kalangan sarjana al-Qur'an. Akibatnya, dalam wacana metodologis belum banyak ditemukan metode baku yang dapat digunakan untuk mengkritisi sebuah tafsir. Adapun pemikiran kritik tafsir selama ini masih bersifat sporadis dan cenderung bersifat politis-ideologis. Untuk itulah dibutuhkan perhatian khusus dalam mengembangkan wilayah studi al-Qur'an ke arah studi kritik tafsir. Akhirnya, tulisan ini memberi-kan kesimpulan bahwa, dalam diskursus kritisisme penafsiran, dibutuhkan kerangka metodologis sebagai langkah operasional kritik tafsir. Sehingga, kritik yang dilakukan tidak bernuansa politis-ideologis, namun mampu mengedepan-kan nilai-nilai objektivitas, komprehensivitas, ilmiah dan sistematis. Setidaknya terdapat empat langkah operasional dalam melaksanakan kerja kritik tafsir yang bermuara pada wilayah ontologis, epistemologis, dan aksiologis yaitu; Pertama,
Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, 2016
Fenomena keagamaan berada dalam permasalahan kompleks. Agama
dalam realitas kemanusiaan seakan me... more Fenomena keagamaan berada dalam permasalahan kompleks. Agama dalam realitas kemanusiaan seakan memiliki wajah mendua. Pada satu sisi, agama dihadapkan dengan permasalahan konflik antar umat beragama. Agama mempertontonkan arogansi berupa kekerasan, peperangan, kebencian bahkan pembunuhan. Namun di sisi lain, agama dihadapkan pada realitas ketidakberdayaan. Betapa umat beragama masih mengalami kemiskinan, pemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, keterbelakangan dan penindasan. Ini menunjukkan bahwa agama belum mampu mengatasi problem sosial. Melalui tulisan ini, kompleksitas dan keruwetan wajah agama, berusaha untuk dibedah menggunakan pisau analisis sosiologis-hermeneutis yang menekankan pada proses dialektika antara idealitas dengan realitas masyarakat beragama. Sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa masyarakat beragama harus mampu dan mau menerapkan prinsip gerak menuju agama cita. Yaitu sebuah paradigma futuristik yang berangkat dari pemahaman agama secara optimis-positivistik. Sebagai langkah gerakan konseptual-praksis-fungsional agama sebagai katalisator perubahan sosial. Maka, akan ditemukan sebuah peran agama yang lebih responsif dan kooperatif dalam regulasi sosial, tatanan moral, transformasi sosial, serta menciptakan dan mengatur bentuk-bentuk sosial-kebudayaan. Kata Kunci: Agama, konflik, nilai-nilai universal, kooperatif, perubahan sosial
Abstrak Indonesia adalah negara majemuk dengan berbagai macam suku, golongan dan agama. Potensi t... more Abstrak Indonesia adalah negara majemuk dengan berbagai macam suku, golongan dan agama. Potensi terjadinya konflik akibat perbedaan, dapat menyebabkan terjadinya disintegrasi bangsa. Realitas yang terjadi di masyarakat, justru banyak konflik yang terjadi dipicu oleh agama. Sikap eksklusif dari masing-masing pemeluk agama, muncul karena kesalahan pemahaman terhadap substansi agama. Untuk itulah dibutuhkan sebuah pemahaman baru mengenai sikap yang harus dilakukan oleh manusia terhadap pluralitas yang ada. Al-Qur'an sebagai pedoman hidup, harus dipahami dan ditafsirkan dengan mengedepankan pesan moral Al-Qur'an. Tulisan ini berusaha untuk memberikan pandangan tentang paradigma baru etika Islam terhadap komunitas lain (the others) dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan. Hal ini bertujuan untuk membentuk pandangan dunia Islam (weltanschauung) berdasarkan asas rahmatan lil alamin. Dengan mengoptimalkan rumusan metodologi tafsir kontekstualis (contextualist interpretation) yaitu penafsiran Al-Qur'an yang tidak hanya memperhatikan aspek bahasa Al-Qur'an, melainkan juga aspek kritis sosio-hostoris masa pewahyuannya. Dalam hal ini berarti mencoba untuk menghidupkan spirit profetis (kenabian), atau dengan bahasa lain, bagaimana kira-kira Nabi akan berbuat dan memberikan solusi, jika ia hidup pada zaman saat ini. Sehingga didapatkan kesimpulan bahwa etika Muslim terhadap the others adalah sikap cooperatif dalam memajukan peradaban umat manusia.
Indonesian is a diverse country with a variety of ethnic, class and religion. The potential for conflict over differences, can lead to disintegration of the nation. Reality is happening in the community, just a lot of conflict fueled by religion. Exclusive attitude of each religion, appears due to improper understanding of the substance of religion. For that we need a new understanding about the attitudes that must be done by humans to the existing plurality. Al-Qur'an as a guide to life, must be understood and interpreted by promoting the moral message of the Koran. This paper seeks to provide a view of the new paradigm of Islamic ethics to other communities (the others) in the context of social life. It aims to establish Islamic worldview (Weltanschauung) is based on the principle of rahmatan lil alamin. By optimizing the formulation methodology contextualist interpretation (contextualist interpretation) that the interpretation of the Koran is not just taking care of the language of the Koran, but also the critical aspects of socio-hostorical period of revelation. In this case means trying to revive the prophetic spirit (Prophethood), or with other languages, what would the Prophet will do and provide solutions, if he lived in the days of the moment. So it was concluded that the ethics of Muslims against the others is the attitude cooperatif in advancing human civilization.
Qur'anic exegesis occupies a central position in the development of the intellectual traditions o... more Qur'anic exegesis occupies a central position in the development of the intellectual traditions of Muslims. As a primary source, the Qur'an for centuries have been explored and understood using a variety of approaches and methods to satisfy every need of the times. The dominance model of textual interpretation in the tradition of interpretation of the Qur'an throughout the history of Islam, has been moving Abdullah Saeed a Professor of Islamic Studies University of Melbourne, to offer an alternative model of " contextual interpretation " as a model approach in interpreting the Qur'an that more sensitive to context. Because textual interpretation models tend to ignore the socio-historical context period of revelation as well as the context of the interpretation of the period. This paper specifically focused to analyze methodological aspects of thought's Abdullah Saeed in conducting the contextualize interpretation of the Qur'an. In General, Saeed offers four contextual interpretation of operational steps, that is: 1) identify initial considerations by understanding the interpreter subjectivity, language and construct meaning, and the world of the Qur'an (encounter with the world of the text); 2) start the task of interpretation by means of identifying the meaning of the original text and convinced of the authenticity and reliability of the text (critical analysis of texts independently); 3) identify the meaning of the text by exploring each context (meaning for the first recipient); 4) hooking the interpretation of the text with the current context (process of contextualize, meaning for the present).
Tafsir al-Qur'an menempati posisi sentral dalam perkembangan tradisi intelektual umat Islam. Sebagai sumber utama, al-Qur'an selama berabad-abad telah dieksplorasi dan dipahami menggunakan berbagai macam pendekatan dan metode untuk memenuhi setiap kebutuhan zaman. Dominasi model penafsiran tekstual dalam tradisi penafsiran al-Qur'an sepanjang sejarah Islam, telah menggerakkan Abdullah Saeed, seorang guru besar Islamic Studies Universitas Melbourne, untuk menawarkan alternatif model penafsiran " kontekstual " yaitu sebuah model pendekatan dalam menafsirkan al-Qur'an yang lebih peka konteks. Karena model penafsiran tekstual
Alquran yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW merupakan petunjuk bagi umat manusia. ... more Alquran yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW merupakan petunjuk bagi umat manusia. Petunjuk Alquran yang terdapat di dalam sejumlah ayatnya merupakan konsepsi dasar ajaran agama yang harus diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Salah satu ajaran agama Islam yang langsung ditunjukan Allah melalui Alquran adalah ajaran tentang jihad. Selanjutnya, ajaran ini cukup banyak mendapat respon dari hadis Rasulullah dan ijtihad para ulama. Disiplin ilmu yang banyak terlibat dengan pembahasan ajaran ini antara lain, ilmu fiqih, filsafat, dan tasawuf. Kesemuanya membahas tentang jihad sesuai dengan kecenderungannya masing-masing (Rohimin, 2006: 2). Jihad adalah istilah tipikal yang merepresentasikan ambivalensi agama. Yang akan terus menjadi media perdebatan dari berbagai kalangan, baik Muslim maupun non-Muslim. Oleh karena itu timbul suatu permasalahan, dalam memaknai istilah jihad itu sendiri. Di mana jihad banyak sekali pemaknaannya. Namun seringkali ditafsirkan hanya sebagai bentuk kekerasan (violence), perang suci (holy war), bahkan bunuh diri oleh kalangan radikalisme yang semuanya disebut jihad fi sabilillah. Tetapi hukum Islam mengutuk semua bentuk peperangan yang tidak mempunyai kualifikasi sebagai jihad, khususnya semua bentuk perang sesama Muslim. Karena perang hanyalah sebagian kecil interpretasi dari konsep jihad. Jihad bisa berupa perjuangan batin (untuk melawan kejahatan dari diri seseorang) atau perjuangan lahiriah/eksternal (melawan ketidakadilan) (Baidhawy, 2012: 78). Masalah jihad menduduki tempat teristimewa dalam hukum Islam. Pada kenyataannya, sistem yang padu dan progresif belumlah lengkap tanpa disertai
Pendahuluan Hadits menempati posisi yang sangat penting dalam setiap proses pengambilan hukum (is... more Pendahuluan Hadits menempati posisi yang sangat penting dalam setiap proses pengambilan hukum (istinbath) umat Islam, karena merupakan dasar tasyri' ke-2 setelah Al-Qur'an. Kajian hadits hampir meliputi seluruh ruang lingkup kehidupan seorang muslim. Oleh karena itu kewajiban untuk mengikuti hadits adalah seperti kewajiban untuk mengikuti Al-Qur'an. Hadis Rasulullah SAW selain sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur'an, juga berfungsi sebagai penjelas bagi al-Qur'an, menjelaskan yang global, mengkhususkan yang umum, dan menafsirkan ayat-ayat al-Qu'ran. Hadis memiliki dua peranan penting: (1) secara struktural sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur'an, (2) sebagai bayan (penjelas) terhadap al-Qur'an. Karenanya, hadis memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam al-Qur'an. Sungguh demikian, dibandingkan al-Qur'an, hadis harus melalui prosedur yang ketat untuk sampai derajat hadis yang sahih. Dalam proses studi hadits, sanad termasuk komponen penting yang tidak bisa dinafikan selain dua komponen lain yaitu matan dan rawi. Hal ini dikarenakan sanad merupakan rantai yang menghubungkan antara pesan hadits sampai kepada Rasusullah. Dapat dibayangkan apabila salah satu mata rantai itu ada yang bermasalah maka keabsahan hadits pun tentunya dipertanyakan. Penelitian hadits, terutama hadis ahad (baik yang masyhur maupun yang aziz perlu dilakukan, bukan berarti meragukan hadis Nabi Muhammad SAW, tetapi melihat keterbatasan perawi hadis sebagai manusia, yang adakalanya melakukan kesalahan, baik karena lupa maupun karena didorong oleh kepentingan tertentu. Keberadaan perawi hadis sangat menentukan kualitas hadis, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadis. Oleh karena itu, dalam makalah yang singkat ini, kami bermaksud memaparkan sedikit tentang kritik sanad. Di dalamnya nanti kami akan mencoba memaparkan beberapa poin tentang pengertian kritik sanad itu sendiri, urgensi kritik sanad, kriteria kesahihan sanad, berbagai pendekatan menilai sanad, ilmu yang terkait dengan sanad dan penelitian sanad.
Pendahuluan Pergumulan antara Islam dan modernitas merupakan salah satu tantangan yang harus diha... more Pendahuluan Pergumulan antara Islam dan modernitas merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh umat Islam dewasa ini. Agama ditantang kepekaannya dalam merespon setiap dinamika sosial kemanusiaan. Apakah agama akan mampu menghadapi realitas umat manusia dengan menyajikan berbagai macam formula solusi, atau justru agama akan kehilangan relevansinya dalam menghadapi modernitas. Agenda globalisasi dengan berbagai strukturalnya berusaha mengikis peran dan fungsi agama bagi manusia. nilai-nilai kemanusiaan dicoba untuk dihilangkan atas alasan tuntutan dunia global. Sistem kapitalistik yang menindas semakin massif dipancangkan. Dampak dari hal ini adalah agenda secara besar-besaran praktek pemiskinan dan kemiskinan dalam skala global. Korban daripada agenda tersebut adalah masyarakat kalangan bawah akan semakin mengalami ketertindasan, tidak hanya ketertindasan secara ekonomi dan sosial, tapi juga ketertindasan pendidikan dan politik. Maka menjadi penting mencermati gagasan Peter L. Berger, bahwa agama sampai kapanpun merupakan satu entitas terpenting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Bagi Berger, agama adalah bentuk semesta simbolik yang paling komprehensif dalam memberikan penjelasan tentang realitas; seperti kematian, penderitaan, dan kebahagiaan. 1 Islam sebagai salah satu agama missionaris, memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan peradaban umat manusia. Islam harus mampu menyelamatkan manusia dari terjangan derasnya arus globalisasi. Islam tidak lagi dimaknai sebagai simbol ritualistik yang menjadi candu bagi penganutnya, tetapi agama sudah harus dijadikan ideologi massif dalam melawan globalisasi kapitalistik. Islam sebagai agama missionaris memiliki ajaran berupa transmisi ajaran keagamaan kepada khalayak umum. Dalam pengertian ini adalah dakwah. Dakwah dipandang sebagai bentuk kegiatan penyadaran umat manusia agar selalu waspada terhadap terjangan arus globalisasi. Dakwah dimaksudkan sebagai upaya mentransmisikan nilai-nilai keagamaan yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Karena krisis manusia modern adalah krisis spiritual, ditandai dengan disorientasi tujuan hidup. Dampaknya adalah budaya hedonisme, pragmatisme, dengan tidak jarang berujung pada tindakan bunuh diri. Wajah inilah yang menjadi cerminan krisis manusia modern. Sehingga melalui media dakwah, Islam 1 Muhammad Fauzi, Agama dan Realitas Sosial; Renungan dan Jalan Menuju Kebahagiaan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 61.
Persoalan otentisitas sebuah hadis, sampai hari ini masih dipertentangkan, meskipun hadis telah l... more Persoalan otentisitas sebuah hadis, sampai hari ini masih dipertentangkan, meskipun hadis telah lama dibukukan ke dalam kitab-kitab kanonik (kutub as-sittah) yang dipandang paling otoritatif memuat hadis-hadis sahih. Sejak abad 2 Hijriyah, para ahli hadis (muhadditsun), telah memulai kegiatan memisahkan hadis-hadis palsu dari yang sahih dengan cara melakukan analisis kritis atas sejumlah hadis nabi melalui metode kritik (sanad) hadis. Hasilnya, sejumlah besar hadis dinyatakan sebagai tidak berasal dari nabi (palsu). Sementara sebagian besar yang lain, dinyatakan sebagai hadis berkualitas sahih, dan akhirnya dikodifikasikan ke dalam kitab-kitab kanonik. Seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan Ibn Majah, Sunan An-Nasa'i, dan berbagai kitab hadis lainnya. Hampir semua ahli hadis dan juga umat Islam pada umumnya meyakini atas otentisitas hadis yang terdapat di dalamnya. 1 Perjalanan sejarah umat Islam selalu ditengarai dengan dinamika kehidupan sosial-politik. Realitas semacam inilah yang pernah menyebabkan kemunculan berbagai hadis-hadis palsu untuk membela kepentingan kelompok. Kenyataan inilah yang menjadi daya tarik para kaum orientalis dalam mengkritisi kesejarahan hadis-hadis yang telah terkodifikasi di dalam kitab-kitab hadis kanonik. Para orientalis dengan nalar skeptisme, yang berangkat dari gejolak dinamika sosial-politik umat Islam dahulu, berusaha mempertanyakan kembali otentisitas sebuah hadis. Hingga dimulai oleh Ignaz Goldziher pada permulaan abad XIX dan XX, mulai meragukan valisitas sebuah hadis. Diteruskan oleh Josep Schacht, dan Juynboll, para orientalis berusaha menciptakan teori baru dalam mengkaji sebuah hadis. Teori-teori ini dikembangkan melalui sudut pandang dan orientasi yang berbeda dari kalangan umat Islam.
Tulisan ini bertujuan untuk merefleksi dan mengelaborasi gerakan moderasi Islam di Indonesia yang... more Tulisan ini bertujuan untuk merefleksi dan mengelaborasi gerakan moderasi Islam di Indonesia yang dapat diperankan oleh organisasi Muhammadiyah. Perspektif ini menekankan pada konteks pendidikan sebagai model gerakan moderasi Islam yang cukup penting dalam menyukseskan agenda moderasi. Pendidikan diklaim sebagai wadah paling strategis dalam membentuk watak dan kepribadian masyarakat sebagaimana dimaksudkan dalam gerakan moderasi. Lebih dari itu, gerakan moderasi juga lebih dekat dengan gerakan preventifadvokatif-edukatif, ketimbang gerakan yang bersifat kuratif-pasif-reaktif. Oleh karena itu, tulisan ini ingin kembali menegaskan bahwa gerakan moderasi Islam melalui pendidikan merupakan jalur stategis dalam rangka mewujudkan masyarakat moderat dan berkemajuan. Peran pendidikan dalam rangka moderasi Islam tidak dapat diabaikan karena, tidak hanya akan menyebabkan dunia pendidikan dikuasai oleh gerakan ekstremis-radikalis, tetapi juga akan menyebabkan upaya moderasi Islam mengalami stagnasi dan status quo. Muhammadiyah sebagai organisasi yang memiliki lembaga pendidikan cukup banyak di Indonesia diharapkan mampu memainkan peranannya dalam rangka menggerakkan moderasi Islam di jalur pendidikan.
