Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Skip to main content
Pasca runtuhnya rezim otoritarian Orde Baru, pers mahasiswa mengalami titik balik. Apa yang sebelumnya diperjuangkan justru membuat pers mahasiswa terpinggirkan dan perannya diabaikan. Gangguan krisis eksistensial melanda salah satu... more
Pasca runtuhnya rezim otoritarian Orde Baru, pers mahasiswa mengalami titik balik. Apa yang sebelumnya diperjuangkan justru membuat pers mahasiswa terpinggirkan dan perannya diabaikan. Gangguan krisis eksistensial melanda salah satu entitas gerakan mahasiswa ini. Situasi sosial politik juga memaksanya untuk mengusung gagasan back to campus. Tepat dalam waktu yang sama, muncul gejala komersialisasi dalam dunia pendidikan tinggi di tanah air.

Gejala ini pada awalnya ditandai dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Pendidikan Tinggi Sebagai Badan Hukum. Aturan tersebut dianggap sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah untuk membiayai pendidikan. Perguruan Tinggi di tanah air dipaksa mencari sumber pembiayaan lain untuk biaya operasional. Dampak utamanya, biaya pendidikan menjadi semakin mahal dan tak terjangkau masyarakat kalangan menengah ke bawah.

Pers mahasiswa, menjadi salah satu elemen mahasiswa yang melakukan penolakan terhadap komersialisasi pendidikan. Resistensi dilakukan oleh sebagian besar pers mahasiswa di Indonesia. Dalam penelitian ini, pers mahasiswa yang diteliti adalah Balairung UGM, Catatan Kaki Unhas, dan Suara USU. Ketiganya menunjukkan perlawanan “yang sama tapi berbeda” atas komersialisasi yang terjadi di kampus masing-masing. Secara lebih spesifik, penelitian difokuskan pada berita-berita yang ditampilkan pada tahun 2000-2005. Kurun waktu ini merupakan era awal terjadinya komersialisasi pendidikan yang dilegitimasi oleh berbagai kebijakan pemerintah. 

Untuk melihat bagaimana penolakan tersebut dilakukan, penelitian ini menggunakan analisis wacana Teun Van Dijk. Van Dijk membagi tiga dimensi wacana yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Tiga dimensi ini mampu menautkan antara teks yang berada dalam ranah mikro, kognisi sosial di ranah meso dengan konteks sosial yang merupakan ranah makro. Dengan menghubungkan ketiganya, bisa didapatkan kesimpulan yang utuh tentang strategi pers mahasiswa dalam menampilkan wacana komersialisasi pendidikan. 

Kata Kunci: Pers Mahasiswa, Komersialisasi Pendidikan, Wacana
Research Interests:
Research Interests:
This article tells the story of football when it cannot be separated from its supporters. In the case of Sleman Football Association (PSS) there are two groups of supporters. They are green face, “Slemania,” who represent... more
This article tells the story of football when it cannot be separated from its supporters. In the case of Sleman Football Association (PSS) there are two groups of supporters. They are  green  face,  “Slemania,”  who  represent  the  old  wing supporters, considered to be the more conservative of the two and Black face, “Brigata Curva Sud,” who represent the new wing of supporters considered to be more progressive than its predecessor. Both groups are located behind the north and south goals and voice their support for the same football team. The struggle over identity and space is not only visible during match time but also carries over into the public area, particularly in the case of supporters at the village level. Not only do they voice their fanaticism but they possess different identities.
Research Interests:
The victory of Jokowi and Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) in the 2012 Jakarta election has marked an important stage in the development of political marketing on contemporary Indonesian politics. Social media provides a great influence in... more
The victory of Jokowi and Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) in the 2012 Jakarta election has marked an important stage in the development of political marketing on contemporary Indonesian politics. Social media provides a great influence in this election. Social media became an effective tools to organize people and mobilize voters. In the era of political personalization after the authoritarian New Order, mix-mediated political marketing which combine social media, mass media, and traditional political marketing can be an alternative strategy for the candidate or political party to win the election.

Keywords : Jokowi – Ahok, Social Media, Mix-Mediated Political Marketing
Research Interests:
Research Interests: