Buku Diaspora Melanesia di Nusantara diharapkan bisa memberikan pemahaman yang lebih kompehensif ... more Buku Diaspora Melanesia di Nusantara diharapkan bisa memberikan pemahaman yang lebih kompehensif tentang Melanesia, khususnya ketika dikaitkan dengan bingkai ke-Indonesia-an. Selama ini banyak orang yang salah paham mengenai Melanesia, bahwa seolah-olah Melanesia itu tidak memiliki keterkaitan dengan Indonesia. Padahal, realitas menunjukkan bahwa mayoritas orang Melanesia itu sebenarnya berada di Indonesia, yaitu di Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Di wilayah in juga terdapat percampuran biologis yang berlangsung selama ribuan tahun antara Ras Mongoloid dengan Austrolomelanesid. Hal serupa juga terjadi di negara-negara Kepulauan Pasifik
Objek penelitian ini adalah nama tempat atau toponim. Toponim merupakan bagian dari identitas bud... more Objek penelitian ini adalah nama tempat atau toponim. Toponim merupakan bagian dari identitas budaya. Penelitian in bertujuan untuk mendeskripsikan tiga aspek nama yaitu 1) bentuk, 2) makna, dan 3) latar belakang penamaan tempat-tempat bersejarah terkait masyarakat Cina Benteng, Tangerang, Banten. Nama tempat adalah salah satu bentuk data bahasa yang berisi seperangkat nilai kearifan lokal yang harus dipahami, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pada kajian linguistik nama dianggap sebagai satuan lingual secara bentuk, memiliki makna, dan memiliki fungsi baik ditingkatan bahasa maupun konteks sosial. Secara praktis nama digunakan untuk identifikasi wilayah, dan mempermudah proses perpindahan atau migrasi masyarakat. Secara kebahasaan, penamaan tempat merupakan dokumentasi bahasa yang berfungsi baik secara individu sebagai bentuk pemahaman diri dan secara kolektif sebagai bentuk identitas kolektif sebuah etnis atau masyarakat. Penelitian ini menggunakan Cina Benteng sebagai obj...
Bahasa adalah salah satu kemampuan alamiah yang dianugerahkan pada umat manusia. Sedemikian alami... more Bahasa adalah salah satu kemampuan alamiah yang dianugerahkan pada umat manusia. Sedemikian alamiahnya sehingga kita tak menyadari bahwa tanpa bahasa, umat manusia tak mungkin mempunyai peradaban yang di dalamnya termasuk agama, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Bahasa merupakan salah satu properti yang lekat secara biologis pada manusia dan hampir semua aktivitas manusia memerlukan bahasa. Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika kita mengatakan bahwa kajian mengenai bahasa dapat membantu memahami kehidupan manusia di berbagai bidang. Salah satu pintu masuk untuk memahami kehidupan manusia, dapat dilakukan melalui bahasa--yang memiliki salah satu fungsi sebagai penyimpan tata nilai budaya termasuk etika dan moral--dalam berbagai bentuk misalnya leksikal, pantun, cerita rakyat, mitos, legenda, dan ungkapan. Berdasarkan uraian di atas, maka kini dapat memulai melakukan penelisikan terhadap situasi kebahasaan di Indonesia, sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, khususnya untuk meninjau dari sudut keragaman dan kepunahan bahasanya.
Cina Benteng and Tangerang become one whole unit, as an object and context that has the potential... more Cina Benteng and Tangerang become one whole unit, as an object and context that has the potential to be studied from the perspective of language and culture. Cina Benteng has their uniqueness and distinct in term of their abilities in adaptating and acculturating culture compared to other Chinese community in Indonesia. At the linguistic level, the kinship term is universal, it is found in all languages and is also unique at the same time, as it characterizes the community that owns the kinship terms. This study aims to describe the terms in the Chinese Benteng kinship system through the classification of kinship terms which are analyzed semantically and also analysize of the languages that forms kinship terms. The data of this study was compiled using a qualitative descriptive approach. The interview method was used to gather information from informants, while note-taking techniques were also used as document data collection. The results of the analysis show that kinship terms in the Benteng Chinese community are grouped into three, namely direct, indirect, and marital relations. The results of the analysis show that Chinese kinship terms in general still utilizing the kinship structure and system as general Chinese community in other cities in Indonesia, for example the differences in term of relatives from the father's and mother's sides. But at the same time it also points to the uniqueness by combining Chinese kinship terms that adapt and intersect with local aspect of cultural and linguistic contexts. The distribution of the languages that are being used in the Chinese Benteng kinship terms are Chinese, Indonesian (Melayu), Sundanese, and Javanese.
Objek penelitian ini adalah nama tempat atau toponim. Toponim merupakan bagian dari identitas bud... more Objek penelitian ini adalah nama tempat atau toponim. Toponim merupakan bagian dari identitas budaya. Penelitian in bertujuan untuk mendeskripsikan tiga aspek nama yaitu 1) bentuk, 2) makna, dan 3) latar belakang penamaan tempat-tempat bersejarah terkait masyarakat Cina Benteng, Tangerang, Banten. Nama tempat adalah salah satu bentuk data bahasa yang berisi seperangkat nilai kearifan lokal yang harus dipahami, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pada kajian linguistik nama dianggap sebagai satuan lingual secara bentuk, memiliki makna, dan memiliki fungsi baik ditingkatan bahasa maupun konteks sosial. Secara praktis nama digunakan untuk identifikasi wilayah, dan mempermudah proses perpindahan atau migrasi masyarakat. Secara kebahasaan, penamaan tempat merupakan dokumentasi bahasa yang berfungsi baik secara individu sebagai bentuk pemahaman diri dan secara kolektif sebagai bentuk identitas kolektif sebuah etnis atau masyarakat. Penelitian ini menggunakan Cina Benteng sebagai objek penelitian. Etnis Cina Benteng memiliki keunikan baik dalam ciri – ciri fisik maupun aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Data penelitian ini berupa variasi toponim sewan yang ditemukan sebanyak 12 variasi. Penelitian deskriptif kualitatif ini memanfaatkan teori etnosemantik dan linguistik antropologi. Penelitian ini memanfaatkan data primer yang diambil dengan pendekatan etnografi melalui teknik libat, cakap, catat, dan rekam. Hasil penelitian menggambarkan variasi toponim sewan menggambarkan aspek sejarah dan budaya yang mencakup 1)tokoh setempat yang berpengaruh, 2) peristiwa sejarah di sebuah lokasi, dan 3)pengetahuan lokal terkait budaya setempat.