This paper aims to examine Ahmad Syafii Maarif's inclusive thought and reveal the epistemological... more This paper aims to examine Ahmad Syafii Maarif's inclusive thought and reveal the epistemological basis of interpreting the Qur'an. It further explores to what extent Maarif's thought has contributed to the development of contemporary Quranic studies. Although Maarif is not an expert of Quranic commentator (mufassir) and does not author works related to the Qur'an, he is well-known as an inclusive-pluralist Muslim scholar who is concerned with promoting the moral-ethical values of the Qur'an. In formulating the ideas of the Quranic epistemology, Maarif consistently embarks from an in-depth exploration of historical knowledge and then refers to the Qur'an to examine a contemporary reality. This approach was connected by forming the world-view of the Qur'an in order to propose the spirit of moral ethics and the principle of justice as a theological lens which he then use to generate creative-alternative solutions dealing with the nation's problems through a process of contextualization. Maarif's Quranic epistemology affirms his project to achieve an idealistic Islam, namely the realization of a Muslim community that is consistently guided by the spirit of the moral ethics of the Qur'an.
This paper aims to provide a perspective of sociology of the Qur’an in the development of religio... more This paper aims to provide a perspective of sociology of the Qur’an in the development of religious harmony. This thought was motivated by a phenomenon in which Islam appears with a hardened face. The syndrome of Islamic populism shows an Islamic conservative turn and tend to prioritize formal and normative values in practise. This model is wholly vulnerable causing conflicts both intra and interreligions. Its exclusive, binary, and aggressive style makes Islam inhospitable to the plurality of groups, religions and cultures. This model of Islam needs to be returned to its face which is inclusive, ecumenical and accommodating to diversity based on the values of the Qur'an. So this agenda requires reformulation of Islamic doctrines that have been considered established. In conclusion, this study argues that although the Qur'an supports the agenda of mission activities, it compulsively requires a dialogic-communicative process. Thus, the Qur'an's greatest contribution in the development of harmonization of diverse people lies in its inclusive and accommodating character to diversity. The principles developed by the Qur’an can be covered through various approaches, both sociological and theological. Sociologically, the Qur'an encourages humanity to jointly declare universal values in every religious activity. These values become the basis of the necessity of each religious community to be willing and able to create a space of togetherness and dialogue to formulate humanitarian agendas. Theologically, the Qur’an does not erase pre-Islamic religions implying that the Qur’an supports diversity and commands humans to always compete in the framework of goodness (religion).
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, 2018
Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk memberikan wacana dan perspektif baru dalam meretas mata rant... more Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk memberikan wacana dan perspektif baru dalam meretas mata rantai absolutisme penafsiran melalui tradisi kritik tafsir yang mengedepankan nilai-nilai obyektivitas, komprehensivitas, ilmiah dan sistematis. Karena pada kenyataannya absolutisme penafsiran masih menjadi mainstream di kalangan masyarakat umum bahkan generasi mufasir. Absolutisme penafsiran menjadi salah satu ancaman berbahaya yang dapat menyebabkan stagnasi ilmu pengetahuan dan penghambat laju peradaban. Padahal penafsiran tidak lebih hanya sebagai produk zaman dan proses berkelanjutan dalam menggali makna-makna al-Qur'an. Sehingga tidak ada kata final dalam sebuah penafsiran. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan filsafat ilmu sebagai perangkat analisisnya. Kesimpulannya, bahwa setidaknya terdapat empat langkah operasional dalam melaksanakan kerja kritik tafsir yang bermuara pada wilayah ontologis, epistemologis, dan aksiologis yaitu; Pertama, kritikus harus terlebih dahulu memahami hakikat tafsir yakni tafsir sebagai proses dan tafsir sebagai produk. Kedua, memahami konstruksi kritik tafsir, yaitu historisitas kritik, landasan kritik, tujuan kritik, serta prinsip dan parameter kritik. Ketiga, memulai kerja kritik tafsir dengan dua wilayah
Indonesia as a pluralism nation-state has established Pancasila as the state ideology. Pancasila ... more Indonesia as a pluralism nation-state has established Pancasila as the state ideology. Pancasila is the result of the conceptualization and history of the struggle of the Indonesian. It contains the noble values and keeps the spirit of the nation's struggle. Due to the failures of the government in developing the country, radical groups appeared for replacing Pancasila ideology into Islamic Shari'a. They claims that Pancasila along with three other pillars as the ideology of " taghut ". This paper aims to construct meaning and understanding of the relationship between Islam and Pancasila in the framework of national philosophy. It further offerssome alternatives concept and interpretation of the theological-philosophical basis of the process in the integration of Islam and Pancasila. Pancasila is not only the state ideology but it also represents a theological-philosophical construction encompassing Islamic principles. It signifies vision of Islam, which provides the understanding that the formulation of Pancasila idea is in fact inspired by Islamic concepts and values. It comprises the vision of Islam in its treatise. However, both concepts existentially have autonomous rights. It imply that Islam is a religion and Pancasila is ideology. Pancasila will not be a religion and religion will not be an ideology.
Qur'anic exegesis occupies a central position in the development of the intellectual traditions o... more Qur'anic exegesis occupies a central position in the development of the intellectual traditions of Muslims. As a primary source, the Qur'an for centuries have been explored and understood using a variety of approaches and methods to satisfy every need of the times. The dominance model of textual interpretation in the tradition of interpretation of the Qur'an throughout the history of Islam, has been moving Abdullah Saeed a Professor of Islamic Studies University of Melbourne, to offer an alternative model of " contextual interpretation " as a model approach in interpreting the Qur'an that more sensitive to context. Because textual interpretation models tend to ignore the socio-historical context period of revelation as well as the context of the interpretation of the period. This paper specifically focused to analyze methodological aspects of thought's Abdullah Saeed in conducting the contextualize interpretation of the Qur'an. In General, Saeed offers four contextual interpretation of operational steps, that is: 1) identify initial considerations by understanding the interpreter subjectivity, language and construct meaning, and the world of the Qur'an (encounter with the world of the text); 2) start the task of interpretation by means of identifying the meaning of the original text and convinced of the authenticity and reliability of the text (critical analysis of texts independently); 3) identify the meaning of the text by exploring each context (meaning for the first recipient); 4) hooking the interpretation of the text with the current context (process of contextualize, meaning for the present). Tafsir al-Qur'an menempati posisi sentral dalam perkembangan tradisi intelektual umat Islam. Sebagai sumber utama, al-Qur'an selama berabad-abad telah dieksplorasi dan dipahami menggunakan berbagai macam pendekatan dan metode untuk memenuhi setiap kebutuhan zaman. Dominasi model penafsiran tekstual dalam tradisi penafsiran al-Qur'an sepanjang sejarah Islam, telah menggerakkan Abdullah Saeed, seorang guru besar Islamic Studies Universitas Melbourne, untuk menawarkan alternatif model penafsiran " kontekstual " yaitu sebuah model pendekatan dalam menafsirkan al-Qur'an yang lebih peka konteks. Karena model penafsiran tekstual Millatī
This paper aims to discuss the methodology of interpretation criticism in the qur'anic studies di... more This paper aims to discuss the methodology of interpretation criticism in the qur'anic studies discourse. As new plots in the Qur'an studies, the interpretation criticism has not been much sought after by Qur'anic scholars. As a consequence, in methodological discourse has not yet found a definite method can be used to criticize an interpretation. As for the thought-provoking critique of the interpretation for this still are sporadic and likely are political-ideological. For that, it needs special attention in developing area studies the Quran towards the study criticism of interpretation. Finally, this paper gives the conclusion that, in the discourse of criticism the methodological framework needed interpretation, as a step towards the operational interpretation of criticism. So, the criticism was done not nuanced political-ideological, but able to uphold the values of objectivity, comprehensiveness, scientific and systematic. There are at least four operational steps in carrying out work interpretation of criticism of the region of ontology, epistemology, and axiology i.e; Firstly, the critic must understand the substance of exegesis are an interpretation as process and interpretation as a product. Secondly, understand the construction of criticism interpretation, namely the construction of the historicity of the critique, the base of criticism, the purpose of criticism, as well as the principles and parameters of criticism. Thirdly, start working with two regions exegesis critique work i.e; intrinsic and extrinsic criticism. Fourthly, give the evaluation and assessment of the object of study of criticism that is good and decent, or perverted and unworthy of being used. Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan metodologi kritik tafsir dalam diskursus wacana Qur'anic Studies. Sebagai wilayah garapan baru dalam studi al-Qur'an, kritik tafsir belum banyak diminati oleh kalangan sarjana al-Qur'an. Akibatnya, dalam wacana metodologis belum banyak ditemukan metode baku yang dapat digunakan untuk mengkritisi sebuah tafsir. Adapun pemikiran kritik tafsir selama ini masih bersifat sporadis dan cenderung bersifat politis-ideologis. Untuk itulah dibutuhkan perhatian khusus dalam mengembangkan wilayah studi al-Qur'an ke arah studi kritik tafsir. Akhirnya, tulisan ini memberi-kan kesimpulan bahwa, dalam diskursus kritisisme penafsiran, dibutuhkan kerangka metodologis sebagai langkah operasional kritik tafsir. Sehingga, kritik yang dilakukan tidak bernuansa politis-ideologis, namun mampu mengedepan-kan nilai-nilai objektivitas, komprehensivitas, ilmiah dan sistematis. Setidaknya terdapat empat langkah operasional dalam melaksanakan kerja kritik tafsir yang bermuara pada wilayah ontologis, epistemologis, dan aksiologis yaitu; Pertama,
Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, 2016
Fenomena keagamaan berada dalam permasalahan kompleks. Agama
dalam realitas kemanusiaan seakan me... more Fenomena keagamaan berada dalam permasalahan kompleks. Agama dalam realitas kemanusiaan seakan memiliki wajah mendua. Pada satu sisi, agama dihadapkan dengan permasalahan konflik antar umat beragama. Agama mempertontonkan arogansi berupa kekerasan, peperangan, kebencian bahkan pembunuhan. Namun di sisi lain, agama dihadapkan pada realitas ketidakberdayaan. Betapa umat beragama masih mengalami kemiskinan, pemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, keterbelakangan dan penindasan. Ini menunjukkan bahwa agama belum mampu mengatasi problem sosial. Melalui tulisan ini, kompleksitas dan keruwetan wajah agama, berusaha untuk dibedah menggunakan pisau analisis sosiologis-hermeneutis yang menekankan pada proses dialektika antara idealitas dengan realitas masyarakat beragama. Sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa masyarakat beragama harus mampu dan mau menerapkan prinsip gerak menuju agama cita. Yaitu sebuah paradigma futuristik yang berangkat dari pemahaman agama secara optimis-positivistik. Sebagai langkah gerakan konseptual-praksis-fungsional agama sebagai katalisator perubahan sosial. Maka, akan ditemukan sebuah peran agama yang lebih responsif dan kooperatif dalam regulasi sosial, tatanan moral, transformasi sosial, serta menciptakan dan mengatur bentuk-bentuk sosial-kebudayaan. Kata Kunci: Agama, konflik, nilai-nilai universal, kooperatif, perubahan sosial
Abstrak Indonesia adalah negara majemuk dengan berbagai macam suku, golongan dan agama. Potensi t... more Abstrak Indonesia adalah negara majemuk dengan berbagai macam suku, golongan dan agama. Potensi terjadinya konflik akibat perbedaan, dapat menyebabkan terjadinya disintegrasi bangsa. Realitas yang terjadi di masyarakat, justru banyak konflik yang terjadi dipicu oleh agama. Sikap eksklusif dari masing-masing pemeluk agama, muncul karena kesalahan pemahaman terhadap substansi agama. Untuk itulah dibutuhkan sebuah pemahaman baru mengenai sikap yang harus dilakukan oleh manusia terhadap pluralitas yang ada. Al-Qur'an sebagai pedoman hidup, harus dipahami dan ditafsirkan dengan mengedepankan pesan moral Al-Qur'an. Tulisan ini berusaha untuk memberikan pandangan tentang paradigma baru etika Islam terhadap komunitas lain (the others) dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan. Hal ini bertujuan untuk membentuk pandangan dunia Islam (weltanschauung) berdasarkan asas rahmatan lil alamin. Dengan mengoptimalkan rumusan metodologi tafsir kontekstualis (contextualist interpretation) yaitu penafsiran Al-Qur'an yang tidak hanya memperhatikan aspek bahasa Al-Qur'an, melainkan juga aspek kritis sosio-hostoris masa pewahyuannya. Dalam hal ini berarti mencoba untuk menghidupkan spirit profetis (kenabian), atau dengan bahasa lain, bagaimana kira-kira Nabi akan berbuat dan memberikan solusi, jika ia hidup pada zaman saat ini. Sehingga didapatkan kesimpulan bahwa etika Muslim terhadap the others adalah sikap cooperatif dalam memajukan peradaban umat manusia.
Indonesian is a diverse country with a variety of ethnic, class and religion. The potential for conflict over differences, can lead to disintegration of the nation. Reality is happening in the community, just a lot of conflict fueled by religion. Exclusive attitude of each religion, appears due to improper understanding of the substance of religion. For that we need a new understanding about the attitudes that must be done by humans to the existing plurality. Al-Qur'an as a guide to life, must be understood and interpreted by promoting the moral message of the Koran. This paper seeks to provide a view of the new paradigm of Islamic ethics to other communities (the others) in the context of social life. It aims to establish Islamic worldview (Weltanschauung) is based on the principle of rahmatan lil alamin. By optimizing the formulation methodology contextualist interpretation (contextualist interpretation) that the interpretation of the Koran is not just taking care of the language of the Koran, but also the critical aspects of socio-hostorical period of revelation. In this case means trying to revive the prophetic spirit (Prophethood), or with other languages, what would the Prophet will do and provide solutions, if he lived in the days of the moment. So it was concluded that the ethics of Muslims against the others is the attitude cooperatif in advancing human civilization.
Qur'anic exegesis occupies a central position in the development of the intellectual traditions o... more Qur'anic exegesis occupies a central position in the development of the intellectual traditions of Muslims. As a primary source, the Qur'an for centuries have been explored and understood using a variety of approaches and methods to satisfy every need of the times. The dominance model of textual interpretation in the tradition of interpretation of the Qur'an throughout the history of Islam, has been moving Abdullah Saeed a Professor of Islamic Studies University of Melbourne, to offer an alternative model of " contextual interpretation " as a model approach in interpreting the Qur'an that more sensitive to context. Because textual interpretation models tend to ignore the socio-historical context period of revelation as well as the context of the interpretation of the period. This paper specifically focused to analyze methodological aspects of thought's Abdullah Saeed in conducting the contextualize interpretation of the Qur'an. In General, Saeed offers four contextual interpretation of operational steps, that is: 1) identify initial considerations by understanding the interpreter subjectivity, language and construct meaning, and the world of the Qur'an (encounter with the world of the text); 2) start the task of interpretation by means of identifying the meaning of the original text and convinced of the authenticity and reliability of the text (critical analysis of texts independently); 3) identify the meaning of the text by exploring each context (meaning for the first recipient); 4) hooking the interpretation of the text with the current context (process of contextualize, meaning for the present).
