Art and Language

City branding merupakan sebuah slogan  atau kampanye  promosi,  suatu  gambaran  dari  pikiran,  perasaan,  asosiasi dan  ekspektasi  yang  datang  dari  benak  seseorang  ketika  seseorang  tersebut melihat  atau  mendengar  sebuah  nama,  logo,  produk  layanan, event,  ataupun berbagai simbol dan rancangan yang menggambarkan sebuah kota atau wilayah. Dalam 10 tahun terakhir beberapa kota besar di Indonesia  mulai  menerapkan konsep city branding.  Departemen  Kebudayaan  dan  Pariwisata  pada  2008  meluncurkan branding “Visit Indonesia" dengan logo berbentuk siluet burung Garuda, yang kemudian diikuti  beberapa  daerah  di  Indonesia,  diantaranya Bali  dengan “Shanti,  Shanti,  Shanti”, Yogyakarta dengan “Jogja Never Ending Asia”, Surakarta dengan “Solo The Spirit of Java”, Jawa  Tengah  dengan “Passion  Strength  Herritage”,  DKI Jakarta  dengan  “Enjoy  Jakarta”, Manado yang pada even World Ocean Conference menggunakan brand “Sail Bunaken", Semarang dengan “Semarang The Beauty of Asia” dan beberapa kota lainnya. Maraknya penerapan city branding pada akhirnya menjadi trend yang dianggap sebagai kebutuhan mendesak sebuah kota. Beberapa penerapan city branding pada akhirnya tidak memenuhi tujuan branding yang sesungguhnya, pada akhirnya hanya mengacu pada aspek pemenuhan kebutuhan kota dan penyerapan anggaran daerah. Sinergi triple helix ABG (Academic, Business and Goverment) perlu diimplementasikan sebagai solusi atas permasalahan city branding. Peran akademis (academic) dalam kontruksi city branding diperlukan sebagai analisator kebijakan, pemberi kritik dan solusi atas kebijakan yang akan diambil pemerintah (goverment) sebelum mengaplikasikan city branding. Industri (business) sebagai stakeholder diperlukan sebagai pendukung pelaksanaan kebijakan. Ketika konsep sinergi triple helix terwujud, penguatan city branding akan terjadi, sehingga city branding dapat berfungsi secara optimal.

The dynamic of knowledge in the information era has created non-formal learners who are able to develop their own specific materials, methods, and learning strategies. This condition encourages the emergence of various virtual communities that produce mutual interaction. This article explores the collaborative visual art learning adapted by Hijabographic, a virtual community focused on developing Muslim women skills and knowledge in visual arts. The technique used to collect data in this study includes interviews involving founders and community members, observation and document tracking. This study finds that the collaborative learning models adapted in this virtual community are flexible, interactive and open to all available possibilities. The principle of flexibility makes learners in this community more active to build their own creativity and adaptive to face challenges in disruption era.