Our team intends to create an electronic dictionary of contemporary Indonesian, based on extensiv... more Our team intends to create an electronic dictionary of contemporary Indonesian, based on extensive data from a large electronic corpus of Indonesian texts, a method which has been used by such pioneering projects as the Collins COBUILD project. This progress report looks at the team's work to date. The project will involve at least two stages, the first of which is the corpus design and lexical analysis
Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Atma Jaya: Ketujuh Belas , 2003
Tulisan ini lebih bersifat "laporan perkembangan" pembuatan elektronik korpus linguistik bahasa I... more Tulisan ini lebih bersifat "laporan perkembangan" pembuatan elektronik korpus linguistik bahasa Indonesia - sebuah langkah awal menuju pengembangan kamus elektronik bahasa Indonesia yang memenuhi standar internasional. Ulasan yang akan disampaikan dalam tulisan ini terutama menyangkut berbagai faktor yang harus dipertimbangkan pada saat merancang pembentukan korpus, berbagai persoalan yang dihadapi pada saat pembentukan korpus, dan juga pemanfaatan korpus itu sendiri
Semiotika: Mencerap Tanda, Mendedah Makna. Persembahan bagi Profesor Benny Hoedoro Hoed, Pembangun Fondasi Pengkajian Semiotika di Indonesia, 2021
Toponimi dan Budaya dalam Lanskap Semiotik [Toponymy and Culture in Semiotic Landscapes]
Artikel... more Toponimi dan Budaya dalam Lanskap Semiotik [Toponymy and Culture in Semiotic Landscapes]
Artikel ini akan mengkaji dua contoh studi kasus terkait dinamika toponimi sebagai sebuah tanda di lanskap Jawa: 1) pada pergantian tiga nama jalan jantung Kota Yogyakarta pada 2013; dan 2) pergantian nama jalan di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya pada 2017 dan 2018.
Tulisan ini merupakan pengembangan dari penelitian toponimi di Yogyakarta yang dilakukan tim penulis dan penelitian disertasi yang tengah dilakukan oleh Fajar Erikha. Sejumlah artikel berkaitan dengan bagian-bagian lain dari kedua penelitian ini telah terbit dan dalam proses publikasi.
Saran pengutipan (berdasarkan format APA ke-7): Erikha, Fajar, Wuryandari, N. W., Munawarah, S., & Lauder, M. R. (2021). Toponimi dan Budaya dalam Lanskap Semiotik. In U. Yuwono, F. X. Rahyono, & T. Christomy (Eds.), Semiotika: Mencerap Tanda, Mendedah Makna. Persembahan bagi Profesor Benny Hoedoro Hoed, Pembangun Fondasi Pengkajian Semiotika di Indonesia (pp. 163–180). Wedatama Widya Sastra & Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Penghargaan: Terima kasih kepada Komunitas Toponimi Indonesia atau Kotisia (Profesor Multamia R.M.T Lauder, Dr. Ninny Soesanti Tedjowasono, Nurni W. Wuryandari Ph.D., Dr. Lilie Suratminto, Dr, Andriyati Rahayu, Sri Munawarah, Dr. Zarmahenia Muhatta, Inayah Wardany and Rizky Fardhyan) telah membantu dan berkenan berkontribusi pada sebagian studi ini pada 2017 melalui Hibah Riset Klaster Fakultas Ilmu Pengetahuan (FIB)
Osing is the name of a Javanese dialect found in Kemiren Village in Banyuwangi, East Java. The di... more Osing is the name of a Javanese dialect found in Kemiren Village in Banyuwangi, East Java. The distinctiveness of this dialect led the Banyuwangi Government to declare Osing a Tourist Village in 1995. The distinctive features of the dialect include not only its pronunciation, but also the absence of language levels found in all other Javanese dialects. Curiosity about the place and the dialect draw many local and foreign tourists to visit Osing Tourist Village. It is possible that the influx of a significant number of visitors to Osing Village has an impact on the use of the Osing dialect. This research therefore attempts to identify how the Tourist Village status impacts the maintenance of Osing as a dialect of Banyuwangi Javanese. Data on 200 basic words in the Swadesh list were gathered using one participant from each village in Glagah District. This data was analyzed using the methods of dialectology which, compare the phonological, lexicological and sociolinguistic aspects. A combination of quantitative and qualitative methods is applied in this research, where sociolinguistic analysis from observations obtained in the field is the qualitative, while the calculation of dialectometry is the quantitative. The analysis shows that the use of Osing as a Banyuwangi Javanese variety in Kemiren Village has been on a downward trend after the village was given the Tourist Village status. The dialectometry calculation shows clearly that there is no significant difference between the language use in Kemiren Village and that of other villages in Glagah District. This means that the features which define Osing as a distinctive Banyuwangi Javanese dialect have been lost. The Banyuwangi Government should revitalize the use of Osing local varieties to ensure the survival of the region’s linguistic distinctiveness. The use of a sociodialectology approach where phonology, lexicology and sociolinguistics are combined was able to provide empirical evidence on the impact of increased tourist visitor numbers on the attractiveness of Osing in the first place, which is the existence of a distinctive Javanese dialect. The findings are therefore of use to decision makers in local government who can take action to keep the village attractive for tourists, instead of accelerating a shift from the use of local language to Indonesian or English.
Seluruh dunia bergegas menghadapi Era Revolusi Industri 4.0. Di Indonesia, semua lembaga dan keme... more Seluruh dunia bergegas menghadapi Era Revolusi Industri 4.0. Di Indonesia, semua lembaga dan kementerian termasuk kemenristekdikti juga sibuk mengarahkan semua perguruan tinggi agar berbenah diri. Akhir-akhir ini, jika kita mengamati berbagai undangan kegiatan ilmiah, hampir semua kegiatan dikaitkan untuk menghadapi disrupsi 4.0. Sehubungan dengan hal itu, sebaiknya kita yang bergerak di bidang humaniora berupaya memahami apa yang sesungguhnya sedang kita hadapi (Popkova, Ragulina, & Bogoviz, 2019).
Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Atma Jaya: Kedua Belas, 1999
Pelacakan bahasa-bahasa Nusantara bukanlah sebuah gagasan baru. Pelacakan bahasa-bahasa nusantara... more Pelacakan bahasa-bahasa Nusantara bukanlah sebuah gagasan baru. Pelacakan bahasa-bahasa nusantara di Indonesia sesungguhnya sudah lama diupayakan. Hanya saja belum tercapai kesatuan pendapat. Perbedaan pendapat yang muncul, mungkin disebabkan karena perbedaan metode penelitian yang dipergunakan serta dasar pemilihannya.
Mahaguru yang Bersahaja: Persembahan untuk Prof. Dr. Muhadjir, 2016
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dalam rangka memperkuat tatanan Negara... more Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dalam rangka memperkuat tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yaitu Dewan Perwaiklan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Pembentukan itu dilakukan dalam rangka menata konstitusi dan juga untuk memenuhi tuntutan proses demokrasi. Pemikiran mendasar mengenai pembentukan DPD RI yaitu untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Pemikiran tersebut berangkat dari pengalaman masa lalu manakala pengambil keputusan yang bersifat sentralistik mengakibatkan ketimpangan dan rasa ketidakadilan. Apalagi jika keputusan sentralistik itu memberikan indikasi ancaman pada keutuhan wilayah NKRI. Selain itu, selama ini, eksistensi dan kinerja unsur Utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI dianggap belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan.
Ilmu Pengetahuan Budaya dan Tanggung Jawabnya, 2011
Indonesia is well known for its great diversity whether biological or cultural. Rich diversity is... more Indonesia is well known for its great diversity whether biological or cultural. Rich diversity is also found with its indigenous, regional languages. It has thirteen local languages with a million or more speakers and also many hundreds of much smaller and less well known languages. They represent the intergenerational transmission of local knowledge, wisdom, and identity over centuries. As languages convey and shape culture and identity, they are an important component in national development. However, development, modernization and globalization and the move to use the national language, Indonesia, are among the forces that are threatening the continued existence of many of these languages. There are hundreds of languages with fewer than a thousand speakers. It is these smallest languages that are most in danger of becoming extinct. Language endangerment and language loss is a world-wide phenomenon and explained by natural processes of language change. However, many experts have argued that the current rapid pace of loss is undesirable and in some cases is unjust. Language loss is considered undesirable for two main reasons: loss of diversity which is though to have value in its own right, and the infringement of linguistic human rights. Major language loss by the end of the century will be inevitable if nothing is done. It is therefore the responsibility of governments, institutions, and universities to create an inventory of the languages and their different make up. This is very much the case in Indonesia. We need to first do research and produce an inventory of the level of endangeredness of the different regional languages. Based on this classification, we need to develop a new language policy that is designed to give proper values to the local languages, rather than ignore them. For those that can be maintained, we should continue to support them in their communities, in public life and education. For those that are too small or endangered, we need to work quickly to describe and record their richness before they disappear forever
Upaya untuk menelisik secara tuntas variasi bahasa bukanlah hal yang mudah. Kesulitan itu, agakny... more Upaya untuk menelisik secara tuntas variasi bahasa bukanlah hal yang mudah. Kesulitan itu, agaknya, terjadi karena pengetahuan dasar kita mengenai variasi budaya di seluruh Indonesia belum tersusun secara lengkap. Usaha ke arah itu dari kalangan ahli antropologi baru muncul pada tahun 90-an, yaitu karya Masinambow (1994) Paradigma Studi Bahasa dan Lingkungan Sosial-Budaya, Melalatoa (1995) Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, Junus Melalatoa dan Masinambow (1995) dan Kebudayaan Lain-Lain dalam Masyarakat Indonesia. Namun, mereka belum sepenuhnya menelusuri variasi dan wilayah budaya karena masih memusatkan perhatian pada tataran inventarisasi. Bahkan sampai saat ini, tampaknya belum terlihat kebijakan budaya yang menyeluruh dan operasional dari pemerintah. Upaya menelisik variasi bahasa tidaklah dilaksanakan untuk alasan etika semata, tetapi lebih pada kebermaknaannya demi perkembangan dan kemajuan peradaban umat manusia. Hal itu justru memaksa kita untuk melihat dari perspektif yang lebih luas yaitu preservasi bahasa dan budaya yang membantu kita untuk melihat bagaimana upaya manusia membentuk kodifikasi untuk pemahaman dan penataan pengetahuan mengenai dunia ini
Proceedings of the International Symposium on Toponymy, 2014
This paper looks at the study of place names (TOPONYMS) from a historical perspective using the m... more This paper looks at the study of place names (TOPONYMS) from a historical perspective using the methods of historical geography, philology, epigraphy, and spatial archaeology. It provides a number of case studies of ancient sites in Indonesia. Place names are of value as part of a nation's cultural heritage. Historical geography is a field at the intersection of history and geography in which toponyms have been a valuable source of data. Further, archaeological studies may also benefit from place name data. Philology and epigraphy allow us to derive data from inscriptions and manuscripts to identity the presence of settlements. An example is given of place names found in 14th and 15th century inscriptions and manuscripts. Research using spatial archaeology methods, meanwhile, involves placing archaeological sties in a spatial frame. One such spatial archaeology study in Java discovers over two hundred temples from between the 8th and 10th centuries. This led to uncovering the place names of villages where the temples were found. Such studies can help reconstruct the patterns of distribution of settlements, migrations, and invasions. Old place names which appear in inscriptions and manuscripts can also provide insights into the culture of the people at that time
Language is a natural ability universal among all humans and over six thousand languages are spok... more Language is a natural ability universal among all humans and over six thousand languages are spoken around the world. Language is acquired by children without conscious effort or instruction. The ability to use language in humans is based in our biology, and has evolved through evolution and sets us apart from other species. It pervades almost all aspects of our life and without it humanity wouldn't have developed civilization, religion, science, and technology.