Tafsir al-Qur'an menempati posisi sentral dalam perkembangan tradisi intelektual umat Islam. Sebagai sumber utama, al-Qur'an selama berabad-abad telah dieksplorasi dan dipahami menggunakan berbagai macam pendekatan dan metode untuk memenuhi setiap kebutuhan zaman. Dominasi model penafsiran tekstual dalam tradisi penafsiran al-Qur'an sepanjang sejarah Islam, telah menggerakkan Abdullah Saeed, seorang guru besar Islamic Studies Universitas Melbourne, untuk menawarkan alternatif model penafsiran " kontekstual " yaitu sebuah model pendekatan dalam menafsirkan al-Qur'an yang lebih peka konteks. Karena model penafsiran tekstual
Alquran yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW merupakan petunjuk bagi umat manusia. ... more Alquran yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW merupakan petunjuk bagi umat manusia. Petunjuk Alquran yang terdapat di dalam sejumlah ayatnya merupakan konsepsi dasar ajaran agama yang harus diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Salah satu ajaran agama Islam yang langsung ditunjukan Allah melalui Alquran adalah ajaran tentang jihad. Selanjutnya, ajaran ini cukup banyak mendapat respon dari hadis Rasulullah dan ijtihad para ulama. Disiplin ilmu yang banyak terlibat dengan pembahasan ajaran ini antara lain, ilmu fiqih, filsafat, dan tasawuf. Kesemuanya membahas tentang jihad sesuai dengan kecenderungannya masing-masing (Rohimin, 2006: 2). Jihad adalah istilah tipikal yang merepresentasikan ambivalensi agama. Yang akan terus menjadi media perdebatan dari berbagai kalangan, baik Muslim maupun non-Muslim. Oleh karena itu timbul suatu permasalahan, dalam memaknai istilah jihad itu sendiri. Di mana jihad banyak sekali pemaknaannya. Namun seringkali ditafsirkan hanya sebagai bentuk kekerasan (violence), perang suci (holy war), bahkan bunuh diri oleh kalangan radikalisme yang semuanya disebut jihad fi sabilillah. Tetapi hukum Islam mengutuk semua bentuk peperangan yang tidak mempunyai kualifikasi sebagai jihad, khususnya semua bentuk perang sesama Muslim. Karena perang hanyalah sebagian kecil interpretasi dari konsep jihad. Jihad bisa berupa perjuangan batin (untuk melawan kejahatan dari diri seseorang) atau perjuangan lahiriah/eksternal (melawan ketidakadilan) (Baidhawy, 2012: 78). Masalah jihad menduduki tempat teristimewa dalam hukum Islam. Pada kenyataannya, sistem yang padu dan progresif belumlah lengkap tanpa disertai
Pendahuluan Hadits menempati posisi yang sangat penting dalam setiap proses pengambilan hukum (is... more Pendahuluan Hadits menempati posisi yang sangat penting dalam setiap proses pengambilan hukum (istinbath) umat Islam, karena merupakan dasar tasyri' ke-2 setelah Al-Qur'an. Kajian hadits hampir meliputi seluruh ruang lingkup kehidupan seorang muslim. Oleh karena itu kewajiban untuk mengikuti hadits adalah seperti kewajiban untuk mengikuti Al-Qur'an. Hadis Rasulullah SAW selain sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur'an, juga berfungsi sebagai penjelas bagi al-Qur'an, menjelaskan yang global, mengkhususkan yang umum, dan menafsirkan ayat-ayat al-Qu'ran. Hadis memiliki dua peranan penting: (1) secara struktural sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur'an, (2) sebagai bayan (penjelas) terhadap al-Qur'an. Karenanya, hadis memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam al-Qur'an. Sungguh demikian, dibandingkan al-Qur'an, hadis harus melalui prosedur yang ketat untuk sampai derajat hadis yang sahih. Dalam proses studi hadits, sanad termasuk komponen penting yang tidak bisa dinafikan selain dua komponen lain yaitu matan dan rawi. Hal ini dikarenakan sanad merupakan rantai yang menghubungkan antara pesan hadits sampai kepada Rasusullah. Dapat dibayangkan apabila salah satu mata rantai itu ada yang bermasalah maka keabsahan hadits pun tentunya dipertanyakan. Penelitian hadits, terutama hadis ahad (baik yang masyhur maupun yang aziz perlu dilakukan, bukan berarti meragukan hadis Nabi Muhammad SAW, tetapi melihat keterbatasan perawi hadis sebagai manusia, yang adakalanya melakukan kesalahan, baik karena lupa maupun karena didorong oleh kepentingan tertentu. Keberadaan perawi hadis sangat menentukan kualitas hadis, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadis. Oleh karena itu, dalam makalah yang singkat ini, kami bermaksud memaparkan sedikit tentang kritik sanad. Di dalamnya nanti kami akan mencoba memaparkan beberapa poin tentang pengertian kritik sanad itu sendiri, urgensi kritik sanad, kriteria kesahihan sanad, berbagai pendekatan menilai sanad, ilmu yang terkait dengan sanad dan penelitian sanad.
Pendahuluan Pergumulan antara Islam dan modernitas merupakan salah satu tantangan yang harus diha... more Pendahuluan Pergumulan antara Islam dan modernitas merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh umat Islam dewasa ini. Agama ditantang kepekaannya dalam merespon setiap dinamika sosial kemanusiaan. Apakah agama akan mampu menghadapi realitas umat manusia dengan menyajikan berbagai macam formula solusi, atau justru agama akan kehilangan relevansinya dalam menghadapi modernitas. Agenda globalisasi dengan berbagai strukturalnya berusaha mengikis peran dan fungsi agama bagi manusia. nilai-nilai kemanusiaan dicoba untuk dihilangkan atas alasan tuntutan dunia global. Sistem kapitalistik yang menindas semakin massif dipancangkan. Dampak dari hal ini adalah agenda secara besar-besaran praktek pemiskinan dan kemiskinan dalam skala global. Korban daripada agenda tersebut adalah masyarakat kalangan bawah akan semakin mengalami ketertindasan, tidak hanya ketertindasan secara ekonomi dan sosial, tapi juga ketertindasan pendidikan dan politik. Maka menjadi penting mencermati gagasan Peter L. Berger, bahwa agama sampai kapanpun merupakan satu entitas terpenting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Bagi Berger, agama adalah bentuk semesta simbolik yang paling komprehensif dalam memberikan penjelasan tentang realitas; seperti kematian, penderitaan, dan kebahagiaan. 1 Islam sebagai salah satu agama missionaris, memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan peradaban umat manusia. Islam harus mampu menyelamatkan manusia dari terjangan derasnya arus globalisasi. Islam tidak lagi dimaknai sebagai simbol ritualistik yang menjadi candu bagi penganutnya, tetapi agama sudah harus dijadikan ideologi massif dalam melawan globalisasi kapitalistik. Islam sebagai agama missionaris memiliki ajaran berupa transmisi ajaran keagamaan kepada khalayak umum. Dalam pengertian ini adalah dakwah. Dakwah dipandang sebagai bentuk kegiatan penyadaran umat manusia agar selalu waspada terhadap terjangan arus globalisasi. Dakwah dimaksudkan sebagai upaya mentransmisikan nilai-nilai keagamaan yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Karena krisis manusia modern adalah krisis spiritual, ditandai dengan disorientasi tujuan hidup. Dampaknya adalah budaya hedonisme, pragmatisme, dengan tidak jarang berujung pada tindakan bunuh diri. Wajah inilah yang menjadi cerminan krisis manusia modern. Sehingga melalui media dakwah, Islam 1 Muhammad Fauzi, Agama dan Realitas Sosial; Renungan dan Jalan Menuju Kebahagiaan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 61.
Persoalan otentisitas sebuah hadis, sampai hari ini masih dipertentangkan, meskipun hadis telah l... more Persoalan otentisitas sebuah hadis, sampai hari ini masih dipertentangkan, meskipun hadis telah lama dibukukan ke dalam kitab-kitab kanonik (kutub as-sittah) yang dipandang paling otoritatif memuat hadis-hadis sahih. Sejak abad 2 Hijriyah, para ahli hadis (muhadditsun), telah memulai kegiatan memisahkan hadis-hadis palsu dari yang sahih dengan cara melakukan analisis kritis atas sejumlah hadis nabi melalui metode kritik (sanad) hadis. Hasilnya, sejumlah besar hadis dinyatakan sebagai tidak berasal dari nabi (palsu). Sementara sebagian besar yang lain, dinyatakan sebagai hadis berkualitas sahih, dan akhirnya dikodifikasikan ke dalam kitab-kitab kanonik. Seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan Ibn Majah, Sunan An-Nasa'i, dan berbagai kitab hadis lainnya. Hampir semua ahli hadis dan juga umat Islam pada umumnya meyakini atas otentisitas hadis yang terdapat di dalamnya. 1 Perjalanan sejarah umat Islam selalu ditengarai dengan dinamika kehidupan sosial-politik. Realitas semacam inilah yang pernah menyebabkan kemunculan berbagai hadis-hadis palsu untuk membela kepentingan kelompok. Kenyataan inilah yang menjadi daya tarik para kaum orientalis dalam mengkritisi kesejarahan hadis-hadis yang telah terkodifikasi di dalam kitab-kitab hadis kanonik. Para orientalis dengan nalar skeptisme, yang berangkat dari gejolak dinamika sosial-politik umat Islam dahulu, berusaha mempertanyakan kembali otentisitas sebuah hadis. Hingga dimulai oleh Ignaz Goldziher pada permulaan abad XIX dan XX, mulai meragukan valisitas sebuah hadis. Diteruskan oleh Josep Schacht, dan Juynboll, para orientalis berusaha menciptakan teori baru dalam mengkaji sebuah hadis. Teori-teori ini dikembangkan melalui sudut pandang dan orientasi yang berbeda dari kalangan umat Islam.
Sejarah al-Qur`an merupakan sejarah yang panjang dan rumit. pewahyuannya yang terbentang lebih da... more Sejarah al-Qur`an merupakan sejarah yang panjang dan rumit. pewahyuannya yang terbentang lebih dari 22 tahun menimbulkan banyak kesulitas para sejarawan dalam mengkaji Al-Qur`an.