Buku Diaspora Melanesia di Nusantara diharapkan bisa memberikan pemahaman yang lebih kompehensif ... more Buku Diaspora Melanesia di Nusantara diharapkan bisa memberikan pemahaman yang lebih kompehensif tentang Melanesia, khususnya ketika dikaitkan dengan bingkai ke-Indonesia-an. Selama ini banyak orang yang salah paham mengenai Melanesia, bahwa seolah-olah Melanesia itu tidak memiliki keterkaitan dengan Indonesia. Padahal, realitas menunjukkan bahwa mayoritas orang Melanesia itu sebenarnya berada di Indonesia, yaitu di Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Di wilayah in juga terdapat percampuran biologis yang berlangsung selama ribuan tahun antara Ras Mongoloid dengan Austrolomelanesid. Hal serupa juga terjadi di negara-negara Kepulauan Pasifik
Objek penelitian ini adalah nama tempat atau toponim. Toponim merupakan bagian dari identitas bud... more Objek penelitian ini adalah nama tempat atau toponim. Toponim merupakan bagian dari identitas budaya. Penelitian in bertujuan untuk mendeskripsikan tiga aspek nama yaitu 1) bentuk, 2) makna, dan 3) latar belakang penamaan tempat-tempat bersejarah terkait masyarakat Cina Benteng, Tangerang, Banten. Nama tempat adalah salah satu bentuk data bahasa yang berisi seperangkat nilai kearifan lokal yang harus dipahami, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pada kajian linguistik nama dianggap sebagai satuan lingual secara bentuk, memiliki makna, dan memiliki fungsi baik ditingkatan bahasa maupun konteks sosial. Secara praktis nama digunakan untuk identifikasi wilayah, dan mempermudah proses perpindahan atau migrasi masyarakat. Secara kebahasaan, penamaan tempat merupakan dokumentasi bahasa yang berfungsi baik secara individu sebagai bentuk pemahaman diri dan secara kolektif sebagai bentuk identitas kolektif sebuah etnis atau masyarakat. Penelitian ini menggunakan Cina Benteng sebagai obj...
Bahasa adalah salah satu kemampuan alamiah yang dianugerahkan pada umat manusia. Sedemikian alami... more Bahasa adalah salah satu kemampuan alamiah yang dianugerahkan pada umat manusia. Sedemikian alamiahnya sehingga kita tak menyadari bahwa tanpa bahasa, umat manusia tak mungkin mempunyai peradaban yang di dalamnya termasuk agama, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Bahasa merupakan salah satu properti yang lekat secara biologis pada manusia dan hampir semua aktivitas manusia memerlukan bahasa. Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika kita mengatakan bahwa kajian mengenai bahasa dapat membantu memahami kehidupan manusia di berbagai bidang. Salah satu pintu masuk untuk memahami kehidupan manusia, dapat dilakukan melalui bahasa--yang memiliki salah satu fungsi sebagai penyimpan tata nilai budaya termasuk etika dan moral--dalam berbagai bentuk misalnya leksikal, pantun, cerita rakyat, mitos, legenda, dan ungkapan. Berdasarkan uraian di atas, maka kini dapat memulai melakukan penelisikan terhadap situasi kebahasaan di Indonesia, sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, khususnya untuk meninjau dari sudut keragaman dan kepunahan bahasanya.
Cina Benteng and Tangerang become one whole unit, as an object and context that has the potential... more Cina Benteng and Tangerang become one whole unit, as an object and context that has the potential to be studied from the perspective of language and culture. Cina Benteng has their uniqueness and distinct in term of their abilities in adaptating and acculturating culture compared to other Chinese community in Indonesia. At the linguistic level, the kinship term is universal, it is found in all languages and is also unique at the same time, as it characterizes the community that owns the kinship terms. This study aims to describe the terms in the Chinese Benteng kinship system through the classification of kinship terms which are analyzed semantically and also analysize of the languages that forms kinship terms. The data of this study was compiled using a qualitative descriptive approach. The interview method was used to gather information from informants, while note-taking techniques were also used as document data collection. The results of the analysis show that kinship terms in the Benteng Chinese community are grouped into three, namely direct, indirect, and marital relations. The results of the analysis show that Chinese kinship terms in general still utilizing the kinship structure and system as general Chinese community in other cities in Indonesia, for example the differences in term of relatives from the father's and mother's sides. But at the same time it also points to the uniqueness by combining Chinese kinship terms that adapt and intersect with local aspect of cultural and linguistic contexts. The distribution of the languages that are being used in the Chinese Benteng kinship terms are Chinese, Indonesian (Melayu), Sundanese, and Javanese.
Objek penelitian ini adalah nama tempat atau toponim. Toponim merupakan bagian dari identitas bud... more Objek penelitian ini adalah nama tempat atau toponim. Toponim merupakan bagian dari identitas budaya. Penelitian in bertujuan untuk mendeskripsikan tiga aspek nama yaitu 1) bentuk, 2) makna, dan 3) latar belakang penamaan tempat-tempat bersejarah terkait masyarakat Cina Benteng, Tangerang, Banten. Nama tempat adalah salah satu bentuk data bahasa yang berisi seperangkat nilai kearifan lokal yang harus dipahami, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pada kajian linguistik nama dianggap sebagai satuan lingual secara bentuk, memiliki makna, dan memiliki fungsi baik ditingkatan bahasa maupun konteks sosial. Secara praktis nama digunakan untuk identifikasi wilayah, dan mempermudah proses perpindahan atau migrasi masyarakat. Secara kebahasaan, penamaan tempat merupakan dokumentasi bahasa yang berfungsi baik secara individu sebagai bentuk pemahaman diri dan secara kolektif sebagai bentuk identitas kolektif sebuah etnis atau masyarakat. Penelitian ini menggunakan Cina Benteng sebagai objek penelitian. Etnis Cina Benteng memiliki keunikan baik dalam ciri – ciri fisik maupun aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Data penelitian ini berupa variasi toponim sewan yang ditemukan sebanyak 12 variasi. Penelitian deskriptif kualitatif ini memanfaatkan teori etnosemantik dan linguistik antropologi. Penelitian ini memanfaatkan data primer yang diambil dengan pendekatan etnografi melalui teknik libat, cakap, catat, dan rekam. Hasil penelitian menggambarkan variasi toponim sewan menggambarkan aspek sejarah dan budaya yang mencakup 1)tokoh setempat yang berpengaruh, 2) peristiwa sejarah di sebuah lokasi, dan 3)pengetahuan lokal terkait budaya setempat.
Our team intends to create an electronic dictionary of contemporary Indonesian, based on extensiv... more Our team intends to create an electronic dictionary of contemporary Indonesian, based on extensive data from a large electronic corpus of Indonesian texts, a method which has been used by such pioneering projects as the Collins COBUILD project. This progress report looks at the team's work to date. The project will involve at least two stages, the first of which is the corpus design and lexical analysis
Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Atma Jaya: Ketujuh Belas , 2003
Tulisan ini lebih bersifat "laporan perkembangan" pembuatan elektronik korpus linguistik bahasa I... more Tulisan ini lebih bersifat "laporan perkembangan" pembuatan elektronik korpus linguistik bahasa Indonesia - sebuah langkah awal menuju pengembangan kamus elektronik bahasa Indonesia yang memenuhi standar internasional. Ulasan yang akan disampaikan dalam tulisan ini terutama menyangkut berbagai faktor yang harus dipertimbangkan pada saat merancang pembentukan korpus, berbagai persoalan yang dihadapi pada saat pembentukan korpus, dan juga pemanfaatan korpus itu sendiri
Semiotika: Mencerap Tanda, Mendedah Makna. Persembahan bagi Profesor Benny Hoedoro Hoed, Pembangun Fondasi Pengkajian Semiotika di Indonesia, 2021
Toponimi dan Budaya dalam Lanskap Semiotik [Toponymy and Culture in Semiotic Landscapes]
Artikel... more Toponimi dan Budaya dalam Lanskap Semiotik [Toponymy and Culture in Semiotic Landscapes]
Artikel ini akan mengkaji dua contoh studi kasus terkait dinamika toponimi sebagai sebuah tanda di lanskap Jawa: 1) pada pergantian tiga nama jalan jantung Kota Yogyakarta pada 2013; dan 2) pergantian nama jalan di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya pada 2017 dan 2018.
Tulisan ini merupakan pengembangan dari penelitian toponimi di Yogyakarta yang dilakukan tim penulis dan penelitian disertasi yang tengah dilakukan oleh Fajar Erikha. Sejumlah artikel berkaitan dengan bagian-bagian lain dari kedua penelitian ini telah terbit dan dalam proses publikasi.
Saran pengutipan (berdasarkan format APA ke-7): Erikha, Fajar, Wuryandari, N. W., Munawarah, S., & Lauder, M. R. (2021). Toponimi dan Budaya dalam Lanskap Semiotik. In U. Yuwono, F. X. Rahyono, & T. Christomy (Eds.), Semiotika: Mencerap Tanda, Mendedah Makna. Persembahan bagi Profesor Benny Hoedoro Hoed, Pembangun Fondasi Pengkajian Semiotika di Indonesia (pp. 163–180). Wedatama Widya Sastra & Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Penghargaan: Terima kasih kepada Komunitas Toponimi Indonesia atau Kotisia (Profesor Multamia R.M.T Lauder, Dr. Ninny Soesanti Tedjowasono, Nurni W. Wuryandari Ph.D., Dr. Lilie Suratminto, Dr, Andriyati Rahayu, Sri Munawarah, Dr. Zarmahenia Muhatta, Inayah Wardany and Rizky Fardhyan) telah membantu dan berkenan berkontribusi pada sebagian studi ini pada 2017 melalui Hibah Riset Klaster Fakultas Ilmu Pengetahuan (FIB)
Osing is the name of a Javanese dialect found in Kemiren Village in Banyuwangi, East Java. The di... more Osing is the name of a Javanese dialect found in Kemiren Village in Banyuwangi, East Java. The distinctiveness of this dialect led the Banyuwangi Government to declare Osing a Tourist Village in 1995. The distinctive features of the dialect include not only its pronunciation, but also the absence of language levels found in all other Javanese dialects. Curiosity about the place and the dialect draw many local and foreign tourists to visit Osing Tourist Village. It is possible that the influx of a significant number of visitors to Osing Village has an impact on the use of the Osing dialect. This research therefore attempts to identify how the Tourist Village status impacts the maintenance of Osing as a dialect of Banyuwangi Javanese. Data on 200 basic words in the Swadesh list were gathered using one participant from each village in Glagah District. This data was analyzed using the methods of dialectology which, compare the phonological, lexicological and sociolinguistic aspects. A combination of quantitative and qualitative methods is applied in this research, where sociolinguistic analysis from observations obtained in the field is the qualitative, while the calculation of dialectometry is the quantitative. The analysis shows that the use of Osing as a Banyuwangi Javanese variety in Kemiren Village has been on a downward trend after the village was given the Tourist Village status. The dialectometry calculation shows clearly that there is no significant difference between the language use in Kemiren Village and that of other villages in Glagah District. This means that the features which define Osing as a distinctive Banyuwangi Javanese dialect have been lost. The Banyuwangi Government should revitalize the use of Osing local varieties to ensure the survival of the region’s linguistic distinctiveness. The use of a sociodialectology approach where phonology, lexicology and sociolinguistics are combined was able to provide empirical evidence on the impact of increased tourist visitor numbers on the attractiveness of Osing in the first place, which is the existence of a distinctive Javanese dialect. The findings are therefore of use to decision makers in local government who can take action to keep the village attractive for tourists, instead of accelerating a shift from the use of local language to Indonesian or English.
Seluruh dunia bergegas menghadapi Era Revolusi Industri 4.0. Di Indonesia, semua lembaga dan keme... more Seluruh dunia bergegas menghadapi Era Revolusi Industri 4.0. Di Indonesia, semua lembaga dan kementerian termasuk kemenristekdikti juga sibuk mengarahkan semua perguruan tinggi agar berbenah diri. Akhir-akhir ini, jika kita mengamati berbagai undangan kegiatan ilmiah, hampir semua kegiatan dikaitkan untuk menghadapi disrupsi 4.0. Sehubungan dengan hal itu, sebaiknya kita yang bergerak di bidang humaniora berupaya memahami apa yang sesungguhnya sedang kita hadapi (Popkova, Ragulina, & Bogoviz, 2019).
Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Atma Jaya: Kedua Belas, 1999
Pelacakan bahasa-bahasa Nusantara bukanlah sebuah gagasan baru. Pelacakan bahasa-bahasa nusantara... more Pelacakan bahasa-bahasa Nusantara bukanlah sebuah gagasan baru. Pelacakan bahasa-bahasa nusantara di Indonesia sesungguhnya sudah lama diupayakan. Hanya saja belum tercapai kesatuan pendapat. Perbedaan pendapat yang muncul, mungkin disebabkan karena perbedaan metode penelitian yang dipergunakan serta dasar pemilihannya.