Hermenutika merupakan sebuah fenomena baru dalam kajian Alquran. Hermeneutika yang merupakan teor... more Hermenutika merupakan sebuah fenomena baru dalam kajian Alquran. Hermeneutika yang merupakan teori filsafat mengenai interpresasi makna teks Alquran, tidak lagi merupakan istilah yang diberikan oleh peneliti luar (outsider). Namun istilah tersebut telah digunakan oleh orang Islam sendiri (insider). Penggunaan istilah tersebut tidak sekedar penggunaan istilah tetapi juga membawa konsekwensi pada perumusan metodologi. Perkembangan dunia modern menimbulkan gejala terhadap model penafsiran sebuah teks. Kegagalan penafsir klasik dalam memperlakukan teks dianggap telah memperkosa sebuah teks itu sendiri. Teks dieksploitasi sedemikian rupa tanpa membiarkannya hidup dan komunikatif terhadap pembaca maupun penafsirnya. Sehingga terjadi distorsi teks yang mengakibatkan isi maupun kandungan teks tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman yang sangat pesat. Sehingga menimbulkan sikap skeptis terhadap kesempurnaan sebuah teks. Hal ini juga menimbulkan paradigma terhadap teks yang dipandang tidak lagi dibutuhkan di dunia modern seperti ini. Oleh karena itulah, hermeneutika hadir dalam mengintegrasikan konsep penafsiran kitab suci untuk memunculkan wacana baru terhadap realitas dunia modern.
Sekularisasi merupakan gejala yang terjadi di masyarakat modern. hal ini terjadi karena proses ra... more Sekularisasi merupakan gejala yang terjadi di masyarakat modern. hal ini terjadi karena proses rasionalisasi pemikiran masyarakat. sehingga hal-hal yang tidak dapat ditangkap dengan rasio/akal, menjadi terabaikan.
Masjid merupakan sentral peradaban Islam. Sejak kelahirannya, Islam telah menjadi ruang penting d... more Masjid merupakan sentral peradaban Islam. Sejak kelahirannya, Islam telah menjadi ruang penting dalam penyusunan strategi dan gerakan umat Islam. Kini ruang-ruang masjid secara lebih eksploratif dikembangkan dalam proses pemberdayaan masyarakat.
The chart gives information in 2010 about percentage of Australian various age groups measured by... more The chart gives information in 2010 about percentage of Australian various age groups measured by male and female doing physical exercise routinely. First and foremost, only in classification ages of 15 to 24, 52.8% male did routine physical exercise dominated from female at 47.7%. While it then changed in case of ages 25 to 34 where female at 48.9% surpassed from male by figure 42.2%. Interestingly, starting at 39.5% group male ages 35 to 44 was the biggest gap with female by figure 52.5%, neverthelles, it then experienced becoming narrowed continuously following olderly age groups till 55 to 64 in which male percentages of routine exercise increased slightly while female percentages were almost stagnant. Finally, ages category of 65 and over, between male and female became the narrowest gap by figures 46.7% and 47.1%, repectively. To sum up, it can be seen that the percentages of age female were always dominant in each age category, with the exception the youngest group. (161 words) Written by MK Ridwan
Genteng, daun pohon jambu, gang kecil berpelur, jalan aspal, sampai cucianku yang lupa diambil da... more Genteng, daun pohon jambu, gang kecil berpelur, jalan aspal, sampai cucianku yang lupa diambil dari jemuran, semua basah kuyup. Bandung dimusim hujan selalu kelabu dan hawa dinginya serasa meresap sampai ke dalam tulang. Semua terasa pas dengan hatiku yang sendu. Kesedihan ditinggal ayah belum juga pupus. Nilai ujianku berantakan. Duit tidak ada dan aku sudah malu untuk terus meminjam kiri-kanan. Ingin aku pulang saja, tapi amak melarang pula. Bila aku berdiri di depan kaca, mukaku tampak lebih tirus dan pangkal lenganku makin menyusut. Kurus. Mungkin karena banyak pikiran dan kurang makan serta tidur. Suatu hari sepulang kuliah aku lewat trotoar pasar simpang yang selalu riuh. Tiba-tiba hujan mengguyur lebat dan harus berteduh di emper sebuah toko pakaian. Hujan dimusim ini bisa datang dan pergi dalam sekejap. Aku merapatkan badan ke beberapa celana jins yang digantung, supaya tidak kena tempias hujan. Aku mundur dan kakiku menyentuh orang yang duduk di sebelahku. Aku minta maaf dan aku tertegun. Orang itu tidak duduk menunggu hujan, tapi dia sedang bekerja. Untuk pertama kali aku menyadari tukang sepatu yang sering aku lihat duduk di ujung trotoar ini bukan orang biasa. Dia dengan telaten sibuk menikamkan jarum jahitnya ke sol sebuah sepatu yang tebal. Tidak ada yang aneh sampai aku sadar bahwa dia tidak mengguanakan dua tangan. Hanya satu tangan kanan. Lengan baju kirinya berkibar-kibar ditiup angin. Tidak ada isinya. Sebagai pengganti tangan kiri, dia menggunakan jari kakinya untuk menarik jarum dari sol sepatu tadi. Yang membuatku terkesan adalah dia melakukan semuanya dengan semangat, seakan-akan tidak memedulikan bahwa dirinya cacat. Bahkan dia masih sempat bergeser memberi aku tempat berteduh sambil melempar senyum. " kalau perlu serpis sepatu, bawa ke mang udin aja yah, " katanya ketika kami mengobrol sambil menunggu hujan reda. Sosok mang udin, tukang sepatu bertangan satu ini tidak bisa hilang dari kepalaku semalaman. Kenapa aku terbenam dari kemalanganku? Terlalu fokus dengan kekuranganku? Terlalu mengasihani diri sendiri? Padahal kalau dibanding tukang sepatu itu, nasibku jauh lebih baik. Aku malu telah terlalu larut dengan nasibku. Aku malu dengan tukang sepatu itu. Dunia akan tetap berputar.
Doktrin tentang larangan seorang perempuan menjadi pemimpin, semakin tidak relevan dengan hadirny... more Doktrin tentang larangan seorang perempuan menjadi pemimpin, semakin tidak relevan dengan hadirnya sosok-sosok perempuan tangguh yang mampu berkiprah di dunia publik khususnya politik. Munculnya beberapa pemimpin perempuan baru-baru ini, menunjukan kesadaran masyarakat tentang arti kesetaraan gender. Bahkan dimungkinkan masyarakat mulai lelah atau bahkan kecewa dengan gaya kepemimpinan kaum laki-laki yang cenderung otoriter, represif dan korup. Masyarakat mulai rindu sosok pemimpin yang berkarakter keibuan; mengayomi, menyayangi dan selalu memperhatikan masyarakatnya. Tidak Ada Larangan Agama, Perempuan Berpolitik Wacana perempuan berpolitik telah berkembang mulai dari tingkatan lokal, nasional, bahkan internasional yang membicarakan suksesi kepemimpinan kaum perempuan. Meskipun di sela keragu-raguan atas dogma agama yang mengharuskan perempuan untuk selalu menjadi " makmum ". Karena bagaimanapun, kepercayaan terhadap superioritas kaum laki-laki atas perempuan masih menjadi doktrin utama di kalangan masyarakat Muslim. Pendapat ini biasanya dasarkan pada Surat an-Nisa [4] 34 yang berbunyi " ar-rijalu qawwamuna alan-nisà i " (laki-laki adalah pelindung / pemimpin bagi perempuan). Berbekal ayat inilah , sebagian ulama memandang bahwa laki-laki lebih layak untuk menjadi seorang pemimpin baik domestik (rumah tangga) maupun publik (politik pemerintahan). Tetapi , setelah ditelusuri bahwa , ayat tersebut lebih bersifat privat. Artinya , ayat tersebut adalah suatu kasuistik dan tidak bisa digeneralisasikan. Bahkan , ayat tersebut menggunakan kata " rijal " yang berarti mampu atau dalam istilah modern adalah " profesional " yang lebih bermakna gender atau peran sosial , bukan seks atau jenis kelamin. Karena al-Qur ' an tidak menggunakan kata " dzakaru " yang bermakna jenis kelamin laki-laki. Hal ini membuktikan bahwa Islam sangat mendorong siapapun baik itu laki-laki maupun perempuan , untuk berperan aktif dalam bidang politik dan kepemimpinan publik , dengan syarat ia memiliki kemampuan dan profesionalisme. Permasalahannya adalah , selama ini anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan dilarang untuk menjadi pemimpin. Ini adalah suatu dogma yang keliru dan bersifat sumir dengan bumbu-bumbu politik demi memposisikan rendah kaum perempuan. Supaya dapat dengan mudah diperalat , dikontrol dan dimanfaatkan oleh laki-laki. Mari kita lihat bagaimana al-Qur ' an menerima kepemimpinan seorang perempuan. Di dalam Surat an-Naml [ 27 ] : 29-35 tercatat sejarah seorang ratu bernama Bilqis yang memimpin kerajaan Sabà saat menyikapi surat yang datang dari Raja Sulaiman. Sebuah kerajaan yang penduduknya menyembah matahari. Meskipun ayat-ayat tersebut berisi tentang kisah Ratu Bilqis , namun ayat tersebut menyimpan makna implisit dan simbolik sebagai dasar justifikasi legal tentang kebolehan seorang perempuan memimpin sebuah negeri. Secara implisit , al-Quràn mencatat kisah ini dengan bahasa yang lugas dan tegas serta sama sekali tidak melakukan kritik dan mencela terhadap gaya kepemimpinannya. Al-QurànjustrumemberikangambaranyangjelasbetapabaikdantepatnyakepemimpinanRatuBilqissebagaipemimpinnegeriSaba'.Al
In this era, it is nearly impossible to do anything without the use of sophisticated communicatio... more In this era, it is nearly impossible to do anything without the use of sophisticated communication technology such a social media. In spite of the first time in history, our generation has the advanced tools to virtually connect with friends and family from worldwide in real time. Armed with social media platforms and the newest gadgets, we can easily catch up with old friends and meet new people, all while being able to express our inner selves, creativity, and passions. However, on the surface, it may seem like modern technology leading to more social involvement. Social media apps promise to "connect" us with others, when in fact they just foster shallow relationships. Digital communication endlessly can never supersede in person, face-to-face, contact in building relationshipspersonal and professional (Kraut, 1998: 70). No amount of digital media are able to replace real-life conversations or laughter. Clearly, we present a well-argued that those kinds of connections just isolate us from others in the real world. Through social media, surely, what can we make thousands of connections with people each day? Is quantity not equal quality in the friendships? It can be argued that the mode of communications such as social media is usually one dimensional and ephemeral. Take two of the most popular forms of social media: Instagram and Facebook, approximately 77 and 52 million monthly users, respectively. Do you earnestly feel like you making a lasting connection with someone when you like their photo? That is an ardent innocence when you say, yes. Social media reshapes how we connect. It is discernibly we have to rethink what we need to feel fulfilled in our relationships, and realize that no amount of tweets or Facebook status updates can provide it. While social networking is a marvellous tool, there is a profound difference between an online social network and a real one. Social media allows us to control what we share. It appeals to our vulnerability and vanity. Friends who we connect with on social media may be vastly different from our real networks. As humans, we crave intimacy. Margie Warrell says, "Neurobiologists have found we are wired for it. Yet genuine intimacy demands vulnerability and vulnerability requires courage. It requires that we lay down the masks we can so easily hide behind online, and reveal all of who we are with others-the good, the bad and the sometimes not so (photo-shopped) pretty" (Warrell, 2015: 26).