Mahaguru yang Bersahaja: Persembahan untuk Prof. Dr. Muhadjir, 2016
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dalam rangka memperkuat tatanan Negara... more Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dalam rangka memperkuat tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yaitu Dewan Perwaiklan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Pembentukan itu dilakukan dalam rangka menata konstitusi dan juga untuk memenuhi tuntutan proses demokrasi. Pemikiran mendasar mengenai pembentukan DPD RI yaitu untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Pemikiran tersebut berangkat dari pengalaman masa lalu manakala pengambil keputusan yang bersifat sentralistik mengakibatkan ketimpangan dan rasa ketidakadilan. Apalagi jika keputusan sentralistik itu memberikan indikasi ancaman pada keutuhan wilayah NKRI. Selain itu, selama ini, eksistensi dan kinerja unsur Utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI dianggap belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan.
Ilmu Pengetahuan Budaya dan Tanggung Jawabnya, 2011
Indonesia is well known for its great diversity whether biological or cultural. Rich diversity is... more Indonesia is well known for its great diversity whether biological or cultural. Rich diversity is also found with its indigenous, regional languages. It has thirteen local languages with a million or more speakers and also many hundreds of much smaller and less well known languages. They represent the intergenerational transmission of local knowledge, wisdom, and identity over centuries. As languages convey and shape culture and identity, they are an important component in national development. However, development, modernization and globalization and the move to use the national language, Indonesia, are among the forces that are threatening the continued existence of many of these languages. There are hundreds of languages with fewer than a thousand speakers. It is these smallest languages that are most in danger of becoming extinct. Language endangerment and language loss is a world-wide phenomenon and explained by natural processes of language change. However, many experts have argued that the current rapid pace of loss is undesirable and in some cases is unjust. Language loss is considered undesirable for two main reasons: loss of diversity which is though to have value in its own right, and the infringement of linguistic human rights. Major language loss by the end of the century will be inevitable if nothing is done. It is therefore the responsibility of governments, institutions, and universities to create an inventory of the languages and their different make up. This is very much the case in Indonesia. We need to first do research and produce an inventory of the level of endangeredness of the different regional languages. Based on this classification, we need to develop a new language policy that is designed to give proper values to the local languages, rather than ignore them. For those that can be maintained, we should continue to support them in their communities, in public life and education. For those that are too small or endangered, we need to work quickly to describe and record their richness before they disappear forever
Upaya untuk menelisik secara tuntas variasi bahasa bukanlah hal yang mudah. Kesulitan itu, agakny... more Upaya untuk menelisik secara tuntas variasi bahasa bukanlah hal yang mudah. Kesulitan itu, agaknya, terjadi karena pengetahuan dasar kita mengenai variasi budaya di seluruh Indonesia belum tersusun secara lengkap. Usaha ke arah itu dari kalangan ahli antropologi baru muncul pada tahun 90-an, yaitu karya Masinambow (1994) Paradigma Studi Bahasa dan Lingkungan Sosial-Budaya, Melalatoa (1995) Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, Junus Melalatoa dan Masinambow (1995) dan Kebudayaan Lain-Lain dalam Masyarakat Indonesia. Namun, mereka belum sepenuhnya menelusuri variasi dan wilayah budaya karena masih memusatkan perhatian pada tataran inventarisasi. Bahkan sampai saat ini, tampaknya belum terlihat kebijakan budaya yang menyeluruh dan operasional dari pemerintah. Upaya menelisik variasi bahasa tidaklah dilaksanakan untuk alasan etika semata, tetapi lebih pada kebermaknaannya demi perkembangan dan kemajuan peradaban umat manusia. Hal itu justru memaksa kita untuk melihat dari perspektif yang lebih luas yaitu preservasi bahasa dan budaya yang membantu kita untuk melihat bagaimana upaya manusia membentuk kodifikasi untuk pemahaman dan penataan pengetahuan mengenai dunia ini
Proceedings of the International Symposium on Toponymy, 2014
This paper looks at the study of place names (TOPONYMS) from a historical perspective using the m... more This paper looks at the study of place names (TOPONYMS) from a historical perspective using the methods of historical geography, philology, epigraphy, and spatial archaeology. It provides a number of case studies of ancient sites in Indonesia. Place names are of value as part of a nation's cultural heritage. Historical geography is a field at the intersection of history and geography in which toponyms have been a valuable source of data. Further, archaeological studies may also benefit from place name data. Philology and epigraphy allow us to derive data from inscriptions and manuscripts to identity the presence of settlements. An example is given of place names found in 14th and 15th century inscriptions and manuscripts. Research using spatial archaeology methods, meanwhile, involves placing archaeological sties in a spatial frame. One such spatial archaeology study in Java discovers over two hundred temples from between the 8th and 10th centuries. This led to uncovering the place names of villages where the temples were found. Such studies can help reconstruct the patterns of distribution of settlements, migrations, and invasions. Old place names which appear in inscriptions and manuscripts can also provide insights into the culture of the people at that time
Language is a natural ability universal among all humans and over six thousand languages are spok... more Language is a natural ability universal among all humans and over six thousand languages are spoken around the world. Language is acquired by children without conscious effort or instruction. The ability to use language in humans is based in our biology, and has evolved through evolution and sets us apart from other species. It pervades almost all aspects of our life and without it humanity wouldn't have developed civilization, religion, science, and technology.
Buku Diaspora Melanesia di Nusantara diharapkan bisa memberikan pemahaman yang lebih kompehensif ... more Buku Diaspora Melanesia di Nusantara diharapkan bisa memberikan pemahaman yang lebih kompehensif tentang Melanesia, khususnya ketika dikaitkan dengan bingkai ke-Indonesia-an. Selama ini banyak orang yang salah paham mengenai Melanesia, bahwa seolah-olah Melanesia itu tidak memiliki keterkaitan dengan Indonesia. Padahal, realitas menunjukkan bahwa mayoritas orang Melanesia itu sebenarnya berada di Indonesia, yaitu di Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Di wilayah in juga terdapat percampuran biologis yang berlangsung selama ribuan tahun antara Ras Mongoloid dengan Austrolomelanesid. Hal serupa juga terjadi di negara-negara Kepulauan Pasifik
Pada 2013 lalu, Pemerintah Daerah Yogyakarta mengubah tiga nama jalan, yaitu Jalan Pangurakan (d.... more Pada 2013 lalu, Pemerintah Daerah Yogyakarta mengubah tiga nama jalan, yaitu Jalan Pangurakan (d.h Jalan Trikora), Jalan Margo Mulyo (d.h Jalan Ahmad Yani), dan Jalan Margo Utomo (d.h Jalan Pangeran Mangkubumi). Nama jalan yang baru memuat nilai asli, kesejarahan, budaya, dan filosofi yang notabene perlu direvitalisasi dan dilestarikan. Pengubahan ini merupakan salah satu realisasi atas rencana menjadikan Yogyakarta sebagai Kota Filosofi dan Kota Warisan Dunia menurut UNESCO. Penelitian ini bertujuan menggali makna dan pemaknaan oleh masyarakat terhadap nama jalan yang diubah tersebut. Sumber data penelitian berasal dari informasi informan 22 orang masyarakat dan narasumber yang berlatar budayawan, sejarawan, dan pemerintah. Selain itu, peneliti juga mengumpulkan foto penggunaan nama jalan dan sejumlah peta klasik hingga modern. Melalui metodologi kualitatif, peneliti mengolah data menggunakan pendekatan sosio-onomastik (Lanskap Linguistik, Kelekatan Toponimik, dan Onomastik Setempat). Hasilnya, nama jalan yang diubah tidak hanya mengandung makna dasar tetapi juga mengandung makna filosofi. Nama-nama jalan yang diteliti dimaknai secara beragam oleh masyarakatnya. Pemaknaan ini berkaitan dengan sikap, persepsi, dan preferensi mereka terhadap nama jalan dan pengubahannya. Dengan merujuk pada hasil penelitian ini, pengubahan nama jalan dapat berdampak pada banyak hal jika tidak dipersiapkan dengan paripurna.
Conference: Sustainable Geographical Naming at the Border Region for Peace and Tolerance: Asian Perspectives (Proceedings of the 29th International Seminar on Sea Names Universitas Indonesia, Indonesia, 18-21 October 2023), 2023
This paper discusses the background of the War of Bubat between the Majapahit Kingdom and the Kin... more This paper discusses the background of the War of Bubat between the Majapahit Kingdom and the Kingdom of Sunda that occurred in the 14th century, leaving behind resentment and animosity between the two ethnic communities. As an effort to end the hostility, both ethnic representations agreed to reconcile through symbolic actions, such as the change of toponyms. The paper aims to examine the dynamics of toponym changes with a cultural reconciliation background. The analysis begins with the dynamics of the initial process when place names are changed, examining the local community's perceptions and attitudes after the change, preferences for the use of names (old versus new), and the tensions that arise within the community. Additionally, we critique the effectiveness of the toponym change. Based on the analysis, this change remains symbolic and is carried out by elites. Nevertheless, peace efforts still deserve appreciation, although several strategies may be needed in the future, and the post-change situation needs to be carefully examined. Theoretical implications to policy strategies have been comprehensively discussed. ------------------
The proceeding of the International University Symposium on Humanities and Arts 2020, 2020
Bandung telah menjadi kota wisata sejak zaman kolonial. Meskipun sempat ditutup sejak terjangkitn... more Bandung telah menjadi kota wisata sejak zaman kolonial. Meskipun sempat ditutup sejak terjangkitnya wabah Covid-19, saat ini Pemerintah Bandung melalui masa transisi dengan memberlakukan status new normal atau kebiasaan baru sebagai bentuk adaptasi. Guna menghadapi situasi baru ini, perlu disiapkan langkah strategis dan taktis untuk meningkatkan angka kunjungan wisatawan di Kota Bandung dengan tetap berpijak pada protokol kesehatan. Artikel ini membahas bagaimana peran Lanskap Linguistik dan toponimidalam meningkatkan promosi kawasan pariwisata di Kota Bandung selama masa pandemi ini. Dengan demikian, Lanskap Linguistik dan toponimi dapat berkontribusi dalam memberdayakan masyarakat setempat untuk menggulirkan roda ekonomi. Kami memanfaatkan sejumlah penelusuran literatur terkini terkait implementasi lanskap linguistik berlatar indigeneous culture, tourism, dan peraturan Pemerintah (Perda no.9 tahun 2012). Jalan Braga dan Jalan Dago (atau Jalan Ir. H. Juanda) dijadikan batasan objek bahasan karena merupakan ikon tempat yang disukai para pelancong. Sebagai tampilan lanskap real, penulis memanfaatkan fitur Google Street View yang menampilkan situasi foto konkret kedua lanskap tersebut. Selanjutnya, Pemerintah, wisatawan, dan masyarakat perlu dilibatkan secara aktif sebagai aktor LL untuk mempromosikan tempat wisata dan kampanye protokol kesehatan. Sebagai kesimpulan, penulis merekomendasikan kemungkinan penggunaan kreativitas menggunakan Lanskap Linguistik untuk menciptakan ruang publik yang aman dan sehat dalam mempromosikan keunggulan budaya dan ekonomi melalui kebijakan daerah
Kata kunci: Lanskap linguistik, pariwisata, nama jalan, pandemic Covid-19, Kota Bandung
English abstract: 'The paper discusses the role of Linguistic Landscape in increasing the promotion of tourism in Bandung city areas. Previously, in terms of tourism, Yogyakarta and Malang city had already used elements of Linguistic Landscape to promote the local culture. Thus, Linguistic Landscape and toponymy can contribute in empowering local communities to continue the economic cycle. The authors utilize a number of recent literature related to the implementation of Linguistic Landscapes regarding indigenous culture, tourism, and government regulations. By using Google Street View, Jalan Braga, and Jalan Ir. H. Juanda (Jalan Dago) are used as objects of discussion because they are iconic tourist spots. Based on a review of academic studies, we provide recommendations in the form of a practical communication strategy for the public in order to adhere to the health protocol through multilingual creative media as a campaign tool. In addition, the Government, tourists, and the community also need to be actively involved as LL actors so that the messages can be conveyed effectively. In conclusion, the authors recommend the possibility of using creativity of Linguistic Landscape to create safe and healthy public space in promoting cultural and economic excellence through regional policies Key words: linguistic landscape, tourism, street name, pandemic of Covid-19, Bandung city
Uploads
Papers by Multamia R M T Lauder
Artikel ini akan mengkaji dua contoh studi kasus terkait dinamika toponimi sebagai sebuah tanda di lanskap Jawa: 1) pada pergantian tiga nama jalan jantung Kota Yogyakarta pada 2013; dan 2) pergantian nama jalan di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya pada 2017 dan 2018.