Nowadays, indirectly we do not realize that technology has been become like 'monkey in our pocket... more Nowadays, indirectly we do not realize that technology has been become like 'monkey in our pocket'. Every day, every time and everywhere we cannot put down our smartphone onto a table or leave it at home when we will go to the somewhere. We are unaware that we are being addicted to technology. We extremely rely on our life with technology. This fact exemplifies that we cannot live without technology which is driving our vulnerability. We become weak, fear and even dumb when technology will be omitted from this sphere. What happened to us? What happened to human? We know that human is one and the only creature which is the greatest in this universe. But, right now, this epithet had been extinct which is solely remain of weakness creature. Base on the aforementioned, I would like to give you an illustration. Let we conceive one day without your smartphone: you would probably be unable to recall your to-do list, find where you need to go and keep up with boredom. Now, remember how much you over-spent on music, travel, movies, and food ten years ago, and how limited our knowledge of anything was before Google and Wikipedia. On the one hand, our life is now more efficient, cheaper, simpler and faster thanks to the rise of apps and connectivity. However, that also exposes the intellectual vulnerability of our offline life-without internet access, even a seven-years-old is smarter than us. Although it cannot be denied that this is a double-edged sword and divides about whether or not technology makes us smarter or dumber. Yes, technology does give the ability to be an extremely great learning and information avenue. You can connect to people you do not know to expand knowledge, education and other things that are useful to one's self. But, on the other hand, it is made society dumber and a-social and extremely self-absorbed. This is true that technology will give far more detrimental effects than benefits. Overusing of technology will be catastrophic towards humanity. Personally, it is inconceivable when we will against our existent itself. Now, let's mention consecutively how foolish technology makes we are. Firstly, higher use of a mobile phone was associated with faster and less accurate responding to higher level cognitive tasks (biomagnetics); Secondly, a study found that employees who divided their attention between email and other tasks experienced a 10-point decline in IQ. Their decrease in intellectual ability was as great as if they'd missed a whole night's sleep and twice as great as if they'd been smoking marijuana (Time; CNN); Thirdly, students who were asked to recall a passage of text remembered significantly more of the passage after a week if they had written it our in cursive than if they had written it in print or by typing (Scientific American; Saperstein Research). In addition, we can put several results from America when they attempted to assess the overall effect of technology. By the poll provide information that; 49% of Americans report it makes people dumber while 46% say technology makes individuals smarter. A slim majority, 51%, says the benefits to society outweigh the privacy risks of technological advances. Meanwhile, on the question of intelligence, Millennials, 53%, and Gen X, 53%, are more likely than Baby Boomers, 48%, and the Silent-Greatest generation, 38%, to say technology makes us dumber (maristpoll, www.datarevelations.com).
Telinga kita seringkali mendengar ungkapan bahwa Indonesia adalah bangsa majemuk, baik dari plura... more Telinga kita seringkali mendengar ungkapan bahwa Indonesia adalah bangsa majemuk, baik dari pluralitas budaya, suku, etnis, golongan dan agama. Bahkan ungkapan ini telah menjadi sebuah klise dan hampir tidak ada seorangpun menyangkalnya. Kebanyakan dari kita menyetujui bahwa ini merupakan suatu anugerah yang memperkaya khasanah kebudayaan di Indonesia. Sebagai contoh, Indonesia memiliki berbagai ajaran agama, baik yang diakui oleh pemerintah seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu, maupun bentuk-bentuk kepercayaan lainnya yang bersifat lokal dan budaya. Keunikan ini tidak banyak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Ini menjadi hal yang berharga ketika dapat dikelola dengan baik, sesuatu yang bisa menampilkan keharmonisan kehidupan beragama adalah hal yang langka. Namun, apakah kita juga menyadari bahwa pemahaman akan pluralitas tersebut bisa jadi salah dan menjadi rawan untuk menimbulkan konflik dan perpecahan.
Setelah 22 Oktober diperingati Hari Santri Nasional (HSN) yang mayoritas para santri adalah kaum ... more Setelah 22 Oktober diperingati Hari Santri Nasional (HSN) yang mayoritas para santri adalah kaum muda, kini pemuda Indonesia akan kembali menyambut salah satu sejarah paling penting bagi kelahiran bangsa Indonesia yaitu Hari Sumpah Pemuda (HSP) yang diperingati setiap tanggal 28 Oktober. Cukuplah hal-hal ini bisa dijadikan apologi bahwa Oktober adalah bulan pemuda. Pemuda adalah sosok yang selalu berpikir tentang perubahan. Pemuda adalah sosok pemikir yang selalu cepat dalam segala sesuatu tanpa memikirkan risiko apalagi tentang kegagalan. Sistemnya, pemuda selalu optimis pada tujuan keberhasilan dan bayangan akan kesuksesan dari sebuah rencana. Inilah karakter kaum muda, yang selalu bertindak aktif dan responsif terhadap berbagai isu kebangsaan dan tidak Dimuat oleh Geotimes.co.id (Jum'at, 25 Oktober 2019)
Agama dan budaya adalah dua entitas yang saling beriringan. Bahkan keduanya saling beririsan satu... more Agama dan budaya adalah dua entitas yang saling beriringan. Bahkan keduanya saling beririsan satu sama lain. Meskipun agama bersifat Illahi, tetapi karena fungsinya sebagai penuntun gerak manusia, menjadikannya sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Agar bisa diakses oleh manusia agama kemudian turun membumi dan melebur menjadi satu dengan manusia. Pada sisi yang lain, manusia memiliki kebudayaan sebagai konsekuensi logis bahwa manusia adalah produsen kebudayaan.
Kultur akademik memang selalu diwarnai dengan perdebatan panjang. Lahirnya tesis, anti-tesis dan ... more Kultur akademik memang selalu diwarnai dengan perdebatan panjang. Lahirnya tesis, anti-tesis dan sintesis merupakan aktivitas yang tidak pernah absen dari tradisi akademik. Teori dari Wilhelm Friedrich Hegel ini memang selalu relevan untuk melihat tradisi keilmuan yang selalu berkembang, konteks yang selalu berubah, lahirnya temuan-temuan baru, dan struktur sosial yang kompleks, menjadikan ilmu pengetahuan dinamis dan tidak mengenal kata final. Sebagai contoh, beberapa kontroversi di dunia akademik, misalnya tentang disertasi konsep milk al-yamin beberapa waktu yang lalu sempat menyita perhatian publik medsos. Para netizen beramai-ramai memperbincangkan tentang isi disertasi tersebut. Secara umum tergambar bahwa hampir semua netizen memberikan komentar negatif tentang disertasi tersebut, bahkan tidak sedikit yang menghujatnya. Polemik yang tampak di medsos seakan begitu pelik, mengisahkan keabsahan suatu yang haram untuk dilegalkan, pelanggaran syariat Islam, dan kebobrokan tradisi akademik di Perguruan Tinggi, adalah seonggok komentar yang tersebar di sepanjang media sosial. Inilah keistimewaan dunia medsos di mana mereka berhak berpendapat apapun * Dimuat oleh Salatigainstitute.org (Selasa, 12 November 2019)
MK Ridwan Islam yang lahir di Jazirah Arab pada abad ke-7 masehi, merupakan suatu determinasi yan... more MK Ridwan Islam yang lahir di Jazirah Arab pada abad ke-7 masehi, merupakan suatu determinasi yang tidak dapat disangkal dan dipengaruhi oleh kehendak manusia. Tidak ada seorang pun yang menginginkan bahwa Islam harus lahir di dalam masyarakat kesukuan Arab. Kenyataan ini menegaskan bahwa proses kelahiran Islam tersebut tidak terjadi dalam ruang vakum kultural, melainkan dalam kondisi yang penuh dengan sistem moral dan kebudayaan masyarakat setempat. Karenanya Islam hadir sebagai sesuatu yang relatif baru. Pada akhirnya, penetrasi Islam ke dalam sistem masyarakat Arab menyebabkan adanya proses adopsi, modifikasi dan filtrasi terhadap sistem kebudayaan. Dalam konteks inilah, seringkali Islam menyerap unsur-unsur lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajarannya.