Tulisan ini merupakan pengembangan dari penelitian toponimi di Yogyakarta yang dilakukan tim penulis dan penelitian disertasi yang tengah dilakukan oleh Fajar Erikha. Sejumlah artikel berkaitan dengan bagian-bagian lain dari kedua penelitian ini telah terbit dan dalam proses publikasi.
Saran pengutipan (berdasarkan format APA ke-7):
Erikha, Fajar, Wuryandari, N. W., Munawarah, S., & Lauder, M. R. (2021). Toponimi dan Budaya dalam Lanskap Semiotik. In U. Yuwono, F. X. Rahyono, & T. Christomy (Eds.), Semiotika: Mencerap Tanda, Mendedah Makna. Persembahan bagi Profesor Benny Hoedoro Hoed, Pembangun Fondasi Pengkajian Semiotika di Indonesia (pp. 163–180). Wedatama Widya Sastra & Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Penghargaan:
Terima kasih kepada Komunitas Toponimi Indonesia atau Kotisia (Profesor Multamia R.M.T Lauder, Dr. Ninny Soesanti Tedjowasono, Nurni W. Wuryandari Ph.D., Dr. Lilie Suratminto, Dr, Andriyati Rahayu, Sri Munawarah, Dr. Zarmahenia Muhatta, Inayah Wardany and Rizky Fardhyan) telah membantu dan berkenan berkontribusi pada sebagian studi ini pada 2017 melalui Hibah Riset Klaster Fakultas Ilmu Pengetahuan (FIB)
Artikel ini akan mengkaji dua contoh studi kasus terkait dinamika toponimi sebagai sebuah tanda di lanskap Jawa: 1) pada pergantian tiga nama jalan jantung Kota Yogyakarta pada 2013; dan 2) pergantian nama jalan di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya pada 2017 dan 2018.
Tulisan ini merupakan pengembangan dari penelitian toponimi di Yogyakarta yang dilakukan tim penulis dan penelitian disertasi yang tengah dilakukan oleh Fajar Erikha. Sejumlah artikel berkaitan dengan bagian-bagian lain dari kedua penelitian ini telah terbit dan dalam proses publikasi.
Saran pengutipan (berdasarkan format APA ke-7):
Erikha, Fajar, Wuryandari, N. W., Munawarah, S., & Lauder, M. R. (2021). Toponimi dan Budaya dalam Lanskap Semiotik. In U. Yuwono, F. X. Rahyono, & T. Christomy (Eds.), Semiotika: Mencerap Tanda, Mendedah Makna. Persembahan bagi Profesor Benny Hoedoro Hoed, Pembangun Fondasi Pengkajian Semiotika di Indonesia (pp. 163–180). Wedatama Widya Sastra & Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Penghargaan:
Terima kasih kepada Komunitas Toponimi Indonesia atau Kotisia (Profesor Multamia R.M.T Lauder, Dr. Ninny Soesanti Tedjowasono, Nurni W. Wuryandari Ph.D., Dr. Lilie Suratminto, Dr, Andriyati Rahayu, Sri Munawarah, Dr. Zarmahenia Muhatta, Inayah Wardany and Rizky Fardhyan) telah membantu dan berkenan berkontribusi pada sebagian studi ini pada 2017 melalui Hibah Riset Klaster Fakultas Ilmu Pengetahuan (FIB)
How to cite (APA 7th Edition):
Erikha, F., Lauder, M. R. M. T., & Datang, F. A. (2023). Renaming places and achieving peace after a century of conflict: A case study of the Javanese and Sundanese in Indonesia. The 29th International Seminar on Sea Names, 81–93. http://www.eastsea1994.org/eng/board/thesis?viewMode=view&ca=&sel_search=&txt_search=&page=3&idx=371
yang disukai para pelancong. Sebagai tampilan lanskap real, penulis memanfaatkan fitur Google Street View yang menampilkan situasi foto konkret kedua lanskap tersebut. Selanjutnya, Pemerintah, wisatawan, dan masyarakat perlu dilibatkan secara aktif sebagai aktor LL untuk mempromosikan tempat wisata dan kampanye protokol kesehatan. Sebagai kesimpulan, penulis merekomendasikan kemungkinan penggunaan kreativitas menggunakan Lanskap Linguistik untuk menciptakan ruang publik yang aman dan sehat dalam mempromosikan keunggulan budaya dan ekonomi melalui kebijakan daerah
Kata kunci: Lanskap linguistik, pariwisata, nama jalan, pandemic Covid-19, Kota Bandung
English abstract:
'The paper discusses the role of Linguistic Landscape in increasing the promotion of tourism in Bandung city areas. Previously, in terms of tourism, Yogyakarta and Malang city had already used elements of Linguistic Landscape to promote the local culture. Thus, Linguistic Landscape and toponymy can contribute in empowering local communities to continue the economic cycle. The authors utilize a number of recent literature related to the implementation of Linguistic Landscapes regarding indigenous culture, tourism, and government regulations. By using Google Street View, Jalan Braga, and Jalan Ir. H. Juanda (Jalan Dago) are used as objects of discussion because they are iconic tourist spots. Based on a review of academic studies, we provide recommendations in the form of a practical communication strategy for the public in order to adhere to the health protocol through multilingual creative media as a campaign tool. In addition, the Government, tourists, and the community also need to be actively involved as LL actors so that the messages can be conveyed
effectively. In conclusion, the authors recommend the possibility of using creativity of Linguistic Landscape to create safe and healthy public space in promoting cultural and economic excellence through regional policies Key words: linguistic landscape, tourism, street name, pandemic of Covid-19, Bandung city
The Oral presentation regarding the paper can be reached through this link: https://www.youtube.com/watch?v=_jlgOxvAnv4&t=6s
ISSN:2614-0586