Zakat merupakan tradisi flantropi Islam yang dinamis dan transformatif. Konsep dan praksisnya sen... more Zakat merupakan tradisi flantropi Islam yang dinamis dan transformatif. Konsep dan praksisnya senantiasa berkembang dan bergerak mengikuti perubahan zaman. Salah satunya konsep mustahik yang mengalami perluasan dan penyempitan sesuai kultur dan struktur sosio-ekonomi masyarakat yang berlaku. Dengan menggunakan pendekatan sisiologis-hermeneutis, penelitian ini menyimpulkan bahwa mantan narapidana terorisme (napiter), dapat menjadi mustahik zakat dalam dua kategori; pertama, mantan napiter ekonomi lemah, masuk ke dalam ashnaf faqir, kedua, mantan napiter dengan ekonomi menengah ke atas, masuk ke dalam ashnaf muallafah qulûbuhum. Kata Kunci: Zakat, Mustahik, Mantan Napiter
Uploads
Papers by MK Ridwan
dalam realitas kemanusiaan seakan memiliki wajah mendua. Pada
satu sisi, agama dihadapkan dengan permasalahan konflik antar umat
beragama. Agama mempertontonkan arogansi berupa kekerasan,
peperangan, kebencian bahkan pembunuhan. Namun di sisi lain, agama
dihadapkan pada realitas ketidakberdayaan. Betapa umat beragama
masih mengalami kemiskinan, pemiskinan, ketidakadilan, kebodohan,
keterbelakangan dan penindasan. Ini menunjukkan bahwa agama belum
mampu mengatasi problem sosial. Melalui tulisan ini, kompleksitas
dan keruwetan wajah agama, berusaha untuk dibedah menggunakan
pisau analisis sosiologis-hermeneutis yang menekankan pada proses
dialektika antara idealitas dengan realitas masyarakat beragama.
Sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa masyarakat
beragama harus mampu dan mau menerapkan prinsip gerak menuju
agama cita. Yaitu sebuah paradigma futuristik yang berangkat dari pemahaman agama secara optimis-positivistik. Sebagai langkah gerakan
konseptual-praksis-fungsional agama sebagai katalisator perubahan
sosial. Maka, akan ditemukan sebuah peran agama yang lebih responsif
dan kooperatif dalam regulasi sosial, tatanan moral, transformasi sosial,
serta menciptakan dan mengatur bentuk-bentuk sosial-kebudayaan.
Kata Kunci: Agama, konflik, nilai-nilai universal, kooperatif, perubahan
sosial
Indonesian is a diverse country with a variety of ethnic, class and religion. The potential for conflict over differences, can lead to disintegration of the nation. Reality is happening in the community, just a lot of conflict fueled by religion. Exclusive attitude of each religion, appears due to improper understanding of the substance of religion. For that we need a new understanding about the attitudes that must be done by humans to the existing plurality. Al-Qur'an as a guide to life, must be understood and interpreted by promoting the moral message of the Koran. This paper seeks to provide a view of the new paradigm of Islamic ethics to other communities (the others) in the context of social life. It aims to establish Islamic worldview (Weltanschauung) is based on the principle of rahmatan lil alamin. By optimizing the formulation methodology contextualist interpretation (contextualist interpretation) that the interpretation of the Koran is not just taking care of the language of the Koran, but also the critical aspects of socio-hostorical period of revelation. In this case means trying to revive the prophetic spirit (Prophethood), or with other languages, what would the Prophet will do and provide solutions, if he lived in the days of the moment. So it was concluded that the ethics of Muslims against the others is the attitude cooperatif in advancing human civilization.
Tafsir al-Qur'an menempati posisi sentral dalam perkembangan tradisi intelektual umat Islam. Sebagai sumber utama, al-Qur'an selama berabad-abad telah dieksplorasi dan dipahami menggunakan berbagai macam pendekatan dan metode untuk memenuhi setiap kebutuhan zaman. Dominasi model penafsiran tekstual dalam tradisi penafsiran al-Qur'an sepanjang sejarah Islam, telah menggerakkan Abdullah Saeed, seorang guru besar Islamic Studies Universitas Melbourne, untuk menawarkan alternatif model penafsiran " kontekstual " yaitu sebuah model pendekatan dalam menafsirkan al-Qur'an yang lebih peka konteks. Karena model penafsiran tekstual
Drafts by MK Ridwan
dalam realitas kemanusiaan seakan memiliki wajah mendua. Pada
satu sisi, agama dihadapkan dengan permasalahan konflik antar umat
beragama. Agama mempertontonkan arogansi berupa kekerasan,
peperangan, kebencian bahkan pembunuhan. Namun di sisi lain, agama
dihadapkan pada realitas ketidakberdayaan. Betapa umat beragama
masih mengalami kemiskinan, pemiskinan, ketidakadilan, kebodohan,
keterbelakangan dan penindasan. Ini menunjukkan bahwa agama belum
mampu mengatasi problem sosial. Melalui tulisan ini, kompleksitas
dan keruwetan wajah agama, berusaha untuk dibedah menggunakan
pisau analisis sosiologis-hermeneutis yang menekankan pada proses
dialektika antara idealitas dengan realitas masyarakat beragama.
Sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa masyarakat
beragama harus mampu dan mau menerapkan prinsip gerak menuju
agama cita. Yaitu sebuah paradigma futuristik yang berangkat dari pemahaman agama secara optimis-positivistik. Sebagai langkah gerakan
konseptual-praksis-fungsional agama sebagai katalisator perubahan
sosial. Maka, akan ditemukan sebuah peran agama yang lebih responsif
dan kooperatif dalam regulasi sosial, tatanan moral, transformasi sosial,
serta menciptakan dan mengatur bentuk-bentuk sosial-kebudayaan.
Kata Kunci: Agama, konflik, nilai-nilai universal, kooperatif, perubahan
sosial
Indonesian is a diverse country with a variety of ethnic, class and religion. The potential for conflict over differences, can lead to disintegration of the nation. Reality is happening in the community, just a lot of conflict fueled by religion. Exclusive attitude of each religion, appears due to improper understanding of the substance of religion. For that we need a new understanding about the attitudes that must be done by humans to the existing plurality. Al-Qur'an as a guide to life, must be understood and interpreted by promoting the moral message of the Koran. This paper seeks to provide a view of the new paradigm of Islamic ethics to other communities (the others) in the context of social life. It aims to establish Islamic worldview (Weltanschauung) is based on the principle of rahmatan lil alamin. By optimizing the formulation methodology contextualist interpretation (contextualist interpretation) that the interpretation of the Koran is not just taking care of the language of the Koran, but also the critical aspects of socio-hostorical period of revelation. In this case means trying to revive the prophetic spirit (Prophethood), or with other languages, what would the Prophet will do and provide solutions, if he lived in the days of the moment. So it was concluded that the ethics of Muslims against the others is the attitude cooperatif in advancing human civilization.
Tafsir al-Qur'an menempati posisi sentral dalam perkembangan tradisi intelektual umat Islam. Sebagai sumber utama, al-Qur'an selama berabad-abad telah dieksplorasi dan dipahami menggunakan berbagai macam pendekatan dan metode untuk memenuhi setiap kebutuhan zaman. Dominasi model penafsiran tekstual dalam tradisi penafsiran al-Qur'an sepanjang sejarah Islam, telah menggerakkan Abdullah Saeed, seorang guru besar Islamic Studies Universitas Melbourne, untuk menawarkan alternatif model penafsiran " kontekstual " yaitu sebuah model pendekatan dalam menafsirkan al-Qur'an yang lebih peka konteks. Karena model penafsiran tekstual
Kata Kunci: Zakat, Mustahik, Mantan Napiter